Anda di halaman 1dari 28

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1 Virus Epstein-Barr

Penemuan atas virus Epstein-Barr diperkenalkan oleh ahli bedah asal Inggris, Denise

Burkitt, selama perjalanan tentang pelayanan kesehatan di Uganda. Burkitt pertama kalinya

menjabarkan tentang adanya pembesaran limfoma pada anak-anak di rahang bawah, yang

sekarang terkenal sebagai . Burkitt juga melaporkan bahwa limfoma

Burkitt distribusinya tergantung faktor iklim seperti suhu dan musim hujan. Epidemiologi

tentang limfoma Burkitt menarik perhatian Anthony Epstein dengan postulasinya bahwa

penyebabnya berasal dari virus onkogen dan kemudian dimulailah penelitian terhadap

jaringan tumor limfoma Burkitt. Akhirnya virus Epstein-Barr diidentifikasi dari turunan galur

sel limfoma Burkitt menggunakan mikroskop elektron. Menariknya galur sel tersebut

diproduksi dari luar pertumbuhan sel limfosit B (Johanson,2007). Oleh karena itu virus

Epstein-Barr adalah tumor virus manusia pertama yang ditemukan.

Epstein Barr virus merupakan anggota famili herpesvirus dalam genus

lymphocrytovirus yang ditemukan dari galur sel limfoma Burkitt. Virus Epstein-Barr

menyebar luas pada populasi manusia, menginfeksi lebih dari 90% usia dewasa (Peh,2003

dan Cao,2011).

Seperti herpes virus lainnya, virus Epstein-Barr adalah virus berkapsul yang

mengandung untaian inti DNA yang dilapisi nukleokapsid ikosahedral dan pembungkusnya.

Anggota famili termasuk herpes simplex I dan II dan virus varisela zoster (sub famili

alphavirus), cytomegalovirus, herpesvirus 8 dan virus Epstein-Barr (sub famili gamma

herpesvirus). Meskipun herpesvirus dapat berada dimana-mana dalam alam, manusia tetap

merupakan host alami bagi virus Epstein-Barr.


7

1.1 Infeksi primer dan infeksi persisten virus Epstein-Barr

Infeksi virus Eptein-Barr pada masa kanak-kanak bersifat asimptomatik.

Bagaimanapun infeksi virus Epstein-Barr selama masa remaja dan dewasa mengakibatkan

infeksi mononukleosis. Biasanya virus Epstein-Barr ditularkan melalui kontak dengan saliva.

Individu yang terkena infeksi virus Epstein-Barr akan menjadi pembawa virus (carrier).

Pada infeksi primer, virus Epstein-Barr menginfeksi dan bereplikasi dalam epitelium

skuamosa berlapis dari nasofaring dan orofaring. Virus Epstein-Barr masuk ke sel B

diperantarai oleh interaksi glikoprotein gp 350/220 dengan reseptor CD21 sel B dan gp

42/gH/dL dengan major histocompatibility complex (MHC) kelas II pada sel B. Akhir-akhir

ini dilaporkan bahwa setelah infeksi primer pada sel B, virion virus Epstein-Barr tetap ada

pada permukaan sel dan kemudian terjadi perpindahan ke sel epitel CD21 negatif sehingga

terjadi infeksi pada kedua tipe sel tersebut (Johanson,2007)

Infeksi virus Epstein-Barr terhadap sel B mengakibatkan terjadinya perubahan isotop

(He et al.,2003), proliferasi sel B mengakibatkan mutasi imunoglobulin (Casola et al., 2004)

sehingga membuat sel B normal berubah menjadi sel B memori. Infeksi virus Epstein-Barr

terhadap sel B membuat terekspresinya protein-protein laten yang nantinya terdeteksi oleh sel

T spesifik yang mengontrol proliferasi sel, tetapi sel B memori yang terinfeksi

mengakibatkan respon imun dengan antigen imunitas virus Epstein-Barr yang berkurang

sehingga lolosnya sel B terinfeksi. Jika sel B yang terinfeksi virus Epstein-Barr masuk ke

dalam plasma sel , dilepaskannya virus yang menimbulkan infeksi lebih lanjut

(Johanson,2007). Fakta bahwa virus Epstein-Barr dapat mengakses dan berdiam diri pada sel

B memori tanpa menimbulkan gejala panyakit adalah kunci sukses virus Epstein-Barr dalam

menginfeksi sebagian besar populasi manusia.


8

1.2 Biologi molekular virus Epstein-Barr

Virus Epstein -Barr merupakan herpesvirus dengan panjang 184 -kbp, untaian

ganda genom DNA yang mengkode >85 gen. Genom virus terdiri dari 0,5 kb

terminal dengan pengulangan pada tiap akhir dan interna untaian, yang membagi

genom menjadi urutan domain pendek dan panjang dari kapasitas kode (Peh, 2003;

Thompson, 2004).

Virus Epstein -Barr juga disebut sebagai lymphocryptovirus, karena virus ini

menghasilkan (Human Herpes Virus/HHV-4 Immortalized Lymphoblastoid Cell

Lines). Virus Epstein-Barr mengekspresikan enam protein inti: EBV nuclear antigen (EBNA)

-1,2,3A,3B,3C dan leader protein (EBNA-LP) ;tiga latent membrane protein (LMP)-1,2A,2B;

dan dua jenis small untranslated RNA yang dikenal EBV encoded RNA (EBER) -1 dan

2(Peh, 2003). LMP-1 adalah protein trans membran dengan 63 kDa fosfoprotein yang terdiri

dari 3 domain, yang dibutuhkan untuk mentransformasi Rat-1 fibroblas. Virus Epstein-Barr

seringkali dihubungkan dengan transformasi sel ganas, melalui aksi onkoprotein LMP-1,

yang timbul selama infeksi virus (Gonzales, 2002). LMP dan EBNA 2 mengaktifasi sekresi

dari molekul adhesi dari LFA-1, LFA-3 dan ICAM 1 dan CD23 FCR11 dan reseptor

transferin pada sel limfoblastoid.

EBV-1 dan EBV-2 berbeda secara biologis dan distribusi geografis, walaupun tidak

ditemukan perbedaan nyata dari penyakit yang ditimbulkan. Seseorang dapat terinfeksi oleh

lebih dari satu jenis virus Epstein-Barr. EBV-1 ditemukan lebih sering pada sebagian besar

populasi. EBV-2 ditemukan dalam jumlah yang hampir sama dengan EBV-1 di negara New

Guinea. Penyebaran limfoma Burkitt dan malaria holoendemic umumnya terjadi di Afrika.

Hampir separuh tumor limfoma Burkitt di Afrika mengandung EBV-2. Sedangkan 85%

karsinoma nasofaringeal di Taiwan mengandung EBV-1 . Pasien dengan defisiensi imun

mengalami infeksi dari kedua subtipe virus Epstein-Barr. Kondisi defisiensi imun yang telah
9

ada sebelumnya (HIV atau malaria) berperan penting bagi kemampuan EBV-2 untuk

menginfeksi limfosit B dan menyebabkan transformasi. Penelitian lainnya menunjukkan

bahwa hemophilia yang terinfeksi HIV memiliki tingkat infeksi EBV-2 lebih rendah

dibandingkan homoseksual HIV. Hal ini menunjukkan adanya superinfeksi EBV-2 berkaitan

dengan defisiensi imun pada pasien tersebut (Thompson, 2004).

1.3. Infeksi virus Epstein-Barr

Infeksi virus Epstein-Barr pada limfosit B diduga terjadi pada organ limfoid

orofaring, dan pada carrier yang normal, virus tersebut menetap pada sel memori limfosit B

yang beredar di sirkulasi. Secara alami limfotropik B yang terinfeksi virus Epstein-Barr

mempunyai kemampuan membuat limfosit B yang normal menjadi immortal secara in vitro

dan mengubahnya secara permanen menjadi galur sel limfoblastoid. Virus menyebar ke

dalam saliva secara terus-menerus selama infeksi primer, dan kondisi ini dapat terjadi

bertahun-tahun. Sekali virus sudah berkoloni di kompartemen limfosit B, reaktivasi dapat

terjadi di mukosa manapun yang mengandung limfosit B.

Infeksi virus Epstein-Barr pada sel epitel merangsang aktifasi siklus litik dan replikasi

virus. Pada sel B, virus Epstein-Barr tidak bereplikasi dan bahkan menunggu selesainya

infeksi laten (Thorley-Lawson, 2005). Selama infeksi laten gen virus Epstein-Barr terekspresi

yaitu, 6 buah antigen nukleus virus Epstein-Barr (EBNA 1-6) dan 3 buah latent membran

protein (LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B) dan juga dua buah non-polyadenylated RNA virus

Epstein-Barr (EBERs) (Kieff & Rickinson,2001). Pada infeksi laten seluruh gen virus

Epstein-Barr yang terekspresi membuat sel B terproliferasi. Aktifnya sel B oleh virus

Epstein-Barr melalui reaksi germinal centre (GC) dimana beberapa gen saja yang terlibat

(Babcock & Thorley Lawson, 2000). Pada reaksi germinal centre (GC) sel B mengalami

penukaran isotop dan mutasi gen immunoglobulin. Berdasarkan afinitas ikatan antigen
10

terhadap permukaan sel B dan sinyal dari sel T-helper, maka beberapa sel normal B

mengalami reaksi GC akan menjadi sel B biasa sedangkan yang lain menjadi sel B memori.

Gambar 2.1. Infeksi virus Epstein-Barr (dikutip dari Fleisch dan Warren, 2003)

Epitel kolon (fase litik virus Epstein-Barr)

Gambar 2.2. Infeksi primer virus Epstein-Barr (modifikasi dikutip dari Johansson, 2007).

Masuknya virus Epstein-Barr pada epitel kolon kemungkinan terjadi setelah fase

latens akhir virus Epstein-Barr pada limfosit B .Sel limfosit B yang immortal dan

mengandung banyak partikel virus Epstein-Barr akan segera lisis, melepaskan partikel virus

Epstein-Barr dan mengadakan reinfeksi ke sel epitel kolon melalui berbagai jalur. Kehadiran

virus Epstein-Barr pada epitel kolon bersama-sama dengan faktor-faktor lain akan bersama-
11

sama memunculkan fenotipe malignan (Budiani et.al, 2005).

Kemampuan virus onkogenik ini dalam menginfeksi sel-sel epitel pada fase litiknya,

tidak hanya terbatas pada epitel orofaring, tetapi juga pada epitel kolorektal (Budiani et.al,

2005). Hal ini disebabkan epitel kolorektal memiliki reseptor khusus yang memungkinkan

virus Epstein-Barr dapat berinteraksi dan selanjutnya mampu menginfeksi sel epitel mukosa

kolorektal.

Budiani et al, (2005) dalam penelitiannya tingkat ekspresi LMP-1 berhubungan

pada karsinoma kolorektal menunjukkan bahwa

sebanyak 15 sampel atau 100% mengekspresikan LMP-1 dengan makna positif sedang dan

juga didapatkan tingkat ekspresi LMP-1 dengan nilai tampilan kuantitatif berbeda secara

signifikan antar stadium Duke A, B dan C.

1.4. Gen virus dan karsinogenesis

Pada infeksi laten virus Epstein-Barr tidak mengalami replikasi partikel virus pada

keganasan neoplasma yang terkait virus Epstein-Barr, dimana ekspresi gen virus Epstein-Barr

terbatas pada berbagai gen tumor dalam fase laten. Tumor-tumor tersebut diklasifikasikan

dalam 3 tipe, yaitu laten I, II, dan III berdasarkan profil ekspresi gen virus Epstein-Barr.

Virus Epstein-Barr terkait keganasan gaster, seperti juga pada Limfoma Burkitt, tampak pada

infeksi laten I dimana ekpresi gen virus pada fase laten terbatas tehadap EBNA1, EBERs,

LMP2A dan mengalami transkripsi dari BamHI A (BARF0 dan BARF1). Fase laten II

neoplasma termasuk keganasan nasofaring dan limfoma Hodgkin dengan terekspresinya

LMP-1. EBNA-2, 3A dan 3C sangat berperan dalam immortalisasi sel limfosit B, ditambah

dengan kurang efektifnya mekanisme imun pada pasien dengan fase III neoplasma seperti

limfoma pada penyakit AIDS atau pasien dengan transplantasi organ (Uozaki, 2008).
12

Tabel 2.1. Ekspresi gen virus pada pola ketiga fase laten dari infeksi virus Epstein-Barr
(Dikutip dari Uozaki, 2008).
EBERs EBNA1 EBNA2,3s, LMP- LMP- BARFs Malignansi
LP 1 2A
Laten 1 + + - - + + BL, GC dan
HL
Laten 2 + + - + + + NPC,NK/T
dan AIDS-
limfoma
Laten 3 + + + + + + PTLDs
BL, Burkitt Lymphoma; HL, Hodgkin lymphoma; GC, gastric cancer; NPC, nasopharnyngeal

carcinoma; PTLDs, post transplant lymphoproliferative disorders.

2. Latent membrane protein 1 (LMP-1)

Latent membrane protein 1 merupakan onkoprotein membran yang terdiri dari 386

asam amino. 6 buah domain transmembran yang saling terhubung antara domain sitoplasma

N-terminal lengan pendek dengan domain sitoplasma C-teminal lengan panjang. C-terminal

dari LMP-1 mengandung 2 fungsi domain; area C-terminal activation 1(CTAR 1) dan CTAR

2. CTAR 1, domain proksimal, berinteraksi dengan tumor necrosis factor-associated factors

dan mengaktivasi NF-kB. CTAR 2, domain distal, berinteraksi tumor necrosis factor-

associated death domain protein dan juga mengaktivasi NF-kB. LMP-1 mengaktivasi c-jun

N-terminal kinase (JNK) kaskade melalui CTAR 2 dan juga menstimuli p38 mitogen-

activated protein kinase (p38 MAPK) melalui CTAR 1 dan CTAR 2. CTAR 1 berikatan

dengan TNFR associated factors (TRAFS) dan CTAR 2 mendorong TNFR associated death

domain proteins (TRADDs) (Cahir-McFarland & Kieff, 2005). Area CTAR 1 PQQAT

berikatan erat dengan TRAFs 1, 2, 3 dan 5. Hal ini mengakibatkan aktifnya NF- inducing

kinase (NIK) dan - asi jalur non-

canonical NF- et al., 2003; Eliopoulos et al., 2003; Lutfig et al., 2004). CTAR

canonical NF- Eliopoulos et al.,

2003).
13

Latent membrane protein-1 (LMP-1) merupakan onkogen virus Epstein-Barr utama

yang terlibat dalam immortalisasi dan proliferasi limfoblastoid cell lines (LCLs) dan

berhubungan dengan sebagian besar keganasan oleh virus Epstein-Barr. LMP-1 berfungsi

sebagai reseptor aktif tumor necrosis factor (TNF) utama dan mengatur protein anti apoptosis

serta pro survival melalui aktivasi cellular signalling pathways. Ekspresi LMP-1 yang tidak

sesuai kemungkinan merupakan proses tumorigenesis oleh virus Epstein-Barr (Gonzales,

2002; Tang, 2003; Johansson, 2007). Perubahan LCLs dengan struktur LMP-1 , dimana

CTAR 1 memperlihatkan bahwa kandungan yang sama pada kompleks nukleus NF-

sebagai wild-type LCLs. Oleh sebab itu CTAR 1 dan 2 terlibat pada aktifasi NF-

limfosit B. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan LMP-1 mengaktifkan jalur P13K/Akt

dan berfungsi juga memetakan TRAF-binding domain kedalam CTAR1 dan residunya antara

CTAR 1 dan CTAR 2 (Dawson et al., 2003; Mainou et al., 2005; Mainou et al., 2007). Jalur

P13K/AKT berperan dalam survival sel yang terinfeksi, anti apoptosis dan proliferasi sel

menjadi ganas(Chen, 2012).

Gambar 2.3. Latent Membran Protein-1(LMP-1) (Dikutip dari Johanson,2007).

Pada sel epitel, aktifnya JNK dan jalur p38 lebih banyak dipengaruhi oleh CTAR 2,

sedangkan CTAR 1 lebih cenderung untuk mengaktifkan NF- . TRAF 1 mengekspresikan


14

CTAR 1 untuk mengaktifkan JNK pada sel epitel (Eliopoulos, 2003) dengan adanya sinyal

melalui CTAR 1 dan CTAR 2 berbeda terhadap faktor yang ada pada sel inang dari virus

Epstein-Barr.

Latent membrane protein 1 menginduksi ekspresi invasi seluler dan faktor metastasis,

termasuk matrix metalloproteinase-9 (MMP-9), yang berperan penting dalam invasi tumor.

LMP-1 menginduksi vascular endothelial growth factor (VEGF) melalui induksi

cyclooxygenase 2 (COX-2). Lebih lanjut, LMP-1 menginduksi dan menyebabkan dilepasnya

fibroblast growth factor 2 (FGF-2) ke dalam cairan ekstraseluler. Beberapa tumor dimana

LMP-1 terekspresi dan invasi, seperti karsinoma nasofaring, sangat invasif dan dikarakteristik

dengan pembentukan pembuluh-pembuluh darah baru (Wakisaka, 2004).

Gambar 2.4. LMP-1 (Dikutip dari Wakisaka,2004).

LMP-1 adalah onkogen virus Epstein-Barr utama yang terlibat dalam immortalisasi

dan proliferasi limfoblastoid cell lines (LCLs) dan berhubungan dengan sebagian besar

keganasan virus Epstein-Barr. LMP-1 menginduksi MMp-9, IL-8, FGF-2 dan COX-2 melalui

sinyal NF- -1 juga menginduksi HIF-

Kemudian LMP-1 menginduksi invasi dan faktor angiogenesis dan akhirnya mempromosikan

metastasis tumor(Wakisaka,2004). LMP-1 terlibat dalam transformasi dengan berperan

sebagai reseptor aktif utama (CD40) dan meniru sinyal pertumbuhan sel yang dalam keadaan
15

normal dihasilkan dari ikatan ligan CD40. LMP-1 berhubungan langsung onkogenesis karena

kemampuannya untuk merekrut susunan gen sel. Hal ini menghambat apoptosis dengan

meningkatkan tingkat Bcl-2.

LMP-1 adalah protein membran integral berukuran 62 kD dengan enam segmen

membran hidrofobik dan gugus COOH-terminal, yang berisi efektor. Agregat LMP-1 pada

membran plasma yang mirip dengan susunan yang dibentuk oleh ikatan ligan-reseptor faktor

pertumbuhan. Analisis mutasi menunjukkan bahwa terminal NH2 dan segmen transmembran

LMP-1 bertanggung jawab atas agregasi membran yang penting untuk immortalisasi

(Thompson, 2004).

LMP-1 menyerupai CD40 dalam hal berhubungan dengan tumor necrosis factor

receptor-associated factors (TRAFs) yang serupa. Domain COOH-terminal dari LMP-1

berinteraksi dengan TRAF-1 dan TRAF-2 serta tumor necrosis factor receptor-associated

death domain protein. Interaksi TRAFs dan tumor necrosis factor receptor-associated death

domain protein diperantarai oleh domain COOH-terminal LMP-1 yang dikenal sebagai area

efektor transformasi. Transformation effector site-1 mengikat TRAFs, dan transformation

effector site-2 mengikat tumor necrosis factor receptor-associated death domain. Sekitar

empat jalur aktivasi sinyal, yaitu nuclear factor B, c-Jun NH2-terminal kinase, p38 mitogen-

activated protein kinase, dan Janus kinase/signal transducers and activators of transcription

mempengaruhi fungsi LMP-1. Molekul-molekul ini mempengaruhi signaling cascade

Nuclear factor B merupakan kunci faktor transkripsi yang terlibat dalam regulasi

pertumbuhan sel dan apoptosis. Faktor ini juga mengontrol ekspresi dari berbagai sitokin,

termasuk lymphotoxin, yang merupakan autokrin faktor pertumbuhan sel yang ditransformasi

oleh virus Epstein-Barr. p38/ mitogen activated protein kinase juga merupakan pusat jalur

sinyal dan mengaktivasi faktor transkripsi ATF2. Sementara itu, kaskade Janus kinase/signal
16

transducers and activators of transcription berinteraksi dengan jalur activator protein-1

transcription factor (Tang, 2003; Thompson, 2004).

Aktivasi kaskade yang terkait dengan LMP-1 mengarah pada meningkatnya ekspresi

adhesi molekul sel B (LFA1, CD54, dan CD58), meningkatkan ekspresi marker sel B (CD23,

CD39, CD40, CD44, dan HLA kelas II), dan perubahan morfologis seperti penggumpalan

sel. Interaksi LMP-1 juga menyebabkan ekspresi berlebihan protein BCL-2 dan A20, yang

melindungi sel yang terinfeksi dari apoptosis yang diperantarai oleh p53 (Thompson, 2004).

Pada sel limfoma Burkit, LMP1 dapat menginduksi proyeksi virus, pertumbuhan padat dan

ekspresi dari penanda aktivasi (CD23 dan CD40), molekul adhesi (ICAM1, LFA, dan

LFA3)dan protoonkogen bcl2 dan dapat menghambat apoptosis yang dipicu oleh p53 (Tang,

2003; Thompson, 2004).

Kemampuan berubahnya LMP-1 berhubungan dengan kemampuan untuk meregulasi

protein anti-apoptosis. Regulasi LMP-1 dari beberapa protein seluler berpusat pada fungsinya

dalam mengaktivasi beberapa jalur sinyal seluler seperti Nuclear Factor- - c-Jun

NH2-terminal kinase (JNK), p38 kinase, phosphatidyllinositol 3-kinase(PI3K), dan beberapa

kemungkinan jalur lainnya (Dawson et al.,2003). LMP-1 melindungi sel melawan apoptosis

dengan meregulasi ekspresi protein anti apoptosis Bcl-2, Mcl-1 dan A20. LMP-1

menginduksi ekspresi permukaan sel dari CD23, CD30, CD39, CD44 dan molekul adhesi sel

LFA1, LFA3 dan ICAM1 (Kieff & Rickinson, 2001). LMP-1 memicu ekspresi survivin

melalui NF- -1 signal pathways dan ekspresi survivin tersebut mengakibatkan

proliferasi sel terus-menerus dan menghambat apoptosis.

Pada sel B yang terinfeksi virus Epstein-Barr, LMP-1 diekspresikan bersama-sama

dengan gen-gen laten virus Epstein-Barr lainnya. LMP-1 dapat menyerupai sinyal CD40 yang

menginduksi penanda permukaan sel secara luas termasuk aktivasi dan adhesi molekulnya.

Hal ini mengarah ke proliferasi limfoblas baik morfologis dan fenotip yang menyerupai
17

antigen yang mengaktifkan sel B blast. Secara umum germinal centre sel B blast mengalami

pertukaran Ig dan secara acak terjadi mutasi gen immunoglobulin yang nampak pada

permukaan selnya. Sel B secara kompit terikat dengan antigennya dan mengekspresikan

afinitas tertinggi reseptor sel B (BCR) dan memasuki reservoir sel B memori. LMP-1 dan

LMP-2 bersama-sama mengekspresikan sinyal yang dibutuhkan sel B untuk dapat lolos dari

kompartemen germinal centre menjadi sel B memori dengan ketiadaan sinyal BCR. Maka

sinyal LMP-1 membantu virus Epstein-Barr memperoleh akses ke reservoir sel B memori

sehingga virus tersebut dapat memperpanjang masa hidupnya( Thorley-Lawson, 2005).

3. EBNA-1

EBNA-1 merupakan homo-dimeric, protein pengikat DNA yang mengikat sisi

spesifik terhadap sekuen DNA dengan panjang 16 bp (pasangan basa) melalui ikatan DNA

dan dimerisasi domain yang terletak pada ujung C-terminal. Dengan ikatan EBNA-1 dengan

origin of replication (oriP) dari virus Epstein-Barr, maka EBNA-1 memperlancar sintesis

protein dari virus Epstein-Barr dan sintesis dari plasma virus ke sel anakan selama proses

mitosis(Smith, 2013).

EBNA-1 juga berfungsi sebagai transaktivator transkripsi virus. Ketika berikatan

dengan family of repeats(FR), EBNA-1 memperbanyak transkripsi dari Cp, sebuah promotor

aktif selama fase laten dari siklus sel virus Epstein-Barr. EBNA-1 yang berikatan dengan

family of repeats(FR) memperbanyak transkripsi gen virus, Laten Membrane Protein 1(LMP-

1) dan dengan jarak 10 kbp menyilang pada akhir ujung sirkular dari genom virus. Ikatan

EBNA-1 dengan FR memperbanyak transkripsi dari heterolog promotor dan transkripsi gen

pada fase laten yang menginduksi dan mempertahankan proliferasi sel yang terinfeksi virus

Epstein-Barr(Smith, 2013).

Ekspresi EBNA-1 merupakan produk protein inti virus Epstein-Barr yang berperan

penting dalam regulasi gen virus Epstein-Barr, replikasi ekstra kromosom dan
18

mempertahankan kehadiran episom virus Epstein-Barr melalui regulasi gen promotor virus.

EBNA-1 dan LMP-1 secara bersamaan berperan dalam insersi informasi genom virus

Epstein-Barr ke dalam host DNA, sehingga memungkinkan virus Epstein-Barr mengambil

alih fungsi sel dan replikasi virus.

Epstein-Barr nuclear antigen 1 (EBNA-1) merupakan satu-satunya produk protein

virus Epstein-Barr yang terekspresi dalam segala bentuk fase laten dan fase litik pada sel

proliferasi dan tumor-tumor berkaitan virus Epstein-Barr. Peran penting EBNA-1 pada

infeksi virus Epstein-Barr berhubungan dengan perannya menjaga keberadaan genom virus

Epstein-Barr dalam fase laten yang tersimpan dalam nukleus sel sebagai episom sirkular.

EBNA-1 juga berperan penting dalam replikasi dan agregasi mitosis episom virus Epstein-

Barr melalui interaksi langsung dengan sekuen origin of replication (oriP) fase laten virus

Epstein-Barr. Hal-hal tersebut menjelaskan pentingnya peran EBNA-1 pada infeksi fase laten

dan tumorigenesis yang memastikan keberadaan dan ekspresi gen-gen virus Epstein-Barr

lainnya(Sun, 2009 dan Frappier, 2012).

Gambar 2.5. Struktur representasi EBNA-1 dengan domain protein berikatan(Smith, 2013).
19

Kemampuan EBNA-1 untuk mengatur ekspresi gen virus, replikasi gen dan partisi

genom virus tergantung dari ikatan sisi spesifik terhadap genom virus melalui C-terminal

DNA-binding dan dimerisasi domain. EBNA-1 membuat sel yang terinfeksi virus Epstein-

Barr mempertahankan genom virusnya dengan cara meregulasi signaling pathways pada sel

inang dan membuat sel terinfeksi terhindar dari identifikasi selama fase laten(Frappier, 2012).

EBNA-1 dapat berperan sebagai onkoprotein dari virus Epstein-Barr dengan cara

meningkatkan level Reactive Oxygen Species (ROS) dan instabilitas genom dengan

meningkatnya ekspresi sub unit katalitik dari NADPH oksidase, Nox2 pada sel inang(Smith,

2013).

Ketika ekspresi EBNA-1 meregulasi transkripsi gen seluler tidak komplit, EBNA-1

berperan sebagai antigen. Ekspresi EBNA-1 pada sel terinfeksi tidak membuat sel tersebut

dikenali oleh CD8(cluster of differentiation 8) cytotoxic T-cells. EBNA-1 berkontribusi

dalam berbagai fungsi pada fase laten siklus sel, termasuk sintesis dan partisi genom virus

dalam proliferasi dan regulasi sel(Smith, 2013).

EBNA-1 berperan dalam metilasi CpG suatu mekanisme penting dalam regulasi

promotor dan ekspresi gen pada fase laten virus Epstein-Barr. EBNA-1 terekspresi pada

keganasan yang berkaitan dengan virus Epstein-Barr dan berperan penting pada transformasi

dan tumorigenesis sel. EBNA-1 berikatan dengan genom viral dan promotor seluler serta

aktif dalam faktor transkripsi protein seluler dengan kaskade transkripsi yang memicu

regulasi beberapa komplek molekul sel terinfeksi (Sompallae, 2010).

EBNA-1 berkontribusi dalam banyak hal infeksi virus Epstein-Barr dengan

kemampuannya berinteraksi melalui sekuen DNA tertentu dan multipel protein seluler.

Kontribusi EBNA-1 pada fase laten virus Epstein-Barr yakni berperan dalam replikasi dan

segregasi mitosis episom virus Epstein-Barr, transkripsi virus dan efeknya pada protein

seluler dan pathways sehingga berperan dalam keberlangsungan dan proliferasi sel
20

terinfeksi. EBNA-1 juga berperan dalam perubahan sel yang meningkatkan kerusakan DNA

sehingga berperan dalam terjadinya keganasan terkait virus Epstein-Barr (Frappier, 2012).

Peranan EBNA-1 tidak hanya terbatas menjaga genom virus Epstein-Barr, tetapi juga

meningkatkan kondisi seluler sehingga menjadi tidak stabil dan akhirnya mengarah ke

keganasan. EBNA-1 dapat menurunkan level p53 dengan memicu ubiquitin-specific protease

USP7 sehingga p53 menjadi tidak stabil. Hal ini memungkinkan EBNA-1 dapat mengubah

p53 pada epitel sel yang terinfeksi virus Epstein-Barr sehingga sel menjadi berproliferasi dan

anti apoptosis (Sivachandran, 2011).

4. Kanker kolorektal

Kanker kolorektal merupakan penyebab kematian ketiga setelah kanker paru dan

kanker payudara. Angka kematian tertinggi terjadi pada usia diatas 50 tahun. Setiap tahun

hampir 1 juta orang diseluruh dunia menderita kanker kolorektal (Hansen, 2007). Menurut

Danish National Board of Health, tingkat kelangsungan hidup relatif (relative survival rate)

dalam 5 tahun adalah sekitar 50 % (Hansen, 2007). Angka kejadian tertinggi pada

masyarakat barat seperti Amerika utara, Eropa barat, Australia dan New Zeland dengan

angka kejadian 30-50 per 100.000 penduduk.

Angka kejadian rendah pada negara Asia dan Afrika yaitu kurang dari 10 per 100.000

penduduk. Namun dilaporkan angka kejadian tinggi di Hiroshima Jepang dengan angka

kejadian 87,6 per 100.000 laki-laki. Sementara pada kalangan Yahudi di Israel kanker

kolorektal merupakan penyebab utama kematian pada kanker dibandingngkan dengan bangsa

Palestina (Darwis, 2002). Pada bangsa Israel yang lahir di Eropa mempunyai angka kejadian

yang tinggi sekitar 42 per 100.000 peduduk dibanding penduduk Israel yang lahir di Afrika

dengan angka 25 per 100.000 penduduk (Darwis, 2002). Sedangkan angka kejadian pada

bangsa Palestina 7 per 100.000 penduduk (Darwis, 2002). Risiko seumur hidup (lifetime risk)
21

kanker kolorektal pada populasi negara industri barat dapat mencapai 6% (Hansen, 2007).

Insiden spesifik (age spesific insidence) pada kanker kolorektal meningkat tajam setelah usia

35 tahun, dengan 90% kejadian pada usia lebih 50 th (Hansen, 2007).

Dari evaluasi data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, didapatkan angka

kejadian 1,8 setiap 100.000 penduduk(Sjamsuhidajat, 2006). Pada tahun 2002 terdapat lebih

dari 1 juta insiden kanker kolorektal di Indonesia dengan tingkat mortalitas lebih dari

50%(Depkes, 2006).

4.1 Etiologi

Secara umum dinyatakan bahwa untuk perkembangan kanker kolorektal merupakan

interaksi berbagai faktor yakni faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan

yang multipel bereaksi terhadap predisposisi genetik atau defek yang didapat dan

berkembang menjadi kanker kolorektum(Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal,

2006).

Terdapat 3 kelompok kanker kolorektal berdasarkan perkembangannya yaitu:

1. Kelompok yang diturunkan (inherited) yang mencakup kurang dari 10% dari kasus

kanker kolorektum.

2. Kelompok sporadik, yang mencakup sekitar 70%.

3. Kelompok familial mencakup 20%.

Kelompok yang diturunkan adalah pasien yang waktu dilahirkan sudah dengan mutasi

sel germinativum pada salah satu alel dan terjadi mutasi somatik pada alel yang lain.

Contohnya adalah FAP(Familial Adenomatous Polyposis) dan HNPCC(Hereditary Non

Polyposis Colorectal Cancer). HNPCC terdapat pada sekitar 5% dari kanker kolorektal.

Kelompok sporadik membutuhkan dua mutasi somatik, satu pada masing-masing alelnya

(Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal, 2006).


22

Kelompok familial tidak sesuai ke dalam salah satu dari dominant inherited syndrome

di atas (FAP danHNPCC) dan lebih dari 35% terjadi pada umur muda. Meskipun kelompok

familial dari kanker kolorektal dapat terjadi karena kebetulan saja, ada kemungkinan peran

dari faktor lingkungan, penetrasi mutasi yang lemah atau mutasi-mutasi germinativum yang

sedang berlangsung(Zahari, 2000; Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal, 2006).

4.2 Patogenesis

Banyak kasus karsinoma kolorektal berlangsung sporadik, dan hanya 25 % kasus

pasien memiliki riwayat penyakit keluarga, dan kelainan gen lainnya yang menimbulkan

gejala mengarah ke karsinoma kolorektal sekitar 5-6% kasus. Penelitian-penelitian terdahulu

sudah ada yang meneliti tentang keterkaitan infeksi viral seperti virus Epstein-Barr terhadap

pathogenesis karsinoma kolorektal(Saputra,2012;Simatupang,2012;Wahyudi,2012). Terdapat

2 model perjalanan perkembangan karsinoma kolorektal, yaitu:

1. LOH (loss of heterozygosity)

Model LOH mencakup mutasi tumor gen suppressor yang meliputi gen

APC(adenomatous polyposis coli), gen DCC (deleted in colorectal carcinoma) dan p53 serta

aktivasi onkogen yaitu K-ras proto oncogene. Sebagai contoh model ini adalah

perkembangan polip menjadi karsinoma kolorektal.

2. RER (Replication Error)

Model RER karena ada mutasi gen hMSH2, hMLH1, hPMS1 dan hPMS2. Contoh

model ini adalah perkembangan HNPCC menjadi kanker kolorektal. Pada bentuk sporadik,

80% berkembang lewat model LOH dan 20 % berkembang lewat model RER.

Pada kasus sporadik dapat diketahui subtipe molekul yang berperan pada karsinoma

kolorektal, yaitu: MIN(microsatellite instability) 15% kasus, CIN (chromosomal instability)

50% kasus, CIMP(CpG island methylator phenotype) 35-40% kasus. (Selgrad,2008).


23

4.3 Deteksi

Deteksi dini atau skrining dan diagnosis pada penatalaksanaan kanker kolorektal

memiliki peranan peranan penting didalam memperoleh hasil yang optimal yakni

meningkatnya survival dan menurunnya tingkat morbiditas dan mortalitas para penderita

kanker kolorektal.

Deteksi dini dapat diartikan adalah penemuan kasus pada individu asimptomatik untuk

mendeteksi penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.

4.4 Indikasi

Secara umum deteksi dini dilakukan pada dua kelompok yaitu populasi umum dan

kelompok resiko tinggi(Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal, 2006)

Deteksi dini pada populasi dilakukan kepada individu yang berusia diatas 40 tahun

Deteksi dini dilakukan pula pada kelompok masyarakat yang memiliki resiko tinggi

menderita karsinoma kolorektal yaitu:

Penderita yang telah menderita kolitis ulkserativa atau Crohn > 10 tahun.

Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal.

Individu dengan adanya riwayat keluarga menderita karsinoma kolorektal

Individu dengan riwayat keluarga memiliki resiko menderita karsinoma kolorektal 5

kali lebih tinggi dari pada individu pada kelompok usia yang sama tanpa riwayat

penyakit tersebut.

Terdapat dua kelompok pada individu dengan keluarga penderita karsinoma kolorektal

yaitu:

Individu yang memiliki riwayat keluarga dengan Hereditary Non Polyposis

Colorectal Cancer (HNPCC).

Individu yang didiagnosis secara klinis menderita Familial Adenomatous Polyposis

(FAP).
24

Pada kelompok HNPCC terdapat tiga tingkat resiko terhadap kemungkinan seseorang

individu menderita karsinoma kolorektal dan kriteria untuk masing-masing resiko dapat

dilihat pada tabel dibawah ini.

Kriteria tingkat resiko pada individu dengan riwayat keluarga penderita karsinoma

kolorektal(Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal, 2006).

Tabel. 2.2 Tingkat resiko kanker kolorektal(Kriteria Amsterdam)


Tingkat Resiko Kriteria
Tinggi Paling sedikit tiga anggota keluarga menderita karsinoma kolorektal atau
paling sedikit dua dengan karsinoma kolorektal dan satu dengan
karsinoma endometrial pada paling sedikit dua generasi. Satu dari
anggota keluarga telah menderita dibawah usia 50 tahun dan salah satu
anggota yang didiagnosis adalah silsilah pertama dari keluarga
Ditemukannya pembawa (carrier) gen HNPCC
Anggota keluarga yang tidak diuji genetik
Sedang Seorang anggota keluarga silsilah pertama menderita karsinoma
kolorektal pada usia < 45 tahun, atau
Dua anggota keluarga silsilah pertama menderita karsinoma
kolorektal (seseorang pada usia < 55 tahun), atau
Dua atau tiga anggota keluarga (salah seorang pada usia< 55
tahun) dengan karsinoma kolorektal atau karsinoma endometrial
yang merupakan silsilah pertama
Rendah Seseorang yang tidak memenuhi kriteria tinggi dan sedang
Apabila tidak dilakukan terapi, 7 % penderita Familial Adenomatous Polyposis akan

menderita adenoma pada usia 21 tahun, 50% pada usia 39 tahun, dan 90% pada usia 45

tahun.

4.5 Stadium

Stadium Dukes Modifikasi Astler Coller(Kelompok Kerja Adenokarsinoma

Kolorektal, 2006)

Stadium A: tumor terbatas pada lapisan mukosa

Stadium B1: tumor menginvasi sampai lapisan muskularis propria


25

Stadium B2: tumor menginvasi menembus lapisan muskularis propria

Stadium C1: tumor B1 dan ditemukan anak sebar pada KGB

Stadium C2: tumor B2 dan ditemukan anak sebar pada KGB

Stadium D: tumor bermetastasis jauh

Stadium berdasarkan TNM

pT Tumor Primer

pTx : Tumor primer tidak dapat dinilai

pT0 : Tumor primer tidak ditemukan

pTis : Karsinoma insitu, intraepithelial atau ditemukan sebatas lapisan mukosa saja

pT1 : Tumor menginvasi submukosa

pT2 : Tumor mengivasi lapisan muskularis propia

pT3 : Tumor menembus muskularis propia hingga lapisan serosa atau jaringan

perikolika/perirectal belum mencapai peritoneum

pT4 : Tumor menginvasi organ atau struktur disekitarnya atau menginvasi sampai

peritoneum visceral

pN Kelenjar getah bening Regional

pNx : Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai

pN0 x : Tidak ditemukan metastasis pada kelenjar getah bening regional

pN1 : Ditemukan anak sebar pada -3 kelenjar getah bening regional

pN2 : Ditemukan anak sebar pada 4 atau lebih kelenjar getah bening regional

pM Metastasis jauh

pMx : Metastasis jauh tidak dapat dinilai

pM0 : Tidak ditemukan metastasis jauh

pM1 : Ditemukan metastasis jauh


26

Tabel 2.3. Stadium klinis dari karsinoma kolon


Stadium T N M
Stadium 0 : Tis N0 M0
Stadium IA : T1 N0 M0
IB : T2 N0 M0
Stadium IIA : T3 N0 M0
IIB : T4 N0 M0
Stadium IIIA : Semua T N1 M0
IIIB : Semua T N2 M0
Stadium IV : Semua T Semua N M1

4.6 Derajat histopatologi

Derajat histopatologi kanker kolorektal adalah penilaian kualitatif dari differensiasi sel

kanker dihubungkan dengan sejauh mana menyerupai sel normal pada jaringan tersebut.

Broders memperkenalkan suatu modifikasi sistem penderajatan secara histologis, dimana

terlihat bahwa ada hubungan erat antara ekstensi penyebaran lesi dengan prognosis akhir

setelah terapi pembedahan, yaitu :

Grade 1. Differensiasi baik : gambaran tumor yang menyerupai adenoma dengan tanda-

tanda adanya proliferasi aktif epitel, tapi dapat dikenali sebagai malignansi karena adanya

infiltrasi ke lapisan muskularis mukosa 95% masih menyerupai sel normal.

Grade 2. Diferensiasi sedang : gambaran tumor dengan sel-sel kanker yang banyak

berkelompok tetapi tetap terbatas dalam bentuk yang cukup rata pada satu atau 2 lapisan lebih

dalam di sekitar ruang glandula. Umum terlihat adanya nukleus yang berwarna dan bentuk

mitosis yang tidak teratur 50 - 95% menyerupai sel normal.

Grade 3. Differensiasi buruk : gambaran sel tumor makin anaplastik dan tidak membentuk

sistem glandular sama sekali, tetapi meliputi setiap jaringan atau dalam kelompok yang tidak

teratur 5 49% menyerupai sel normal.

Grade 4. Tidak berdiferensiasi : dimana < 5% yang menyerupai sel normal dan terutama

terdiri dari sel raksasa berkumparan pleomorfik atau sel kecil berinti atipik.
27

Kemudian dimodifikasi oleh WHO menjadi 2 grade(Carolyn,2012) :

Low grade : G1 dan G2

High grade : G3 dan G4

4.7 Penatalaksanaan

Terapi kanker kolorektal merupakan terapi multi modalitas dengan andalan utama

adalah terapi pembedahan.Dari beberapa laporan rumah sakit pendidikan di Indonesia

ternyata bahwa 70-80% dari penderita tidak dapat dioperasi karena buruknya keadaan umum

atau datang sudah dalam stadium lanjut. Di rumah sakit Dr. M. Djamil Padang sebagai rumah

sakit pendidikan setiap tahunnya dapat menangani tidak kurang lebih dari 60 kasus/

tahun(Zahari, 2000; Zahari, 2002; Syamsuhidayat, 2006).

Modalitas terapi pada kasus kolorektal terdiri dari:

1. Operasi kuratif dan operasi paliatif

2. Kemoterapi adjuvan dan neoadjuvan

3. Kemoradioterapi pre dan paska operasi

4. Imunoterapi

4.7.1 Terapi pembedahan

Pembedahan tetap merupakan pilihan utama pada penatalaksanaan kanker kolorektal

yang masih terlokalisir. Ada dua hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan

pembedahan pada karsinoma kolorektal yaitu terjadinya trombosis vena dan infeksi luka.

Oleh karena itu perlu dilakukan persiapan pencegahan tromboemboli vena dan antibiotika

profilaksis serta persiapan usus.

Operasi kanker kolon yang radikal dan kuratif adalah mengangkat satu blok jaringan

lymphovaskular(en bloc resection). Untuk kanker kolon dapat dilakukan operasi seperti

hemikolektomi kanan dan diperluas untuk kolon ascenden dam fleksura hepatika. Kanker
28

kolon yang berlokasi di kolon transversum bagian tengah dilakukan reseksi kolon

transversum dan kanker kolon di fleksura lienalis dan kolon desenden dilakukan

hemikolektomi kiri. Bila lokasi tumor di kolon sigmoid dapat dilakukan reseksi kolon

sigmoid atau hemikolektomi kiri.

Pembedahan kanker rektum ditemukan banyak bukti dari penelitian studi kohort bahwa

penggunaan teknik total mesorectal excision (TME) dapat mengurangi rekurensi lokal ,

memperbaiki angka ketahanan hidup. TME juga diindikasikan terutama pada kanker rektum

letak sepertiga tengah dan bawah. Saat ini semua operasi tersebut dapat dilakukan secara

laparoskopik, dengan keuntungan rasa nyeri paska operasi yang jauh berkurang,

berkurangnya pemakaian obat analgetika, lama perawatan di rumah sakit dan jumlah

perdarahan kurang dibandingkan cara konvensional(Zahari,2000; Syamsuhidayat, 2006).

4.7.2 Radioterapi

Angka kekambuhan paska operasi kanker kolorektal dengan KGB positif mencapai 60

%. Terjadi umumnya pada 2 tahun pertama 20-30%. Untuk memperbaiki hasil terapi ini

diberikan radiasi pre- dan paska operasi dan kemoterapi. Radiasi pada kanker kolorektal

dapat diberikan sebagai radiasi eksterna paska operasi, pra operasi dan kemoradiasi.

4.7.3 Kemoterapi

Perkembangan kemoterapi pada kanker kolorektal mengalami kemajuan yang amat

pesat dalam dua dasawarsa ini. Tanpa pemberian kemoterapi pasien kanker kolorektal

stadium III hanya mempunyai masa bebas penyakit disease free survival (DFS) 3 tahun

sebesar 52%.

Beberapa protokol atau cara pemberian sitostatika pada kanker kolorektal yang saat ini

digunakan adalah:

Capecitabine tunggal: 2500 mg/m 2/hari dibagi 2 dosis, hari 1-14 diikuti 7 hari istirahat.

Ulangi setiap 3 minggu


29

Protokol MAYO leucovorin 20 mg/m 2/IV bolus, hari 1-5; 5 FU 425 mg/m 2/IV bolus 1

jam setelah leucovorin hari 1-5; ulangi setiap 4 minggu.

Obat kemoterapi yang biasa digunakan pada karsinoma kolon dan rektum adalah 5-

fluorouracil (5-FU), Leukovarin, Irinotecan, Oxiliplatin, Capecitabine, dan

perkembangan terbaru pada terapi antibodi monoklonal karsinoma kolon dengan

menggunakan bevacizumab dan cetuximab telah digunakan pada terapi karsinoma

kolon (Ashariati, 2004; Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal, 2006).

4.7.4 Imunoterapi

Strategi imunoterapi merangsang daya imun pasien untuk cepat berespon menyerang

dan menghancurkan sel tumor. Sistem imun bekerja dengan mengaktifkan sel pengawas

untuk mendeteksi dan menghancurkan benda asing. Sistem imun secara alami dapat

mengidentifikasi dan menghilangkan sel berdasarkan ekspresi antigen, bagaimanapun sel

tumor lebih canggih lagi dapat menghilangkan ekspresi antigen permukaan sehingga tidak

menyerupai benda asing. Penatalaksanaan imunoterapi kanker dengan meningkatkan sistem

imun atau melatih sistem imun untuk menyerang spesifik antigen sel tumor. Penatalaksanaan

imunoterapi kanker kolorektal termasuk vaksin kanker, adapted cell transfer, immune

checkpoint inhibitors, antibodi monoklonal, dan terapi kombinasi(Faster cures, 2014).

Vaksin aktif imunoterapi kanker terdiri dari antigen tumor yang mengandung molekul

protein yang diekspresikan pada permukaan sel tumor. Antigen karsinoma kolorektal yang

telah digunakan pada pengembangan vaksin termasuk CEA, MUC-1, CD55, CD17-1A, Ras

mutant, p53 dan lainnya. Pendekatan imunoterapi lainnya adalah adoptive cell transfer(ACT)

dengan cara anti tumor sel T(biasanya tumor infiltrating lymphocytes(TILs)) dimanipulasi in

vitro kemudian ditarik lagi ke dalam sel. Sel tumor dapat merubah ekspresi beberapa molekul

antigen permukaan sel agar tidak dikenali sebagai benda asing. Lebih spesifik lagi, sel tumor

immune checkpoints
30

mengirimkan sinyal ke sistem imun agar respon sistem imun tidak diaktifkan. Peneliti telah

menemukan obat- immune checkpoints

ikatan molekul sehingga sistem imun dapat berespon melawan sel tumor. Obat-obatan ini

disebut immune checkpoint inhibitor. Antibodi monoklonal yang digunakan

ipilimumab(Yervoy) merupakan antibodi yang mengikat CTLA-4 pada sel tumor. Antibodi

monoklonal lainnya adalah anti-PD-1 dan antibodi anti-PD-L1. Peneliti juga menggabungkan

imunoterapi dan targeted therapy dengan keuntungan antara lain:

Regresi tumor secara cepat, sehingga menambah efektivitas imunoterapi

Memicu respon anti tumor

Membuat sel tumor lebih mudah dihancurkan oleh sistem imun

Menambah jumlah antigen presenting dendritic cells(Faster cures, 2014).

Pada disertasi Metria, 2006 tentang profil imunitas penderita karsinoma kolorektal

usia muda, baya dan tua didapatkan hasil bahwa profil imunitas penderita KKR usia tua lebih

baik dari profil imunitas penderita KKR usia muda dan pengelolaan stressor penderita KKR

usia tua lebih baik dari pengelolaan stressor penderita KKR usia muda.(mekaisme koping

penderita KKR usia tua lebih baik dari mekanisme koping penderita KKR usia muda) yang

dicerminkan oleh penurunan kadar kortisol dan peningkatan kadar IFN dan IgG pada

penderita KKR usia tua(Metria, 2006).

4.8. Prognosis

Prognosis karsinoma kolon tergantung pada stadium tumornya, ada tidaknya

metastase jauh, yaitu klasifikasi penyebaran tumor dan tingkat keganasan sel tumor, keadaan

umum penderita, umur penderita, adanya komplikasi perforasi dan obstruksi, serta

pengelolaan pra dan pasca bedah yang teliti dengan pembedahan dan pengangkatan tumor

primer dan metastase seradikal mungkin.


31

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan pernah dilakukan oleh:

1. Metria (2006) Profil Imunitas Penderita Karsinoma Kolorektal Usia Muda, Baya dan

Tua. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan perbedaan profil imunitas(CRP,

IL-1 , IL-6, IL- , CD-8, IgM dan IgG ) pada perubahan kadar kortisol

darah penderita KKR usia muda, baya dan tua. Populasi penelitian ini adalah semua

penderita karsinoma kolorektal yang berobat dan dilakukan operasi di beberapa

Rumah Sakit Pemerintah maupun Swasta di Kodya Surakarta antara lain: RSUD Dr.

MOEWARDI Surakarta, RSU Dr. OEN Surakarta, RSU Dr. OEN Solo Baru, RSU

Kasih Ibu Surakarta, RSU PKU Surakarta, RSU Islam YARSIS Surakarta, RSU Panti

Waluyo Surakarta, RSU Brayat Minulyo Surakarta dan RSU Islam Kustati Surakarta.

Teknik analisis data dilakukan uji normalitas dan analisa statistik Manova dan analisa

diskriminant. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil imunitas penderita KKR

usia tua lebih baik dari profil imunitas penderita KKR usia muda dan pengelolaan

stressor penderita KKR usia tua lebih baik dari pengelolaan stressor penderita KKR

usia muda.

2. Simatupang (2012) Perbedaan Ekspresi EBNA-1 Pada Virus Epstein-Barr Terhadap

High Grade Dan Low Grade Karsinoma Kolorektal. Tujuan penelitian ini

membuktikan adanya hubungan infeksi virus Epstein-Barr terhadap derajat karsinoma

kolorektal dengan memeriksa onkoprotein EBNA-1 terhadap high grade dan low

grade karsinoma kolorektal. Hasil yang diperoleh didapatkan adanya perbedaan

ekspresi EBNA-1 terhadap infeksi virus Epstein-Barr terhadap high grade dan low

grade karsinoma kolorektal


32

C. Kerangka Konseptual

Pada penelitian ini, kerangka konseptual yang ditujukan adalah sebagai berikut :

Infeksi virus
Epstein-Barr

Infeksi ke limfosit B
(Latensi I,II dan III)

Fase litik, virus Epstein-Barr menginfeksi epitel kolorektal Siklus sel


berlangsung terus-
LMP-1 NF- menerus
p
Epitel mukosa
Progresi
kolorektal
NF-
EBNA-1
Degradasi
p53 wild
type

Jaringan
karsinoma kolorektal

Low grade High grade

LMP-1 EBNA- LMP-1 EBNA-

Gambar 3.1. Kerangka konseptual


33

Keterangan gambar:

Infeksi virus Epstein-Barr masuk melalui saliva ke dalam epitel orofaring menginfeksi
limfosit B dengan glikoproteinnya gp350/220 berikatan dengan reseptor virus yaitu reseptor
CR2/CD21 sehingga virus Epstein-Barr dapat mengalami fase laten yang lama(Chen, 2008).
Virus Epstein-Barr mengkode protein Z(gen BZLF1/BCRF1) yang merupakan multiple
transaktivator poten terhadap gen seluler untuk mengubah fase laten menjadi fase litik.
BZLF1 menyerupai IL-10, dimana IL-10 menghambat pembentukan sitokin oleh sel T
sehingga dapat mencegah proses inisiasi dan lisis CD8, sel NK, memblokade produksi IFN-
dan mengurangi respon imun seluler(Chen, 2008). Pada fase laten limfosit B yang terinfeksi
dapat mengekspresikan beberapa dari produk protein virus Epstein-Barr seperti EBV Nuclear
Antigen (EBNA) -1,2,3A,3B,3C dan leader protein (EBNA-LP) ;tiga latent membrane
protein (LMP)-1,2A,2B; dan dua jenis small untranslated RNA yang dikenal EBV encoded
RNA (EBER) -1 dan 2 dalam beberapa fase laten I,II,III. Pada fase litik virus Epstein-Barr
menginfeksi epitel mukosa kolorektal, LMP-1 berperan dalam proliferasi dengan cara
memutus ikatan pRB-E2F sehingga pada awal fase S (sintesis DNA) sel berproliferasi
terus-menerus tanpa terkendali. LMP-1 juga merangsang NF-
- non-canonical NF-
sehingga proses apoptosis terganggu. LMP-1 menstimuli survivin meningkat sehingga sel
yang terinfeksi terhindar dari penghentian siklus sel (cell cycle arrest). EBNA-1 dapat
menurunkan level p53 dengan memicu ubiquitin-specific protease USP7 sehingga p53
menjadi tidak stabil. Hal ini memungkinkan EBNA-1 dapat mendegradasi p53 wild type pada
epitel sel yang terinfeksi virus Epstein-Barr sehingga sel menjadi berproliferasi terus-menerus
dan anti apoptosis. EBNA-1 juga dapat berperan sebagai onkoprotein dari virus Epstein-Barr
dengan cara meningkatkan level Reactive Oxygen Species(ROS) dan instabilitas genom
dengan meningkatnya ekspresi sub unit katalitik dari NADPH oksidase, Nox2 pada sel inang
sehingga sel terinfeksi berproliferasi tak terkendali menjadi sel ganas. Sedangkan pada
kondisi keganasan peneliti bertujuan mengetahui perbedaan ekspresi LMP-1 dan EBNA-1
pada high grade dan low grade karsinoma kolorektal terkait infeksi virus Epstein-Barr dan
dapat diambil kesimpulannya melalui analisa statistik.

3.2. Hipotesis

Terdapat perbedaan tingkat ekspresi LMP-1 dan EBNA-1 virus Epstein-Barr pada high

grade dibandingkan low grade karsinoma kolorektal, dimana pada high grade ekspresi

LMP-1 dan EBNA-1 lebih tinggi dibandingkan dengan low grade.

Anda mungkin juga menyukai