NIM : 2018200131
Kelas :C
ن ال ّرحِ يم
ِِ َللا ال ّر ْح َم
ِِّ ِبس ِِْم
CATATAN : KERJAKAN 5 (LIMA) DARI 6 (ENAM) SOAL, SOAL NO.5 & 6 (LIMA dan
ENAM) WAJIB DIJAWAB
SOAL :
Jawaban UTS
1. Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan Islam baik
yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya, atau filsafat yang digunakan
untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara hukum Islam, sehingga sesuai dengan
maksud dan tujuan Allah SWT menetapkannya di muka bumi yaitu untuk kesejahteraan
umat manusia seluruhnya. Filsafat Hukum islam adalah kajian filosofis tentang hakikat
hukum Islam, sumber asal-muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya serta fungsi dan
manfaat hukum Islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya. Maka filsafat
hukum islam itu berupaya menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang terjadi di
tengah masyarakat. Dengan kata lain filsafat hukum islam bersikap kritis terhadap masalah-
masalah.
2. Allah Swt telah memuliakan umat Islam sebagai umat pertengahan (umatan wasathan) atau
umat yang moderat. Umat yang adil dan pertengahan. Umat yang anti terhadap semua sikap
ekstrimisme dan tindakan yang melampaui batas. Allah Swt menurunkan syariatnya dalam
rangka menyeimbangkan struktur kehidupan manusia, menegakan keadilan dalam
kehidupan manusia. Tidak ada satupun syariat Allah Swt yang tidak mengindikasikan
keadilan di dalamnya. Dari rukun Islam sangat terlihat sekali nilai keadilan syariat ini, yang
jauh dari ekstrimisme. Syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji adalah menunjukan prinsip
keseimbangan syariat, dimana syariat Islam tidak hanya meliputi ibadah hati saja, ibadah
fisik, ibadah lisan, ataupun ibadah sosial ekonomi. Akan tetapi tercakup semuanya. Ini
menunjukan keseimbangan syariat Islam. Sehingga Islam mampu menjadi rahmat bagi
seluruh alam. Prinsip keadilan Islam ini telah mem- berikan jaminan ruang hidup abadi
pada ajaran agama ini hingga akhir zaman. Keajegan pokok dan kelenturan dalam cabang
ajaran Islam, menjadikanya akan senantiaa mampu beradaptasi dengan situasi apapun
disegala zaman dan waktu.
5. Lima macam hukum taklifi adalah hukum taklifi menurut jumhur ulama. Itulah yang
disebut “hukum yang lima” atau al-ahkam al- khamsah. Hukum taklifi atau al-ahkam
al khamsah lebih lanjut dalam uraian dibawah ini:
a. Wajib
Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, dimana orang yang
meninggalkannya adalah tercela.
1) Ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya:
➢ Wajib Muthlaq atau bebas, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan waktu
pelaksanaanya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditangguhkan
sampai waktu yang ia sanggup melaksanakannya.
➢ Wajib Muaqqad, kewajiban yang pelaksanaanya ditentukan dalam waktu
tertentu dan tidak sah dilakukan diluar waktu yang telah ditentukan itu. Contoh:
sholat subuh dan zuhur.
2) Ditinjau dari segi pelaksana:
➢ Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban secara pribadi. Sesuatu yang dituntut oleh syar’i
(pembuat hukum) untuk melaksanakannya dari setiap pribadi dari pribadi
mukallaf. Kewajiban itu harus dilaksanakan sendiri dan tidak mungkin
dilakukan oleh orang lain atau karena perbuatan orang lain.
➢ Wajib Kifa’i/Kifayah, yaitu kewajiban bersifat kelompok. Sesuatu yang dituntut
oelh pembuat hukum melakukannya dari sejumlah mukallaf dan tidak dari
setiap pribadi mukallaf.
3) Ditinjau dari segi tuntutannya:
➢ Wajib Mu’ayyan, ialah suatu kewajiban (obligation) yang hanya
mempunyai satu tuntutan. Contoh: membayar hutang, memenuhi akad,
membayar zakat.
➢ Wajib Mukhayyar, ialah suatu kewajiban yang tidak hanya mempunyai satu
macam tuntutan, tetapi mempunyai dua atau tiga alternatif yang dapat
dipilih. Contoh : Penguasa diperbolehkan memilih antara membebaskan
tawanan perang atau menerima tebusan mereka.
b. Sunah
Sunnah Merupakan sesuatu yang dituntut untuk memperbuatnya secara hukum syar’i
tanpa ada celaan terhadap orang yang meninggalkan secara mutlak.
1) Dari segi selalu dan tidak selalunya Nabi melakukan perbuatan sunnah:
➢ Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang
selalu dilakukan oleh Nabi disamping ada keterangan yang menunjukkan bahwa
perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardu. Contoh: shalat witir
➢ Sunnah Ghair Muakkad (sunnah biasa), yaitu perbuatan yang pernah dilakukan
oleh Nabi, tetapi Nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian.
Contoh : shalat sunnah 4 rakaat sebelum zuhur dan sebelum ashar.
2) Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan:
➢ Sunnah Hadyu, perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu
besar faidah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dinyatakan
sesat dan tercela, bahkan bila satu kelompok kaum sengaja meninggalkannya
secara terus menerus, maka kelompok ini harus diperangi. Contoh: shalat hari
raya.
➢ Sunnah Zaidah, yaitu sunah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik
tetapi bila ditinggalkan, yang meninggalkannya tidak diberi sanksi apa-apa.
Contoh: cara- cara yang biasa dilakukan oleh Nabi dalam kehidupan sehari-
harinya.
➢ Sunnah Nafal, yaitu suatu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi
perbuatan wajib. Contoh: shalat tahajud
c. Haram
Haram ialah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik ditetapkan
dengan dalil yang qath’i maupun dalil zhanni.
1) Dari segi pengaruhnya terhadap hukum wadh’i:
➢ Haram zati, bila berkaitan dengan rukun akad mengakibatkan batalnya akad
tersebut. Muharram ashalah lidzatihi (haram secara asli menurut zatnya).
Contoh: larangan memakan babi atau bangkai dan meminum khamar,
membunuh dan mencuri.
➢ Haram Ghairu Zati, bila berkaitan dengan akad tidak menyebabkan batalnya
akad tersebut. Muharram li’Aridhi (haram karena sesuatu yang baru). Contoh:
larangan jual beli dalam waktu khutbah jumat, menjual sesuatu dengan
mengandung penipuan.
2) Dari segi pengecualian terhadap hukum larangan:
➢ Sesuatu yang terlarang secara zati adalah haram dan berdosa melakukannya.
Contoh: haram meminum khamar termasuk haram zati yang berdosa orang yang
melakukannya karena akan merusak akal.
➢ Sesuatu yang dilarang karena bukan zatnya atau hanya pada hal-hal sampingan,
diperkenankan penyimpangan atas larangan karena hajat atau keperluan dan
tidak harus sampai darurat. Contoh: larangan melihat aurat yang dilakukan
dokter terhadap pasiennya.
d. Makruh
Makruh itu adalah sesuatu yang dilarang, tetapi larangan itu disertai oleh sesuatu yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan larangan itu bukanlah “haram” tetapi
sebagai “sesuatu yang dibenci”.
1) Makruh Tahrim, yaitu tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti tetapi
dalil yang menunjukkannya bersifat zhanni. Makruh tahrim ini kebalikan dari wajib
sekaligus juga kebalikan arti fardhu dikalangan jumhur ulama.
2) Makruh Tanzih, yaitu pengertian makruh menurut istilah jumhur ulama. Makruh
tanzih ini kebalikan dari hukum mandub. Orang yang melanggar larangan makruh
tahrim diancam dengan dosa, sedangkan orang yang melanggar larangan makruh
tanzih tidak mendapat ancaman dosa.
e. Mubah
Mubah ialah suatu hukum dimana Allah SWT memberikan kebebasan kepada orang
mukallaf untuk memilih antara mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya,
sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan.
1) Mubah yang mengikuti suruhan untuk berbuat. Mubah dalam bentuk ini disebut
mubah dalam bentuk bagian, tetapi dituntut berbuat secara keseluruhan. Contoh :
makan-minum.
2) Mubah yang mengikuti tuntutan untuk meninggalkan. Mubah bentuk ini disebut
mubah secara juz’i tetapi dilarang secara keseluruhan. Contoh: bermain
3) Mubah yang tidak mengikuti sesuatu. Mubah bentuk ini dituntut juga untuk
meninggalkan karena berarti ia mengikuti sesuatu yang menghabiskan waktu tanpa
manfaat agama maupun dunia.
4) Mubah yang tunduk kepada mubah itu sendiri. Keadaannya adalah sebagaimana
yang tersebut diatas, juga dituntut untuk meninggalkannya.
6. Sewa rahim adalah suatu metode kehamilan buatan, dimana pembuahan dilakukan di luar
(cawan petri), hasil dari pembuahan tersebut ditanamkan pada rahim wanita lain (bukan
pemilik sel telur), dengan pembiayaan yang sudah diperbincangkan antara pemilik rahim
dengan pemilik sel telur dan sperma. Metode kehamilan seperti ini dilakukan pada
pasangan yang memang tidak dapat mengandung, seperti wanita penderita PCOS (sindrom
polikistik ovarium). Terkait sebab musabab sewa rahim terjadi karena ketidak mampuan
sang istri untuk hamil dengan normal karena ada faktor penentu seperti rusaknya rahim
sang istri. Meski begitu dalam segi kemanfaatanya (hikmah) dapatnya diperoleh seorang
anak walaupun tidak dengan rahimnya sang istri. Metode ini tidak dibolehkan secara
hukum, yang dimana disebutkan bahwa kehamilan diluar cara alamiah hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketntuan hasil pembuahan sperma
dan ovum (sel telur) suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam Rahim istri darimana
ovum berasal, dan juga dalam hokum islam metode ini tidak diperbolehkan atau
diharamkan.