Anda di halaman 1dari 59

RESUME CLINICAL REASONING

SKENARIO III

NAMA : PRISKA FEBIOLA SUTRISNA

NPM : 118170138

KELOMPOK : 6B

BLOK : 4.2

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

FAKULTAS KEDOKTERAN

CIREBON

2020
Skenario III

Seorang laki-laki berusia 52 tahun dibawa ke IGD RS dengan keluhan muntah


darah disertai nyeri perut.

Step I

Keluhan utama : muntah darah disertai nyeri perut

Step II

Nyeri perut
- GERD
- Taeniasis
- Sirosis hepar
Muntah darah - Ascariasis
- Mallory weiss tear
- Varises - Disentri basiler
- Ulcus pepticum
esofagus - Disentri amoeba
- Gastritis
- Dispepsia
- IBD
- Hemoroid

Step III

1. Varises esofagus
a. Definisi
Varises esofagus adalah terjadinya distensi vena submukosa yang
diproyeksikan ke dalam lumen esofagus pada pasien dengan hipertensi
portal. Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan aliran darah portal
lebih dari 10 mmHg yang menetap, sedangkan tekanan dalam keadaan
normal sekitar 5 –10 mmHg. Hipertensi portal paling sering disebabkan
oleh sirosis hati. Sekitar 50% pasien dengan sirosis hati akan terbentuk
varises esofagus, dan sepertiga pasien dengan varises akan terjadi
perdarahan yang serius dari varisesnya dalam hidupnya.
b. Etiologi
Etiologi terjadinya varises esofagus dan hipertensi portal adalah penyakit-
penyakit yang dapat mempengaruhi aliran darah portal. Etiologi ini dapat
diklasifikasikan sebagai prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik (Tabel
3.1).3
Tabel 3.1. Etiologi

c. Faktor risiko
Faktor predisposisi dan pemicu perdarahan varises masih belum
sepenuhnya jelas. Dugaan bahwa esofagitis dapat memicu perdarahan
varises telah ditinggalkan. Faktor-faktor penting yang bertanggung jawab
atas terjadinya perdarahan varises adalah, tekanan portal, ukuran varises,
dinding varises dan tegangannya, dan tingkat keparahan penyakit hati.
d. Klasifikasi ukuran varises
Ukuran varises paling baik dinilai menggunakan endoskopi.
Banyak studi yangtelah memperlihatkan bahwa risiko perdarahan varises
meningkat sesuai dengan ukuran varises
Tabel 3.1. Klasifikasi Pembagian Besarnya Varises Esofagus1

e. Patofisiologi
Sirosis merupakan fase akhir dari penyakit hati kronis yang paling
sering menimbulkan hipertensi portal (Gambar 3). Tekanan vena porta
merupakan hasil dari tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran darah pada
portal bed. Pada sirosis, tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran porta
keduanya sama-sama meningkat.1
Bila ada obstruksi aliran darah vena porta, apapun penyebabnya,
akan mengakibatkan naiknya tekanan vena porta. Tekanan vena porta
yang tinggi merupakan penyebab dari terbentuknya kolateral
portosistemik, meskipun faktor lain seperti angiogenesis yang aktif dapat
juga menjadi penyebab. Walaupun demikian, adanya kolateral ini tidak
dapat menurunkan hipertensi portal karena adanya tahanan yang tinggi
dan peningkatan aliran vena porta. Kolateral portosistemik ini dibentuk
oleh pembukaan dan dilatasi saluran vaskuler yang menghubungkan
sistem vena porta dan vena kava superior dan inferior. Aliran kolateral
melalui pleksus vena-vena esofagus menyebabkan pembentukan varises
esofagus yang menghubungkan aliran darah antara vena porta dan vena
kava.1
Pleksus vena esofagus menerima darah dari vena gastrika sinistra,
cabang-cabang vena esofagus, vena gastrika short/brevis (melalui vena
splenika), dan akan mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos.
Sedangkan vena gastrika sinistra menerima aliran darah dari vena porta
yang terhambat masuk ke hepar.1
Sistem vena porta tidak mempunyai katup, sehingga tahanan pada
setiap level antara sisi kanan jantung dan pembuluh darah splenika akan
menimbulkan aliran darah yang retrograde dan transmisi tekanan yang
meningkat. Anastomosis yang menghubungkan vena porta dengan
sirkulasi sistemik dapat membesar agar aliran darah dapat menghindari
(bypass) tempat yang obstruksi sehingga dapat secara langsung masuk
dalam sirkulasi sistemik.1
Hipertensi portal paling baik diukur secara tidak langsung dengan
menggunakan wedge hepatic venous pressure (WHVP). Perbedaan
tekanan antara sirkulasi porta dan sistemik (hepatic venous pressure
gradient, HVPG) sebesar 10–12 mmHg diperlukan untuk terbentuknya
varises. HVPG yang normal adalah sekitar 5–10 mmHg. Pengukuran
tunggal berguna untuk menentukan prognosis dari sirosis yang
kompensata maupun yang tidak kompensata, sedangkan pengukuran
ulang berguna untuk memonitoring respon terapi obat-obatan dan
progresifitas penyakit hati.1
Bila tekanan pada dinding vaskuler sangat tinggi dapat terjadi
pecahnya varises. Kemungkinan pecahnya varises dan terjadinya
perdarahan akan meningkat sebanding dengan meningkatnya ukuran atau
diameter varises dan meningkatnya tekanan varises, yang juga sebanding
dengan HVPG. Sebaliknya, tidak terjadi perdarahan varises jika HVPG di
bawah 12 mmHg. Risiko perdarahan ulang menurun secara bermakna
dengan adanya penurunan dari HVPG lebih dari 20% dari baseline.
Pasien dengan penurunan HVPG sampai <12 mmHg, atau paling sedikit
20% dari baseline, mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk
terjadi perdarahan varises berulang, dan juga mempunyai risiko yang
lebih rendah untuk terjadi asites, peritonitis bakterial dan kematian.1
Beberapa penelitian menunjukkan peranan endotelin-1 (ET-1) dan
nitric oxide (NO) pada patogenesis hipertensi porta dan varises esofagus.
Endotelin-1 adalah vasokonstriksi kuat yang disintesis oleh sel endotel
sinusoid yang diimplikasikan dalam peningkatan tahanan vaskuler hepatik
pada sirosis dan fibrosis hati. Nitric oxide adalah vasodilator, yang juga
disintesis oleh sel endotelial sinusoid. Pada sirosis hati, produksi NO
menurun, aktivitas endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dan produksi
nitrit oleh sel endotelial sinusiod berkurang.1
f. Manifestasi klinis
Varises esofagus merupakan salah satu komplikasi terbanyak pada
sirosis hepatis. Varises esofagus biasanya baru memberikan gejala apabila
varises sudah pecah dengan timbulnya hematemesis atau melena.
Semakin tinggi derajat varises esofagus maka semakin tinggi juga
kemungkinan untuk terjadinya perdarahan, sehingga akan lebih banyak
penderita yang ditemukan dengan varises esofagus stadium berat.1
g. Penegakan diagnosis
1) Pemeriksan fisik
Manifestasi gagal hepatoselulerdiantaranya Ikterus, suatu
keadaan dimana plasma, kulit dan selaput lendir menjadi kuning yang
disebabkan kegagalan sel hati membuang bilirubin dari darah.
Keadaan ini mudah dilihat pada sklera. Spider nevi, terlihat pada kulit
khususnya sekitar leher , bahu dan dada. Merupakan pelebaran
arteriol-arteriol bawah kulit yang berbentuk titik merah yang agak
menonjol dari permukaan kulit dengan beberapa garis radier yang
merupakan kaki- kakinya sepanjang 2-3 mm dengan bentuk seperti
laba-laba. Bila pusatya ditekan, maka kaki-kakinya akan ikut
menghilang. Spider nevi merupakan salah satu tanda
hiperestrogenisme akibat menurunnya kemampuan sel hati mengubah
estrogen dan derivatnya.1
Eritema palmaris, ditemukan pada ujung-ujung jari tangan
serta telapak tangan daerah tenar dan hipotenar. Merupakan tanda
hiperestrogenisme dengan dasar yang sama seperti spider nevi.
Kelainan lain akibat hiperestrogenisme antara lain ginekomasti,
alopesia daerah pektoralis, aksila dan pubis serta dapat terjadi atropi
testis pada lakilaki. Sedangkan pada wanita berupa mengurangnya
menstruasi hingga amenore. Ensefalopati hepatikum hingga koma
hepatikum. Merupakan gangguan neurologi berupa penurunan
kesadaran diduga akibat kelainan metabolisme amonia dan
peningkatan kepekaan otak terhadap toksin.1
2) Pemeriksaan penunjang
Untuk diagnosis perdarahan akut akibat gastropati hipertensi
portal (GHP), dibutuhkan pembuktian secara endoskopik adanya lesi
yang berdarah aktif.Bila ditemukan varises esophagus atau lambung,
endoskopi dapat diulang dalam waktu 12-24 jam.1
Pada pasien dengan perdarahan menetap atau perdarahan
berulang meskipun telah diterapi endoskopi dan medikal,
dipertimbangkan untuk terapi invasif transjugular intrahepatic
portosystemic shunt (TIPS). Tindakan ini efektif menurunkan
perdarahan berulang dari pada terapi endoskopi meskipun ensefalopati
hepatik lebih sering muncul.1
h. Penatalaksanaan
Perdarahan varises esofagus ( hematemesis , hematemesis dengan
melena atau melena saja ). Pasien dirawat di rumah sakit sebagai kasus
perdarahan saluran cerna atas.Pertama dilakukan pemasangan NGT tube
untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari saluran cerna,
disamping melakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah dan
untuk mengetahui apakah perdarahan sudah berhenti atau belum.1
Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik di bawah 100 mmHg,
nadi di atas 100x/ menit atau Hb di bawah 9 g% dilakukan pemberian
IVFD dekstrosa atau salin dan tranfusi darah secukupnya. Diberikan
vasopresin 2 amp 0,1 g dalam 500 cc cairan D 5% atau salin. Untuk
mencegah rebleeding dopat diberikan cbat penyekat reseptor beta (beta
bloker) secara oral dalam dosis yang dapat menurunkan denyut nadi
sampai 25%.1
i. Komplikasi
Komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal dengan manifestasi
seperti eritema palmaris, spider nevi, vena kolateral pada dinding perut,
ikterus, edema pretibial dan ascites.Ikterus dengan air kencing berwarna
seperti air teh pekat mungkin akibat penyakit yang berlanjut atau kearah
keganasan.Sebagian pasien datang dengan gejala hematemesis,
hematemesis dan melena, atau melena saja akibat pendarahan varises
esophagus.Pada pemeriksaan lab dijumpai Hb rendah, lekosit dan
trombosit yang rendah, SGOT dan SGPT meningkat, bilirubin total
meninggi, protein total merendah , albumin menurun dan globulin
meninggi, masa protrombin memanjang.Pemeriksaan penunjang lainnya
yang diperlukan antara lain biopsi hati, USG abdomen,esofagoskopi,
sidikan hati dan pemeriksaan cairan asites.1

2. Gastroesophagea l Reflux Disease


a. Definisi
Gastroesophageal reflux (GER) adalah kondisi mengalirnya secara
involunter isi lambung melalui gastroesophageal junction ke dalam
esofagus. Sedangkan Gastroesophageal reflux Disease (GERD) adalah
refluks patologik atau refluk yang cukup bermakna untuk menimbulkan
perubahan-perubahan fisis yang merugikan seperti pertambahan berat
badan yang buruk, ulserasi mukosa, atau simtom respiratorik kronik tidak
disebabkan kausa yang diketahui, usofagitis, hematemesis, striktur,
anemia sideropenik, episode apnea yang mengancam jiwa, ataupun
sindrom kematian mendadak-bayi.2
a. Faktor resiko
Beberapa faktor risiko GERD adalah:
1) Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat,
calcium-channel blocker
2) Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan
rokok
3) Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada
wanita hamil, menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan
kadar progesteron. Sedangkan pada wanita menopause, menurunnya
tekanan LES terjadi akibat terapi hormon estrogen
4) Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus
hernia, panjang LES yang < 3 cm juga memiliki pengaruh terhadap
terjadinya GERD
5) Indeks Massa Tubuh (IMT); semakin tinggi nilai IMT, maka risiko
terjadinya GERD juga semakin tinggi. 2
b. Patofisiologi
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor
ofensif dan defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat
lambung. Yang termasuk faktor defensif sistem pertahanan esofagus
adalah LES, mekanisme bersihan esofagus, dan epitel esofagus.1,4-8 LES
merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus
dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat
menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung. Pada
GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran
retrograde dari lambung ke esofagus. Terganggunya fungsi LES pada
GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan obat-
obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural. 2
c. Klasfikasi
Berdasarkan lokalisasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu
sindrom esofageal dan esktraesofageal. Sindrom esofageal merupakan
refluks esofageal yang disertai dengan atau tanpa adanya lesi struktural.
Gejala klinis sindrom esofageal tanpa lesi struktural berupa heartburn dan
regurgitasi, serta nyeri dada non-kardiak. Sedangkan pada sindrom
esofageal disertai lesi struktural, berupa refluks esofagitis, striktur refluks,
Barret’s esophagus, adenokarsinoma esofagus. Sindrom ekstraesofageal
biasanya terjadi akibat refluks gastroesofageal jangka panjan. 2
d. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn.
Regurgitasi merupakan suatu keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah
makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah. Heartburn adalah suatu rasa
terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai nyeri dan pedih. Dalam
bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu
hati yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya
dirasakan saat setelah makan atau saat berbaring. Gejala lain GERD
adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi, disfagia
hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan
Barrett’s esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan
umumnya akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non-
kardiak, batuk kronik, asma, dan laringitis merupakan gejala
ekstraesofageal penderita GERD.2
e. Diagnosis
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American
College of Gastroenterology tahun 1995 dan revisi tahun 2013, diagnosis
GERD dapat ditegakkan berdasarkan:9-10 1. Empirical Therapy 2. Use of
Endoscopy 3. Ambulatory Reflux Monitoring 4. Esophageal Manometry
(lebih direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi untuk eksklusi
kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau aperistaltik yang
berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya skleroderma).2
f. Peatalaksanaan
Terapi empirik merupakan upaya diagnostik yang dapat diterapkan
di pusat pelayanan kesehatan primer karena upaya diagnostiknya
sederhana dan tidak membutuhkan alat penunjang diagnostik.2
Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala,
memperbaiki kerusakan mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah
komplikasi. Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management
of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan revisi tahun 2013,
terapi GERD dapat dilakukan dengan:
1) Treatment Guideline I: Lifestyle Modification
2) Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy
3) Treatment Guideline III: Acid Suppression
4) Treatment Guideline IV: Promotility Therapy
5) Treatment Guideline V: Maintenance Therapy
6) Treatment Guideline VI: Surgery Therapy
7) Treatment Guideline VII: Refractory

GERD Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan


kesehatan primer berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and
Management of Gastroesophageal Reflux Disease adalah dengan
melakukan modifikasi gaya hidup dan terapi medikamentosa GERD.
Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan pola hidup yang dapat
dilakukan dengan:

1) Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat


badan sesuai dengan IMT ideal
2) Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi
saat posisi berbaring. 2
3. Sirosis hepar
a. Definisi
Sirosis hati adalah tahap paling akhir dari seluruh tipe penyakit hati
kronik. Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan
proses peradangan, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan terbentuknya
fibrosis hati yang difus, dengan terbentuknya nodul yang mengganggu
susunan lobulus hati.3
b. Etiologi
Klasifikasi etiologi lebih serig dipakai. Mayoritas penderita sirosis
awalnya merupakan penderita penyakit hati kronis yang disebabkan oleh
virus hepatitis atau penderita steatohepatitis yang berkaitan dengan
kebiasaan minum alkohol ataupun obesitas. Beberapa etiologi lain dari
penyakit hati kronis diantaranya adalah infestasi parasit (schistosomiasis),
penyakit autoimun yang menyerang hepatosit atau epitel bilier, penyakit
hati bawaan, penyakit metabolik seperti Wilson’s disease, penyakit
granulomatosa (sarcoidosis), efek toksisitas obat (methotrexate dan
hipervitaminosis A), dan obstuksi aliran vena seperti sindrom Budd-
Chiari dan penyakit veno-oklusif.3
Di Amerika Serikat, kecanduan alkohol adalah penyebab yang
paling sering dari sirosis hati. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia,
virus hepatitis B merupakan penyebab tersering dari sirosis hati yaitu
sebesar 40-50% kasus, diikuti oleh virus hepatitis C dengan 30-40%
kasus, sedangkan 10-20% sisanya tidak diketahui penyebabnya dan
termasuk kelompok virus bukan B dan C.3
c. Patofisiologi
Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis,
konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang
utama. Sirosis terjadi dengan frekuensi paling tinggi pada peminum
minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan
protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan
alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab yang utama pada
perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun
demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki
kebiasaan minum minuman keras dan pada individu yang dietnya
normal tetapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.3
Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini
dibanding individu lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut
memiliki kebiasaan meminum minuman keras ataukah menderita
malnutrisi. Faktor lainnya dapat memainkan peranan, termasuk pajanan
dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen terklorinasi, asen
atau fosfor) atau infeksi skistosomiasis yang menular. Jumlah laki-laki
penderita sirosis adalah dua kali lebih banyak daripada wanita, dan
mayoritas pasien sirosis berusia 40-60 tahun.3
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec
ditandai oleh pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan selsel
hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga
kadangkadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular dapat
pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi utama akibat induksi
alkohol adalah perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan sirosis
alkoholik.3
d. Manifestasi klinis
Pada pasien sirosis dapat datang ke dokter dengan sedikit
keluhan, tanpa keluhan, atau dengan keluhan penyakit lain. Manifestasi
klinik dari sirosis hati disebabkan oleh dua hal utama yaitu disfungsi
hepatoselluler yang progressif dan hipertensi portal.3
Gejala dan tanda seperti mudah lelah,penurunan berat badan ,
mual, muntah, jaundice dan hepatomegali adalah akibat dari difungsi
hepatoselular. Disertai pula dengan gejala dan tanda ekstrahepatik
seperti palmar erytema, spider angioma, pembesaran kelenjar parotis dan
lakrimalis, ginekomastia, gangguan menstruasi serta gangguan
perdarahan.3
Pada pasien sirosis dapat mengalami keluhan dan gejala klinis
akibat komplikasi dari sirosis hatinya. Pada beberapa pasien komplikasi
ini dapat menjadi gejala pertama yang membawa pasien datang ke
dokter. Pasien sirosis dapat tetap berjalan kompensata selama bertahun-
tahun, sebelum berubah menjadi dekompensata yang dapat dikenal
daritimbunya bermacam. komplikasi seperti hipertensi portal yang
menyebabkan asites, ensepalopati, splenomegali, varises esophagus
yang dapat menyebabkan hematemesis dan melena.3
e. Diagnosis
1) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan penderita yang tampak
kesakitan dengan nyeri tekan pada regio epigastrium. Terlihat juga
tandatanda anemis pada kedua konjungtiva mata dan ikterus pada
kedua sklera. Pada daerah abdomen, ditemukan perut yang
membesar pada seluruh regio abdomen dengan tanda-tanda ascites
seperti pemeriksaan shifting dullness positif. Hati, lien, dan ginjal
sulit untuk dievaluasi karena besarnya ascites dan nyeri yang
dirasakan oleh pasien. Pada ekstremitas juga ditemukan adanya
edema pada kedua tungkai bawah.Sintesis albumin turun sesuai
perburukan sirosis. Hal ini berperan menimbukan oedem dan ascites
karena albumin berperan dalam tekanan onkotik plasma.3
2) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
a) Darah lengkap
Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan.
Kerusakan SDM dan anemia terlihat dengan hipersplenisme dan
defisiensi besi. Leukopenia mungkin ada sebagai akibat
hiperplenisme
b) Kenaikan kadar SGOT, SGPT
c) Albumin serum menurun
d) Pemeriksaan kadar elektrolit : hipokalemia
e) Pemanjangan masa protombin
f) Glukosa serum : hipoglikemi
g) Fibrinogen menurun
h) BUN meningkat

Pemeriksaan diagnostik

a) Radiologi
Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi
hipertensi portal
b) Esofagoskopi
Dapat menunjukkan adanya varises esofagus
c) USG
d) Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta
e) Skan/ biopsi hati
Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
f) Partografi transhepatik perkutaneus
Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.3
f. Penatalaksanaan
1) Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan
kontrol yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori
tinggi protein, lemak secukupnya
2) Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti :
a) Alkohol dan obat-obatan dianjurkan menghentikan
penggunaannya. Alkohol akan mengurangi pemasukan protein
ke dalam tubuh. Dengan diet tinggi kalori (300 kalori),
kandungan protein makanan sekitar 70-90 gr sehari untuk
menghambat perkembangan kolagenik dapat dicoba dengan
pemberian D penicilamine dan Cochicine.
b) Hemokromatis
c) Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi/ terapi
kelasi (desferioxamine). Dilakukan vena seksi 2x seminggu
sebanyak 500cc selama setahun.
d) Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid
3) Terapi terhadap komplikasi yang timbul
a) Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan
obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton
dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa
dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/ hari, tanpa
adanya edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki.
Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa
dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/ hari.
Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada
respons, maksimal dosisnya 160 mg/ hari. Parasentesis dilakukan
bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter
dan dilindungi dengan pemberian albumin.
b) Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan
melena atau melena saja)
- Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk
mengetahui apakah perdarahan sudah berhenti atau masih
berlangsung.
- Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100
mmHg, nadi diatas 100 x/menit atau Hb dibawah 99%
dilakukan pemberian IVFD dengan pemberian dextrose/ salin
dan tranfusi darah secukupnya.
- Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau
normal salin pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali.
c) Ensefalopati
- Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL
pada hipokalemia
- Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi
diet sesuai
- Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami
perdarahan pada varises
- Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan
infeksi sistemik
- Transplantasi hati
- Peritonitis bakterial spontan Diberikan antibiotik pilihan
seperti cefotaksim, amoxicillin, aminoglikosida
- Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatik Mengatur
keseimbangan cairan dan garam.3

4. Mallory weiss disease


a. Definisi
Robeknya mucosa lambung squamo columna mucosa junction
karena batuk atau muntah yang keras. Menimbulkan perdarahan yang
banyak namun dapat berhenti spontan. 4
b. Etiologi
Timbulnya sindrom Mallory-Weiss sebagai penyebab perdarahan
gastrointestinal tidak diketahui. Sulit menentukan penyebabnya karena
pada beberapa kasus dapat sembuh dengan pengobatan konservativ. Meski
sindrom, namun dapat menggambarkan laserasi postemesis pada gastric
cardia sebagai penyebab perdarahan utama yang diakibatkan konsumsi
alkohol yang banyak. Muntah akibat induksi alkohol hampir sama dengan
muntah akibat batuk yang hebat, uremia, kehamilan dan serangan akut dari
tekanan intraesofagus yang tinggi, mengedan kuat saat buang air besar,
cegukan dalam pengaruh obat-obat anestesi  dan trauma tumpul abdomen.
Berdasarkan pengalaman, diidentifikasi faktor terbanyak  disebabkan oleh
intake alkohol dan konsumsi aspirin yang lama. Alcohol sendiri memiliki
dampak yang buruk pada mukosa esophagus. 4
Dari segi klinis, menyadari  lokasi-lokasi perdarahan yang lain
sangatlah penting sebelum menentukan pengobatan pada pasien. Luka
yang menyebabkan emesis dan secara tidak langsung menyebabkan
laserasi sindrom Mallory weiss. 31 dari 40 pasien dengan jumlah
keseluruhan 38 pasien merupakan kelainan mukosa dimana 34%
merupakan perdarahan. 84% merupakan kelainan traktus gastrointestinal
bagian atas, yang berhubungan dengan laserasi gaster, yang dapat
diidentifikasi dengan oesophagogastroscopy. 4
c. Manifestasi klinis
Robekan Mallory-Weiss tidak menunjukkan gejala yang
spesifik. Gambaran klinis yang dapat ditemukan tergantung dari tingkatan
atau derajat perdarahan gastrointestinal. Gambaran klasik termasuk
episode hematemesis setelah mual atau muntah, meskipun gambaran ini
bisa tidak sebanyak yang diduga sebelumnya. Graham dan Schwartz
menemukan riwayat semacam ini didapat hanya pada sekitar 30% pasien.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Harris dan Di Palma, hematemesis
pada muntah pertama dilaporkan pada 50% pasien. 4
Gejala klinis lainnya yang jarang ditemukan tetapi
dapat terjadi pada syndrome Mallory-Weiss adalah melena, takikardi,
hipotensi, hematochezia,sinkop, nyeri abdomen bisa juga terjadi syok. 4
d. Diagnosis banding
- Sindrom Boerhaave
- Esofagotis
- Ulkus Peptikum
- Erosi Cameron. 4
e. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium :
- Pemeriksaan Hb dan Ht dilakukan untuk menilai episode
perdarahan awal.
- Hitung Platelet APTT dan PTT, dilakukan untuk menilai
keparahantrombositopenia dan koagulopaty sebagai faktor
komplikasi.Pemeriksaan koagulasi diperlukan pada pasien-pasien
yangmengkonsumsi antikoagulan atau dengan asupan oral minimal
atautidak sama sekali mengkonsumsi antibiotik.
- Tingkat BUN creatinin dan elektrolit diukur untuk patokan terapi
cairanIV.
- Pemeriksaan golongan darah dan antibody dilakukan bila ada
transfusi darah. 4
2) Pemeriksaan Radiologi
- Pemeriksaan Barium atau Gastrografin tidak boleh dilakukan
karena nilaidiagnostik yang rendah dan mengganggu penilaian
endoscopi dan terapi. 4
3) Pemeriksaan lainnya
- EKG dan Enzym jantung (jika ada indikasi) untuk menilai iskemia
miokard akibat kehilangan darah gastrointestinal terutama pada
pasein dengananemia signifikan, instabilitas hemodinamik,
penyakit cardivaskuler, nyeri dada, dan atau usia lanjut. 4
f. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Medis
Penanganan awal termasuk melakukan tindakan resusitatif
yang diperlukan,melakukan endoskopi secepatnya, dan menila pasien
untuk perawatan ICU, rawat inap rawat jalan, terantung pada
keparahan perdarahan, penykit penyerta dan resiko perdarahan ulang
dan komplikasi.Dilakukan endoskopi lebih awal pada pemeriksaan
klinis. Endoskopiadalah prosedur pilihan untuk diagnosa dan terapi.
Diagnosa endoskopi dariperdarahan Mallory-Weiss ditegakkan dengan
adanya pedarahan aktif,bongkahan fibrin yang menempel pada robekan
mukosa didalam ataudidekat junction gastroesofagus. Rata-rata
robekannya 2-3 cm dan selebarbeberapa mm. Sebagian besar pasien
(>80%) datang dengan robekan tunggal. 4
Lokasi robekan biasanya terletak tepat dibawah junction
gastroesofagus di curvatura minor gaster (antara jam 2 dan 6 pada
tampilan endoskopi dengan posisi LLD). Robekan Mallory-Weiss
biasanya berhubungan dengan lesi mukosalainnya. Pada satu
penelitian, 83% pasien memiliki abnormalitas mukosa tambahan yang
secara potensial mempengaruhi perdarahan atau menyebabkan mual
dan muntah yang akan menginduksi robekan ini.Beberapa tindakan
endoskopi efektif untuk menangani perdarahan Mallory-
Weiss.Pilihannya biasanya tergantung pada kebiasaan ahli endoskopi
dengan teknik tertentu dan peralatan yang ada.Pasien dengan
perdarahanaktif (Muncratan arteri,mengalir dari titik fokal) bisa
ditangani. Stigmataseperti pembuluh darah yang terlihat tidak berdarah
atau perlekatan bekuandarah tidak sepenuhnya perlu penanganan,
seperti pada ulkuspeptikum.Stigmata seperti ini biasanya tidak
ditangani kecuali bila terdapatepisode perdarahan berulang dari lesi
yang sama atau berhubungan dengankoagulopati. 4
Robekan dengan dasar yang bersih, fibrinous atau bercak yang
rata berpigmen tidak ditangani karena resiko perdarahan ulang
minimal. Peralatan termal kontak, seperti elektrokoagulasi multipolar
( EKMP)atau probe panas dengan / tanpa injeksi epinefrin,umumnya
digunakanuntuk menangani perdarahan aktif.Efektifitas dan keamanan
telahditetapkan hanya dalam beberpa sample acak dengan kontrol.
Sebagaicontoh, Laine mendemonstrasikan efektifitas hemostatik yang
lebihbesar,interfnsi gawat darurat yang lebih sedikit.dan
kecenderungan kearahpenurunan kebutuhan transfusi. EKMP atau
probe panas ditempelkan padatitik perdarahan dengan tekanan rendah
sampai sedang. Parameterpenanganan yang disarankan untuk EKMP
adalah 14-16 watt selama 3-4detik per kali ,dan rata-rata 1-5 kali.
Parameter penanganan yang disarankanuntuk probe panas termasuk
15-20 J per pulsasi dengan 2-3 pulsasi. Titikakhirnya adalah
penghentian perdarahan dan pembentukan koagulum putih.Injeksi
epinefrin (1 : 10.000 - 1 : 20.000) mengurangi ataumenghentikan
perdarahan melalui mekanisme vasokonstriksi dantamponade.
Biasanya dikombinasi dengan terapi yang lebih definitive
(terapipanas). Aliquots 0.5-1 ml diinjeksikan disekitar titik perdarahan.
Tidak adabatas maksimal volume yang diketahui,dan sering digunakan
epinefrin sebesar 20 ml. Diperlukan monitor yang hati-hati, karena
injeksi epinefrin submukosa bisa memasuki sirkulasi sistemik tanpa
adanya proteksi, yangberpotensial menyebabkan komplikasi
kardiovaskular serius. Injeksi epinefrinpaling baik dihindari pada
pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskular. 3
Keberhasilan dari penggunaan sklerosant seperti alcohol
ataupolidokanol telah dilaporkan. Jika ada alternatif lain yang lebih
aman injeksisklerosant tidak diperbolehkan karena dapat menyebabkan
kerusakan jaringan dan nekrosis jaringan juga berpotensi terjadi
perforasi.Penggunaan argon plasma koagulator ( APC) dalam
pengobatan syndrom Mallory Weiss masih terbatas, tetapi alat non
kontak ini menjadi popular karena kemudahan penggunaannya. Pada
esofagus dinding halus,tenaga output disetel 40-45 W dan
menggunakan aliran gas argon yangrelatif rendah (1L/menit). APC
harus dipertahankan dekat dengan lokasitarget, yang bisa menyulitkan
untuk menyesuaikan peristalticLigasi pita endoskopi telah
menunjukkan efetif untuk menangani perdarahan pada robekan.
Perbedaan harus dideteksi untuk efektifitas atau keamanan ligasi pita
terhadap injeksi epinefrin. Ligasi pita harus digunakanter utama pada
perdarahan. yang berkaitan engan hipertensi portal danvarices
esophagus,yang mana terapi panas tidak dianjurkan. Endoskopi
hemoklip juga efektif, tepi dari robekan bisa didekatkan. Dimulai dari
ujung distal robekan,dan diteruskan kearah proksimal, caralain,hanya
titik perdarahan yang menjadi target untuk hemoklip. Hemoklipbisa
tidak berhasil oleh sebab lokasinya miring,atau robekannya terlalu
besar. Pada penelitian sebanyak 26 pasien, hemoklip pada semua
kasusberhasil secara teknik, jumlah klip yang digunakan rata-rata 2.8 +
1.6 (kisaran 1-8 ). Pada penelitian prospektif acak terhadap 35 pasien
denganperdarahan aktif akibat robekan, hemoklip dan injeksi epinefrin
sama efektif untuk tercapainya hemostasis primer. Bila
memungkinkan,pengarang lebih memilih penggunaan hemoklip
dibanding panas, karena dapat menyebabkan perlukaan jaringan
berlebihan, yang dapat mengarah ke nekrosis danperforasi.Meskipun
penelitian awal melaporkan tamponade balon menguntungkan, teknik
ini mungkin harus dihindari,karena menciptakan kekuatan yang
merupakan pedisposisi untuk laserasi dan dapat melebarkanrobekan.
Angioterapi dengan infus vasopresin selektif atau embolisasi arteri
gastrika sinistra dapat dilakukan pada pasien yang tidak memberikan
respon terhadap terapi endoskopi / beresiko tinggi terhadap komplikasi
endoskopi. 4
2) Penatalaksanaan Operatif 
Penjahitan bedah pada robekan dilakukan hanya pada kasus
pedarahanrefrakter terhadap terapi endoskopi atau angioterapi.
3) Konsultasi
- Radiologi vaskuler intervensi : angioterapi ntk perdarahan
tidakterkontrol dengan menggunakan endoskopi.
- Konsultasi bedah : pembedahan bisa diperlukan sebagai
terapiterakhir untuk intervensi endoskopi dan atau radiology yang
gagal.
4) Diet
Puasa hanya dilakukan pada pasien dengan hemodinamik tidakstabil
dan pada pasien yang membutuhkan intervensi endoskopiberulang,
dalam jangka waktu pendek karena ketidak pastianefektifitas terapi
endoskopi atau kemungkinan komplikasi dariterapi awal. 4

5. Ulcus pepticum
a. Definisi
Ulkus peptikum merupakan suatu keadaan terputusnya kontinuitas
mukosa yang meluas di bawah epitel atau kerusakan pada jaringan
mukosa, submukosa hingga lapisan otot dari suatu daerah saluran cerna
yang langsung berhubungan dengan cairan lambung asam/pepsin.5
b. Etiologi
Tabel 1.1 memperlihatkan Odds relatit (odds ratio. OB./ LlntLrk faktor
genetika dan lingkungan yang dilaporkan menimbulkan dampak atas
ulserasi peptikum. Perlu ditekankan bahwa hampir tidak mungkin untuk
menentukan kuantitas stres lingkungan, yang tidak hanya tergantung
kepada dampak dari faktor itu sendiri mau plrn rerhadap interpreiasi
individu yanq menqalamr stres tersebut. 5
Tabal 1.1. Odds relatif (odds ratio) untuk faktor genetika dan lingkungan
ulkur peptikum. 4

Kebiasaan makan tidak diteliti, mungkin juga tergantung pada


waktu dan kuantitas makanan tersebut. Pemakaian OAINS dan rokok
mengandung resiko terbesar untuk monderita llserasi gaster, OR masing-
masing 5, Gasttitis H. pyloli dalam jangka panjang, m€mbawa resiko
tinggi untuk ulserasi duodeni.C. 5
c. Patofisiologi
Mukosa gastrointestinal secara konstan mengalami regenerasi.
Pembentukan tukak tergantung pada pengaruh yang berlebihan oleh
faktor-taktor agresif melampauiJengaruh faktor-taktor proteksi endogen
(defensif) dan faktor reparatif (gambar 1).5

Gambar 1. Keseimbangan ulkus. 5


Mekanisme patofiologi pembentukan UP secara singkat digambarkan
dalam tabel 2. 5
Tabel 2. Mekanisme patofisiologi ulkus peptikum. 5
d. Manifestasi klinis
Gambaran klinis utama tukak peptik adalah kronik dan nyeri
epigastrium. Nyeri biasanya timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau
pada malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri ini seringkali
digambarkan sebagai teriris, terbakar atau rasa tidak enak. Remisi dan
eksaserbasi merupakan ciri yang begitu khas sehingga nyeri di abdomen
atas yang persisten. Pola nyeri-makan-hilang ini dapat saja tidak khas pada
tukak lambung. Bahkan pada beberapa penderita tukak lambung makanan
dapat memperberat nyeri. Biasanya penderita tukak lambung akan
mengalami penurunan berat badan. Sedangkan penderita tukak duodenum
biasanya memiliki berat badan yang tetap. 5
Penderita tukak peptik sering mengeluh mual, muntah dan
regurgitasi. Timbulnya muntah terutama pada tukak yang masih aktif,
sering dijumpai pada penderita tukak lambung daripada tukak duodenum,
terutama yang letaknya di antrum atau pilorus. Rasa mual disertai di
pilorus atau duodenum. Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut
kembung, perut merasa selalu penuh atau lekas kenyang, timbulnya
konstipasi sebagai akibat instabilitas neromuskuler dari kolon. 5
e. Diagnosis
1) Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya nyeri, nyeri tekan
epigastrik atau distensi abdominal
- Bising usus mungkin tidak ada. 5
2) Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran GI atas dapat
menunjukkan adanya ulkus, namun endoskopi adalah prosedur
diagnostic pilihan
- Endoskopi GI atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan
inflamasi, ulkus dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara
langsung dilihat dan biopsy didapatkan. Endoskopi telah diketahui
dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui
pemeriksaan sinar X karena ukuran atau lokasinya
- Feces dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah
negatif terhadap darah samar
- Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan
dalam mendiagnosis aklorhidria(tidak terdapat asam hdroklorida
dalam getah lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang
hilang dengan makanan atau antasida, dan tidak adanya nyeri yang
timbul juga mengidentifikasikan adanya ulkus
- Adanya H. Pylory dapat ditentukan dengan biopsy dan histology
melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium
khusus. serta tes serologis terhadap antibody pada antigen H.
Pylori. 5
f. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan tukak peptik adalah menghilangkan keluhan/ gejala
penderita, menyembuhkan tukak, mencegah relaps/ kekambuhan dan
mencegah komplikasi. Secara garis besar pengobatan tukak peptik adalah
eradikasi kuman H. Pylori serta pengobatan/ pencegahan gastropati
NSAID. Pada saat ini, penekanan pengobatan ditujukan pada peran luas
infeksi Helicobacter pylori sebagai penyebab ulkus peptikum. Eradikasi
Helicobacter pylori infeksi dapat dilakukan pengobatan antibiotik yang
sesuai. Penderita ulkus harus menghentikan pengobatan dengan NSAID
atau apabila hal ini tidak dapat dilakukan pemberian agonis prostaglandin
yang berkerja lama, misalnya misoprostol. 5
Dalam memberikan terapi terhadap tukak peptik akut pada umumnya
serupa dengan penderita tukak peptik kronik. Bila ditemukan penderita
dengan keluhan berat, maka sebaiknya dirawat di rumah sakit, serta perlu
istirahat untuk beberapa minggu. Penderita dengan keluhan ringan
umumnya dapat dilakukan dengan berobat jalan. 5
1) Non farmakologi
a) Istirahat
b) Diet
c) Pantang merokok. 5
2) Farmakologi
a) Antagonis Reseptor H2
Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung
dengan cara berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan
reseptor H2 pada sel pariental lambung. Bila histamin berikatan
dengan H2 maka akan dihasilkan asam. Dengan diblokirnya
tempat ikatan antara histamin dan reseptor digantikan dengan obat-
obat ini, maka asam tidak akan dihasilkan. Efek samping obat
golongan ini yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit pada otot
dan konstipas
b) PPI (Proton Pump Inhibitor)
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim KH
ATPase yang akan memecah KH ATP akan menghasilkan energi
yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli serta
pariental ke dalam lumen lambung. Panjang dapat menimbulkan
kenaikan gastin darah dan dapat menimbulkan tumor karsinoid
pada tikus percobaan. Pada manusia belum terbukti gangguan
keamanannya pada pemakaian jangka panjang.
Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati dan
dieliminasi di ginjal. Dengan pengecualian penderita disfungsi hati
berat, tanpa penyesuaian dosis pada penyakit liver dan penyakit
ginjal. Dosis Omeprazol 20-40 mg/hari, Lansoprazol 15-30
mg/hari, Rabeprazol 20 mg/hari, Pantoprazol 40 mg/hari dan
Esomeprazol 20-40 mg/hari.
c) Sulkrafat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam,
hidrolisis protein mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut
berkontribusi terhadap terjadinya erosi dan ulserasi mukosa.
Protein ini dapat dihambat oleh polisakarida bersulfat. Selain
menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin, sulkrafat juga
memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi produksi
lokal prostagladin dan faktor pertumbuhan epidermal.
Dosis sulkrafat 1gram 4x sehari atau 2gram 2x sehari. Efek
samping yang sering dilaporkan adalah konstipasi, mual dan mulut
kering.
d) Koloid Bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan
bersama protein pada dasar tukak dan melindungi terhadap
rangsangan pepsin dan asam. Dosis obat 2 x 2 tablet sehari. Efek
samping, berwarna kehitaman sehingga timbul keraguan dengan
pendarahan.
e) Analog Prostaglandin : Misoprostol
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung
menambah sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan
aliran darah mukosa. Biasanya digunakan sebagai penangkal
terjadinya tukak gaster pada pasien yang menggunakan OAINS.
Dosis 4 x 200 mg atau 2 x 400 mg pagi dan malam hari. Efek
samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi otot
uterus sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang bakal hamil.
f) Antasida
Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan
keluhan nyeri dan obat dispepsia. Mekanisme kerjanya
menetralkan asam lambung secara lokal. Preparat yang
mengandung magnesium akan menyebabkan diare sedangkan
aluminium menyebabkan konstipasi. Kombinasi keduanya saling
menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan
konstipasi. Dosis: 3 x 1 tablet, 4 x 30 cc (3 kali sehari malam dan
sebelum tidur). Efek samping diare, berinteraksi dengan obat
digitalis, barbiturat, salisilat, dan kinidin. 5

6. Gastritis
a. Definisi
Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan
submukosa misal makan-makanan yang pedas atau minum soda. 6
b. Faktor resiko
- Pola makan yang tidak baik : terlambat, jenis makanan pedas, porsi
besar.
- Sering minum kopi dan teh.
- Infeksi bakteri atau parasit
- Penggunaan obat analgetik dan steroid.
- Usia lanjut
- Alkoholism
- Stress
- Penyakit lain : refluks empedu, HIV/AIDS, Chron disease. 6
c. Anamnesis
Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas seperti
terbakar pada perut bagian atas. Keluhan mereda atau memburuk bila
diikuti dengan makan. Ada keluhan mual, muntah, dan kembung. 6
d. Pemeriksaan fisik
PF Patognomonis
- Nyeri tekan epigastrium dan BU meningkat.
- Bila inflamasi berat, bisa terjadi perdarahan saluran cerna berupa
hematemesis dan melena.
- Biasanya pada pasien gastritis kronis, konjungtiva tampak anemis. 6
e. Pemeriksaan penunjang
Tidak perlu, kecuali pada gastritis kronis :
- Darah rutin
- Untuk mengetahu infeksi Helicobacter pylori, pemeriksaan ureabreath
test dan feses.
- Rontgen dan Barium enema
- Endoskopi.6
f. Penegakan diagnosis
- Diagnosis klinis : anamnesis dan PF.
- Diagnosis definitif : pemeriksaan penunjang.
- Diagnosis banding :
1) Kolesistitis
2) Kolelitiasis
3) Chron disease
4) Kanker lambung
5) Gastroenteritis
6) Limfoma
7) Ulkus peptikum
8) Sarkoidosis
9) GERD. 6
g. Komplikasi
- Perdarahan saluran cerna bagian atas
- Ulkus peptikum
- Perforasi lambung
- Anemia. 6
h. Penatalaksanaan kompreensif
- Non farmakologis
Farmakologis : H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150mg/kali, Famotidin 20
mg/kali, simetidin 400-800 mg/kali), PPI 2x/hari (omeprazol 20 mg/kali,
lansoprazol 30 mg/kali), serta antasid 3x 500-1.000 mg/hari.6
- Non farmakologis
Konseling dan edukasi.
menginformasikan agar pasien menghindari pemicu terjadinya kelahan,
antara lain makan tepat waktu, makan sering dengan porsi kecil, dan hindri
makan yang meningkatkan asam lambung atau perut kembung, seperti :
kopi, the, makanan pedas, kol. 6
- Kriteria rujukan
1) Jika 5 hari pengobatan blum sembuh.
2) Terjadi komplikasi
3) Terdapat alarm syndrome. 6
i. Prognosis
Sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, kompilkasi, dan
pengobatannya. Umumnya bonam. Namun dapat terjadi berulang jika pola
hidup tidak dirubah. 6
j. Secara umum dokter akan merujuk jika memenuhi kriteria TACCC
- Time : jika perjalanan penyakit kronis atau melewati golden time
standard.
- Age : jika usia pasien termasuk ke dalam kategori yang dikhawatirkan
meningkatkan risiko komplikasi serta risiko kondisi penyakit lebih
berat.
- Complication : jika komplikasi yang ditemui memperberat kondisi
pasien.
- Comorbidity : jika terdapat keluhan atau gejala penyakit lain yang
memperberat kondisi pasien.
- Condition : jika kondisi fasilitas pelayanan tidak mendukung. 6
k. Perhatikan tanda lain
- Gangguan mental emosi
Contohnya pada kasus remaja putri
- Gangguan jantung
Iskemialah yang memicu gejala mual dan muntah
- Pemeriksaan tes cepat mental dan emosi (selama 2 menit). 6

7. Taeniasis
a. Definisi
Taeniasis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan
tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu
daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Beberapa negara maju
seperti Amerika Serikat, masyarakatnya juga dapat terinfeksi Taenia sp.
akibat perjalanan yang dilakukan di daerah endemis. Semua usia rentan
terhadap infeksi taeniasis. Usia di mana konsumsi daging mentah dimulai
adalah faktor yang menentukan usia infeksi. Taeniasis solium dilaporkan
terjadi pada anak usia 2 tahun di Mexico.7
b. Klasifikasi
1) Kingdom : Animalia
2) Filum : Platyhelminthes
3) Kelas : Cestoda
4) Ordo : Cyclophillidea
5) Famili : Taeniidae
6) Genus : Taenia
7) Spesies : solium/ saginata.7
c. Etiologi
Taenia solium (cacing pita babi) merupakan infeksi cacing
yang distribusinya kosmopolit. Cacing ini menginfeksi baik manusia dan
babi. Manusia biasanya sebagai hospes definitif atau hospes perantara
(CFSPH, 2005), sedangkan babi sebagai hospes perantara. Habitat cacing
yang telah dewasa di dalam usus halus (jejunum bagian atas) manusia,
sedangkan larvanya terdapat di dalam jaringan organ tubuh babi.7
d. Faktor resiko
1) Faktor linkungan
2) Tingkat pendidikan
3) Kebiasaan mencuci tangan dan kebiasaan mandi
4) Penyajian konsumsi daging babi
5) Kebiasaan buang air besar
6) Sumber air minum dan cara memasak air minum.7
e. Patofisiologi
Cacing pita Taenia solium dewasa hidup dalam usus manusia yang
merupakan induk semang definitif. Segmen tubuh Taenia yang telah
matang dan mengadung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau
secara pasif bersama-sama feses manusia. Bila inang definitif manusia
(manusia) maupun inang antara yaitu babi menelan telur maka telur yang
menetas akan mengeluarkan embrio atau onchosphere yang kemudian
menembus dinding usus. Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah
limfe berangsur-angsur berkembang menjadi sistiserkosis yang infekstif
di dalam otot tertentu (Sutrija, F 2005). Otot yang paling sering terserang
sistiserkus yaitu jantung, difragma, lidah, otot pengunyah, daerah
esophagus, leher dan otot anar tulang rusuk.7
f. Penegakan diagnosis
1) Anamnesis
Gejala penderita taeniasis umumnya yaitu berupa rasa tidak
enak pada perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala
dan anemia.
2) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran peningkatan
eosinofil. Sistiserkosis pada otak (neurosistiserkosis) dengan gejala
gangguan motorik, kelainan saraf sensorik maupun gangguan mental
penderita. Sistiserkosis pada bola mata menyebabkan nyeri bola mata,
gangguan pengelihatan dan kebutaan. Sedangkan pada otot jantung
menyebabkan takikardia, sesak napas, sinkop dan gangguan irama
jantung.7
g. Tatalaksana
1) Non farmakologis
a) Pengawasan terhadap penjualan daging babi agar tidak tercemar
oleh larva cacing (sistiserkus).
b) Memasak daging babi di atas suhu 50◦c selama 30 menit untuk
mematikan larva sistiserkus atau menyimpan daging babi pada
c) Suhu 10◦c selama 5 hari
d) Menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak buang air besar di
sembarang tempat (pemakaian jamban keluarga) agar tidak
mencemari tanah dan rumput
e) Menjaga higiene personal dengan rajin mandi, mencuci tanggan
sebelum makan atau mengolah makanan.
f) Memberikan vaksin pada hewan ternakbabi (penggunaan crude
antigen yang berasal dari onkosfer, sistisersi, atau cacing dewasa
Taenia solium).7
2) Farmakologi
pengobatan taeniasis dan sistiserkosis dapat dilakukan
dengan menggunakan praziquantel. Praziquantel dapat membunuh dan
menghacurkan cacing dewasa Taenia solium di saluran pencernaan
usus atau sistisersi pada jaringan parental. Dosis praziquantel 50
mg/kg BB dosis tunggal atau dosis terbagi tiga selama 15 hari efektif
untuk sistiserkosis. Obat pilihan lain adalah albendazole 15 mg/kg
BB/hari dalam dosis tunggal atau terbagi tiga selama 7 hari;
Mebendazole 2 x 200 mg/hari selama 4 hari.7

8. Ascariasis
a) Definisi
Ascariasis adalah infeksi usus kecil yang disebabkan oleh Ascaris
Lumbricoides yang merupakan cacing gelang. Cacing gelang adalah jenis
cacing parasit. Menurut data dari WHO, 10 persen penduduk dari negara
berkembang terinfeksi cacing usus.7
b) Klasifikasi
1) Sub kingdom : Metazoa
2) Filum : Nemathelminthes
3) Kelas : Nematoda
4) Ordo : Ascaridida
5) Famili : Ascaridoidea
6) Genus : Ascaris
7) Spesies : Ascaris lumbricoides (Jeffrey dan Leach, 1993).7
c) Etiologi
Cacing dewasa Ascaris lumbricoides berbentuk silinder, berwarna
merah muda. Cacing betina menghasilkan berkisar 200.000 telur yang
telah dibuahi (fertilized) dan tidak dibuahi (unfertilized) per hari yang
diletakkannya di lumen usus. Telur ini berukuran 40 x 60 μm yang
ditandai dengan adanya mamillated outer coat dan thick hyaline shell.7
Telur Ascaris lumbricoides dindingnya memiliki 3 lapisan yaitu :
1) Lapisan luar yang tebal, dari bahan albuminoid yang bersifat
impermiabel.
2) Lapisan tengah, dari bahan hialin bersifat impermiabel ( lapisan ini
yang membentuk telur ).
3) Lapisan paling dalam, dari bahan vitelline bersifat sangat impermiabel
sebagai pelapis sel telurnya.7
d) Faktor resiko
1) Kebiasaan mencuci tangan
2) Kurangnya penggunaan jamban
3) Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk
4) Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga dihinggapi lalat yan
membawa telur cacing.7
e) Patofisiologi
1) Fase migrasi larva
Pada fase migrasi, larva dapat mencetus timbulnya reaksi pada
jaringan yang dilaluinya. Di paru, antigen larva menimbulkan respons
inflamasi berupa infiltrat yang tampak pada foto toraks dan akan
menghilang dalam waktu tiga minggu. Terdapat gejala pneumonia
atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan
pada infeksi berat dapat timbul dahak yang disertai darah. Pneumonia
yang disertai eosinofilia dan peningkatan IgE disebut sindrom
Loeffler.Larva yang mati di hati dapat menimbulkan granuloma
eosinofilia.7
2) Fase intestinal
Cacing dewasa yang hidup di saluran intestinal jarang
menimbulkan gejala klinis. Jika terdapat gejala klinis biasanya tidak
khas yaitu mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi, lesu,
tidak bergairah, dan kurang konsentrasi. Cacing Ascaris dapat
menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorsi vitamin A dan
mikronutrisi. Pada anak infeksi kronis dapat menyebabkan kegagalan
pertumbuhan akibat dari penurunan nafsu makan, terganggunya
proses pencernaan dan malabsorbsi.7
Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus
sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).Selain itu cacing dewasa dapat
masuk ke lumen usus buntu dan dapat menimbulkan apendisitis
(radang usus buntu) akut atau gangren.Jika cacing dewasa masuk dan
menyumbat saluran empedu dapat terjadi kolik, kolesistitis (radang
kantong empedu), kolangitis (radang saluran empedu), pangkreatitis
dan abses hati.Selain ke bermigrasi ke organ, cacing dewasa juga
dapat bermigrasi keluar melalui anus, mulut atau hidung. Migrasi
cacing dewasa dapat terjadi karena rangsangan seperti demam tinggi
atau obat-obatan.7
g. Penegakan diagnosis
1) Anamnesis
Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan.
Kadang-kadang klien mengalami gejala gangguan usus ringan, seperti
mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat,
terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat
keadaan malnutrisi. Efek yang sering terjadi bila cacing ini
menggumpal dalam usus dapat menyebabkan obstruksi usus (ileus).
Pemeriksaan parasitologis untuk menegakkan diagnosis adalah dengan
pemeriksaan tinja secara langsung (telur dan cacing dewasa),
pemeriksaan cairan empedu (telur), pemeriksaan bahan muntahan
(cacing dewasa), pemeriksaan sputum (larva), atau apabila cacing
dewasa keluar sendiri melaui tinja, mulut atau hidung maka dengan
sendirinya diagnoSis sudah dapat ditegakkan.7
2) Pemeriksaan fisik
a) Konjungtiva anemis
b) Terdapat tanda-tanda malnutrisi
c) Nyeri abdomn jika terjadi obstruksi
3) Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur A.lumbricoides
pada sediaan basah tinja langsung. Penghitungan telur per gram tinja
dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan
berat ringannya infeksi. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing
dewasa keluar sendiri melalui mulut,hidung atau anus.7
Gambar 1.1 Klasifikasi telur STH.7
h. Tatalaksana
1) Non farmakologis
a) Menjaga Kebersihan Perorangan
- Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar
dengan menggunakan air dan sabun.
- Menggunakan air bersih untuk keperluan makan, minum, dan
mandi
- Memasak air untuk minum.
- Mencuci dan memasak makanan dan minuman sebelum
dimakan.
- Mandi dan membersihkan badan paling sedikit dua kali sehari.
- Memotong dan membersihkan kuku.
- Memakai alas kaki bila berjalan di tanah, dan memakai sarung
tangan bila melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan
tanah.
- Menutup makanan dengan tutup saji untuk mencegah debu dan
lalat mencemari makanan tersebut.7
b) Menjaga Kebersihan Lingkungan
- Membuang tinja di jamban agar tidak mengotori lingkungan.
- Jangan membuang tinja, sampah atau kotoran di sungai.
- Mengusahakan pengaturan pembuangan air kotor (SPAL)
- Membuang sampah pada tempatnya untuk menghindari lalat.
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk pertanian/perkebunan.
- Menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya bebas dari
vector.7
2) Farmakologi
Albendazol dan mebendazol merupakan obat pilihan untuk
askariasis. Dosis albendazol untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2
tahun adalah 400 mg per oral. WHO merekomendasikan dosis 200 mg
untuk anak usia 12 – 24 bulan. Dosis mebendazol untuk dewasa dan
anak usia lebih dari 2 tahun yaitu 500 mg. Albendazol dan mebendazol
diberikan dosis tunggal. Pirantel pamoat dapat digunakan untuk
ascariasis dengan dosis 10–11 mg/kg BB per oral, dosis maksimum 1
gram.7
Tindakan operatif diperlukan pada keadaan gawat darurat akibat
cacing dewasa menyumbat saluran empedu dan apendiks.Pengobatan
askariasis harus disertai dengan perubahan perilaku hidup bersih sehat
dan perbaikan sanitasi.7

9. Disentri basiler
a. Definisi
Disentri basiler atau Shigellosis merupakan suatu penyakit infeksi
akut yang terjadi pada usus yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella.
Secara umum terdapat 4 spesies Shigella yang menyebabkan disentri
basiler, meliputi Shigella dysenteriae, Shigella flexneri, Shigella boydii,
dan Shigella sonnei.7
b. Etiologi
Disentri basiler atau Shigellosis disebabkan oleh bakteri genus
Shigella. Bakteri ini termasuk dalam famili Enterobacteriaceae dan
merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang (basil). itu bakteri
ini bersifat anaerob fakultatif, yang berarti dapat hidup tanpa atau dengan
adanya oksigen. 7
c. Patogenesis
Shigella sp. ditularkan melalui jalur fecal-oral dan masuk dalam
tubuh secara per oral melalui makanan atau air yang terkontaminasi.
Bakteri ini akan menjadi penyakit apabila jumlahnya 10 hingga 100
bakteri (Dupont et al, 1989). Bakteri ini juga cukup tahan terhadap
suasana asam pada lambung sehingga dapat masuk ke dalam usus. Di
dalam usus, bakteri berkembang biak dan menyebar dalam lapisan sub
mukosa. Bakteri ini dapat berpenetrasi ke mukosa karena bakteri ini
secara genetik memiliki “invasion plasmids” sehingga menyebabkan
kematian sel usus, ulserasi fokal, pengelupasan sel-sel mukosa, lendir
disertai darah dalam lumen usus, dan adanya akumulasi sel-sel inflamasi
pada lapisan sub mukosa. Selain itu diketahui bahwa Shigella flexneri dan
Shigella sonnei menghasilkan shiga toxin. Diduga racun ini berperan
dalam merusak sel-sel endotel dari propria lamina sehingga terjadi
perubahan mikroangiopati. 7
d. Penegakam diagnosis
- Anamnesis
Menyebabkan 3 bentuk diare sebagai keluhan utama:
1) Diare dengan tinja yang konsisten lembek disertai darah, lendir.
2) Watery diarrhea, diare dengan volume yang besar tanpa ada
lendir/tinja
3) Kombinasi

Keluhan tambahan:

1) Demam/Panas  infeksi bakteri


2) Nyeri abdomen (sakit perut)  di daerah rektum, kolon
descendens, kolon sigmoid.
3) Tenesmus ani Keluhan utama dan tambahan terjadi setelah masa
inkubasi 2-4 hari (onset). 7
- Pemeriksaan fisik
Inspeksi : normal.
Palpasi : turgor menurun  karena dehidrasi
Perkusi : hipertimpani  indikasi adanya udara bebas yang terdapat di
dalam rongga usus.
Auskultasi : hiperperistaltik  disebabkan karena adanya radang /
obstruksi pada usus.
Nyeri tekan lepas titik Mc Burney : negatif  tidak ada indikasi
appendisitis. 7
- Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan feses (gold standard
2) PCR  spesifik dan sensitif
3) Enzim Immunoassay  mendeteksi toksin melalui tinja.
4) Endoscopy
a) Gambaran mukosa hemoragik yang terlepas
b) Ulserasi
c) Kadang-kadang tertutup eksudat
d) Lesi pada distal kolon. 7
e. Penatalaksanaan
Penanganan pertama pada penderita diare adalah rehidrasi
penderita. Pada diare dehidrasi ringan sampai sedang dapat teratasi
dengan larutan rehidrasi oral. Sedangkan pada dehidrasi yang berat, cairan
infus diberikan dengan cepat (cairan isotonik 20-30 ml/kg berat badan
dalam waktu satu jam) (Dzen, 2003). Antibiotik yang digunakan adalah
Ampicillin sebagai drug of choice, tetapi banyak yang sudah resisten
terhadap obat ini sehingga digunakan antibiotik lain. Kotrimoksasol,
kloramfenikol, dan tetrasiklin juga tidak disarankan karena terjadinya
resistensi. Menurut WHO, 2016. Obat Lini pertama yang dapat digunakan
untuk manangani shigellosis adalah ciprofloxacin.7

10. Amebiasis
a. Definisi
Amebiasis merupakan suatu infeksi Entamuba histolytica pada
manusia, dapat terjadi secara akut dan kronik. Manusia merupakan
pejamu dari beberapa spesies amuba, yaitu Entamuba histolytica, E. coli,
E. ginggivalis, Dientamuba frigilis, Endolimax nana, Iodamuba butclii.
Diantara beberapa spesies amuba, hanya satu spesies yaitu E. histolytica
yang merupakan parasit patogen pada manusia. E. histolytica tersebar di
seluruh dunia, endemik terutama terjadi di daerah dengan sosio-ekonomi
rendah dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. 7
b. Etiologi
E. histolytica bersama Giardia lamblia, Criptosporidium,
Balantidium coli, Blastocystis hominis dan Isospora sp merupakan
protozoa yang sering menyebabkan infeksi usus pada anak. Infeksi yang
disebabkan oleh protozoa usus biasanya didapatkan per-oral melalui
kontaminasi feses pada air atau makanan. Pada manusia E. histolytica
mengadakan invasi ke dalam mukosa usus dan dapat menyebar ke dalam
traktus intestinalis, misalnya ke duodenum, gaster, esofagus atau
ekstraintestinal, yaitu hati (terutama), paru, perikardium, peritonium,
kulit, dan otak. 7
c. Patofisiologi
Entamuba histolytica terdapat dalam dua bentuk, yaitu sebagai
kista dan trofozoit. Infeksi terjadi karena tertelannya kista dari makanan
atau minuman yang terkontaminasi, sedangkan tertelannya bentuk
trofozoit tidak menimbulkan infeksi karena tidak tahan terhadap
lingkungan asam dalam lambung. Ukuran kista 10-18 um, berisi 4 inti dan
resisten terhadap kondisi lingkungan seperti temperatur yang rendah dan
konsentrasi klor yang biasa digunakan untuk penjernihan air, parasit dapat
terbunuh dengan pemanasan 550C. Setelah kista tertelan, dan resisten
terhadap asam lambung serta enzim pencernaan, kemudian masuk ke
alam usus kecil menjadi 8 trofozoit, yang bergerak aktif, merupakan
koloni dalam lumen usus besar dan dapat menimbulkan invasi pada
mukosa. Trofozoit mempunyai diameter rata-rata 20 um, sitoplasmanya
mengandung zona yang jernih di sebelah dalam, yang berisi inti yang
terbentuk sferis dengan sentral kariosom yang kecil dan bahan kromatin
granular yang halus. Endoplasma juga mengandung vakuola, tempat
eritrosit dapat terlihat pada kasus amebiasis yang invasif.7
d. Manifestasi klinis
Kebanyakan infeksi bersifat asimtomatik dan kista dapat
ditemukan dalam feses. Gejala yang biasa ditemukan adalah diare,
muntah, dan demam. Tinja lembek atau cair disertai lendir dan darah.
Pada infeksi akut kadang-kadang ditemukan kolik abdomen, kembung,
tenesmus dan bising usus yang hiperaktif. Invasi pada jaringan terjadi 2-
8% kasus yang terinfeksi dan mungkin berhubungan dengan galur parasit
atau status nutrisi serta flora usus. Manifestasi klinis amebiasis yang
paling sering disebabkan oleh invasi lokal pada epitel usus dan
penyebaran ke hati. Beberapa sarjana membagi amebiasis menjadi
amebiasis usus akut dan kronik. Amebiasis di luar usus (sebagai
penyulit), misalnya amebiasis hati, abses paru, peritonitis amuba,
amebiasis kulit, abses otak dan penyebaran yang sangat jarang, yaitu ke
limpa, pankreas dan saluran kemih. 7
e. Diagnosis
Diagnosis pasti amebiasis ditentukan dengan adanya trofozoit
atau kista di dalam feses atau trofozoit di dalam pus hasil aspirasi atau
dalam spesimen jaringan. Semua penderita tersangka amebiasis sebaiknya
dilakukan pemeriksaan feses 3-6 kali untuk menemukan trofozoit atau
kista. Pemeriksaan trofozoit sebaiknya dilakukan maksimum dalam 1 jam
sejak feses diambil, bila tidak memungkinkan maka sebaiknya disimpan
dalam lemari es. Identifikasi trofozoit Entamuba histolytica memerlukan
tenaga yang berpengalaman, karena trofozoit kadangkadang tidak
ditemukan dalam feses. Leukosit dan makrofag yang telah memfagosit
eritrosit dapat dikelirukan dengan trofozoit. 7
f. Penatalaksanaan
Secara umum berupa: Isolasi, pemberian cairan yang adekuat,
pengobatan penyulit, monitor pemeriksaan feses 3 kali untuk memastikan
apakah infeksi sudah dapat dieradikasi. Sedangkan secara spesifik dpat
berupa terapi medikamentosa sebagai berikut:
1) Infeksi usus asimtomatik
Diloksanid furoat (furamid) 7-10 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, atau
iodokuinol (diiodohidroksi kuinin) 10 mg/kgBB/hari selama 3 dosis
atau Paromomisin (humatin) 8 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis. Obat-
obat tersebut diberikan selama 7-10 hari
2) Infeksi usus ringan sampai sedang
Metronidazol (flagyl) 15 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, selama 10 hari.
Efek samping kebanyakan ringan, berupa ruam, kadang-kadang
ataksia atau parestesia. Pada percobaan binatang bila diberikan dalam
dosis tinggi/lama bersifat karsinogenik
3) Infeksi usus berat dan abses amuba hati
Metronidazol 50 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, peroral atau intravena,
selama 10 hari, atau dehidroemetin 0,5-1 mg/kgBB/hari dalam 2
dosis intramuskular selama 5 hari, maksimal 90 mg/hari. 7

11. Dispepsia
a. Definisi
Kata ‘dispepsia’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘dys’ (poor) dan
‘pepse’ (digestion) yang berarti gangguan percernaan. Awalnya gangguan
ini dianggap sebagai bagian dari gangguan cemas, hipokondria, dan
histeria.5 British Society of Gastroenterology (BSG) menyatakan bahwa
istilah ‘dispepsia’ bukan diagnosis, melainkan kumpulan gejala yang
mengarah pada penyakit/gangguan saluran pencernaan atas. Definisi
dispepsia adalah kumpulan gejala saluran pencernaan atas meliputi rasa
nyeri atau tidak nyaman di area gastro-duodenum (epigastrium/uluhati),
rasa terbakar, penuh, cepat kenyang, mual atau muntah.8
b. Klasifikasi
Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua, yaitu organik (struktural)
dan fungsional (nonorganik). Pada dispepsia organik terdapat penyebab
yang mendasari, seperti penyakit ulkus peptikum (Peptic Ulcer
Disease/PUD), GERD (GastroEsophageal Reflux Disease), kanker,
penggunaan alkohol atau obat kronis. Non-organik (fungsional) ditandai
dengan nyeri atau tidak nyaman perut bagian atas yang kronis atau
berulang, tanpa abnormalitas pada pemeriksaan fisik dan endoskopi. 8
c. Etiologi
1) Idiopatik/dispepsia fungsional (50-70%)
2) Ulkus peptikum (10%)
3) Gastroesophageal reflux disease (GERD) (5-20%)
4) Kanker lambung (2%)
5) Gastroparesis
6) Infeksi Helicobacter pylori
7) Pankreatitis kronis
8) Penyakit kandung empedu
9) Penyakit celiac
10) Parasit usus (Giardia lamblia, Strongyloides)
11) Malabsorpsi karbohidrat (laktosa, sorbitol, fruktosa)
12) Obat non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID)
13) Antibiotik, suplemen besi, dll
14) Metabolik (diabetes melitus, tiroid/paratiroid)
15) Iskemia usus
16) Kanker pankreas atau tumor abdomen. 8
d. Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia fungsional masih belum jelas, diduga
kombinasi hipersensitivitas viseral, disfungsi motilitas lambung, dan
faktor psikologis.2,3,9 Dispepsia fungsional berkaitan dengan depresi.
Studi di Pakistan pada 101 pasien dispepsia fungsional (setelah
endoskopi) dengan rerata usia 35,81±14,81 tahun didapatkan 100 pasien
memiliki depresi (evaluasi depresi dengan Hamilton depression rating
scale): depresi ringan 23 (22,8%), sedang 34 (33,7%), berat 32 (31,7%),
dan sangat berat 11 (10,9%). Dispepsia berkaitan juga dengan tidur.
Hubungan antara gangguan tidur dan gejala dispepsia fungsional cukup
kompleks. Gejala dispepsia dapat mengganggu tidur baik saat akan tidur
maupun kelanjutan tidur. Sebaliknya, kurang tidur juga berpotensi
meningkatkan gejala pasien dispepsia fungsional. 8
Faktor risiko dispepsia organik antara lain usia >50 tahun, riwayat
keluarga kanker lambung, riwayat ulkus peptikum, kegagalan terapi,
riwayat perdarahan saluran cerna, anemia, penurunan berat badan, muntah
persisten, perubahan kebiasaan buang air besar, penggunaan NSAID dosis
tinggi atau jangka panjang, alkohol kronis, dll. Studi di Taiwan pada
2.062 penderita dispepsia etnis Cina mendapatkan hasil endoskopi normal
sebanyak 1174 (56,9%), gastritis sebanyak 215 (10,4%), ulkus lambung
sebanyak 254 (12,3%), ulkus duodenum sebanyak 194 (9,4%), refluks
esofagitis sebanyak 182 (8,8%), dan kanker esofagus/lambung sebanyak
43 (2,1%). Pasien dispepsia organik pada studi tersebut cenderung
ditemukan pada usia lebih tua, lebih mungkin terinfeksi H. pylori, dan
pengguna obat (aspirin, NSAID) dibandingkan dispepsia fungsional.
Dominasi laki-laki terutama pada dispepsia organik (pria/wanita:
56,8%/43,2%) dan dominasi perempuan pada dispepsia fungsional (pria/
wanita: 40,3%/59,7%).8
e. Diagnosis
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia
adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas.
Apabila kelainan organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis
banding dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan
organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional.
Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by
exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan
tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem
penggolongan, dispepsia fungsional diklasifi kasikan ke dalam ulcer-like
dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke
dalam 2 subklasifi kasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifi k.
Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan
antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul
tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55
tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya.8
Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam American Journal of
Gastroenterology, menegaskan kriteria diagnostik dispepsia fungsional
seperti tertera pada boks 1. 4 Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih
dengan IBS. Pasien IBS, khususnya dengan predominan konstipasi,
mengalami keterlambatan pengosongan lambung sehingga akhirnya
disertai pula dengan gejala-gejala saluran pencernaan bagian atas yang
menyerupai gejala dispepsia. Sebaliknya, pada pasien dispepsia, sering
kali juga disertai dengan gejala-gejala saluran pencernaan bawah yang
menyerupai IBS. Untuk membedakannya, beberapa ahli mengemukakan
sebuah cara, yakni dengan meminta pasien menunjuk lokasi di perut yang
terasa paling nyeri; dengan lokalisasi ini, kedua entitas tersebut dapat
didiferensiasi. Sebuah pendekatan baru, yaitu dengan menyatakan IBS
dan dispepsia fungsional sebagai bagian dari spektrum penyakit
fungsional saluran cerna.8
f. Penatalaksanaan
Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri
atau distres postprandial. Pada tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi
bertujuan menekan asam lambung (H2-blocker, PPI). Pada tipe distres
postprandial, lini pertama dengan prokinetik, seperti
metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide (inhibitor
asetilkolinesterase), cisapride (antagonis serotonin tipe 3 /5HT3),
tegaserod (agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a). Bila lini pertama
gagal, PPI dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan prokinetik
untuk tipe nyeri. Kombinasi obat penekan asam lambung dan prokinetik
bermanfaat pada beberapa pasien. Tidak ada terapi yang efektif untuk
semua pasien; berbagai terapi dapat digunakan secara berurutan ataupun
kombinasi. 8
Pada kasus yang tidak berespons terhadap obat-obat tersebut,
digunakan antidepresan. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50 mg/hari,
nortriptilin 10 mg/ hari, imipramin 50 mg/hari) selama 8-12 minggu
cukup efektif untuk terapi dispepsia fungsional, SSRI atau SNRI tidak
lebih efektif dari plasebo. Meskipun masih kontroversial, dapat dilakukan
tes H. pylori pada kasus dispepsia fungsional mengingat infeksi tersebut
umumnya asimptomatik. Terapi kondisi psikologis seperti cemas atau
depresi dapat membantu pada kasus dispepsia sulit/ resisten. Terapi
psikologis, akupunktur, suplemen herbal, probiotik psikologis pada
dispepsia fungsional masih belum terbukti. Edukasi pasien penting untuk
menghindari faktor pencetus seperti mengurangi stres/ kecemasan,
memulai pola makan teratur porsi lebih sedikit dan menghindari makanan
pemicu. 8

12. IBD
a. Definisi
Crohn disease (CD) dan ulcerative colitis (UC) adalah gangguan
inflamasi kronis pada saluran pencernaan. Secara kolektif, mereka disebut
inflammatory bowel disease (IBD) dan diperkirakan bahwa 1,5 juta orang
Amerika menderita UC dan CD. 6
b. Etiologi
Etiologi tidak diketahui, meskipun keduanya dianggap muncul dari
respon imun yang terganggu terhadap usus individu dengan predisposisi
genetik. Karakteristik respon inflamasinya berbeda, pada CD biasanya
menyebabkan inflamasi transmural dan kadangkadang terkait dengan
granuloma, sedangkan di UC biasanya inflamasi terbatas pada mukosa
dan submukosa. 9
c. Faktor resiko
Faktor-faktor pencetus yang memungkinkan terjadinya aktivasi
respon imun pada IBD adalah organisme patogenik (yang belum dapat
diidentifikasi), respon imun terhadap antigen intraluminal (contohnya
protein dari susu sapi), atau suatu proses autoimun dimana ada respon
imun yang appropriate terhadap antigen intraluminal, adapula respon yang
inappropriate pada antigen yang mirip yang terjadi pada sel epitel
intestinal (contohnya perubahan fungsi barrier). Menurut studi prospektif
E3N, ditemukan bahwa makan makanan dengan protein hewani yang
tinggi (daging atau ikan) berhubungan dengan meningkatnya resiko
terjadi IBD. 9
d. Patofisiologi
Jalur akhir umum daripada patofisiologi IBD adalah inflamasi pada
mukosa traktus intestinal menyebabkan ulserasi, edema, perdarahan,
kemudian hilangnya air dan elektrolit.9
Banyak mediator inflamasi yang telah diidentifikasi pada IBD,
dimana mediatormediator ini memiliki peranan penting pada patologi dan
karakteristik klinik penyakit ini. Sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag
karena respon daripada berbagai rangsangan antigenik, berikatan dengan
reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan efekefek
autokrin, parakrin, dan en
dokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit menjadi
berbagai tipe sel T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD,
sedangkan TH-2 berhubungan dengan UC. Respon imun inilah yang akan
merusak mukosa intestinal dan menyebab proses inflamasi yang kronis.9
Ulcerative Colitis (UC)
Pada UC, inflamasi dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon
bagian proksimal, dengan cepat melibatkan hampir seluruh bagian dari
usus besar. Rektum selalu terkena pada UC, dan tidak ada “skip area”
(area normal pada usus yang diselang-selingi oleh area yang terkena
penyakit), dimana skip area ini didapatkan pada CD. 9
25% dari kasus UC perluasannya hanya sampai rektum saja dan
sisanya, biasanya menyebar ke proksimal dan sekitarnya. Pancolitis
terjadi pada 10% dari kasus-kasus yang ada. Usus halus tidak pernah
terlibat kecuali jika bagian akhir distal daripada ileum mengalami
inflamasi superfisial, maka dapat disebut dengan backwash ileitis.
Walaupun keterlibatan total dari kolon lebih sedikit, penyakit ini
menyerang serentak dan berkesinambungan. Jika UC menjadi kronik,
maka kolon akan menjadi kaku (rigid), memiliki sedikit haustral marking,
yang menyebabkan gambaran pipa yang lebam/hitam pada barium enema.
9

Crohn Disease (CD)


CD dapat melibatkan bagian manapun daripada saluran
pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan menyebabkan tiga pola
penyakit yaitu penyakit inflamasi, striktur, dan fistula. Penyakit ini
melibatkan segmen-segmen oleh karena proses inflamasi granuloma
nonspesifik. Tanda patologi yang paling penting dari CD adalah
transmural, melibatkan seluruh lapisan daripada usus, tidak hanya mukosa
dan submukosa, dimana jika mukosa dan submukosa saja merupakan cirri
daripada UC. Selain itu, CD tidak berkesinambungan, dan memiliki skip
area antara satu atau lebih dari area yang terkena penyakit. 9
Jika penyakit ini berlanjut, mukosa akan tampak seperti batu bulat
(cobblestone) oleh karena ulserasi yang dalam dan longitudinal pada
mukosa yang normal. Tiga pola mayor dari keterlibatan terhadap CD
adalah penyakit pada ileum dan ceccum (40%), penyakit terbatas pada
usus halus (30%) dan terbatas pada kolon (25%). Rectal sparing khas
terjadi pada CD, tetapi tidak selalu terjadi. Namun, komplikasi anorektal
seperti fistula 7 dan abses sering terjadi. Walaupun jarang terjadi, CD
dapat melibatkan bagian saluran pencernaan yang lebih proksimal, seperti
mulut, lidah, esofagus, lambung dan duodenum. 9
e. Manifestasi klinis
Manifestasi IBD umumnya tergantung pada area mana yang
terlibat di saluran pencernaan. Pasien-pasien dengan IBD dapat pula
mengalami Irritable Bowel Syndrome (IBS), dimana akan terjadi kram
perut, kebiasaan buang air besar yang tidak teratur, dan keluarnya mukus
tanpa darah atau pus.9
Gejala sistemik yang dapat terjadi adalah demam, berkeringat,
merasa lemas, dan nyeri sendi. Demam ringan merupakan tanda pertama
yang harus diwaspadai, kemudian pasien dapat merasa kelelahan yang
berhubungan dengan nyeri, inflamasi, dan anemia. Rekurensi dapat terjadi
oleh karena faktor stres emosional, infeksi atau berbagai penyakit akut
lainnya, kehamilan, penyimpangan pola makan, penggunaan cathartic
atau antibiotik, ataupun penghentian penggunaan obat-obatan
antiinflamasi atau steroid. Pada anak-anak dapat terjadi keterlambatan
tumbuh dan maturasi seksualnya tertunda atau gagal. Pada 10- 8 20%
kasus terdapat manifestasi ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, dan
penyakit liver. 9
Berak berdarah, terkadang dengan tenesmus, khas terjadi pada UC,
namun pada CD kadang-kadang juga dapat terjadi. Sebagian besar pasien
dengan CD dapat mengalami penyakit perianal seperti fistula dan abses,
kadang-kadang dapat juga mengalami nyeri perut kanan bawah akut dan
demam, mirip apendisitis dan obstruksi intestinal. Tidak jarang pasien
didiagnosa dengan IBS sebelum terdiagnosa IBD. 9
Kehilangan berat badan lebih sering terjadi pada CD daripada UC
karena terjadinya malabsorpsi yang berhubungan dengan penyakit pada
usus halus. Pasien bisa tidak mau makan karena ingin mengurangi gejala
yang terjadi. Biasanya, diagnosis dapat ditegakkan hanya setelah beberapa
tahun mengalami nyeri perut berulang, demam, dan diare. 9
f. Penegakan diagnosis
1) Anamnesis
Diagnosis IBD ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, temuan patologi, radiologi, dan endoskopi. Anamnesis
dilakukan dengan menjabarkan keluhan pasien (keluhan dijabarkan
pada manifestasi klinis) secara detail, sehingga keluhan pasien dapat
dibedakan dengan Irritable Bowel Syndrome (IBS). Faktor-faktor
pencetus juga perlu digali pada anamnesis. Pemeriksaan fisik meliputi
pemeriksaan fisik secara general dengan tandatanda vital,
pemeriksaan fisik abdomen dan rectal toucher. 9
2) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, demam, takikardi, dan dehidrasi dapat
terjadi pada pasien dengan IBD. Pasien dapat tampak pucat,
merupakan tanda anemia. Faktor-faktor inilah yang menjadi patokan
untuk menentukan keparahan dari penyakit. 9
Nyeri tekan pada abdomen dapat terjadi sebagai tanda dari
peritonitis lokal. Pasien dengan megakolon toksik tampak terlihat
sepsis, yang ditandai dengan demam tinggi, letargi, menggigil,
takikardi, meningkatnya nyeri pada abdomen, dan distensi
abdomen.Pasien dengan CD mungkin dapat ditemukan massa pada
kuadran perut kanan bawah. Komplikasi (seperti fisura atau fistula
perianal, abses, dan prolaps rektum) dapat ditemukan sampai pada
90% pasien dengan CD, dan tanda-tanda yang biasa terjadi adalah
kehilangan darah yang tidak biasanya, demam ringan, kehilangan
berat badan, dan anemia. 9
Pemeriksaan rektum sering ditemukan berak darah pada
pemeriksaan makroskop atau hemoccult. Pemeriksaan fisik juga
sebaiknya dilakukan untuk mencari manifestasi ekstraintestinal seperti
iritis, episcleritis, arthritis, dan keterlibatan dermatologi. 9
3) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan feses
Sebelum membuat diagnosis definitif IBD idiopatik,
lakukan kultur feses untuk mengevaluasi adanya leukosit, ova,
maupun parasit, kemudian kultur bakteri patogen, dan titer
Clostridium difficile. Minimal pemeriksaan untuk toksin C
difficile dilakukan pada pasien dengan colitis yang meluas.
Amebiasis biasanya susah diidentifikasi dengan pemeriksaan
feses, lebih baik dengan pemeriksaan serologi. 9
b) Pemeriksaan Darah Lengkap
Komponen darah lengkap yang diperiksa berguna sebagai
indikator aktivitas daripada penyakit dan adanya defisiensi vitamin
maupun zat besi. Peningkatan jumlah sel darah putih umum pada
pasien dengan penyakit inflamasi yang aktif, dan bukan selalu
mengindikasikan terjadinya infeksi. 9
c) Pemeriksaan Histologi
Kebanyakan perubahan mukosa yang terlihat pada pasien
IBD sifatnya nonspesifik, karena dapat terlihat pada sistem organ
manapun yang terjadi proses inflamasi aktif. 9
d) Pemeriksaan Serologi
Perinuclear antineutrophyl cytoplasmic antibodies
(pANCA) dapat ditemukan pada beberapa pasien dengan UC, dan
anti-Saccharomyces cerevisiae antibodies (ASCA) dapat
ditemukan pada pasien CD. Kemudian, pada pasien dengan
seronegatif terlihat memiliki 12 insiden yang lebih rendah untuk
mengidap penyakit yang resisten. Namun saat ini, markermarker
tersebut sudah tidak cukup sensitive lagi untuk digunakan sebagai
screening test untuk IBD dan menegakkan diagnosis berdasarkan
pemeriksaan serologi saja tidak dibenarkan. 9
e) Pemeriksaan Radiologi
- Upright Chest dan Serial Abdomen
Modalitas ini dilakukan untuk melihat ada tidaknya tanda
obstruksi, evaluasi colon yang edema dan ireguler, kadang
terlihat pneumatosis coli (udara pada dinding kolon), dan
tanda megakolon toksik. Megakolon toksik merupakan
komplikasi UC yang mengancam nyawa dan memerlukan
tindakan operasi darurat, dan kelainan ini dominan terjadi pada
kolon transversum.9
- Barium Enema
Teknik pencitraan berikut salah satu dari studi pertama
untuk melihat karakteristik tipikal daripada IBD. Temuan
normal pada barium enema biasanya dapat mengeksklusi UC
yang aktif, sedangkan temuan yang abnormal dapat menjadi
temuan yang diagnostic. 9
f) Colonoscopy
Colonoscopy merupakan modalitas yang paling bernilai
untuk diagnosis dan penatalaksanaan IBD, walaupun ada beberapa
batasannya. Yang terpenting, tidak semua inflamasi mukosa
merupakan IBD idiopatik. Infeksi juga dapat menyebabkan
inflamasi, begitu juga diverticulitis dan iskemia (jauh lebih sering
didiagnosa pada orang lanjut usia daripada IBD, walaupun
memiliki gambaran colonoscopy dan histologi yang mirip). 9
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita IBD berupa medikamentosa atau
pembedahan, atau kombinasi keduanya.
1) Medikamentosa
a) 5-Aminosalisilat. Dosis: 50-100 mg/kgBB/ hari
b) Antibiotika
PC: Metronidazol.Dosis: 10-20 mg/kg/ hari
KU: Antibiotika digunakan sangat terbatas karena meningkatnya
risiko kejadian kolitis pseudomembran yang berhubungan dengan
antibiotika
c) Kortikosteroid
PC: Metilprednisolon dengan dosis 2 mg/kgBB setiap 12 jam atau
Hidrokortison 100 mg setiap 8 jam
PC: Prednison dengan dosis 40-60 mg/hari peroral dan diturunkan
secara bertahap (5 mg per minggu) setelah gejala terkontrol
d) Immune modifiers
Immune modifiers yang dipakai adalah 6-MP dan Azathioprine.
Dosis 6-MP atau Azathioprin adalah 1-2 mg/kg/hari
e) Anti TNF-alpha
Anti-TNF-alpha monoclonal antibody yang diberikan adalah
Infliximab yang diberikan melalui infus dengan dosis 5
mg/kg/kali, diberikan tiga kali yakni pada awal pengobatan,
minggu ke-2, dan minggu ke-6. Dosis pemeliharaan diberikan
setiap 8 minggu
f) Obat-obatan simptomatik
Obat-obatan simptomatik yang diberikan adalah antagonis
histamine 2 reseptor, anti diare, dan antispasmodik
g) Obat-obat dalam tahap percobaan
PC: Metotreksat dengan dosis 12,5-25 mg/minggu peroral atau
intramuskuler, Thalidomid dengan dosis 50-300 mg/hari peroral,
dan interleukin 11 dengan dosis 1 mg/minggu secara subkutan
KU: Siklosporin dengan dosis 2-4 mg/kg/hari secara intravena
(untuk dosis oral diberikan 2-3 kali dosis intravena), nicotine
patch dengan dosis 14-21 mg/hari melalui topical patch, enema
butirat dengan dosis 100 ml per rektum dua kali sehari, dan
heparin dengan dosis 10.000 μ secara subkutan dua kali sehari
h) Terapi nutrisi. Intervensi nutrisi harus dimulai sebelum pubertas,
baik pada penyakit aktif atau saat remisi untuk mengoreksi defisit
energi dan memaksimalkan pertumbuhan
i) Terapi probiotik. Pemberian probiotik biasanya dikombinasikan
dengan obat lain yang berguna untuk meningkatkan stabilisasi dan
regenerasi mukosa usus akibat inflamasi. 9
2) Pembedahan
PC: Pembedahan dilakukan untuk mengatasi beberapa komplikasi
pada PC misalnya striktura, fistula, dan perdarahan
KU: Indikasi pembedahan adalah inflamasi yang sulit dikontrol,
perubahan dini ke arah keganasan, striktura, dan adanya efek samping
penggunaan obat-obatan. 9
13. Hemorrhoid
a. Definisi
Hemoroid atau lebih dikenal dengan nama wasir atau ambeien,
bukan merupakan suatu keadaan yang patologis, namun bila sudah mulai
menimbulkan keluhan harus segera dilakukan tindakan untuk
mengatasinya. Hemoroid berasal dari kata ''haima'' dan ''rheo'', yang
dalam medis berarti pelebaran pembuluh darah. 10
b. Etiologi
Hemoroid disebabkan oleh obstipasi yang menahun dan uterus
gravidus. Selain itu terjadi bendungan sentral seperti bendungan susunan
portal pada cirrhosis hati, herediter atau penyakit jantung kongestif,
pembesaran prostat, atau tumor rectum. 10
c. Klasifikasi
Hemoroid eksterna adalah terjadinya varises pada pleksus
hemorodialis inferior di bawah linea dentate dan tertutup oleh kulit.
Hemoroid ini diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Bentuk akut
berupa pembengkakan bulat kebiruan pada tepi anus dan sebenarnya
merupakan hematoma. Walaupun disebut hemoroid trombosis eksterna
akut, bentuk ini sangat nyeri dan gatal karena ujung-ujung syaraf pada
kulit merupakan reseptor nyeri. Hemoroid eksterna kronik berupa satu
atau lebih lipatan kulit anus yang terdiri dari jaringan dan sedikit
pembuluh darah.10
Hemoroid interna adalah pembengkakan vena pada pleksus
hemoroidalis superior, di atas linea dentate dan tertutup oleh mukosa.
Terdapat empat derajat hemoroid interna, yaitu:
1) Derajat I, terjadi varises tetapi belum ada benjolan saat defekasi.
Dapat diketahui dengan adanya perdarahan melalui signiodoskopi
2) Derajat II, ada perdarahan dan prolaps jaringan di luar anus saat
mengejan selama defekasi tetapi dapat kembali secara spontan
3) Derajat III, sama dengan derajat II, hanya saja prolaps tidak dapat
kembali secara spontan, harus didorong (manual)
4) Derajat IV, prolaps tidak dapat direduksi atau inkarserasi. Benjolan
dapat terjepit di luar, dapat mengalami iritasi, inflamasi, oedem dan
ulserasi. 10
d. Patofisiologi
Patofisiologi yang tepat dari hemoroid kurang dipahami. Selama
bertahun-tahun pada teori varises, bahwa wasir disebabkan oleh varises di
anus. Tapi sekarang, wasir dan varises anorektal terbukti ad8alah entitas
yang berbeda. Bahkan, pasien dengan hipertensi portal dan varises tidak
memiliki peningkatan insiden wasir. Hari ini, teori pergeseran dinding
saluran anal diterima secara luas. Hal ini mengusulkan bahwa wasir
berkembang ketika jaringan pendukung bantal anal hancur atau
memburuk. Ada tiga bantalan besar pada anal, terletak di anterior kanan,
posterior kanan dan sebelah lateral kiri dari lubang anus, dan berbagai
jumlah bantalan kecil yang terletak di antara keduanya. Perubahan ini
meliputi dilatasi vena yang abnormal, trombosis pembuluh darah, proses
degeneratif pada serat kolagen dan jaringan fibroelastik, distorsi dan
pecahnya otot subepitel anal. Selain temuan di atas, reaksi inflamasi yang
melibatkan dinding pembuluh darah dan jaringan ikat sekitarnya telah
dibuktikan dalam spesimen hemoroid, dengan terkait ulserasi mukosa,
iskemia dan thrombosis.10
e. Manifestasi kllinis
Umumnya perdarahan merupakan tanda pertama dari hemoroid
interna akibat trauma oleh feses yang keras. Darah yang keluar berwarna
merah segar dan tidak tercampur dengan feses, dapat hanya berupa garis
pada feses atau kertas pembersih sampai pada perdarahan yang terlihat
menetes atau mewarnai air toilet menjadi merah. Hemoroid yang
membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol keluar
menyebabkan prolaps. Pada tahap awal, penonjolan ini hanya terjadi pada
waktu defekasi dan disusul reduksi spontan setelah defekasi. Pada
stadium yang lebih lanjut, hemoroid interna ini perlu didorong kembali
setelah defekasi agar masuk kembali ke dalam anus. Pada akhirnya
hemoroid dapat berlanjut menjadi bentuk yang mengalami prolaps
menetap dan tidak bisa didorong masuk lagi. 10
f. Penegakan diagnosis
1) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan perut,
pemeriksaan perineum, pemeriksaan colok dubur, dan anoskopi.
Pemeriksaan colok dubur saja tidak bisa mendiagnosa atau
mengecualikan hemoroid interna, jadi diperlukan anoskopi. Pada
anoskopi, wasir internal yang muncul sebagai melebarnya pembuluh
darah biru keunguan, dan wasir internal yang prolaps muncul
berwarna merah muda gelap, berkilau, dan massa kadang-kadang
lembut pada margin anal. Hemoroid eksternal tampak berwarna merah
muda dengan konsistensi lembut. Beberapa ahli merekomendasikan
kolonoskopi untuk semua pasien yang berusia lebih dari 40 tahun
yang memiliki gejala hemoroid dan perdarahan. 10
The American Society of Colon and Rectal Surgeons
merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan fisik dengan
anoskopi, menelusuri riwayat penyakit dan evaluasi endoskopi lebih
lanjut jika ada kekhawatiran untuk penyakit radang usus atau kanker.10
2) Pemeriksaan penunjang
Anal canal dan rektum diperiksa dengan menggunakan anoskopi
dan sigmoidoskopi. Anoskopi dilakukan untuk menilai mukosa rektal
dan mengevaluasi tingkat pembesaran hemoroid (Halverson, 2007).
Side-viewing pada anoskopi merupakan instrumen yang optimal dan
tepat untuk mengevaluasi hemoroid. Allonso-Coello dan Castillejo
(2003) dalam Kaidar-Person, Person, dan Wexner (2007) menyatakan
bahwa ketika dibandingkan dengan sigmodoskopi fleksibel, anoskopi
mendeteksi dengan presentasi lebih tinggi terhad8p lesi di daerah
anorektal. 10
Gejala hemoroid biasanya bersamaan dengan inflamasi pada anal
canal dengan derajat berbeda. Dengan menggunakan sigmoidoskopi,
anus dan rektum dapat dievaluasi untuk kondisi lain sebagai diagnosa
banding untuk perdarahan rektal dan rasa tak nyaman seperti pada
fisura anal dan fistula, kolitis, polip rektal, dan kanker. Pemeriksaan
dengan menggunakan barium enema X-ray atau kolonoskopi harus
dilakukan pada pasien dengan umur di atas 50 tahun dan pada pasien
dengan perdarahan menetap setelah dilakukan pengobatan terhadap
hemoroid. 10
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hemoroid pada umumnya meliputi modifikasi
gaya hidup, perbaikan pola makan dan minum dan perbaikan cara
defekasi. Diet seperti minum 30–40 ml/kgBB/hari dan makanan tinggi
serat 20-30 g/hari. Perbaikan pola defekasi dapat dilakukan dengan
berubah ke jongkok pada saat defekasi. Penanganan lain seperti
melakukan warm sits baths dengan merendam area rektal pada air hangat
selama 10- 15 menit 2-3 kali sehari. 10
Penatalaksanaan farmakologi untuk hemoroid adalah.10
1) Obat-obatan yang dapat memperbaiki defekasi. Serat bersifat laksatif
memperbesar volume tinja dan meningkatkan peristaltik
2) Obat simptomatik yang mengurangi keluhan rasa gatal dan nyeri.
Bentuk suppositoria untuk hemoroid interna dan ointment untuk
hemoroid eksterna
3) Obat untuk menghentikan perdarahan campuran diosmin dan
hesperidin
4) Obat analgesik dan pelembut tinja mungkin bermanfaat. Terapi
topikal dengan nifedipine dan krim lidokain lebih efektif untuk
menghilangkan rasa sakit daripada lidokain (Xylocaine). Pada pasien
hemoroid eksternal berat, pengobatan dengan eksisi atau insisi dan
evakuasi dari trombus dalam waktu 72 jam dari onset gejala lebih
efektif daripada pengobatan konservatif. 10

Penatalaksanaan invasif dilakukan bila manajemen konservatif


mengalami kegagalan, antara lain:
1) Rubber band ligation merupakan prosedur dengan menempatkan karet
pengikat di sekitar jaringan hemoroid interna sehingga mengurangi
aliran darah ke jaringan tersebut menyebabkan hemoroid nekrosis,
degenerasi, dan ablasi
2) Laser, inframerah, atau koagulasi bipolar menggunakan laser atau
sinar inframerah atau panas untuk menghancurkan hemoroid interna
3) Penatalaksanaan bedah dengan tindakan hemoroidektomi. 10
Daftar Pustaka

1. Netiana, Juniati HS. Varises esofagus. Surabaya : FK Unair. Hlm 1-18


2. Tangan CR, Pratomo B. Analisis faktor risiko gastroesofageal refluks, vol 06,
no 02. Malang : FK Brawijaya ; 2019. Hlm 76-81
3. Budhiarta FMD. Penatalaksanaan dan edukasi pasien sirosis hepatis, vol 08,
no 09. Denpasar : FK Udayana ; 2017. Hlm 19-23
4. Setiati S, Alwi I, Sudoyo WA, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi
VI. Jakarta : Interna Publishing ; 2014.
5. Santika YN,Desnita R, Yuswar AM. Evaluasi penggunaan obat tukak peptik
pada pasien tukak peptik, vol 15, no 01. Pontianak : Universitas tanjungpura
pontianak ; 2018. Hlm 1-15
6. Tussakinah W, Masrul, Burhan RI. Hubungan pola makan dan tingkat stres
terhadap kekambuhan gastritis. Padang, vol 07, no 02 : FK Unand ; 2018.
Hlm 217-25
7. Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor 15 tahun 2017
tentang penanggulangan cacingan. Jakarta; 2017. Hlm 22-33
8. Fithriyana R. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dispepsia, vol
02, no, 02. Riau : Universitas pahlawan tuanku tambusai ; 2018. Hlm 43-54
9. Danastri MAG, Putra DBI. Inflammatory bowel disease. FK Udayanana. Hlm
1-29
10. Sudarsono FD. Diagnosis dan penanganan hemoroid, vol 04, no 06. Lampung
: FK Unila ; 2015. Hlm 31-4.

Anda mungkin juga menyukai