Pertemuan para pihak (Conference of Parties) 26 (COP26) yang akan diselenggarakan
di Glasgow 31 Oktober-10 November 2021 mendatang. Pemerintah Indonesia mengusung 4 agenda utama yaitu: 1. Implementasi NDC 2. Pemenuhan/penyelesaian Paris Rule Book 3. Komitmen jangka panjang (Long Term Strategy) 2025 4. Menuju Net-Zero Emission Indonesia akan menyoroti berkurungnya angka deforestasi dalam 5 tahun terakhir dan upaya restorasi lahan gambut. Selain itu, upaya penurunan emisi disektor energi akan juga dibahas seperti pemberian porsi energi terbarukan yang lebih besar dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Kebutuhan finansial untuk penanganan iklim sangat besar. Disektor energi saja, dibutuhkan USD 30-40 milyar per tahun hingga 2030. Periode selanjutnya, 2030-2050 kebutuhan investasi akan meningkat hingga USD 50-60 milyar per tahun. Indonesia harus mengejar komitmen negara-negara maju untuk memberi bantuan pendanaan krisis iklim pada negera-negara berkembang. Ulasan Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Penggunaan energi fosil mencapai 82% pada tahun 2020 membuat sektor energi sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di Indonesia (45,7%) selain emisi dari hutan dan penggunaan lahan dan Indonesia harus meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 40-60% pada tahun 2040 atau 70-90% pada tahun 2050. Laporan Climate Transparency juga mendorong penciptaan ekosistem yang mendukung pengembangan energi terbarukan diantaranya dengan menghentikan subsidi pada energi fosil. 7 dari 10 bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi dan frekuensinya tahun ini lebih tinggi dari tahun 2020. Ekonomi hijau menjadi game charger bagi perekonomian Indonesia pasca covid- 19. Menurutnya, pembangunan rendah karbon dengan memanfaatkan energi terbarukan akan menjadi tulang punggung untuk mencapai target ekonomi hijau Indonesia dan net-zero emission pada tahun 2060. United Cities and Local Goverments Asia Paciffic (UCLG ASPAC) mendorong peran para kepala daerah (walikota) dalam penanganan perubahan iklim dengan memberikan pelatihan pada pemerintah kota tentang perencanaan aksi iklim, akses pada pembiayaan terkait iklim, dan adopsi dan pengembangan perangkat monitoring. Perubahan Iklim Identik dengan Perubahan Suhu Bumi Perubahan suhu global akan berdampak pada perubahan iklim dan akan menambah daftar resiko kesehatan lingkungan bagi manusia. Paparan terhadap perubahan-perubahan lingkungan dapat menimbulkan berbagai problem kesehatan, seperti penyakit-penyakit terkait suhu dan cuaca ekstrim, penyakit yang menular lewat makanan, air dan vektor serta penyakit akibat pencemaran udara. Hubungan Perubahan Iklim dan Kesehatan Pemanasan global yang terjadi menyebabkan perubahan Iklim dan Cuaca diseluruh dunia. Sebagian belahan dunia menjadi lebih kering dan sebagian lagi menjadi lebih basah. Sebagian dunia ada yang menjadi lebih panas dan sebagian lagi menjadi lebih dingin. Laporan World Health Organization (WHO) pada November 2013 menyebutkan beberapa hubungan anatara perubahan iklim dan kesehatan manusia. Menurut the European Environment Agency (EEA), perubahan iklim menyebabkan kenaikan temperatur permukaan bumi sebesar 0,74 °C pada abad 20, dan kenaikan temperatur laut dunia sebesar 1,8 mm per tahun sejak tahun 1961. Pada abad 21 diprediksi terjadi kenaikan temperatur bumi sebesar 1,5-5,8°C yang dipicu oleh peningkatan cuaca ekstrem, gelombang panas, banjir dan kekeringan di berbagai tempat. Adanya perubahan anatara perubahan iklim, yang ditandai adanya perubahan temperatur, presipitasi dan kelembaban, angin serta debu mempengaruhi terjadinya segitiga keseimbangan penyakit antara pejamu, agen penyakit dan penyebaran. Jika terjadi ketidakseimbangan antara faktor di dalam segitiga ini, maka akan terjadi penyakit infeksius yang ditularkan melalui peranan vektor air, makanan, udara dan lainnya. Terjadinya penyakit infeksius ini akan mempengaruhi kesehatan manusia. Menurut Prof. Ridad Agoes, Guru Besar Tetap Ilmu Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (UNPAD), menyebutkan bahwa Pemanasan global mengakibatkan arbovirus seperti dengue dan parasit protozoa seperti malaria sudah menyebar ke daerah-daerah yang sebelumnya tidak ada, nyamuk yang menjadi vektor tersebut mampu untuk berkembang biak di daerah yang sebelumnya dianggap terlalu dingin untuk mampu bertahan dan mengakibatkan siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan nyamuk dewasa lebih singkat, sehingga jumlah populasinya akan cepat sekali naik, saat ini setidaknya 270 juta penduduk dunia menderita malaria dan lebih dari 2 milyar atau 42% penduduk memiliki risiko terkena malaria. Menurut Budi Haryanto, Epidemiologis Universitas Indonesia, memaparkan tingginya angka kematian akibat kenaikan suhu bumi yang diperkirakan pada 2030-2050, perubahan iklim akan menyebakan tambahan kematian per tahun sebanyak ¼ juta orang akibat malnutrisi (kekurangan nutrisi), malaria, stres akibat gelombang panas. Perubahan iklim secara tidak langsung memengaruhi distribusi, populasi, serta kemampuan nyamuk dalam menyesuaikan diri (Patz,2006). Perubahan iklim berdampak pada naiknya permukaan air laut yang dapat meningkatkan sanitas air. Ada beberapa nyamuk yang toleran dengan air salin yaitu Aedes sp dan Anopheles sp. Meningkatnya temperatur rata-rata bumi mempunyai konsekuensi terhadap meningkatnya transmisi mosquito borne diseases termasuk pada nyamuk vektor filariasis. Kasus kronis Limfatik Filariasis di Indonesia mempunyai kecendrungan meningkat, yaitu 8.243 kasus pada tahun 2005 menjadi 11.473 kasus pada tahun 2007. Pemanasan global menyebabkan suhu (suhu antara 24-28°C) beberapa wilayah cocok untuk berkembangbiaknya nyamuk Aedes, memperluas ruang gerak nyamuk Aedes sehingga persebaran daerahnya menjadi luas.