Anda di halaman 1dari 62

[Document subtitle]

[DATE]
[COMPANY NAME]
[Company address]
DESA GHAIB

LINTASAN KERETA

DIOSETTA

1
Penulis : Diosetta
Ilustrator Cover : Luthfiandi

Cetakan pertama,September 2021


Hak cipta dilindungi undang-undang

Diosetta,
Desa Ghaib Lintasan Kereta /Diosetta-cet1,2021
1.Novel
ii. diosetta@gmail.com
2
“Mereka ada di
tengah-tengah kita? Tidak…
Kita ada di tengah-tengah
mereka”

3
PROLOG

4
Beberapa orang percaya , bahwa manusia saat ini hidup
berdampingan dengan makhluk tak kasat mata di tempat yang sama
namun di alam yang berbeda. Namun sulit untuk saling membuktikan
mengenai keberadaan mereka bagi orang-orang yang memang tidak
ditakdirkan untuk melihat atau berurusan dengan makhluk-makhluk ini.

Saat saya sedang menulis ini, saya sedang menyempatkan diri


untuk menginap di sebuah tempat , perumahan atau komplek yang
bersebelahan langsung dengan lintasan rel kereta api yang konon
menyimpan banyak misteri.

Bukan untuk mencari sosok keberadaan mereka apalagi


mengusik. Namun cukup banyak cerita yang diceritakan oleh warga
setempat mengenai sosok kemunculan makhluk-makhluk tersebut.

Kemunculan mereka ini seolah menunjukan adanya sisi lain dari


pemukiman di pinggir rel ini , seolah-olah mereka mendiami tempat
yang sama , namun di alam yang berbeda.

Yaitu sebuah Desa Ghaib di pinggir rel kereta api, tempat


dimana mereka berada berdampingan dengan kita namun di alam yang
berbeda.

Semua cerita di segmen ini merupakan kisah yang diceritakan


warga sekitar. Saya akan menyamarkan semua nama yang mungkin
memberi petunjuk mengenai keberadaan tempat ini. Namun saya yakin
beberapa dari pembaca atau pendengar bisa dengan mudah
mengetahui lokasi ini.

Oleh karena itu , diharapkan pembaca bisa menyingkapi dengan


bijak dan menjadikan cerita ini sebagai hiburan dan menghormati
keberadaan mereka baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat
mata.

5
CHAPTER I

RIANG TAWA

LINTASAN MALAM

6
Aku merenung di pinggir rel kereta api yang sudah dilintasi
berkali kali oleh kereta saat itu. Sudah hampir setengah malam aku
merenung di sini. Aku berfikir, mungkin saja kehidupan setelah mati
lebih indah daripada kehidupanku saat ini.

Satu-persatu aku menghitung hal baik apa yang ada di hidupku


sampai sekarang.

Pekerjaan? Ijasahku yang masih SMP membuatku menjadi


kandidat pertama dalam pengurangan karyawan di pabrik, dan lagi
hutang-hutangku yang menumpuk di perusahaan membuatku keluar
dari perusahaan dengan tanpa membawa uang pesangon sepeserpun.

Keluarga? Aku hanya hidup dengan istriku di sebuah rumah


kontrakan kecil di pinggir rel lintasan kereta ini yang kusewa dengan
harga murah karena belas kasihan dari pemiliknya.

Tidak ada hal baik dari pernikahan ini, hanya uang yang ada di
pikiran istriki. Bukan saja gajiku yang tidak pernah cukup, namun
ternyata istiku memiliki hutang ke seorang lintah darat yang bahkan
tidak dapat kubayar walaupun dengan gajiku selama bertahun-tahun.

Entah bagaimana aku harus bertahan hidup besok. Jangankan


untuk membayar para penagih hutang yang akan mendatangiku besok.
Untuk makan saja aku tidak tahu harus mencari ke mana lagi.

Aku tidak sanggup untuk pulang, sudah jelas Istriku anak


menyambutku dengan cacian seperti hari-hari sebelumnya. Apalagi
dengan keadaan seperti ini. Entah apa kesalahan yang telah kuperbuat
sampai semua hal buruk ini menimpaku.

Setidaknya dinginya malam di tempat ini cukup dapat


menenangkanku dan melupakan sejenak tentang permasalahan

7
hidupku , dan mungkin juga akan lebih baik seandainya ketenangan ini
tidak hanya sejenak…

….

“Sini-sini… kita main di sini”

Terdengar suara anak-anak bermain di sekitarku. Aku melihat


sekeliling, namun sama sekali tidak terlihat sumber dari suara itu.

“Di sini…”

Suara itu terdengar dari belakangku. Aku menoleh, dan ternyata


suara itu berasal dari beberapa anak kecil. Tidak terlalu kecil.. mungkin
mereka sudah seumuran anak smp.

“Hei… jangan main di sini.. bahaya” teriaku pada mereka.

Mereka semua menoleh ke arahku dan memandangku dengan


heran. Tak lama setelahnya tiba tiba raut wajah mereka berubah
menjadi senyuman.

“Mas ikut main yuk… “ ucap salah satu dari anak itu.

Aku hanya menggeleng dan tetap berusaha memperingatkan


mereka, Namun mereka terus saja bermain di sana tanpa menghiraukan
peringataku.

….

“Kena… Kamu jadi setanya” Ucap seorang anak yang lain yang
berhasil menyentuh temanya.

Anak-anak lain segera berlari meninggalkan seorang anak yang


saat ini bertugas menjadi setan untuk mengejar anak yang lain.

8
Tanpa sadar aku tersenyum sendiri, betapa indahnya menjadi
seorang anak kecil yang tidak memiliki beban dalam hidupnya.
Seandainya saja aku masih bisa merasakan hidup seperti mereka,
bermain tanpa kenal waktu dan tertawa puas tanpa beban.

….

“Kena! Sekarang mas yang jadi setanya..”

Sentuhan seorang anak dari belakang membuatku tersontak


dan menoleh ke arahnya. Namun anak itu segera berlari meninggalkan
ku.

“Ayo kejar… ayo kejar…” Ucap anak itu dengan nada yang
meledekku.

Anak anak lain juga meledeku dan sudah bersiap berlari bila aku
memilih untuk mengejar mereka. Awalnya aku bermaksud membiarkan
mereka, namun sepertinya tidak ada salahnya aku menangkap salah
satu dari mereka dan sedikit memberikan mereka pelajaran.

“Lari… “ ucap mereka yang segera menghindariku sambil


tertawa.

Aku mengejar salah satu yang terdekat dari posisiku. Cukup sulit
dengan umurku yang jauh diatas mereka untuk mengimbangi
kelincahan anak-anak itu, namun akhirnya tetap saja aku berhasil
menyentuh salah satu dari mereka dan berganti dialah yang mengejarku
dan anak anak yang lain.

Entah, mengapa ini terasa menyenangkan. Hanya dengan


permainan seperti ini dan bahkan bersama anak-anak yang tidak
kukenal aku bisa merasa sebahagia ini.

9
Aku meneruskan permainan yang menyenangkan ini dengan
mereka dan mulai bisa melupakan apapun yang akan kuhadapi di hari
esok, hingga akhirnya sebuah cahaya muncul menyinari kami dengan
lampunya yang sangat terang.

Suara lonceng kereta terdengar berkali kali dengan keras diikuti


suara bising klakson kereta yang berbunyi dengan sangat panjang.

Aku hanya memandang ke arah cahaya yang semakin dekat itu


hingga akhirnya semua suara bising itu menghilang dan lenyap dari
penglihatan dan pendengaranku.

…..

Ditemukan seorang pria yang belum diketahui identitasnya


tergeletak tak bernyawa di rel kereta dengan tubuh yang tercerai berai.
Lokasi rel tersebut tak jauh dari palang persimpangan besar tempat
yang juga merupakan tempat kejadian perkara kecelakaan sebelumnya.

Menurut saksi mata, dari setelah maghrib korban sudah terlihat


termenung di pinggir rel kereta setelah memarkirkan motornya tak jauh
dari warung milik saksi mata tersebut.

Saksi sudah beberapa kali memperingatkan untuk pergi, namun


korban hanya berdiri dan berpindah tempat tak jauh dari tempat
sebelumnya dan hanya mondar mandir di sekitar rel .

Polisi mengambil kesimpulan bahwa kejadian ini adalah khasus


bunuh diri yang mungkin dilatari dengan permasalahan keluarga atau
pekerjaan.

Jenazah korban segera dibawa ke Rumah sakit terdekat untuk


dilakukan otopsi lebih lanjut.

10
……………..

Sebuah bis dengan trayek Jawa timur menuju Yogyakarta


melaju dengan sangat kencang dengan membawa cukup banyak
penumpang.

PO bus ini memang menjadi primadona pada masanya karna


sangat diminati para penumpang yang rutin melalui perjalanan Jawa
tengah dan Jawa Timur.

Para penumpang sudah sangat mengenal Bus ini sebagai bus


yang selalu melaju dengan kecepatan tinggi sehingga mampu membawa
penumpang sampai ke tujuan dengan lebih cepat.

Kali ini, kebetulan penumpang bus sedang didominasi oleh


anak-anak SMP yang sedang dalam perjalanan wisata ke Yogyakarta.
Tidak ada yang aneh selama perjalanan dari jawa timur. Namun, saat
bus ini melintasi salah satu kota di Jawa tengah sang sopir tetap memacu
busnya dengan cepat seperti saat di jalur antar kota.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh , terdengar suara lonceng


kereta api menandakan akan ada kereta yang melintas membelah jalur
yang akan dilewati oleh Bus itu.

Sebenarnya saat sudah mendekati persimpangan kecepatan


bus saat itu tidak terlalu tinggi, namun suara lonceng penanda kereta
yang akan melintas tidak terdengar atau tidak dihiraukan oleh sang supir
hingga tiba-tiba tanpa sebab yang pasti, bus terhenti di tengah-tengah
rel tanpa palang itu.

Akhirnya.. sebuah kereta cepat yang melintas menabrak dengan


keras bus tersebut dengan seluruh penumpang yang berada di
dalamnya.

11
Hampir semua penumpang bus tersebut tewas seketika
termasuk anak-anak yang berada di dalam bus tersebut.

Kecelakaan tersebut akhirnya membuat marah masyarakat dan


PO Bus ini dijatuhi sanksi tidak boleh melayani trayek antar propinsi dah
hanya beroperasi sampai perbatasan Jawa Timur. Penumpang harus
dioper ke bus lain yang namanya juga masih terkenal hingga sekarang
karena jumlah kecelakaan yang sering dialami oleh bus tersebut.

Namun di tahun sembilan puluhan PO tersebut kembali


mendapat ijin untuk membawa penumpang hingga jawa tengah setelah
mengganti dengan nama lain.

Saat ini warga yang tinggal di sekitaran rel kereta tersebut masih
sering melihat kemunculan anak anak yang bermain di sekitaran
perlintasan. Hampir sebagian besar yang melihat adalah warga
pendatang yang tidak mengetahui bahwa anak-anak itu bukanlah
makhluk yang seharusnya bisa di lihat dengan mata manusia biasa.

Sering terjadi kejadian bunuh diri di rel dekat persimpangan ini.


Menurut warga sekitar , konon siapapun yang datang ke rel kereta api
di sini dengan niat untuk mengakhiri hidupnya, maka orang tersebut
tidak akan pernah gagal untuk melancarkan niatnya. Semua itu terjadi
dengan bantuan dari “mereka yang tak kasat mata” yang masih terus
berada dan meninggali tempat itu.

12
13
CHAPTER II

BAYANGAN

14
“Maaf pak saya sudah tidak bisa kerja di sini lagi” Ucap salah
seorang anak buahku yang sebenarnya sudah cukup lama bekerja di
bengkel las yang kutangani.
“Heh… tunggu dulu, ada masalah apa… cerita dulu” Balasku
yang mencoba menahanya agar tidak buru-buru mengambil keputusan.
“Nggak pak.. udah , bapak juga ga bakal percaya sama saya..
saya pamit” balasnya yang segera meninggalkan bengkel dengan
membawa tas yang berisi barang-barangnya.
Melihat keputusanya sudah bulat , aku tidak lagi menahanya
dan membiarkan karyawanku itu pergi. Lagi pula cukup mudah mencari
penggantinya dengan kondisi lapangan pekerjaan yang semakin menipis
di saat ini.

“Kopi satu mas…” Ucapku pada seorang pemuda di angkringan


langgananku.
Tanpa menunggu lama segelas kopi hitam panas sudah disajikan
di hadapanku lengkap bersama tatakanya seperti biasa.

“Karyawanya berhenti lagi to pak?” Tanya pedagang itu padaku.


“Iya nih… kamu ada kenalan yang bisa gantiin ga?” Jawabku
yang berharap bisa mendapatkan informasi lagi dari dia.

“Nanti saya tanyain ke yang sering jajan di sini deh pak, tapi saya
ga janji ya… soalnya gosip tentang bengkel bapak itu udah cukup
nyebar” Jawab Pemuda itu.
Aku menyeruput kopiku dan menarik nafas panjang sebelum
membalas perkataanya.

15
“gosip apa lagi sih… makhluk halus? Namanya tinggal dan punya
usaha di pinggir rel kereta sudah pasti ada gosip begituan… tinggal
kitanya mau fokus kerja apa jadiin gosip itu alasan” Jawabku pada
pemuda itu.

“Kemarin gosip hantu anak-anak di rel, nenek-nenek, sekarang


giliran bengkel saya yang kena…”

Pemuda itu hanya mengangguk namun jelas terlihat ia belum


sepenuhnya menerima alasanku. Memang hampir semua karyawan
yang mengundurkan diri mengaku mendapat gangguan saat bekerja di
bengkel. Namun semua itu sama sekali tidak pernah terbukti.

Setelah menyelesaikan istirahatku , aku segera kembali ke


bengkel dan mengecek pekerjaan karyawanku. Namun bukanya
bekerja, mereka malah berkumpul seolah membicarakan sesuatu.
“Heh… kenapa pada ngegosip.. kerjaan masih banyak” Ucapku
pada mereka.
Tarjo datang menghampiriku dan mencoba menjelaskan.
“I.. ini pak, lampu ruang las meledak lagi… ini sudah ketiga
kalinya” Jelasnya.

“berarti aliran listriknya yang bermasalah, udah coba


dibenerin?” Balasku.
“Sudah pak… tidak ada masalah apa-apa, sumber listriknya juga
sama dengan yang lampu luar, tapi yang luar ga pernah ada masalah”
Ceritta Tarjo.
Aku mencoba melihat lokasi lampu yang meledak, tempatnya
ada di ujung ruangan tempat menyimpan peralatan berat.

16
“Ya sudah biarin dulu… kalian kerja di sisi lain atau ruangan lain
dulu.. nanti malam lembur ya , itu teralis mau diambil sama yang pesan
besok.” Perintahku.
Tarjo dan karyawan lain saling memandang seolah tidak setuju,
namun mereka tak berani membantahku.

….

Malam semakin larut , namun masih banyak pekerjaan yang


harus diselesaikan.
Aku melakukan pengecekan hasil kerja yang sudah selesai
sambil mempersiapkan makanan yang kupesan untuk istarahat mereka
nanti.
Suara bising pekerja masih terdengar cukup riuh , sampai tiba-
tiba suara itu tidak terdengar dan seorang karyawan menghampiriku.
“Pak… mesinya tiba-tiba macet, udah di utak atik tetap ga mau
nyala” ucapnya.

“Rusak gimana? Udah di cek sekringnya?” Tanyaku.

“Sudah pak, saya cek ga ada yang rusak.. tapi ga tau kenapa ga
mau nyala” jawabnya dengan bingung.

Aku tidak percaya dan segera mengecek mesin las yang mereka
gunakan, dan sekilas memang tidak ada yang rusak dan lagi kenapa
semua mesin mereka bisa rusak secara bersamaan.

“Pak… jangan-jangan kita diisengin..” Ucapnya padaku.

“Di isengin? Di isengin apa maksud kamu?” Tanyaku.

17
“diisengin sama penunggu sini pak… “ lanjutnya lagi.
Aku hanya menggeleng-geleng mendengar ucapan karyawanku
yang satu ini.
“Nggak… mungkin mesinya cuma panas.. , ya udah istirahat dulu
aja, tuh udah saya siapin makanan” Ucapku pada mereka.

Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil


mengisi perut.

Seperti biasa , aku makan di ruang dalam terpisah dari karyawan


yang memilih makan di luar sambil merokok. Memang hanya nasi sayur
biasa, namun bila dimakan dengan kondisi lelah seperti ini rasanya
melebihi masakan di restoran mahal.
Dari luar suara bising mulai terdengar. Rupanya mereka sudah
menyelesaikan makanya dan melanjutkan pekerjaanya kembali.
Aku menoleh pada bungkusan makanan yang masih utuh.. itu
jatah Tarjo. Seingatku Tarjo masih mengerjakan pekerjaanya di ruangan
yang lampunya meledak tadi siang. Mungkin karyawan lain lupa
memberi tahunya untuk istirahat makan dulu.
Dari celah jendela aku menoleh dan melihat Tarjo masih ada di
tempatnya bekerja.
“Tarjo… udah istirahat, makan dulu… “ Ucapku memanggil ,
namun Tarjo masih sibuk sendiri dengan pekerjaanya.
Merasa khawatir , aku mengambil bungkusan nasi itu dan
mengantarkan makanan jatah Tarjo ke ruangan alat berat yang masih
remang-remang dengan lampu yang masih rusak.
“Tarjo.. makan dulu” Ucapku, Namun dia masih sibuk dengan
pekerjaanya dan tidak menghiraukanku di sudut ruangan yang cukup
gelap.

18
Aku semakin mendekat dan mulai merasa ada yang aneh. Tidak
mungkin Tarjo bisa bekerja di ruangan remang-remang apalagi di sudut
yang gelap seperti ini.
Dengan kedatanganku Tarjo masih tidak menoleh, hingga
akhirnya aku mencoba menepuk pundaknya.
“Tar… jo…”
Ucapanku terhenti ketika yang menoleh bukanlah Tarjo
karyawanku.
Yang menoleh adalah sesosok makhluk menyerupai Tarjo
dengan wajah yang rusak sebelah. Satu bola matanya menggantung di
sisi wajah yang tidak terlapisi kulit.
Seketika tubuhku lemas, jangankan untuk berlari.. berdiri saja
sudah sangat sulit.
“To.. tolooong!” ucapku yang berusaha meninggalkan makhluk
itu sekuat tenaga dan menghampiri karyawanku di luar.
Aku memaksa kakiku merangkak keluar, namun makhluk itu
masih terus menatapku.
suara besi dipukul dan suara mesin terdengar dari pekerjaan
karyawanku diluar. Ternyata ucapan mereka benar. Bengkel kami yang
terletak di pinggir rel ini memang dihantui makhluk halus.
“Tolong! Tarjo.. siapa saja, Tolong!” Aku berteriak menghampiri
karyawanku.
Namun ternyata suara bising di luar bukan berasal dari
pekerjaan karyawanku.
Seorang anak kecil pucat dengan tubuhnya yang penuh luka
sedang memainkan mesin las yang tidak digunakan.
Di atas pohon duduk seorang nenek-nenek tua yang
menyeringai dengan gigi hitamnya..
Dan saat aku menoleh , disebelah kiriku terdapat seorang pria
sedang memainkan palunya ke besi dengan wajahnya dan hancur dan
badanya yang tinggal setengah.
19
Kakiku semakin lemas dan hampir kehilangan kesadaran.
Namun aku harus memaksa diriku untuk meninggalkan tempat ini.
Akhirnya dengan sekuat tenaga aku berhasil mencapai pagar
seng dan keluar menuju jalan raya yang bersebelahan langsung dengan
rel kereta.
Aku berlari dengan tergopoh-gopoh, terlihat remang-remang
lampu tukang angkringan langgananku masih menyala dan ada orang di
sana.
“Itu… itu bosmu”
Terdengar suara pedagang angkringan yang berbicara pada
seseorang sambil menunjuk ke arahku.
Seseorang muncul dari tenda angkringan itu, itu Tarjo .. dia
segera berlari dan mencoba membantuku.
“Bos… bos gapapa?” Tanya Tarjo padaku.

“Bener kata kamu jo… Bengkel itu isinya demit semua..” Ucapku
sambil terengah-engah.

Tarjo mengambilkan kursi dan membiarkanku duduk.

“Maaf ya bos.. tadi semua karyawan pada kabur pas lihat


penampakan di luar, terus saya ingat bos masih di dalam.. .jadi saya
tungguin di sini takut kenapa-kenapa” Cerita Tarjo.
Rupanya pada saat kami mulai istirahat, seluruh karyawan
sudah diganggu oleh kemunculan makhluk penunggu rel di depan
bengkel dan akhirya melarian diri. Suara bising yang kudengar setelah
selesai makan rupanya bukan suara dari pekerjaan mereka.
“Ini pak.. kopinya, kayak biasa kan” Ucap pedagang angkringan
menyuguhkan kopi untuk menenangkanku.

20
Aku berpindah tempat duduk ke tempat yang lebih terang dan
bersiap menyeruput kopiku. Namun wajah Tarjo dan penjual angkringan
itu terlihat aneh. Wajahnya terlihat pucat seperti melihat sesuatu.
“Jo… apa itu Jo” Ucap pedagang angkringan itu sambil melihat
ke arahku.

Wajah mereka menjadi semakin pucat, dan sebelum aku


sempat bertanya mereka sudah lebih dulu berlari meninggalkanku di
warung ini sendirian.

Aku merasa ada yang tidak nyaman, hawa merinding masih


menyelimuti tubuhku. Hingga aku memutuskan untuk menengok ke
tembok belakang.

Untungnya tidak ada apa-apa, hanya bayanganku yang muncul


karena disinari oleh lampu angkringan ini.

Tapi tunggu.. bayangan itu tidak hanya satu.

Di sebelah bayanganku terdapat sebuah bayangan yang


menyerupai nenek-nenek…

di sisi satunya terdapat bayangan makhluk tinggi besar ,


beberapa bayangan menyerupai anak kecil dan sebuah bayangan yang
hanya membentuk setengah badan dengan mata yang menatap
kearahku ….

21
22
CHAPTER III

DUA SEJOLI

PENANTI MALAM

23
“Sabar ya… nanti kalau aku sudah siap pasti aku ajak orang
tuaku” Ucapku pada kekasihku Niar yang masih saja merajuk soal
pertunangan kami di perjalanan pulang dengan sepeda motorku.
“Aku kurang sabar apa mas? Kamu sudah lulus… sudah kerja…
nunggu apa lagi?” Niar masih mempertahankan pendapatnya.
Memang hubungan pacaran kami sudah berjalan cukup lama,
mungkin lebih dari lima tahun. Bukanya aku tidak ingin menikahinya,
walaupun sudah memiliki pekerjaan , kondisi finansialku masih jauh dari
mapan untuk membahagiakanya.
“Kamu jangan maksa aku! Menikah itu ga gampang… kalau nanti
kita hidup susah , pasti aku juga yang kamu salahin!” Balasku dengan
nada yang penuh emosi.
Suara isak tangis terdengar dari Niar, sepertinya ia tidak dapat
lagi menahan emosinya setelah perdebatan ini.
“Setelah kita berpacaran selama lima tahun, kamu masih bisa
berfikir aku orang seperti itu?” Ucapnya.
Entah, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat
emosiku semakin memuncak.
“Kalau kamu memang tidak mau melanjutkan hubungan ini…
lebih baik kita hentikan di sini..” Ucap Niar lagi yang bercampur dengan
suara tangisan.
Aku segera menghentikan motorku dan menyuruhnya turun.
“Kamu mengancam?” Ucapku dengan marah.
Niar terlihat hanya menangis tanpa membalas pertanyaanku.
“Atau jangan-jangan kamu sudah punya calon lain yang lebih
siap menikahimu?”
Entah bagaimana emosiku bisa membuatku berkata seperti itu.
Yang aku tahu semua ucapanku ini hanya membuatnya semakin
menangis.
“Sudah mas… sudah… ga usah dilanjutin lagi”
Niar berusaha menghentikan ucapanku.
24
“Kamu yang mulai semua ini.. sekarang kita perjelas semuanya”
“Sudah mas.. sudah… cukup!” Potong Niar.
“Kalau kamu memang tidak berniat melanjutkan hubungan ini,
tinggalin aku disini… Aku ga mau sakit lebih dari ini” Ucap Niar air mata
yang tertumpah di pipinya.
Aku tidak bisa mendapat paksaan seperti ini , pemikiran bodoh
untuk menikah dalam kondisi seperti ini. Sepertinya Niar tidak berfikir
sejauh itu.
“Baik kalau itu mau kamu… kita selesai sampai di sini!”
Ucapku dengan penuh emosi dan meninggalkan Niar menangis
sendiri di jalan raya tepat di pinggir rel kereta api.
…..
Entah apa yang merasukiku hingga bisa berbicara sekejam itu
pada Niar , dia adalah wanita yang baik. Namun akhir-akhir ini tingkahnya
berbeda , seolah banyak hal yang dirahasiakan olehku. Namun sepertinya
meninggalkanya di pinggir jalan malam-malam seperti ini adalah hal yang
keterlaluan.
Aku berhenti beberapa ratus meter dari tempatku
meninggalkan Niar. Setidaknya dari sini aku bisa mengawasinya hingga ia
menaiki angkutan umum.
Sebuah warung angkringan terlihat didekat tempatku berhenti.
Aku memarkirkan motorku dan beristirahat di sana sambil mengawasi
Niar yang terlihat sendiran di jalan.
“ Mas… kopi hitam satu ya” Ucapku pada pemuda yang bertugas
menjaga angkringan itu.
Dengan sigap, pemuda itu membuat secangkir kopi hitam dan
menyuguhkan kepadaku.
“Sendirian mas?” Ucapnya sambil menyerahkan secangkir kopi
hitam panas ke hadapanku.
“Iya mas… ngantuk, jadi ngopi dulu aja” Balasku.

25
Pemuda itu membereskan beberapa barangnya dan bersiap
untuk pergi.
“Mas, saya tinggal ngambil nasi dulu ya di ujung gang… tolong
titip sebentar” Ucapnya tanpa curiga sedikitpun padaku.
“Monggo mas… santai, tak jagain” Balasku.
Aku menyeruput kopiku sedikit demi sedikit, setidaknya rasa
hangat dari kopi ini mampu sedikit meredakan emosiku.
“Kulo nuwun… permisi”
Tiba tiba seorang perempuan masuk ke tenda angkringan. Dari
caranya berpakaian , mungkin dia salah satu warga sekitar sini.
“Mas… yang jaga biasanya kemana ya?” Tanyanya padaku.
“oh.. lagi ngambil nasi sebentar, ditunggu aja ya…” Jawabku.
Wanita itu setuju dan dengan sabar menunggu kedatangan
pemilik angkringan ini. Namun setelah cukup lama , pemuda itu tidak
datang juga.
Aku menunggu dengan gelisah, Niar belum juga terlihat di jalan
padahal angkutan umum belum ada yang lewat satupun. Berkali kali aku
mengintip keluar tenda hingga membuat wanita itu merasa curiga.
“Masnya nungguin siapa?” Tanya wanita itu.
“Oh… enggak, nungguin yang jaga juga kok” Jawabku memberi
alasan namun sepertinya wanita itu sedikit tidak percaya.
“Bagus deh mas… soalnya kalau malam jalanan di sini
berbahaya, banyak perempuan yang di culik, atau dirampok di sekitar sini
malam-malam.. “ Ucap wanita itu menakut-nakuti.
Spontan aku menoleh ke arah wanita itu, ucapnya berhasil
membuatku memikirkan keselamatan Niar.
“Wah… jangan becanda mbak, mbaknya sendiri juga keluar
malem-malem sendiran” Balasku mencoba mencairkan suasana.
“Kalau saya sudah biasa mas, saya kan warga sini…. Orang sini
kenal saya semua” Jawabnya dengan santai.

26
Aku tidak lagi membalas kata-katanya. Ucapanya itu jelas
membuatku semakin cemas. Berkali-kali aku menoleh ke arah luar
berharap melihat Niar segera muncul dari kegelapan melintasi tempatku
menunggunya ini.
“Benar masnya nggak nunggu siapa-siapa?” Sekali lagi wanita
itu menanyakanku.
Aku menarik nafas, sepertinya tidak mungkin aku berbohong
lagi.
“Saya nungguin teman saya mbak, tadi kami berantem..
seharusnya dia berjalan melewati tempat ini.”
Wanita itu tersenyum mendengar pengakuanku.
“kalau masnya cemas lebih baik mas samperin teman mas itu…”
ucap wanita itu.
Aku hanya menggeleng sambil tersenyum. Tak mungkin aku
kembali setelah perbuatanku padanya.
Nampaknya reaksiku membuat wanita itu merasa kecewa.
Setelah cukup lama tiba-tiba wanita itu menengok keluar seolah
melihat sesuatu.
“Teman masnya yang itu bukan?” ucap wanita itu.
Aku menoleh keluar , dan benar.. Niar mulai terlihat dari ujung
jalan. Namun… tak jauh di belakangnya terlihat ada seorang pria berbaju
lusuh yang mengikutinya.
“Iya.. itu teman saya, tapi.. siap laki-laki dibelakangnya itu?”
Ucapku pada wanita itu.
Namun saat aku menoleh , wanita itu tidak terlihat di
tempatnya. Mungkin saja wanita itu memutuskan untuk pulang karena
terlalu lama menunggu.
Rasa cemasku pada Niar membuatku tidak mencari tahu
keberadaan wanita itu. Dengan segera aku meninggalkan gelas kopiku
dan bermaksud memanggil niar.
“Niarrr Awass!” Teriaku dari jauh. Namun dia masih terlalu jauh.
27
Aku berlari menghampirinya, namun seorang pria di
belakangnya terlihat semakin dekat dengan menyembunyikan tanganya
di kantong jaketnya.
Pemandangan itu membuatku merasa khawatir. Apalagi Niar
terlihat sangat lemah dengan wajahnya yang masih mencoba menahan
tangis.
Di depan Niar terlihat sebuah bangunan tua yang tidak
berpenghuni. Sesosok bayangan pria juga muncul dari sana seolah
merencanakan sesuatu.
Ucapan wanita di angkiran tadi soal wanita yang dirampok
benar-benar terbayang di pikiranku. Dengan rasa cemas aku berlari
secepat mungkin berharap bisa mencapai Niar sebelum pria-pria itu
menyergapnya.
Pria di belakang Niar terlihat semakin dekat, dan sedikit lagi Niar
akan sampai di hadapan bangunan tua yang gelap yang sangat fatal
apabila terjadi apa-apa terhadap Niar di sana.
Aku berlari- dan terus berlari berharap masih sempat
menolongnya. Namun tiba-tiba sebuah cahaya bersinar dari ujung jalan
mengarah ke arah Niar.
Sebuah mobil angkutan umum menyusul Niar dan berhenti di
hadapanya.
Tak lama setelahnya aku tidak lagi melihat Niar di jalan.
Aku menoleh ke arah angkutan umum itu, terlihat dari jendela
Niar melihat ke arahku dengan wajahnya yang sangat pucat.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan teriak sekuat tenaga
meluapkan emosiku. Seandainya terjadi apa-apa dengan Niar di jalan ,
aku pasti tidak akan mampu memaafkan diriku sendiri.
Sebuah kebodohan melakukan hal ini terhadap wanita yang
paling kusayangi. Perlahan aku kembali ke motorku dengan penuh rasa
menyesal. Seandainya masih ada kesempatan, aku akan menemui Niar
dan meminta maaf atas kebodohan ini.
28
Kejadian tadi sudah benar-benar menyadarkanku betapa
sayangnya aku kepada Niar.

Aku kembali ke tempat motorku diparkir , tepat di sebelah
warung angkringan.
Terlihat di sana seorang perempuan yang sedang duduk
menunggu pesanananya di antar. Mungkin saja, itu wanita yang tadi.
Namun saat aku masuk ke tenda, ternyata bukan wanita tadi
yang kutemui…
Melainkan Niar yang sedang menungguku di sana dengan
menahan tangis.
“Mas…. Maafin Niar” Ucapnya padaku.
Tanpa berkata sepatah katapun aku segera menghampirinya
dan memeluknya.
Selama lima tahun berpacaran, belum pernah aku sebahagia ini
memeluknya, dan belum pernah aku merasa seberharga inilah
keberadaan Niar di sisiku.
“Maafin mas ya Niar.. Besok mas akan bilang ke bapak untuk
ngelamar kamu” Ucapku.
“Mas ga peduli seperti apa jatuh bangun kehidupan kita nanti,
buat mas keberadaan Niar sudah cukup membuat mas bahagia”
Niar tidak membalas ucapanku. Ia hanya menangis tanpa henti.
Entah mengapa Niar bisa seemosi ini, mungkin perbuatanku
memang sudah keterlaluan terhadapnya.
“Maafin aku mas… aku belum berani jujur sama mas sampai bisa
begini” Ucapnya sambil menahan tangis.
“Aku ga mau terlalu membebani mas , Niar Cuma bisa menuntut
mas untuk menikahi Niar”
Sebuah benda dikeluarkan dari tasnya. Aku mengenali benda
itu, namun aku masih memastikan dari penjelasan yang akan Niar
ucapkan.
29
“Seminggu setelah kita menginap di Jogja kemarin… Niar
merasa ada yang aneh. Hingga setelah beberapa minggu , Niar nyoba
periksa.. dan ternyata benar, Niar Hamil mas…”
Aku tersontak, ucapan Niar saat itu membuatku seperti
mendapatkan sambaran petir.
Bukan, bukan karena kehamilanya. Aku tau dengan jelas, itu
adalah hasil perbuatanku. Betapa brengseknya aku telah melakukan
perbuatan tadi di saat Niar sedang menanggung beban sebesar ini.
“Kenapa Niar baru bilang…? “Ucapku sambil menghapus air
mata di pipinya.
“Mas akan tanggung jawab, Mas akan menikahi Niar apapun
resikonya… Sekarang jangan nangis lagi ya, kita tanggung ini bersama-
sama”
Niar mengangguk dan menghabiskan tangisanya di pelukanku.
Setelah pemilik angkringan kembali, aku segera memesankan
teh hangat untuk Niar membiarkanya sedikit lebih tenang.
“Lho… ini pacarnya mas? Kok bisa tiba-tiba ada di sini” Tanya
pemuda itu.
“Iya, tadi nyusul naik angkutan umum” Jawabku seadanya
mencegah perbincangan yang lebih jauh.
Pemuda itu mengerti dan hanya melanjutkan pekerjaanya.
“Mas… sebenernya tadi ada alasan kenapa Niar turun dari
angkutan umum dan nunggu di sini” Ucap Niar tiba-tiba.
“Saat diangkutan umum, Niar melihat seorang perempuan
sedang duduk di motor mas… pakaianya seperti orang rumahan biasa,
tapi sekilas Niar lihat wajah perempuan itu hancur tak berbentuk”
Mendengar ucapan Niar si penjaga angkringan meninggalkan
pekerjaanya dan memperhatikan ucapan Niar.
“Niar khawatir sama mas, makanya niar turun dan jalan ke sini..
tapi ternyata makhluk itu udah ga ada”

30
Aku merasa heran, namun sepertinya si pemilik angkringan
ingin menceritakan sesuatu.
“Banyak mbak yang melihat dia… tepi tenang, dia ga pernah
ngeganggu kok”
Sambil membersihkan meja pemuda itu melanjutkan ceritanya.
“Kadang dia juga sering terlihat berdua bersama kekasihnya,
Biasanya yang cowo wujudnya menggunakan jaket dan tidak memiliki
lengan” Ucapnya.
Cerita dari pemilik angkringan itu mengingatkanku pada
seseorang yang mengikuti Niar dari belakang.
“Mereka adalah roh sepasang kekasih yang bunuh diri di Rel
kereta api ini….”

Cerita pemilik angkringan itu terhenti dengan melintasnya satu


rangkaian kereta yang cukup panjang tepat di rel kereta di belakang
angkringan ini.
Aku menoleh ke arah rel tersebut. Samar-samar terlihar dari
sela-sela kereta sepasang kekasih bergandengan di sebrang rel dengan
wajah yang tidak berbentuk dan anggota tubuh yang sudah tidak lagi
utuh.

31
“Nggak mas… aku ga mau pisah sama mas” Ucap seorang wanita
yang baru saja menerima amukan dari keluarganya.
“Mas juga… tapi mas juga ga mungkin melawan kedua orang tua
mas” Seorang pria terlihat putus asa menerima takdirnya ini.
Hubungan mereka sudah berjalan cukup lama, namun sejak
awal kedua orang tua mereka memang tidak pernah menyetujui
hubungan mereka.
Kedua pasangan ini berharap, suatu saat hati kedua orang tua
mereka akan luluh dan menerima hubungan mereka. Sayangnya keadaan
malah berubah semakin buruk. Kedua orang mereka memaksa mereka
untuk berpisah dengan berbagai cara.
Berbagai sumpah serapah diucapkan oleh orang tua si pemuda
kepada kekasihnya yang membuatnya tidak bisa berhenti menangis.
Tekanan yang mereka terima membuat mereka tidak sanggup lagi
menerima siksaan itu.

Di suatu malam yang sepi, terlihat sepasang kekasih berpelukan


di pinggir rel kereta api. Itu adalah suatu pemandangan yang biasa dilihat
oleh warga yang lewat saat itu sebagai kenakalan remaja. Namun
sebenarnya mereka tidak pernah tau permasalahan apa yang menimpa
keduanya.
Suara klakson kereta terdengar dari jarak yang cukup jauh,
cahaya putih dari lampunya menerangi sepanjang jalur rel kereta yang
sebelumnya terasa sangat gelap.
Kedua sejoli itu berdiri menuju tempat yang tidak seharusnya
mereka datangi.
Mereka berpelukan dengan erat sambil menutup mata mereka
menyambut kedatangan sesuatu yang akan menyelesaikan semua
permasalahan dan kesedihan yang mereka hadapi.

32
Di pagi hari warga berkumpul di pinggir rel kereta didampingin
dengan beberpa mobil polisi dan tim pencari.
Terlihat seorang ibu menangis sambil menarik sebuah baju yang
masih tersemat di badan seorang pria yang sudah terbelah menjadi
beberapa bagian.
Di sisi lain seorang pria yang sudah sangat berumur juga
berusaha menahan tangisnya sambil melihat wajah jasad seorang wanita
yang sudah hancur yang tidak lain adalah anaknya sendiri.
Penyesalan sudah terlambat. Mereka tidak pernah menyangka,
keegoisan mereka tenyata bisa membunuh orang-orang yang
sebenarnya sangat mereka sayangi.
Yang tersisa hanya penyesalan yang tak mungkin terjawab
Dan kisah mengenai sosok roh sepasang kekasih yang sering
terlihat di sekitar rel kereta api tempat mereka mengakhiri penyiksaan
yang mereka alami

TAMAT

33
CHAPTER IV

PENUNGGU

34
Tiupan angin yang sejuk membuatku merasa nyaman di tempat
ini. Saking nyamanya, aku sampai betah berjam-jam menunggu ada
tanda-tanda pergerakan dari umpan pancing yang sudah kulepaskan
sejak dari tadi.
“Belum dapet-dapet Jon?” Ucap temanku Darno yang juga
menghabiskan waktu bersamaku di kali pinggir rel kereta api ini.
“Dapet satu… tapi kecil, ya sudah tak lepas lagi..” Balasku.
Entah… sejak dari pagi umpanku jarang sekali disukai oleh ikan-
ikan di sini. Hanya ikan-ikan kecil saja yang terlihat mengincar umpanku.
Padahal saat aku mengintip Ember Darno sudah cukup banyak ikan yang
memenuhi Embernya.
“Aku tak pindah ke sana saja no… siapa tau ikan di sana lebih
bersahabat sama pancinganku” Ucapku sambil meninggalkan Darno
menuju tempat yang sedikit tersembunyi.
Aku melemparkan kailku dan memasang ganjalan pada kayu
pancingku agar saat ada ikan yang memakan umpanku aku bisa segera
sadar dan menariknya.
Sama saja seperti tadi… tidak ada satupun ikan yang
menghampiri umpanku hingga aku mulai mengantuk.
“Srrrt…..”
Mendadak terdengar suara dari pancingku.
Aku tau, saat ini ada seekor ikan yang sedang memakan
umpanku.
Dengan segera aku menggenggam tongkat pancingku dan
berusaha menarik ikan itu. Namun ternyata tidak semudah itu.
Hampir saja aku terjatuh ke dalam kali karena kuatnya tenaga
ikan yang menariku. Namun aku tidak mau kalah… aku mengganjalkan
pancingan ke salah satu pohon dan menjadikan sebuah batu sebagai
picakan untuk menariknya.
Ternyata usahaku berhasil… ikan itu mulai mengikuti ritmeku
hingga bayanganya mulai terlihat di permukaan air.
35
Tunggu.. walaupun perlawananya cukup kuat, aku tidak pernah
menyangka bayangan ikan yang hidup di kali ini bisa sebesar ini.
Aku cukup ragu untuk mengangkatnya, namun tidak ada yang
dapat membunuh rasa penasaranku kecuali melihatnya sendiri.
Segera aku mengambil saringan ikan dan menyerok ke arah
bayangan yang masih menempel di ujung kailku.
Ikan itu melompat mencoba melawan berkali-kali… Namun aku
cukup panik saat wujudnya mulai terlihat.
Ternyata itu adalah seekor ikan lele… hanya saja ukuranya
sangat tidak biasa, hampir bisa menyamai ukuran lengan tanganku.
Dengan segera aku membawa ikan itu ke ember besar yang
berisi air dan bersiap memamerkanya ke Darno.
“Tuh kan… sabar pasti adah buahnya! Liat nih…” Ucapku sambil
memamerkan isi emberku.
Darno meninggalkan pancinganya dan melongokan kepalanya
kearah emberku yang dipenuhi hanya oleh satu ekor ikan lele saja.
“Widih…. Gede banget, itu ikan beneran?” Ucap Darno yang
merasa takjub.
“Beneran lah… emangnya balon?” Balasku.
Darno hanya menggeleng takjub melihat besarnya ikan yang ku
tangkap itu namun tiba-tiba reaksinya berubah dan berjongkok
memperhatikan ikan itu.
“Kenapa no?” Tanyaku yang penasaran.
Darno masih serius memperhatikan ikan lele raksasa itu.
“Eng..enggak… kok kayaknya tadi aku ngeliat matanya ikan ini
kedip ya? Kayak mata manusia gitu…” Ucapnya.
Aku memperhatikan ikan lele itu , namun tidak ada keanehan
sama sekali.
“Mana enggak kok, biasa aja matanya” Jawabku yang memang
tidak menemukan keanehan apa-apa dari ikan ini.

36
“Kamu yakin mau dibawa pulang? Ga dilepasin lagi aja?” Ucap
Darno.
“Enggak lah… tak bawa pulang buat lauk ntar, toh seharian ini
Cuma ikan ini yang kudapat” Ucapku.
Nampaknya Darno juga tidak berniat menahanku hingga
akhirnya kami berdua pulang menuju rumah masing-masing.

“Bu!! Lumayan nih… dapet lele” Teriaku saat masuk kedalam


rumah.
Istriku Rini dan anaku Adri segera keluar menyambutku.
“Wah… dapet banyak ya pak?” Tanya Rini.
“Cuma satu…tapi liat nih, gede banget kan?” Ucapku dengan
bangga.
Mereka melihat seekor lele besar yang masih berenang di
ember yang kuisi air dan terlihat wajah mereka juga cukup takjub.
“Ya udah.. dimasakin ya. mau tidur dulu, ngantuk” Pamitku
setelah menyerahkan ikan itu pada mereka berdua.

“Mas bangun… udah mateng lelenya”


Terdengar teriakan istriku membangunkanku dari tidurku.
Dengan segera aku memperbaiki sarungku dan segera berdiri
menghampirinya yang masih sibuk di dapur.
“Nah… pas banget nih, jam-jamnya laper…” ucapku sambil
mengecek meja makan yang sudah terdapat berbagai macam lauk, salah
satunya ikan lele yang kutangkap tadi.
Tanpa menunggu lama, aku segera mengambil nasi dan
mengajak istri dan anaku untuk makan masakan yang terlihat enak ini.

37
“Bu… enak banget lelenya! Biasanya kan kalau ukuranya besar
dagingnya ga gurih” Ucap Adri yang terlihat makan dengan lahap.
“Iya ya pak… berarti bapak pinter mancingnya” Balas istriku
mencoba memujiku..
“Nggak lah… yang masak yang pinter” Aku membalas godaanya
sambil melahap ikan yang sudah dimasak dengan sempurna ini.

Tidak butuh waktu lama hingga kami selesai menghabiskan


makanan di meja. Setelahnya kami segera beres-beres dan melakukan
menghabiskan waktu di rumah.

Malam hari, baru saja aku berhasil tertidur nyenyak. Terdengar


suara rintihan dari kamar Adri ..
“Bapak… ibu… tolong…”
Aku terbangun dan segera mengecek kamar Ardi.
Jauh di sudut kamarnya terlihat Adri meringkuk kesakitan
sambil memegang perutnya.
“Dri… kamu kenapa?” Tanyaku sambil mengecek kondisinya.
Panas.. kulit Adri terasa panas saat kusentuh.
“Sakit pak…. Perut Adri sakit.. badan Adri juga,,,” Ucapnya.

Aku segera keluar mencoba membangunkan Rini untuk


mencarikan obat. Namun saat kembali ke kamar, Rini terlihat sedang
duduk di kasur dengan mata yang menatap ke satu sisi kamar.
“Bu.. kenapa bu?” Aku mencoba menanyakan maksudnya
melakukan itu. Namun ia tidak bergeming sama sekali.
Aku mendekatinya dan mencoba menepuknya.
“Bu… Adri bu… badanya panas….”
Tidak ada reaksi sama sekali dari istiku itu. Aku terus berusaha
menyadarkanya namunia hanya sekali menoleh kearahku dengan
wajahnya yang pucat dan tatapan matanya yang terlihat mengerikan.
38
Setelahnya , ia kembali lagi menatap ke arah sisi kosong di
kamarku.
Aku penasaran dan mencoba memperhatikan benar-benar ada
apa di tempat itu yang membuat istriku terus menatap kesana.
Entah apa itu.. perlahan semakin jelas terlihat sebuah bayangan
besar dengan matanya yang merah menatap ke arahku.
Sontak aku terjatuh… kaki terasa begitu lemas hingga tak tahu
harus berbuat apa.
Makhluk itu berjalan dan menghampiriku.
Ia menatapku cukup lama hingga akhirnya terdengar suara
darinya.
“Kalian sudah melakukan kesalahan…

… kalian harus dihukum”


Ucap makhluk itu yang segera menghampiri isriku dan
mencekiknya hingga tubuhnya mengambang diatas tempat tidur.
“To… tolonggg! Jangan Toloong!” Teriaku , namun sepertinya
tidak ada yang mendengar. Sebaliknya.. dari kamar adri juga terdengar
suaranya yang semakin keras merintih menahan rasa sakit.
“Ja.. jangann tolong…. Maafkan kami! Apa kesalahan kami?”
Ucapku berusaha menghentikan makhluk itu.

“Kalian sudah menangkap dan membunuh pimpinan kami…”


ucapnya dengan wajah yang menoleh ke arahku.
“Ma.. maksudmu apa? Aku tidak pernah berurusan dengan
kalian”
Jawabku yang dengan berusaha mengumpulkan keberanianku.
“Ikan yang kau tangkap adalah pimpinan kami penunggu tempat
itu… “

39
Tunggu , maksudnya ikan lele yang kami makan tadi? Bagaimana
kami bisa tau bahwa lele besar tadi adalah penunggu kali pinggi rel.
“Maaf.. maafkan kami, kami sama sekali tidak tahu bahwa ikan
itu bukan ikan biasa”
Ucapku sambil berusaha menghentikan makhluk yang mencekik
istriku itu.
“Apa? Apa yang harus kami lakukan agar kau melepaskan
kami?” Lanjutku dengan semakin memohon..

Makhuk itu terdiam cukup lama, aku tak mampu lagi menahan
air mataku dengan semua kejadian ini.

“Kembalikan dia dan semua bagian tubuhnya ke kali itu.. atau
kalian semua akan membayarnya dengan nyawa kalian”
Setelah ucapan itu, Cengkraman di leher Rini terlepas hingga
membuatnya terjatuh. Namun ia masih belum sadar dan menatap
dengan tatapan yang kosong.
Tak menunggu lama, akui segera mengambil sebuah baskom
mengumpulkan mengampiri tempat sampha tempat istriku membuang
sisa-sisa tulang ikan lele itu dan mengumpulkanya.
Satu persatu sisa-sisa tulang dan bagian tubuh ikan itu
kukumpulkan. Suara rintihan dari kamar Adri masih terdengar dan
membuatku semakin gelisah.
Setelah yakin tidak ada bagian tubuh yang tersisa dari ikan itu,
aku segera berlari menuju kali di pinggir rel secepat mungkin tanpa
mempedulikan apapun.
Dan benar.. saat aku sampai di kali itu. segerombolan bayangan
makhluk hitam udah berkumpul melayang diatas kali menyambut
kedatanganku.
“I… ini , saya pastikan semua bagian tubuhnya ada di sini..”
Suaraku bergetar saat mengatakan itu pada mereka semua.
40
Salah satu dari makhluk itu tiba-tiba muncul di belakangku
seolah memastikan apa yang kubawa.

“Kembalikan ke tempatnya….”

Perintah itu muncul dari makhluk yang berada di belakangku.


Dengan segera aku berjalan dengan hati-hati menuju tempatku
memancing dan dengan segera menghanyutkan bagian-bagian tubuh
ikan yang ada di baskomku.

Setelah aku melepasnya… seluruh roh berwarna hitam itu


segera meyelam kembali ke sungai. Kejadian itu membuatku berfikir
bahwa akhirnya masalah sudah selesai.
Aku segera berjalan meninggalkan tempat itu dan kembali ke
rumah. Namun aku merasakan ada sosok lain yang muncul tak jauh dari
tempatku berada.

“Tunggu…”

Terdengar suara lain yang berusaha menghentikanku.

“Belum semuanya…”

Aku menoleh ke belakang , dan makhuk itu sudah berada dekat


di belakangku.

“Ti… tidak! Itu sudah semuanya! Aku sudah memastikan..”

Benar , aku sudah memastikan tidak ada lagi sisa tubuh ikan itu
di rumah. Dan itu sudah kularung kembali ke kali.

“Belum semuanya…”
41
Ucapnya lagi, namun kali ini dengan tanganya yang menunjuk
ke arahku.

Tu.. tunggu, maksudnya… dia juga meminta kembali daging ikan


ini yang telah kumakan? Tapi itu tidak mungkin.

Aku mencoba untuk mundur.. namun tiba tiba sesuatu


menabrak punggungku dan berjalan melewatiku.

Itu Rini istriku dan Anaku Adri… mereka berjalan dengan


tatapan kosong seolah dirasuki oleh sesuatu.

“Ja.. jangan! Jangan celakai mereka!” Pintaku kepada makhluk


makhluk itu, Namun sepertinya mereka tidak peduli.

Rini dan Ardi sudah berdiri tepat dipinggir kali. Aku berteriak
dan berusaha menghampirinya.. namun sekumpulan makhluk hitam
mengumpul di sekitar kami.

“Kembalikan semuanya…”

Setelah ucapan itu Rini menjatuhkan dirinya ke kali disusul


dengan Adri yang segera tenggelam tanpa muncul lagi wujudnya.

Belum sempat aku berteriak.Sesosok makhluk yang paling besar


menarik kakiku hingga terjatuh dan menyeretku ke dalam kali..

“Semuanya…” Ucap makhluk itu sambil menyeretku tanpa


ampun.

Aku mencoba meronta sekuat tenaga, namun tidak ada


gunanya hingga akhirnya makhluk itu melemparkanku ke dalam kali
yang terlihat sangat hitam di malam itu…

….

42

“Mas bangun… udah mau magrib nih”
Terdengar teriakan istriku membangunkanku dari tidurku.

Tu.. tunggu apa ini? Bukanya tadi aku sedang berada di kali?
Ucapku yang merasa heran dengan apa yang terjadi.

Apa yang tadi itu mimpi? Pikirku.

Aku segera berlari ke dapur dan mengecek meja makan.

“Lelenya gak aku masak, buat besok aja ya… itu kita dapet nasi
berkat dari tetangga.. habis ada hajatn” Ucap istriku.

Dengan segera aku berlari mengecek ikan lele yang tadi siang
aku tangkap. Terlihat di sebuah ember ikan itu masih hidup di ember
yang sama saat aku menyerahkanya pada Rini.

Tanpa berfikir panjang aku segera membawa kembali ember itu


dan bersiap kembali ke kali.

“Lah pak… Mau kemana?” Tanya Istriku yang merasa bingung


dengan tingkahku.

“Bapak pergi sebentar.. Mau balikin ikanya ke kali”

“lah, ga jadi dimasa?” Tanya istriku memastikan.

“Nggak…”

Aku tidak menjawab lebih panjang lagi dan segera


meninggalkan rumah menuju tempatku menangkap ikan itu.

Maghrib sudah lewat dan hari mulai malam saat aku sampai di
tempat tadi.

43
Pemandangan kali tempatku memancing tadi berubah menjadi
mengerikan, tidak seperti tadi siang saat aku memancing.

Di ujung pagar rel yang berbatasan dengan kali samar-samar


aku melihat sesosok pria tua berjanggut putih yang memperhatikanku.
Namun aku mencoba tidak mempedulikanya.

Dengan segera aku membawa emberku ke kali dan melepaskan


ikan lele sebesar lengan itu kembali ke kali.

“Pangapunten yo… maafin saya ya… saya benar-benar ga tau”

Ucapku melepas kepergian ikan itu. Semoga saja kejadian di


mimpi tadi tidak akan benrar-benar terjadi.

“Keputusan yang tepat…”

Tiba-tiiba pria berjanggut putih yang ada di pagar rel itu muncul
di belakangku. Kemunculanya di tengah rasa paniku yang belum hilang
berhasil membuatku takut dan terjatuh.

“J.. jangan” Ucapku berharap makhluk itu tidak menyakitu.

Namun ternyata orang itu berjalan seperti layaknya manusia


biasa.

“Tenang… aku dudu demit… aku menungso” (Tenang.. aku


bukan setan, aku manusia) Ucap orang itu.

“Yang kamu tangkap itu tadi penunggu tempat ini… kalau ga


dilepasin, bisa gawat” Jelas orang itu.

Mendengar ucapanya, aku mulai tenang dan berusaha berdiri.

“Mak… sud mbahnya apa? Memangnya untuk apa makhluk itu


di sini?” Tanyaku penasaran.

44
Orang itu hanya menggeleng-geleng heran dengan
ketidaktahuanku.

“Harusnya masnya tau kenapa tidak ada orang yang mancing di


sini.. itu lihat di sekeliling mas apa?” Ucapnya.

Aku memperhatikan sekeliling namun tidak ada yang aneh,


hanya batu-batu berukulan sedikit lebih besar dari kepalan tangan yang
sudah tertutup lumut dan rumput.

Tapi tunggu… kali ini aku baru sadar. kenapa di beberapa batu
itu ada bekas kembang?

“Mbah… sebenernya ini tempat apa mbah?” Tanyaku bingung.

“Tempat ini adalah petilasan.. dulunya tempat ini pernah


menjadi kuburan sebelum dipindah. Namun masalahnya bukan di
situ…” Jelasnya.

“Saat ini tempat ini masih menjadi kuburan pusaka.. masih


banyak kekuatan dan roh dari pusaka itu yang belum tenang… Hal ini
yang dijaga oleh Makhluk penunggu berwujud ikan itu”

Cerita dari kakek itu membuatku kaget. Beruntung makhluk-


makhluk itu masih mau memperingatkanku dalam mimpi. Seandinya
Ikan itu tetap kumasak. Mungkin bala bencana seperti di mimpi tadi
akan benar-benar menimpa keluargaku.

Setelah selesai mendengar ceritanya aku segera pamit kepada


kakek itu dan kembali menuju rumah. Namun saat aku menyempatkan
untuk menoleh. Samar-samar terlihat sekumpulan makhluk hitam
seperti yang berada di mimpiku berkumpul di belakang kakek itu.

TAMAT

45
46
CHAPTER V

TEROR

GENDERUWO

BEREKOR

47
“Brak…”

Suara benda yang cukup keras terdengar jatuh ke atap rumahku


di tengah malam, tepat ketika aku sekeluarga bersiap untuk tidur.

“Itu suara apaan pak?” Tanya istriku yang penasaran.

Aku segera keluar dan mengecek atap rumah jaga-jaga apabila


ada benda jatuh yang merusak genteng rumahku. Namun sepertinya
tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

“Ga ada apa-apa, kucing mungkin” Jawabku yang segera


menyuruh istri dan anaku untuk segera tidur.

Sayangnya rupanya suara itu muncul lagi setelah kami tidur.


Walau tidak sekeras tadi, suaranya cukup mengganggu karena terulang
berkali kali.

Paginya aku mencoba naik ke atap rumah dan mencoba


mengecek. Untungnya kondisi atap masih seperti kemarin, tidak ada
kerusakan sama sekali.

Namun itu ternyata hanya awal dari suara-suara serupa yang


selalu kami dengar setiap malam setelahnya.

….

“Pak… itu kayu ada banyak buat apa to?”

Tanya anaku yang penasaran dengan kayu-kayu sisa yang


kukumpulkan di rumah sejak beberapa hari lalu.

48
“Bapak mau buat rak cupang… kayunya jangan dimainin ya”
Perintahku pada anaku yang yang masih penasaran dengan kayu yang
kukumpulkan.

Musim ikan cupang saat ini memang peluang bagus untuk


mendapatkan untung. Kebetulan aku memiliki kenalan pemasok ikan
cupang dari Tulungagung dengan harga yang sangat murah.

Hari ini aku habiskan dengan membangun rak cupang yang


kutempelkan di dinding tepat di samping sumur tua yang berada di
halaman belakang rumah.

Benar saja, setelah aku memajang beberapa puluh ekor ikan


cupang, perlahan rumahku sering didatangi mulai dari anak-anak hingga
kolektor yang menggemari ikan yang berwarna eksotis ini.

“Mas… ikanya cuma yang ini aja? Yang level grade gitu ada ga?”
Tanya salah satu pembeli yang memang mengerti soal percupangan.

“O.. ada donk, tapi saya pajang di belakang.. ayo masuk” Ucapku
yang mengajak orang itu melihat koleksiku di rak yang kubuat di sebelah
sumur.

“Nah.. kaya gini yang saya cari mas. Warnanya cakep-cakep”


Ucapnya.

Aku senang, pembeli sekelas dia ternyata bisa cocok dengan


koleksi cupang miliku. Dengan sabar aku menemaninya memilih
cupang-cupang terbaik yang kupunya dan dibayarnya dengan harga
yang pantas.

“Mas… warnanya bisa bagus begini pake air dari sumur itu?”
Ucapnya sambil menunjuk ke sumur tua yang berada di dekatnya.

49
“Pake air tanah mas, udah pake pompa listrik.. sumur itu udah
ga dipake lagi, rencananya sih mau ditutup” Jawabku.

Setelah memilih dan membayar orang itu terlihat pulang


dengan wajah puas. Begitu juga dengan aku yang menerima bayaran
yang pantas atas ikan-ikan yang telah kusortir.

Aku segera kembali ke depan, namun tiba tiba salah satu toples
ikan cupangku jatuh ke bawah. Segera aku merapikanya kembali sambil
mengecek apa yang menyebabkan toples itu terjatuh namun tidak ada
petunjuk apapun.

…..

“Brak….. “

“Grrr..”

Di tengah tidurku mendadak aku terbangung oleh suara benda


yang jatuh ke atas atapku lagi. Ini sudah malam kesekian , namun suara
itu masih terdengar. Anehnya kali ini samar-samar aku mendengar suara
seperti sebuah geraman.

Semakin hari dagangan cupangku semakin laris hingga aku


memperbanyak koleksiku, bahkan sampai membuat lubukan atau
kolam cupang sendiri.

Seorang pemuda yang kemarin membeli cupang sortiranku


datang lagi. Aku menyambutnya dan segera mengajaknya ke belakang.

“Monggo dipilih-pilih aja mas… saya sambil ngelayanin yang lain


ya.” Ucapku sambil melayani beberapa pembeli yang memang sudah
datang terlebih dulu.

50
Orang itu memilih beberapa ikan dan segera membayar.

“Mas… kalau indukan ada?” Tanyanya.

Kebetulan aku masih ada beberapa pasang yang kusimpan


dikamar kosong yang kugunakan untuk mengawini ikan cupang.

“Ada mas.. itu di kamar situ. Masuk aja dipilih2… nanti saya
nyusul kalau sudah selesai” Ucapku sambil mempercepat urusanku
dengan pembeli lain.

Cukup lama orang itu memilih-milih ikan di ruangan tersebut.


Setelah selesai menerima pembayaran dari pembeli lainya, aku
menyusul orang itu ke kamar tadi.

“Mas sudah dapet yang cocok? “ Tanyaku.

Namun sebelum sempat masuk, tiba – tiba orang itu membuka


pintu dengan wajahnya yang pucat.

“Mas ga jadi… yang tadi aja cukup, matur suwun”

Orang itu dengan terburu-buru pergi meninggalkanku yang


masing bingung di depan pintu.

Aku mencoba mengecek ke dalam melihat koleksi indukanku


dan semua masih sama seperti tadi pagi tidak berkurang satupun. Entah
apa yang membuat pemuda itu tidak jadi membeli indukanku.

Malam mulai semakin larut, hari ini kebetulan aku bertugas


untuk ronda dan baru kembali ke rumah setelah lewat tengah malam.

Tepat saat mendekati rumah, samar-samar aku mendengar


suara anak kecil menangis. Aku menajamkan telingaku dan ternyata
suara itu berasal dari dalam rumah.

51
Di depan pintu kamar , terlihat anaku sedang menangis
sesegukan menutupi matanya seolah menghalangi agar tidak melihat
sesuatu.

“ya ampun le… kenapa kamu le?” Tanyaku yang segera


menghampirinya.

“Bu… ibu di mana? Anaknya nangis kok didiemin” Teriaku


mencari keberadaan istriku.

Aku melihat ke sekitar namun tidak menemukan istriku sampai


akhirnya aku memutuskan untuk membuka kamar.

Disitu aku melihat istriku yang sedang tertidur dengan lampu


kamar yang remang-remang. Aku menggeleng-geleng melihat
kelakuanya yang membiarkan anaku sampai nangis sesegukan.

Segera aku menyalakan lampu kamar dan bersiap


membangunkanya. Namun ternyata istriku tidak sedang tidur. Matanya
terlihat terbelalak dan terlihat tubuhnya sulit bergerak.

Aku segera menghampirinya dan memastikan keadaanya.

“Bu… ibu ga papa bu?” Ucapku sambil menggoyang-goyangkan


tubuhnya.

Ia tidak menjawab dan hanya mencoba untuk terus bernafas.


Entah, ada yang aneh.. diatas tubuh istriku terasa hawa yang sangat
panas.

Sekuat tenaga istriku mencoba mengangkat tanganya dan


menunjuk keluar tepatnya ke ara jendela yang berhadapan dengan
anaku yang sedang menangis.

Aku menoleh ke arah jendela itu dan samar-samar terlihat


sesuatu yang besar mengintip dari jendela dengan matanya yang merah.
52
Dengan segera aku keluar menggendong anaku dan
membawanya masuk ke dalam kamar. Sebelum sempat menutup pintu
aku menyempatkan diri untuk menengok ke jendela dan terlihat jelas
sebuah benda panjang berayun menyerupai ekor mengikuti kepergian
makhluk tadi.

malam itu kami mengunci diri di kamar sambil membaca doa-


doa dan ayat suci untuk melindungi diri. Tak lama setelahnya istriku
kembali pulih dan tidak ada kejadian lain di malam itu.

….

Siang itu aku nongkrong di sebuah warung kopi setelah selesai


kulakan makanan ikan di tempat langgananku. Dan tak kusangka ada
seseorang yang kukenal di sana.

“Eh masnya… belanja apa mas?” Sapa orang itu yang ternyata
menyadari keberadaanku juga.

“Eh ini… belanja pelet sama kutu air untuk makanan cupang”
Jawabku.

Itu adalah pelanggan cupang koleksiku yang kemarin sempat


menanyakan indukan ikan cupang.

“Kemarin ga jadi nyari indukan mas?” Tanyaku membuka


pembicaraan.

Namun bukanya segera menjawab, orang itu beranjak dari


tempat duduknya dan segera menghampiriku.

“Maaf ya mas… ngapunten, kemarin saya mau cerita tapi takut”


tiba-tiba pemuda itu berbicara dengan mengecilkan suaranya.

53
“Bukanya gak cocok sama ikanya mas… tapi pas saya lagi milih-
milih tiba-tiba ada suara yang membentak saya dari luar” Ucapnya
dengan wajah yang sedikit terlihat ketakutan.

“Saya kaget dan menengok lewat jendela… ternyata di sana ada


sesosok makhluk hitam…

dengan bola matah merah yang melotot keluar bergelantungan


di jendela yang melihat ke arah saya.

saya takut banget mas..”

Aku cukup kaget mendengar ceritanya. Ahirnya aku tahu


kenapa kemarin ia keluar buru-buru dengan wajah pucat dari ruangan
itu.

“O.. begitu mas, iya nih.. entah.. sepertinya rumah saya lagi ada
yang ngeganggu.

Semalem sekeluarga saya juga diliatin sosok yang mirip sama


yang masnya ceritain tadi” Ceritaku padanya.

Orang-orang di warung kopi itu saling memandang seolah ingin


menyampaikan sesuatu.

“Mas.. mending panggil Mbah Sidi, itu.. yang sering jaga


petilasan di pinggir rel” Ucap pemilik warung kopi itu.

“Siapa tau dia bisa membantu permasalahan masnya”

Aku tahu mbah Sidi, dia sesepuh kampung ini yang ditugaskan
oleh orang keraton untuk merawat petilasan pusaka di dekat kali di
pinggir rel.

“Iya.. sepertinya saya mau minta tolong. Kasihan anak saya kalo
dibiarin” Jawabku.

54
….

Beberapa malam setelahnya, sesuai permintaanku Mbah Sidi


datang ke rumah untuk memeriksa sosok makhluk yang kuceritakan.

Ia terlihat mengelilingi rumah dan sempat berhenti di sumur


halaman belakang.

Setelahnya kami hanya ngobrol-ngobrol seperti biasa


menghabiskan secangkir kopi hitam yang kusuguhkan. Namun ketika
hari mulai larut malam, Mbah Sidi mulai membacakan doa-doa dan
ayat-ayat suci.

“Brak…. Grrrr… brak…”

Terdengar suara sesuatu yang bergerak di atap rumah dengan


geraman seperti suara hewan buas.

Mbah Sidi berlari ke belakang dan warga yang ikut membantu


juga segera mengikutinya.

Sebenarnya sudah ada lampu di halaman belakang. Namun


entah mengapa saat itu di sana tetap terasa gelap dan remang-remang.

Tepat setelah kami sampai ke halaman, terlihat beberapa warga


tadi terjatuh dan mundur ke belakang.

“I… itu apa mas?” Tanya salah satu warga.

“Mbah… itu apa?” Tanya warga yang lain.

Mbah Sidi tidak menanggapi pertanyaan mereka dan terus


membacakan doa-doa dari mulutnya yang ditujukan pada sesosok

55
makhluk hitam besar berbulu dengan mata merah yang nangkring diatas
sumur dengan ekornya yang menggelantung.

“Itu yang ganggu kalian?” Tanya Mbah Sidi pada kami.

Istri dan anaku mengangguk namun wajah ketakutan terlihat


jelas di wajah mereka.

“Dia tidak senang sumur yang menjadi tempat tinggalnya


diusik” Jelas Mbah Sidi.

Aku mengerti maksud Mbah Sidi, mungkin maksudnya dia


terusik dengan piaraan ikanku dan aktivitasku dan pembeli di sekitar
sumur.

“Terus gimana mbah? Berarti kolam saya harus dibongkar?”


Tanyaku.

“Kamu mau nurut sama genderuwo ini? Memangnya sumur ini


mau kamu pakai buat apa lagi?” Bentak Mbah Sidi.

“E.. enggak mbah, sumurnya udah ga dipake lagi… sebenernya


mau ditutup” Jawabku.

Benar juga ucapan Mbah Sidi.. Seharusnya aku tidak menuruti


kemauan makhluk ini. Lagipula sebenarnya aku tidak mau membongkar
kolam ikan dan rak cupang yang menjadi penghasilanku hanya karena
makhluk itu.

Tapi jika tidak dibongkar.. bukankah makhluk itu akan


mengganggu kami terus?

“Ya sudah tutup saja.. biar saya yang menghalau makhluk itu
dari tempat ini.. keberadaan benda seperti sumur tua ini sangat mudah
memancing makhluk halus untuk menghuninya.” Jelas Mbah Sidi pada
kami.
56
Namun rupanya ucapanya tidak berhenti sampai di situ.

“Kalian semua yang tinggal di rumah ini juga harus rajin


beribadah agar makhluk ini tidak kembali mengganggu kalian..

kalau tidak jangan heran kalau rumah ini sering di ganggu…

toh rumah kalian juga ga jauh dari rel kereta api yang sudah
banyak memakan korban”

Kami menyetujui nasihat Mbah Sidi. Setelahnya mbah sidi


membacakan ayat-ayat suci yang membuat Genderuwo tadi ketakutan
dan pergi meninggalkan tempat ini.

Setelahnya kami kembali ke ruang depan dan melanjutkan


pembicaraan kami.

“Mbah.. Genderuwo tadi lari ke mana ya? Kenapa ga diusir yang


jauh aja mbah?” Tanyaku.

Mbah Sidi menggeleng-geleng mendengarkan pertanyaanku.

“Mas.. kita ga bisa ngusir makhluk begitu seenaknya. Mereka


juga penduduk sini, hanya saja seharusnya mereka hidup di alam yang
berbeda.

Selama Masnya dan keluarga rajin beribadah dan menjauhi


perbuatan dosa.. mereka pasti tidak akan berani menggangu” Jelas
Mbah Sidi.

Aku sedikit mengerti ucapanya. Memang sudah lama keluarga


kami jarang mendekatkan diri kepada Tuhan. Mungkin kejadian ini
sekaligus sebagai peringatan kepada keluargaku untuk menjadi orang
yang lebih baik.

….

57
“Mas.. kopi hitam paitnya satu!” Pesanku pada seorang pemuda
yang sedang menjaga angkringan di dekat rel kereta.

“Kopi hitam pait tanpa gulanya mas…” Ucap pemuda itu sambil
menyerahkan segelas kopi pesananku.

Aku mengisi rasa bosanku di angkringan ini dengan segelas kopi


dan berbincang bincang dengan warga lain yang kebetulan berada di
sini.

Tak lama setelahnya tiba-tiba ada seorang pemuda berlari dan


menghampiri kami di sini.

“Mas… mas… tolong mas” Ucap pemuda itu yang terlihat


terengah-engah.

“Alon-alon mas… tenang dulu, baru jelasin ada apa..?” Ucap


salah satu warga yang berada di dekatnya.

“I.. itu… di atap rumah saya… ada Genderuwo mas! Ekornya


panjang banget” Ucapnya dengan wajah yang pucat ketakutan.

Aku dan warga lainya saling berpandangan dan setelahnya kami


mulai tertawa.

“Lah.. masnya kok malah ketawa, beneran mas… itu di sana”


Lanjut pemuda itu meyakinkanku.

Mendengar ucapan pemuda itu hampir semua warga yang


nongkrong di angkringan itu kompak menatapku.

Segera aku menggeser tempat duduku mengosongkan sebuah


tempat untuk pemuda itu duduk.

“Masnya orang baru ya di sini? Sini duduk dulu.. biar tak


ceritain” Ucapku pada orang itu.

58
Pemuda itu menurut dan duduk di sebelahku.

Sebuah teh hangat kupesankan untuknya untuk menenangkan


diri sekaligus menemaninya mendengarkan ceritaku.

Sebuah cerita mengenai sosok Genderuwo berekor yang tinggal


di desa pinggi rel kereta api ini dan bagaimana dia harus mendekatkan
diri kepada Tuhan agar tidak diganggu oleh makhluk itu atau penduduk
lain di tempat ini.

TAMAT

59
Halo!
Terima kasih telah membeli buku cetak ataupun E-Book karya
Diosetta.

Dukungan kalian selalu menjadi penyemangat saya untuk terus


berkarya dan mencari hal-hal baru yang sekiranya akan menjadi
cerita untuk menghibur kalian semua.

Semoga cerita ini bisa menghibur kalian semua dan mohon maaf
apabila ada salah kata atau bagian dari cerita ini yang
menyinggung.

Tidak ada sedikitpun niatan dari penulis untuk menyinggung satu


pihak dan berharap cerita ini hanya menjadi hiburan semata.

Terus ikuti perkembangan cerita dariDiosetta di berbagai


platform berikut

Twitter : www.twitter.com/diosetta
Instagram : www.instagram.com/diosetta.69
Karyakarsa : www.karyakarsa.com/diosetta69

Best Regards,
Diosetta
60
61

Anda mungkin juga menyukai