AL-QUR’AN HADIS
TAFSIR AL-QUR’AN
Disusun oleh :
NURHIMAN PAPUTUNGAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTAN AMAI GORONTALO
TAFSIR AL-QUR’AN:
Upaya menafsirkan al-Qur’an sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. Predikat al-
Qur’an sebagai Hudan (petunjuk) dan Rahmatan (rahmat) bagi manusia, membuka
kemungkinan yang luas bagi penafsiran terhadapnya.
Susunan al-Qur’an yang tidak sistematis3 juga merupakan alasan tersendiri mengapa
penafsiran serta penggalian terhadap makna ayat-ayatnya justru menjadi tugas umat yang
tidak pernah berakhir.
Kata tafsir adalah bentuk kata benda dari kata kerja fassara. Tafsir berarti
penjelasan, uraian, interpretasi, atau komentar. Kata ini terdapat hanya satu kali dalam al-
4
Qur’an; surat al-Furqan (25): 33.
Tafsir dapat juga diartikan menyingkap dan menampakkan makna yang abstrak,
5
yang tertutup, maksud lafal yang musykil, pelik.
Tafsir dalam wacana istilah —menurut Abu Hayyan— dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, tentang petunjuk-
petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun kala tersusun, dan
makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun, serta hal-hal lain yang
6
melengkapinya. Dalam format yang lebih sederhana, al-Zarkashiy menekankan definisi
tafsir sebagai ilmu untuk memahami al-Qur’an, serta mengeluarkan hukum dan
7
hikmahnya. Kemudian, substansi definisi ini memberikan muara bagi kemungkinan
diidentikkannya istilah tafsir dengan istilah hikmah —kaitannya dengan tafsir dalam
perspektif al-Qur’an.
Pengertian tafsir di atas membuka wacana dua dimensinya, yakni sebagai ilmu dan
produk. Sebagai ilmu, tafsir merupakan perangkat pengetahuan untuk mengungkap
kandungan makna al-Qur’an, baik petunjuk-petunjuk, hukum-hukum maupun hikmah di
dalamnya. Sementara sebagai produk, tafsir berupa penjelasan petunjuk-petunjuk, hukum-
hukum maupun hikmah yang dikandung al-Qur’an.
Selanjutnya, pengertian ta’wil —secara etimologis— berasal dari kata awwala yang
berarti fassara (menafsirkan) dan bayyana (menjelaskan). Atas dasar itu, ta’wil berarti
penafsiran (al-tafsir) dan penjelasan (al-tabyin) tentang apa yang dimaksud oleh perintah
8
kalam.
akibat yang dimaksud oleh kalam.9 Perbedaan kedua pandangan ini jelas. Tetapi, kalau
keduanya dimanfaatkan, maka ta’wil dapat dipahami esensi tentang sesuatu yang
ditakwilkan, yang dalam esensi itu termuat juga akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
sesuatu tersebut. Sementara definisi ta’wil adalah memalingkan makna lafal yang kuat
10
(rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada dalil yang menyertainya. Definisi
yang dikemukakan oleh golongan muta’akhkhirin ini tidak sesuai dengan lafal ta’wil
dalam al-Qur’an menurut versi salaf.
Al-Zarqani mengemukakan bahwa tafsir menjelaskan lafal dari aspek riwayah, dan
ta’wil dari aspek dirayah. Tafsir menjelaskan makna yang digali dari topik ibarat,
11
sedangkan ta’wil menjelaskan makna dengan metode isyarat.
Paparan di atas memberikan aset mengenai perbedaan arti dan kandungan tafsir dan
ta’wil. Tafsir menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedangkan ta’wil menerangkan
hakikat yang dikehendaki. Operasionalisasi tafsir lebih dekat pada pendekatan historis-
fenomenologis, sementara ta’wil pada pendekatan filosofis.
Pada al-Qur’an, surat al-Furqan 33 diredaksikan ahsan tafsir, yang dalam pendapat
Ibn Abbas diartikan lebih baik perinciannya.
Ayat itu merupakan kelanjutan dari penjelasan argumentatif atas gugatan orang-
orang kafir tentang mengapa al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus (jumlah wahidah).
Tidak lain, kebertahapan wahyu al-Qur’an agar mudah dipahami dan dihafalkan (li
nuthabbit bih fu’adak) dalam konteksnya.
diperkuat oleh riwayat dari Ibn Abbas yang menjelaskan maknanya sebagai pengetahuan
tentang al-Qur’an (al-Ma’rifah bi al-Qur’an); yakni nasikh-mansukh, muhkam-mutashabih,
muqaddam-mu’akhkhar, halal-haram. Atas dasar ini al-Qur’an mengidentikkan istilah dan
substansi tafsir dengan hikmah. Dengan demikian, ada dua hal yang penting dicatat
kaitannya dengan tafsir dalam perspektif al-Qur’an, yaitu: pertama, tafsir merupakan
instrumen u
—yang diidentikkan dengan hikmah—, adalah pelita yang mengungkap hukum-hukum
kiamat, peniupan roh pada makhluk, turunnya Nabi Isa as dan sebagainya.
Secara lebih luas dan rinci, Muhammad Hayyan menjelaskan variasi makna ta’wil
dalam perspektif al-Qur’an. Ta’wil dapat berarti penafsiran dan penentuan (Al Imran: 7),
akibat dan tempat kembali (al-Nisak: 59), kejadian apa yang diberitakan (al-’A‘raf: 53;
Yunus: 39), esensi petunjuk rasionalitas (Yusuf: 6,37,44,45,100), pemaparan fakta historis
tentang tenggelamnya perahu, terbunuhnya bocah, dan ditegakkannya pagar (pada kisah
Kevariasian makna ta’wil yang dikemukakan oleh Hayyan tersebut, dapat dipakai
sebagai standar alternatif untuk memahami ayat-ayat lain, apabila substansinya sama
dengan ayat-ayat yang disebutkannya. Termasuk di dalamnya, sebab-sebab yang meliputi
hal-hal dalam substansi tersebut.
19
4) Memeriksa pendapat tabi’in.
(13) Fiqh, (14) Hadis-hadis tentang penafsiran lafal mujmal dan mubham, dan (15)
20
Mawhibah.
Ketiga, kriteria/kulalifikasi personalitas:
Seorang mufassir disyaratkan memenuhi kriteria: (1) berakidah yang benar, (2) bersih dari
hawa nafsu, (3) berpengetahuan bahasa Arab, dengan segala cabangnya, (4)
berpengetahuan bahasa, (5) berpengetahuan pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-
21
Qur’an, (6) berkemampuan pemahaman yang cermat.
Berbeda halnya dengan pandangan Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Ak, ada limabelas syarat
bagi mufassir, yang justru lebih mencerminkan kemampuan ilmu-ilmu yang diperlukan
22
bagi penafsiran, bukan kualifikasi personalitas. Ini lebih dekat pada komposisi keilmuan
yang ditawarkan oleh al-Hasaniy pada poin ketiga berikut.
Keempat, etika.
(1) Berniat baik dan bertujuan benar, (2) berakhlak baik, (3) taat dan beramal, (4) berlaku
jujur dan teliti dalam penukilan, (5) tawaddu’, (6) berjiwa mulia, (7) vokal dalam
menyampaikan kebenaran, (8) berpenampilan baik, (9) bersikap tenang dan mantap, (10)
mendahulukan orang lain yang lebih utama daripada dirinya, (11) mempersiapkan dan
23
menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.
Khusus aspek ketiga dan keempat, pemisahan antara keduanya didasarkan pada
alasan substantif-tipikal masingmasing. Aspek kualifikasi personal merupakan segi statis
yang bercirikan kedirian (individualisasi) mufassir. Sementara aspek etika merupakan segi
dinamis dalam interaksi kedirian mufassir dengan pihak di luarnya. Apabila keempat
aspek tersebut disimplifikasikan, maka aspek pertama dan kedua dapat disatukan kedalam
aspek tafsir (metodologis), sedangkan aspek ketiga dan keempat ke dalam aspek mufassir.
E. Tafsir Rasul, Sahabat dan Tabi’in
1. Tafsir Rasul
2. Tafsir Sahabat
Di kalangan para sahabat, yang terkenal sebagai ahli tafsir yang luas
pengetahuannya ada 10 orang. Di antaranya adalah al-Khulafa‘ al-Rashidun, dan Ali
adalah orang yang sering disebut daripada ketiga khalifah lainnya. Sementara yang paling
tepat bergelar “ahli tafsir” adalah Abdullah bin Abbas, sedangkan Nabi sendiri
Qur’an”.26
Cara yang ditempuh oleh para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an, berpegang
teguh pada: (1) al-Qur’an, (2) penjelasan Nabi, dan (3) pemahaman dan ijtihad. Sedangkan
27
pendekatan penafsirannya adalah bi al-Ma’thur. Tafsir sahabat diterima baik oleh para
ulama dari kaum tabi’in di berbagai daerah Islam, bahkan jumhur ulama berpendapat,
bahwa tafsir sahabat mempunyai status marfu’ apabila berkenaan dengan asbab al-nuzul
dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki ra’y.
Padahal, nyatanya, tidak semuanya mengerti makna kosa kata bahasa Arab.28
3. Tafsir Tabi’in
Pada masa ini, muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah dan
Iraq. Kelompok Makkah memperoleh transformasi dari Ibnu Abbas, yang mereka adalah para
sahabatnya. Kelompok Madinah dituruni ilmu oleh Zaid bin Aslam, yang mereka adalah
anak dan muridnya. Sementara di Kufah (Iraq) muncul para mufassir dari sahabat- sahabat
29
Abdullah bin Mas’ud.
Cara yang ditempuh oleh penafsir tabi’in adalah berpegang pada: (1) al-Qur’an, (2)
keterangan dari para sahabat yang bersumber dari Rasulullah, (3) penafsiran para sahabat
30
sendiri, (4) keterangan dari ahli kitab yang bersumber dari kitab mereka, dan (5) ijtihad.
Seirama dengan bertambah jauhnya manusia dari masa Nabi dan sahabat, maka
tingkat kesulitan penafsiran semakin bertambah. Karenanya, mufassir tabi’in berupaya
Tafsir Tahliliy mengkaji al-Qur’an dari segala aspek dan maknanya. Tafsir ini
memuat beberapa macam, yakni: (1) Tafsir bi al-Ma’thur, (2) Tafsir bi al-Ra’y, (3) Tafsir
Sufiy, (4) Tafsir Ishariy, (5) Tafsir fiqhiy, (6) Tafsir Falsafiy, (7) Tafsir ‘Ilmiy, (8) Tafsir
Tafsir Ijmaliy menafsirkan al-Qur’an secara singkat dan global, tanpa penjelasan
panjang lebar, untuk konsumsi berbagai tingkatan intelektualitas. Yang ditafsirkan disesuaikan
urutan mushaf, dari ayat ke ayat, dari surat ke surat berikutnya.
Tafsir Muqaran adalah metode tafsir dengan mengambil sejumlah ayat, kemudian
mengemukakan penafsiran para ulama tafsir yang metode dan kecenderungannya berbeda-
beda dan mengkomparasikannya, kemudian menjelaskan kecenderungan legitimasi
kemazhabannya masing-masing.
Tafsir Mawdu‘iy (tematik) ialah metode tafsir dengan cara menghimpun seluruh
ayat yang berbicara mengenai masalah atau tema tertentu serta mengarah pada suatu
pengertian dan ujuan tertentu, meskipun ayat-ayat itu turunnya —baik segi cara, waktu
maupun tempatnya— berbeda, tersebar dalam berbagai surat. Sehingga satu tema dapat
dipecahkan secara tuntas.
Selebih penjelasan di atas, ada juga yang mengklasifikasikan tafsir ke dalam dua
34
golongan besar, yakni (1) Tafsir Jaf dan (2) Tafsir Mujawiz. Tafsir Jaf merupakan tafsir yang
terbatas pada segi kebahasaan, bersifat denotatif. Sedangkan tafsir mujawiz yang bergerak
secara luas (berlebihan), bersifat konotatif.
Tafsir Jaf dikembangkan secara serius oleh di antaranya Muhammad Abduh. Prinsip
35
teoritik tafsirnya adalah “al-`Ibrah bi ‘Umum al-Lafz la bi khusus al-sabab” . Model
tafsir Jaf ini benar-benar memperhatikan unsur balaghah, keharmonisan uslub (gaya
bahasa), dan sistemasi rasionalitas al-Qur’an. Demikian ini sebagai konter terhadap
kecenderungan umum —menurut Abduh— penafsiran al-Qur’an, secara parsial antar ayat-
ayatnya. Cara parsial inilah yang disebutnya sebagai cara yang tidak terkendali, sehingga
dapat mungkin bahwa penafsirannya melampaui batas substansial ayat yang ditafsirkannya
(mujawiz, pen.).
G. Simpulan
Urgensi tafsir ada pada posisi strategisnya —melalui produknya— untuk mencapai
kesempurnaan hidup dan kebahagiaan hakiki. Meski demikian, tafsir tetap berhadapan dengan
pola kontrol normatif maupun metodologis, yang di dalamnya ada empat prinsip yang penting
diperhatikan bagi tafsir, yakni aspek prosedur kerja, ilmu-ilmu yang diperlukan,
kriteria/kualifikasi personalitas, dan etika.
Dalam hal klasifikasi, tafsir terbagi ke dalam empat kelompok yang lahir dari
paduan Tafsir bi al-Riwayah dan Tafsir bi al-Dirayah. Keempat kelompok tersebut
mempunyai beberapa macam corak yang ditentukan oleh perbedaan metode dan
pendekatan seiring orientasi substansialnya.
Perkembangan tafsir, mulai Nabi, sahabat, sampai tabi’in, masih didominasi oleh pendekatan
bi al-Ma’thur, yang menekankan pada aspek sumber-sumber riwayah dan kebahasa