SKENARIO III
NPM : 118170138
KELOMPOK : 6B
BLOK : 4.2
FAKULTAS KEDOKTERAN
CIREBON
2020
Skenario III
Step I
Step II
Nyeri perut
- GERD
- Taeniasis
- Sirosis hepar
Muntah darah - Ascariasis
- Mallory weiss tear
- Varises - Disentri basiler
- Ulcus pepticum
esofagus - Disentri amoeba
- Gastritis
- Dispepsia
- IBD
- Hemoroid
Step III
1. Varises esofagus
a. Definisi
Varises esofagus adalah terjadinya distensi vena submukosa yang
diproyeksikan ke dalam lumen esofagus pada pasien dengan hipertensi
portal. Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan aliran darah portal
lebih dari 10 mmHg yang menetap, sedangkan tekanan dalam keadaan
normal sekitar 5 –10 mmHg. Hipertensi portal paling sering disebabkan
oleh sirosis hati. Sekitar 50% pasien dengan sirosis hati akan terbentuk
varises esofagus, dan sepertiga pasien dengan varises akan terjadi
perdarahan yang serius dari varisesnya dalam hidupnya.
b. Etiologi
Etiologi terjadinya varises esofagus dan hipertensi portal adalah penyakit-
penyakit yang dapat mempengaruhi aliran darah portal. Etiologi ini dapat
diklasifikasikan sebagai prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik (Tabel
3.1).3
Tabel 3.1. Etiologi
c. Faktor risiko
Faktor predisposisi dan pemicu perdarahan varises masih belum
sepenuhnya jelas. Dugaan bahwa esofagitis dapat memicu perdarahan
varises telah ditinggalkan. Faktor-faktor penting yang bertanggung jawab
atas terjadinya perdarahan varises adalah, tekanan portal, ukuran varises,
dinding varises dan tegangannya, dan tingkat keparahan penyakit hati.
d. Klasifikasi ukuran varises
Ukuran varises paling baik dinilai menggunakan endoskopi.
Banyak studi yangtelah memperlihatkan bahwa risiko perdarahan varises
meningkat sesuai dengan ukuran varises
Tabel 3.1. Klasifikasi Pembagian Besarnya Varises Esofagus1
e. Patofisiologi
Sirosis merupakan fase akhir dari penyakit hati kronis yang paling
sering menimbulkan hipertensi portal (Gambar 3). Tekanan vena porta
merupakan hasil dari tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran darah pada
portal bed. Pada sirosis, tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran porta
keduanya sama-sama meningkat.1
Bila ada obstruksi aliran darah vena porta, apapun penyebabnya,
akan mengakibatkan naiknya tekanan vena porta. Tekanan vena porta
yang tinggi merupakan penyebab dari terbentuknya kolateral
portosistemik, meskipun faktor lain seperti angiogenesis yang aktif dapat
juga menjadi penyebab. Walaupun demikian, adanya kolateral ini tidak
dapat menurunkan hipertensi portal karena adanya tahanan yang tinggi
dan peningkatan aliran vena porta. Kolateral portosistemik ini dibentuk
oleh pembukaan dan dilatasi saluran vaskuler yang menghubungkan
sistem vena porta dan vena kava superior dan inferior. Aliran kolateral
melalui pleksus vena-vena esofagus menyebabkan pembentukan varises
esofagus yang menghubungkan aliran darah antara vena porta dan vena
kava.1
Pleksus vena esofagus menerima darah dari vena gastrika sinistra,
cabang-cabang vena esofagus, vena gastrika short/brevis (melalui vena
splenika), dan akan mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos.
Sedangkan vena gastrika sinistra menerima aliran darah dari vena porta
yang terhambat masuk ke hepar.1
Sistem vena porta tidak mempunyai katup, sehingga tahanan pada
setiap level antara sisi kanan jantung dan pembuluh darah splenika akan
menimbulkan aliran darah yang retrograde dan transmisi tekanan yang
meningkat. Anastomosis yang menghubungkan vena porta dengan
sirkulasi sistemik dapat membesar agar aliran darah dapat menghindari
(bypass) tempat yang obstruksi sehingga dapat secara langsung masuk
dalam sirkulasi sistemik.1
Hipertensi portal paling baik diukur secara tidak langsung dengan
menggunakan wedge hepatic venous pressure (WHVP). Perbedaan
tekanan antara sirkulasi porta dan sistemik (hepatic venous pressure
gradient, HVPG) sebesar 10–12 mmHg diperlukan untuk terbentuknya
varises. HVPG yang normal adalah sekitar 5–10 mmHg. Pengukuran
tunggal berguna untuk menentukan prognosis dari sirosis yang
kompensata maupun yang tidak kompensata, sedangkan pengukuran
ulang berguna untuk memonitoring respon terapi obat-obatan dan
progresifitas penyakit hati.1
Bila tekanan pada dinding vaskuler sangat tinggi dapat terjadi
pecahnya varises. Kemungkinan pecahnya varises dan terjadinya
perdarahan akan meningkat sebanding dengan meningkatnya ukuran atau
diameter varises dan meningkatnya tekanan varises, yang juga sebanding
dengan HVPG. Sebaliknya, tidak terjadi perdarahan varises jika HVPG di
bawah 12 mmHg. Risiko perdarahan ulang menurun secara bermakna
dengan adanya penurunan dari HVPG lebih dari 20% dari baseline.
Pasien dengan penurunan HVPG sampai <12 mmHg, atau paling sedikit
20% dari baseline, mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk
terjadi perdarahan varises berulang, dan juga mempunyai risiko yang
lebih rendah untuk terjadi asites, peritonitis bakterial dan kematian.1
Beberapa penelitian menunjukkan peranan endotelin-1 (ET-1) dan
nitric oxide (NO) pada patogenesis hipertensi porta dan varises esofagus.
Endotelin-1 adalah vasokonstriksi kuat yang disintesis oleh sel endotel
sinusoid yang diimplikasikan dalam peningkatan tahanan vaskuler hepatik
pada sirosis dan fibrosis hati. Nitric oxide adalah vasodilator, yang juga
disintesis oleh sel endotelial sinusoid. Pada sirosis hati, produksi NO
menurun, aktivitas endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dan produksi
nitrit oleh sel endotelial sinusiod berkurang.1
f. Manifestasi klinis
Varises esofagus merupakan salah satu komplikasi terbanyak pada
sirosis hepatis. Varises esofagus biasanya baru memberikan gejala apabila
varises sudah pecah dengan timbulnya hematemesis atau melena.
Semakin tinggi derajat varises esofagus maka semakin tinggi juga
kemungkinan untuk terjadinya perdarahan, sehingga akan lebih banyak
penderita yang ditemukan dengan varises esofagus stadium berat.1
g. Penegakan diagnosis
1) Pemeriksan fisik
Manifestasi gagal hepatoselulerdiantaranya Ikterus, suatu
keadaan dimana plasma, kulit dan selaput lendir menjadi kuning yang
disebabkan kegagalan sel hati membuang bilirubin dari darah.
Keadaan ini mudah dilihat pada sklera. Spider nevi, terlihat pada kulit
khususnya sekitar leher , bahu dan dada. Merupakan pelebaran
arteriol-arteriol bawah kulit yang berbentuk titik merah yang agak
menonjol dari permukaan kulit dengan beberapa garis radier yang
merupakan kaki- kakinya sepanjang 2-3 mm dengan bentuk seperti
laba-laba. Bila pusatya ditekan, maka kaki-kakinya akan ikut
menghilang. Spider nevi merupakan salah satu tanda
hiperestrogenisme akibat menurunnya kemampuan sel hati mengubah
estrogen dan derivatnya.1
Eritema palmaris, ditemukan pada ujung-ujung jari tangan
serta telapak tangan daerah tenar dan hipotenar. Merupakan tanda
hiperestrogenisme dengan dasar yang sama seperti spider nevi.
Kelainan lain akibat hiperestrogenisme antara lain ginekomasti,
alopesia daerah pektoralis, aksila dan pubis serta dapat terjadi atropi
testis pada lakilaki. Sedangkan pada wanita berupa mengurangnya
menstruasi hingga amenore. Ensefalopati hepatikum hingga koma
hepatikum. Merupakan gangguan neurologi berupa penurunan
kesadaran diduga akibat kelainan metabolisme amonia dan
peningkatan kepekaan otak terhadap toksin.1
2) Pemeriksaan penunjang
Untuk diagnosis perdarahan akut akibat gastropati hipertensi
portal (GHP), dibutuhkan pembuktian secara endoskopik adanya lesi
yang berdarah aktif.Bila ditemukan varises esophagus atau lambung,
endoskopi dapat diulang dalam waktu 12-24 jam.1
Pada pasien dengan perdarahan menetap atau perdarahan
berulang meskipun telah diterapi endoskopi dan medikal,
dipertimbangkan untuk terapi invasif transjugular intrahepatic
portosystemic shunt (TIPS). Tindakan ini efektif menurunkan
perdarahan berulang dari pada terapi endoskopi meskipun ensefalopati
hepatik lebih sering muncul.1
h. Penatalaksanaan
Perdarahan varises esofagus ( hematemesis , hematemesis dengan
melena atau melena saja ). Pasien dirawat di rumah sakit sebagai kasus
perdarahan saluran cerna atas.Pertama dilakukan pemasangan NGT tube
untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari saluran cerna,
disamping melakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah dan
untuk mengetahui apakah perdarahan sudah berhenti atau belum.1
Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik di bawah 100 mmHg,
nadi di atas 100x/ menit atau Hb di bawah 9 g% dilakukan pemberian
IVFD dekstrosa atau salin dan tranfusi darah secukupnya. Diberikan
vasopresin 2 amp 0,1 g dalam 500 cc cairan D 5% atau salin. Untuk
mencegah rebleeding dopat diberikan cbat penyekat reseptor beta (beta
bloker) secara oral dalam dosis yang dapat menurunkan denyut nadi
sampai 25%.1
i. Komplikasi
Komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal dengan manifestasi
seperti eritema palmaris, spider nevi, vena kolateral pada dinding perut,
ikterus, edema pretibial dan ascites.Ikterus dengan air kencing berwarna
seperti air teh pekat mungkin akibat penyakit yang berlanjut atau kearah
keganasan.Sebagian pasien datang dengan gejala hematemesis,
hematemesis dan melena, atau melena saja akibat pendarahan varises
esophagus.Pada pemeriksaan lab dijumpai Hb rendah, lekosit dan
trombosit yang rendah, SGOT dan SGPT meningkat, bilirubin total
meninggi, protein total merendah , albumin menurun dan globulin
meninggi, masa protrombin memanjang.Pemeriksaan penunjang lainnya
yang diperlukan antara lain biopsi hati, USG abdomen,esofagoskopi,
sidikan hati dan pemeriksaan cairan asites.1
Pemeriksaan diagnostik
a) Radiologi
Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi
hipertensi portal
b) Esofagoskopi
Dapat menunjukkan adanya varises esofagus
c) USG
d) Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta
e) Skan/ biopsi hati
Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
f) Partografi transhepatik perkutaneus
Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.3
f. Penatalaksanaan
1) Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan
kontrol yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori
tinggi protein, lemak secukupnya
2) Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti :
a) Alkohol dan obat-obatan dianjurkan menghentikan
penggunaannya. Alkohol akan mengurangi pemasukan protein
ke dalam tubuh. Dengan diet tinggi kalori (300 kalori),
kandungan protein makanan sekitar 70-90 gr sehari untuk
menghambat perkembangan kolagenik dapat dicoba dengan
pemberian D penicilamine dan Cochicine.
b) Hemokromatis
c) Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi/ terapi
kelasi (desferioxamine). Dilakukan vena seksi 2x seminggu
sebanyak 500cc selama setahun.
d) Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid
3) Terapi terhadap komplikasi yang timbul
a) Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan
obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton
dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa
dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/ hari, tanpa
adanya edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki.
Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa
dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/ hari.
Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada
respons, maksimal dosisnya 160 mg/ hari. Parasentesis dilakukan
bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter
dan dilindungi dengan pemberian albumin.
b) Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan
melena atau melena saja)
- Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk
mengetahui apakah perdarahan sudah berhenti atau masih
berlangsung.
- Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100
mmHg, nadi diatas 100 x/menit atau Hb dibawah 99%
dilakukan pemberian IVFD dengan pemberian dextrose/ salin
dan tranfusi darah secukupnya.
- Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau
normal salin pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali.
c) Ensefalopati
- Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL
pada hipokalemia
- Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi
diet sesuai
- Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami
perdarahan pada varises
- Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan
infeksi sistemik
- Transplantasi hati
- Peritonitis bakterial spontan Diberikan antibiotik pilihan
seperti cefotaksim, amoxicillin, aminoglikosida
- Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatik Mengatur
keseimbangan cairan dan garam.3
5. Ulcus pepticum
a. Definisi
Ulkus peptikum merupakan suatu keadaan terputusnya kontinuitas
mukosa yang meluas di bawah epitel atau kerusakan pada jaringan
mukosa, submukosa hingga lapisan otot dari suatu daerah saluran cerna
yang langsung berhubungan dengan cairan lambung asam/pepsin.5
b. Etiologi
Tabel 1.1 memperlihatkan Odds relatit (odds ratio. OB./ LlntLrk faktor
genetika dan lingkungan yang dilaporkan menimbulkan dampak atas
ulserasi peptikum. Perlu ditekankan bahwa hampir tidak mungkin untuk
menentukan kuantitas stres lingkungan, yang tidak hanya tergantung
kepada dampak dari faktor itu sendiri mau plrn rerhadap interpreiasi
individu yanq menqalamr stres tersebut. 5
Tabal 1.1. Odds relatif (odds ratio) untuk faktor genetika dan lingkungan
ulkur peptikum. 4
6. Gastritis
a. Definisi
Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan
submukosa misal makan-makanan yang pedas atau minum soda. 6
b. Faktor resiko
- Pola makan yang tidak baik : terlambat, jenis makanan pedas, porsi
besar.
- Sering minum kopi dan teh.
- Infeksi bakteri atau parasit
- Penggunaan obat analgetik dan steroid.
- Usia lanjut
- Alkoholism
- Stress
- Penyakit lain : refluks empedu, HIV/AIDS, Chron disease. 6
c. Anamnesis
Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas seperti
terbakar pada perut bagian atas. Keluhan mereda atau memburuk bila
diikuti dengan makan. Ada keluhan mual, muntah, dan kembung. 6
d. Pemeriksaan fisik
PF Patognomonis
- Nyeri tekan epigastrium dan BU meningkat.
- Bila inflamasi berat, bisa terjadi perdarahan saluran cerna berupa
hematemesis dan melena.
- Biasanya pada pasien gastritis kronis, konjungtiva tampak anemis. 6
e. Pemeriksaan penunjang
Tidak perlu, kecuali pada gastritis kronis :
- Darah rutin
- Untuk mengetahu infeksi Helicobacter pylori, pemeriksaan ureabreath
test dan feses.
- Rontgen dan Barium enema
- Endoskopi.6
f. Penegakan diagnosis
- Diagnosis klinis : anamnesis dan PF.
- Diagnosis definitif : pemeriksaan penunjang.
- Diagnosis banding :
1) Kolesistitis
2) Kolelitiasis
3) Chron disease
4) Kanker lambung
5) Gastroenteritis
6) Limfoma
7) Ulkus peptikum
8) Sarkoidosis
9) GERD. 6
g. Komplikasi
- Perdarahan saluran cerna bagian atas
- Ulkus peptikum
- Perforasi lambung
- Anemia. 6
h. Penatalaksanaan kompreensif
- Non farmakologis
Farmakologis : H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150mg/kali, Famotidin 20
mg/kali, simetidin 400-800 mg/kali), PPI 2x/hari (omeprazol 20 mg/kali,
lansoprazol 30 mg/kali), serta antasid 3x 500-1.000 mg/hari.6
- Non farmakologis
Konseling dan edukasi.
menginformasikan agar pasien menghindari pemicu terjadinya kelahan,
antara lain makan tepat waktu, makan sering dengan porsi kecil, dan hindri
makan yang meningkatkan asam lambung atau perut kembung, seperti :
kopi, the, makanan pedas, kol. 6
- Kriteria rujukan
1) Jika 5 hari pengobatan blum sembuh.
2) Terjadi komplikasi
3) Terdapat alarm syndrome. 6
i. Prognosis
Sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, kompilkasi, dan
pengobatannya. Umumnya bonam. Namun dapat terjadi berulang jika pola
hidup tidak dirubah. 6
j. Secara umum dokter akan merujuk jika memenuhi kriteria TACCC
- Time : jika perjalanan penyakit kronis atau melewati golden time
standard.
- Age : jika usia pasien termasuk ke dalam kategori yang dikhawatirkan
meningkatkan risiko komplikasi serta risiko kondisi penyakit lebih
berat.
- Complication : jika komplikasi yang ditemui memperberat kondisi
pasien.
- Comorbidity : jika terdapat keluhan atau gejala penyakit lain yang
memperberat kondisi pasien.
- Condition : jika kondisi fasilitas pelayanan tidak mendukung. 6
k. Perhatikan tanda lain
- Gangguan mental emosi
Contohnya pada kasus remaja putri
- Gangguan jantung
Iskemialah yang memicu gejala mual dan muntah
- Pemeriksaan tes cepat mental dan emosi (selama 2 menit). 6
7. Taeniasis
a. Definisi
Taeniasis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan
tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu
daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Beberapa negara maju
seperti Amerika Serikat, masyarakatnya juga dapat terinfeksi Taenia sp.
akibat perjalanan yang dilakukan di daerah endemis. Semua usia rentan
terhadap infeksi taeniasis. Usia di mana konsumsi daging mentah dimulai
adalah faktor yang menentukan usia infeksi. Taeniasis solium dilaporkan
terjadi pada anak usia 2 tahun di Mexico.7
b. Klasifikasi
1) Kingdom : Animalia
2) Filum : Platyhelminthes
3) Kelas : Cestoda
4) Ordo : Cyclophillidea
5) Famili : Taeniidae
6) Genus : Taenia
7) Spesies : solium/ saginata.7
c. Etiologi
Taenia solium (cacing pita babi) merupakan infeksi cacing
yang distribusinya kosmopolit. Cacing ini menginfeksi baik manusia dan
babi. Manusia biasanya sebagai hospes definitif atau hospes perantara
(CFSPH, 2005), sedangkan babi sebagai hospes perantara. Habitat cacing
yang telah dewasa di dalam usus halus (jejunum bagian atas) manusia,
sedangkan larvanya terdapat di dalam jaringan organ tubuh babi.7
d. Faktor resiko
1) Faktor linkungan
2) Tingkat pendidikan
3) Kebiasaan mencuci tangan dan kebiasaan mandi
4) Penyajian konsumsi daging babi
5) Kebiasaan buang air besar
6) Sumber air minum dan cara memasak air minum.7
e. Patofisiologi
Cacing pita Taenia solium dewasa hidup dalam usus manusia yang
merupakan induk semang definitif. Segmen tubuh Taenia yang telah
matang dan mengadung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau
secara pasif bersama-sama feses manusia. Bila inang definitif manusia
(manusia) maupun inang antara yaitu babi menelan telur maka telur yang
menetas akan mengeluarkan embrio atau onchosphere yang kemudian
menembus dinding usus. Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah
limfe berangsur-angsur berkembang menjadi sistiserkosis yang infekstif
di dalam otot tertentu (Sutrija, F 2005). Otot yang paling sering terserang
sistiserkus yaitu jantung, difragma, lidah, otot pengunyah, daerah
esophagus, leher dan otot anar tulang rusuk.7
f. Penegakan diagnosis
1) Anamnesis
Gejala penderita taeniasis umumnya yaitu berupa rasa tidak
enak pada perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala
dan anemia.
2) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran peningkatan
eosinofil. Sistiserkosis pada otak (neurosistiserkosis) dengan gejala
gangguan motorik, kelainan saraf sensorik maupun gangguan mental
penderita. Sistiserkosis pada bola mata menyebabkan nyeri bola mata,
gangguan pengelihatan dan kebutaan. Sedangkan pada otot jantung
menyebabkan takikardia, sesak napas, sinkop dan gangguan irama
jantung.7
g. Tatalaksana
1) Non farmakologis
a) Pengawasan terhadap penjualan daging babi agar tidak tercemar
oleh larva cacing (sistiserkus).
b) Memasak daging babi di atas suhu 50◦c selama 30 menit untuk
mematikan larva sistiserkus atau menyimpan daging babi pada
c) Suhu 10◦c selama 5 hari
d) Menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak buang air besar di
sembarang tempat (pemakaian jamban keluarga) agar tidak
mencemari tanah dan rumput
e) Menjaga higiene personal dengan rajin mandi, mencuci tanggan
sebelum makan atau mengolah makanan.
f) Memberikan vaksin pada hewan ternakbabi (penggunaan crude
antigen yang berasal dari onkosfer, sistisersi, atau cacing dewasa
Taenia solium).7
2) Farmakologi
pengobatan taeniasis dan sistiserkosis dapat dilakukan
dengan menggunakan praziquantel. Praziquantel dapat membunuh dan
menghacurkan cacing dewasa Taenia solium di saluran pencernaan
usus atau sistisersi pada jaringan parental. Dosis praziquantel 50
mg/kg BB dosis tunggal atau dosis terbagi tiga selama 15 hari efektif
untuk sistiserkosis. Obat pilihan lain adalah albendazole 15 mg/kg
BB/hari dalam dosis tunggal atau terbagi tiga selama 7 hari;
Mebendazole 2 x 200 mg/hari selama 4 hari.7
8. Ascariasis
a) Definisi
Ascariasis adalah infeksi usus kecil yang disebabkan oleh Ascaris
Lumbricoides yang merupakan cacing gelang. Cacing gelang adalah jenis
cacing parasit. Menurut data dari WHO, 10 persen penduduk dari negara
berkembang terinfeksi cacing usus.7
b) Klasifikasi
1) Sub kingdom : Metazoa
2) Filum : Nemathelminthes
3) Kelas : Nematoda
4) Ordo : Ascaridida
5) Famili : Ascaridoidea
6) Genus : Ascaris
7) Spesies : Ascaris lumbricoides (Jeffrey dan Leach, 1993).7
c) Etiologi
Cacing dewasa Ascaris lumbricoides berbentuk silinder, berwarna
merah muda. Cacing betina menghasilkan berkisar 200.000 telur yang
telah dibuahi (fertilized) dan tidak dibuahi (unfertilized) per hari yang
diletakkannya di lumen usus. Telur ini berukuran 40 x 60 μm yang
ditandai dengan adanya mamillated outer coat dan thick hyaline shell.7
Telur Ascaris lumbricoides dindingnya memiliki 3 lapisan yaitu :
1) Lapisan luar yang tebal, dari bahan albuminoid yang bersifat
impermiabel.
2) Lapisan tengah, dari bahan hialin bersifat impermiabel ( lapisan ini
yang membentuk telur ).
3) Lapisan paling dalam, dari bahan vitelline bersifat sangat impermiabel
sebagai pelapis sel telurnya.7
d) Faktor resiko
1) Kebiasaan mencuci tangan
2) Kurangnya penggunaan jamban
3) Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk
4) Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga dihinggapi lalat yan
membawa telur cacing.7
e) Patofisiologi
1) Fase migrasi larva
Pada fase migrasi, larva dapat mencetus timbulnya reaksi pada
jaringan yang dilaluinya. Di paru, antigen larva menimbulkan respons
inflamasi berupa infiltrat yang tampak pada foto toraks dan akan
menghilang dalam waktu tiga minggu. Terdapat gejala pneumonia
atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan
pada infeksi berat dapat timbul dahak yang disertai darah. Pneumonia
yang disertai eosinofilia dan peningkatan IgE disebut sindrom
Loeffler.Larva yang mati di hati dapat menimbulkan granuloma
eosinofilia.7
2) Fase intestinal
Cacing dewasa yang hidup di saluran intestinal jarang
menimbulkan gejala klinis. Jika terdapat gejala klinis biasanya tidak
khas yaitu mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi, lesu,
tidak bergairah, dan kurang konsentrasi. Cacing Ascaris dapat
menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorsi vitamin A dan
mikronutrisi. Pada anak infeksi kronis dapat menyebabkan kegagalan
pertumbuhan akibat dari penurunan nafsu makan, terganggunya
proses pencernaan dan malabsorbsi.7
Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus
sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).Selain itu cacing dewasa dapat
masuk ke lumen usus buntu dan dapat menimbulkan apendisitis
(radang usus buntu) akut atau gangren.Jika cacing dewasa masuk dan
menyumbat saluran empedu dapat terjadi kolik, kolesistitis (radang
kantong empedu), kolangitis (radang saluran empedu), pangkreatitis
dan abses hati.Selain ke bermigrasi ke organ, cacing dewasa juga
dapat bermigrasi keluar melalui anus, mulut atau hidung. Migrasi
cacing dewasa dapat terjadi karena rangsangan seperti demam tinggi
atau obat-obatan.7
g. Penegakan diagnosis
1) Anamnesis
Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan.
Kadang-kadang klien mengalami gejala gangguan usus ringan, seperti
mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat,
terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat
keadaan malnutrisi. Efek yang sering terjadi bila cacing ini
menggumpal dalam usus dapat menyebabkan obstruksi usus (ileus).
Pemeriksaan parasitologis untuk menegakkan diagnosis adalah dengan
pemeriksaan tinja secara langsung (telur dan cacing dewasa),
pemeriksaan cairan empedu (telur), pemeriksaan bahan muntahan
(cacing dewasa), pemeriksaan sputum (larva), atau apabila cacing
dewasa keluar sendiri melaui tinja, mulut atau hidung maka dengan
sendirinya diagnoSis sudah dapat ditegakkan.7
2) Pemeriksaan fisik
a) Konjungtiva anemis
b) Terdapat tanda-tanda malnutrisi
c) Nyeri abdomn jika terjadi obstruksi
3) Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur A.lumbricoides
pada sediaan basah tinja langsung. Penghitungan telur per gram tinja
dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan
berat ringannya infeksi. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing
dewasa keluar sendiri melalui mulut,hidung atau anus.7
Gambar 1.1 Klasifikasi telur STH.7
h. Tatalaksana
1) Non farmakologis
a) Menjaga Kebersihan Perorangan
- Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar
dengan menggunakan air dan sabun.
- Menggunakan air bersih untuk keperluan makan, minum, dan
mandi
- Memasak air untuk minum.
- Mencuci dan memasak makanan dan minuman sebelum
dimakan.
- Mandi dan membersihkan badan paling sedikit dua kali sehari.
- Memotong dan membersihkan kuku.
- Memakai alas kaki bila berjalan di tanah, dan memakai sarung
tangan bila melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan
tanah.
- Menutup makanan dengan tutup saji untuk mencegah debu dan
lalat mencemari makanan tersebut.7
b) Menjaga Kebersihan Lingkungan
- Membuang tinja di jamban agar tidak mengotori lingkungan.
- Jangan membuang tinja, sampah atau kotoran di sungai.
- Mengusahakan pengaturan pembuangan air kotor (SPAL)
- Membuang sampah pada tempatnya untuk menghindari lalat.
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk pertanian/perkebunan.
- Menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya bebas dari
vector.7
2) Farmakologi
Albendazol dan mebendazol merupakan obat pilihan untuk
askariasis. Dosis albendazol untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2
tahun adalah 400 mg per oral. WHO merekomendasikan dosis 200 mg
untuk anak usia 12 – 24 bulan. Dosis mebendazol untuk dewasa dan
anak usia lebih dari 2 tahun yaitu 500 mg. Albendazol dan mebendazol
diberikan dosis tunggal. Pirantel pamoat dapat digunakan untuk
ascariasis dengan dosis 10–11 mg/kg BB per oral, dosis maksimum 1
gram.7
Tindakan operatif diperlukan pada keadaan gawat darurat akibat
cacing dewasa menyumbat saluran empedu dan apendiks.Pengobatan
askariasis harus disertai dengan perubahan perilaku hidup bersih sehat
dan perbaikan sanitasi.7
9. Disentri basiler
a. Definisi
Disentri basiler atau Shigellosis merupakan suatu penyakit infeksi
akut yang terjadi pada usus yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella.
Secara umum terdapat 4 spesies Shigella yang menyebabkan disentri
basiler, meliputi Shigella dysenteriae, Shigella flexneri, Shigella boydii,
dan Shigella sonnei.7
b. Etiologi
Disentri basiler atau Shigellosis disebabkan oleh bakteri genus
Shigella. Bakteri ini termasuk dalam famili Enterobacteriaceae dan
merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang (basil). itu bakteri
ini bersifat anaerob fakultatif, yang berarti dapat hidup tanpa atau dengan
adanya oksigen. 7
c. Patogenesis
Shigella sp. ditularkan melalui jalur fecal-oral dan masuk dalam
tubuh secara per oral melalui makanan atau air yang terkontaminasi.
Bakteri ini akan menjadi penyakit apabila jumlahnya 10 hingga 100
bakteri (Dupont et al, 1989). Bakteri ini juga cukup tahan terhadap
suasana asam pada lambung sehingga dapat masuk ke dalam usus. Di
dalam usus, bakteri berkembang biak dan menyebar dalam lapisan sub
mukosa. Bakteri ini dapat berpenetrasi ke mukosa karena bakteri ini
secara genetik memiliki “invasion plasmids” sehingga menyebabkan
kematian sel usus, ulserasi fokal, pengelupasan sel-sel mukosa, lendir
disertai darah dalam lumen usus, dan adanya akumulasi sel-sel inflamasi
pada lapisan sub mukosa. Selain itu diketahui bahwa Shigella flexneri dan
Shigella sonnei menghasilkan shiga toxin. Diduga racun ini berperan
dalam merusak sel-sel endotel dari propria lamina sehingga terjadi
perubahan mikroangiopati. 7
d. Penegakam diagnosis
- Anamnesis
Menyebabkan 3 bentuk diare sebagai keluhan utama:
1) Diare dengan tinja yang konsisten lembek disertai darah, lendir.
2) Watery diarrhea, diare dengan volume yang besar tanpa ada
lendir/tinja
3) Kombinasi
Keluhan tambahan:
10. Amebiasis
a. Definisi
Amebiasis merupakan suatu infeksi Entamuba histolytica pada
manusia, dapat terjadi secara akut dan kronik. Manusia merupakan
pejamu dari beberapa spesies amuba, yaitu Entamuba histolytica, E. coli,
E. ginggivalis, Dientamuba frigilis, Endolimax nana, Iodamuba butclii.
Diantara beberapa spesies amuba, hanya satu spesies yaitu E. histolytica
yang merupakan parasit patogen pada manusia. E. histolytica tersebar di
seluruh dunia, endemik terutama terjadi di daerah dengan sosio-ekonomi
rendah dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. 7
b. Etiologi
E. histolytica bersama Giardia lamblia, Criptosporidium,
Balantidium coli, Blastocystis hominis dan Isospora sp merupakan
protozoa yang sering menyebabkan infeksi usus pada anak. Infeksi yang
disebabkan oleh protozoa usus biasanya didapatkan per-oral melalui
kontaminasi feses pada air atau makanan. Pada manusia E. histolytica
mengadakan invasi ke dalam mukosa usus dan dapat menyebar ke dalam
traktus intestinalis, misalnya ke duodenum, gaster, esofagus atau
ekstraintestinal, yaitu hati (terutama), paru, perikardium, peritonium,
kulit, dan otak. 7
c. Patofisiologi
Entamuba histolytica terdapat dalam dua bentuk, yaitu sebagai
kista dan trofozoit. Infeksi terjadi karena tertelannya kista dari makanan
atau minuman yang terkontaminasi, sedangkan tertelannya bentuk
trofozoit tidak menimbulkan infeksi karena tidak tahan terhadap
lingkungan asam dalam lambung. Ukuran kista 10-18 um, berisi 4 inti dan
resisten terhadap kondisi lingkungan seperti temperatur yang rendah dan
konsentrasi klor yang biasa digunakan untuk penjernihan air, parasit dapat
terbunuh dengan pemanasan 550C. Setelah kista tertelan, dan resisten
terhadap asam lambung serta enzim pencernaan, kemudian masuk ke
alam usus kecil menjadi 8 trofozoit, yang bergerak aktif, merupakan
koloni dalam lumen usus besar dan dapat menimbulkan invasi pada
mukosa. Trofozoit mempunyai diameter rata-rata 20 um, sitoplasmanya
mengandung zona yang jernih di sebelah dalam, yang berisi inti yang
terbentuk sferis dengan sentral kariosom yang kecil dan bahan kromatin
granular yang halus. Endoplasma juga mengandung vakuola, tempat
eritrosit dapat terlihat pada kasus amebiasis yang invasif.7
d. Manifestasi klinis
Kebanyakan infeksi bersifat asimtomatik dan kista dapat
ditemukan dalam feses. Gejala yang biasa ditemukan adalah diare,
muntah, dan demam. Tinja lembek atau cair disertai lendir dan darah.
Pada infeksi akut kadang-kadang ditemukan kolik abdomen, kembung,
tenesmus dan bising usus yang hiperaktif. Invasi pada jaringan terjadi 2-
8% kasus yang terinfeksi dan mungkin berhubungan dengan galur parasit
atau status nutrisi serta flora usus. Manifestasi klinis amebiasis yang
paling sering disebabkan oleh invasi lokal pada epitel usus dan
penyebaran ke hati. Beberapa sarjana membagi amebiasis menjadi
amebiasis usus akut dan kronik. Amebiasis di luar usus (sebagai
penyulit), misalnya amebiasis hati, abses paru, peritonitis amuba,
amebiasis kulit, abses otak dan penyebaran yang sangat jarang, yaitu ke
limpa, pankreas dan saluran kemih. 7
e. Diagnosis
Diagnosis pasti amebiasis ditentukan dengan adanya trofozoit
atau kista di dalam feses atau trofozoit di dalam pus hasil aspirasi atau
dalam spesimen jaringan. Semua penderita tersangka amebiasis sebaiknya
dilakukan pemeriksaan feses 3-6 kali untuk menemukan trofozoit atau
kista. Pemeriksaan trofozoit sebaiknya dilakukan maksimum dalam 1 jam
sejak feses diambil, bila tidak memungkinkan maka sebaiknya disimpan
dalam lemari es. Identifikasi trofozoit Entamuba histolytica memerlukan
tenaga yang berpengalaman, karena trofozoit kadangkadang tidak
ditemukan dalam feses. Leukosit dan makrofag yang telah memfagosit
eritrosit dapat dikelirukan dengan trofozoit. 7
f. Penatalaksanaan
Secara umum berupa: Isolasi, pemberian cairan yang adekuat,
pengobatan penyulit, monitor pemeriksaan feses 3 kali untuk memastikan
apakah infeksi sudah dapat dieradikasi. Sedangkan secara spesifik dpat
berupa terapi medikamentosa sebagai berikut:
1) Infeksi usus asimtomatik
Diloksanid furoat (furamid) 7-10 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, atau
iodokuinol (diiodohidroksi kuinin) 10 mg/kgBB/hari selama 3 dosis
atau Paromomisin (humatin) 8 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis. Obat-
obat tersebut diberikan selama 7-10 hari
2) Infeksi usus ringan sampai sedang
Metronidazol (flagyl) 15 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, selama 10 hari.
Efek samping kebanyakan ringan, berupa ruam, kadang-kadang
ataksia atau parestesia. Pada percobaan binatang bila diberikan dalam
dosis tinggi/lama bersifat karsinogenik
3) Infeksi usus berat dan abses amuba hati
Metronidazol 50 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, peroral atau intravena,
selama 10 hari, atau dehidroemetin 0,5-1 mg/kgBB/hari dalam 2
dosis intramuskular selama 5 hari, maksimal 90 mg/hari. 7
11. Dispepsia
a. Definisi
Kata ‘dispepsia’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘dys’ (poor) dan
‘pepse’ (digestion) yang berarti gangguan percernaan. Awalnya gangguan
ini dianggap sebagai bagian dari gangguan cemas, hipokondria, dan
histeria.5 British Society of Gastroenterology (BSG) menyatakan bahwa
istilah ‘dispepsia’ bukan diagnosis, melainkan kumpulan gejala yang
mengarah pada penyakit/gangguan saluran pencernaan atas. Definisi
dispepsia adalah kumpulan gejala saluran pencernaan atas meliputi rasa
nyeri atau tidak nyaman di area gastro-duodenum (epigastrium/uluhati),
rasa terbakar, penuh, cepat kenyang, mual atau muntah.8
b. Klasifikasi
Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua, yaitu organik (struktural)
dan fungsional (nonorganik). Pada dispepsia organik terdapat penyebab
yang mendasari, seperti penyakit ulkus peptikum (Peptic Ulcer
Disease/PUD), GERD (GastroEsophageal Reflux Disease), kanker,
penggunaan alkohol atau obat kronis. Non-organik (fungsional) ditandai
dengan nyeri atau tidak nyaman perut bagian atas yang kronis atau
berulang, tanpa abnormalitas pada pemeriksaan fisik dan endoskopi. 8
c. Etiologi
1) Idiopatik/dispepsia fungsional (50-70%)
2) Ulkus peptikum (10%)
3) Gastroesophageal reflux disease (GERD) (5-20%)
4) Kanker lambung (2%)
5) Gastroparesis
6) Infeksi Helicobacter pylori
7) Pankreatitis kronis
8) Penyakit kandung empedu
9) Penyakit celiac
10) Parasit usus (Giardia lamblia, Strongyloides)
11) Malabsorpsi karbohidrat (laktosa, sorbitol, fruktosa)
12) Obat non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID)
13) Antibiotik, suplemen besi, dll
14) Metabolik (diabetes melitus, tiroid/paratiroid)
15) Iskemia usus
16) Kanker pankreas atau tumor abdomen. 8
d. Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia fungsional masih belum jelas, diduga
kombinasi hipersensitivitas viseral, disfungsi motilitas lambung, dan
faktor psikologis.2,3,9 Dispepsia fungsional berkaitan dengan depresi.
Studi di Pakistan pada 101 pasien dispepsia fungsional (setelah
endoskopi) dengan rerata usia 35,81±14,81 tahun didapatkan 100 pasien
memiliki depresi (evaluasi depresi dengan Hamilton depression rating
scale): depresi ringan 23 (22,8%), sedang 34 (33,7%), berat 32 (31,7%),
dan sangat berat 11 (10,9%). Dispepsia berkaitan juga dengan tidur.
Hubungan antara gangguan tidur dan gejala dispepsia fungsional cukup
kompleks. Gejala dispepsia dapat mengganggu tidur baik saat akan tidur
maupun kelanjutan tidur. Sebaliknya, kurang tidur juga berpotensi
meningkatkan gejala pasien dispepsia fungsional. 8
Faktor risiko dispepsia organik antara lain usia >50 tahun, riwayat
keluarga kanker lambung, riwayat ulkus peptikum, kegagalan terapi,
riwayat perdarahan saluran cerna, anemia, penurunan berat badan, muntah
persisten, perubahan kebiasaan buang air besar, penggunaan NSAID dosis
tinggi atau jangka panjang, alkohol kronis, dll. Studi di Taiwan pada
2.062 penderita dispepsia etnis Cina mendapatkan hasil endoskopi normal
sebanyak 1174 (56,9%), gastritis sebanyak 215 (10,4%), ulkus lambung
sebanyak 254 (12,3%), ulkus duodenum sebanyak 194 (9,4%), refluks
esofagitis sebanyak 182 (8,8%), dan kanker esofagus/lambung sebanyak
43 (2,1%). Pasien dispepsia organik pada studi tersebut cenderung
ditemukan pada usia lebih tua, lebih mungkin terinfeksi H. pylori, dan
pengguna obat (aspirin, NSAID) dibandingkan dispepsia fungsional.
Dominasi laki-laki terutama pada dispepsia organik (pria/wanita:
56,8%/43,2%) dan dominasi perempuan pada dispepsia fungsional (pria/
wanita: 40,3%/59,7%).8
e. Diagnosis
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia
adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas.
Apabila kelainan organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis
banding dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan
organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional.
Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by
exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan
tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem
penggolongan, dispepsia fungsional diklasifi kasikan ke dalam ulcer-like
dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke
dalam 2 subklasifi kasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifi k.
Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan
antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul
tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55
tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya.8
Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam American Journal of
Gastroenterology, menegaskan kriteria diagnostik dispepsia fungsional
seperti tertera pada boks 1. 4 Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih
dengan IBS. Pasien IBS, khususnya dengan predominan konstipasi,
mengalami keterlambatan pengosongan lambung sehingga akhirnya
disertai pula dengan gejala-gejala saluran pencernaan bagian atas yang
menyerupai gejala dispepsia. Sebaliknya, pada pasien dispepsia, sering
kali juga disertai dengan gejala-gejala saluran pencernaan bawah yang
menyerupai IBS. Untuk membedakannya, beberapa ahli mengemukakan
sebuah cara, yakni dengan meminta pasien menunjuk lokasi di perut yang
terasa paling nyeri; dengan lokalisasi ini, kedua entitas tersebut dapat
didiferensiasi. Sebuah pendekatan baru, yaitu dengan menyatakan IBS
dan dispepsia fungsional sebagai bagian dari spektrum penyakit
fungsional saluran cerna.8
f. Penatalaksanaan
Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri
atau distres postprandial. Pada tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi
bertujuan menekan asam lambung (H2-blocker, PPI). Pada tipe distres
postprandial, lini pertama dengan prokinetik, seperti
metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide (inhibitor
asetilkolinesterase), cisapride (antagonis serotonin tipe 3 /5HT3),
tegaserod (agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a). Bila lini pertama
gagal, PPI dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan prokinetik
untuk tipe nyeri. Kombinasi obat penekan asam lambung dan prokinetik
bermanfaat pada beberapa pasien. Tidak ada terapi yang efektif untuk
semua pasien; berbagai terapi dapat digunakan secara berurutan ataupun
kombinasi. 8
Pada kasus yang tidak berespons terhadap obat-obat tersebut,
digunakan antidepresan. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50 mg/hari,
nortriptilin 10 mg/ hari, imipramin 50 mg/hari) selama 8-12 minggu
cukup efektif untuk terapi dispepsia fungsional, SSRI atau SNRI tidak
lebih efektif dari plasebo. Meskipun masih kontroversial, dapat dilakukan
tes H. pylori pada kasus dispepsia fungsional mengingat infeksi tersebut
umumnya asimptomatik. Terapi kondisi psikologis seperti cemas atau
depresi dapat membantu pada kasus dispepsia sulit/ resisten. Terapi
psikologis, akupunktur, suplemen herbal, probiotik psikologis pada
dispepsia fungsional masih belum terbukti. Edukasi pasien penting untuk
menghindari faktor pencetus seperti mengurangi stres/ kecemasan,
memulai pola makan teratur porsi lebih sedikit dan menghindari makanan
pemicu. 8
12. IBD
a. Definisi
Crohn disease (CD) dan ulcerative colitis (UC) adalah gangguan
inflamasi kronis pada saluran pencernaan. Secara kolektif, mereka disebut
inflammatory bowel disease (IBD) dan diperkirakan bahwa 1,5 juta orang
Amerika menderita UC dan CD. 6
b. Etiologi
Etiologi tidak diketahui, meskipun keduanya dianggap muncul dari
respon imun yang terganggu terhadap usus individu dengan predisposisi
genetik. Karakteristik respon inflamasinya berbeda, pada CD biasanya
menyebabkan inflamasi transmural dan kadangkadang terkait dengan
granuloma, sedangkan di UC biasanya inflamasi terbatas pada mukosa
dan submukosa. 9
c. Faktor resiko
Faktor-faktor pencetus yang memungkinkan terjadinya aktivasi
respon imun pada IBD adalah organisme patogenik (yang belum dapat
diidentifikasi), respon imun terhadap antigen intraluminal (contohnya
protein dari susu sapi), atau suatu proses autoimun dimana ada respon
imun yang appropriate terhadap antigen intraluminal, adapula respon yang
inappropriate pada antigen yang mirip yang terjadi pada sel epitel
intestinal (contohnya perubahan fungsi barrier). Menurut studi prospektif
E3N, ditemukan bahwa makan makanan dengan protein hewani yang
tinggi (daging atau ikan) berhubungan dengan meningkatnya resiko
terjadi IBD. 9
d. Patofisiologi
Jalur akhir umum daripada patofisiologi IBD adalah inflamasi pada
mukosa traktus intestinal menyebabkan ulserasi, edema, perdarahan,
kemudian hilangnya air dan elektrolit.9
Banyak mediator inflamasi yang telah diidentifikasi pada IBD,
dimana mediatormediator ini memiliki peranan penting pada patologi dan
karakteristik klinik penyakit ini. Sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag
karena respon daripada berbagai rangsangan antigenik, berikatan dengan
reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan efekefek
autokrin, parakrin, dan en
dokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit menjadi
berbagai tipe sel T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD,
sedangkan TH-2 berhubungan dengan UC. Respon imun inilah yang akan
merusak mukosa intestinal dan menyebab proses inflamasi yang kronis.9
Ulcerative Colitis (UC)
Pada UC, inflamasi dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon
bagian proksimal, dengan cepat melibatkan hampir seluruh bagian dari
usus besar. Rektum selalu terkena pada UC, dan tidak ada “skip area”
(area normal pada usus yang diselang-selingi oleh area yang terkena
penyakit), dimana skip area ini didapatkan pada CD. 9
25% dari kasus UC perluasannya hanya sampai rektum saja dan
sisanya, biasanya menyebar ke proksimal dan sekitarnya. Pancolitis
terjadi pada 10% dari kasus-kasus yang ada. Usus halus tidak pernah
terlibat kecuali jika bagian akhir distal daripada ileum mengalami
inflamasi superfisial, maka dapat disebut dengan backwash ileitis.
Walaupun keterlibatan total dari kolon lebih sedikit, penyakit ini
menyerang serentak dan berkesinambungan. Jika UC menjadi kronik,
maka kolon akan menjadi kaku (rigid), memiliki sedikit haustral marking,
yang menyebabkan gambaran pipa yang lebam/hitam pada barium enema.
9