Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Diabetes


Diabetes melitus merupakan penyakit gangguan metabolik menahun
akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah
hormon yang mengatur keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi
peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemia)
(Kemenkes RI 2014).
American Diabetes Association (2012) mendefinisikan diabetes
mellitus adalah salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan
berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
jumlah hormon insulin yang tidak mencukupi atau tidak dapat bekerja
secara normal, padahal hormon ini memiliki peran utama dalam mengatur
kadar glukosa (gula) didalam darah
Di Indonesia diabetes melitus dikenal juga dengan istilah penyakit
kencing manis yang merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya
kian meningkat. Peningkatan prevalensi diabetes melitus menunjukkan
pentingnya upaya pencegahan. Diabetes melitus timbul karena faktor
keturunan dan perilaku. Diabetes melitus merupakan kondisi ketika tubuh
tidak dapat mengendalikan kadar gula dalam darah (glukosa). Glukosa
merupakan hasil penyerapan makanan oleh tubuh, yang kemudian menjadi
sumber energi. Tetapi, pada penderita diabetes melitus kadar glukosa ini
terus meningkat sehingga terjadi penumpukan.
Kadar gula dalam darah normal dalam keadaan puasa pagi hari >126
mg/dL dan atau 2 jam setelah makan berkisar antara >200 mg/dL (Perkeni,
2015).

2.2. Epidemologi Diabetes Melitus


Diabetes merupakan masalah kesehatan yang serius baik di negara
maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Setiap tahunnya
kejadian diabetes mengalami peningkatan. Berdasarkan Federal Diabetes
Internasional/ International Diabetes Federation (IDF) dan Badan
Kesehatan Dunia/ World Health Organization (WHO) terdapat 277 juta
penduduk dunia yang menderita diabetes. Sekitar 80% di antaranya berada
di negara berkembang. Jika tidak segera dilakukan upaya untuk
memperlambat epidemi, tahun 2025 jumlah penderita Diabetes di dunia
akan melonjak menjadi 300 juta. Tahun 2007, di Amerika Serikat
diperkirakan prevalensi kasus diabetes pada semua kelompok usia
mencapai 23,6 juta dan yang tidak terdiagnosis 5,7 juta orang dan
prevalensi Prediabetes mencapai 57 juta orang (WHO, 2014).
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2005 menunjukkan peningkatan prevelensi Diabetes dari tahun 2001
sebesar 7,5% menjadi 10,4% pada tahun 2004. Sementara itu hasil survei
Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2003 menyatakan prevalensi Diabetes di
perkotaan 14,7% dan 7,2% di pedesaan. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi Diabetes secara nasional
mencapai 5,7%, prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT) mencapai
10,2%, prevalensi obesitas umum mencapai 10,3% dan obesitas sentral
mencapai 18,8%. Prevalensi Diabetes di Jawa Barat mencapai 4,2%
(Departemen Kesehatan RI, 2008).

2.3. Gejala Diabetes Melitus


Tanda dan gejala diabetes melitus menurut Smelzer et al. (2013) dan
Kowalak (2011), yaitu:
1. Polyuria (air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang
berlebih) yang disebabkan karena osmollitas serum yang tinggi akibat
kadar glukosa yang meningkat.
2. Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi karena
glucosuria yang menyebabkan keseimbangan kalori negative.
3. Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan
penggunaan glukosa oleh sel menurun.
4. Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa
gatal pada kulit.
5. Sakit kepala, mengantuk dan gangguan pada aktivitas disebabkan oleh
kadar glukosa yang rendah.
6. Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat ketidak
seimbangan elektrolit.
7. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan
karena pembengkakan akibat glukosa.
8. Sensasi kesemutan atau kebas ditangan dan kaki yang disebabkan
kerusakan jaringan saraf.
9. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan
karena neuropati tonom yang menimbulkan konstipasi.
10. Mual, diare dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit serta neuropati otonom.

2.4. Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi diabetes melitus menurut Smelzer et al. (2013) ada 3 yaitu:
2.4.1. Diabetes Melitus Tipe 1 (Diabetes Melitus Tergantung Insulin)
Sekitar 5% sampai 10% pasien mengalami diabetes tipe 1. Diabetes
melitus tipe 1 ditandai dengan destruksi sel-sel beta pancreas akibat
factor genetic, imunologis dan juga lingkungan. DM tipe 1
memerlukan injeksi insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah.
2.4.2. Diabetes Melitus Tipe 2
Sekitar 90% sampai 95% pasien mengalami diabetes tipe 2.
Diabetes tipe 2 disebabkan karena adanya penurunan sensitivitas
terhadap insulin (retensi insulin) akau akibat penurunan jumlah
insulin yang diproduksi.
2.4.3. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes gestasional ditandai dengan intolerasi glukosa yang
muncul selama kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau
ketiga. Risiko diabetes gestasional disebabkan obesitas, Riwayat
pernah mengalami diabetes gestasional, glikosuria atau Riwayat
keluarga.

Sedangkan dalam PERKENI (2015) klasifikasi diabetes mellitus dapat


dilihat dalamtabel berikut :

Table 2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus

Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi


insulin absolut
1. Autoimun
2. Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
dominan defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin
Tipe lain 1. Defek genetik fumgsi sel beta
2. Defek genetik kerja insulin
3. Penyakit eksokrin pakreas
4. Endokrinopati
5. Karena obat atau zat kimia
6. Infeksi
7. Sebab imunologi yang jarang
8. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
DM
Gestasional

2.5. Komplikasi Diabetes Melitus


Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan
komplikasi akut dan kronis. Komplikasi akut meliputi hipoglikemia,
hiperglikemia sedangkan komplikasi kronik meliputi makroangiopati,
mikroangiopati, rentan infeksi seperti tuberkulosis paru, dan infeksi
saluran kemih (Mansjoer, 2001).
Hipoglikemia adalah suatu kondisi yang menunjukkan kadar glukosa
dalam darah rendah. Kadar glukosa darah turun di bawah 50 mg/dL. Pada
penyandang diabetes, keadaan ini bisa terjadi akibat pemberian insulin
atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit
atau karena aktivitas fisik yang berat dan berlebihan (Smeltzer, 2002).
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak
secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress,
infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ini di tandai
dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan
pandangan kabur. Apabila diketahui dengan cepat, hiperglikemia dapat
dicegah tidak menjadi parah. Hiperglikemia dapat memperburuk
gangguan-gangguan kesehatan seperti disfungsi ereksi, dan infeksi jamur
pada vagina. Hiperglikemia berlangsung lama dapat berkembang menjadi
keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik.
Hiperglikemia dapat dicegah dengan mengontrol kadar gula darah yang
ketat (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes, 2005).
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak
cukup jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran klinik
yang penting pada ketoasidosis yaitu terjadinya dehidrasi, kehilangan
elektrolit dan asidosis (Smeltzer, 2002).
Komplikasi kronik dari diabetes mellitus melibatkan pembuluh darah
kecil (mikroangiopati) serta pembuluh darah sedang dan besar
(makroangiopati). Mikroangiopati menyerang pembuluh kapiler dan
arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik),
dan syaraf-syaraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot dan kulit
(Schteingart, 1995).

2.6. Terapi Diabetes


2.6.1. Non Farmakologi
1. Diet. Pokok pangkal penangan diabetes adalah makan dengan
bijaksana. Semua pasien selalu harus memulai diet dengan
pembatasan kalori, terlebih pada pasien overweight (tipe-2).
Makanan perlu dipilih secara seksama, terutama pembatasan
lemak total dan lemak jenuh untuk mencapai normalisasi kadar
glukosa dan lipida darah.
2. Gerak badan. Bila terdapat resistensi insulin, gerak badan secara
teratur (jalan kaki atau bersepeda, olahraga) dapat menguranginya.
Hasilnya insulin dapat dipergunakan secara lebih baik oleh sel
tubuh dan dosisnya pada umumnya dapat diturunkan.
3. Berhenti merokok karena nikotin dapat mempengaruhi secara
buruk penyerapan glukosa oleh sel (Tan dan Rahardja, 2002).
2.6.2. Farmakologi
1. Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi sulfonilurea, generasi I terdiri dari
tolbutamide, tolazamide, asetoheksamide dan klorpropamide.
Generasi II yang potensi hipoglikemik lebih besar glibenklamid,
glipizid, gliklazid dan glimepirid. Mekanisme kerja golongan
sulfonilurea adalah menstimulasi sel beta pankreas untuk
memproduksi insulin, meningkatkan sensitivitas sel-sel beta
pankreas terhadap glukosa, dan menghambat pelepasan glukagon
(Syarif, dkk., 2011).
a. Sulfonilurea Generasi Pertama
Tolbutamide diabsorpsi dengan baik tetapi cepat
dimetobolisme dalam hati. Masa kerjanya relatif singkat,
dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam, dan arena itu
merupakan sulfonilurea yang paling aman digunakan untuk
pasien diabetes berusia lanjut. Tolbutamide paling baik
diberikan dalam dosis terbagi (misalnya, 500 mg sebelum
makan dan sebelum tidur), namun beberapa pasien hanya
memerlukan satu atau dua tablet sehari. Reaksi toksik yang
akut jarang terjadi, ruam kulit tidak sering terjadi. Jarang
dilaporkan terjadinya hipoglikemia yang berlangsung lama,
terutama hanya terjadi pada pasien yang menerima obat
tertentu (misalnya, dicumarol, phenybutazone, atau
sulfonamide tertentu) yang menghambat metabolisme
tolbutamide (Katzung, 2002).
Chlorpropamide memiliki waktu paruh 32 jam dan
dimetabolisme dengan lambat di dalam hati menjadi produk
yang masih mempertahankan beberapa aktivitas biologisnya;
sekitar 20-30% diekskresi dalam bentuk tidak berubah di
dalam urine. Rata-rata dosis pemeliharaan adalah sebesar 250
mg sehari, yang diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari.
Dosis yang melebihi 500 mg setiap hari meningkatkan resiko
terjadinya ikterus, yang tidak lazim terjadi pada pemberian
dosis rendah. Pasien dengan suatu predisposisi genetis yang
menggunakan chlorpropamide mungkin mengalami suatu
hyperemic flush (kemerahan akibat hiperemi), apabila
mengkonsumsi alkohol (Katzung, 2002).
Tolazamide sebanding dengan chlorpropamide dalam
kekuatan tetapi masa kerja tetapi masa kerjanya lebih pendek,
menyerupai masa kerja acetohexamide. Tolazamide lebih
lambat diabsorpsi dibandingkan dengan sulfonilurea lainnya,
dan efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam
beberapa jam, waktu paruhnya sekitar 7 jam. Tolazamide
dimetabolisme menjadi beberapa senyawa yang
mempertahankan efek hipoglikemiknya. Apabila diperlukan
lebih dari 500 mg/hari, maka dosis tersebut dibagi dan
diberikan dua kali sehari. Dosis yang lebih besar dari 1000 mg
sehari tidak dapat memberikan tingkat kontrol glukosa darah
yang lebih baik (Katzung, 2002).
b. Sulfonilurea Generasi Kedua
Gliburide dimetabolisme dalam hati menjadi produk
dengan aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah. Efek
biologis gliburide bertahan selama 24 jam setelah pemberian
satu dosis tunggal yang biasa adalah 2,5 mg/hari atau kurang,
dan rata-rata dosis pemeliharaan adalah 5-10 mg/hari yang
diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari; tidak
dianjurakan untuk memberikan dosis pemeliharaan lebih dari
dari 20 mg/hari. Gliburide memiliki sedikit efek yang tidak
diinginkan selain dari potensinya untuk menyebabkan
hipoglikemia. Gliburide merupakan kontraindikasi pada
kerusakan hati dan pada pasien dengan insufisiensi ginjal
(Katzung, 2002).
Gliclazide memiliki waktu paruh yang paling pendek (2-4
jam) dari agen yang lebih kuat. Untuk mendapatkan efek
maksimal pada penurunan hiperglikemia pascaprandial, agen
tersebut dikonsumsi 30 menit sebelum sarapan, karena
absorpsinya cepat menjadi tertunda apabila obat tersebut
diberikan bersama dengan 15 mg/hari yang diberikan dalam
dosis tunggal. Efek terapeutik maksimum yang dicapai oleh
obat tersebut adalah 15-20 mg (Katzung, 2002).
Glimepiride digunakan sekali sehari sebagai monoterapi
atau dikombinasi dengan insulin untuk menurunkan glukosa
darah pada pasien diabetes yang tidak dapat mengontrol kadar
glukosa dengan cara diet dan olahraga. Satu dosis tunggal
sebesar 1 mg terbukti efektif dan dosis harian maksimal yang
dianjurkan adalah 8 mg, glimepiride memiliki masa kerja yang
panjang dengan waktu paruh 5 jam, sehingga memungkinkan
pemberian dosis sekali sehari. Agen tersebut di metabolisme
secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif
(Katzung, 2002).
2. Biguanida
Sebenarnya dikenal 3 jenis ADO dari golongan biguanida yaitu
fenformin, buformin, dan metformin, tetapi yang pertama telah
ditarik dari peredaran karena sering menyebabkan asidosis laktat,
sekarang yang banyak digunakan adalah metformin. Mekanisme
kerja golongan biguanida adalah mengurangi glukoneogenesis
hati, menambah pemanfaatan glukosa di daerah perifer,
mengurangi penyerapan glukosa oleh gastrointestinal (Syarif,
dkk., 2011).
Dosis metformin adalah dari 500 mg sampai maksimal 2,55 g
setiap hari, dengan anjuran penggunaan dosis efektif yang paling
rendah. Jadwal lazim dimulai dengan satu tablet tunggal sebesar
500 mg yang diberikan pada waktu sarapan selama beberapa hari
dan apabila berjalan baik tanpa keluhan saluran cerna, ditambah
dengan tablet kedua sebesar 500 mg yang diberikan pada waktu
makan malam apabila masih tetap terjadi hiperglikemia. Apabila
diperlukan peningkatan dosis selanjutnya setelah 1 minggu, maka
tablet sebesar 500 mg dapat ditambahkan pada waktu makan siang
atau tablet yang lebih besar (850 mg) dapat diresepkam dua atau
tiga kali sehari (dianjurkan dosis maksimum) apabila diperlukan.
Seyogyanya dosis selalu dibagi, karena penggunaan lebih dari 850
mg sekaligus biasanya menyebabkan efek yang tidak diinginkan
pada saluran cerna secara bermakna (Katzung, 2002).
Efek samping pada pasien dengan metformin mengalami mual,
muntah, diare serta kecap logam (metallic taste), tetapi dengan
menurunkan dosis keluhankeluhan tersebut segera hilang. Pada
beberapa pasien yang mutlak bergantung pada insulin eksogen,
kadang-kadang biguanid menimbulkan ketosis yang tidak disertai
dengan hiperglikemia (starvation ketosis), hal ini harus dibedakan
dengan ketosis karena desfisiensi insulin. Pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal atau system kardiovaskular, pemberian
biguanid dapat menimbulkan peningkatan kadar asam laktat dalam
darah, sehingga hal inidapat menggangu keseimbangan elektrolit
dalam cairan tubuh (Syarif, dkk., 2011).
3. Meglitinid
Meglitinid merupakan suatu golongan sekretagog insulin yang
baru. Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinid,
mekanisme kerjanya sama dengan sulfonilurea tetapi struktur
kimianya sangat berbeda. Golongan antidiabetik oral (ADO) ini
merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-
independent di sel beta pankreas. Mekanisme kerja golongan
meglitinid adalah waktu untuk beraktivitas cepat, hanya
menstimulasi insulin waktu makan, dan aktivitas insulin hanya
sewaktu makan (Syarif, dkk., 2011).
Repaglinide, memodulasi rilis insulin sel beta pankreas dengan
mengatur aliran ke luar kalium melalui kanal kalium. Repaglinide
memiliki mula kerja yang sangat cepat dengan konsentrasi puncak
dan efek puncak dalam waktu sekitar 1 jam setelah pemberian.
Klirens agen tersebut terjadi dihati dengan waktu paruh plasma 1
jam. Karena mula kerjanya yang cepat dan masa kerjanya yang
singkat, repaglinide merupakan indikasi untuk digunakan
mengontrol perjalanan glukosa pasca-prandial. Obat tersebut
seyogyanya digunakan tepat sebelum makan dalam dosis 0,25-4
mg (maksimal 16mg/hari). Sebaiknya obat tersebut digunakan
secara hati-hati pada individu dengan gangguan hati. Repaglinide
dapat digunakan secara tunggal sebagai monoterapi atau
dikombinasi dengan biguanida. Tidak terdapat sulfur dalam
struktur, sehingga repaglinide merupakan indikasi untuk
digunakan pada individu diabetes tipe 2 dengan alergi sulfur atau
alergi sulfonilurea (Katzung, 2002).
4. Inhibitor α-glukosidase
Mekanisme kerja golongan inhibitor α-glukosidase adalah
mengurangi hiperinsulinemia, dan mengurangi sintesis VLDL,
menurunkan kadar trigliserida, kolesterol, dan asam lemak bebas.
Baik acarbose dan miglitol diberikan dalam dosis 25-100 mg
segera sebelum suapan pertama setiap waktu makan, terapi
seyogyanya dimulai dengan dosis paling rendah dan ditingkatkan
secara perlahan (Katzung, 2002).
Efek samping yang bersifat dose-dependent, al. malaabsorpsi,
flatulen, diare, dan abdominal bloating. Untuk mengurangi efek
samping ini sebaiknya dosis dititrasi, mulai dosis awal 25 mg pada
saat mulai makan untuk selama 4-8 minggu, kemudian secara
bertahap ditingkatkan setiap 4-8 minggu sampai dosis maksimal
75 mg setiap tepat sebelum makan. Dosis yang lebih kecil dapat
diberikan dengan makanan kecil (Syarif, dkk., 2011).
5. Thiazolidinedion
Kelompok lain agen penyensitivitasi insulin adalah
thiazolidinedion (TZD) atau lebih akrab disebut glitazon.
Meskipun insulin diperlukan untuk kerja obat-obat ini, obat-obat
ini tidak memicu pelepasan insulin dari sel beta pankreas sehingga
tidak terjadi hiperinsulinemia. Troglitazon merupakan agen
pertama dari kelompok ini yang disetujui untuk terapi diabetes tipe
2, tetapi telah ditarik setelah sejumlah kematian akibat
hepatoksisitas dilaporkan. Saat ini, dua anggota kelompok ini telah
tersedia yaitu pioglitazon dan rosiglitazon (Harvey dan Champe,
2009).
Mekanisme kerja thiazolidinedion adalah meningkatkan
sensitivitas jaringan otot terhadap insulin, menurunkan kadar gula
darah, trigliserida, dan asam lemak bebas, menghambat produksi
glukosa hati, dan meningkatkan ketahanan insulin. Dosis awal
rosiglitazon 4 mg, bila dalam 3-4 minggu kontrol glisemia belum
nampak, dosis ditingkatkan 8 mg/hari, sedangkan pioglitazone
dosis awal 15-30 mg bila kadar gula darah tetap atau meningkat,
dosis dapat ditingkatkan sampai 45 mg. Efek klinis maksimalnya
tercapai setelah penggunaan 6-12 minggu. Efek samping antara
lain, peningkatan berat badan, edema menambah volume plasma
dan memperburuk gagal jantung kongesif (Syarif, dkk., 2011).
6. Penghambat Dipeptil Peptidase IV
Sitagliptin merupakan penghambat dipeptil peptidase-IV
(DPP-IV) yang aktif peroral dan digunakan untuk terapi pasien
dengan diabetes tipe 2. Mekanisme kerja sitagliptin menghambat
enzim DPP-IV yang bertanggung jawab untuk inaktivasi hormon-
hormon inkretin, seperti peptida-1 mirip glukagon (glucagon-like
peptide-1/GLP-1). Aktivitas hormon inkretin mengakibatkan
peningkatan pelepasan insulin sebagai respon terhadap makan dan
reduksi sekresi glukagon yang tidak sesuai. Sitagliptin dapat
digunakan sebagai monoterapi atau dalam bentuk kombinasi
dengan sulfonilurea, biguanida, atau glitazon. Dosis sekali sehari
dapat digunakan dengan atau tanpa makanan. Efek samping secara
umum adalah nasofaringitis dan nyeri kepala (Harvey dan
Champe, 2009).

2.7. Insulin
Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel beta pankreas. Insulin
terikat pada reseptor spesifik dalam membran sel dan memulai sejumlah
aksi termasuk peningkatan ambilan glukosa oleh otot, hati, dan jaringan
adiposa (Neal, 2006).Insulin merupakan protein kecil yang mengandung
dua rantai polipeptida yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Disintesis
sebagai protein precursor (proinsulin) yang mengalami pemisahan
proteolitik untuk membentuk insulin dan peptida C, keduanya disekresi
oleh sel beta pankreas (Harvey dan Champe, 2001).
Table 2.2 Tipe Insulin Untuk Pengobatan Diabetes

No Tipe Insulin Contoh Insulin Onset Kerja Puncak Durasi Kerja


Kerja
1 Kerja cepat Hulamog (Lispro) 30-90 menit
15 menit 3-5 jam
Novolog (Aspart) 40-50 menit
2 Kerja singkat Humulin N
30-60 menit 50-120 menit 5-8 jam
(Regular) Novolin N
Kerja sedang Humulin L 1-3 jam 8 jam 20 jam
3 Novolin L 1-2,5 jam 7-15 jam 18-24 jam
(NPH)
4 Campuran kerja Humulin 70/30
sedang dan kerja Humalog Mix 75/25
Campuran Campuran Campuran
singkat Novolin 70/30
Novolog Mix 70/30
5 Kerja lama Ultralente 4-8 jam 8-12 jam 36 jam
Lantus (Glasgine) 1 jam Tidak ada 24 jam

2.8. Pedoman Obat Yang Baik Untuk Penanganan Diabetes


Mellitus
Sulfonilurea diindikasikan pada pasien (terutama pasien yang
mendekati berat badan idealnya) yang dietnya gagal untuk mengendalikan
hiperglikemia, tetapi pada sekitar 30% kontrol tidak dapat dicapai dengan
obat ini. Obat ini menstimulasi pelepasan insulin sehingga pasien harus
mempunyai sel beta yang berfungsi parsial agar obat ini bisa berguna.
Glipizid dan gliclazid mempunyai waktu paruh yang relatif singkat dan
biasanya diberikan pertama kali. Glibenklamid mempunyai durasi kerja
lebih panjang dan dapat diberikan sekali sehari, glibenklamid sebaiknya
dihindari pada pasien dengan resiko hipoglikemia (misalnya orang lanjut
usia). Pasien-pasien lanjut usia mungkin lebih aman diberi tolbutamid
yang mempunyai durasi kerja paling singkat (Neal, 2005).

Anda mungkin juga menyukai