Anda di halaman 1dari 5

Ketika masih muda Abu NAwas pernah mengembara untuk mencari ilmu dan

pengalaman. Di zaman itu ilmu tidak mudah didapatkan seperti sekarang ini, yang
dengan mudah kita dapat mendapatkan buku, kaset-kaset maupun cakram, bahkan
cukup murah juga lewat internet. Zaman Abu NAwas adalah zaman yang belum ada
system komunikasi dan transportasi yang baik. Karena itulah Abu Nawas merasa
perlu untuk memperkaya diri keluar dari kampung halamannya agar tak seperti katak
dalam tempurung.
*
Di suatu masjid usai melaksanakan sholat jumat Abu Nawas beristirahat di
serambi masjid. Rupanya banyak orang-orang yang juga tak segera meninggalkan
masjid. Setelah beberapa saat ternyata di masjid itu ada seseorang yang tengah
kesurupan jin. Orang-orang mengerumuninya.
“Mau diapakan dia itu Pak?” tanya Abu NAwas kepada seorang bapak di
dekatnya.
“Oh, itu mau diruqyah?”
“Diruqyah itu bagaimana sih Pak?” tanya Abu NAwas polos
“Dibacakan ayat-ayat al Quran”
“Oh, begitu biar jinnya mau keluar, ya?”
„Ya, tapi biasanya diajak masuk islam terlebih dahulu“
Wah, sesuatu yang menarik, maka abu Nawas pun bergabung mengelilingi
orang yang kesurupan tadi. Setelah dibacakan ayat-ayat ruqyah dan ayat kursi
akhirnya si pasien mengaduh-aduh. Ditanya ia oleh Syaikh,
„Hai, jin! Siapa kamu?“ tanya Syaikh
„Oh, oh“
„Namamu siapa?“
„oh,...Yusuf“
„Agamamu apa?“
„ Ohh, ...aku kebatinan“
„O, pantas. Kenapa kamu kepayahan?! Panas, ya?!“
„Kamu kejam.....aku sakit....kamu bakar aku...“
„Bukan, saya nggak membakar kamu. Itu Allah yang membakar kamu karena
kamu nggak beriman kepadaNya.”
„Oooh, siapa itu Allah?“
„Allah itu pencipta kamu, yang menghidupkan kamu dan memberi rizki
kepada kamu, yang menciptakan seluruh isi langit dan bumi ini. Karena itu wajib bagi
kita untuk beriman kepadaNya bukan beriman pada kebatinan, apa itu kebatinan tidak
ada asal usulnya!“
„Kamu jangan menghina,... itu agama saya, Gusti saya itu „
„Gusti siapa? Gustimu itu nggak jelas. Tidak ada dasarnya sama sekali. Kamu
hanya mengikuti persangkaanmu saja.“
„Ooh, kurang ajar kamu!“
„Kamu yang kurang ajar! Sudah diciptakan dan diberi rezki tapi nggak mau
beriman! Mestinya kamu beriman kepada Allah kemudian kamu menyembah hanya
kepada Allah saja“
„Aku nggak mau menyembah, aku ini kan disembah-sembah sama
manusia....karena aku hebat“
„Apanya yang hebat?! Kamu terbakar begitu...., coba kalau kamu beriman
kepada Allah pasti kamu tidak akan terbakar! Dan tidak boleh kamu ini disembah.
Kamu itu sama dengan kami adalah makhluk ciptaan Allah yang punya tugas
menyembah Allah bukan untuk disembah!“
„Tapi aku kan hebat.....“
„Hebat apa?! Baru dibacakan ayat-ayat segitu saja sudah aduh-aduh.... nggak
bisa apa-apa. Kamu itu tidak layak untuk disembah sebab kamu tidak bisa mematikan
dan menghidupkan, tidak bisa memberi rezki kepada para makhluk! Justru kamu itu
harusnya menyembah Allah.“
„Apa itu Allah?! Apa hebatnya Dia kok disembah-sembah?“
„Sudah saya katakan tadi Dia itu yang menciptakan kamu dan seluruh alam
semesta ini. Dia itu Maha Hebat, sumber segala kekuatan dan energi, dan kamu itu
tidak ada apa-apanya. Jangankan kamu seluruh jin dan syetan kalau bersatu itu tidak
ada apa-apanya dibanding kekuatan Alllah!“
„Ah, bohong kamu!“
„Kamu yang bohong, kamu ini ingkar nggak mau menerima kebenaran“
„Saya yang benar!“
„Bukan, kebenaran itu adalah yang datang dari Tuhanmu, bukan kamu. Kamu
kan makhluk seperti kami, bodoh lain dengan Allah Dia itu Maha Mengetahui, Maha
pintar“
„Saya juga pintar“
„Kata siapa kamu pintar, kalau pintar pasti kamu beriman kepada Allah.
Kamu beragama kebatinan itu kan berarti kamu bodoh!“
„Wah, kurang ajar kamu menghina saya..“
„Bukan menghina, tapi nyatanya begitu. Sekarang saya ajak kamu
beriman,...nanti kamu akan sembuh. Sekarang apanya yang terbakar?“ tanya Syaikh
„Semua......, kamu kejam ini Cuma tinggal kepala saja....“
„Makanya segera beriman, kalau kamu beriman Allah akan mengembalikan
tubuhmu seperti semula, kalau kamu masih ngotot nggak mau beriman nanti kamu
mati, siksa Allah justru akan semakin pedih, kamu masuk ke dalam neraka jahanam
selama-lamanya di bakar di dalamnya..“
„Apa itu jahanam?“ tanya jin
„Itu nama neraka Allah tempat bagi orang-orang yang tidak beriman dibakar
dengan api yang panasnya berlipat-lipat dari panas yang kamu rasakan ini. Ayo
bagaimana?“
„Sebentar,..aku ..pikir dulu..“
„Anak buah kamu berapa yang ikut?“
„Ada seribu...“
„Nah, itu kamu ajak sekalian mereka beriman agar selamat“
„Nanti saja,...“
„Nanti saja? Iman tidak boleh beriman! Kalau keburu mati bagaimana nanti,
disiksa di neraka selama-lamanya..., ayo diajak sekalian anak buahmu itu“
Lalu terdengar suara-suara aneh dari mulut pasien yang diruqyah. Rupanya
pemimpin jin itu sedang mengajak bicara anak buahnya.
„Ya, mereka mau...Tapi kalau kita telah beriman bagaimana kalau kami
diserang oleh kawan-kawan kami yang lain?“
„Nggak bakal bisa nanti saya ajari ayat kursi, itu senjatanya orang beriman..“
„Oh, ayat kursi, ya itu sangat ampuh...itu senjatanya orang mukmin ya?“
„Ya, benar nanti serangan mereka nggak akan mempan. Kamu bacakan itu
mereka akan terbakar“
„Kamu akan menjamin kami kalau kami beriman?“
„Tidak. Saya tidak bisa menjamin. Allah yang akan menjamin kamu dan
teman-temanmu.

**
Abu Nawas diminta untuk berbicara di hadapan para pembesar negeri
tetangga. Ketika hampir tiba di tempat ia minta kepada kusir dokarnya untuk duduk
manis sedang kendali kuda ia pegang. Ia minta kusir dokar untuk mandi dan bersolek
sehingga kelihatan bersih dan rapih, sedangkan Abu Nawas membiarkan dirinya apa
adanya.
“Biarkan orang-orang mengira dirimu adalah Abu Nawas. Tak perlu dirimu bicara,
cukup tersenyum. Pembesar-pembesar negeri itu harus diberi pelajaran. Kalau tidak
begini mereka tidak akan jera.“ Kata Abu Nawas sambil mengendalikan baghalnya.
Sampai di tempat orang-orang menyambut, tentu saja sang kusir kuda asli.
Mereka mengira dialah Abu Nawas. Sedangkan Abu Nawas sendiri dicuekin karena
dikira ia hanyalah kusir baghal. Sang Kusir hanya senyum-senyum ketika diajak
bicara. Tiba saatnya Abu Nawas diminta berbicara, maka bangkitlah ia menuju
mimbar. Tentu saja orang-orang kaget karena yang maju kok malah kusir baghal.
„Maaf Bapak-bapak sekalian, Tuan Abu Nawas sedang sakit gigi sehingga
terpaksa saya sebagai kusir pribadinya menggantikan untuk berbicara di hadapan
Bapak-bapak.“ Kata Abu Nawas dengan mantap. Keruan saja ruangan menjadi sedikit
gaduh. Si Kusir asli hanya senyum-senyum saja.
Maka berbicaralah Abu Nawas ke sana ke mari sampai membuat para hadirin
terpukau. Mereka terpukau betapa hebat kusir Abu Nawas ini, lalu bagaimana lagi
kehebatan Abu Nawas?! Begitulah kata dalam hati mereka masing-masing.
Kesempatan itu tak disia-siakan untuk menasehati para pembesar negeri itu untuk
selalu adil dalam mengemban amanat.
“Tuan-tuan, ingatlah bahwa kematian kita telah dekat. Dan setelah mati itu tidak
berarti kita tidur. Tidak! Kita hidup di alam qubur dengan nikmat atau dengan siksa
tergantung amal perbuatan kita. Ingat, Rasulullah saw telah bersabda bahwa ada tiga
golongan yang tidak akan dilihat Allah yaitu salah satunya adalah pemimpin yang
membohongi rakyatnya.“
Salah seorang pembesar mengacungkan tangan dan bertanya,“Bagaimana kalau
rakyat yang membohongi pemimpin? Apakah Allah juga murka kepada rakyat itu?“
Nampaknya pembesar-pembesar tak mau kalah juga.
„Semua perbuatan bohong tentu saja dimurkai Allah, akan tetapi pemimpin yang bisa
dibohongi rakyat berarti lebih bodoh dari rakyat itu, karena itu itu ia pun bisa
mendapat murka karena sudah bodoh tapi masih ngotot jadi pemimpin!“ Jawab kusir
gadungan yang cerdas itu.
Betapa pandai si kusir ini, lalu bagaimana dengan Tuannya?!
**
Hidup di zaman kini memang begitu kompleks. Banyak orang mengeluh.
Akan tetapi tidak demikian dengan Abu Nawas. Ia tetap santai meski hidup sederhana
dengan harta secukupnya. Cukuplah baginya istri yang shalih sebagai harta yang tiada
tara.
Suatu hari Abu Nawas akan bepergian jauh selama seminggu untuk
berdagang, maka ia berpesan kepada istrinya, „Yang, nanti kalau aku pergi tolong
kalau ada tamu laki-laki jangan boleh masuk ke rumah kita kalau kau sedang
sendirian!“
Ketika Abu Nawas telah pergi datanglah Khalifah Harun Al Rasyid bertamu di
rumah Abu Nawas. Sesuai pesan suaminya maka istri Abu Nawas tak mempersilakan
masuk khalifah kecuali ia hanya berbicara di balik pintu.
„Maaf Khalifah, Kak Abu sedang pergi dan ia berpesan agar aku tidak menerima
tamu laki-laki“ begitulah kata istri Abu Nawas.
Maka khalifah pun batal berkunjung ke rumah Abu Nawas, ia hanya
berpesan,“Nanti kalau Abu Nawas sudah pulang suruh segera ia ke istana!“
Nampaknya Khalifah sedikit agak kesal karena tak jadi berkunjung ke rumah Abu
Nawas.
Sepulang dari berdagang Abu Nawas kaget. Buru-buru ia menuju istana.
„Kenapa kau malah pergi padahal aku akan berkunjung ke rumahmu?“ tanya
Khalifah geram.
„Maaf Baginda, saya tidak mengetahuinya“
“Bahkan engkau tak mempersilakan aku untuk singgah ke rumahmu?”
„Maaf Baginda, istri saya hanya menjalankan apa yang saya pesankan. Bukan
maksud saya tidak mau menerima baginda atau menghina. Tidak sama sekali.”
Rupanya khalifah masih agak kesal.
“Aku ke sana hendak memberikan hadiah kepadamu. Sayang karena batal, maka batal
pulalah hadiah ini buatmu. Sebagai gantinya, kau harus bisa membantuku bekerja di
istana selama seminggu!” kata khalifah
“Alhamdulillah, saya tidak menyesal baginda. Bagi saya istri yang taat dan shalihah
adalah harta yang paling berharga. Karena itu saya rela meski harus kehilangan
hadiah bahkan menerima hukuman apa pun dari baginda.” JAwab Abu NAwas
dengan tenang.
Maka setelah seminggu Abu Nawas bekerja di istana, khalifah memanggilnya.
“Apakah tugasmu telah selesai Abu NAwas?”
„Benar Baginda“
„Sungguh aku salut kepadamu. Kau telah membuktikan kata-katamu. Ternyata kau
memang lebih menghargai istrimu dari pada harta benda duniawi.“
„Bolehkan saya segera pulang?“ tanya Abu Nawas
“Tentu saja. Dan ini hadiah yang dulu aku bawa ke rumahmu juga aku tambah hadiah
karena kau telah membantuku selama seminggu penuh. Terimalah”
“Bukan itu yang saya harapkan BAginda. Cukuplah hati Baginda yang puas, itu telah
cukup. Silakan berikan hadiah itu kepada kaum fakir miskin, hamba kemarin
mendapat rezki banyak dalam berdagang ketika BAginda datang ke rumah saya”
“Tidak ini utuk kau, untuk kaum fakir dan miskin aku telah sediakan khusus!” kata
khalifah setengah memaksa.
Akhirnya Abu NAwas pulang dengan membawa begitu banyak hadiah.
Sesampai di rumah istrinya sedikit merajuk.
“Kenapa lama sekali Abang pergi ke istana?”
„Aku mendapat hukuman dari khalifah“
„Apakah Abang bersalah?“
„Tidak. Khalifah kesal karena tak kau persilakan masuk kala berkunjung ke mari“
„Oh, biar saja. Itukan pesan Abang?!“
„Akhirnya aku disuruh mengabdi seminggu di sana. Tapi lihat ini. Buah dari
ketaatanmu. Kita mendapat rezki banyak, lebih banyak dari hasil dagangku kemarin
yang seminggu“
Ternyata memang istri yang saleh itu banyak membawa berkah.
**

Anda mungkin juga menyukai