Anda di halaman 1dari 8

MENGINGAT KEMBALI

TUGAS YANG TERLUPAKAN

I. KATA PENGANTAR
1. Pada tanggal 26 Oktober 2015 keluar tugas dari Ketua Pengadilan
Tinggi Agama Pontianak kepada Saudara Harisman, S.HI dan
Suraida, S.HI dengan Pendamping Hakim Tinggi Drs. H. Mansur
Muda Nasution, SH, MH dan Drs. H. Ali Masykuri Haidar, SH yang
tertuang dalam Surat Nomor W14-A/993/HM. 01.2 /X/2015 untuk
menginventarisir dan sekaligus menyusun draft mengenai “Teknis
Pemeriksaan Dan Penyelesaian Perkara Cerai Talak dan Cerai
Gugat” untuk diplenokan pada tanggal 15 Januari 2016.
2. Seiring dengan perjalanan waktu, lagi pula konsentrasi pembahasan
mengarah pada terbitnya sebuah buku dengan judul “Teknik
Pemeriksaan Perkara Gugat Waris Bagi Hakim Peradilan Agama”,
maka draft “Teknis Pemeriksaan Dan Penyelesaian Perkara Cerai
Talak dan Cerai Gugat” yang telah diterima dan dibahas oleh Hakim
Tinggi Pendamping” menjadi kehilangan arah dan tidak pernah
disentuh sama sekali.
3. Setelah cukup lama tiarap, menyusul geliat pembahasan
permasalahan hukum yang timbul di Pengadilan Agama se
Kalimantan Barat yang mengemuka pada Rapat Koordinasi
Pengadilan Tinggi Agama Pontianak dengan Pengadilan Agama Se
Kalimantan Barat tanggal 26 April 2017, maka sangat relevan
apabila draft yang telah ada tersebut diangkat kembali untuk
mendapat ruang pembahasan dan pengkajian diantara aparat
peradilan agama secara tertulis yang setidak-tidaknya melalui web
Pengadilan Tinggi Agama Pontianak.

II. Teknis Pemeriksaan dan Penyelesaian Perkara Cerai


1. Kuasa Hukum
a) Apakah Kuasa Hukum bisa dianulir oleh Majelis Hakim karena ada
indikasi Kuasa Hukum tersebut sengaja memperlambat proses
penyelesaian perkara? Misalnya pada sidang ke-1 hadir, sidang
ke-2 tidak hadir, sidang ke-3 hadir, dst. Alasan ketidakhadirannya
pun mengada-ada misalnya Kuasa Hukum tersebut pernah tidak
hadir dengan alasan menghadiri rapat partai politik.
Jawab :
- Pendapat I:
Bisa menganulir. Hakim berwenang mengambil sikap demi
terwujudnya penyelesaian perkara secara cepat, sederhana, dan
biaya ringan. Hakim memanggil kuasa dengan panggilan terakhir
yang sekaligus memuat peringatan bahwa jika Kuasa Hukum
tersebut tidak hadir lagi maka persidangan akan dilanjutkan tanpa

1
kehadiran kuasa.

- Pendapat II :
Tidak bisa menganulir. Hakim tetap harus panggil pihak
prinsipal/materiil demi kepastian hukum dalam proses. Pasal 123 HIR
(Pasal 147 ayat 3 RBg) : “Hakim boleh memanggil pihak prinsipal
meskipun ada kuasa hukum, kecuali presiden”. Kuasa tetap harus
dipanggil, namun dalam surat panggilannya harus disebutkan untuk
acara/tahapan apa. Sehingga, apabila kuasa tetap tidak hadir,
tahapan persidangan tetap mengacu kepada tahapan yang termuat
dalam surat panggilan kepada kuasa dan tidak perlu menghiraukan
kehadiran atau tidaknya kuasa.
Penalarannya :
- Sepanjang kuasa belum dicabut, maka hak beracara terhadap
perkara tersebut masih tetap pada kewenangan Kuasa Hukum.
- Mencantumkan tahapan sidang pada surat panggilan lanjutan
adalah boleh sebagaimana kewajiban mencantumkan tahapan
pada surat panggilan pertama.

2. Pemanggilan
a) Bagaimana proses pemanggilan pihak Tergugat yang sedang
ditahan di Rutan, sedangkan kasus pidananya masih berjalan dalam
tingkat banding?
Jawab :
Panggil biasa saja dengan seizin kepala rutan untuk bertemu yang
bersangkutan. Kalau kepala rutan tidak mengizinkan maka
panggilannya melalui kepala rutan (sama dengan melalui lurah).
Sebab, tugas hakim adalah memerintahkan untuk memanggil
Tergugat dan tugas Jurusita adalah melaksanakan pemanggilan.
Masalah Tergugat bisa hadir atau tidak, menjadi urusan Tergugat
secara pribadi.

3. Mediasi
a) Jika ada gugatan rekonvensi, apakah wajib diadakan upaya mediasi
terhadap gugatan rekonvensi tersebut?
Jawab :
Tidak wajib upaya mediasi. Karena gugatan rekonvensi termasuk
yang dikeculikan dari kewajiban mediasi. (Pasal 4 Perma Nomor 1
Tahun 2016).

b) Jika ada gugatan intervensi, apakah wajib diadakan upaya mediasi


terhadap gugatan intervensi tersebut?
Jawab :
Tidak wajib upaya mediasi. Karena gugatan rekonvensi termasuk

2
yang dikeculikan dari kewajiban mediasi. (Pasal 4 Perma Nomor 1
Tahun 2016). Lagi pula gugat rekonvensi bukan merupakan
perkara baru, namun menempel pada perkara pokok maka tidak
perlu mediasi. Disamping itu, tahap mediasi terhadap perkara
pokok telah terlewati sehingga tidak perlu lagi mediasi terhadap
perkara yang menempel. Akan tetapi upaya perdamaian
sebagaimana ketentuan Pasal 154 RBg harus diupayakan.
(Selaras dengan Hasil Rakernas Tahun 2011, halaman 4)

c) Apakah mediasi diperlukan dalam perkara cerai dengan alasan


Termohon murtad, namun Termohon hadir di persidangan dan
mengakui dalil Pemohon?
Jawab :
Pendapat I :
Tidak perlu mediasi. Karena pasutri yang salah satunya murtad
tidak halal lagi berhubungan suami isteri.

Pendapat II.
Perlu mediasi. Upaya perdamaian dan mediasinya menyasar pada
kemungkinan Termohon kembali ke agama Islam.

Pendapat III.
Perlu mediasi untuk menuntun mereka dalam melakukan
perceraian agar tetap pada koridor “fa imsaakun bi ma’ruufin au
tasriihun bi ihsaan” mengenai segala akibat perceraian.

4. Alasan Perceraian
a) Apakah perkara syiqoq berbeda dengan perkara cerai dengan
alasan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975?
Jawab:
Pendapat I: Berbeda, karena :
1. Syiqoq harus mengandung unsur dharar. Perkara syiqoq harus
diformulasi sedemikian rupa sejak awal berdasarkan Pasal 76
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989. Adapun cerai dengan
alasan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tidak mengandung unsur sekuat dhoror dalam perkara
syiqoq dan pemeriksaannya berdasarkan Pasal 22 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
2. Sejak diajukan sampai diputus tetap menggunakan namen
klatur syiqoq ( Buku II halaman 152).

Pendapat II: Perkara cerai dengan alasan syiqoq sama saja


dengan perkara cerai dengan alasan Pasal 19 huruf (f) Peraturan

3
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, karena sama-sama
perselisihan.

b) Jika perkara cerai diajukan dengan alasan Pasal 19 huruf (b)


Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, lalu Tergugat hadir di
persidangan dan mengakui dalil Penggugat, apakah majelis hakim
masih perlu mendengar keterangan saksi? Bukankah yang perlu
dibuktikan dalam perkara tersebut di samping lama kepergiannya
hanyalah bahwa Tergugat tidak mau kembali lagi ke rumah kediaman
bersama?
Jawab:
- Pendapat I : Cukup dengan pengakuan Tergugat tersebut tanpa
perlu mendengar keterangan saksi.

- Pendapat II : Tetap harus ada pembuktian lain, untuk menghindari


terjadinya kebohongan atau sandiwara dalam perceraian. (Mukti
Arto : Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, halaman
85 dan 211).

c) Jika perkara cerai diajukan dengan alasan Pasal 116 huruf (h)
Kompilasi Hukum Islam lalu Tergugat hadir di persidangan dan
mengakui dalil Penggugat, apakah majelis hakim masih perlu
mendengar keterangan saksi?
Jawab : Cukup dengan pengakuan Tergugat. Sebab yang
mengetahui keyakinan seseorang pada dasarnya hanya dia dan
Tuhan Allah swt.

5. Teknis Persidangan
a) Bagaimana tata cara mengadili perkara cerai dengan alasan Pasal
19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975?
Jawab :
- Dalam mengadili perkara cerai yang pertama dilakukan adalah
mencari penyebab cekcok/perselisihan. Setelah itu mencari apa
penyebab tersebut menyebabkan cekcok. Kemudian apakah
cekcoknya tersebut sudah sedemikian parah sehingga tidak bisa
rukun lagi.
- Unsur-unsur yang perlu diperiksa/dibuktikan adalah sebagai
berikut: 1) Peristiwa pertengkaran yang bersifat terus menerus 2)
Penyebab pertengkaran, dan 3) Akibat pertengkaran.
- Namun jika saksi-saksi hanya mengetahui akibat hukum (rechts
gevolg) ) berupa perpisahan tempat tinggal suami isteri tanpa
terlebih dahulu mengemukakan sebab-sebab/ alasan-alasan
hukum (vreem de oorzaak) timbulnya perpisahan tersebut,
keterangan saksi tetap harus dipertimbangkan secara cermat

4
untuk mengabulkan gugatan. (vide Nomor 299/K/AG/2003 tanggal
8 Juni 2005 (Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tahun 2006;
Mahkamah Agung RI, 2007, hal.374)).

b) Penggugat diwakili Kuasa Hukum. Dalam sidang ke-1, Penggugat


diwakili Kuasa Hukumnya, sedangkan Tergugat datang sendiri.
Apakah Majelis Hakim boleh memerintahkan Kuasa Hukum
Penggugat untuk mendatangkan Penggugat guna mengikuti
upaya mediasi?
Jawab:
- Dalam hal demikian, Majelis Hakim harus memerintahkan Kuasa
Hukum untuk menghadirkan pihak prinsipal dalam upaya
mediasi.
- Jika Penggugat tidak hadir tanpa alasan sah akan dinyatakan
tidak beriktikad baik, maka gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima. (Pasal 6, 7 dan 22 Perma Nomor 1 Tahun 2016).
- Dalam hal pihak-hak tidak hadir karena tinggal di luar negeri
maka Kuasa Hukum dapat mewakili pihak prinsipal untuk
melakukan mediasi dengan menggunakan Surat Kuasa Khusus
yang memuat kewenangan Kuasa Hukum untuk mengambil
keputusan. (Pasal 18 ayat (3) Perma Nomor 1 Tahun 2016).

c) Tergugat baru datang pada sidang ke-3. Pada sidang ke-1 dan ke-2
Tergugat tidak pernah datang. Bagaimana sikap Majelis Hakim,
apakah memerintahkan mediasi atau melanjutkan pembuktian?
Jawab :
Pendapat I :
- Tidak perlu mediasi. Mediasi hanya wajib pada sidang pertama.
Lagi pula jika harus mediasi, maka pihak Penggugat yang
terlanjur membawa alat bukti pasti akan merasa dirugikan. Jadi
cukup dengan upaya penasehatan dari Majelis Hakim saja.
Tahap mediasi telah terlewati sehingga tidak perlu lagi mediasi,
sedangkan upaya perdamaian sebagaimana ketentuan Pasal
154 RBg harus diupayakan. (Hasil Rakernas Tahun 2011,
halaman 4).

Pendapat II :
Perlu mediasi. Pasal 2 ayat (3) Perma Nomor 1 Tahun 1/2016
menentukan bahwa Hakim pemeriksa perkara pada tingkat
pertama yang tidak memerintahkan para pihak menempuh
mediasa adalah pelanggaran terhadap Perma Nomor 1 Tahun
1/2016 dan apabila diajukan banding atau kasasi, melalui
putusan sela akan diperintahkan melakukan mediasi.

d) Pihak Tergugat yang berada di dalam rutan kalau dia

5
berkeinginan hadir namun tidak di ijinkan oleh petugas rutan,
bagaimana cara hakim memenuhi haknya? Sedangkan jika
keluar rutan biasanya dengan pengawalan dan bisa jadi
membutuhkan biaya besar?
Jawab :
Jika hadir di persidangan dengan diantar oleh petugas perlu
biaya besar, sedangkan biaya demikian tidak ada sementara
hakim memandang perlu keterangan yang bersangkutan maka
hakim dapat melakukan descente di rutan dengan izin kepala
rutan.

e) Masalah ikrar talak dan hubungannya dengan talak bid'i. Jika


Termohon hadir haruskah majelis lebih dahulu bertanya ke
Termohon mengenai keadaan Termohon (suci/haid) dan
bagaimana jika Termohon dalam keadaan haid, namun tidak
keberatan dijatuhkan talak?
Jawab :
Ya, harus bertanya dulu. Jika Termohon haid, namun tidak
keberatan, maka ikrar tetap dilaksanakan dan kerelaan Termohon
tersebut dicatat dalam Berita Acara Sidang Penyaksian Ikrar
Talak. Disamping itu perpanjangan masa iddah merupakan
konsekwensi kerelaan Termohon.

f) Pembuktian
1. Pihak Tergugat/Termohon mengakui seluruh dalil Penggugat
/Pemohon secara bulat murni, tetapi menyatakan keberatan
untuk bercerai. Sedangkan bukti-bukti Penggugat juga
mendukung dalil-dalil Penggugat. Apakah Majelis Hakim masih
perlu mendengar saksi-saksi dari pihak Tergugat?
Jawab :
Ya, Majelis Hakim tetap perlu mendengar Saksi-saksi dari pihak
Tergugat sebagai pihak keluarga yang dimaksud dalam Pasal 22
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.

6. Apakah ada ukuran obyektif untuk menilai keterpenuhan unsur


"tidak ada harapan untuk rukun lagi dalam rumah tangga"? Ataukah
terhadap unsur tersebut hakim memang diberikan keleluasaan
untuk mengukurnya secara subjektif saja?
Jawab :
- Ukurannya adalah: jika sakinah mawaddah dan rahmah telah
hilang dari kehidupan rumah tangga yang bersangkutan.
- Terhadap unsur tersebut hakim memang diberikan keleluasaan
(kemerdekaan) untuk mengukurnya secara subjektif saja.
Misalnya coba baca putusan cerai talak Bambang Triatmojo anak

6
Pak Harto vs Halimah. Pemohon ngotot cerai, Termohon menolak.
Ada hakamain juga. Tingkat 1 dikabulkan cerai. Tingkat banding
ditolak. Tingkat kasasi ditolak. Tingkat PK dikabulkan. Juga baca
putusan permohonan cerai Moerdiono (mantan menteri sekretaris
negara). Dia dan istrinya sudah pisah rumah selama 25 tahun.
Moerdiono sudah tidak punya rasa. Tapi istrinya, keberatan cerai.
Ditingkat pertama ditolak. Dibanding ditolak. Tidak ada kasasi
dalam perkara tersebut.

7. Dalam perkara cerai dengan alasan huruf (f), jika penyebab


pertengkaran/percekcokan terbukti tetapi menurut hakim rumah
tangganya bukan tidak ada harapan untuk dirukunkan lagi,
apakah hakim bisa mengabulkan permohonan/gugatan
cerainya?
Jawab :
Tidak, jika keadannya demikian maka gugatan ditolak. Hakim
memutus perkara berdasarkan dhohirnya (hasil dari pembuktian),
tidak perlu mencari hal yang masih dimungkinkan terjadinya
(rukun atau tidak). Nabi memutus perkara berdasarkan
pembuktian, meskipun putusan nabi itu akibat dari kepiawian
salah satu pihak dalam berargumentasi atau mengajukan alat
bukti.

8. Jika dalil-dalil Penggugat diakui secara berklausula, bolehkah


pembebanan bukti pengakuan berklausula tersebut dibebankan
secara bersama-sama kepada kedua belah pihak?
Jawab :
Ya, boleh saja. Dengan pertimbangan bahwa dalam perkara cerai
tidak lagi dipersoalkan tentang siapa yang mengakibatkan
terjadinya perselisihan dan pertengkaran melainkan tentang
apakah betul terjadi perselisihan dan pertengkaran yang
mengakibatkan pecahnya suatu rumah tangga, waktu terjadinya,
penyebab serta akibatnya.

9. Dalam perkara verstek, apakah pembuktiannya dilakukan secara


sempurna seperti pada perkara contradictoir?
Jawab :
Dalam perkara verstek, pembuktian dilakukan tidak perlu secara
sempurna. Karena pada asasnya, perkara verstek tidak perlu
bukti. Namun demikian, tetap harus diteliti apakah gugatannya
beralasan dan atau tidak melawan hukum/hak.
Catatan :
Yang perlu diperjelas adalah :
- apa yang dimaksud beralasan ?

7
- apa yang dimaksud tidak melawan hukum/hak ?
- apabila obyek sengketa berupa tanah, apakah tidak perlu
dibuktikan status dan bukti kepemilikan?
- apabila dibuktikan, maka ketika verzet, apakah ada pembuktian
ulangan?
10. Bolehkah anak dijadikan saksi dalam perkara perceraian ayah
ibunya?
Jawab :
Pendapat I : Boleh. Karena tidak ditemukan larangan menjadi
saksi bagi pihak keluarga dalam garis lurus ke bawah.

Pendapat II : Tidak boleh. Membolehkannya berbenturan dengan


nilai hukum Islam yang mensakralkan hubungan antara seorang
anak dan orang tuanya.

Pendapat III : Boleh dan tidaknya menjadi ranah


kewenanganhakim.

11. Dalam perkara cerai talak, Pemohon dan Termohon masih


melakukan hubungan badan/persetubuhan selama proses
persidangan bahkan beberapa hari menjelang putusan
dibacakan. Apakah permohonan cerainya ditolak atau tetap bisa
dikabulkan?
Jawab:
Pendapat I : Ditolak. Karena hubungan badan/persetubuhan
adalah merupakan indikasi kuat masih ada harapan bagi
keduanya untuk rukun dalam rumah tangga.

Pendapat II : Dikabulkan jika dali-dalil permohonannya terbukti.


Sebab hubungan badan bukan indikasi adanya harapan untuk
rukun lagi. Sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor
279K/AG/2001 yang menjelaskan bahwa adanya pertemuan dan
melakukan hubungan suami isteri tidak dapat dijadikan indikator
bahwa Pemohon dan Termohon hidup rukun dalam rumah
tangga.

III. PENUTUP
Demikian tulisan ini hadir di hadapan anda untuk menunggu kajian,
masukan dan koreksi sebagai arena tholabul ‘ilmi pada bulan suci
Romadhon. Kurang lebihnya mohon dan terima kasih.

Pontianak, 8 Juni 2017


Ali M. Haidar

Anda mungkin juga menyukai