Kesehatan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya ternak. Oleh
karena itu upaya menjaga kesehatan ternak perlu mendapatkan perhatian yang serius agar ternak
tetap dalam keadaan sehat sehingga dapat hidup secara normal dan dapat berproduksi secara
optimal sesuai dengan kemampuan genetisnya. Ternak dikatakan sakit jika organ tubuh atau
fungsi organ tubuh tersebut mengalami kelainan, dan tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Kelainan tersebut dapat diketahui melalui pemeriksaan dengan indera secara langsung
mapun menggunakan alat bantu. Untuk mengetahui gejala – gejala yang timbul sebagai akibat
adanya kelainan pada suatu sistem organ dari seekor ternak karena menderita suatu penyakit
perlu dilakukan pemeriksaan.
Menurut Akoso ( 2010 ) pemeriksaan kesehatan ternak secara cepat dan akurat sangat
diperlukan dalam upaya pengendalian maupun pemberantasan penyakit. Kesehatan hewan
meliputi cara pemeriksaan fisik, tingkah laku dan fisiologi ternak. Menurut Jackson & Cockroft (
2002 ) pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan keadaan tubuh melalui cara penentuan kondisi fisik
dengan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pemeriksaan fisik merupakan tindakan
untuk mengidentifikasi kelainan-kelainan klinis dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
suatu penyakit pada individu maupun populasi. Melalui informasi yang didapatkan selama
pemeriksaan dapat ditentukan beberapa penyebab penyakit, organ yang terlibat, lokasi, tipe lesio,
patogenesa, maupun tingkat keparahan penyakit. Pengendalian penyakit, prognosis dan
kesejahteraan hewan yang diharapkan dapat tercapai bila dilakukan pemeriksaan fisik yang benar
dan disertai dengan diagnosa yang tepat.
Pada umumnya pemeriksaan dapat dilakukan dengan 4 (empat) macam cara, yaitu:
1) Inspeksi (Melihat)
Inspeksi (melihat), digunakan untuk mengamati sikap dan kondisi umum tubuh ternak
bagian luar maupun bagian yang agak dalam. Pemeriksaan bagian luar misalnya meliputi
permukaan tubuh, kulit dan bulu
.
2) Palpasi (Meraba)
Palpasi (perabaan) merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan menggunakan telapak
tangan atau punggung tangan. Perabaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perabaan
luar dan perabaan dalam. Perabaan luar dilakukan dengan tujuan untuk merasakan permukaan
bidang apakah kasar atau halus, juga untuk merasakan adanya penebalan kulit, bulu rontok, atau
kemungkinan adanya benjolan di kulit, dan sebagainya.
3) Perkusi (Mengetuk)
Perkusi merupakan cara pemeriksaan yang dilakukan dengan menggunakan alat pengetuk
(semacam palu) dan bantalan pengetuk.
4) Auskultasi (Mendengar)
Auskultasi merupakan pemeriksaan dengan menggunakan indera pendengaran (telinga),
digunakan untuk mendengarkan adanya kelainan – kelainan bunyi pada organ – organ
pernapasan dan organ pencernaan. Caranya dengan menempelkan telinga ke dinding rongga dada
atau dinding rongga perut. Agar kelainan bunyi yeng terjadi dapat didengan dengan lebih jelas
biasanya pemeriksaan dengan cara auskultasi ini menggunakan alat bantu yang disebut
stetoskop.
Diagnosa Penyakit
Diagnosa penyakit merupakan salah satu tahap dalam penanganan kasus di peternakan.
Diagnosa penyakit adalah upaya untuk menegakkan atau mengetahui jenis penyakit yang
menyerang atau faktor penyebab lainnya di suatu peternakan. Ketepatan diagnosa akan
mempengaruhi keberhasilan pengobatan/penanganan penyakit. Namun keberhasilan pengobatan
juga dipengaruhi oleh tingkat keparahan penyakit. Jika kondisi ayam sudah parah, maka tingkat
kesembuhan atau prognosanya (kemungkinan tingkat kesembuhan) juga kecil. Pengumpulan data
secara menyeluruh penting untuk diperhatikan. Pada dasarnya proses mendiagnosis
penyakit dianalogikan seperti halnya menyusun puzzle. Yakni dengan mengumpulkan berbagai
data yang mengarah pada penarikan kesimpulan tentang penyakit yang menyerang peternakan.
Semakin banyak data yang diperoleh maka penarikan kesimpulan akan semakin mudah. Tahap-
tahap yang perlu dilakukan dalam mendiagnosa penyakit antara lain anamnesa (pengumpulan
data pendukung dan sejarah penyakit), pengamatan gejala klinis (gejala yang nampak dari luar
saat ayam masih hidup) yang muncul, pemeriksaan bedah bangkai (perubahan organ saat ayam
sudah mati) serta pengujian laboratorium.
Anamnesa
Anamnesa berkaitan dengan keluhan yang dirasakan peternak berdasarkan pengamatan,
peninjauan maupun pengumpulan data. Tujuannya untuk mendapatkan informasi yang digunakan
sebagai panduan awal. Anamnesa dapat dilakukan dengan mempelajari catatan pemeliharaan
atau data recording maupun informasi dari petugas kandang. Data-data yang perlu dikumpulkan
meliputi:
Jenis, strain, dan umur ayam.
Jumlah populasi ayam dalam satu kelompok umur, serta jumlah seluruh populasi dalam satu
lokasi peternakan. Kemudian kita harus tahu juga apakah gejala sakit hanya pada kelompok
umur/kandang tertentu atau terjadi juga pada kelompok umur/kandang yang lain.
Program vaksinasi yang diterapkan dan bagaimana aplikasi yang diberikan.
Program pemberian vitamin atau antibiotik apa saja yang sudah dilakukan
Bagaimana pelaksanaan biosekuriti di peternakan
Bagaimana sejarah kasus penyakit di peternakan tersebut
Berapa persentase produksi telur, berat telur, kualitas telur, dan kerabang telur, serta apakah
terjadi abnormalitas pada bentuk telur
Data mengenai jumlah konsumsi pakan, berat badan, keseragaman, dan FCR
Gambaran mengenai angka morbiditas (tingkat kesakitan) dan mortalitas (tingkat kematian)
Semua informasi pendahuluan di atas perlu kita ketahui untuk menganalisa faktor-faktor
pendukung kejadian penyakit. Seluruh data awal yang dapat digali dalam proses anamnesa
merupakan infomasi yang sangat bermanfaat dalam melihat proses kejadian penyakit secara
utuh.
Ambil contoh mengenai jenis dan umur ayam dapat menunjukkan penyakit apa saja yang
mungkin dapat menyerang ayam. Karena kita tahu beberapa penyakit rawan menyerang pada
umur-umur tertentu.
Gumboro misalnya, lebih sering menyerang pada semua jenis ayam pada umur muda
kurang dari 9 minggu. Organ target yang diserang pada penyakit Gumboro adalah bursa
Fabricius. Bursa Fabricius merupakan jaringan limfoid (organ kekebalan) yang hanya ada pada
ayam muda saja. Pada ayam dewasa umur kurang lebih 8 minggu akan mulai mengecil dan
rudimenter/benar-benar mengecil pada umur 16 minggu.
Data mengenai besarnya angka morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka
kematian) juga sangat penting kita dapatkan. Hal ini untuk mengetahui derajat keparahan suatu
penyakit dan mengetahui kemungkinan penyebab penyakit.
Anamnesa juga membantu kita mengetahui gambaran proses kejadian penyakit secara
umum terlebih dahulu. Misalnya dalam kasus penurunan produksi telur yang terjadi pada seluruh
populasi ayam, pada beberapa kelompok umur secara berbarengan, tanpa disertai dengan gejala
ayam sakit, kita mungkin menduga kasus penurunan produksi tersebut berkaitan dengan masalah
pakan. Masalah pakan di sini bisa karena perbedaan komposisi pakan, penurunan kualitas pakan,
maupun kemungkinan penumpukan dan penyimpanan pakan yang terlalu lama di dalam gudang
pakan. Bisa juga karena feeding programnya yang kurang tepat sehingga feed intake-nya tidak
masuk.
Pada kasus lain lagi, terjadi penurunan produksi telur yang sangat tajam namun hanya
terjadi pada satu kelompok ayam saja. Penurunan produksi telur juga disertai dengan penurunan
kualitas telur, misalnya penurunan kualitas kerabang, abnormalitas bentuk telur, dan penurunan
kualitas putih telur. Apabila kita mendapat data anamnesa demikian tentu kita bisa menduga
dengan kemungkinan penyakit tertentu. Namun demikian kita tetap harus melakukan
pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya faktor non infeksius (bukan karena bibit penyakit)
lain yang bisa menimbulkan penurunan kualitas telur seperti itu.
Ketelitian dalam mengamati gejala klinis sangat membantu dalam proses menegakkan diagnosa
penyakit. Gejala klinis merupakan cerminan langsung kondisi tubuh ayam yang dapat langsung
diamati tanpa melakukan bedah bangkai. Misalnya dalam kasus Gumboro, gejala klinis yang
menciri adalah kondisi badan lemah, bulu kusam dan berdiri, badan seperti menggigil gemetaran,
tidak nafsu makan dan minum, jika dipegang terasa panas/demam, dan diare berwarna putih.
Sedangkan ayam yang mengeluarkan suara ngorok merupakan gejala klinis umum beberapa
macam penyakit, misalnya CRD (Cronic Respiratory Disease), snot,
colibacillosis, infectious bronchitis (IB), Newcastle disease (ND), infectious
laryngotracheitis (ILT), bahkan avian influenza (AI).
Mendiagnosa Penyakit
Berdasrkan gejala :
1. Penyakit ND/Totelo
Penyakit Newcastle Disease (ND) atau dikenal dengan penyakit tetelo bukan merupakan
penyakit yang asing di industri peternakan unggas Indonesia. Indonesia merupakan daerah
endemis dan mempunyai sejarah yang sangat dekat dengan penyakit ini.Newcastle Disease (ND)
merupakan penyakit menular akut yang menyerang ayam dan jenis unggas lainnya dengan gejala
klinis berupa gangguan pernafasan, pencernaan dan syaraf disertai mortalitas yang sangat tinggi.
Kerugian yang ditimbulkan ND berupa kematian yang tinggi, penurunan produksi telur dan
daya tetas, serta hambatan terhadap pertumbuhan. Penyakit ND / Tetelo ini disebabkan karena
serangan virus NDV, suatu virus RNA berkas tunggal dengan sekuens antisens negatif.
Gejala yang ditimbulkan ketika ayam terkena penyakit tetelo adalah sebagai
berikut :
Excessive mocus di bagian trakea
Gangguan pernafasan pada ayam yang biasanya ayam akan mengalami batuk, bersin –
bersin, ngorok, dan juga nafasnya ngap – ngapan
Pada tubuh ayam akan terlihat lesu dan lemas
Nafsu makan pada ayam akan menjadi menurun dinanding pada hari – hari biasanya.
Bila penyakit ini menyerang pada ayam betina, ini akan mengakibatkan produktifitas
telur menjadi menurun
Kotoran ayam akan terlihat lebih encer dan berwarna hijau
Pada kornea mata ayam terlihat keruh.
Jenggernya berwarna biru, sayam akan menjadi menurun.
ketika sudah parah maka akan terjadi kelumpuhan saraf yang akan mengakibatkan kejang
– mkejang dan leher terpuntir ke arah bawah
Pada Fase umur 2-3 minggu ini jugaterjadi perubahan sistem kekebalan dari kekebalan pasif atau
kekebalan dari induk ke kekebalan aktif atau kekebalan dari vaksin baik IBD ataupun ND. Untuk
itu meminimalkan stress eksternal pada masa itu, perlakuan-perlakuan berikut sangat membantu:
b. Pelaporan
Jika ditemukan kasus ND dapat dilaporkan kepada Dinas yang membidangi fungsi Peternakan
dan Kesehatan Hewan terkait. Laporan tersebut selanjutnya diteruskan kepada Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Peneguhan diagnosa dilakukan oleh Laboratorium
Veteriner terakreditasi.
2. Penyakit Koksidiosis
Avian Coccidiosis (koksidiosis) merupakan penyakit usus yang disebabkan oleh protozoa
parasit Genus Eimeria (Allen dan Fetterer, 2002). Eimeria berkembang biak di saluran
pencernaan dan menyebabkan kerusakan jaringan (Calnek dkk., 2001). Koksidiosis pada ayam
berlokasi pada dua tempat yaitu di sekum (caecal coccidiosis) yang disebabkan oleh E. tenella
dan di usus (intestinal coccidiosis) yang disebabkan oleh delapan jenis lainnya (Jordan dkk.,
2001).
Koksidiosis merupakan salah satu penyakit yang banyak mendatangkan masalah dan
kerugian pada peternakan ayam. Kerugian yang ditimbulkan meliputi kematian (mortalitas),
penurunan berat badan, pertumbuhan terhambat, nafsu makan menurun, produksi daging turun,
meningkatnya biaya pengobatan, upah tenaga kerja dan lain-lain. Kerugian yang ditimbulkan
dapat menghambat perkembangan peternakan ayam dan menurunkan produksi protein hewani,
oleh karena itu pengendalian koksidiosis pada ayam perlu mendapat perhatian (Tabbu, 2006).
Koksidiosis atau sering disebut berak darah adalah penyakit parasiter yang menimbulkan
gangguan terutama pada saluran pencernaan bagian aboral, angka kesakitan dan kematian dapat
mencapai 80-90% (Retno, et al, 1998).
PENYEBAB
Koksidiosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh protozoa yang bernama Eimeria sp
famili Eimeriidae atau yang lebih sering dikenal dengan penyakit berak darah, dimana Eimeria
ini mengivestasi bibit mikroorganisme kedalam sel tubuh sehingga melahirkan gangguan
kesehatan infestasi klinis yang merusakkan jaringan pencernaan terutama usus. Akibatnya terjadi
pada proses pencernaan berupa gangguan metabolisme dan penyerapan zat makanan, bahkan
kehilangan darah dari rusaknya jaringan usus, dan hampir pasti rentan terhadap penyakit lain.
DIAGNOSA
Diagnosa sangkaan terhadap koksidiosis dapat di dasarkan atas gejala klinik, perubahan
patologik yang berhubungan dengan lokasi sejumlah besar ookista atau stadium aseksual Eimeria
(sporozoit, merozoit, skison) dan riwayat kasus Tabbu, (2006). Diagnosa laboratorium dapat
dilakukan dengan melakukan uji natif, uji apung dan uji sentrifus terhadap feses yang diduga
terinfeksi Eimeria, Sp.
PENULARAN
Penyakit ini dapat ditularkan secara mekanik malalui pekerja kandang, peralatan yang
tercemar atau dalam beberapa kasus yang pernah terjadi dapat disebarkan melalui debu kandang
dan litter dalam jangkauan pendek. Berat tidaknya penyakit ini tergantung dari jumlah protozoa
yang termakan.
PENGOBATAN
Untuk pengobatannya dapat dilakukan dengan cara pemberian larutan amprolium atau
sulfonamide dalam air minum dan pemberian air yang dapat mensuspensi suplemen vitamin A
dan K dapat mempercepat proses penyembuhan.
PENCEGAHAN
Untuk pencegahan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Sanitasi dan ventilasi kandang harus baik.
b. Pengangkatan litter setiap kali panen pada broiler.
c. Lantai kandang dicuci pakai air untuk membersihkan kotoran, pencucian tahap kedua dengan
deterjen.
d. Menaburkan bubuk kapur di dalam kandang.
e. Peralatan feeder dan drinker dicuci sebersih mungkin.
f. Kandang difumigasi dengan formalin 10%.
g. Melakukan istirahat kandang 7-21 hari.
PENGENDALIAN
Pengendalian koksidiosis pada ayam di Indonesia umumnya dilakukan dengan pemeliharaan
kebersihan, pemberian koksidiostat yang dicampurkan dalam makanan atau air minumnya, dan
penggunaan vaksin koksidia. Pengendalian koksidiosis dengan pemberian koksidiostat harus
diikuti cara dan takaran yang telah ditentukan agar tidak menimbulkan efek samping, bahwa
pemakaian satu macam koksidiostat yang terus menerus dalam pakan ayam dapat menimbulkan
galur coccidia yang tahan terhadap kokidiostat tersebut (Tabbu, 2006). Antikoksidia dapat
menimbulkan resistensi terhadap koksidiosis. Industri farmasi ada usaha untuk mengatasi
masalah resistensi koksidiosis pada unggas (Allen dan Fetterer, 2002).
KERUGIAN
Kemungkinan kerugian yang ditimbulkan dari penyakit ini jelas terjadi berupa kemerosotan
produksi yang cukup signifikan, serta menjadi pemicu gagalnya program vaksinasi, dengan titer
antibody yang diperoleh akan rendah dan tidak optimal dapat memicu timbulnya penyakit lain
seperti ND, Gumboro, Mareks bahkan Coryza atau biasa yang disebut infeksi sekunder.
3. Penyakit Gumboro