Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

POKOK – POKOK AJARAN ASWAJA


DI BIDANG AQIDAH, SYARI’AH, TASAWUF

Di Susun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Ahlusunnah Wal Jama’ah
DOSEN PENGAMPU :
Ahmad Azhari Nasir, S.H.I, M.S.I

DI SUSUN OLEH :
Hanifa Berlian As Syahada (201230000509)
Luluk Agustin (201230000518)
KELAS GB

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas rahmat, karunia serta kasih
sayangNya kami dapat menyelesaikan makalah Pokok- Pokok Ajaran Aswaja di Bidang Aqidah ,
Syari’ah , Tasawuf dengan sebaik mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
Nabi terakhir, penutup para Nabi sekaligus satu-satunya uswatun hasanah kita, Nabi Muhammad
SAW. tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Ahmad Azhari Nasir, S.H.I,
M.S.I selaku dosen mata kuliah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan
kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun dengan teknik pengetikan,
walaupun demikian, inilah usaha maksimal kami selaku para penulis usahakan.
Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
Agama dan diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna memperbaiki kesalahan
sebagaimana mestinya.

Jepara, November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................................................................4
BAB II.........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
2.1 Latar belakang Lahirnya Ahlusunnah Wal Jamaa’ah...................................................................5
2.2 Faktor yang melatar belakangi lahirnya Ahlussunnah Wal Jamaa’ah..........................................7
2.2.1 Faktor Agama..........................................................................................................................7
2.2.2 Faktor Sosial............................................................................................................................8
2.2.3 Faktor Politik...........................................................................................................................8
BAB III.......................................................................................................................................................9
PENUTUP...................................................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagaimana yang telah diprediksikan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa umatnya
akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya ada 1 golongan saja yang kelak akan
selamat. Sedangkan yang lainnya akan binasa. Ketika beliau ditanya oleh para sahabat:
“siapakah mereka yang akan selamat?”  Rasululloh SAW menjawab: “mereka adalah
orang-orang yang mengikuti ajaranku dan ajaran para sahabatku”.
Tidaklah cukup bagi seorang hamba mengklaim dirinya sebagai bagian dari Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah atau bagian fireqoh an-Najihah karena merasa telah mengikuti
sunnah Rosululloh SAW. Suatu hal yang sangat mendasar adalah mengkaji dan memahami
apa yang Rosul lakukan dan ucapakan serta bagaimana para sahabat meriwayatkan dan
mensyarahi sebuah hadist tentang suatu perkara. Dalam makalah ini akan membahas latar
belakang lahirnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah latar belakang lahirnya Ahlussunnah Wal Jama’ah ?
2. Bagaimana latar belakang Lahirnya Ahlussunnah Wal Jama’ah dari segi faktor Agama,
Sosial dan Politik ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
2. Untuk mengetahui faktor yang melatar belakangi lahirnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar belakang Lahirnya Ahlusunnah Wal Jamaa’ah


Ketika Nabi SAW wafat, kaum muslimin masih bersatu dalam agama yang mereka
jalani. Klasifikasi sosial yang ada pada saat itu terdiri dari 3 golongan, yaitu orang muslim,
orang kafir, dan orang munafik. Namun begitu Nabi wafat, perselisihan diantara
mereka terjadi tentang pemimpin yang akan menjadi pengganti Nabi SAW. Namun
akhirnya, kekuatan kepemimpinan para sahabat Nabi tersebut mengalahkan semua ambisi
dan fanatisme kesukuan, sehingga menggiring mereka pada kesepakatan untuk memilih
Abu Bakar As-Shidiq sebagai kholifah. Setelah Ia wafat, khilafah berpindah tangan Umar
bin Khatab, sahabat Nabi terbaik setelah Abu Bakar. Hingga akhirnya khalifah Umar
menemui ajalnya setelah ditikam oleh seorang budak Persia, yaitu Abu Lu’lu’ah al-Majusi.
Setelah ia wafat, khilafah berpindah ketangan kholifah Utsman bin Affan, menantu Nabi
SAW. Ia dibaiat sebagai kholifah berdasarkan hasil rapat tim formatur  yang dibentuk oleh
Umar  menjelang wafatnya.
Setelah 6 tahun dari masa pemerintahan Utsman, friksi internal dan gejolak politik
seputar kebijakan-kebijakan Utsman mulai muncul kepermukaan dan menjadi sasaran
kritik sebagian masyarakat. Dalam kondisi tersebut, unsur-unsur Majusi dan Yahudi ikut
bermain dalam mengeruhkan suasana, sehingga lahirlah berbagai kekacauan dan beragam
propaganda dengan membawa kepentingan menurunkannya dari jabatan melalui amr
ma’ruf dan nahi mungkar, sehingga hal tersebut barakhir dengan terbunuhnya kholifah
Utsman ditangan kaum pemberontak.
Khilafah berpindah tangan ke Ali bin Abi Tholib, menantu dan sepupu Nabi serta
sahabat terbaik setelah wafatnya Utsman. Namun beragam kekacauan yang terjadi pada
Utsman sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Ali bin Abi Tholib. Pada masa
pemerintahannya terjadi perang saudara besar-besaran antara Ali dengan kelompok
Aisyah, Tholhah, dan Zubair dalam perang jamal, kemudian terjadi perang shiffin dengan
kelompok Mu’awiyah bin Abi  Sofyan.
Pada masa pemerintahannya, muncul satu kelompok dari pengikut Ali yang
memisahkan diri dan kemudian dinamakan dengan aliran khowarij. Mereka
mendefinisikan iman dengan keyakinan yang disertai pengamalan, sehingga keyakinan
tidaklah berguna ketika tidak disertai pengamalan. Oleh karena itu, khowarij mengkafirkan
pelaku dosa. Khowarij berpandangan bahwa Utsman, Ali, Aisyah, Tholhah, Zubair,
Muawiyah, dan pengikut mereka dalam perang Jamal dan Shiffin adalah kafir. Khowarij
hanya mengakui kholifah Abi Bakar dan Utsman.
Pada masa Ali, lahir juga aliran Sabaiyah dari kalangan Rafidhah (Syi’ah) yang
dipimpin oleh Abdulloh bin Saba’. Mereka berpandangan bahwa Ali adalah Tuhan. Ajaran
Abdulloh bin Saba’ ini dilanjutkan oleh golongan syiah yang terpecah menjadi 3 golongan
besar, yaitu Imamiyah, Zaidiyah, dan Ismailiyah. Kelompok syiah yang ekstrim seperti
Imamiyah dan Ismailiyah mengkafirkan seluruh sahabat Nabi kecuali empat orang.
Setelah benturan pemikiran antara Syi’ah dan Khowarij semakin keras pasca proses
arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah. Situasi tersebut menjadi sebab lahirnya satu kelompok
yang netral (tidak memilih antara pihak manapun). Menurut kelompok  ini, ketika kita
tidak dapat menentukan mana pihak yang salah dan mana yang benar, maka kita harus
mengembalikan persoalan ini kepada Allah. Dengan pandangan ini, kelompok tersebut
akhirnya dinamakan aliran Murji’ah (kelompok yang mengembalikan persoalan kepada
Allah).
Pada akhir generasi sahabat, lahir aliran Qadariyah  yang dipimpin oleh Ma’bad al-
Juhani, Ghailan al-Dimasyqi dan Ja’ad bin Dirham. Kelompok ini berpandangan bahwa
perbuatan manusia terjadi karena rencana sendiri bukan karena takdir Allah. Pendangan
mereka menuai  penolakan keras dari kalangan sahabat yang masih hidup pada saat itu,
seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan lain sebagainya.
Pada masa al-Imam al-Hasan Al-Bashri lahir kelompok Mu’tazilah yang dirintis oleh
Atho’ al-Ghazzal yang membawa faham manzilah baina al manzilataini (tempat antara dua
tempat). Aliran ini berpandangan bahwa seorang muslim yang fasik tidak dikatakan
mukmin dan tidak dikatakan kafir dan diakhirat nanti dia akan kelak dineraka bersama
dengan orang-orang kafir. Selain aliran tersebut diatas muncul aliran Najjariyah,
Karramiyah dan Wahhabi.
Berdasarkan data sejarah yang ada, setelah terjadinya fitnah pada masa kholifah
Utsman bin Affan  kemudian aliran-aliran  yang menyimpang dari ajaran islam yang murni
dan asli bermunculan satu persatu, maka pada periode akhir generasi sahabat Nabi SAW
istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah  mulai diperbincangkan dan dipopulerkan sebagai nama
bagi kaum muslimin yang masih setia kepada ajaran islam yang murni dan tidak
terpengaruh dengan ajaran-ajaran baru yang keluar dari mainstrem. Hal ini dapat
dibuktikan dengan memperhatikan beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa istilah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah  diriwayatkan dari sahabat Nabi generasi junior (sighor al-
shohabah) sepert Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Ibnu Sa’id al-Khurdi. Ibnu Abbas (3SH-
68H/619-688) mengatakan:
Ibnu abbas berkata ketika menafsirkan firman Allah: “pada hari yang diwaktu itu ada
muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam” (QS. Ali Imron: 106). Adapun
orang-orang yang wajahnya putih berseri, adalah pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah 
dan orang-orang yang berilmu. Sedangkan orang-orang yang wajahnya hitam muram
adalah pengikut bi’ah dan kesesatan.[3]

2.2 Faktor yang melatar belakangi lahirnya Ahlussunnah Wal Jamaa’ah


2.2.1 Faktor Agama
Perjalanan panjang Ahlussunnah wal-Jama’ah sebagai suatu faham keagamaan
menyajikan fakta yang demikian kompleks. Eksistensinya berkembang mulai dari sebuah
tradisi kultural dan ilmiah, menjadi sebuah aliran pemikiran (school of thought) di bidang
teologi, kemudian merambah ke wilayah fiqh dan tasawuf. Pada era Hasan al-Bashri
Ahlussunnah wal-Jama’ah merupakan gerakan kultural dan ilmiah yang melahirkan para
mufassirin, muhadditsin, fuqaha’ dan mutakallimin ; al- Asy’ari memulai babak baru
Ahlussunnah wal-Jama’ah sebagai aliran teologi, yang kemudian dilanjutkan oleh al-
Maturidzi, al-Baqillani, al-Juwayni, dan lain-lain ; Selanjutnya, deklarasi al-Qadir (abad 11
Masehi) mengenai Ahlussunnah wal- Jama’ah sebagai faham resmi negara dan peresmian
peradilan berdasarkan madzahib al-arba’ah disertai mengagkatan al-Mawardi sebagai
Qadli a-Qudldlat, menandai konsolidasi faham Ahlussunnah wal-Jama’ah di bidang fiqh ;
Di tangan al-Ghazali, Junayd al-Baghdadi, al-Syadzili, dan seterusnya, dimensi tasawwuf
kemudian menjadi bagian yang inhern dalam faham keagamaan Ahlussunnah wal-Jama’ah
ini.
Dalam literatur Barat, faham keagamaan ini disebut Sunnism, Sunni, atau Sunnite.
Sebuah konstruksi sosio-relegius yang membentuk sebuah ideologi berbasis agama
(Islam). Sebagai suatu ideologi, Sunnisme “memperebutkan” kebenaran dan klaim
keselamatan (truth claim-salvation claim) dari sekian ideologi yang ada. Sehingga,
kebenarannya mesti terus menerus diperjuangkan oleh pendukungnya agar diterima secara
luas. Disinilah, entitas ini menghadapi suatu realitas yang niscaya, yakni tantangan
ideologis dari ideologi-ideologi dunia untuk dapat survive menjadi pandangan hidup (way
of live). Untuk itu, Ahlussunnah wal-Jama’ah harus berkesesuaian dengan akal budi
manusia serta dapat dibuktikan secara riil mewujudkan kemaslahatan, menyejahterakan
dan menyelamatkan peradaban umat manusia, sebagaimana cita-cita Islam itu sendiri.
2.2.2 Faktor Sosial
Dalam era modern seperti sekarang ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi
semakin canggih, perubahan sosial begitu cepat dan problem-problem sosial pun semakin
kompleks, maka ketentuan-ketentuan hukum (baca: doktrin) yang telah dirumuskan
ASWAJA yang bersifat qaul atau aqwal tidak selamanya mampu menjawab problem dan
tantangan zaman tersebut, maka yang harus segera dilakukan adalah merujuk mazhab
secara manhaji,  atau harus berani mencari alternatif lain dari ketentuan-ketentuan mazhab
yang selama ini dijadikan frame of reference, sebab kalau tidak yang terjadi adalah
kemandekan berpikir dan tidak berani mengeluarkan keputusan-keputusan hukum  baru
yang menjadi tuntutan masyarakat. Tradisi me-mauquf-kan masalah hukum menjadi trend
jam’iyah NU karena regiditas --untuk tidak mengatakan fanatik-- dalam mengikuti salah
satu mazhab. Ini yang menyangkut masalah fiqh.
2.2.3 Faktor Politik
Secara ideologi politik penganut Aswaja juga sering disebut dengan “kaum Sunni”.
Istilah ini sering diantonimkan dengan “kaum Syi’i”. Hal ini pada awalnya terjadi karena
adanya perbedaan pandangan di kalangan para sahabat Nabi mengenai  kepemimpinan
setelah wafatnya Nabi. Setelah itu persoalannya berlanjut menjadi persoalan yang bersifat
politik. Dari ranah yang terpolitisasikan inilah akhirnya persoalannya berkembang ke
dalam berbagai perbedaan pada aspek-aspek yang lain, terutama pada aspek teologi dan
fiqih. Inilah realitas sejarah perjalanan umat Islam. Dan perlu untuk diketahui bahwa
mayoritas umat Islam di dunia ini adalah berfaham Aswaja (kaum Sunni). Dalam berfiqih
mereka (kaum Sunni) menjadikan empat mujtahid besar, Imam Maliki, Imam Hanafi,
Imam Syafi’i dan Imam Hanbali RA sebagai rujukan utamanya. Karena mayoritas ulama
Asia Tenggara bermazhab Syafi’i, maka umat Islam di Indonesia, termasuk kaum
Nahdliyyin, mengikuti mazhab Syafi’i.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Munculnya aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran islam menjadi latar belakang
lahirnya Ahlussunnah Wal Jama’ah. Berdasarkan data sejarah yang ada, setelah terjadinya
fitnah pada masa kholifah Utsman bin Affan  kemudian aliran-aliran  yang menyimpang
dari ajaran islam yang murni dan asli bermunculan satu persatu, maka pada periode akhir
generasi sahabat Nabi SAW istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah  mulai diperbincangkan
dan dipopulerkan sebagai nama bagi kaum muslimin yang masih setia kepada ajaran islam
yang murni dan tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran baru yang keluar dari mainstrem
DAFTAR PUSTAKA

http://sarwana09.blogspot.com/2012/11/latar-belakang-lahirnya-ahlus-sunnah.html Senin, 12
November 2012, Diakses pada 23/9/21
https://dakwah.unisnu.ac.id/ahlus-sunnah-wal-jamaah-dan-keindonesiaan Diakses pada 23/9/21
https://www.uin-malang.ac.id/r/150701/nu-aswaja-dan-problem-pemahaman-islam.html Diakses
pada 23/9/21
https://akamawa.unusa.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/MATERI-KULIAH-PAKAR_10-
APRIL-2016.pdf Diakses pada 23/9/21

Anda mungkin juga menyukai