Anda di halaman 1dari 18

DISUSUN OLEH

NAMA : Marsya L. Kwalomine

KELAS : VIII-B

TUGAS : IPA Biologi

SMP NEGERI I SERAM BARAT


TAHUN 2020

KATA PENGANTAR

Page 1
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat TUHAN yag maha esa, karena dengan

rahmatnya penulis dapat menyelesaikan dan dapat menyususn makalah

yenyang “ cahaya” ini guna memenuhi tugas mata pelajaran fisika. Pada

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak

yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini. Penulis

menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan saran dan kritik membangn yang ditunjukan demi

kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi semua

pihak

DAFTAR ISI

Page 2
halaman
KATA PENGANTAR ……………………………………… i
DAFTAR ISI …………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………… 1
A. Latar Belakang ……………………………… 1
B. Rumusan Masalah …………………………………… 1
C. Tujuan ……………………………………………… 1

BAB II PEMBAHASAN ………………………… 2


A. Pengertian Cahaya…………………………… 2
B. dan Teori Cahaya ………………………… 2
C. Sifat-Sifat Cahaya ………………………… 4
D. Penmanfaatan Energi Cahaya Bagi Kehidupan Manusia … 6

BAB III PENUTUP ………………………………………… 8


A. Kesimpulan …………………………………………… 8
B. Saran ……………………………………… 9

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………… iii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Page 3
Banyak penyakit yang dikaitkan secara langsung dengan kebiasaan
merokok. Salah satu yang harus diwaspadai adalah Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian
mencapai 6% dan angka kesakitan wanita 2%, angka kematian 4%, umur di
atas 45 tahun, (Barnes, 1997). Pada tahun 1976 ditemukan 1,5 juta kasus
baru, dan tahun 1977 jumlah kematian oleh karena PPOK sebanyak 45.000,
termasuk penyebab kematian di urutan kelima (Tockman MS., 1985). Menurut
National Health Interview Survey, didapatkan sebanyak 2,5 juta penderita
emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan
30% lebih memerlukan rawat tinggal di rumah sakit. The Tecumseh
Community Health Study menemukan 66.100 kematian oleh karena PPOK,
merupakan 3% dari seluruh kematian, serta urutan kelima kematian di
Amerika (Muray F.J.,1988).
Peneliti lain menyatakan, PPOK merupakan penyebab kematian ke-5 di
Amerika dengan angka kematian sebesar 3,6%, 90% terjadi pada usia di atas
55 tahun (Redline S, 1991 dikutip dari Amin 1966). Pada tahun 1992 Thoracic
Society of the Republic of China (ROC) menemukan 16% penderita PPOK
berumur di atas 40 tahun, pada tahun 1994 menemukan kasus kematian
16,6% per 100.000 populasi serta menduduki peringkat ke-6 kematian di
Taiwan (Perng, 1996 dari Parsuhip, 1998).
Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang PPOK. Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) DEPKES RI 1992 menemukan angka
kematian emfisema, bronkitis kronik, dan asma menduduki peringkat ke-6
dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (Hadiarto, 1998). Survey
Penderita PPOK di 17 Puskesmas Jawa Timur ditemukan angka kesakitan
13,5%, emfisema paru 13,1%, bronkitis kronik 7,7% dan asma 7,7% (Aji
Widjaja 1993).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, angka kematian
PPOK tahun 2010 diperkirakan menduduki peringkat ke-4. Semakin banyak
jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi
perokok, semakin besar risiko dapat mengalami PPOK.
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menemukan peningkatan
konsumsi rokok tahun 1970-1993 sebesar 193% atau menduduki peringkat
ke-7 dunia dan menjadi ancaman bagi para perokok remaja yang mencapai
12,8- 27,7%. Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen
rokok tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan
konsumsi rokok terbanyak di dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar

Page 4
batang rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar batang setahun, Jepang
328 miliar batang setahun, Rusia 258 miliar batang setahun, dan Indonesia
215 miliar batang rokok setahun. Kondisi ini memerlukan perhatian semua
fihak khususnya yang peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep teori dari emfisema?


2. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan emfisema?

C. Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui dan memahami apa itu emfisema.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi emfisema

Page 5
Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh
kerusakan pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya.
Gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena
kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami
kerusakan yang luas.
Definisi emfisema menurut Kus Irianto, Robbins, Corwin, dan The American
Thorack society:
1. Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang
dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus
Irianto.2004.216).
2. Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran
abnormal ruang-ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan
desruksi dindingnya. (Robbins.1994.253).
3. Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas
paru dan luas permukaan alveoli.(Corwin.2000.435).
4. Suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara
abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai
kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack society 1962).
Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-
paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai
destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang
udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan, maka itu “bukan
termasuk emfisema”. Namun, keadaan tersebut hanya sebagai ‘overinflation’.
(Suradi. 2004. 60).
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan
kerusakan pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak
mendapatkan oksigen yang diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit
bernafas. Penderita mengalami batuk kronis dan sesak napas. Penyebab
paling umum adalah merokok.
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus
sendiri adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada
penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang
yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-
paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-
antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.
Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan
perubahan yang terjadi dalam paru-paru :

Page 6
1. CLE (Centrilobular Emphysema atau Centroacinar)
Merupakan tipe yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus,
biasanya pada region paru-paru atas. Inflamasi berkembang sampai
bronkiolus tetapi biasanya kantong alveolar tetap bersisa. (Suradi. 2004.).
CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius.
Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya
cenderung menjadi satu ruang. Penyakit ini sering kali lebih berat
menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata.
Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan
hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia,
dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis,
edema perifer, dan gagal napas. CLE lebih banyak ditemukan pada pria,
dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia A. Price
1995).
2. PLE (Panlobular Emphysema atau Panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya juga merusak
paru-paru bagian bawah. (Suradi. 2004. ...). Terjadi kerusakan bronkus
pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Merupakan bentuk morfologik
yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus
terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini
mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru.
PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer,
tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan
bronchitis kronik.
Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui
adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti
protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan
terhadap protease yang terbentuk secara alami (Cherniack dan cherniack,
1983). Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar,
dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang
hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat
badan. Tipe ini sering disebut centriacinar emfisema, sangat sering sering
timbul pada perokok. (Suradi. 2004.)
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga
tidak. Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur
bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkiolus melebar sehingga
udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan
banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut

Page 7
kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya
udara.
3. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi
blebs (udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal
emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak spontan.

B. Etiologi

1. Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor
genetik diantaranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau
peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive
bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein
alfa – 1 anti tripsin. Cara yang tepat bagaimana defisiensi antitripsin dapat
menimbulkan emfisema masih belum jelas.

2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase


Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase
dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan
keseimbangan antara keduanya menimbulkan jaringan elastik paru rusak.
Struktur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang
penting adalah pankreas, sel sel PMN, dan marofag alveolar (pulmonary
alveolar macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap
rokok dan infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem
antielastase, yaitu sistem enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa
1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi
keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan
jaringan elastis paru dan kemudian emfisema. (Muttaqin, 2008)

3. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Terdapat
hubungan yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa
(FEV). (Nowak,2004). Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan
pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag alveolar,
menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus. Gangguan
pada silia, fungsi makrofag alveolar mempermudah terjadinya perdangan pada
bronkus dan bronkiolus, serta infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus
dan bronkiolus akan mengakibatkan obstruksi jalan napas, dinding

Page 8
bronkiolus melemah dan alveoli pecah. Disamping itu, merokok akan
merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim protease (proteolitik),
dan menginaktifasi antiprotease (Alfa-1 anti tripsin), sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara aktifitas keduanya.

4. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat
sehingga gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti
pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada
obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
emfisema.

5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden
dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah
yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat
menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar.
Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya
tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.

C. Patofisiologi Emfisema
Emfisema merupakan kelainan atau kerusakan yang terjadi pada
dinding alveolar dapat menyebabkan overdistensi permanen ruang udara.
Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama
ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding
(septum) di antara alveoli, jalan napas kolaps sebagian, dan kehilangan
elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps,
udara akan tertahan di antara ruang alveolar (blebs) dan di antara parenkim
paru-paru (bullae). Proses ini akan mengakibatkan peningkatan ventilator
pada dead space atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah.
Kerja napas meningkat dikarenakan kekurangan fungsi jaringan paru
untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga
menyebabkan destruksi kapiler paru. Akibat lebih lanjutnya adalah
penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat
emfisema di anggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada
awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronkitis kronis
dan merokok. (Suradi. 2004)

Page 9
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu
penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang.
Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin.
Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik
yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan
demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim
proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik
elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan
keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru
akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah
pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase
bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu
system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1
globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti
elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan
emfisema.

D. Manifestasi Klinik
Penampilan umum
 Kurus, warna kulit pucat, dan flattened hemidiafragma
 Bibir tampak kebiruan
 Tekanan darah menurun
 Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium akhir
 Usia 65-75 tahun

Pemeriksaan fisik dan laboratorium


·         Pemeriksaan Fisik
Pada klien emfisema paru akan di temukan tanda dan gejala seperti berikut
ini.
 Napas pendek persisten dengan peningkatan dispnea
 Infeksi system respirasi
 Pada auskultrasi terdapat penurunan suara napas meskipun dengan
napas dalam
 Wheezing ekspirasi tidak di temukan dengan jelas
 Produksi sputum dan batuk jarang
 Hematokrit < 60%

·         Pemeriksaan Laboratorium

Page
10
Pemeriksaan jantung Tidak terjadi pembesaran jantung.Kor pulmonal timbul
pada stadium akhir Riwayat merokok Biasanya didapatkan, tetapi tidak selalu
ada riwayat merokok. (Suradi. 2004. 60).
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi
sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-
25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran
nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif.
Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia, dan perubahan
spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat
menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia.

E. Komplikasi

1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan


2. Daya tahan tubuh kurang sempurna
3. Tingkat kerusakan paru semakin parah
4. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
5. Pneumonia
6. Atelaktasis
7. Pneumothoraks
8. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.
9. Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksan radiologis, pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam


menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto
dada pada emfisema paru terdapat dua bentuk kelainan, yaitu:
 Gambaran defisiensi arter
Overinflasi, terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang
terlihat konkaf. Oligoemia, penyempitan pembuluh darah pulmonal dan
penambahan corakan kedistal.
 Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor pulmonal,
emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.

2. Pemeriksaan fungsi paru, pada emfisema paru kapasitas difusi menurun


karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.

Page
11
3. Analisis Gas DarahVentilasi, yang hampir adekuat masih sering dapat
dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau
normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
4. Pemeriksaan EKG, kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise
jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan
dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF.Voltase QRS rendah.Di V1
rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.
a) Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya
diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda
vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
b) Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau
restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk
mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.
c) TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada
asma; penurunan emfisema.
d) Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
e) Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
f) FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat
menurun pada bronkitis dan asma.
g) GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis. Bronkogram:
dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps
bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa
yang terlihat pada bronchitis.
h) JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas),
peningkatan eosinofil (asma).
i) Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi
dan diagnosa emfisema primer.
j) Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau
gangguan alergi.
k) EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat);
disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III,
AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema).
l) EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi
paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan/evaluasi program latihan.

Page
12
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama pada klien emfisema dalah meningkatkan
kualitas hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati
obstruksi saluran napas agar tidak terjadi hipoksia. Penatalaksanaan
emfisema paru dilakukan secara berkesinambungan untuk mencegah
timbulnya penyulit, meliputi:
 Pendekatan terapi mencakup:
a) Pemberian terapi untuk meningkatan ventilasi dan menurunkan kerja
napas
b) Mencegah dan mengobati infeksi
c) Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru
d) Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi
pernapasan yang edekuat
e) Dukungan psikologis
f) Edukasi dan rehabilitasi klien (Suradi. 2004. 60).
Edukasi yakni memberikan pemahaman kepada penderita untuk
mengenali gejala dan faktor-faktor pencetus kekambuhan emfisema paru.
 Jenis obat yang di berikan berupa:
a) Bronkodilators
Obat-obat bronkodilator dan mukolitik agar dahak mudah dikeluarkan.
b) Terapi aerosol
Aerosolisasi dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan
untuk membantu dalam bronkodilatasi.
Aerosol yang dinebuliser menghilangkan brokospasme, menurunkan
edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronchial. Hal ini memudahkan
proses pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses
inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi
c) Terapi infeksi
Pasien dengan emfisema rentan terjadap infeksi paru dan harus diobati
pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi.
d) Kortikosteroid
Digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan
membuang sekresi.
e) Terapi oksigenasi (Suradi. 2004. 60).

H. Asuhan Keperawatan

Page
13
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala:
 Keletihan, kelelahan, malaise
 Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena
sulit bernapas
 Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
 Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau
latihan
Tanda:
 Keletihan, gelisah, insomnia
 Kelemahan umum/kehilangan massa otot
2. Sirkulasi
Gejala: Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda:
 Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi
jantung/takikardia berat, disritmia,
 distensi vena leher
 Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung
 Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan
diameter AP dada)
 Warna kulit/membran mukosa: normal atau abu-abu/sianosis
 Pucat dapat menunjukkan anemia

3. Makanan/Cairan
Gejala:
 Mual/muntah, nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema)
 Ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan
 Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat
badan menunjukkan edema (bronkitis)
 Tanda:
 Turgor kulit buruk, edema dependen
 Berkeringat, penuruna berat badan, penurunan massa otot/lemak
subkutan (emfisema)
 Palpitasi abdominal dapat menyebabkan hepatomegali (bronkitis)

4. Hygiene
Gejala: Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan
melakukan aktivitas sehari- hari

Page
14
Tanda: Kebersihan buruk, bau badan

5. Pernafasan
Gejala :
 Nafas pendek (timbulnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala
menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja, cuaca atau episode
berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan,
 Ketidakmampuan untuk bernafas (asma)
 “Lapar udara” kronis
 Bentuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada
saat bangun) selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun
sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, putih, dan kuning)
dapat banyak sekali (bronkitis kronis)
 Episode batuk hilang timbul biasanya tidak produktif pada tahap
dini meskipun dapat terjadi produktif (emfisema)
 Riwayat pneumonia berulang: pada polusi kimia/iritan pernafasan
dalam jangka panjang (misalnya, rokok sigaret) atau debu/asap
(misalnya, abses, debu atau batu bara, serbuk gergaji)
 Faktor keluarga dan keturunan, misalnya, defisiensi alfa-anti tripsin
(emfisema)
 Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus
Tanda :
 Pernafasan: biasanya cepat, dapat lambat, penggunaan otot bantu
pernapasan
 Dada: hiperinflasi dengan peninggian diameter AP, gerakan
diafragma minimal
 Bunyi nafas: mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema):
menyebar, lembut atau krekels, ronki, mengi sepanjang area paru.
 Perkusi: hiperesonan pada area paru
 Warna: pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku.

6. Keamanan
Gejala:
 Riwayat reaksi alergi atau sensitif terhadap zat/faktor lingkungan
 Adanya/berulangnya infeksi
 Kemerahan/berkeringat (asma)
7. Seksualitas
Gejala: Penurunan libido

Page
15
8. Interaksi sosial
Gejala: Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung,
ketidakmampuan membaik/penyakit lama
Tanda :
 Ketidakmampuan untuk/membuat mempertahankan suara
pernafasan
 Keterbatasan mobilitas fisik, kelainan dengan anggota keluarga lalu
9. Penyuluhan atau Pembelajaran
Gejala: Penggunaan/penyalahgunaan obat pernapasan, kesulitan
menghentikan merokok, penggunaan alkohol secara teratur, kegagalan
untuk membaik. (Doengoes. 2001)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi makalah di atas adalah
sebagai berikut:

Page
16
1. Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh
kerusakan pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan
keelastisannya. Gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi)
saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara
berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
2. Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan
berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru: PLE (Panlobular
Emphysema/panacinar), CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar),
Emfisema Paraseptal.
3. Asuhan keperawatan pada penderita emfisema secara garis besar adalah
membantu menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen
klien.

B. Saran
Sebagai siswa kiranya pembahasan makalah ini dapat kita mengerti dan
memahaminya supaya dapat menjadi bekal pengetahun mengenai penyakit
Emfisema.

DAFTAR PUSTAKA

Baughman,D.C& Hackley,J.C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:

EGC

Mills,John& Luce,John M.1993. Gawat Darurat Paru-Paru.Jakarta: EGC

Page
17
Somantri,Irman. 2012. Asuhan Kesempatan pada Klien dengan Gangguan

Sistem

Suradi. 2004. Peran il-ib, il-12, ifn-y, dan il-10 Terhadap Kadar Elastase mmp-

9 di Paru,

Suatu Pendekatan Imunologi Patogenesis Emfisema Paru. Disertasi. Pasca

Sarjana UNAIR Surabaya. 2005.

Somantri,Irman.2012.Asuhan Kesempatan pada Klien dengan Gangguan

Sistem Pernapasan.edisi 2:Jakarta.Salemba Medika

http://lifestyle.okezone.com/read/2010/02/22/27/306051/search.html.

Page
18

Anda mungkin juga menyukai