Anda di halaman 1dari 5

NAMA : JAEHUN

NIM : 030979369
UPBJJ : SURABAYA

tugas.1
Saudara mahasiswa, minggu ini ada tugas 1 yang harus Anda kerjakan.

Pandemi covid-19 menuntut kita untuk mengubah kebiasaan kita dalam berinteraksi,
diantaranya dengan menerapkan protokol covid-19, pembelajaran daring, dsb.

Tugas Anda:

1. Jelaskan dua pendekatan yang dominan dalam perubahan sosial!


2. Amati dan uraikan interaksi sosial pada tatanan kebiasaan baru di lingkungan
Anda! 
3. Bagaimana cara mempersuasi masyarakat untuk dapat beradaptasi dengan
kebiasaan baru pada masa pandemi covid-19?

Lengkapi setiap jawaban Anda dengan referensi yang relevan dan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis! 

Selamat mengerjakan tugas 1 :):):)

JAWAB :

1. Pendekatan pervasif

Pendekatan pervasif adalah pendekatan atau teknik komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan
pesan kepada orang lain secara berulang-ulang.

Teknik komunikasi semacam ini yang dilakukan secara bertahap dan terus menerus dapat berujung pada
terjadinya pembentukan sikap dan kepribadian.

Melalui teknik ini seseorang akan memperoleh pemahaman mengenai perubahan sosial yang dimaknai
sebagai pemahaman yang akurat karena prosesnya yang dilakukan secara berulang-ulang.

Teknik komunikasi pervasif dapat kita temui dalam kampanye komunikasi kesehatan.
Pendekatan instruktif

Pendekatan instruktif adalah pendekatan atau teknik komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan
pesan kepada masyarakat sehingga pesan tersebut dipahami sebagai perintah yang harus dilaksanakan.

Teknik komunikasi semacam ini digunakan dalam perubahan sosial karena sifatnya yang “sesegera
mungkin harus dilaksanakan”.

Dan apabila tidak segera dilaksanakan maka akan membawa efek buruk bagi kehidupan.

Manakala manusia ingin mengalami kemajuan maka dengan segera mengikuti dan menaati adanya
perubahan sosial pembangunan.

2. Pandemi virus corona (Covid-19) berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan masyarakat.
Membaca fenomena sosial dewasa ini menjadi menarik lantaran masyarakat ke depan harus beraktivitas
kembali dengan cara ‘berdamai’ dengan virus corona untuk menciptakan kenormalan baru dalam
kehidupan.

Manusia sebagai makhluk sosial tentu mengalami gagap tradisi dengan adanya pembatasan kegiatan
berkumpul dan berinteraksi, bahkan membentuk tatanan baru kehidupan. Ada aspek positIf dan negatif
dari situasi menantang ini yang turut membentuk dinamika masyarakat agar bisa segera bangkit dari
keterpurukan.

Pandemi Covid-19 telah membuat kepanikan berlebihan di sebagian masyarakat sampai terjadi
penolakan terhadap jenazah korban corona, hingga pengusiran perawat dan pemudik. Selain itu, tak
sedikit juga masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi baik pekerja dirumahkan atau usaha kecil
yang kehilangan sumber pendapatan.

Di lain pihak, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memaksa masyarakat lebih banyak tinggal di
rumah sehingga lebih akrab membangun kedekatan di keluarga. Dalam situasi sulit ini, lahir pula
berbagai gerakan sosial yang kreatif untuk mengurangi beban masyarakat dari tekanan ekonomi yang
berat. Semua itu merupakan fenomena sosial yang akan berdampak terhadap kehidupan
kemasyarakatan ke depan.

Sosiolog Universitas Indonesia Imam B. Prasodjo mengatakan, pandemi Covid-19 yang membatasi
berbagai aktivitas manusia di luar rumah merupakan momentum untuk mendekatkan diri dengan
keluarga. Terlebih bagi keluarga yang tinggal di perkotaan dengan segala kesibukannya mulai dari pagi
hingga malam hari.

“Positifnya, karena pandemi ini kita jadi bisa lebih dekat dengan keluarga di rumah. Biasanya masing-
masing anggota keluarga sibuk di luar. Ketika bulan puasa pun sama, sibuk dengan berbagai macam
acara di luar. Kali ini kan tidak,” katanya kepada Bisnis belum lama ini.

Imam menyebut pihak yang paling diuntungkan dalam hal ini adalah anak-anak. Pasalnya, orangtua,
terutama ayah seringkali tidak memperha kan kondisi keluarga di rumah lantaran terlalu sibuk bekerja.
Dia berharap setelah pandemi Covid-19 usai, terjadi peningkatan kualitas keluarga yang punya peran
dan fungsi signifikan dalam menentukan nasib bangsa di masa mendatang.
Namun, di sisi lain dia juga tak menampik bahwa berbagai aktivitas yang dilakukan terus menerus di
rumah mendatangkan permasalahan baru. “Angka perceraian itu meningkat karena semua harus di
rumah akibat Covid-19, tapi itu di luar negeri bukan di sini seperti nya. Kita doakan saja di sini baik-baik
saja menjadi lebih dekat,” ungkapnya.

Selain itu, menurut Imam pandemi Covid-19 juga kembali menyadarkan masyarakat Indonesia akan
pentingnya tolong menolong antar sesama dan saling menguatkan di tengah ketidakpastian. Dia
menyebut budaya gotong royong di Tanah Air masih cukup kuat, tercermin dari masifnya bantuan dari
berbagai elemen masyarakat kepada mereka yang terdampak.

Hal tersebut tak terlepas dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih banyak melakukan interaksi
sosial dibandingkan dengan masyarakat di belahan dunia lainnya. “Setiap manusia memang butuh
interaksi sosial. Tetapi di Indonesia tak sekadar itu, budaya berkumpul satu sama lainnya erat. Digital
saja tidak cukup tentunya. Tetapi tetap harus bersabar atau ditahan dengan kondisi saat ini,” ujarnya.

Imam juga mengingatkan agar pemerintah tak serta merta terlena dengan budaya yang sudah mengakar
sejak lama ini. Menurutnya, pemerintah tetap harus andil agar pemberian bantuan secara swadaya oleh
masyarakat bisa berjalan dengan baik.

“Kalau tidak, dikhawatirkan ada fatigue atau kejenuhan. Masyarakat kalau pemerintah begini-begini saja
ya akhirnya jenuh. Enggak akan terus-terusan kasih bantuan. Kencang di awal saja tapi nan seterusnya
belum tahu lagi. Tetapi intinya orang kita ini solidaritasnya kuat,” tuturnya.

Sementara itu, Sosiolog Universitas Nasional Sigit Rohadi menilai kuatnya solidaritas masyarakat
Indonesia di tengah krisis seper saat ini tak terlepas dari budaya gotong royong sebagai modal sosial.
Modal sosial dapat diar kan sebagai sumber daya berupa norma dan nilai yang dimiliki oleh masyarakat
untuk memfasilitasi dan membangun kerja sama melalui jaringan interaksi dan komunikasi.

Dia meyakini berbagai aksi penggalangan dan pemberian bantuan yang dilakukan oleh berbagai elemen
masyarakat tak akan berhenti begitu saja sampai pandemi Covid-19 benar-benar berakhir. Hal tersebut
pula yang menurutnya berhasil meredam berbagai gejolak sosial di tengah masyarakat, khususnya
tindakan kriminal akibat melonjaknya angka kemiskinan.

“Semua tidak terlepas dari modal sosial kita, gotong royong, saling membantu. Berbagai krisis yang
melanda Indonesia puluhan tahun lalu itu berhasil diatasi pemerintah karena kuatnya solidaritas
[masyarakat],” katanya.

Kuatnya solidaritas masyarakat Indonesia sejalan dengan Legatum Prosperity Index pada 2019
memosisikan Indonesia di posisi kelima dari 167 negara dalam kategori modal sosial. Kategori ini
mengukur kemampuan personal dan hubungan sosial, nilai-nilai sosial, dan partisipasi masyarakat
sebagai warga negara.

Demikian halnya dengan survei World Giving Index 2018 yang dilakukan oleh Charities Aid Foundation.
Survei tersebut menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara paling dermawan di dunia dengan skor
mencapai 59 persen, diukur dari pertolongan kepada orang asing yang membutuhkan, mendonasikan
uang, dan kesediaan jadi sukarelawan.
3. Situasi pandemi Covid-19 telah membawa banyak perubahan kepada masyarakat hampir di seluruh
dunia. Perubahan yang terjadi salah satunya masyarakat semakin peduli terhadap kesehatan dan juga
kebersihan diri dan lingkungan.

Kebiasaan seperti menggunakan masker jika keluar rumah, mencuci tangan dan menjaga jarak dengan
orang lain kini sudah sangat melekat di setiap aktivitas kehidupan. Hal tersebut seakan menjadi norma
atau budaya baru masyarakat Indonesia.

Berkaitan dengan hal ini, Sosiolog Universitas Airlangga Prof. Dr. Bagong Suyanto mengatakan bahwa
kebiasaan baru yang muncul saat situasi pandemi ini harus didasarkan atas kesadaran masyarakat
sendiri dan tidak bisa diterapkan secara paksa.

“Pemerintah mengharapkan kebiasaan baru itu kan bukan dilakukan karena terpaksa. Tapi, dilakukan
karena kesadaran, rasa tanggung jawab masyarakat sendiri,” ujar Prof. Bagong saat dialog di Media
Center Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Jakarta, Jumat (24/7).

Lebih lanjut, Prof. Bagong juga menjelaskan bahwa pemerintah telah melakukan upaya untuk
membantu masyarakat dalam beradaptasi dengan kebiasaan baru melalui aturan-aturan hukum yang
telah berlaku dan yang terpenting adalah dengan cara persuasi.

“Jadi yang kita pahami mereka juga korban itu, korban Covid-19, tidak mungkin kita meminta mereka
mengembangkan budaya baru, cara hidup baru, perilaku yang baru, hanya dengan ancaman sanksi,”
jelas Prof. Bagong.

Pada beberapa waktu terakhir ini, pemerintah turut melakukan kolaborasi dengan para selebriti mulai
dari micro celebrity dan celebrity influencer diminta untuk membantu melakukan edukasi kepada
masyarakat tentang adaptasi kebiasaan baru selama masa pandemi Covid-19.

Selain itu, pendekatan yang dilakukan untuk melakukan edukasi kepada masyarakat juga harus
disesuaikan dengan latar belakang mereka masing-masing agar tersampaikan lebih efektif.

“Subjek itu tidak mungkin bisa meratakan. Jadi, harus dipahami. Subjek itu partikularistik. Jadi, dia punya
masing-masing komunitas itu punya subkultur yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, idiom-
idiom percakapan yang berbeda, ya,” tegas Prof. Bagong.

Pada kesempatan yang sama budayawan Teater Koma Sari Madjid mengungkapkan, sekarang dunia
pertunjukkan seni juga sudah mulai menerapkan kebiasan baru tersebut di dalam kegiatannya.

“Memang ada beberapa versi. Maksudnya gini, kaya misalnya di tari, mereka juga sudah mulai membuat
kostum dengan ada face shield tapi, itu menjadi bagian dari kostum. Ada juga yang masker menjadi
bagian dari kostum,” jelas Sari.Sari mengatakan bahwa pembuatan aturan-aturan tentang penggunaan
properti saat pertunjukkan di masa pandemi juga sudah dikoordinasikan dengan Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif. Aturan tersebut di antaranya adalah tentang penggunaan alat rias dan kostum bagi
para aktor.

Sari mengatakan bahwa pembuatan aturan-aturan tentang penggunaan properti saat pertunjukkan di
masa pandemi juga sudah dikoordinasikan dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Aturan
tersebut di antaranya adalah tentang penggunaan alat rias dan kostum bagi para aktor.
“Sebetulnya begini, kemarin juga kita diminta untuk bersama-sama, kaya Kemenparekraf bikin aturan.
Karena kan, prosedurnya banyak nih, kalau mau pertunjukan kita. Belum make-up, alat make-up-nya
harus sendiri-sendiri, gitu kan. Terus kostum, kostum juga tidak boleh gantian. Jadi, kalau kostum ya
memang masing-masing,” ujar Sari.

Meski masih dalam tahap adaptasi, para seniman kini sudah berusaha untuk membuat kebiasaan baru
tersebut menjadi lifestyle mereka sehingga bisa tetap produktif berkarya di masa pandemi Covid-19.

Sebagai penutup, Prof. Bagong dan Sari sepakat bahwa untuk merubah kebiasaan baru ini menjadi
budaya bagi masyarakat Indonesia maka diperlukan pendekatan yang berbasis lifestyle.

Pemberian reward dan punishment juga akan efektif untuk membudayakan kebiasaan baru pada
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai