Anda di halaman 1dari 17

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK PENJUALAN BARANG

MEWAH (PPNBM)

DISUSUN OLEH :
FIA SETYAWAN (19030040)
IMAM PRABOWO (19030046)
ANDRI IRWANTO (19030041)

DOSEN PENGAMPU :
AGUS WIDODO, S.E., M.AK.

PROGRAM STUDI S-I AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI YPPI REMBANG
2021

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apabila dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari
Pajak Penjualan. Alasan penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak relevan
lagi dengan perkembangan zaman. Dan banyak aspek-aspek yang terbuka celahnya sehingga
dapat menimbulkan penyelundupan yang tidak dapat teratasi. Selain itu, Pajak Penjualan
mempunyai beberapa kelemahan lainnya seperti, mempunyai bermacam-macam tarif yang
menyulitkan para Subjek dan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya, dan adanya
pajak berganda. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan Pajak Penjualan mengalami
perubahan dari waktu ke waktu.
Pemerintah pun menyadari akan kekurangan Pajak Penjualan tersebut, oleh karena itu
diadakanlah revisi secara berkala pada Pajak Penjualan itu sendiri sehingga namanya dirubah
menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN sendiri memiliki beberapa forte (kelebihan)
yang menutupi Pajak Penjualan pendahulunya tersebut. Di antaranya seperti, menghilangkan
pajak berganda, menggunakan tarif tunggal, netral dalam persaingan dalam negeri,
perdagangan internasional, pola konsumsi dan juga dapat mendorong ekspor. Oleh karena itu,
sebagai akademisi yang bergerak di bidang Ekonomi yang suatu saat nanti, perlu untuk
mempelajari materi perpajakan ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar pemungutan PPN dalam Objek, tarif dan perhitungan?
2. Apa saja persyaratan dan fungsi Faktur Pajak?
3. Bagaimana cara perhitungan PPN, dasar pengenaan PPnBM, dan penerapan tarif
serta pelaporannya?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar PPN dan PPnBM


Seperti kita ketahui, PPN berasal dari Pajak Penjualan yang termodifikasi. Pada
dasarnya terdapat 2 cara dalam pengambilan Pajak Penjualan, yaitu dengan cara Single Stage
Levies dan Multi-Stage Levies. Pada Single Stage Levies, terdapat 3 tempat dimana pajak
tersebut diambil. Yaitu pada pihak produsen atau pedagang besar/grosir, atau pada tingkat
konsumen akhir. Akan tetapi, pada masing-masing tingkatan terdapat kelemahan-kelemahan
yang memungkinkan untuk memberatkan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya.
Pada sistem yang kedua (Multi-Stage Levies) juga terbagi menjadi 2 sistem, yaitu
Cumulative Cascade Systems dan Non Cumulative System (Value Added).
Pada Cumulative Cascade Systems pajak dipungut pada tingkat peredaran barang pada
jalur produksi dan distribusi tanpa adanya penyesuaian (adjustment) terhadap pajak yang
telah dibayar pada jalur sebelumnya. Pajak ini dipungut setiap kali ada pemindahan barang
pada jalur berikutnya. Karena tidak ada kredit pajak, maka beban pajak menjadi berlipat
ganda (kumulatif) melebihi tarif yang sebenarnya berlaku untuk peredaran barang tersebut.
Sedangkan pada Non Cumulative System (Value Added) pajak hanya timbul karena adanya
faktor produksi yang terpakai untuk menambah nilai barang tersebut seperti bunga, sewa,
upah kerja, termasuk semua biaya untuk mendapatkan laba. Jadi yang menyebabkan PPN
(Value Added Tax) makin bertambah di setiap tingkatan penjualan adalah adanya unsur-unsur
yang menambah nilai suatu barang yang mempunyai biaya tertentu yang labanya tersebut
dapat diambil pajak darinya. Sehingga tidak terjadi perlipatan ganda biaya pajak karena pada
dasarnya biaya produksi yang produsen keluarkan sudah dibayarkan ketika raw material
tersebut dirubah menjadi produk siap pakai.1
Sebelum kita mengetahui objek apa saja yang dapat dikenakan PPN dan PPnBM,
maka kita seharusnya mengetahui beberapa aspek-aspek yang berkaitan dengan diambilnya
pajak tersebut. Di antaranya seperti, Barang Kena Pajak (BKP), Jasa Kena Pajak (JKP), dan
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
1. Barang Kena Pajak (BKP)2
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.

2
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang PPN 1984. Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak Tidak Berwujud”
adalah:
a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian
atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses
rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau
hak serupa lainnya;
b. Hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
c. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial,
atau komersial;
d. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan
atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada huruf a, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada huruf b, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada huruf c, berupa:
 Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara
atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit,
kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
 Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman
suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan
melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spectrum
radio komunikasi;
e. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films),
film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
dan
f. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut di atas.
Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali undang-undang menetapkan
sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya, seperti:
 Minyak mentah (crude oil);
 Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat;
 Panas bumi;
 Asbes, batu tulis, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonite, dolomit,
feldspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit,
kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan
kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers
earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal,
dan trakkit;
 Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
 Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak,
serta bijih bauksit.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
seperti:
 Beras;
 Gabah;
 Jagung;
 Sagu;
 Kedelai;
 Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
 Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain,
dan/atau direbus;
 Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,
diasinkan, atau dikemas;
 Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya,
dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
 Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah
melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading,
dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
 Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan,
dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang
dicacah.
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang
diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering; dan
d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi, dan lainnya)

2. Jasa Kena Pajak (JKP)


Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena
pesanan atau permintaaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
Jasa Kena Pajak (JKP) adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang PPN 1984. Dan dari jasa-jasa tersebut, dikeluarkanlah beberapa jenis jasa yang
menurut Undang-Undang tidak termasuk JKP tersebut, di antaranya seperti:
a. Jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:
 Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
 Jasa dokter hewan;
 Jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi dll;
 Jasa kebidanan dan dukun bayi;
 Jasa paramedis dan perawat;
 Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, lab. kesehatan, dan
sanatorium;
 Jasa psikolog dam psikiater;
 Jasa pengobatan alternative.
b. Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:
 Jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo;
 Jasa pemadam kebakaran;
 Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
 Jasa lembaga rehabilitasi;
 Jasa pemakaman atau rumah duka;
 Jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial
c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko
d. Jasa keuangan, meliputi:
 Jasa menghimpun dana dari masyarakat;
 Jasa menempatkan, meminjam, dan meminjamkan dana kepada pihak lain;
 Jasa pembiayaan;
 Jasa penyaluran pinjaman atas hukum gadai, termasuk gadai syariah dan
fidusia; dan
 Jasa penjaminan
e. Jasa asuransi
f. Jasa di bidang keagamaan
g. Jasa pendidikan
h. Jasa kesenian dan hiburan
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
j. Jasa angkutan umum di darat, air dan udara yang menjadi bagian tidak
terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri
k. Jasa tenaga kerja
l. Jasa perhotelan
m. Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum
n. Jasa penyediaan tempat parkir
o. Jasa telepon umum
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
q. Jasa boga atau katering
3. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha Kena Pajak adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun
yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor,
mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud
dari luar Daerah Pabean3, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean yang melakukan penyerahan Barang Kena

3
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN
1984.
a. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak:
 Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan untuk menjadi pengusaha kena
pajak.
 Memungut PPN dan PPnBM yang terutang.
 Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran
lebih besar daripada pajak masukan yang dapat dikreditkan serta
menyetorkan pajak penjualan atas barang mewah yang berutang .
 Melaporkan penghitungan pajak.
b. Pengecualian kewajiaban pengusaha kena pajak
 Pengusaha kecil
 Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang atau jasa yang tidak
dikenakan PPN.
4. Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000,- (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000,- (empat miliar delapan ratus juta
rupiah). Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000,- (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil:
a. Dilarang membuat faktur pajak.
b. Tidak wajib memasukkan SPT Masa PPN.
c. Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan.
d. Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, bagi pengusaha kecil yang
memperoleh peredaran bruto di atas batas yang telah ditentukan.
5. Penyerahan Barang Kena Pajak
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang
Kena Pajak. Penyerahan barang kena pajak yang termasuk dalam pengertian penyerahan
BKP adalah:
a. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian;
b. Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa
guna usaha (leasing);
c. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP4;
e. BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
BKP antar cabang;
g. Penyerahan BKP secara konsinyasi; dan
h. Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap
langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP.
Sedangkan penyerahan barang yang tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan BKP adalah:
a. Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang;
b. Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang;
c. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
BKP antar cabang dalam hal PKP melakukan pemusatan tempat pajak
terutang;
d. Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan
pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
e. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak
Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan.
6. Objek Pajak Pertambahan Nilai
a. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Syarat-syaratnya adalah:
4
 Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP;
 Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP Tidak Berwujud;
 Penyerahan dilakukan dalam Daerah Pabean; dan
 Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
b. Impor BKP;
c. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Syarat-syaratnya adalah:
 Jasa yang diserahkan merupakan JKP;
 Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
 Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
d. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
e. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. Ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
h. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
pihak lain;
i. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan.
7. Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Dengan pertimbangan bahwa:
a. Perlu keseimbangan pembebanan pajak Antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi
b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah
c. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
d. Perlu untuk mengamankan Negara
Maka atas penyerahan BKP yang Tergolong Mewah oleh produsen atau impor
BKP yang Tergolong Mewah, disamping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi; dan/atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status;
PPnBM dikenakan atas:
a. Penyerahan BKP yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha
yang menghasilkan BKP yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah
Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
b. Impor BKP yang Tergolong Mewah.
PPnBM merupakan pungutan tambahan di samping PPN. PPnBM hanya
dikenakan 1 (satu) kali pada waktu penyerahan BKP yang Tergolong Mewah oleh
pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor BKP yang Tergolong
Mewah.
8. Tarif PPN dan PPnBM
a. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
 Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan
tarif PPN yang diterapkan sebesar 0% adalah sebagai berikut:
1. Ekspor BKP Berwujud
2. Ekspor BKP Tidak Berwujud
3. Ekspor JKP
b. Tarif PPnBM
 Tarif PPnBM dapat diterapkan ke beberapa kelompok, yaitu tarif paling
rendah 10% dan paling tinggi 200%. Atas ekspor barang Kena pajak
(BKP) yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol
persen).PPnBM yang telah dibayar atas perolehan BKP yang tergolong
mewah yang diekspor dapat diminta kembali (restitusi).
9. Mekanisme Pengenaan PPN
a. Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut:
 Pada saat membeli JKP atau BKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual.
Ini merupakan pembayaran pajak di muka (Pajak Masukan).
 Pada saat menjual BKP atau JKP wajib memungut PPN (Pajak
Pengeluaran). Ini sebagai bukti memungut PPN. Dan wajib membuat
faktur.
 Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan surat
pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai.
 Apabila masa pajak lebih kecil daripada jumlah masukan maka dapat
direstitusi. Dan apabila jumlah pajak pengeluaran lebih besar daripada
pajak masukan selisihnya disetor ke kas negara.

B. Faktur Pajak
Bukti pungutan pajak yang dibuat PKP yang melakukan penyerahan BKP atau
JKP. Yang harus dibuat pada:
a. Akhir bulan penyerahan barang atau jasa kena pajak
b. Setiap penerimaaan termin sebagai tahap pekerjaan
c. Saat lain yang diatur berdasarkan peraturan menteri keuangan republik
Indonesia
Fungsi Faktur Pajak:
a. Peran penting Faktur Pajak sangat berguna bagi PKP. Dengan adanya faktur
pajak maka PKP memiliki bukti bahwa PKP telah melakukan penyetoran,
pemungutan hingga pelaporan SPT Masa PPN sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
b. Jika tejadi kesalahan dalam mengisi faktur pajak, PKP dapat melakukan
pembetulan faktur pajak tersebut. Jika tidak dilakukan pembetulan sama
sekali, maka hal ini akan merugikan PKP yakni pada saat auditor memeriksa
pajak PKP.

C. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)


Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak
yang terutang, berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai
lain yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP),ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau
seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau
oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang
dipungut menurut Undang-Undang PPN.
4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut5 :
1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor;
2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor;
3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-
rata;
4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
6. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, adalah harga pasar wajar;
7. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga
perolehan;
8. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;
9. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari jumlah
yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
10. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh
persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
5
Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM
1. PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00

PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “A”.
2. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari
suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif
misalnya 35%.
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam
harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan
PPn BM yang terutang adalah :
a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
b. PPN = 10% x Rp50.000.000,00
= Rp5.000.000,00
c. PPnBM = 35% x Rp50.000.000,00
= Rp17.500.000,00
PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan
bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP
“D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun
dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.

D. SAAT PELAPORAN PPN/ PPnBM6


1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa
dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah
dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
6
a. Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan paling lama
akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung
sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP
setempat paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Penjualan yang
direstrukturisasi/dimodifikasi. Banyak kelebihan yang ditawarkan oleh PPN, salah satunya
dapat menghapus kewajiban pajak berganda. Untuk barang yang dianggap mewah ada
perlakuan khusus yang dinamakan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah). Tarif
untuk PPN sebesar 10 persen, sedangkan untuk PPnBM minimal 10 persen dan paling tinggi
sebesar 200 persen.
PPN dan PPnBM diterapkan untuk menarik pendapatan dari masyarakat
secara efektif dan efisien. Selain itu, keduanya diterapkan agar masyarakat tidak berjiwa
konsumtif dalam setiap perniagaan yang dilakukannya.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, "Seri PPN dan PPnBM - Cara Menghitung
PPN dan PPnBM", diakses dari http://www.pajak.go.id/content/seri-ppn-dan-ppnbm-
cara-menghitung-ppn-dan-ppnbm, pada tanggal 28 Maret 2018 pukul 23.22 WIB.
Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, "Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan
PPN & PPnBM Seri - PPN", diakses dari
http://www.pajak.go.id/sites/default/files/BookletPPN.pdf, pada tanggal 28 Maret
2018 pukul 23.40 WIB.
Leandri, Alban, "Pengertian e-Faktur: Jenis, Fungsinya, dan Contoh Faktur Pajak", diakses
dari https://www.online-pajak.com/id/pengertian-e-faktur-contoh-faktur-pajak, pada
tanggal 28 Maret 2018 pukul 22.25 WIB.
Mardiasmo, Perpajakan – Edisi Terbaru 2016, (Yogyakarta: ANDI; 2016).
Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi Slamet, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan
dan Implementasi di Indonesia, (Jakarta:

Anda mungkin juga menyukai