MEWAH (PPNBM)
DISUSUN OLEH :
FIA SETYAWAN (19030040)
IMAM PRABOWO (19030046)
ANDRI IRWANTO (19030041)
DOSEN PENGAMPU :
AGUS WIDODO, S.E., M.AK.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apabila dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari
Pajak Penjualan. Alasan penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak relevan
lagi dengan perkembangan zaman. Dan banyak aspek-aspek yang terbuka celahnya sehingga
dapat menimbulkan penyelundupan yang tidak dapat teratasi. Selain itu, Pajak Penjualan
mempunyai beberapa kelemahan lainnya seperti, mempunyai bermacam-macam tarif yang
menyulitkan para Subjek dan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya, dan adanya
pajak berganda. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan Pajak Penjualan mengalami
perubahan dari waktu ke waktu.
Pemerintah pun menyadari akan kekurangan Pajak Penjualan tersebut, oleh karena itu
diadakanlah revisi secara berkala pada Pajak Penjualan itu sendiri sehingga namanya dirubah
menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN sendiri memiliki beberapa forte (kelebihan)
yang menutupi Pajak Penjualan pendahulunya tersebut. Di antaranya seperti, menghilangkan
pajak berganda, menggunakan tarif tunggal, netral dalam persaingan dalam negeri,
perdagangan internasional, pola konsumsi dan juga dapat mendorong ekspor. Oleh karena itu,
sebagai akademisi yang bergerak di bidang Ekonomi yang suatu saat nanti, perlu untuk
mempelajari materi perpajakan ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar pemungutan PPN dalam Objek, tarif dan perhitungan?
2. Apa saja persyaratan dan fungsi Faktur Pajak?
3. Bagaimana cara perhitungan PPN, dasar pengenaan PPnBM, dan penerapan tarif
serta pelaporannya?
BAB II
PEMBAHASAN
2
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang PPN 1984. Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak Tidak Berwujud”
adalah:
a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian
atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses
rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau
hak serupa lainnya;
b. Hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
c. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial,
atau komersial;
d. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan
atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada huruf a, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada huruf b, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada huruf c, berupa:
Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara
atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit,
kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman
suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan
melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spectrum
radio komunikasi;
e. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films),
film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
dan
f. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut di atas.
Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali undang-undang menetapkan
sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya, seperti:
Minyak mentah (crude oil);
Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat;
Panas bumi;
Asbes, batu tulis, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonite, dolomit,
feldspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit,
kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan
kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers
earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal,
dan trakkit;
Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak,
serta bijih bauksit.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
seperti:
Beras;
Gabah;
Jagung;
Sagu;
Kedelai;
Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain,
dan/atau direbus;
Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,
diasinkan, atau dikemas;
Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya,
dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah
melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading,
dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan,
dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang
dicacah.
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang
diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering; dan
d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi, dan lainnya)
3
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN
1984.
a. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak:
Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan untuk menjadi pengusaha kena
pajak.
Memungut PPN dan PPnBM yang terutang.
Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran
lebih besar daripada pajak masukan yang dapat dikreditkan serta
menyetorkan pajak penjualan atas barang mewah yang berutang .
Melaporkan penghitungan pajak.
b. Pengecualian kewajiaban pengusaha kena pajak
Pengusaha kecil
Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang atau jasa yang tidak
dikenakan PPN.
4. Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000,- (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000,- (empat miliar delapan ratus juta
rupiah). Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000,- (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil:
a. Dilarang membuat faktur pajak.
b. Tidak wajib memasukkan SPT Masa PPN.
c. Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan.
d. Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, bagi pengusaha kecil yang
memperoleh peredaran bruto di atas batas yang telah ditentukan.
5. Penyerahan Barang Kena Pajak
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang
Kena Pajak. Penyerahan barang kena pajak yang termasuk dalam pengertian penyerahan
BKP adalah:
a. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian;
b. Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa
guna usaha (leasing);
c. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP4;
e. BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
BKP antar cabang;
g. Penyerahan BKP secara konsinyasi; dan
h. Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap
langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP.
Sedangkan penyerahan barang yang tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan BKP adalah:
a. Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang;
b. Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang;
c. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
BKP antar cabang dalam hal PKP melakukan pemusatan tempat pajak
terutang;
d. Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan
pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
e. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak
Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan.
6. Objek Pajak Pertambahan Nilai
a. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Syarat-syaratnya adalah:
4
Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP;
Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP Tidak Berwujud;
Penyerahan dilakukan dalam Daerah Pabean; dan
Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
b. Impor BKP;
c. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Syarat-syaratnya adalah:
Jasa yang diserahkan merupakan JKP;
Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
d. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
e. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. Ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
h. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
pihak lain;
i. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan.
7. Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Dengan pertimbangan bahwa:
a. Perlu keseimbangan pembebanan pajak Antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi
b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah
c. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
d. Perlu untuk mengamankan Negara
Maka atas penyerahan BKP yang Tergolong Mewah oleh produsen atau impor
BKP yang Tergolong Mewah, disamping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi; dan/atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status;
PPnBM dikenakan atas:
a. Penyerahan BKP yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha
yang menghasilkan BKP yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah
Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
b. Impor BKP yang Tergolong Mewah.
PPnBM merupakan pungutan tambahan di samping PPN. PPnBM hanya
dikenakan 1 (satu) kali pada waktu penyerahan BKP yang Tergolong Mewah oleh
pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor BKP yang Tergolong
Mewah.
8. Tarif PPN dan PPnBM
a. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan
tarif PPN yang diterapkan sebesar 0% adalah sebagai berikut:
1. Ekspor BKP Berwujud
2. Ekspor BKP Tidak Berwujud
3. Ekspor JKP
b. Tarif PPnBM
Tarif PPnBM dapat diterapkan ke beberapa kelompok, yaitu tarif paling
rendah 10% dan paling tinggi 200%. Atas ekspor barang Kena pajak
(BKP) yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol
persen).PPnBM yang telah dibayar atas perolehan BKP yang tergolong
mewah yang diekspor dapat diminta kembali (restitusi).
9. Mekanisme Pengenaan PPN
a. Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada saat membeli JKP atau BKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual.
Ini merupakan pembayaran pajak di muka (Pajak Masukan).
Pada saat menjual BKP atau JKP wajib memungut PPN (Pajak
Pengeluaran). Ini sebagai bukti memungut PPN. Dan wajib membuat
faktur.
Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan surat
pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai.
Apabila masa pajak lebih kecil daripada jumlah masukan maka dapat
direstitusi. Dan apabila jumlah pajak pengeluaran lebih besar daripada
pajak masukan selisihnya disetor ke kas negara.
B. Faktur Pajak
Bukti pungutan pajak yang dibuat PKP yang melakukan penyerahan BKP atau
JKP. Yang harus dibuat pada:
a. Akhir bulan penyerahan barang atau jasa kena pajak
b. Setiap penerimaaan termin sebagai tahap pekerjaan
c. Saat lain yang diatur berdasarkan peraturan menteri keuangan republik
Indonesia
Fungsi Faktur Pajak:
a. Peran penting Faktur Pajak sangat berguna bagi PKP. Dengan adanya faktur
pajak maka PKP memiliki bukti bahwa PKP telah melakukan penyetoran,
pemungutan hingga pelaporan SPT Masa PPN sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
b. Jika tejadi kesalahan dalam mengisi faktur pajak, PKP dapat melakukan
pembetulan faktur pajak tersebut. Jika tidak dilakukan pembetulan sama
sekali, maka hal ini akan merugikan PKP yakni pada saat auditor memeriksa
pajak PKP.
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “A”.
2. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari
suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif
misalnya 35%.
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam
harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan
PPn BM yang terutang adalah :
a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
b. PPN = 10% x Rp50.000.000,00
= Rp5.000.000,00
c. PPnBM = 35% x Rp50.000.000,00
= Rp17.500.000,00
PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan
bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP
“D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun
dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.
A. Kesimpulan
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Penjualan yang
direstrukturisasi/dimodifikasi. Banyak kelebihan yang ditawarkan oleh PPN, salah satunya
dapat menghapus kewajiban pajak berganda. Untuk barang yang dianggap mewah ada
perlakuan khusus yang dinamakan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah). Tarif
untuk PPN sebesar 10 persen, sedangkan untuk PPnBM minimal 10 persen dan paling tinggi
sebesar 200 persen.
PPN dan PPnBM diterapkan untuk menarik pendapatan dari masyarakat
secara efektif dan efisien. Selain itu, keduanya diterapkan agar masyarakat tidak berjiwa
konsumtif dalam setiap perniagaan yang dilakukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, "Seri PPN dan PPnBM - Cara Menghitung
PPN dan PPnBM", diakses dari http://www.pajak.go.id/content/seri-ppn-dan-ppnbm-
cara-menghitung-ppn-dan-ppnbm, pada tanggal 28 Maret 2018 pukul 23.22 WIB.
Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, "Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan
PPN & PPnBM Seri - PPN", diakses dari
http://www.pajak.go.id/sites/default/files/BookletPPN.pdf, pada tanggal 28 Maret
2018 pukul 23.40 WIB.
Leandri, Alban, "Pengertian e-Faktur: Jenis, Fungsinya, dan Contoh Faktur Pajak", diakses
dari https://www.online-pajak.com/id/pengertian-e-faktur-contoh-faktur-pajak, pada
tanggal 28 Maret 2018 pukul 22.25 WIB.
Mardiasmo, Perpajakan – Edisi Terbaru 2016, (Yogyakarta: ANDI; 2016).
Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi Slamet, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan
dan Implementasi di Indonesia, (Jakarta: