Anda di halaman 1dari 3

TEKS EDITORIAL

Aishiya Ananda Julian (03)


XII MIPA B

SMAN 58 JAKARTA

TAHUN AJARAN 2021/2022


Kesehatan Mental Siswa di Tengah Pandemi Covid-19

Peran para orangtua untuk dapat menjadi guru yang menyenangkan di rumah sangat
dibutuhkan saat pembelajaran secara daring saat ini. Namun, banyak fakta menunjukkan bahwa
peran guru di sekolah memang masih terlalu berat untuk digantikan para ‘guru darurat’ di rumah
saat ini. Jangankan menciptakan suasana belajar yang hangat, tidak sedikit orangtua dan anak-
anak yang justru mengakui bahwa rumah terasa begitu mencekam sejak wabah covid-19 hadir.
Anak-anak jenuh, ayah bunda pun penat luar biasa.

Ditambah lagi, sebagian guru dan sekolah ternyata tetap memberikan penugasan dalam
takaran ‘normal’ saat situasi belum lagi normal. Belajar daring pun mulai direspons dengan
apatis meski ada kesadaran bahwa itulah opsi terbaik dari yang terburuk saat ini.

Menghadapi keadaan sedemikian rupa, mulai muncul kampanye (desakan) membuka


kembali gerbang sekolah. Seburuk apa pun situasi, kalangan tersebut memandang sudah saatnya
anak-anak kembali belajar dengan mulai datang rutin ke sekolah. Sementara itu, Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) sudah menegaskan bahwa pandemi masih jauh dari berakhir dan risiko
anak menularkan atau tertular virus korona juga masih sangat tinggi.

Jangankan berangkat dari rasionalitas yang matang, desakan semacam itu justru
merupakan indikasi pandemi covid-19 ini akan pula diikuti dengan masalah kesehatan mental
seperti peringatan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Jadi, kampanye agar anak-anak
kembali masuk sekolah mungkin merefleksikan kepenatan mental yang tidak lagi tertahankan
yang dialami sebagian keluarga di Tanah Air.

Jika benar demikian, semakin darurat bagi pemerintah untuk secepatnya mengambil
langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka mengantisipasi wabah kesehatan mental
masyarakat. Apabila terabaikan, cepat atau lambat, produktivitas masyarakat pun akan runtuh
dan itu tentu berdampak negatif terhadap resiliensi bangsa.

Keresahan memasuki tahun ajaran baru tersebut sebetulnya tidak hanya terjadi di sini.
Banyak negara, bahkan negara maju sekali pun, yang juga melalui tahap keguncangan serupa.
Hanya saja, di sini persoalan bertambah pelik karena isu terkait ketersediaan ponsel, internet, dan
paket data juga muncul ke permukaan. Juga, kesadaran akan adanya problem kesehatan mental
siswa, keluarga mereka, bahkan di kalangan personel sekolah, masih belum cukup merata. Itulah
sebabnya desakan agar anak-anak kembali masuk ke sekolah sudah sepatutnya dipertimbangkan
kembali karena dampaknya sangat mungkin kontraproduktif dan tidak tertanggulangi secara
memadai.

Penyikapan terhadap masalah kesehatan mental membutuhkan kerja terpadu dari semua
pihak. Berdasarkan praktik-praktik terbaik di banyak negara, kurikulum bermuatan social and
emotional learning (SEL) sangat baik untuk memperkuat relasi sosial yang dibutuhkan para
siswa. Kurikulum yang sama juga bermanfaat bagi para guru dan personel sekolah lainnya agar
lebih siap dalam merespons dinamika psikologis dan perilaku para anak didik, terutama pada
masa krisis.
Sejumlah desain kurikulum bermuatan SEL juga telah dirancang agar dapat diterapkan
dengan berbasis daring (online). Salah satu unsur di dalam kurikulum bermuatan SEL ialah
memberikan kesempatan lebih leluasa kepada para siswa melakukan refleksi atas segala
pengalaman mereka selama menjalani pembatasan sosial. Sesama siswa didorong untuk secara
terbuka saling bercerita (berarti menemukan perbendaharaan kata yang representatif) tentang
senang dan susahnya berada di dalam rumah selama berbulan-bulan ini. Guru berperan sebagai
pemberi semangat agar siswa lebih asertif sekaligus meyakinkan siswa bahwa berkata jujur
tentang kepedihan bukanlah merupakan suatu kesalahan.

Esensi unsur tersebut, tak lain, ialah bagaimana agar para siswa belajar secara lebih
mendalam tentang kehidupan itu sendiri. Jadi, dengan kata lain, muatan akademik
dinomorsekiankan, sementara belajar tentang keinsafan diri (self awareness dan social
awareness) lebih dikedepankan. Dengan keinsafan diri yang lebih jujur, para siswa kemudian
akan membangun rencana-rencana pengelolaan diri yang lebih nyata. Relasi sosial mereka juga
akan dipererat satu sama lain.

Puncaknya ialah saat anak-anak mampu membuat keputusan-keputusan secara lebih


bertanggung jawab. Tentu rangkaian kegiatan belajar sosial emosional tersebut diselenggarakan
sesuai dengan tingkat kematangan dan kecerdasan anak, serta melibatkan keluarga siswa sebagai
bagian dalam keseluruhan prosesnya.

Sebagaimana halnya dengan siswa, guru dan personel tersebut juga dapat mengalami
problem mental akibat wabah covid-19. Kondisi itu bahkan dapat diperburuk oleh keharusan
bagi mereka mengantisipasi masalah mental anak-anak didik. Menjadi pertanyaan seberapa jauh
sesungguhnya otoritas terkait juga telah memberikan perhatian kepada para guru dan personel
sekolah tersebut. Anggaplah bahwa mereka dikerahkan sebagai penggerak kurikulum bermuatan
SEL bagi siswa. Namun, pada saat yang sama, seberapa serius mereka juga diberikan
pembekalan dan kesempatan untuk ber-SEL bagi diri mereka sendiri dan sesama mereka?

Pada akhirnya, kita semua terlebih pada anak-anak patut terus berupaya menemukan ke-
gembiraan di tengah situasi yang serbatak menentu ini. Namun, secara manusiawi, setiap insan
hanya dapat bertahan hidup saat mereka juga memiliki kesanggupan untuk dapat merasa dan
menerima adanya suasana hati yang tidak menyenangkan. Memaksa anak untuk selalu
berbahagia, apalagi dengan cara mengingkari suasana hati kebalikannya, ialah praktik kekerasan
yang justru patut kita elakkan. Penerimaan akan kodrat manusia sebagai makhluk dengan dua sisi
afeksi, berapa pun usianya, ialah tujuan pembelajaran yang patut kita selenggarakan setiap
waktu. Tentu saja di dalam dan luar sekolah.

Anda mungkin juga menyukai