Anda di halaman 1dari 3

Keuntungan dan kerugian Undang-Undang Cipta Kerja Klaster Perpajakan

Keuntungan
1. Peningkatan pendanaan investasi Indonesia dengan melakukan penyesuaian berbagai aspek
pengaturan yang berkaitan dengan ekosistem investasi
Skor indikator pembayaran pajak Indonesia dalam Indeks Kemudahan Berbisnis masih
jauh disbanding negara lain, sehingga investor pun lebih memilih berinvestasi di negara tetangga.
Hal ini diperbaiki oleh Pemerintah melalui UU Ciptaker, yaitu dengan:
- Penurunan tarif PPh Badan secara bertahap 22% (2020 & 2021) dan 20% (>2022)
- Penurunan tarif PPh Badan Wajib Pajak Go Public
- Penghapusan PPh atas Dividen dari Dalam Negeri
- Penghasilan tertentu (termasuk Dividen) dari Luar Negeri tidak dikenakan PPh sepanjang
diinvestasikan di Indonesia
- Non-Objek PPh atas: a) bagian laba/SHU Koperasi; b) Dana Haji yang dikelola BPKH
- Ruang untuk Penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas Bunga
- Penyertaan Modal dalam Bentuk Aset tidak terutang PPN

2. Mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela dan menekan biaya
ekonomi tinggi
Kepatuhan wajib pajak Indonesia belum sesuai target, hingga semester I 2020, jumlah wajib
pajak yang melaporkan surat pemberitahuan pajak (SPT) hanya 11,64 juta atau 60,34% dari
target 19 juta. Rendahnya kepatuhan tak lepas dari kualitas pemungutan pajak yang masih buruk.
Pembenahan sebagaimana tertera pada klaster perpajakan juga akan berdampak bagi kepatuhan
pajak secara sukarela. Hal ini akan berdampak positif bagi penerimaan pajak yang lebih optimal
di masa yang akan datang. Untuk hasil yang lebih baik, kerumitan dan perlakuakn tak setara
dalam peraturan dilakukan untuk meningkatkan inefisiensi sistem perpajakan, yaitu dengan:
- Relaksasi Hak Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak
- Pengaturan Ulang: a) Sanksi Administratif Pajak; b) Imbalan Bunga

3. Meningkatkan kepastian hukum


Guna mendorong kepatuhan dan wajib bayar sukarela, pemerintah juga melakukan
peningkatan kepastian hukum, antara lain dengan mengubah:
- Penentuan Subjek Pajak Orang Pribadi: a) WNI & WNA tinggal >183 hari di Indonesia
menjadi Subjek Pajak DN; b) Pengenaan PPh bagi WNA yang merupakan Subjek Pajak
DN dengan keahlian tertentu hanya atas penghasilan dari Indonesia; c) WNI berada di
Indonesia >183 hari dapat menjadi Subjek Pajak LN dengan syarat tertentu
- Penyerahan batu bara termasuk penyerahan Barang Kena Pajak
- Konsinyasi bukan termasuk penyerahan BKP
- Non-Objek PPh atas sisa lebih dana Badan Sosial & Badan Keagamaan
- Pidana Pajak yang telah diputus tidak lagi diterbitkan ketetapan pajak
- Penerbitan STP daluwarsa 5 tahun
- STP dapat diterbitkan untuk menagih imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan

4. Menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri serta menciptakan dan meningkatkan
lapangan kerja
Pembenahan di area pajak merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya menciptakan iklim
usaha yang mendukung penciptaan lapangan kerja. Artinya, kolaborasi setiap sektor -termasuk
perpajakan- secara serentak dan komprehensif akan memiliki signifikansi yang lebih kuat dalam
memperbaiki iklim usaha di Indonesia.

- Pemajakan Transaksi Elektronik: a) Penujukan platform pemungut PPN; b) Pengenaan


pajak kepada Subjek Pajak LN atas transaksi elektronik di Indonesia
- Pencantuman NIK pembeli yang tidak memiliki NPWP dalam Faktur Pajak

5.Mendorong pemulihan ekonomi, mendukung tranformasi ekonomi, dan menghindari middle


income trap
Adanya klaster perpajakan merupakan langkah strategis sekaligus antisipatif dari
pemerintah dengan adanya tekanan ekonomi akibat Covid-19. Melalui UU Cipta Kerja ini
pemerintah telah mempersiapkan landasan strategi relaksasi di fase setelah pandemi. Pasalnya,
bahkan di tengah pandemi ini mulai terdapat tren pergeseran tujuan insentif di banyak negara.
Tujuannya tidak hanya mendorong likuiditas perusahaan dan rumah tangga, namun juga
bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi di masa depan

Kekurangan
1. Berpotensi menggerus penerimaan negara
Perubahan pada klaster perpajakan yang penuh relaksasi berpotensi pula menggerus
penerimaan negara. Padahal, data menunjukkan realisasi penerimaan pajak dalam rentang 2016-
2019 hanya sekali mencapai target. Pada tahun ini bahkan sangat rendah karena terpengaruh
ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid-19. Salah satu yang bisa menggerus penerimaan
adalah penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22% secara bertahap, meskipun tujuannya
untuk meningkatkan investasi.

2. Kebijakan penghapusan PPh atas dividen luar negeri yang diinvestasikan di Indonesia tidak
selalu dapat menjamin repatriasi atau pengembalian dana yang diparkir di luar negeri dan juga
tidak menjamin berkurangnya risiko penghindaran pajak.

3. Perumusan hukum pajak juga harus mengacu prinsip perlindungan terhadap kepentingan
keuangan negara dan tidak menciptakan gangguan serius bagi penerimaan negara. Maka perlu
strategi relaksasi partisipatoris, yakni harus bersyarat dengan mengharapkan timbal balik berupa
partisipasi masyarakat dalam sistem pajak. Strategi itu butuh dukungan penguatan kelembagaan
otoritas pajak, inklusi pajak berkesinambungan, serta ketersediaan teknologi informasi
administrasi pajak yang mumpuni. Kolaborasi seluruh pemangku kepentingan pun menentukan
keberhasilannya.

Anda mungkin juga menyukai