Anda di halaman 1dari 2

Aku tak pernah mengenal cinta.

Terlebih dari laki-laki yang baru muncul


dalam hidupku. Aku hanya menganggap mereka adalah komposisi kehidupan
yang kita butuhkan.
“Lail, pulang yuk!” ajak Rania. Aku bangkit dari dudukku, mengikutinya
berjalan menuju halte bus di depan kampus.
Kulihat ada seorang laki-laki bertubuh tinggi, alisnya tegas, sorot matanya
teduh, dan membuat hatiku menghangat. Untungnya ia sedang sibuk berbicara
dengan teman lelakinya, jadi ia tak menyadari bahwa aku sedang
memperhatikannya. Namun, Rania memperhatikanku. Dengan jahil ia
menyenggol sikuku.
“Tumben merhatiin cowok. Kamu kesambet apa, Lail?” ejeknya.
Aku tak menghiraukan ejekan Rania. Mungkin ini hanya rasa kagum
padanya, bukan cinta seperti yang banyak orang lain alami. Ya, rasa kagum biasa.
Tak lama, bus muncul. Aku berharap laki-laki itu ikut juga dalam bus
kami. Dan harapanku terkabul, ia menaiki bus ini tanpa temannya tadi. Namun,
ada satu yang hilang darinya. Senyumnya. Aku tak melihat senyum itu lagi, malah
yang kulihat adalah wajah muram penuh sesal. Hatiku tergerak untuk
menyapanya, menyelidiki hal yang membuat senyum itu hilang. Namun, aku
bingung untuk memulainya. Dan hingga ia turun dari bus pun aku tak mampu
mengumpulkan sedikit keberanian untuk menyapanya.
Yang kuharapkan sekarang hanyalah, semoga esok ia ada di halte itu lagi
agar aku bisa melihatnya.
~~@@##@@~~
Langit kembali menangis. Namun ada keajaiban dalam hujan ini. Aku
kembali menemukannya, tapi tanpa senyumnya lagi. Entah mengapa aku terobsesi
dengan senymnya. Menurutku, senyumnya menenangkan, membuatku
berpetualang ke dunia lain dimana aku bisa melakukan hal sesukaku. Di dalam
senyumnya.
Apakah ini saat yang tepat untuk menyapa? Apakah esok ada kesempatan
untuk bertemu dengannya? Tidak. Sekaranglah aku harus menyapanya, meski
nanti ia tak menyukaiku, aku harus menyapanya. Sekarang.
“Lagi nunggu seseorang?” itu kalimat pertama ku untuknya.
Melihatku, ia langsung memasang senyum terbaiknya. Seketika darahku
berdesir, menikmati senymnya yang indah.
“Nggak juga. Saya Fajar, kamu?” aku terkesiap mendengar tawaran
perkenalannya. Tak kusangka ia yang terlebih dulu memperkenalkan diri.
“Kamu?” ia mengulanginya lagi, membuatku terbangun dari lamunanku.
“Lail.” Jawabku.
“Nama kamu lucu. Saya baru tau nama itu. Apa artinya?” Ia tertawa. Dan
tawanya menular padaku.
“Artinya malam. Itu karena ibuku suka sama suasana malam. Malam
dengan cahaya bulan dan bertabur bintang, tenang, dan nyaman.” jawabku,
dengan tanpa sadar menjelaskan alsan nama itu.

Anda mungkin juga menyukai