Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Struktur tulang

Secara garis besar tulang dikenal ada dua tipe yaitu tulang korteks

(kompak) dan tulang trabekular (berongga = spongy = cancelous). Bagian luar

kedua tulang tersebut merupakan tulang padat yang disebut korteks tulang dan

bagian dalamnya adalah tulang trabekular yang tersusun seperti bunga karang

(Downey, 2006; Riis, 1996).

Tulang korteks merupakan bagian terbesar (80%) penyusun kerangka,

mempunyai fungsi mekanik, modulus elastisitas yang kuat dan mampu menahan

tekanan mekanik berupa beban tekukan dan puntiran berat. Tulang korteks

merupakan lapisan padat kolagen yang mengalami mineralisasi, tersusun konsentris

sejajar permukaan tulang. Tulang korteks terdapat pada tulang panjang ekstremitas

dan vertebra. Tulang spongiosa/ canselous atau trabekular mempunyai elastisitas

lebih kecil dan mengalami proses resorpsi lebih cepat dibandingkan dengan tulang

korteks. Tulang spongiosa terdapat pada daerah metafisis dan epifisis tulang

panjang serta bagian dalam tulang pendek (Sharon,1998 ; Downey, 2006).

Secara makroskopis tulang dibedakan menjadi tulang woven dan tulang

berlapis (lamellar). Tulang woven adalah bentuk tulang yang paling awal pada

embrio dan selama pertumbuhannya terdiri dari jaringan kolagen berbentuk

ireguler. Setelah dewasa tulang woven diganti oleh tulang berlapis yang terdiri dari

tulang korteks dan trabekular. Korteks tulang tersusun seperti osteon, yaitu lapisan

konsentris tulang yang dikelilingi oleh kanal dengan panjang > 2mm dan lebar 2

mm, didalamnya terdapat osteosit dan pembuluh darah untuk nutrisi. Tulang
trabekular terdiri dari unit tulang struktural. Pada tulang trabekular dan permukaan

dalam korteks merupakan bagian yang rentan terhadap pengeroposan tulang (

Lane, 2001; Rachman, 2006; Downey, 2006).

Selama perkembangannya tulang membutuhkan kalsium yang tinggi dan

setelah mencapai masa pubertas kematangan hormon estrogen pada wanita dan

kematangan hormon testoteron pada laki-laki, karena pengaruh anabolik dan

prekusor estrogen terjadilah proses remodeling tulang. Keterlambatan dan

kegagalan pembentukan gonad (sindroma turner, sindroma kleinfelter), faktor

nutrisi dan aktifitas fisik berat terutama saat puber sebelum menarche (atlit

berperestasi merupakan faktor yang menyebabkan tidak tercapai puncak massa

tulang dan ancaman terjadinya osteoporosis dini (Downey, 2006; Rachman, 2006).

2.2. Komposisi tulang

Unsur pembentuk tulang adalah mineral (65%), matriks (35%), sel

osteoblas, osteoklas, osteosit dan air. Matriks tulang korteks dan trabekula tersusun

atas matriks organik dan anorganik. Komponen anorganik merupakan 65% dari

seluruh masa tulang sedangkan komponen organik sekitar 20% dan air 10%.

Kolagen tulang merupakan komponen organik terbesar yang membentuk dan

memungkinkan tulang menahan regangan sedangkan anorganik atau mineral

berfungsi menahan beban tekanan. Sistem havers merupakan susunan melingkar

berbentuk silinder yang dihubungkangkan oleh saluran havers. Saluran

ini berisi kapiler, arteriola, venula, nervi dan limfe. Tulang mendapat nutrisi

melalui sirkulasi intraoseus (Compston, 2001; Downey, 2006).

2.3. Sel Tulang

2.3.1. Osteoblas
Osteoblas berasal dari jalur sel mesenkim stroma sumsum tulang.

Osteoblas memproduksi osteoid atau matriks tulang, berbentuk bulat, oval

atau polihedral, terpisah dari matriks yang telah mengalami mineralisasi.

Osteoblas berfungsi mensintesis dan mensekresi matriks organik tulang,

mengatur perubahan elektrolit cairan ekstraselular pada proses mineralisasi.

Osteoblas mengandung retikulum endoplasmik, membran golgi dan

mitokondria. Pematangan osteoblas memerlukan FGF, BMPs, CBFA-1 dan

OSE-2. Osteoblas memiliki reseptor estrogen, sitokin, hormon paratiroid

(PTH), IGF, dan Vit D3. Osteoblas saling berhubungan melalui gap

junction, menetap pada permukaan tulang bentuknya pipih dinamakan bone

lining cells / resting osteoblas. (Compston, 2001; Morgan, 2001; Rosenberg,

2005).

2.3.2. Osteoklas

Osteoklas berasal dari jalur hemopoetik yang juga membuat

makrofag dan monosit. Sel ini berpindah dari sumsum tulang lewat sirkulasi

atau migrasi direk. Sel prekursor osteoklas terdapat pada sumsum tulang dan

sirkulasi darah. Sel ini ditemukan pada permukaan tulang yang mengalami

resorpsi dan kemudian membentuk cekungan yang dikenal sebagai lakuna

howship. Osteoklas dalam sitoplasmanya akan terisi oleh mitokondria guna

menyediakan energi untuk proses resorpsi tulang. Osteoklas merusak

matriks tulang, melekat pada permukaan tulang, memisahkan sel dengan

matriks, menurunkan pH7 menjadi pH4. Keasaman ini akan melarutkan

mineral dan merusak matriks sel sehingga protease keluar. Osteoklas

memiliki reseptor yaitu RANK-L untuk maturasi sel dan mengalami


apoptosis (Compston,2001; Downey, 2006; Morgan, 2001;

Manolagas,1995).

2.3.3.Osteosit

Osteosit berasal dari osteoblas dimana pada akhir proses mineralisasi

akan tersimpan pada matriks tulang. Osteosit mempunyai satu inti, jumlah

organela bervariasi dan sel ini menjangkau permukaan luar dan dalam

tulang, membuat tulang menjadi sensitif terhadap tekanan, mengontrol

pergerakan ion serta mineralisasi tulang. Osteosit merupakan sel yang

sensitif terhadap tekanan mekanik, berperan dalam pemeliharaan massa dan

struktur tulang. (Compston, 2001; Drajad,2002; Van Essen, 2007).

2.4. Sitokin dan faktor pertumbuhan.

Interleukin-1(IL-1) berperan utama dalam resorpsi tulang, merangsang

prekursor mitogenik osteoklas. Fungsi ini diperkuat oleh TNF-α, bekerja secara

sinergis dengan PTH. Interleukin-6 (IL-6) merupakan protein fase akut yang

memperkuat resorpsi tulang bersama IL-1 dan TNFα melalui rangsangan

mitogenesis dari sel osteoklas. Faktor pertumbuhan TGF-β banyak ditemukan

pada matriks tulang. TGF-β aktif selama proses pembentukan tulang, memperkuat

aktivitas osteoblas dengan meningkatkan sintesis kolagen, kecepatan aposisi tulang

serta menghambat diferensiasi osteoklas (Drajad, 2002; Rosenberg, 2005).

Pengaruh IGF-1 secara struktural merupakan proinsulin yang

memperlihatkan kerjanya menyerupai insulin yang akan meningkatkan jumlah sel

dalam proses sintesis matriks tulang, menurunkan degradasi kolagen tulang,

meningkatkan aposisi tulang melalui peningkatan replikasi preosteoblas, sintesis

kolagen oleh osteoblas dan penurunan resorpsi tulang serta mempertahankan massa
tulang norma. Konsentrasi IGF-1 terpengaruh oleh hiperglikemia (Compston,

2001). Efek insulin di tulang yaitu sebagai anabolik efek dalam merangsang

sintesis matriks tulang, secara menyeluruh meningkatkan bone remodeling unit,

meningkatkan kekuatan tulang, berperan pada formasi tulang, mempertahankan

massa tulang, meningkatkan aposisi periosteal dan memperbaiki mikrostruktur

tulang trabekular yang rusak. Insulin juga menstimulir sintesis kolagen, protein dan

DNA-osteoblas. (Djokomoeljanto,2003; Thrailkill KM, 2005). Insulin memiliki 2

reseptor yaitu insulin receptor substrate (IRS)-1 dan (IRS)-2 sebagai intraseluler

signaling pada insulin, IGF-1 dan sebagai regulator anabolik pada proses

metabolisme tulang. Defisiensi IRS-2 pada osteoblas menyebabkan osteopeni,

kegagalan fungsi anabolik dan mempengaruhi suportifitas terhadap

osteoklastogenesis. IRS-2 dibutuhkan dalam mempertahankan predominan

formasi tulang melebihi resorpsi tulang dan mengekspresikan osteoblas dan

osteoklas sedangkan IRS-1 mempertahankan bone turnover, mengekspresikan

hanya sel osteoblastik (Akune T, 2002).

2.5. Fisiologi Tulang

Tulang secara fisiologis memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai fungsi

metabolik dan fungsi mekanik. Fungsi metabolik menyediakan cadangan ion

seperti calsium, fosfat dan magnesium sedangakan fungsi mekanik melindungi

organ-organ vital, tempat melekatnya otot dan menunjang gerak tubuh serta

menjadi “pembungkus” sumsum tulang ( Buckwalter, 2000; Soeatmadji, 2002).

2.6. Modeling dan remodeling tulang

Adapun modeling dan remodeling tulang dijelaskan sebagai berikut

2.6.1. Modeling
Modeling tulang adalah suatu proses untuk mencapai bentuk dan

ukuran yang tepat selama pertumbuhan dan perkembangan tulang.

Pembentukan tulang panjang terjadi melalui mekanisme pergeseran tulang

endokondrial pada tulang panjang dan pergeseran pada tulang apendikular.

Hal ini merupakan perubahan dari garis turunan sel mesenkim menjadi

kondroblas selanjutnya menjadi kondrosit dengan mensintesis proteoglikan

sebagai dasar dari matriks ekstraseluler. Ketika tejadi kalsifikasi matriks

ekstraseluler, berlangsung juga invasi pembuluh darah termasuk prekursor

osteoklas dan prekursor osteoblas. Kalsifikasi tulang rawan disebut the

primary spongiosum bone dan untuk tulang yang terletak di antara jaringan

disebut the secondary spongiosum bone yang nantinya dikenal sebagai

woven bone (Compston, 2001; Rachman, 2006).

2.6.2. Remodeling

Setelah tulang woven berubah menjadi tulang berlapis (lamellar),

tulang terus mengalami proses resorpsi, pembentukan dan mineralisasi

yang dikenal sebagai remodeling tulang (pembentukan kembali). Tujuan

pembentukan kembali tulang (remodeling) adalah mereparasi kerusakan

tulang akibat kelelahan (fatigue damage), mencegah proses ketuaan

(aging) dan akumulasi tulang tua. Proses remodeling diatur oleh sel

osteoblas dan osteoklas yang tersusun dalam struktur yang disebut bone

remodeling unit (BRU). BRU merupakan suatu struktur temporer yang

unik aktif saat modeling dan remodeling. Struktur BRU terdiri dari

osteoklas didepan diikuti oleh osteoblas, dibelakang dan ditengah-tengah

terdapat kapiler, jaringan syaraf dan jaringan ikat. Panjang

BRU 1-2 mm dengan lebar 0,24 mm bekerja memahat tulang, meresorpsi


tulang dan membentuk tulang baru. Pada orang dewasa sehat diperkirakan

1 juta BRU aktif bekerja sedangkan 2-3 juta BRU dalam keadaan non

aktif. BRU bekerja pada tulang kortikal maupun trabekular. Pada tulang

trabekula, BRU bergerak melewati permukaan memahat dan menggali oleh

osteoklas dan menutup bekas galian tadi mengganti sel – sel yang rusak

dan membentuk tulang baru oleh osteoblas. Proses penyerapan tulang

terjadi dalam tiga minggu sedangkan proses pembentukan tulang

membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Masa hidup BRU enam sampai

sembilan bulan, lebih lama dari masa hidup osteoblas yaitu tiga bulan dan

masa hidup osteoklas dua minggu sehingga diperlukan persediaan

banyak sel osteoblas yang dibentuk oleh sel mesenkim dan osteoklas

(Compston, 2001; Rachman, 2006).

Menurut Frost, dkk bahwa BRU terjadi pada permukaan tulang

trabekular dan kortikal sebagai lacuna howsip ireguler berlangsung

selama 2 minggu. Proses aktifitas remodeling tulang dimulai dengan

aktifitas prekusor hemopoetik menjadi osteoklas yang secara normal akan

berinteraksi dengan linning cell, osteoblastik. Dalam fase reversal

osteoklas menghilang, digantikan oleh sel monosit yang bekerja

menempelkan bahan yang akan menjadi ‘lapisan cement’, kemudian pada

fase formasi tulang oleh pengaruh sinyal tertentu osteoblas menempel di

permukaan lubang / lacuna howsip dan mensintesis kolagen, protein non-

kolagen dan mensekresinya membentuk osteoid yang pada akhirnya

termineralisasi ekstrasel menjadi ‘tulang’. Apabila proses resorpsi

melebihi formasi tulang maka akan terjadi kekurangan densitas massa


tulang normal. Proses aktifitas remodeling tulang ini (Adnan Z. Arifin,

2008; Baldock,2004; Djokomoeljanto, 2003; Raisz, 2005).

Densitas tulang akan terus meningkat sampai pada dekade keempat atau

kelima dengan kecepatan paling tinggi pada massa pertumbuhan akil balik

(adolescent). Tulang trabekular mengalami remodeling atau bone turnover sekitar

20-30% pertahun sedangkan tulang Secara digambarkan tahapan siklus

remodeling tulang yaitu (Compston, 2001) :

1. Fase istirahat / quiescence.

2. Fase aktif / aktivation.

3. Fase resorpsi. Osteoklas akan mengikis permukaan tulang, melarutkan

mineral, matriks tulang, membuat lubang / resorption pit dan selanjutnya

osteoklas tertarik dalam resorption pit.

4. Fase formasi tulang / bone formation. Osteoblas membentuk tulang baru

dengan memproduksi matriks tulang osteoid

5. Fase istirahat / quiescence.

korteks 3% - 10% pertahunnya.

2.7. Mekanisme dasar kerapuhan tulang.

Kerapuhan tulang terjadi karena suatu keadaan yaitu ( Raisz, 2005) :

1. Kegagalan memproduksi massa dan kekuatan tulang secara optimal selama

pertumbuhan atau non optimal peak bone mass.

2. Resorpsi tulang yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya densitas tulang

dan kerusakan mikroarsitektur dari sistem skeleton.

3. Berkurangnya aktivitas osteoblastik dalam merespon peningkatan resorpsi

selama remodeling tulang.


2.8. Osteoporosis

Osteoporosis merupakan penyakit yang ditandai oleh berkurangnya massa

tulang dengan kerusakan mikroarsiktektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh

dan mudah patah. Osteoporosis berasal dari kata osteo (tulang) dan porous

(keropos) yang disebut sebagai pengeroposan tulang. Osteopeni adalah istilah

yang menunjukkan menurunnya volume tulang. ( Lewiecki, 2003; Van

Essen,2007).

Postmenopause osteoporosis adalah hilangnya massa tulang karena

menurunnya estrogen. Hal ini menyebabkan tidak proporsional antara

peningkatan resorpsi tulang dibandingkan dengan formasi tulang. Wanita dua

sampai tiga kali lebih banyak menderita osteoporosis jika dibandingkan dengan

laki-laki. Lebih kurang 35% wanita post menopause menderita osteoporosis dan

50% osteopenia (Baziad, 2003a; Lerner, 2006; Yuen, 2001).

2.9. Faktor risiko osteoporosis

Faktor utama yang menentukan ketahanan tulang terhadap kejadian fraktur

adalah puncak massa tulang dan kecepatan penyusutan tulang saat amenorea atau

menopause. Dari hasil pengamatan ternyata efek disfungsi ovarium terhadap

densitas tulang dan kecepatan penyusutan tulang, beberapa prediksi yang relevan

terhadap kejadian osteoporosis dilihat pada (gambar 2.6) algoritma faktor risiko

osteoporosis (Lane, 2001).

Defisiensi calsium merupakan suatu keadaan dimana konsentrasi calsium

total dalam serum kurang dari 8,5 mg/dL (2,2 mmol/L) atau kadar kalsium ion

kurang dari 1,0 mmol/L (Rujianto, 2001). Defisiensi calcium besar tejadi

selama periode pertumbuhan cepat tulang (modeling) sampai puncak massa tulang

dan ini sangat berpengaruh terhadap kerapuhan tulang seseorang


(Rosenberg,2005). Pengaruh leptin pada tulang. Leptin bekerja di CNS

menurunkan asupan makanan dan meningkatkan energi. Pada jaringan perifer

leptin mencegah deposisi lemak di jaringan non adipose. Leptin bisa menjadi

mediator antara lemak tubuh dan tulang oleh karena sirkulasi leptin berkorelasi

positif dengan massa lemak pada orang sehat. Leptin dapat menunjukan ekspresi

pada osteoblas manusia selama proses mineralisasi dan akan meningkatkan

aktifitas osteogenik pada sumsum tulang manusia, Pada fetal leptin membantu

pertumbuhan tulang. Leptin berpotensial efek anabolic pada tulang, namun leptin

dengan densitas massa tulang belum bisa dijelaskan secara rinci (Blain H, 2002).

Efek jangka panjang hormon tiroid pada tulang adalah meningkatkan produksi

somatomedin IGF-1 di sel hati, merangsang resorpsi tulang lewat osteoklast-

activating- factor. Pada wanita pre dan postmenopause yang menggunakan

hormon tiroid menyebabkan penurunan densitas mineral tulang ( Djokomoeljanto

R, 1999). Keganasan baik itu tumor padat atau keganasan hematologi dapat

memberikan efek pada tulang melalui sitokin proinflamasi IL-1 dan IL-6 yang

merangsang prekursor mitogenik osteoklas dalam meningkatkan resorpsi tulang,

diperkuat oleh IL-6 yang akan mengaktifkan NK-κβ RANK-L dan TNF-α

sehingga kecepatan remodeling tulang terganggu dan proses bone turnover

menjadi lebih lama, dan terjadi kematian sel alamiah yaitu apoptosis (Dispenziari

A, 2004).

2.10. Postmenopause

Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa menopause adalah saat dimana

berhentinya menstruasi secara permanen akibat berkurangnya atau hilangnya

aktifitas ovarium. Menopause adalah tidak haid selama 12 bulan. Penelitian

pendahuluan dan tidak dipublikasikan oleh Agung, Akbar, Loekmono, Tedjo


bahwa di Surakarta didapatkan data bahwa sebagian besar peremuan mengalami

menopause pada usia < 50 tahun. Menurut Bromberger dkk rata-rata seorang

perempuan mengalami onset menopause pada suatu penelitian pada peremuan

kulit hitam di Amerika Serikat berumur 49,3 tahun. Sedangkan di Inggris dan

Amerika Serikat adalah berumur 51 tahun ( Brown, 2002; Palmer, 2003).

Postmenopause adalah masa setelah menopause sampai senium setelah 12

bulan amenore. Hilangnya aktifitas ovarium mengakibatkan rendahnya kadar

estradiol sehingga endometrium menjadi atrofi dan tidak haid. Pada wanita gemuk

masih dapat ditemukan kadar estradiol darah yang tinggi, oleh karena jaringan

lemak atau adipose, yang diketahui mencegah timbulnya osteoporosis namun

masih belum dipahami alasan seperti itu sepenuhnya. Bila amenore kurang dari

usia 40 tahun disebut sebagai menopause prekoks dan apabila seorang perempuan

mengalami menopause lebih awal dari usia rata – rata seorang menopause antara

40-45 tahun dan tidak terdapat faktor-faktor yang menyebabkan menopause

prekoks hal ini disebut sebagai menopause awal (Carr, 2001; Lane, 2001; Luzuy,

2007).

2.11. Perubahan densitas mineral tulang sesuai umur dengan status menstruasi.

Pada beberapa orang penyusutan tulang lebih cepat dari pada orang

lain. Secara umum, wanita menopause dapat mengalami penyusutan tulang

normal (< 3% pertahun). Pada wanita dengan siklus menstruasi yang teratur,

setelah usia ini densitas tulang tidak bertambah atau berkurang, atau apabila

penyusutan terjadi maka tidak lebih dari 0,5 % pertahun. Walaupun penyusutan

tulang bervariasi, namun pada umumnya akselerasi penyusutan tulang terjadi 5-


10 tahun setelah menopause (3,0-5,0%) dan menurun setelah waktu tersebut

(0,5-1,0%) jumlah total penyusutan tulang kira-kira 15% dari jumlah massa

tulang pada tahun-tahun pertama postmenopause dan jumlah penyusutan

sepanjang hidup adalah 30-40% (Lewellyn,1991; Limpaphayom, 1997; Riis,

1996).

Tabel 2.1. Perubahan massa tulang sesuai umur

Penyusutan tulang terjadi bila resorpsi tulang lebih besar dari pada
pembentukan (formasi) tulang
d
Trabekula tulang ( vertebra leher femur, distal radius)
puncak massa tulang tercapai
i sampai usia 35-40 tahun
penyusutan tulang terjadi mulai usia 40-45 tahun
k
40-50 tahun 0,5-1,0 % pertahun
50-60 tahun 3,0-5,0%upertahun
>60 tahun o,5 -10,0% pertahun
t
Korteks tulang ( tulang panjang dari lengan dan tungkai)
i
puncak massa tulang tercapai sampai usia 35-40 tahun
penyusutan tulang mulai
p usia 40-45 tahun, dengan kecepatan penyusutan
rata-rata 0,5-1,0 % pertahun.

dari Lewellyn, 1991)

2.12. Efek estrogen terhadap densitas mineral tulang.

Estrogen menyebabkan meningkatnya aktifitas osteoblas. Pada pubertas,

ketika seorang perempuan masuk ke masa reproduksi, laju pertumbuhannya

menjadi cepat selama beberapa tahun. Tetapi estrogen juga mempunyai potensial

efek lainnya terhadap pertumbuhan tulang rangka yaitu menyebabkan terjadinya

penggabungan awal dari epifisis dengan batang dari tulang panjang. Efek ini lebih

kuat pada perempuan dibandingkan dengan efek serupa dari testoteron pada pria.

Sebagai akibanya, pertumbuhan perempuan lebih cepat daripada pria. Perempuan

kasim (eunuch), yang sama sekali tidak memproduksi estrogen biasanya tumbuh
beberapa inci lebih tinggi dari pada perempuan dewasa normal, karena epifisisnya

tidak bergabung lebih cepat (Guyton, 2006; Lane, 2001)

Sesudah menopause, hampir tidak ada estrogen yang diekskresikan oleh

ovarium, kekurangan ini akan menyebabkan berkurangnya osteoblas pada tulang,

berkurangnya matriks tulang dan berkurangnya deposit kalsium dan fosfat tulang.

Pada beberap wanita efek ini sangat hebat sehingga menyebabkan osteoporosis.

Estrogen berperan dalam menghambat sekresi berbagai sitokin seperti IL-1, IL-6

dan TNF-α oleh karena sitokin berperan dalam mestimulasi prekusor mitogenik

osteoklas. Estrogen mempunyai efek menghambat osteoklas dan menstimulasi

pertumbuhan tulang (Ganong, 2003; Guyton,2006).

Estrogen pada tulang mempunyai dua signal reseptor estrogen (ER) yaitu

ER-α dan ER-β. ER-α berasal dari translasi 6,8-kilobase mRNA mempunyai

kandungan 8 exon yang merupakan derivat dari gen rantai panjang kromosom 6,

berat molekul diperkirakan sebesar 66000 dengan 595 asam amino, half life

diperkirakan 4-7 jam dan merupakan protein rapid turnover. Sedangkan ER-β

lokasi gen yang berasal dari kromosom 14, q22-q24, memiliki 96% asam amino

hampir sama dengan ER-α. ER-α predominan secara isoform pada tulang korteks

dan didistribusi secara luas dan cepat pada osteoblas dan osteoklas sedangkan

ER-β predominan pada trabekular diekspresikan sebagian besar ke jaringan epitel

dan mesenkimal termasuk osteoblas namun ekspresi ke osteoklas masih dianggap

kontroversial (Lerner,2006; Raisz, 2005; Speroff, 2005).

2.13. Efek progesteron pada massa tulang

Progesteron dibagi dalam dua bentuk, yaitu progesteron alamiah dan

sintetik. Contoh dari progesteron alamiah hanya satu, yaitu progesteron.

Progesteron sintetik dibagi dalam dua bentuk, yaitu struktur kimia menyerupai
progesteron dan struktur kimianya mirip dengan struktur kimia testoteron.

Progesteron sintetik turunan progesteron dibagi lagi dalam beberapa bentuk

turunan yaitu turunan pregnan dan nonpregnan. Turunan pregnan mengandung

komponen asetilat dan nonasetilat. Progesteron sintetik turunan testoteron dibagi

dalam 2 bentuk yaitu gugus etinil dan non etinil. Kelompok gugus etinil dibagi

dalam 2 kelompok yaitu turunan estran dan gonan. Klasifikasi progesteron

alamiah dan sintetik seperti (gambar 2.7) (Baziad, 2003b).

Medroksiprogesteron asetat memiliki khasiat androgenik melalui penambahan

aktifitas enzim 5-α-reduktase, sehingga terjadi penurunan kadar testoteron serum.

Progesteron disimpan dalam lemak diberikan dalam dosis tinggi (150mg) akan

tersimpan berupa depot (Baziad, 2003b).

Reseptor progesteron diinduksi oleh estrogen pada tingkat transkripsional.

Reseptor progesteron mempunyai dua reseptor A dan B. Terbentuk oleh suatu

gen tunggal, sebagai penyelenggara transkriptional, sebagai sistem transkripsi

komplek. Setiap bentuk memiliki protein polypeptide yang mengaktifkan hormon

yang terikat dan mengaktifkan reseptor. Berat molekul A adalah 94.000 dan B

114.000 dengan 933 asam amino, 164 asam amino lebih besar dari B. Reseptor A

tidak merubah struktur dari reseptor estrogen. Adapun A berkompetisi dengan

reseptor estrogen terhadap protein; penghambatan reseptor estrogen hanya pada

keadaan yang kritis dan akan berlanjut pada aktivator transkripsi yang esensial.

Reseptor B merupakan segmen teratas yang unik dengan (128-165 asam amino

tergantung dari spesies). Pada reseptor progesteron, TAF-1 berlokasi di 91

segmen yang berada pada ujung atas DNA binding domain. TAF-2 berlokasi di

hormon binding domain. Aktifitas transkrip pada hormon binding domain akan

melepaskan fragmen sebanding dengan aktifitas lengan panjang hormon yang


mengaktifkan A. TAF merupakan bagian dari reseptor yang mengaktifkan

transkrip gen sesudah terikat dengan DNA. TAF-1 dapat menstimulasi transkrip

hormon yang menyatu dengan DNA dan meningkatkan ikatan DNA dengan

reseptor yang utuh. TAF-2 efektif karena dikelilingi suatu ligand dan reseptor

estrogen tergantung pada aktif ikatan estrogen yang kuat. Komponen progesteron

juga mempengaruhi densitas tulang, meskipun tidak sebaik estrogen. Mekanisme

progesteron pada metabolisme tulang belum diketahui pasti dan masih sedikit

diketahui. Progesteron mempunyai efek anti estrogen pada sel miometrium,

menurunkan eksitabilitas, sensitifitas oksitosin, secara spontan mengaktifkan

membran potensial dan merubah 17 β-estradiol sehingga aktifitas estrogen

menurun (Compston, 2001; Ganong, 1997; Speroff, 2005).

2.14. Depo Provera®

Depo provera® ini merupakan suatu jenis kontrasepsi hormonal yang

mengandung progesteron sintetis golongan pregnan yang memiliki gugus asetil

depot medroksiprogesteron asetat/ DMPA bentuk mikrokristal dalam aqua

solution injeksi dalam dosis 150 mg diberikan setiap 3 bulan sekali

intramuskular. DMPA merupakan suatu pilihan yang tepat untuk wanita

menyusui, mereka yang tidak dapat atau tidak menginginkan untuk memakai

estrogen dan mereka yang akan mendapatkan manfaat dari pemakaian

kontrasepsi jangka panjang. DMPA digunakan untuk mengendalikan jumlah

kehamilan pada wanita reproduktif. Metode kontrasepsi sudah dikenalkan sejak

tahun 1992 telah dipakai di USA. Selain menghambat terjadinya ovulasi, DMPA

juga mempunyai efek ke tulang, yaitu kehilangan densitas mineral tulang.

DMPA mempunyai efek kompetitif terhadap ER-α dan β ditulang (Speroff,

2005).
Menurut Lo, apabila DMPA diberikan dalam waktu lebih dari dua

tahun kemungkinan besar terjadi kehilangan densitas tulang (Lo, 2005).

Pada suatu penelitian lintas bagian di Selandia Baru memperlihatkan bahwa

penghentian pemakaian DMPA akan terjadi perubahan densitas mineral tulang

secara reversibel antara 12 - 24 bulan (Kaunitz, 2001).

2.15. Kontrasepsi non hormonal

Kontrasepsi non hormonal yaitu kontrasepsi yang tidak mengandung

hormonal seperti periode abstinensia, metode kalender, IUD, condom yang

digunakan untuk mengontrol dan mengendalikan kehamilan (Bupa, 2007;

Mishell,1995).

2.16. Epidemiologi

Massa tulang yang berkurang pada masa menopause dapat sangat

bervariasi. Usia, jenis kelamin, ras, keseimbangan kadar calsium dan fosfor, gaya

hidup seperti (merokok, mengkonsumsi alkohol, kafein), obat-obatan hormon

tiroid, kortikosteroid, obat hormonal seperti GnRH, diuretik, antasida dan

malnutrisi merupakan faktor penentu massa tulang dan risiko patah tulang. Pada

suatu ras campuran Afrika- Amerika memiliki massa tulang tertinggi, sedangkan

ras kulit putih, khususnya keturunan dari Eropa Utara, memiliki massa tulang

rendah. Massa tulang Asia-Amerika berada diantara keduanya. Penelitian

membuktikan bahwa usia muda pada anak Afrika-Amerika biasanya memiliki

massa otot yang lebih besar dan memiliki kaitan dengan massa tulang. Penurunan

massa tulang pada wanita Afrika-Amerika cenderung lebih lambat daripada wanita

kulit putih disebabkan oleh perbedaan hormon diantara kedua ras tersebut (Lane,

2001).
Pada penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang yang menghubungkan

kontrasepsi hormonal dengan densitas mineral tulang pada wanita menopause

dengan pasca menopause disimpulkan bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal

kombinasi yang mengandung estrogen dan progesteron akan berakibat positif

dengan meningkatkan densitas mineral tulang, nilai T, dan quantitative ultrasound

index / QUI yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kelompok tanpa

riwayat pemakaian kontrasepsi hormonal, ataupun dengan riwayat pemakaian

kontrasepsi yang mengandung progesteron saja ( Herlina, 2000).

WHO melaporkan bahwa kontrasepsi hormonal DMPA apabila diberikan

dalam jangka waktu lebih dari 2 tahun akan terjadi penurunan densitas tulang

(Lo, 2005 ; WHO, 2005).

2.17. Diagnosis

Diagnosis secara klinis sulit dinilai karena tidak ada rasa nyeri pada tulang

saat osteoporosis terjadi walau osteoporosis lanjut. Khususnya pada wanita

menopause dan postmenopause, rasa nyeri di daerah tulang dan sendi

dihubungkan dengan defisiensi estrogen. Jadi secara anamnesa mendiagnosis

osteoporosis hanya dari tanda sekunder yang menunjang terjadinya osteoporosis.

Pada anamnesis terhadap identifikasi adanya riwayat keluarga dengan penyakit

metabolisme tulang, riwayat perubahan tinggi dan berat badan, riwayat fraktur

sebelumnya, riwayat sistem reproduksi, riwayat endokrin, faktor diet dan lain-lain.

Riwayat penyakit dan pemeriksaan sistemik dilakukan untuk mengetahui adanya

kemungkinan osteoporosis sekunder. Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran

tinggi badan, adanya buffalo hump, stria mungkin suatu sindroma cushing, sklera

warna biru menunjukan suatu osteogenesis imperfekta (Lindsay, 2001; Rachman,

2006; Suryana, 2002).


2.18. Teknik pengukuran densitas tulang

Pengukuran densitas tulang bertujuan untuk menentukan densitas massa

tulang, memprediksi risiko dan mencegah terjadi fraktur. Standar baku

pemeriksaan densitas tulang menggunakan alat densitometri DXA. Pengukuran

menggunakan radiasi sinar foton yang dihasilkan oleh tabung sinar X (paparan

radiasi < 3 mrem), sedangkan energi yang digunakan adalah 70 dan 140 kv, waktu

pemeriksaan singkat dan dosis radiasi rendah. Pengukuran dilakukan pada tulang

vertebra, femur, radius dan seluruh tubuh. DXA presisi yang lebih tinggi (<1%),

mudah dipakai, bebas dari artefak teknis dan dapat dipakai untuk anak anak.

Waktu yang diperlukan untuk peneraan 5-10 menit. Pengukuran DXA

menyatakan densitas mineral tulang pada area tertentu dalam gram/cm2,

perbandingan rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan rerata densitas

mineral tulang orang dewasa etnis yang sama disebut T-score dalam %, T-score

merupakan puncak massa tulang, sedangkan Z-score merupakan usia

pembanding. Jika dibandingkan dengan kadar rerata densitas tulang orang dengan

umur yang sama dan etnis yang sama disebut Z-score dalam %. Berdasarkan

indikasi pemeriksaan densitas mineral tulang salah satunya adalah pada wanita

postmenopause, defisiensi enstrogen (Rachman, 2006; Fogelman, 2000; Quinn,

2001; Lindsay, 2001; Adam, 2002).

Berdasarkan kriteria WHO dalam mengklasifikasi densitas mineral tulang

didasarkan atas T-score bukan Z-score.

Tabel 2.2. Klasifikasi WHO terhadap densitas mineral tulang.

Klasifikasi T-score

BMD normal -1 SD atau lebih besar


BMD rendah atau osteopeni antara -1 SD sampai -2,5 SD
Osteoporosis -2,5 SD atau lebih kurang
Osteoporosis berat -2,5 SD atau lebih kecil disertai fraktur.
(dikutip dari Fogelman, 2000)

Massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang. Penurunan massa

tulang merupakan faktor utama terjadinya fraktur oleh trauma ringan atau bahkan

tanpa trauma sama sekali. Massa tulang dapat diperiksa pada seluruh tulang

rangka atau pada bagian-bagian tertentu misalnya tulang belakang, tulang femur

atau pergelangan tangan (Lindsay, 1996).

2.18.1. Total body densitas mineral tulang.

Pada pengukuran densitas mineral tulang Total Body sangat baik

untuk menilai tulang kortikal karena 80% rangka manusia terdiri dari

tulang kortikal. Pada pengukuran Total Body memiliki ROI yaitu kepala

(head), vertebra (spine), lengan (arms), tungkai (legs), pelvis ( pelvis) dan

tulang dada (corset). Kadang-kadang densitas mineral tulang Total Body

digunakan untuk menilai komposisi tubuh misalnya lean body mass atau

persentasi lemak tubuh. Dalam hal yang terakhir ini diperlukan piranti

lunak yang khusus dan terstandarisasi tersendiri yang biasanya sudah

disediakan oleh pabrik yang memproduksi mesin densitas mineral tulang

yang bersangkutan. Sedangkan pada umumnya daerah yang diukur ROI

seperti vertebra L1-L4, leher femur, trokanter, segitiga WARD, total

femur, dan tulang ultra distal radius (Fogelman, 2000; Rachman, 2006;

Setiyohadi, 2006b).

Anda mungkin juga menyukai