BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1 Virus Epstein-Barr
Penemuan atas virus Epstein-Barr diperkenalkan oleh ahli bedah asal Inggris, Denise
Burkitt, selama perjalanan tentang pelayanan kesehatan di Uganda. Burkitt pertama kalinya
menjabarkan tentang adanya pembesaran limfoma pada anak-anak di rahang bawah, yang
Burkitt distribusinya tergantung faktor iklim seperti suhu dan musim hujan. Epidemiologi
tentang limfoma Burkitt menarik perhatian Anthony Epstein dengan postulasinya bahwa
penyebabnya berasal dari virus onkogen dan kemudian dimulailah penelitian terhadap
jaringan tumor limfoma Burkitt. Akhirnya virus Epstein-Barr diidentifikasi dari turunan galur
sel limfoma Burkitt menggunakan mikroskop elektron. Menariknya galur sel tersebut
diproduksi dari luar pertumbuhan sel limfosit B (Johanson,2007). Oleh karena itu virus
lymphocrytovirus yang ditemukan dari galur sel limfoma Burkitt. Virus Epstein-Barr
menyebar luas pada populasi manusia, menginfeksi lebih dari 90% usia dewasa (Peh,2003
dan Cao,2011).
Seperti herpes virus lainnya, virus Epstein-Barr adalah virus berkapsul yang
mengandung untaian inti DNA yang dilapisi nukleokapsid ikosahedral dan pembungkusnya.
Anggota famili termasuk herpes simplex I dan II dan virus varisela zoster (sub famili
herpesvirus). Meskipun herpesvirus dapat berada dimana-mana dalam alam, manusia tetap
Bagaimanapun infeksi virus Epstein-Barr selama masa remaja dan dewasa mengakibatkan
infeksi mononukleosis. Biasanya virus Epstein-Barr ditularkan melalui kontak dengan saliva.
Individu yang terkena infeksi virus Epstein-Barr akan menjadi pembawa virus (carrier).
Pada infeksi primer, virus Epstein-Barr menginfeksi dan bereplikasi dalam epitelium
skuamosa berlapis dari nasofaring dan orofaring. Virus Epstein-Barr masuk ke sel B
diperantarai oleh interaksi glikoprotein gp 350/220 dengan reseptor CD21 sel B dan gp
42/gH/dL dengan major histocompatibility complex (MHC) kelas II pada sel B. Akhir-akhir
ini dilaporkan bahwa setelah infeksi primer pada sel B, virion virus Epstein-Barr tetap ada
pada permukaan sel dan kemudian terjadi perpindahan ke sel epitel CD21 negatif sehingga
(He et al.,2003), proliferasi sel B mengakibatkan mutasi imunoglobulin (Casola et al., 2004)
sehingga membuat sel B normal berubah menjadi sel B memori. Infeksi virus Epstein-Barr
terhadap sel B membuat terekspresinya protein-protein laten yang nantinya terdeteksi oleh sel
T spesifik yang mengontrol proliferasi sel, tetapi sel B memori yang terinfeksi
mengakibatkan respon imun dengan antigen imunitas virus Epstein-Barr yang berkurang
sehingga lolosnya sel B terinfeksi. Jika sel B yang terinfeksi virus Epstein-Barr masuk ke
dalam plasma sel , dilepaskannya virus yang menimbulkan infeksi lebih lanjut
(Johanson,2007). Fakta bahwa virus Epstein-Barr dapat mengakses dan berdiam diri pada sel
B memori tanpa menimbulkan gejala panyakit adalah kunci sukses virus Epstein-Barr dalam
Virus Epstein -Barr merupakan herpesvirus dengan panjang 184 -kbp, untaian
ganda genom DNA yang mengkode >85 gen. Genom virus terdiri dari 0,5 kb
terminal dengan pengulangan pada tiap akhir dan interna untaian, yang membagi
genom menjadi urutan domain pendek dan panjang dari kapasitas kode (Peh, 2003;
Thompson, 2004).
Virus Epstein -Barr juga disebut sebagai lymphocryptovirus, karena virus ini
Lines). Virus Epstein-Barr mengekspresikan enam protein inti: EBV nuclear antigen (EBNA)
-1,2,3A,3B,3C dan leader protein (EBNA-LP) ;tiga latent membrane protein (LMP)-1,2A,2B;
dan dua jenis small untranslated RNA yang dikenal EBV encoded RNA (EBER) -1 dan
2(Peh, 2003). LMP-1 adalah protein trans membran dengan 63 kDa fosfoprotein yang terdiri
dari 3 domain, yang dibutuhkan untuk mentransformasi Rat-1 fibroblas. Virus Epstein-Barr
seringkali dihubungkan dengan transformasi sel ganas, melalui aksi onkoprotein LMP-1,
yang timbul selama infeksi virus (Gonzales, 2002). LMP dan EBNA 2 mengaktifasi sekresi
dari molekul adhesi dari LFA-1, LFA-3 dan ICAM 1 dan CD23 FCR11 dan reseptor
EBV-1 dan EBV-2 berbeda secara biologis dan distribusi geografis, walaupun tidak
ditemukan perbedaan nyata dari penyakit yang ditimbulkan. Seseorang dapat terinfeksi oleh
lebih dari satu jenis virus Epstein-Barr. EBV-1 ditemukan lebih sering pada sebagian besar
populasi. EBV-2 ditemukan dalam jumlah yang hampir sama dengan EBV-1 di negara New
Guinea. Penyebaran limfoma Burkitt dan malaria holoendemic umumnya terjadi di Afrika.
Hampir separuh tumor limfoma Burkitt di Afrika mengandung EBV-2. Sedangkan 85%
mengalami infeksi dari kedua subtipe virus Epstein-Barr. Kondisi defisiensi imun yang telah
9
ada sebelumnya (HIV atau malaria) berperan penting bagi kemampuan EBV-2 untuk
bahwa hemophilia yang terinfeksi HIV memiliki tingkat infeksi EBV-2 lebih rendah
dibandingkan homoseksual HIV. Hal ini menunjukkan adanya superinfeksi EBV-2 berkaitan
Infeksi virus Epstein-Barr pada limfosit B diduga terjadi pada organ limfoid
orofaring, dan pada carrier yang normal, virus tersebut menetap pada sel memori limfosit B
yang beredar di sirkulasi. Secara alami limfotropik B yang terinfeksi virus Epstein-Barr
mempunyai kemampuan membuat limfosit B yang normal menjadi immortal secara in vitro
dan mengubahnya secara permanen menjadi galur sel limfoblastoid. Virus menyebar ke
dalam saliva secara terus-menerus selama infeksi primer, dan kondisi ini dapat terjadi
Infeksi virus Epstein-Barr pada sel epitel merangsang aktifasi siklus litik dan replikasi
virus. Pada sel B, virus Epstein-Barr tidak bereplikasi dan bahkan menunggu selesainya
infeksi laten (Thorley-Lawson, 2005). Selama infeksi laten gen virus Epstein-Barr terekspresi
yaitu, 6 buah antigen nukleus virus Epstein-Barr (EBNA 1-6) dan 3 buah latent membran
protein (LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B) dan juga dua buah non-polyadenylated RNA virus
Epstein-Barr (EBERs) (Kieff & Rickinson,2001). Pada infeksi laten seluruh gen virus
Epstein-Barr yang terekspresi membuat sel B terproliferasi. Aktifnya sel B oleh virus
Epstein-Barr melalui reaksi germinal centre (GC) dimana beberapa gen saja yang terlibat
(Babcock & Thorley Lawson, 2000). Pada reaksi germinal centre (GC) sel B mengalami
penukaran isotop dan mutasi gen immunoglobulin. Berdasarkan afinitas ikatan antigen
10
terhadap permukaan sel B dan sinyal dari sel T-helper, maka beberapa sel normal B
mengalami reaksi GC akan menjadi sel B biasa sedangkan yang lain menjadi sel B memori.
Gambar 2.1. Infeksi virus Epstein-Barr (dikutip dari Fleisch dan Warren, 2003)
Gambar 2.2. Infeksi primer virus Epstein-Barr (modifikasi dikutip dari Johansson, 2007).
Masuknya virus Epstein-Barr pada epitel kolon kemungkinan terjadi setelah fase
latens akhir virus Epstein-Barr pada limfosit B .Sel limfosit B yang immortal dan
mengandung banyak partikel virus Epstein-Barr akan segera lisis, melepaskan partikel virus
Epstein-Barr dan mengadakan reinfeksi ke sel epitel kolon melalui berbagai jalur. Kehadiran
virus Epstein-Barr pada epitel kolon bersama-sama dengan faktor-faktor lain akan bersama-
11
Kemampuan virus onkogenik ini dalam menginfeksi sel-sel epitel pada fase litiknya,
tidak hanya terbatas pada epitel orofaring, tetapi juga pada epitel kolorektal (Budiani et.al,
2005). Hal ini disebabkan epitel kolorektal memiliki reseptor khusus yang memungkinkan
virus Epstein-Barr dapat berinteraksi dan selanjutnya mampu menginfeksi sel epitel mukosa
kolorektal.
sebanyak 15 sampel atau 100% mengekspresikan LMP-1 dengan makna positif sedang dan
juga didapatkan tingkat ekspresi LMP-1 dengan nilai tampilan kuantitatif berbeda secara
Pada infeksi laten virus Epstein-Barr tidak mengalami replikasi partikel virus pada
keganasan neoplasma yang terkait virus Epstein-Barr, dimana ekspresi gen virus Epstein-Barr
terbatas pada berbagai gen tumor dalam fase laten. Tumor-tumor tersebut diklasifikasikan
dalam 3 tipe, yaitu laten I, II, dan III berdasarkan profil ekspresi gen virus Epstein-Barr.
Virus Epstein-Barr terkait keganasan gaster, seperti juga pada Limfoma Burkitt, tampak pada
infeksi laten I dimana ekpresi gen virus pada fase laten terbatas tehadap EBNA1, EBERs,
LMP2A dan mengalami transkripsi dari BamHI A (BARF0 dan BARF1). Fase laten II
LMP-1. EBNA-2, 3A dan 3C sangat berperan dalam immortalisasi sel limfosit B, ditambah
dengan kurang efektifnya mekanisme imun pada pasien dengan fase III neoplasma seperti
limfoma pada penyakit AIDS atau pasien dengan transplantasi organ (Uozaki, 2008).
12
Tabel 2.1. Ekspresi gen virus pada pola ketiga fase laten dari infeksi virus Epstein-Barr
(Dikutip dari Uozaki, 2008).
EBERs EBNA1 EBNA2,3s, LMP- LMP- BARFs Malignansi
LP 1 2A
Laten 1 + + - - + + BL, GC dan
HL
Laten 2 + + - + + + NPC,NK/T
dan AIDS-
limfoma
Laten 3 + + + + + + PTLDs
BL, Burkitt Lymphoma; HL, Hodgkin lymphoma; GC, gastric cancer; NPC, nasopharnyngeal
Latent membrane protein 1 merupakan onkoprotein membran yang terdiri dari 386
asam amino. 6 buah domain transmembran yang saling terhubung antara domain sitoplasma
N-terminal lengan pendek dengan domain sitoplasma C-teminal lengan panjang. C-terminal
dari LMP-1 mengandung 2 fungsi domain; area C-terminal activation 1(CTAR 1) dan CTAR
dan mengaktivasi NF-kB. CTAR 2, domain distal, berinteraksi tumor necrosis factor-
associated death domain protein dan juga mengaktivasi NF-kB. LMP-1 mengaktivasi c-jun
N-terminal kinase (JNK) kaskade melalui CTAR 2 dan juga menstimuli p38 mitogen-
activated protein kinase (p38 MAPK) melalui CTAR 1 dan CTAR 2. CTAR 1 berikatan
dengan TNFR associated factors (TRAFS) dan CTAR 2 mendorong TNFR associated death
domain proteins (TRADDs) (Cahir-McFarland & Kieff, 2005). Area CTAR 1 PQQAT
berikatan erat dengan TRAFs 1, 2, 3 dan 5. Hal ini mengakibatkan aktifnya NF- inducing
canonical NF- et al., 2003; Eliopoulos et al., 2003; Lutfig et al., 2004). CTAR
2003).
13
yang terlibat dalam immortalisasi dan proliferasi limfoblastoid cell lines (LCLs) dan
berhubungan dengan sebagian besar keganasan oleh virus Epstein-Barr. LMP-1 berfungsi
sebagai reseptor aktif tumor necrosis factor (TNF) utama dan mengatur protein anti apoptosis
serta pro survival melalui aktivasi cellular signalling pathways. Ekspresi LMP-1 yang tidak
2002; Tang, 2003; Johansson, 2007). Perubahan LCLs dengan struktur LMP-1 , dimana
CTAR 1 memperlihatkan bahwa kandungan yang sama pada kompleks nukleus NF-
sebagai wild-type LCLs. Oleh sebab itu CTAR 1 dan 2 terlibat pada aktifasi NF-
dan berfungsi juga memetakan TRAF-binding domain kedalam CTAR1 dan residunya antara
CTAR 1 dan CTAR 2 (Dawson et al., 2003; Mainou et al., 2005; Mainou et al., 2007). Jalur
P13K/AKT berperan dalam survival sel yang terinfeksi, anti apoptosis dan proliferasi sel
Pada sel epitel, aktifnya JNK dan jalur p38 lebih banyak dipengaruhi oleh CTAR 2,
CTAR 1 untuk mengaktifkan JNK pada sel epitel (Eliopoulos, 2003) dengan adanya sinyal
melalui CTAR 1 dan CTAR 2 berbeda terhadap faktor yang ada pada sel inang dari virus
Epstein-Barr.
Latent membrane protein 1 menginduksi ekspresi invasi seluler dan faktor metastasis,
termasuk matrix metalloproteinase-9 (MMP-9), yang berperan penting dalam invasi tumor.
fibroblast growth factor 2 (FGF-2) ke dalam cairan ekstraseluler. Beberapa tumor dimana
LMP-1 terekspresi dan invasi, seperti karsinoma nasofaring, sangat invasif dan dikarakteristik
LMP-1 adalah onkogen virus Epstein-Barr utama yang terlibat dalam immortalisasi
dan proliferasi limfoblastoid cell lines (LCLs) dan berhubungan dengan sebagian besar
keganasan virus Epstein-Barr. LMP-1 menginduksi MMp-9, IL-8, FGF-2 dan COX-2 melalui
Kemudian LMP-1 menginduksi invasi dan faktor angiogenesis dan akhirnya mempromosikan
sebagai reseptor aktif utama (CD40) dan meniru sinyal pertumbuhan sel yang dalam keadaan
15
normal dihasilkan dari ikatan ligan CD40. LMP-1 berhubungan langsung onkogenesis karena
kemampuannya untuk merekrut susunan gen sel. Hal ini menghambat apoptosis dengan
membran hidrofobik dan gugus COOH-terminal, yang berisi efektor. Agregat LMP-1 pada
membran plasma yang mirip dengan susunan yang dibentuk oleh ikatan ligan-reseptor faktor
pertumbuhan. Analisis mutasi menunjukkan bahwa terminal NH2 dan segmen transmembran
LMP-1 bertanggung jawab atas agregasi membran yang penting untuk immortalisasi
(Thompson, 2004).
LMP-1 menyerupai CD40 dalam hal berhubungan dengan tumor necrosis factor
berinteraksi dengan TRAF-1 dan TRAF-2 serta tumor necrosis factor receptor-associated
death domain protein. Interaksi TRAFs dan tumor necrosis factor receptor-associated death
domain protein diperantarai oleh domain COOH-terminal LMP-1 yang dikenal sebagai area
effector site-2 mengikat tumor necrosis factor receptor-associated death domain. Sekitar
empat jalur aktivasi sinyal, yaitu nuclear factor B, c-Jun NH2-terminal kinase, p38 mitogen-
activated protein kinase, dan Janus kinase/signal transducers and activators of transcription
Nuclear factor B merupakan kunci faktor transkripsi yang terlibat dalam regulasi
pertumbuhan sel dan apoptosis. Faktor ini juga mengontrol ekspresi dari berbagai sitokin,
termasuk lymphotoxin, yang merupakan autokrin faktor pertumbuhan sel yang ditransformasi
oleh virus Epstein-Barr. p38/ mitogen activated protein kinase juga merupakan pusat jalur
sinyal dan mengaktivasi faktor transkripsi ATF2. Sementara itu, kaskade Janus kinase/signal
16
Aktivasi kaskade yang terkait dengan LMP-1 mengarah pada meningkatnya ekspresi
adhesi molekul sel B (LFA1, CD54, dan CD58), meningkatkan ekspresi marker sel B (CD23,
CD39, CD40, CD44, dan HLA kelas II), dan perubahan morfologis seperti penggumpalan
sel. Interaksi LMP-1 juga menyebabkan ekspresi berlebihan protein BCL-2 dan A20, yang
melindungi sel yang terinfeksi dari apoptosis yang diperantarai oleh p53 (Thompson, 2004).
Pada sel limfoma Burkit, LMP1 dapat menginduksi proyeksi virus, pertumbuhan padat dan
ekspresi dari penanda aktivasi (CD23 dan CD40), molekul adhesi (ICAM1, LFA, dan
LFA3)dan protoonkogen bcl2 dan dapat menghambat apoptosis yang dipicu oleh p53 (Tang,
protein anti-apoptosis. Regulasi LMP-1 dari beberapa protein seluler berpusat pada fungsinya
dalam mengaktivasi beberapa jalur sinyal seluler seperti Nuclear Factor- - c-Jun
kemungkinan jalur lainnya (Dawson et al.,2003). LMP-1 melindungi sel melawan apoptosis
dengan meregulasi ekspresi protein anti apoptosis Bcl-2, Mcl-1 dan A20. LMP-1
menginduksi ekspresi permukaan sel dari CD23, CD30, CD39, CD44 dan molekul adhesi sel
LFA1, LFA3 dan ICAM1 (Kieff & Rickinson, 2001). LMP-1 memicu ekspresi survivin
dengan gen-gen laten virus Epstein-Barr lainnya. LMP-1 dapat menyerupai sinyal CD40 yang
menginduksi penanda permukaan sel secara luas termasuk aktivasi dan adhesi molekulnya.
Hal ini mengarah ke proliferasi limfoblas baik morfologis dan fenotip yang menyerupai
17
antigen yang mengaktifkan sel B blast. Secara umum germinal centre sel B blast mengalami
pertukaran Ig dan secara acak terjadi mutasi gen immunoglobulin yang nampak pada
permukaan selnya. Sel B secara kompit terikat dengan antigennya dan mengekspresikan
afinitas tertinggi reseptor sel B (BCR) dan memasuki reservoir sel B memori. LMP-1 dan
LMP-2 bersama-sama mengekspresikan sinyal yang dibutuhkan sel B untuk dapat lolos dari
kompartemen germinal centre menjadi sel B memori dengan ketiadaan sinyal BCR. Maka
sinyal LMP-1 membantu virus Epstein-Barr memperoleh akses ke reservoir sel B memori
3. EBNA-1
spesifik terhadap sekuen DNA dengan panjang 16 bp (pasangan basa) melalui ikatan DNA
dan dimerisasi domain yang terletak pada ujung C-terminal. Dengan ikatan EBNA-1 dengan
origin of replication (oriP) dari virus Epstein-Barr, maka EBNA-1 memperlancar sintesis
protein dari virus Epstein-Barr dan sintesis dari plasma virus ke sel anakan selama proses
mitosis(Smith, 2013).
dengan family of repeats(FR), EBNA-1 memperbanyak transkripsi dari Cp, sebuah promotor
aktif selama fase laten dari siklus sel virus Epstein-Barr. EBNA-1 yang berikatan dengan
family of repeats(FR) memperbanyak transkripsi gen virus, Laten Membrane Protein 1(LMP-
1) dan dengan jarak 10 kbp menyilang pada akhir ujung sirkular dari genom virus. Ikatan
EBNA-1 dengan FR memperbanyak transkripsi dari heterolog promotor dan transkripsi gen
pada fase laten yang menginduksi dan mempertahankan proliferasi sel yang terinfeksi virus
Epstein-Barr(Smith, 2013).
Ekspresi EBNA-1 merupakan produk protein inti virus Epstein-Barr yang berperan
penting dalam regulasi gen virus Epstein-Barr, replikasi ekstra kromosom dan
18
mempertahankan kehadiran episom virus Epstein-Barr melalui regulasi gen promotor virus.
EBNA-1 dan LMP-1 secara bersamaan berperan dalam insersi informasi genom virus
virus Epstein-Barr yang terekspresi dalam segala bentuk fase laten dan fase litik pada sel
proliferasi dan tumor-tumor berkaitan virus Epstein-Barr. Peran penting EBNA-1 pada
infeksi virus Epstein-Barr berhubungan dengan perannya menjaga keberadaan genom virus
Epstein-Barr dalam fase laten yang tersimpan dalam nukleus sel sebagai episom sirkular.
EBNA-1 juga berperan penting dalam replikasi dan agregasi mitosis episom virus Epstein-
Barr melalui interaksi langsung dengan sekuen origin of replication (oriP) fase laten virus
Epstein-Barr. Hal-hal tersebut menjelaskan pentingnya peran EBNA-1 pada infeksi fase laten
dan tumorigenesis yang memastikan keberadaan dan ekspresi gen-gen virus Epstein-Barr
Gambar 2.5. Struktur representasi EBNA-1 dengan domain protein berikatan(Smith, 2013).
19
Kemampuan EBNA-1 untuk mengatur ekspresi gen virus, replikasi gen dan partisi
genom virus tergantung dari ikatan sisi spesifik terhadap genom virus melalui C-terminal
DNA-binding dan dimerisasi domain. EBNA-1 membuat sel yang terinfeksi virus Epstein-
Barr mempertahankan genom virusnya dengan cara meregulasi signaling pathways pada sel
inang dan membuat sel terinfeksi terhindar dari identifikasi selama fase laten(Frappier, 2012).
EBNA-1 dapat berperan sebagai onkoprotein dari virus Epstein-Barr dengan cara
meningkatkan level Reactive Oxygen Species (ROS) dan instabilitas genom dengan
meningkatnya ekspresi sub unit katalitik dari NADPH oksidase, Nox2 pada sel inang(Smith,
2013).
Ketika ekspresi EBNA-1 meregulasi transkripsi gen seluler tidak komplit, EBNA-1
berperan sebagai antigen. Ekspresi EBNA-1 pada sel terinfeksi tidak membuat sel tersebut
dalam berbagai fungsi pada fase laten siklus sel, termasuk sintesis dan partisi genom virus
EBNA-1 berperan dalam metilasi CpG suatu mekanisme penting dalam regulasi
promotor dan ekspresi gen pada fase laten virus Epstein-Barr. EBNA-1 terekspresi pada
keganasan yang berkaitan dengan virus Epstein-Barr dan berperan penting pada transformasi
dan tumorigenesis sel. EBNA-1 berikatan dengan genom viral dan promotor seluler serta
aktif dalam faktor transkripsi protein seluler dengan kaskade transkripsi yang memicu
kemampuannya berinteraksi melalui sekuen DNA tertentu dan multipel protein seluler.
Kontribusi EBNA-1 pada fase laten virus Epstein-Barr yakni berperan dalam replikasi dan
segregasi mitosis episom virus Epstein-Barr, transkripsi virus dan efeknya pada protein
seluler dan pathways sehingga berperan dalam keberlangsungan dan proliferasi sel
20
terinfeksi. EBNA-1 juga berperan dalam perubahan sel yang meningkatkan kerusakan DNA
sehingga berperan dalam terjadinya keganasan terkait virus Epstein-Barr (Frappier, 2012).
Peranan EBNA-1 tidak hanya terbatas menjaga genom virus Epstein-Barr, tetapi juga
meningkatkan kondisi seluler sehingga menjadi tidak stabil dan akhirnya mengarah ke
keganasan. EBNA-1 dapat menurunkan level p53 dengan memicu ubiquitin-specific protease
USP7 sehingga p53 menjadi tidak stabil. Hal ini memungkinkan EBNA-1 dapat mengubah
p53 pada epitel sel yang terinfeksi virus Epstein-Barr sehingga sel menjadi berproliferasi dan
4. Kanker kolorektal
Kanker kolorektal merupakan penyebab kematian ketiga setelah kanker paru dan
kanker payudara. Angka kematian tertinggi terjadi pada usia diatas 50 tahun. Setiap tahun
hampir 1 juta orang diseluruh dunia menderita kanker kolorektal (Hansen, 2007). Menurut
Danish National Board of Health, tingkat kelangsungan hidup relatif (relative survival rate)
dalam 5 tahun adalah sekitar 50 % (Hansen, 2007). Angka kejadian tertinggi pada
masyarakat barat seperti Amerika utara, Eropa barat, Australia dan New Zeland dengan
Angka kejadian rendah pada negara Asia dan Afrika yaitu kurang dari 10 per 100.000
penduduk. Namun dilaporkan angka kejadian tinggi di Hiroshima Jepang dengan angka
kejadian 87,6 per 100.000 laki-laki. Sementara pada kalangan Yahudi di Israel kanker
kolorektal merupakan penyebab utama kematian pada kanker dibandingngkan dengan bangsa
Palestina (Darwis, 2002). Pada bangsa Israel yang lahir di Eropa mempunyai angka kejadian
yang tinggi sekitar 42 per 100.000 peduduk dibanding penduduk Israel yang lahir di Afrika
dengan angka 25 per 100.000 penduduk (Darwis, 2002). Sedangkan angka kejadian pada
bangsa Palestina 7 per 100.000 penduduk (Darwis, 2002). Risiko seumur hidup (lifetime risk)
21
kanker kolorektal pada populasi negara industri barat dapat mencapai 6% (Hansen, 2007).
Insiden spesifik (age spesific insidence) pada kanker kolorektal meningkat tajam setelah usia
kejadian 1,8 setiap 100.000 penduduk(Sjamsuhidajat, 2006). Pada tahun 2002 terdapat lebih
dari 1 juta insiden kanker kolorektal di Indonesia dengan tingkat mortalitas lebih dari
50%(Depkes, 2006).
4.1 Etiologi
interaksi berbagai faktor yakni faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan
yang multipel bereaksi terhadap predisposisi genetik atau defek yang didapat dan
2006).
1. Kelompok yang diturunkan (inherited) yang mencakup kurang dari 10% dari kasus
kanker kolorektum.
Kelompok yang diturunkan adalah pasien yang waktu dilahirkan sudah dengan mutasi
sel germinativum pada salah satu alel dan terjadi mutasi somatik pada alel yang lain.
Polyposis Colorectal Cancer). HNPCC terdapat pada sekitar 5% dari kanker kolorektal.
Kelompok sporadik membutuhkan dua mutasi somatik, satu pada masing-masing alelnya
Kelompok familial tidak sesuai ke dalam salah satu dari dominant inherited syndrome
di atas (FAP danHNPCC) dan lebih dari 35% terjadi pada umur muda. Meskipun kelompok
familial dari kanker kolorektal dapat terjadi karena kebetulan saja, ada kemungkinan peran
dari faktor lingkungan, penetrasi mutasi yang lemah atau mutasi-mutasi germinativum yang
4.2 Patogenesis
pasien memiliki riwayat penyakit keluarga, dan kelainan gen lainnya yang menimbulkan
sudah ada yang meneliti tentang keterkaitan infeksi viral seperti virus Epstein-Barr terhadap
Model LOH mencakup mutasi tumor gen suppressor yang meliputi gen
APC(adenomatous polyposis coli), gen DCC (deleted in colorectal carcinoma) dan p53 serta
aktivasi onkogen yaitu K-ras proto oncogene. Sebagai contoh model ini adalah
Model RER karena ada mutasi gen hMSH2, hMLH1, hPMS1 dan hPMS2. Contoh
model ini adalah perkembangan HNPCC menjadi kanker kolorektal. Pada bentuk sporadik,
80% berkembang lewat model LOH dan 20 % berkembang lewat model RER.
Pada kasus sporadik dapat diketahui subtipe molekul yang berperan pada karsinoma
4.3 Deteksi
Deteksi dini atau skrining dan diagnosis pada penatalaksanaan kanker kolorektal
memiliki peranan peranan penting didalam memperoleh hasil yang optimal yakni
meningkatnya survival dan menurunnya tingkat morbiditas dan mortalitas para penderita
kanker kolorektal.
Deteksi dini dapat diartikan adalah penemuan kasus pada individu asimptomatik untuk
mendeteksi penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.
4.4 Indikasi
Secara umum deteksi dini dilakukan pada dua kelompok yaitu populasi umum dan
Deteksi dini pada populasi dilakukan kepada individu yang berusia diatas 40 tahun
Deteksi dini dilakukan pula pada kelompok masyarakat yang memiliki resiko tinggi
Penderita yang telah menderita kolitis ulkserativa atau Crohn > 10 tahun.
kali lebih tinggi dari pada individu pada kelompok usia yang sama tanpa riwayat
penyakit tersebut.
Terdapat dua kelompok pada individu dengan keluarga penderita karsinoma kolorektal
yaitu:
(FAP).
24
Pada kelompok HNPCC terdapat tiga tingkat resiko terhadap kemungkinan seseorang
individu menderita karsinoma kolorektal dan kriteria untuk masing-masing resiko dapat
Kriteria tingkat resiko pada individu dengan riwayat keluarga penderita karsinoma
menderita adenoma pada usia 21 tahun, 50% pada usia 39 tahun, dan 90% pada usia 45
tahun.
4.5 Stadium
Kolorektal, 2006)
pT Tumor Primer
pTis : Karsinoma insitu, intraepithelial atau ditemukan sebatas lapisan mukosa saja
pT3 : Tumor menembus muskularis propia hingga lapisan serosa atau jaringan
pT4 : Tumor menginvasi organ atau struktur disekitarnya atau menginvasi sampai
peritoneum visceral
pN2 : Ditemukan anak sebar pada 4 atau lebih kelenjar getah bening regional
pM Metastasis jauh
Derajat histopatologi kanker kolorektal adalah penilaian kualitatif dari differensiasi sel
kanker dihubungkan dengan sejauh mana menyerupai sel normal pada jaringan tersebut.
terlihat bahwa ada hubungan erat antara ekstensi penyebaran lesi dengan prognosis akhir
Grade 1. Differensiasi baik : gambaran tumor yang menyerupai adenoma dengan tanda-
tanda adanya proliferasi aktif epitel, tapi dapat dikenali sebagai malignansi karena adanya
Grade 2. Diferensiasi sedang : gambaran tumor dengan sel-sel kanker yang banyak
berkelompok tetapi tetap terbatas dalam bentuk yang cukup rata pada satu atau 2 lapisan lebih
dalam di sekitar ruang glandula. Umum terlihat adanya nukleus yang berwarna dan bentuk
Grade 3. Differensiasi buruk : gambaran sel tumor makin anaplastik dan tidak membentuk
sistem glandular sama sekali, tetapi meliputi setiap jaringan atau dalam kelompok yang tidak
Grade 4. Tidak berdiferensiasi : dimana < 5% yang menyerupai sel normal dan terutama
terdiri dari sel raksasa berkumparan pleomorfik atau sel kecil berinti atipik.
27
4.7 Penatalaksanaan
Terapi kanker kolorektal merupakan terapi multi modalitas dengan andalan utama
ternyata bahwa 70-80% dari penderita tidak dapat dioperasi karena buruknya keadaan umum
atau datang sudah dalam stadium lanjut. Di rumah sakit Dr. M. Djamil Padang sebagai rumah
sakit pendidikan setiap tahunnya dapat menangani tidak kurang lebih dari 60 kasus/
4. Imunoterapi
yang masih terlokalisir. Ada dua hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan
pembedahan pada karsinoma kolorektal yaitu terjadinya trombosis vena dan infeksi luka.
Oleh karena itu perlu dilakukan persiapan pencegahan tromboemboli vena dan antibiotika
Operasi kanker kolon yang radikal dan kuratif adalah mengangkat satu blok jaringan
lymphovaskular(en bloc resection). Untuk kanker kolon dapat dilakukan operasi seperti
hemikolektomi kanan dan diperluas untuk kolon ascenden dam fleksura hepatika. Kanker
28
kolon yang berlokasi di kolon transversum bagian tengah dilakukan reseksi kolon
transversum dan kanker kolon di fleksura lienalis dan kolon desenden dilakukan
hemikolektomi kiri. Bila lokasi tumor di kolon sigmoid dapat dilakukan reseksi kolon
Pembedahan kanker rektum ditemukan banyak bukti dari penelitian studi kohort bahwa
penggunaan teknik total mesorectal excision (TME) dapat mengurangi rekurensi lokal ,
memperbaiki angka ketahanan hidup. TME juga diindikasikan terutama pada kanker rektum
letak sepertiga tengah dan bawah. Saat ini semua operasi tersebut dapat dilakukan secara
laparoskopik, dengan keuntungan rasa nyeri paska operasi yang jauh berkurang,
berkurangnya pemakaian obat analgetika, lama perawatan di rumah sakit dan jumlah
4.7.2 Radioterapi
Angka kekambuhan paska operasi kanker kolorektal dengan KGB positif mencapai 60
%. Terjadi umumnya pada 2 tahun pertama 20-30%. Untuk memperbaiki hasil terapi ini
diberikan radiasi pre- dan paska operasi dan kemoterapi. Radiasi pada kanker kolorektal
dapat diberikan sebagai radiasi eksterna paska operasi, pra operasi dan kemoradiasi.
4.7.3 Kemoterapi
pesat dalam dua dasawarsa ini. Tanpa pemberian kemoterapi pasien kanker kolorektal
stadium III hanya mempunyai masa bebas penyakit disease free survival (DFS) 3 tahun
sebesar 52%.
Beberapa protokol atau cara pemberian sitostatika pada kanker kolorektal yang saat ini
digunakan adalah:
Capecitabine tunggal: 2500 mg/m 2/hari dibagi 2 dosis, hari 1-14 diikuti 7 hari istirahat.
Protokol MAYO leucovorin 20 mg/m 2/IV bolus, hari 1-5; 5 FU 425 mg/m 2/IV bolus 1
Obat kemoterapi yang biasa digunakan pada karsinoma kolon dan rektum adalah 5-
4.7.4 Imunoterapi
Strategi imunoterapi merangsang daya imun pasien untuk cepat berespon menyerang
dan menghancurkan sel tumor. Sistem imun bekerja dengan mengaktifkan sel pengawas
untuk mendeteksi dan menghancurkan benda asing. Sistem imun secara alami dapat
tumor lebih canggih lagi dapat menghilangkan ekspresi antigen permukaan sehingga tidak
imun atau melatih sistem imun untuk menyerang spesifik antigen sel tumor. Penatalaksanaan
imunoterapi kanker kolorektal termasuk vaksin kanker, adapted cell transfer, immune
Vaksin aktif imunoterapi kanker terdiri dari antigen tumor yang mengandung molekul
protein yang diekspresikan pada permukaan sel tumor. Antigen karsinoma kolorektal yang
telah digunakan pada pengembangan vaksin termasuk CEA, MUC-1, CD55, CD17-1A, Ras
mutant, p53 dan lainnya. Pendekatan imunoterapi lainnya adalah adoptive cell transfer(ACT)
dengan cara anti tumor sel T(biasanya tumor infiltrating lymphocytes(TILs)) dimanipulasi in
vitro kemudian ditarik lagi ke dalam sel. Sel tumor dapat merubah ekspresi beberapa molekul
antigen permukaan sel agar tidak dikenali sebagai benda asing. Lebih spesifik lagi, sel tumor
immune checkpoints
30
mengirimkan sinyal ke sistem imun agar respon sistem imun tidak diaktifkan. Peneliti telah
ikatan molekul sehingga sistem imun dapat berespon melawan sel tumor. Obat-obatan ini
ipilimumab(Yervoy) merupakan antibodi yang mengikat CTLA-4 pada sel tumor. Antibodi
monoklonal lainnya adalah anti-PD-1 dan antibodi anti-PD-L1. Peneliti juga menggabungkan
Pada disertasi Metria, 2006 tentang profil imunitas penderita karsinoma kolorektal
usia muda, baya dan tua didapatkan hasil bahwa profil imunitas penderita KKR usia tua lebih
baik dari profil imunitas penderita KKR usia muda dan pengelolaan stressor penderita KKR
usia tua lebih baik dari pengelolaan stressor penderita KKR usia muda.(mekaisme koping
penderita KKR usia tua lebih baik dari mekanisme koping penderita KKR usia muda) yang
dicerminkan oleh penurunan kadar kortisol dan peningkatan kadar IFN dan IgG pada
4.8. Prognosis
metastase jauh, yaitu klasifikasi penyebaran tumor dan tingkat keganasan sel tumor, keadaan
umum penderita, umur penderita, adanya komplikasi perforasi dan obstruksi, serta
pengelolaan pra dan pasca bedah yang teliti dengan pembedahan dan pengangkatan tumor
1. Metria (2006) Profil Imunitas Penderita Karsinoma Kolorektal Usia Muda, Baya dan
Tua. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan perbedaan profil imunitas(CRP,
IL-1 , IL-6, IL- , CD-8, IgM dan IgG ) pada perubahan kadar kortisol
darah penderita KKR usia muda, baya dan tua. Populasi penelitian ini adalah semua
Rumah Sakit Pemerintah maupun Swasta di Kodya Surakarta antara lain: RSUD Dr.
MOEWARDI Surakarta, RSU Dr. OEN Surakarta, RSU Dr. OEN Solo Baru, RSU
Kasih Ibu Surakarta, RSU PKU Surakarta, RSU Islam YARSIS Surakarta, RSU Panti
Waluyo Surakarta, RSU Brayat Minulyo Surakarta dan RSU Islam Kustati Surakarta.
Teknik analisis data dilakukan uji normalitas dan analisa statistik Manova dan analisa
usia tua lebih baik dari profil imunitas penderita KKR usia muda dan pengelolaan
stressor penderita KKR usia tua lebih baik dari pengelolaan stressor penderita KKR
usia muda.
High Grade Dan Low Grade Karsinoma Kolorektal. Tujuan penelitian ini
kolorektal dengan memeriksa onkoprotein EBNA-1 terhadap high grade dan low
ekspresi EBNA-1 terhadap infeksi virus Epstein-Barr terhadap high grade dan low
C. Kerangka Konseptual
Pada penelitian ini, kerangka konseptual yang ditujukan adalah sebagai berikut :
Infeksi virus
Epstein-Barr
Infeksi ke limfosit B
(Latensi I,II dan III)
Jaringan
karsinoma kolorektal
Keterangan gambar:
Infeksi virus Epstein-Barr masuk melalui saliva ke dalam epitel orofaring menginfeksi
limfosit B dengan glikoproteinnya gp350/220 berikatan dengan reseptor virus yaitu reseptor
CR2/CD21 sehingga virus Epstein-Barr dapat mengalami fase laten yang lama(Chen, 2008).
Virus Epstein-Barr mengkode protein Z(gen BZLF1/BCRF1) yang merupakan multiple
transaktivator poten terhadap gen seluler untuk mengubah fase laten menjadi fase litik.
BZLF1 menyerupai IL-10, dimana IL-10 menghambat pembentukan sitokin oleh sel T
sehingga dapat mencegah proses inisiasi dan lisis CD8, sel NK, memblokade produksi IFN-
dan mengurangi respon imun seluler(Chen, 2008). Pada fase laten limfosit B yang terinfeksi
dapat mengekspresikan beberapa dari produk protein virus Epstein-Barr seperti EBV Nuclear
Antigen (EBNA) -1,2,3A,3B,3C dan leader protein (EBNA-LP) ;tiga latent membrane
protein (LMP)-1,2A,2B; dan dua jenis small untranslated RNA yang dikenal EBV encoded
RNA (EBER) -1 dan 2 dalam beberapa fase laten I,II,III. Pada fase litik virus Epstein-Barr
menginfeksi epitel mukosa kolorektal, LMP-1 berperan dalam proliferasi dengan cara
memutus ikatan pRB-E2F sehingga pada awal fase S (sintesis DNA) sel berproliferasi
terus-menerus tanpa terkendali. LMP-1 juga merangsang NF-
- non-canonical NF-
sehingga proses apoptosis terganggu. LMP-1 menstimuli survivin meningkat sehingga sel
yang terinfeksi terhindar dari penghentian siklus sel (cell cycle arrest). EBNA-1 dapat
menurunkan level p53 dengan memicu ubiquitin-specific protease USP7 sehingga p53
menjadi tidak stabil. Hal ini memungkinkan EBNA-1 dapat mendegradasi p53 wild type pada
epitel sel yang terinfeksi virus Epstein-Barr sehingga sel menjadi berproliferasi terus-menerus
dan anti apoptosis. EBNA-1 juga dapat berperan sebagai onkoprotein dari virus Epstein-Barr
dengan cara meningkatkan level Reactive Oxygen Species(ROS) dan instabilitas genom
dengan meningkatnya ekspresi sub unit katalitik dari NADPH oksidase, Nox2 pada sel inang
sehingga sel terinfeksi berproliferasi tak terkendali menjadi sel ganas. Sedangkan pada
kondisi keganasan peneliti bertujuan mengetahui perbedaan ekspresi LMP-1 dan EBNA-1
pada high grade dan low grade karsinoma kolorektal terkait infeksi virus Epstein-Barr dan
dapat diambil kesimpulannya melalui analisa statistik.
3.2. Hipotesis
Terdapat perbedaan tingkat ekspresi LMP-1 dan EBNA-1 virus Epstein-Barr pada high
grade dibandingkan low grade karsinoma kolorektal, dimana pada high grade ekspresi