Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

AL-QUR’AN HADIS
TAFSIR AL-QUR’AN

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH


JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA

Disusun oleh :
NURHIMAN PAPUTUNGAN

                                                             
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTAN AMAI GORONTALO
TAFSIR AL-QUR’AN:

Konsep Dasar, Klasifikasi, dan Perkembangannya


A. Pendahuluan

Al-Qur’an adalah sebuah dokumen untuk umat manusia. Ia sendiri menamakan


1
dirinya “petunjuk bagi umat manusia” (Hudan li al-Nas) , sebagaimana dijumpai dalam

surat al-Baqarah (2), ayat 185:


Al-Qur’an adalah sebuah perisai untuk umat manusia. Ia sendiri bahkan memiliki
julukan al-Furqan, al-Bayan, serta berbagai julukan lain dalam ayat-ayat lain. Al-Qur’an
bukanlah wahyu yang diturunkan dalam masyarakat yang nir-sejarah dan kosong budaya.
Ia diwahyukan dalam konteks historisitas dan kebudayaan tertentu, sehingga pantas
apabila di setiap dekade muncul studi al-Qur’an dalam variasi kecenderungan dan
substansinya.

Studi al-Qur’an menguat, bukan saja di negara-negara berpenduduk muslim, namun


2
juga di Barat. Studi al-Qur’an kebanyakan lebih ditekankan pada kajian produk tafsir
daripada metodologi tafsir. Padahal mengetahui perkembangan metodologi tafsir lebih
signifikan, melalui studi kritis terhadap perkembangan dan metodologinya, sehingga

rekonstruksi lebih mudah dilakukan

Upaya menafsirkan al-Qur’an sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. Predikat al-
Qur’an sebagai Hudan (petunjuk) dan Rahmatan (rahmat) bagi manusia, membuka
kemungkinan yang luas bagi penafsiran terhadapnya.

Susunan al-Qur’an yang tidak sistematis3 juga merupakan alasan tersendiri mengapa

penafsiran serta penggalian terhadap makna ayat-ayatnya justru menjadi tugas umat yang
tidak pernah berakhir.

Sebagai kerangka kontrol normatif maupun metodologis, ada prinsip-prinsip dasar


yang penting diperhatikan —kalau tidak secara sakelik dikatakan harus dipenuhi— dalam
penafsiran terhadap al-Qur’an. Dalam posisinya sebagai kontrol normatif, prinsip-prinsip
tersebut sebagai rambu agar substansi tafsir bernilai representatif bagi kandungan al-
Qur’an. Sedangkan kedudukannya sebagai kontrol metodologis, tafsir menjelaskan asas-
asas prosedur kerja, metode, maupun pendekatannya. Sejarah telah menyajikan ke
hadapan kita perkembangan tafsir al-Qur’an yang digelarkan oleh ahlinya dengan metode
dan pendekatan yang bermacam-macam.
B. Pengertian Tafsir dan Ta’wil

Kata tafsir adalah bentuk kata benda dari kata kerja fassara. Tafsir berarti
penjelasan, uraian, interpretasi, atau komentar. Kata ini terdapat hanya satu kali dalam al-
4
Qur’an; surat al-Furqan (25): 33.
Tafsir dapat juga diartikan menyingkap dan menampakkan makna yang abstrak,
5
yang tertutup, maksud lafal yang musykil, pelik.

Tafsir dalam wacana istilah —menurut Abu Hayyan— dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, tentang petunjuk-
petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun kala tersusun, dan

makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun, serta hal-hal lain yang
6
melengkapinya. Dalam format yang lebih sederhana, al-Zarkashiy menekankan definisi
tafsir sebagai ilmu untuk memahami al-Qur’an, serta mengeluarkan hukum dan
7
hikmahnya. Kemudian, substansi definisi ini memberikan muara bagi kemungkinan
diidentikkannya istilah tafsir dengan istilah hikmah —kaitannya dengan tafsir dalam
perspektif al-Qur’an.

Pengertian tafsir di atas membuka wacana dua dimensinya, yakni sebagai ilmu dan
produk. Sebagai ilmu, tafsir merupakan perangkat pengetahuan untuk mengungkap
kandungan makna al-Qur’an, baik petunjuk-petunjuk, hukum-hukum maupun hikmah di
dalamnya. Sementara sebagai produk, tafsir berupa penjelasan petunjuk-petunjuk, hukum-
hukum maupun hikmah yang dikandung al-Qur’an.

Selanjutnya, pengertian ta’wil —secara etimologis— berasal dari kata awwala yang
berarti fassara (menafsirkan) dan bayyana (menjelaskan). Atas dasar itu, ta’wil berarti
penafsiran (al-tafsir) dan penjelasan (al-tabyin) tentang apa yang dimaksud oleh perintah
8
kalam.

Sebagai pengayaan wawasan, penulis angkat sumbangan al-Qat}t}a>n yang menjelaskan

bahwa pengertian etimologis ta’wil adalah memikirkan, memperkirakan, dan menafsirkan.


Ta’wil berasal dari kata aul yang berarti kembali ke asal. Makna ta’wil menurut golongan
salaf adalah esensi (haqiqah); misalnya ta’wil al-’amr (esensi perbuatan yang
diperintahkan) dan ta’wil al-ikhbar (esensi dari apa yang diberitakan yang benar-benar
terjadi). Sementara dalam tradisi muta’akhkhirin, arti ta’wil adalah sampai di manakah

akibat yang dimaksud oleh kalam.9 Perbedaan kedua pandangan ini jelas. Tetapi, kalau
keduanya dimanfaatkan, maka ta’wil dapat dipahami esensi tentang sesuatu yang
ditakwilkan, yang dalam esensi itu termuat juga akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
sesuatu tersebut. Sementara definisi ta’wil adalah memalingkan makna lafal yang kuat
10
(rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada dalil yang menyertainya. Definisi
yang dikemukakan oleh golongan muta’akhkhirin ini tidak sesuai dengan lafal ta’wil
dalam al-Qur’an menurut versi salaf.

Al-Zarqani mengemukakan bahwa tafsir menjelaskan lafal dari aspek riwayah, dan
ta’wil dari aspek dirayah. Tafsir menjelaskan makna yang digali dari topik ibarat,
11
sedangkan ta’wil menjelaskan makna dengan metode isyarat.

Paparan di atas memberikan aset mengenai perbedaan arti dan kandungan tafsir dan
ta’wil. Tafsir menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedangkan ta’wil menerangkan
hakikat yang dikehendaki. Operasionalisasi tafsir lebih dekat pada pendekatan historis-
fenomenologis, sementara ta’wil pada pendekatan filosofis.

C. Tafsir dan Ta’wil dalam Perspektif al-Qur’an

Pada al-Qur’an, surat al-Furqan 33 diredaksikan ahsan tafsir, yang dalam pendapat
Ibn Abbas diartikan lebih baik perinciannya.
Ayat itu merupakan kelanjutan dari penjelasan argumentatif atas gugatan orang-
orang kafir tentang mengapa al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus (jumlah wahidah).
Tidak lain, kebertahapan wahyu al-Qur’an agar mudah dipahami dan dihafalkan (li
nuthabbit bih fu’adak) dalam konteksnya.

Kata hikmah12 yang dikutip oleh al-Zarkashiy menyertai definisi tafsirnya13

diperkuat oleh riwayat dari Ibn Abbas yang menjelaskan maknanya sebagai pengetahuan
tentang al-Qur’an (al-Ma’rifah bi al-Qur’an); yakni nasikh-mansukh, muhkam-mutashabih,
muqaddam-mu’akhkhar, halal-haram. Atas dasar ini al-Qur’an mengidentikkan istilah dan
substansi tafsir dengan hikmah. Dengan demikian, ada dua hal yang penting dicatat
kaitannya dengan tafsir dalam perspektif al-Qur’an, yaitu: pertama, tafsir merupakan

instrumen u
—yang diidentikkan dengan hikmah—, adalah pelita yang mengungkap hukum-hukum

(fiqh), rahasia kandungan makna, unsur-unsur dan historisitas al-Qur’an.


ntuk memahami al-Qur’an secara lebih mudah dan sistematis, dan kedua, tafsir
Muaranya begini, pada kedua ayat surat al-Nahl, kata tabyin (bentuk masdar dari
tubayyin) berafiliasi pada makna ta’wil. Apa yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi
SAW, tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali dengan tabyinnya mengenai semua
pemahaman: ragam perintah, wajib-sunnah-petunjuk, aneka larangan, pemenuhan hak dan
batas-batasnya, dan sebagainya. Sedangkan maksud wa ma ya’lam ta’wilah illa Allah,
bahwa pada sebagian ta’wil, tiada yang tahu kecuali Allah, yaitu mengenai berita tentang
penentuan waktu (kejadian) sudah berlalu maupun yang akan datang, seperti realisasi hari

kiamat, peniupan roh pada makhluk, turunnya Nabi Isa as dan sebagainya.

Secara lebih luas dan rinci, Muhammad Hayyan menjelaskan variasi makna ta’wil
dalam perspektif al-Qur’an. Ta’wil dapat berarti penafsiran dan penentuan (Al Imran: 7),
akibat dan tempat kembali (al-Nisak: 59), kejadian apa yang diberitakan (al-’A‘raf: 53;
Yunus: 39), esensi petunjuk rasionalitas (Yusuf: 6,37,44,45,100), pemaparan fakta historis
tentang tenggelamnya perahu, terbunuhnya bocah, dan ditegakkannya pagar (pada kisah

Nabi Musa as, pen.).15

Kevariasian makna ta’wil yang dikemukakan oleh Hayyan tersebut, dapat dipakai
sebagai standar alternatif untuk memahami ayat-ayat lain, apabila substansinya sama
dengan ayat-ayat yang disebutkannya. Termasuk di dalamnya, sebab-sebab yang meliputi
hal-hal dalam substansi tersebut.

D. Prinsip-Prinsip Dasar Tafsir


Para ahli menggunakan beberapa istilah untuk menjelaskan prinsip-prinsip dasar
tafsir. Di antaranya adalah Shuru>t al-Mufassir (Al-Qat}t}a>n: 329-331, al-’Ak: 186-187),
Adab al-Mufassir (Al-Qat}t}a>n:331-332), dan Ummahat Ma’akhid al-Tafsir (Al-H}asaniy:

168-169). Istilah-istilah tersebut digunakan secara parsial, tidak disistemasikan secara


tegas dalam topik prinsip-prinsip dasar tafsir (asas al-tafsir). Karenanya, diperlukan media
secara metodologis untuk memahaminya secara komprehensif.

Penulis berikhtiar untuk menyajikan prinsip-prinsip dasar tafsir dengan meng-


klasifikasikannya ke dalam empat bagian, yakni: (1) aspek metodologis (prosedur), (2)
ilmu-ilmu yang diperlukan, (3) kriteria /kualifikasi personalitas, dan (4) etika.

Pertama, aspek metodologis (prosedur):

1) Menafsirkan, lebih dulu, al-Qur’an dengan al-Qur’an.

2) Mencari penafsiran dari al-Sunnah.


3) Meninjau pendapat para sahabat.

19
4) Memeriksa pendapat tabi’in.
(13) Fiqh, (14) Hadis-hadis tentang penafsiran lafal mujmal dan mubham, dan (15)
20
Mawhibah.
Ketiga, kriteria/kulalifikasi personalitas:
Seorang mufassir disyaratkan memenuhi kriteria: (1) berakidah yang benar, (2) bersih dari
hawa nafsu, (3) berpengetahuan bahasa Arab, dengan segala cabangnya, (4)
berpengetahuan bahasa, (5) berpengetahuan pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-
21
Qur’an, (6) berkemampuan pemahaman yang cermat.

Berbeda halnya dengan pandangan Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Ak, ada limabelas syarat

bagi mufassir, yang justru lebih mencerminkan kemampuan ilmu-ilmu yang diperlukan
22
bagi penafsiran, bukan kualifikasi personalitas. Ini lebih dekat pada komposisi keilmuan
yang ditawarkan oleh al-Hasaniy pada poin ketiga berikut.

Keempat, etika.

(1) Berniat baik dan bertujuan benar, (2) berakhlak baik, (3) taat dan beramal, (4) berlaku
jujur dan teliti dalam penukilan, (5) tawaddu’, (6) berjiwa mulia, (7) vokal dalam
menyampaikan kebenaran, (8) berpenampilan baik, (9) bersikap tenang dan mantap, (10)
mendahulukan orang lain yang lebih utama daripada dirinya, (11) mempersiapkan dan
23
menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.

Khusus aspek ketiga dan keempat, pemisahan antara keduanya didasarkan pada
alasan substantif-tipikal masingmasing. Aspek kualifikasi personal merupakan segi statis
yang bercirikan kedirian (individualisasi) mufassir. Sementara aspek etika merupakan segi
dinamis dalam interaksi kedirian mufassir dengan pihak di luarnya. Apabila keempat
aspek tersebut disimplifikasikan, maka aspek pertama dan kedua dapat disatukan kedalam

aspek tafsir (metodologis), sedangkan aspek ketiga dan keempat ke dalam aspek mufassir.
E. Tafsir Rasul, Sahabat dan Tabi’in
1. Tafsir Rasul

Rasulullah adalah orang pertama yang menguraikan isi al-Qur’an dan


menjelaskannya kepada umatnya. Pada masa ini tidak seorangpun dari para sahabat yang
24
berani menafsirkan al-Qur’an, karena beliau berada di tengah-tengah mereka. Tidak
semata karena alasan bahwa Nabi memikul “beban berat” —sebagaimana penjelasan
S}ubhiy al-S}alih—, tetapi karena memang beliau telah memperoleh garansi dari Allah,
untuk menafsirkan al-Qur’an. Hal ini direferensikan pada firman Allah:

Surat al-Qiyamah (75), ayat 17-19:

Surat al-Nahl, ayat


44:
Lebih tepat digunakan istilah amanat —dalam pandangan penulis— daripada beban berat bagi
Nabi untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an kepada orang-orang di sekitarnya (para
sahabat). Beliau menunaikan amanat itu lebih merupakan konsekuensi historis sesuai
dengan karakter pesan normatif maupun universal al-Qur’an sendiri.

2. Tafsir Sahabat

Di kalangan para sahabat, yang terkenal sebagai ahli tafsir yang luas
pengetahuannya ada 10 orang. Di antaranya adalah al-Khulafa‘ al-Rashidun, dan Ali
adalah orang yang sering disebut daripada ketiga khalifah lainnya. Sementara yang paling
tepat bergelar “ahli tafsir” adalah Abdullah bin Abbas, sedangkan Nabi sendiri

menyaksikan kedalaman ilmunya.25 Ia juga terkenal dengan gelar “Turjuman al-

Qur’an”.26
Cara yang ditempuh oleh para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an, berpegang
teguh pada: (1) al-Qur’an, (2) penjelasan Nabi, dan (3) pemahaman dan ijtihad. Sedangkan
27
pendekatan penafsirannya adalah bi al-Ma’thur. Tafsir sahabat diterima baik oleh para
ulama dari kaum tabi’in di berbagai daerah Islam, bahkan jumhur ulama berpendapat,
bahwa tafsir sahabat mempunyai status marfu’ apabila berkenaan dengan asbab al-nuzul
dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki ra’y.

Dalam pemahaman dan ijtihad, para sahabat memanfaatkan kemampuan


linguistiknya. Perbedaan kemampuan ini menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat
pemahaman di antara mereka terhadap al-Qur’an. Aspek kebahasaan —tetapi tidak
sepenuhnya— ini ternyata signifikan terhadap derajat intelektual. Maka aspek bahasa
bersifat “antara”, sedangkan aspek intelektual bersifat dominan, dalam perbedaan tersebut.
Karenanya, Hayyan memfalsifikasi (mengkonter) pendapat Ibnu Khaldun yang
menyimplifikasikan bahwa semua sahabat memahami al-Qur’an; mengerti makna
mufradat dan tarkibnya, karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa dan uslub Arab.

Padahal, nyatanya, tidak semuanya mengerti makna kosa kata bahasa Arab.28
3. Tafsir Tabi’in

Pada masa ini, muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah dan
Iraq. Kelompok Makkah memperoleh transformasi dari Ibnu Abbas, yang mereka adalah para
sahabatnya. Kelompok Madinah dituruni ilmu oleh Zaid bin Aslam, yang mereka adalah
anak dan muridnya. Sementara di Kufah (Iraq) muncul para mufassir dari sahabat- sahabat
29
Abdullah bin Mas’ud.

Cara yang ditempuh oleh penafsir tabi’in adalah berpegang pada: (1) al-Qur’an, (2)

keterangan dari para sahabat yang bersumber dari Rasulullah, (3) penafsiran para sahabat
30
sendiri, (4) keterangan dari ahli kitab yang bersumber dari kitab mereka, dan (5) ijtihad.

Seirama dengan bertambah jauhnya manusia dari masa Nabi dan sahabat, maka
tingkat kesulitan penafsiran semakin bertambah. Karenanya, mufassir tabi’in berupaya

menambahkan keterangan-keterangan untuk memecahkannya. Di samping itu,


permasalahan yang dihadapi oleh tabi’in adalah, tidak semua ayat al-Qur’an dijumpai tafsirnya
dari Nabi dan sahabat. Bagi tabi’in, yang hidupnya tidak pernah bersama Rasulullah,
persoalan tersebut serius. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh tabi’in untuk
memecahkannya, yakni (1) berpegang pada pengetahuan bahasa Arab, (2) fenomena-
fenomena yang terjadi pada masa turunnya ayat, yang mereka pandang representatif,(3)

perbendaharaan pemahaman mereka, dan (4) kesinambungan pembahasan tafsir.31

Perkembangan tafsir pada masa-masa selanjutnya, baik segi pertumbuhannya antar


dekade maupun variasi metode dan pendekatannya, ditandai munculnya sejumlah karya
(produk) tafsir dan metodologinya. Dalam kacamata historis, ada hal yang dapat
dimaklumi secara logis maupun fenomenal, yaitu perkembangan permasalahan yang
semakin kompleks, sehingga memicu bangkitnya tanggung jawab moral para cendikiawan
muslim untuk memberikan jawabannya. Apalagi, ketika terjadi dialog peradaban Islam dengan
peradaban Barat, dinamika perkembangan ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu pengetahuan
secara luas, tampak mencuat keras.
F. Macam-Macam Tafsir

Macam-macam tafsir ditentukan oleh perbedaan metode yang digunakannya. Perbedaan


ini, selanjutnya, menjadi argumentasi bagi variasi pendekatan sesuai dengan substansi
kajiannya masing-masing. Secara klasik, metode tafsir dibedakan ke dalam dua bagian besar,
32
yaitu Tafsir bi al-Riwayah dan Tafsir bi al-Dirayah. Dari paduan kedua metode itu lalu
muncul empat metode, yakni: (1) Tafsir Tahliliy, (2) Tafsir Ijmaliy, (3) Tafsir Muqaran,
33
dan (4) Tafsir Mawdu ‘iy.

Tafsir Tahliliy mengkaji al-Qur’an dari segala aspek dan maknanya. Tafsir ini
memuat beberapa macam, yakni: (1) Tafsir bi al-Ma’thur, (2) Tafsir bi al-Ra’y, (3) Tafsir
Sufiy, (4) Tafsir Ishariy, (5) Tafsir fiqhiy, (6) Tafsir Falsafiy, (7) Tafsir ‘Ilmiy, (8) Tafsir

Adabiy, dan (9) Tafsir Isra ‘iliyyat.

Tafsir Ijmaliy menafsirkan al-Qur’an secara singkat dan global, tanpa penjelasan
panjang lebar, untuk konsumsi berbagai tingkatan intelektualitas. Yang ditafsirkan disesuaikan
urutan mushaf, dari ayat ke ayat, dari surat ke surat berikutnya.

Tafsir Muqaran adalah metode tafsir dengan mengambil sejumlah ayat, kemudian
mengemukakan penafsiran para ulama tafsir yang metode dan kecenderungannya berbeda-
beda dan mengkomparasikannya, kemudian menjelaskan kecenderungan legitimasi
kemazhabannya masing-masing.

Tafsir Mawdu‘iy (tematik) ialah metode tafsir dengan cara menghimpun seluruh
ayat yang berbicara mengenai masalah atau tema tertentu serta mengarah pada suatu
pengertian dan ujuan tertentu, meskipun ayat-ayat itu turunnya —baik segi cara, waktu
maupun tempatnya— berbeda, tersebar dalam berbagai surat. Sehingga satu tema dapat
dipecahkan secara tuntas.

Selebih penjelasan di atas, ada juga yang mengklasifikasikan tafsir ke dalam dua
34
golongan besar, yakni (1) Tafsir Jaf dan (2) Tafsir Mujawiz. Tafsir Jaf merupakan tafsir yang
terbatas pada segi kebahasaan, bersifat denotatif. Sedangkan tafsir mujawiz yang bergerak
secara luas (berlebihan), bersifat konotatif.

Tafsir Jaf dikembangkan secara serius oleh di antaranya Muhammad Abduh. Prinsip
35
teoritik tafsirnya adalah “al-`Ibrah bi ‘Umum al-Lafz la bi khusus al-sabab” . Model
tafsir Jaf ini benar-benar memperhatikan unsur balaghah, keharmonisan uslub (gaya
bahasa), dan sistemasi rasionalitas al-Qur’an. Demikian ini sebagai konter terhadap
kecenderungan umum —menurut Abduh— penafsiran al-Qur’an, secara parsial antar ayat-
ayatnya. Cara parsial inilah yang disebutnya sebagai cara yang tidak terkendali, sehingga
dapat mungkin bahwa penafsirannya melampaui batas substansial ayat yang ditafsirkannya

(mujawiz, pen.).
G. Simpulan

Konsep dasar tafsir memuat pengertian etimologis dan definisinya, serta


pengertiannya dalam perspektif al-Qur’an, kedudukan dan urgensi tafsir, objek dan tujuan
tafsir, dan prinsip-prinsip dasarnya. Tafsir memiliki dua dimensi, yakni dimensi sebagai
ilmu dan sebagai produk. Sebagai ilmu, tafsir berisi perangkat metodologi untuk mengungkap
petunjuk-petunjuk, hukum-hukum maupun hikmah di dalam al-Qur’an, dan sebagai produk,
tafsir berupa petunjuk-petunjuk, hukum-hukum maupun hikmah di dalamnya. Tafsir mengkaji
makna al-Qur’an dari aspek historis-fenomenologis, sementara ta’wil dari segi filosofisnya.
Al-Qur’an sendiri memandang tafsir sebagai instrumen untuk memahami maknanya secara
lebih mudah dan sistematis, dan ta’wil memiliki pengertian yang bervariasi.

Urgensi tafsir ada pada posisi strategisnya —melalui produknya— untuk mencapai
kesempurnaan hidup dan kebahagiaan hakiki. Meski demikian, tafsir tetap berhadapan dengan
pola kontrol normatif maupun metodologis, yang di dalamnya ada empat prinsip yang penting
diperhatikan bagi tafsir, yakni aspek prosedur kerja, ilmu-ilmu yang diperlukan,
kriteria/kualifikasi personalitas, dan etika.

Dalam hal klasifikasi, tafsir terbagi ke dalam empat kelompok yang lahir dari
paduan Tafsir bi al-Riwayah dan Tafsir bi al-Dirayah. Keempat kelompok tersebut
mempunyai beberapa macam corak yang ditentukan oleh perbedaan metode dan
pendekatan seiring orientasi substansialnya.

Perkembangan tafsir, mulai Nabi, sahabat, sampai tabi’in, masih didominasi oleh pendekatan
bi al-Ma’thur, yang menekankan pada aspek sumber-sumber riwayah dan kebahasa

Anda mungkin juga menyukai