Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya landasan teoretis dari penelitian kualitatif itu bertumpu
secara mendasar pada fenomenologi. Karena itu pada bagian ini fenomenologi
dijadikan sebagai dasar teoretis utama sedang yang lainnya yaitu fenomenografi,
etnografi, etnometodologi, semiotika, hermeneutika dan studi kasus dijadikan
sebagai dasar tambahan yang melatarbelakangi secara teoretis penelitian
kualitatif.
Seorang peneliti yang mengadakan penelitian kualitatif biasanya (yang
lazim pada penelitian klasik) berorientasi pada teori yang sudah ada. Pada
penelitian kualitatif, teori di batasi pada pengertian: suatu pernyataan sistematis
yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data dan diuji
kembali secara empiris. Dalam uraian tentang dasar teori tersebut, Bogdan dan
Biklen (1982: 30) menggunakan istilah paradigma. Paradigma diartikan sebagai
kumpulan longgar tentang asumsi yang secara logis dianut bersama, konsep, atau
proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan cara penelitian. Orientasi atau
perspektif teoretis adalah cara memandang dunia, asumsi yang dianut orang
tentang sesuatu yang penting, dan apa yang membuat dunia bekerja. Dalam suatu
penelitian, apakah dinyatakan secara eksplisit atau tidak, biasanya paradigma
penelitian itu. Peneliti yang baik menyadari dasar orientasi teoretisnya dan
memanfaatkannya dalam pemgumpulan dan analisis data. Teori membantu
menghubungkannya dengan data (Moleong, 2012: 14).
Pada makalah ini dikemukakan teori yang menunjang pendekatan
kualitatif yang menjadi landasan pokok pada penelitian Semiotika.

Semiotika 1
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah pada penulisan ini
adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Semiotika?
2. Bagaimanakah macam-macam semiotika dalam pendekatan kualitatif?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan yang
ingin dicapai pada penulisan ini adalah:
a. Mendeskripsikan beberapa konsep pemikiran atau penalaran tentang suatu
cara dalam pendekatan kualitatif yaitu pada semiotika.
b. Mengetahui macam-macam semiotika guna membantu para peneliti dalam
landasan teoretis pelaksanaan penelitian kualitatif semiotika.

Semiotika 2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SEMIOTIKA
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
jalan di dalam dunia ini, ditengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia.
Kata ‘Semiotika’ itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti
“tanda” atau same yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berasal dari studi
klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. “tanda” pada masa itu
masih bermakna sesuatu hal yang menunjukkan pada adanya hal lain. Contohnya,
asap menandai adanya api.
Ahli Sastra Teew (1984: 6) mendefinisikan semiotika (semiotic) adalah
tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi
model sastra yang mempertanggungjawabkan semua factor dan aspek hakiki
untuk pemahaman gejala susatra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam
masyarakat manapun.
Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak
memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti
(significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang
menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan
konvensi dalam system bahasayang bersangkutan. Dalam penelitian sastra,
misalnya kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda
(strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (semantic).
Menurut Paul Cobley dan Litza Jansz, munculnya studi kasus tentang
system penandaan benar-benar merupakan fenomena modern. Tanda dalam
pandangan Peirce adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Ia hadir
dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir. Pada dasarnya, semiosis
dapat pandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah
semiotika sebagai suatu hubungan lima istilah.

Semiotika 3
S (s, i, e, r, e )

S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotic); s untuk sign (tanda); i


untuk interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya suatu
disposisi dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-
kondisi tertentu e karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context
(konteks) atau conditions (kondisi). Semiotika berusaha menjelaskan jalinan
tanda atau ilmu tentang tanda. Umberto Eco, sudah menjelaskan bahwa tanda
dapat dipergunakan untuk menyatakan kebenaran sekaligus untuk kebohongan.
Burger menunjukkan beberapa contoh cara untuk menyesatkan orang, atau
lebih tepatnya berbohong, melalui tanda-tanda :

Tabel 1.1: Tanda-tanda untuk menyatakan kebenaran


sekaligus untuk kebohongan.
AREA TANDA-TANDA YANG MENYESATKAN
Rambut palsu Orang botak/gundul atau seseorang dengan warna rambut
(Wig) yang berbeda.
Sepatu hak tinggi Orang pendek yang kelihatan tinggi.
Pewarna rambut Si rambut cokelat menjadi pirang, pirang menjadi rambut
kemerahan
Penipu ulung Pura-pura menjadi dokter, pengacara, atau apapun.
Peniru Pura-pura menjadi orang lain, mencuri identitas.
Teater Pura-pura berperasaan, percaya, seperti apapun yang
diperankan.
Makanan Kepitik, udang, lobster imitasi, dsb.
Kata-kata Penjahat mengatakan untuk tidak menyakiti orang.

Pada umumnya memang tanda-tanda apa yang berisi kebohongan itu


relative tidak merugikan (misalnya rambut pirang kenyataannya cokelat atau
hitam) namun dalam beberapa kasus (seperti supir truk yang berpura-pura sebagai
dokter) boleh jadi sangat membahayakan orang lain. Yang perlu digaris bawahi
dari pendapat Eco adalah jika tanda dapat digunakan untuk berkomunikasi, tanda
juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kebohongan.

Semiotika 4
Secara singkat dapat dikatakan bahwa studi semiotika disusun dalam tiga
proses, proses horizontal mengkaji tiga jenis penyidikkan semiotika (murni,
deskriptif, dan terapan); proses vertical menyajikan tiga tataran hubungan
semiotic (sintaktik, semantic, dan pragmatic); dan proses yang menyajikan tiga
katagori sarana informasi (signals, signs, dan symbols).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, semiotika adalah penelitian
mengungkapkan ada apa dengan tanda-tanda atau symbol yang di tampilkan oleh
seseorang.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN
Semiotik telah lama dikenal. Dalam Handbook of Semeotick. Karya
Windfried Noth, ada beberapa pembagian zaman dalam penenalan istilah
semiotik, yaitu zaman kuno, abad pertengahan, zaman renaissance, dan zaman
moderen.
Pada zaman kuno ada beberapa ahli semotika yang dikenal, antara lain
Plato (427-347 SM), Aristteles (384-322 SM), kaum Stoic (300-200 SM), dan
kaum Epicureanns (300 SM-abad pertama masehi). Menurut Plato, semiotika
adalah tanda-tanda verbal alami atau yang bersifat konvensional di antara
masyarakat tertentu, hanyalah berupa representasi tidak sempurna dari sebuah
ide. Kajian tentang kata-kata tidak mengungkap hakikat objek yang sebenarnya
karena dunia gagasan tidak berkaitan erat dari representasinya yang berbentuk
kata-kata, dan pengetahuan yang dimediasi oleh tanda-tanda bersifat tidak
langsung dan lebih rendah mutunya dari pengetahuan yang langsung. Semiotika
menurut Aristoteles adalah tanda-tanda yang ditulis berupa lambang dari apa
yang diucapkan, bunyi yang di ucapkan adalah tanda dan lambang dari gambaran
atau impresi mental.Gambaran atau impresi mental adalah kemiripan dari objek
yang sebenarnya, dan gambaran mental tentang kejadian atau objek sama bagi
semua manusia tetapi ujaran tidak.
Pada abad pertengahan, perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua
arah, yaitu dengan ditentukannya gramatika sebagai pilar pendidikan bahasa latin
serta bahasa latin sebagai titik pusat seluruh pendidikan; sistem pemikiran dan

Semiotika 5
pendidikan filosofis pada saat itu sangat akrab dengan Teoogi, maka analisis
filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa.Ciri utama pada zaman abad
pertengahan adalah masa kemasannya filsuf kristiani, terutama kaum patristik
dan skolastik. Pendidikan abad pertengahan dibangun dalam tujuh sistem sebagai
pilar utamanya dan bersifat liberal ketujuh dasar pendidikan liberal tersebut
dibedakan atas Trivium (tata bahasa, logika, serta retorik) dan Quadrivium
(artmatika, geometrika, astronomi dan musik).
Pada masa Renaissance keberadaan teori mengenai tanda tidak mengalami
inovasi yang berarti. Hal ini di karenakan bahwa sebagian besar penelitian
mengenai semiotika masih merupakan bagian dari perkembangan linguistik pada
masa sebelumnya.
Pada zaman modern, menurut Zoest (1991:1), ada dua tokoh yang dikenal
sebagai bapak semiotik modern, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan
Ferdinand de Saussure (1857-1913) keduanya berlatarbelakang berbeda. Peirce
adalah adalah ahli Filsafat, sedangkan Saussure adalah ahli Linguistik.
Ketidaksamaan latar belakang itulah yang menyebabkan adanya perbedaan-
perbedaan penting, terutama dalam penerapan konsep-konsep. Hal itu
menjadikan ada dua kubu di kalangan pakar dengan pemahaman serta konsep
yang berbeda. Pertama yang bergabung dengan peirce dan tidak mengambil
contoh dari ilmu bahasa, dan kediua yang bergabung dengan Saussure dan
menganggap ilmu bahasa sebagai pemandu.
Sebetulnya sebelum Pierce dan De Saussure memperkenalkan ilmu
semiotik pada akhir abad XVIII seorang filsuf Jerman Lambert telah enggunakan
kata semiotika (Zoest, 1993:1). Namun dapatlah dikatakan, bahwa semiotika
merupakan cabang ilmu yang relatif muda. Penggunaan tanda dan segala sesuatu
yang berhubungan dengannya baru lebih sering dan lebih sistematis dipelajari
pada abad XX. Menurut Zoest (1993:1) ada beberapa penyebab yang dapat
dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah Peirce telah menuliskan
pemikirannya dalam bidang semiotika pada akhir abad XX. Menurut Zoest
(1993:1) ada beberapa penyebab yang dapat dikemukakan. Salah satu diantaranya
adalah Peirce telah menuliskan pemikirannya dalam bidang semiotika pada akhir

Semiotika 6
abad XIX dan awal abad . Baru pada tahun 1930-an Charles Morris dan Max
Bense jemperkenalkan secara luas tulisan Peirce. Pada saat itu orang sudah
menyadari betapa berharganya bahan teoritis tersebut, dan betapa besar kegunaan
instrumen pengertian yang dipaparkan dalam tulisan Peirce.
Peirce mengusulkan kata Semiotika sebagai sinonim dari kata logika.
Menurutnya logika harus mempelajari bagaimana orang yang bernalar. Penalaran
itu, menurut hipotesis teori Pierce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda
memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi
makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dengan mengembangkan
teori semiotika, peirce telah menciptakan teori umu untuk tanda-tanda. Secara
lebih tepat, ia telah memberikan dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut.
Penemuan Saussure tentang semiotik sebetulnya lebih dulu daripada
Peirce. Dia dikenal sebagai peletak dasar ilmu bahasa. Salah satu titik tolak
Saussure adalah bahwa bahasa harus dipelajari sebagai salah satu siste tanda.
Kubu Saussure menamainya dengan semiologi, istilah pinjaman dari linguistik.
Namun gagasan Saussure untuk sampai pada ilmu tanda umum, baru
mendapatkan perhatian beberapa puluhan tahun setelah dikemukakan.
Di Perancis pengaruh Saussurelah yang telah menandai kerja kaum
semiotika.Pierce kurang dikenal di sana. Beberapa teksnya telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Perancis. Namun secara umum, gagasan-gagasan Pierce belum
mendapatkan perhatian yang sepantasnya diperancis. Baru setelah penerbitan
Oeuvres Completes dan disebarluaskan oleh Charles Morris, teori semiotika
aliran Pierce menjajikan harapan.
Di Eropa suksesnya pemikiran semiotik Pierce terasa secara lebih jelas dan
efektif dalam karya Umberto Eco (Italia). Dalam Eco, penggunaan konsep-
konsep Pierce untuk penelitian ini di berbagai bidang, yaitu arsitektur, musik,
teater, iklan, kebudayaan, dan lain-lain dikemukan, didiskusikan dan dibahas.
Sayang, ketika Saussure memberikan kuliah-kuliahnya yang terkenal
tentang linguistik umum, ia belum mengenal studi yang telah ditulis Pierce pada
masa itu. Tulisan Pierce selama setengah abad akan memberikan pengaruh-
pengaruh khas pada perkembangan teori linguistik internasional.

Semiotika 7
C. OBYEK SEMIOTIKA
Pertanyaanya adalah apa yang menjadi obyek kajian semiotika?, obyek
semiotika adalah tanda yang dihasilkan oleh manusia. Penggunaan tanda atau
segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis
pada abad kedua puluh. Mengacu pada ahli semiotika modern, mengatakan
bahawa analisis semiotika modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu Seorang
linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand De Saussure (1857-1913) dan
seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Pierce (1839-1914).
Dalam pandangan Yasraf Piliang salah satu ahli semiotika indonesia,
bahwa penjelajahan semiotika sebagai metode kajian kedalam berbagai cabang
keilmuan ini dimungkinkan, karena ada kecendrungan untuk untuk memandang
berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa
dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan
semiotika, bila disuruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa,
semuanya dapat juga di pandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena
luasnya pengertian tanda itu sendiri.

D. POKOK DAN TOKOH SEMIOTIKA


1. Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling
orisinal dan multidimensional. Bagi Peirce (pateda, 2001: 44), tanda “ is
something which stands to somebody for something in some respect or capacity”.
Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh pierce disebut ground.
Konsekuensinya, tanda (sign atau represantamen) selalu terdapat dalam hubungan
triadic, yakni ground, object, dan interpretent. Atas dasar hubungan ini, peirce
mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya
menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada
tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, dan merdu. Sinsign adalah
eksistensi actual benda atau peristiwa yang ada pada tanda ; misalnya kata kabur
atau keruh yang pada dasarnya kata sungai keruh yang menandakan ada hujan

Semiotika 8
dihulu sungai. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya
rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh
dilakukan manusia.
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atau icon (ikon), indekx
(indeks), dan symbol (symbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda
dan petandanya bersifat bersamaan atau ilmiah. Atau dengan kata lain, ikon
adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan;
misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya
hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan
sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang
paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat mengacu ke
denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang
biasa disebut simbol. Jadi, symbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan
alamiah antara penanda dengan pertandanya.Hubungan diantaranya bersifat
arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.
Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representament) dibagi atau rheme,
dicent atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan
orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya
dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit
mata, atau mata dimasuki inteksa, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent sign
atau dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering
terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan
bahwa di situ sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan dipasang rambu lalu
lintas yang menyatakan bahwa di situ sering terjadi kecelakaan. Argument adalah
tanda yang langsung memberikan atasan tentang sesuatu.

2. Ferdinand de Saussure
Fernindand de Saussure disebut orang yang layak sebagai pendiri linguistic
modern dialah sarjana tokoh besar asal Swiss. Sedikitnya ada lima pandangan dari

Semiotika 9
Saussure yang kemudian menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss
yaitu pandangan tentang:
a) Signifier (penanda) dan signified (petanda)
Yang cukup penting dalam upaya menangkap hal pokok pada teori
Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu
system tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier
(penanda) dan signified (petanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu
bentuk penanda dengan sebuah idea tau petanda. Jadi penanda adalah
aspek material dan bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang
ditulis atau di baca. Petanda adalah aspek mental dari bahasa.
b) Form (bentuk) dan content (isi)
Istilah form (bentuk) dan content (isi) diistilahkan dengan ekpression dan
content, satu berwujud bunyi dan yang lain berwujud idea. Yang penting
adalah fungsinya dibatasi. Jadi, bahasa berisi system nilai, bukan koleksi
unsure yang ditentukan oleh materi, tetapi system itu di tentukan oleh
perbedaannya.
c) Langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran)
Saussure dianggap cukup penting oleh Recoeur karena ia-lah yang
meletakkan dasar perbedaan lauge dan parole sebagai dua pendekatan
linguistic yang pada gilirannya nanti dapat menunjang pemikiran
Recoeur, khususnya dalam teori wacana. Saussure membedakan tiga
istilah dalam bahasa prancis: languge, langue (system bahasa) dan
parole (tuturan, ujaran).
Languge adalah suatu kemampuan bahasa yang ada pada setiap
manusia yang sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti
dikembangkan dengan lingkungan dan stimulus yang menunjang.
Singkatnya, languge adalah bahasa pada umunya. Orang bisupun bisa
memiliki languge ini, namun disebabkan, umpamanya, gangguan
fisiologi pada bagian tertentu maka dia tidak bisa berbicara secara
normal.

Semiotika 10
Langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat social
budaya. Langue sebagai totalitas dari kumpulan fakta atau bahasa. Dalam
konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa tertentu. Akibatnya langue
melebihi semua individu yang berbicara dibawakannya dalam sebuah
konser oleh orkes tertentu (dalam segala kekurangan umpamanya).
Parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya dipandang
sebagai individual. Parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang
memungkinkan subjek (penutur) sanggup menggunakan kode bahasa
untuk mengungkapkan pikiran pribadinya.
d) Synchronic (sinkronis) dan diachronic (diakronis)
Yang dimaksud dengan singkronis sebuah bahasa adalah deskripsi
tentang keadaan tertentu bahasa tertentu (pada suatu ‘massa’). Singkronis
mempelajari bahasa tanpa mempersonalkan urutan waktu. Yang
dimaksud dengan diakronis adalah “menelusuri waktu”. Jadi, studi
diakronis atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentng perkembangan
sejarah (“melalui waktu”). Atau dengan kata lain, linguistic diakronis
ialah subdisiplin linguistic yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa
pada masa ke masa.
e) Syntagmatic (sintagmatik) associative (paradigmatic).
Satu lagi bahasa struktur bahasa yang di bahas dalam konsepsi
dasar Saussure tentang system perbedaan antara tanda-tanda adalah
mengenai syntagmativ dan associative (paradigmatic), atau antara
sintagmatik dan paradigmatic. Hubungan-hubungan ini terdapat pada
kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun sebagai konsep.

3. Roman Jakobson
Roman Jakobson adalah salah satu dari beberapa ahli linguistic abad ke-20
yang pertama kali meneliti secara serius baik pembelajaran bahasa maupun
bagaimana fungsi bahasa bisa hilang seperti yang berlangsung pada afasia (Leche,
2001: 108). Pengaruh Jakobsonpada simiotika abad ke 20 sangat besar. Umberto
Eco sampai berkomentar “alasan mengapa Jakobson tidak pernah menulis satu

Semiotika 11
buku khusus tentang semiotika adalah karena seluruh eksistensi keilmuannya
merupakan contoh hidup dari pencarian semiotika” (Cobley dan Janz, 1999: 142).

Jakobson mengemukakan bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu :


1) Fungsi Refrensial, pengacu pesan
2) Fungsu Emotif, pengungkap keadaan pembicara
3) Fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera
dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak.
4) Fungsi Metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan.
5) Fungsi Fastis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak
antara pembicara dengan penyimak.
6) Fungsi Puitis, penyandian pesan.

Setiap fungsi bersejajar dengan factor fundamental tertentu yang


memungkinkan bekerjanya bahasa.
1) Fungsi Referensial, sejajar dengan factor konteks atau referen.
2) Fungsi Emotif, sejajar dengan factor pembicara
3) Fungsi Konatif, sejajar dengan factor pendengar yang diajak bicara.
4) Fungsi Metalingual, sejajar dengan factor sandi atau kode.
5) Fungsi Fatis, sejajar dengan kontak (awal komunikasi).
6) Fungsi Puitis, sejajar dengan factor amanat dan pesan.

Jakobson menyatakan dalam segers (1960) yakni bahwa fungsi utama dari
suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit
semantic, unit-unit bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui cirri-ciri
pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang memisahkannya dengan cirri-
ciri suara lain. Dalam artikelnya yang terkenal linguistic dan poetics, Jakobson
menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan factor-faktor
pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal (Segers, 200: 15). Addresser
(pengirim) mengirimkan suatu message (pesan) kepada seorang adresse (yang
dikirim). Agar operatif, pesan tersebut memerlukan context (konteks) yang

Semiotika 12
menunjuk pada (…), sehingga dipahami oleh yang dikirimi dan dapat
diverbalisasikan; suatu kode secara penuh atau paling tidak sebagian, bagi
pengirim dan yang dikirimi (atau dengan kata lain bagi pembuatkode dan
pemakna kode); dan akhirnya, suatu konta, suatu saluran fisik dan hubungan
psikologis antara pengirim dan yang dikirim, memungkinkan keduanya memasuki
dan berada dalam komunikasi (Jakobson, 200:16).
Analisis Jakobson atas bahasa mengambil ide dari Saussure yang
mengatakan bahwa bahasa atau struktur bahasa bersifat bersifat differensial atau
membedakan. Pembedaan atau differensiasi tersebut berlangsung melalui dua
sumbu: sintagmatic dan paradigmatic (ahimsa-putra, 2001: 54). Memang
didalam linguistic pasca-Saussure, istilah sistagmatik selalu diperlawankan
dengan paradigmatic sebuah sistagma merujuk kepada hubungan in presentia
antara satu kata dengan kata-kata yang lain, atau antara suatu satuan gramatikal
dengan satuan-satuan yang lain, di dalam ujaran atau tidak tutur tertentu.

4. Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Roland Barthes dikenal
sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model
linguistic dan semiologi Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukkan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukkan makna,
tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya,
interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan
diharapkan olehpenggunanya.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup
denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir
dari pengalaman cultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan
Barthes MESKIPUN Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signifier yang
diusungSaussure.

Semiotika 13
Ia berpendapat bahasa adalah sebuah system tanda yang mencerminkan
asumsi-asumsi dari suatu masyarakat dalam waktu tertentu. Lima kode yang
ditinjau Barthes adalah kode hermeneutic (kode teka-teki), kode semik (makna
konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dank ode gromic atau
kode cultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu.
Kode hermeneutic (kode teka-teki), berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan “kebenaran” bagi pernyataan yang muncul.
Kode semik (makna konotatif), banyak menawarkan banyak sisi. Jika
sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu
tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap bahwa
denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.
kode simbolik, merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat
structural atau tepatnya menurut konsep Bathes, pascastruktural. Dalam suatu teks
herbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui
istilah istilah retoris seperti antithesis, yang merupakan hal istimewa dalam
system symbol Barthes.
Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai
perlengkapan utama teks yang dibaca orang: artinya antara lain, semua teks yang
bersifat naratif.
Kode gnomic atau kode cultural banyak jumlahnya.kode ini merupakan
acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.

Tabel 1.2: Peta Barthes


1. Signifier (petanda) 2. Signified (petanda)
3. Denotative sign (tanda denotative)
4. Connotative Signifier 5. Connotative Signified
(Penanda konotatif) (Petanda konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Dari peta Barthes terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas penanda
(1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative adalah

Semiotika 14
juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsure
material.
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotative yang
melandasi keberadaanya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat
yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiology Saussure, yang berhenti pada
penandaan dalam tataran denotative.
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915- 1980), dalam teorinya
tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu
tinglat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna
eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna
yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini, 2006).
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang
menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua
penandaan, jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut
akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru.Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, makna denotasi tersebut akan
menjadi mitos. Misalnya: pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan
konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para mahkluk halus.
Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang
melekat pada symbol pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah
konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada
tahap ini “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai mitos.

5. Jasques Derrida

Semiotika 15
Derrida terkenal dengan model semiotika dekonstruksinya. Dekonstruksi,
menurut Derrida dalam Sobur (1994), adalah sebagai alternative untuk menolak
segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep
dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk
pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas pada dasarnya
dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (signifier) melalui
penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan
konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni,karena semua
tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 2006: 100).
Dekonstruksi, pertama sekali, usaha membalik secara terus menerus hirarki
oposisi biner dengan, mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan
demikian, yang semula pusat, pondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di
pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikkan ini
dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga
bisa dilanjutkan bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan istiqlal bisa
merefleksikan banyak hal. Ke ghotic-annya bisa merefleksikan ideology abad
pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan
bahwa ajaran yang di hantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau
menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral
keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan
berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Keghotican itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang
menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya
dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya
daripada sesuatu yang sifatnya temporer. Di lain pihak, bentuk gereja yang
menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai
spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah
yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhannya secara khusuk, semata-mata demi
Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.

Semiotika 16
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-
makna dan ideology baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya
ideology baru bersifat menyingkirkan (‘menghancurkan’ atau mendestruksi)
makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing
makna dan ideology yang tak terbatas. Berbeda dari Baudrillard yang melihat
tanda sebagai hasil konstruksi simulative suatu realitas, Derrida lebih melihat
tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideology yang
membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideology itu di
bongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida
sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideology yang membentuk makna tanda
tersebut.

6. Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (2009) menyebut Umberto Eco sebagai ahli
semiotika yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling
komprehensif dan kontemporer. Menurut Littljohn, teori Eco penting karena ia
mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika
secara lebih mendalam (Sobur, 2004).
Berkaitan dengan semiotika, belakangan ini, semiotika menunjukkan
perhatian besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh masyarakat linguistic
dan budaya. Berbeda dengan konsep yang lebih statis yang diajukkan Ferdinand
de Saussure tentang tanda dan pendekatan taksonimis semiotika, serta pendekatan
semiotika. Charles Sanders Peirce yang bersifat taksonimis, Eco memastikan diri
untuk menyelidiki sifat-sifat dinamis tanda. Eco menganggap tugas ahli
semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada
modifikasi system tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep
fungsi tanda. Eco menyimpulkan bahwa “ suatu tanda bukanlah entitas semiotic
yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsure-unsur
independen yang berasal dari dua system berbeda dari dua tingkat yang berbeda
yakni umgkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco
menggunakan ‘kode-s’ untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur

Semiotika 17
bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan
dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistic. Kode-s
bisa bersifat “denotative” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah),
atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama).
Penggunaan istilah ini hamper serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin
memperkenalkan pemahaman tentang sesuatu kode-s yang lebih bersifat dinamis
daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, disamping itu sangat terkait
dengan teori linguistic masa kini.

7. M.A.K Halliday
Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika
social. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengkodekkan (encode)
representasi dunia yang dikonstruksikan secara social. Halliday member tekanan
pada keberadaan konteks social bahasa, yakni fungsi social yang menentukkan
bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya (Halliday, 1978).. Bahasa
sebagai salah satu dari sejumlah system makna yang lain seperti tradisi, system
mata pencarian, dan system sopan santun secara bersamaan membentuk budaya
manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi
yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur social.
Dalam berbagai tulisannya, Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa
adalah produk proses social. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang
sama belajar sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran
realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum
social, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek social.
Semiotika social dari M.A.K. Halliday dalam analisis media, adalah untuk
menemukan hal terkait dengan tiga komponen Semiotika Sosial yaitu : Medan
Wacana (field of discourse), Pelibat Wacana (tenor of discourse) dan SSaran
Wacana (mode of discourse).
 Dari segi Medan Wacana (field of discourse) maka tujuannya mengetahui apa
yang dijadikan wacana media massa mengenai sesuatu yang terjadi di
lapangan.

Semiotika 18
 Terkait Pelibat Wacana (tenor of discourse), maka untuk mengetahui orang-
orang yang dicantumkan dalam teks (seperti berita, editorial, dan lain-lain)
sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranannya.
 Sementara dari segi Sarana Wacana (mode of discourse), untuk mengetahui
bagian yang diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa)
menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat
(orang-orang yang dikutip). Bagi keperluan praktis, kandungan tersebut
memberikan implikasi apa? (diantaranya yaitu berupa makna, citr, opini dan
motif).

E. MACAM-MACAM SEMIOTIKA
Sekurang-kurangnya terdapat Sembilan macam semiotic yang kita kenal
sekarang, yaitu (Pedana, 2001: 29).
1. Semiotik Analitik, yakni semiotic yang menganalisis system tanda. Peirce
menyatakan bahwa semiotic berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi
ide, objek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan
makna adalah beban yang terdapat dalam lambing yang mengacu kepada
objek tertentu. Contoh : seseorang yang mempunyai suatu ide dalam
pikirannya, lalu ide tersebut digambar menggunakan alat tulis menjadi suatu
benda atau symbol, dan benda tersebut mempunyai makna dibaliknya.
2. Semiotik Deskriptif, yakni semiotic yang memperhatikan system tanda tanda
yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap
seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung
menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu hingga
sekarang tetap saja seperti itu. Demikian pula jika ombak memutih ditengah
laut, itu menandakkan bahwa laut berombak besar. Namun dengan majunya
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan
oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Semiotik Faunal, (zoosemiotik), yakni semiotic yang khusus memperhatikan
system tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan
tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering

Semiotika 19
menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor
ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau
ada sesuatu yang ia takuti. Induk ayam yang membunyikan “krek…krek…
krek…” memberikan tanda kepada anak-anaknya untuk segera mendekat,
sebab ada makanan yang ditemukan. Juga, orang yang akan berangkat
terpaksa akan mengurungkan waktu keberangkatannya beberapa saat, sebab
mendengar bunyi cecak yang ada di hadapannya. Tanda-tanda yang
dihasilkan oleh hewan seperti ini, menjadi perhatian orang yang bergerak
dalam bidang semiotic faunal.
4. Semiotik Kultural, yakni semiotic yang khusus menelaah system tanda yang
berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa
masyarakat sebagai makluk social memiliki system budaya tertentu yang
telah turun temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat
dalam masyarakat juga merupakan system itu, menggunakan tanda-tanda
tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain. Contoh: budaya
orang NU adalah adanya tahlilan, sholawatan dll.
5. Semiotik Naratif, yakni semiotic yang menelaah system tanda dalam narasi
yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Telah diketahui bahwa mitos
dan cerita lisan, ada diantaranya memiliki nilai cultural tinggi. Itu sebabnya
Greimas (1987) memulai pembahasannya tentang nilai-nilai cultural ketika ia
membahas persoalan semiotic naratif. Contoh pohon beringin yang rindang
dan lebat dipercayai orang-orang bahwa pohon itu keramat atau angker.
6. Semiotik Natural, yakni semiotic yang khusus menelaah system tanda yang
dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan dihulu telah turun hujan,
dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur. Alam yang tidak
bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya
memberikan tanda kepada manusia bahwa merusak alam.
7. Semiotik Normatiif, yakni semiotic yang khusus menelaah tanda yang dibuat
manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas. Di
ruang kereta api sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.

Semiotika 20
8. Semiotik Sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah system tanda yang
dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambing, baik lambing berwujud kata
maupun lambing berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Buku
Halliday (1978) itu sendiri berjudul Language Social Semiotic. Dengan kata
lain, semiotic social menelaah system tanda yang terdapat dalam bahasa.
Contoh: lagunya nidji yang berjudul ‘Laskar Pelangi’ yang mempunyai
makna kata yang baik dan indah.
9. Semiotik Kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dimanifestasikan melalui struktur bahasa. Baik itu bahasa verbal maupun
bahasa non verbal.

F. APLIKASI SEMIOTIK KOMUNIKASI


Suatu penelitian semiotika umum akan dihadapkan pada berbagai batas
kajian (A Theory of Semiotika, Eco/1979). Beberapa diantaranya harus disepakati
sementara, sedangkan lainnya, menurut Eco, ditentukan oleh objek disiplin ilmu
itu sendiri. Eco, mengemukakan tiga batas hubungan dengan penelitian
semiotika, yaitu:
1) Ranah Budaya
2) Ranah Alam
3) Ranah Epistemologi
Bidang semiotika memang dapat dikatakan bidang yang begitu luas.
Bidang ini biasa berupa bidang komunikatif yang tampak lebih ‘alamiah’ dan
spontan pada system budaya yang lebih kompleks. Bidang terapan semiotika pada
bidang komunikasi tidak terbatas.Misalnya, bisa mengambil objek penelitian
mulai dari pemberitaan media massa, komukasi perilklanan tanda-tanda
nonverbal, film, komik, kartun, sastra sampai kepada musik.
 Tujuan Penelitian Analisis Semiotik
Tujuan penelitian ini lebih kepada pemaknaan terhadap tanda-tanda yang
terdapat dalam teks berita, iklan, film dan lain-lain.
 Model Penelitian analisis Semiotik
Model penelitian analisis semiotika TIDAK bertujuan untuk:

Semiotika 21
1) Mengetahui jumlah (itemize) dan menggunakan angka-angka (enumerate).
2) Menghitung frekuensi kemunculan yang hanya mendeskripsikan isi yang
tampak (manifest content) dari komunikasi.
 Tahapan dalam metode Analisis Semiotik
Menurut John Fiske tahapan yang harus diperhatikan yaitu:
1) Identifikasi dan signifikasi tanda
2) Pemaknaan tanda
3) Analisis tanda
Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak
pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain:

1. Media
Mempelajari media adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti
apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan
bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri. Dalam konteks media
massa, khususnya media cetak, kajian semiotika adalah mengusut ideology yang
melatari pemberitaan.

Untuk teknik-teknik analisanya sendiri, secara garis besar yang diterapkan


adalah :
a) Teknik Kuantitatif
Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam
objektifitas, namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri-ciri yang dapat
diukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik tolak penelitian ini. Menurut
Van Zoest, (1993: 146-147), hasil analisis kuantitatif selalu spektakuler
namun sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji metode-metode yang
digunakan.
b) Teknik Kualitatif
Pada analisis kualitatif, data-data yang diteliti tidak dapat diukur secara
matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti
atau arti tambahan dari istilah yang digunakan.

Semiotika 22
Menurut McNair (1994) Dalam (Sudibyo,2001: 2-4), Tiga pendekatan
untuk menjelaskan media :
a. Pendekatan politik-Ekonomi
Pendekat ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-
kekuatan ekonomi dan politik diluar pengelolaan media.
b. Pendekatan Organisasi
Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini
menekankan bahwa isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan-
kekuatan eksternal diluar dari pengelola media.
c. Pendekatan Kulturalis
Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses
produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan factor
internal media.

Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan


pola dan antara organisasi. Tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai
peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan politik-ekonomi
di luar media. Secara teoretis, media massa bertujuan menyampaikan informasi
dengan benar secara efektif dan efesien. Namun, pada praktiknya apa yang disebut
sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan.
Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan
yang dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi
kepentingan surviral menjadi tidak perlu disebar luaskan. Media menyunting
bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan
yang layak disebarluaskan.
Tiga Zona dalam teori media menurut Verger dan Luckman:
a) Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik – praktik
signifikasi..
b) Orders and practices of power = tatanan dan praktik – praktik kekuasaan.
c) Orders and practices of production = Tatanan dan praktik – praktik produksi.

Semiotika 23
Praktik-praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk (Jhon B. Thomson,
1994), antara lain :
- Kekuasaan ekonomi : dilambangkan dalam industry dan perdagangan
- Kekuasaan politik : dilebagakan dalam aparatur Negara
- Kekuasaan Koersif : dilebagakan dalam organisasi militer dan paramiliter.

2. Periklanan
Dalam prospektif seimotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang
terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal
(bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan). Dalam menganalisis iklan,
beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Berger) :
- Penanda dan tanda
- Gambar, indeks, symbol
- Fenomena sosiologi
- Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
- Desain dari iklan
- Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh
publikasi tersebut.

Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan


pesan yang dikandungnya yaitu :
- Pesan Linguistik : Semua kata dan kalimat dalam iklan
- Pesan yang terkodekan : Konotasi yang muncul dalam foto iklan
- Pesan ikonik yang terkodekan : Denotasi dalam foto iklan.

3. Tanda Non Verbal


Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata-kata dan
bahasa. Tanda-tanda digolongkan dalam berbagai cara :
 Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui
pengalamannya.

Semiotika 24
 Tanda yang ditimbulkan oleh binatang.
 Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.

Namun tidak keseluruhan tanda-tanda nonverbal memiliki makna yang


universal. Hal ini di karenakan tanda-tanda nonverbal meiliki arti yang berbeda
bagi setiap budaya yang lain. Dalam hal ini pengaplikasian semiotika pada tanda
nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata dan dapat dibuktikan
melalui indera manusia.
Pada dasarnya aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal
bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda-benda
atau sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut
Budianto, ada beberapa hal atau beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu
diperhatikan peneliti, antara lain :
 Langkah Pertama : Melakukan survei lapangan untuk mencari dan
menemukan objek penelitian.
 Langkah kedua : melakukan pertibangan terminologis terhadap konsep-
konsep pada tanda nonverbal.
 Langkah Ketiga : meperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi
terhadap objek yang ditelitinya.
 Langkah Keempat : Merupakan langkah terpenting menentukan model
digunakannya model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar
keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga.

4. Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural
atau semiotika.
Van Zoest (1993), film dibangun dengan tanda semata-mata. Pada film
digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.
Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang
dinotasikannya. Film uumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling
penting dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan ceritanya dengan

Semiotika 25
cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pebuatannya dengan kamera dan
pertunjukannya dengan proyektor dan layar.
(Sardar & Loon) Film dan televisi memiliki bahasana sendiri sendiri
dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa
melibatkan bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekkan
pesan yang sedang disampaikan. Figur utama dalam pemikiran seiotika
sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes
Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant)
sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang
tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda
sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena.

Semiotika 26
BAB III
PE NUTUP

A. KESIMPULAN
1. Semiotika adalah penelitian mengungkapkan ada apa dengan tanda-tanda
atau symbol yang di tampilkan oleh seseorang.
2. Macam-macam Semiotika yaitu Semiotik Analitik, Semiotik Deskriptif,
Semiotik Faunal, (zoosemiotik), Semiotik Kultural, Semiotik Naratif,
Semiotik Natural, Semiotik Normatiif, Semiotik Sosial dan Semiotik
Kultural.

B. SARAN
Saran untuk mahasiswa, agar dapat melakukan pengkajian Semiotika. Semoga
dengan adanya pembahasan diatas dapat membantu pengkajian tersebut.

Semiotika 27
DAFTAR PUSTAKA

Barthnes, Roland 1972. Membedah mitos-mitos Budaya Massa. Jakarta: Kencana.

De de Saussure, F. 1988. Course in General Linguistics. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press, Hoed, Benny H. 2002 “Strukturalisme, Pragmatik dan
semiotik dalam kajian Budaya” dalam Indonesia : Tanda yang Retak.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.

Nort, Winfried. 1999. Handbook of Semiotics. Indiana University Press: Indiana.


Littlejhon, Stephen W. 2009. Teori Komunikasi of Human Communication edisi 9.
Jakarta: Salemba Humanika.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosdakarya.


Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Teew, A. 1984. Khasanah Sastra Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Van Zoest, Aart. 1993. Semiotika: Tentang tanda, cara kerjanya dan apa yang
kita lakukan dengannya. Jakarta : Yayasan Sumber Agung.

Semiotika 28

Anda mungkin juga menyukai