Anda di halaman 1dari 50

TAFSIR ALAT BUKTI Q.

S AL-BAQARAH:224, 225 DAN 282

PEMBAHASAN

Pengertian Alat Bukti

Setiap tuntutan hak atau menolak tuntutan hak harus dibuktikan di muka sidang pengadilan. Dalam
pembuktian ini diperlukan alat-alat bukti. Alat bukti adalah alat-alat atau upaya yang bisa dipergunakan
oleh pihak-pihak yang berperkara di muka sidang pengadilan untuk meyakinkan hakim akan kebenaran
tuntutan atau bantahannya[1] Alat bukti ini sangat penting artinya bagi para pihak yang berperkara
merupakan alat atau sarana untuk meyakinkan kebenaran tuntutan hak penggugat atau menolak
tuntutan hak bagi hakim. Dan bagi hakim, alat bukti tersebut dipergunakan sebagai dasar memutus
perkara.

Suatu perkara di pengadilan tidak dapat diputus oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian.
Dengan kata lain, kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputus
juga oleh hakim tetapi dengan menolaknya gugatan karena tidak ada bukti.

Dari uraian singkat di atas, maka dapat diketahui bahwa tujuan utama dari alat bukti ialah untuk lebih
memperjelas dan meyakinkan hukum sehingga ia tidak keliru dalam menetapkan putusannya dan pihak
yang benar tidak dirugikan sehingga dengan demikian keadilan di muka bumi ini dapat ditegakkan.

Macam-macam Alat Bukti

Alat bukti terdiri dari beberapa macam di antaranya ada yang disepakati oleh Mazhab-mazhab dan
sebagainya lagi masih diperselisihkan. Diantara alat bukti yang kebanyakan digunakan oleh para fuqaha
seperti diungkapkan oleh Abu Yusuf :

‫ و قر ان‬، ‫ غلم به‬،‫ بـينـة‬، ‫ قسامةـ‬، ‫ نكو ل‬، ‫ اقـر ار‬،‫يمـيـن‬

Artinya :
(Sumpah, Pengakuan, penolakan sumpah, qasamah, bayyinah, ilmu qadhi dan petunjuk-petunjuk).[2]

Menurut sistem HIR dan RBg hakim terikat dengan alat-alat bukti sah yang diatur dengan undang-
undang. Ini berarti hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah
diatur undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 164 HIR, 284 RBg, dan 1866 BW ada lima jenis alat
bukti dalam perdata yaitu: surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah[3].

Sedangkan menurut Hukum Acara Perdata yang biasa dipergunakan pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama, ada 7 (tujuh) macam alat-alat bukti yang dapat dijadikan bukti kebenaran dan
ketidakbenaran suatu di pengadilan, yaitu:

Alat bukti surat-surat (tertulis)

Alat bukti saksi

Alat bukti persangkaan

Alat bukti pengakuan

Alat bukti sumpah

Alat bukti pemeriksaan setempat

Alat bukti keterangan ahli

Ayat-ayat Alat Bukti

Dari macam-macam alat bukti tersebut di atas kami mencoba menjelaskan dengan menggunakan dalil-
dalil al-Qur’an sebagai berikut:

Alat bukti sumpah sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah:224

Asbaabun nuzul dari ayat ini adalah berkenaan dengan sumpahnya Abu Bakar untuk tidak akan memberi
belanja lagi kepada Misthah (adalah seorang fakir miskin yang hidupnya dibiayai oleh Abu Bakar Shiddiq
r.a.), karena ia ikut serta memfitnah Siti ‘Aisyah. Ayat tersebut sebagai teguran agar sumpah itu tidak
menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan.

Tafsiran dari ayat ini menjelaskan bahwasanya tidaklah seseorang itu menggunakan sumpah atas nama
Allah untuk menyakinkan orang lain demi kepentingannya sendiri. karena banyak menyebut nama Allah
dalam sumpah dapat menghalangi seseorang berbuat kebajikan, bertakwa, dan melakukan ishlah
(perbaikan antara manusia). Ini karena penyebutan nama Allah yang bukan pada tempatnya dapat
mengantar seseorang terbiasa dengannya, sehingga dengan demikian mengantar ia berbuat dosa,
bahkan menjadikan orang tidak percaya kepadanya, sehingga langka-langkahnya untuk melakukan
ishlah akan gagal. Ini karena sumpah adalah alat untuk mengukuhkan ucapan, dalam rangka
menyakinkan orang lain. Jika seseorang terpercaya, ia tidak perlu menguatkan ucapannya dengan
sumpah. Tanpa sumpah pun ia dipercaya. Nah, banyak bersumpah adalah bukti kekurang percayaan,
dan ini pada gilirannya menghasilkan halangan melakukan kebajikan, takwa, dan ishlah.[4]

Selanjutnya Surat Al-Baqarah:225

Dalam ayat tersebut disebutkan kata Tidak menuntut, yakni tidak menuntut pertanggungjawaban, yang
pada gilirannya mengakibatkan sanksi, siksa, atau kewajiban memenuhinya. Sumpah adalah suatu
ucapan yang disertai dengan penyebutan nama Allah, sifat atau perbuatannya, dengan tujuan
menyakinkan pihak lain tentang kebenaran ucapan yang bersumpah. Di celah ucapan itu terdapat
semacam pernyataan yang tidak terucapkan, bahwa jika apa yang hendak diyakinkan itu, bertentangan
dengan isi pengucap, maka ia bersedia dijatuhi kutukan dan sanksi Allah swt. Dari sini sumpah harus
menggunakan nama Allah, sifat atau perbuatan-Nya, dan tidak dibenarkan menggunakan selain itu,
karena hanya Allah swt. Yang mampu menjatuhkan sanksi atau kutukan. Biasanya sumpah yang
dilakukan untuk menyakinkan orang lain disertai jabatan tangan antar keduanya. Dari sini sumpah
dinamai yamiin, yang secara harfiah antara lain bermakna tangan kanan, jamaknya adalah aimaan.

Kata dengan redaksi sumpah tetapi tidak bermaksud untuk bersumpah aleh ayat diatas diistilahkan
dengan al-laghwu, yang dari segi bahasa berarti sesuatu yang batal, atau dianggap tidak ada. Sesuatu
yang demikian, biasanya lahir dari spontanitas, tanpa piker dan pertimbangan. Termasuk dugaan yang
keliru.

Walaupun Allah tidak menuntut pertanggungjawaban dalam sumpah yang demikian sifatnya, namun
penamaannya dengan al-laghwu member isyarat bahwa menyebut nama Allah tanpa berfikir, tanpa
pertimbangan, apalagi yang memberi kesan menyakinkan orang lain, bukankah pada tempatnya dan
tidak wajar. Bukankah pada ayat yang lalu telah dikemukakan tuntunan agar jangan sering-sering
menyebut nama Allah yang bukan pada tempatnya.

Sumpah yang akan dituntut oleh Allah untuk mempertanggungjawabkan adalah yang dilakukan oleh hati
kamu, yakni sumpah dengan menggunakan nama Allah secara sengaja lagi bertujuan menyakinkan pihak
kalin. Pertanggungjawaban yang dituntut-Nya itu dapat berbentuk kewajiban memenuhinya, atau bila
tidak memenuhinya, maka kewajiban membayar kaffarat, yakni imbalan tertentu berupa puasa atau
member makan fakir miskin. Kalau tidak, maka yang bersangkutan terancam dijatuhi hukuman di hari
Kemudian.

Ayat yang menyebutkan tentang pembuktian saksi adalah surat Al-Baqarah:282

Inilah ayat terpanjang dalam al-Qur’an, dan dikenal oleh para ulama’ dengan nama Ayat al-Mudayanah
(ayat utang-piutang). Ayat ini antara lain berbicara tentang anjuran – atau menurut sebagian ulama’ –
kewajiban menulis utang-piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga yang dipercaya
(notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan jumlah dan
ketetapan waktunya.

Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt. Kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menulisnya.

Kata tadaayantum, yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata dain. Kata ini
memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf-huruf kata dain itu (yakni daal,
ya’ dan nuun) selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih
tinggi dari pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, ketaatan dan agama.
Kesemuanya menggambarkan hubungan timbale balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah.
Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni hutang-piutang.

Sedikit menerangkan diatas, kami disini hanya mencoba menjelaskan tentang persaksian, baik secara
tulis menulis maupun selainnya.
Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum
melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara actual telah menjadi saksi.

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu. kata saksi yang
digunakan ayat ini adalah syahiidain bukan syaahidain. Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah
benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang
melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua
orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau
tidak ada – atau kalau bukan yakni kalau bukan dua orang saksi, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan
transaksi.

Betapapun, ayat di atas tidak menutup kemungkinan kesaksian wanita baik secara luas, terbatas,
maupun sempit.

Dalam pandangan mazhab Malik, kesaksian wanita dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan
harta benda, tidak dalam kriminal, pernikahan, cerai dan rujuk. Mazhab Hanafi lebih luas dan lebih
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kodrat wanita. Mereka membenarkan kesaksian wanita
dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta, persoalan rumah tangga, seperti pernikahan, talak, dan
rujuk, bahkan segala sesuatu kecuali dalam soal kriminal. Memang, persoalan kriminal yang dapat
mengantar kepada jatuhnya hukuman mati, dan dera, disamping tidak sejalan dengan kelemahlembutan
wanita, kesaksian dalam hal tersebut juga tidak lumrah bagi mereka yang diharapkan lebih banyak
member perhatian pada anak-anak dan rumah tangganya.

Sebagaimana Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil. Karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban. Memang,
banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang, yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling
sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, merka perlu dihimbau.
Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang member keterangan, dan wajib hukumnya
bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan. Nanti dalam ayat berikut akan ada larangan tegas
disertai ancaman bagi saksi-saksi yang menyembunyikan kesaksian, yang mengakibatkan kerugian pihak
lain.

Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja mempunyai
aneka kepentingan pribadi atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat
mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual beli atau hutang-
piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi jika mereka menyelewengkan
kesaksian atau menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu
redaksi yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta
yang berhutang dan pemberi hutang.

Salah satu bentuk mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan
memperoleh rezeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan mereka ganti biaya transport dan biaya ,
sebagai imbalan jerih payah dan penggunaan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi
hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi
menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika
kamu, wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah, melakukan yang demikian, maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.

Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertakwa yang disusul dengan
mengingatkan pengajaran Ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan
transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung
untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya takwa serta
mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat.

Namun dalam penafsiran lain disebutkan lebih jelas dan mendetail mengenai tafsiran ayat ini, Ayat di
atas dapat disimpulkan bahwa Islam menetapkan perlunya mendokumentasikan misalnya dalam bentuk
tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi diantara manusia karena itu sangat beralasan
kalau tulisan atau surat-surat dijadikan sebagai salah satu alat bukti.

Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu:

Akta otentik

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapkan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut
ketentuan yang telah ditetapkan sebagai pejabat yang berwenang dimaksudkan antara lain notaris,
jurusita, panitra, dan hakim pengadilan, pegawai catatan sipil dan lain-lain.[5]
Pada setiap akta otentik dikenal 3 (tiga) macam kekuatan bukti, yaitu :

1) Kekuatan bukti lahir yakni berkenaan dengan syarat-syarat formal suatu akta otentik dipenuhi atau
tidak

2) Kekuatan bukti formal yakni berkenaan dengan soal kebenaran peristiwa yang disebutkan dalam akta
otentik

3) Kekuatan bukti material yakni berkenaan dengan kebenaran isi akta otentik.[6]

2. Akta tidak otentik (di bawah tangan)

Akta tidak otentik atau akta di bawah tangan adalah segala tulisan yang memang sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan
bentuknya pun tidaklah terikat kepada bentuk tertentu.

Misalnya: Surat jual beli tanah, yang dibuat oleh kedua bela pihak, sekalipun di atas kartu segel dan
ditandatangani oleh ketua RT, ketua RW, lurah/kepala desa, tidak bisa disebut akta otentik karena
pejabat berwenang membuat akta tanah yang disebut PPAT, hanyalah notaris dan camat.

Alat bukti saksi

Kata sandi jika dilihat dari pengertian terminologi berarti orang yang mempertunjukkan,
memperlihatkan, sebagai bukti.[7] Sedangkan menurut istilah syara’ ialah orang yang menyaksikan
dengan mata kepala sendiri.[8]

Jadi saksi yang dimaksud dalam hal ini adalah manusia hidup. Sedangkan menurut Sayid Sabiq dalam
kitab sunnah bahwa yang dimaksud dengan saksi itu adalah memberitahukan seseorang tentang apa
yang disaksikan dan dilihatnya.[9] Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia
ketahui dengan sebenarnya.
Bila dimaksudkan bahwa saksi adalah orang yang betul-betul sebagai saksi karena menyaksikan sendiri
suatu perkara maka dinilai bahwa kesaksian tersebut adalah merupakan salah satu bukti dalam hukum
pembuktian.

Kebanyakan ahli hukum Islam (Fuqaha) menyamakan kesaksian itu dengan bayyinah, apabila saksi
disamakan dengan bayyinah maka itu berarti pembuktian di muka hakim hanya dimungkinkan dengan
saksi saja.[10]

Dasar hukum daripada alat bukti saksi dapat dilihat dalam Q.S. al Baqarah (2): 282

ِ َ‫ض َّل إِحْ دَاهُ َماأَ ْن ت‬


… ‫ض َّل إِحْ دَاهُ َما فَتُ َذ ِّك َر‬ ِ َ‫َوا ْستَ ْش ِهدُوا َش ِهي َدي ِْن ِم ْن ِر َجالِ ُك ْم فَإِ ْن لَ ْم يَ ُكونَا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل َوا ْم َرأَتَا ِن ِم َّم ْن تَرْ ضَوْ نَ ِمنَ ال ُّشهَدَا ِء أَ ْن ت‬
‫ب ال ُّشهَدَا ُء إِ َذا َما ُدعُوا‬ َ ْ‫…إِحْ دَاهُ َما األُ ْخ َرى َوال يَأ‬

Terjemahnya :

“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…”[11]

Dalam dalam Q.S. an Nisah (4) 135 yaitu :

‫…يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ُكونُوا قَوَّا ِمينَ بِ ْالقِ ْس ِط ُشهَدَا َء هَّلِل‬

Terjemahnya :

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah…” [12]
Kesaksian hanya wajib ditunaikan jika saksi mampu menunaikannya tanpa adanya bahaya yang
menimpanya baik dibadannya, kehormatannya, hartanya, ataupun keluarganya, berdasarkan firman
Allah swt dalam Q.S. al Baqarah (2) 282 yaitu:

…‫ضا َّر كَاتِبٌ َوال َش ِهي ٌد‬


َ ُ‫… َوال ي‬

Terjemahnya :

“….Janganlah penulis dan saksi itu mendapat kesulitan …”[13]

Kesimpulannya bahwa setiap saksi yang memberikan kesaksiannya di depan hakim hendaknya
memperoleh jaminan keamanan baik jiwa, harta dan kehormatannya. Karena setiap kesaksian
dipandang wajib bagi setiap orang yang memiliki pengetahuan akan perkara yang ia ketahui secara pasti
tentang kebenaran tersebut.

Sehingga dengan adanya kesaksian dari saksi tersebut diharapkan akan terungkapnya suatu kebenaran
diantara pihak-pihak yang berperkara dengan sebab itulah maka berdosa hukumnya bagi orang yang
memenuhi syarat untuk menjadi saksi menolak untuk tidak memberikan kesaksiannya, berdasarkan
firman Allah swt di dalam Al-Qur’an Q.S. al Baqarah (2) 283 yaitu :

… ‫َوال تَـ ْكتُ ُموا ال َّشهَا َدةَ َو َم ْن يَ ْكتُ ْمهَا فَإِنَّهُ َءاثِ ٌم قَ ْلبُـهُ َوهَّللا ُ بـِ َما تَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم‬

Terjemahnya :

“…dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[14]
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tentang kedudukan saksi dalam hukum pembuktian yaitu
sebagai alat bukti, diantara alat bukti lainnya yang dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara.
Namun dalam berbagai alasan demi untuk membuktikan suatu kebenaran antara pihak-pihak yang
berperkara, hingga adanya saksi sebagai alat bukti yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara, tidak
begitu saja diterima sebelum saksi yang diajukan kemuka pengadilan memenuhi kriteria yang ditetapkan
oleh hukum pembuktian. Dan dalam hal ini yakni hukum pembuktian yang dianut oleh peradilan
khususnya Peradilan Agama yang merupakan pembahasan utama dalam hal ini, dalam kaitannya dengan
eksistensi saksi non muslim di mata hukum Islam.

Untuk memberitahukan kesaksian yang dapat diterima serta dapat di jadikan pembuktian kuat wajib
memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :

a) Beragam Islam

Saksi dalam hal ini haruslah beragama Islam karena syarat para fuqaha menetapkan, bahwa dalam
kesaksian ini yang dapat diterima bagi kesaksian seseorang haruslah beragama Islam.

b) Baliqh

Saksi yang belum mencapai usia baliqh tidak dapat dijadikan sebagai saksi, terlebih memberikan
kesaksian.

c) Berakal

Persaksian dari pada saksi dapat dijadikan saksi sebagai pembuktian dalam Peradilan Agama jika saksi
memiliki akal dan jiwa yang sehat sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh saksi dalam suatu
persaksian.

d) Merdeka
Merdeka ialah saksi dalam memberikan kesaksian harus termasuk orang yang merdeka yaitu tidak
sebagai budak atau orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya.

e) Adil[15]

Sifat keadilan dari saksi dalam memberikan kesaksian sangatlah menentukan dalam penilaian hakim
karenanya sifat adil dalam hal ini ialah menjauhi perbuatan dosa, baik hati, menjaga kehormatan diri,
dan bukan musuh atau lawan dari pihak yang berperkara.

Syarat-syarat saksi yang dikemukakan di atas adalah merupakan syarat-syarat yang diperpegangi oleh
peradilan agama, namun ada beberapa tambahan syarat seperti yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq
dalam fiqh sunnahnya, dengan dua syarat tambahannya yaitu mampu berbicara tidak bisa, dan bukan
sanak famili atau keluarga terdekat salah satunya.

Persyaratan yang harus dimiliki oleh saksi atau beberapa orang saksi seperti yang telah diuraikan di atas
merupakan syarat mutlak yang mesti ada pada saksi, walaupun dalam beberapa hal sebagaimana yang
dimaksud oleh Sayyid Sabiq harus tidak bisu dan khusus yang diatur oleh Peradilan Agama dalam
perkara perdata.[16]

Syarat-syarat saksi yang diuraikan di atas adalah merupakan syarat yang dikenakan pada seorang saksi
sebelum memberikan kesaksian, karena saksi dalam hal ini merupakan orang yang menyaksikan suatu
peristiwa hukum yang sekaligus sebagai syarat hukum dalam membuktikan kebenaran yang terdapat
pada salah satu pihak yang mengajukan perkaranya di muka sidang, oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa syarat-syarat tersebut adalah merupakan ketentuan khusus yang dianjurkan oleh hukum pad
seorang saksi.

Lima syarat yang dikemukakan di atas ditambah dengan dua syarat oleh Sayyid Sabiq yaitu beragama
Islam, baligh, berakal, merdeka adil tidak bisu dan bukan keluarga dekat dari pihak-pihak yang
berperkara adalah merupakan ketentuan yang wajib dimiliki oleh seorang saksi.

Pada prinsipnya, setiap orang dapat menjadi saksi. Namun demikian, untuk memelihara obyektifitas
saksi dan kejujurannya, ada orang tertentu oleh Undang-undang tidak dapat diperkenankan menjadi
saksi sebagai dasar untuk memutus perkara, karena adanya hubungan tertentu dengan para pihak, atau
karena keadaan tertentu orang tidak boleh di dengar sebagai saksi adalah :

Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang sah

Istri atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah ada perceraian

Anak yang tidak diketahui benar umurnya sudah 15 tahun

Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan yang terang.[17]

Sejalan dengan maksud di atas, nabi saw telah memperingatkan agar tidak mengangkat saksi orang
pengkhianat, orang yang memiliki rasa dengki terhadap saudaranya, dan pembantu terhadap tuannya.
Nabi bersabda :

)‫ والذى غمـر على اخيه وال تجوز شهادة القانع ال هل البيت (رواه احمد و ابو دود‬،‫ والخائـنـة‬،‫التجوز شهادة خائن‬

Artinya :

Tidak boleh diterima kesaksian seorang pengkhianat laki-laki dan tidak pula pengkhianat perempuan,
orang yang memiliki perasaan dengki terhadap saudaranya, dan tidak diterima kesaksiannya seorang
pembantu atas tuannya.[18]

Selain itu, ada pula golongan orang yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan dari kewajiban
untuk memberi kesaksian, mereka yang boleh mengundurkan diri sebagai saksi disebutkan dalam pasal
146 ayat (1) HIR, pasal 114 RBg. dan pasal 1909 alinea 2 BW, atau disebut dengan sebagai hak ingkar.
Mereka itu adalah :

Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak

Keluarga saudara menurut keturunan yang lurus, dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau
isteri salah satu pihak

Semua orang yang karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatan yang sah diwajibkan menyimpan
rahasia akan tetapi hanya semata-mata mengetahui pengetahuan yang diserahkan kepadanya karena
martabat, pekerjaan atau jabatannya itu.[19]
Saksi-saksi yang dipanggil ke muka sidang pengadilan mempunyai kewajiban menurut hukum yaitu :

Kewajiban untuk menghadap atau datang memenuhi panggilan persidangan, yang mana dirinya
dipanggil dengan patut dan sah

Kewajiban untuk bersumpah sebelum memberi keterangan, sumpah ini menurut ketentuan agamanya
dan bagi suatu agama yang tidak memperkenankan adanya sumpah maka diganti dengan mengucapkan
janji

Kewajiban untuk memberikan keterangan yang benar

Dalam peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata tidak ada persyaratan secara
mutlak untuk diterima sebagai saksi, baik jenis kelamin, sifat, dan beberapa jumlah ideal. Perbedaan
agama tidak menjadi halangan untuk diterimanya seseorang menjadi saksi, karena prinsip utama dalam
masalah pembuktian adalah terungkapnya suatu kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa
antara para pihak dimuka majelis hakim, dengan hal tersebut keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan.
[20]

Dalam hal membuktikan suatu peristiwa yang terjadi antara orang-orang yang berperkara atau lebih
dikenal dengan istilah pihak-pihak yang berperkara maka dalam Hukum Acara perdata dikenal adanya
asas hukum pembuktian yang di dalamnya terdapat saksi sebagai salah satu unsur pembuktian dan
merupakan pelengkap terhadap bukti-bukti lain yang diajukan oleh penggugat, karena pembuktian itu
sendiri sebagaimana yang dimaksud kitab undang-undang hukum perdata pasal 1856 BW bahwa :

“Setiap orang yang mendalihkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya
sendiri maupun membantah suatu hak orang lain atau menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.[21]

Ini merupakan petunjuk bahwa setiap perkara dalam kasus perdata, yang dikemukakan oleh pihak-pihak
yang berperkara diharuskan memberikan pembuktian yang nyata dan jelas. Sedangkan pembuktian yang
dimaksud oleh Prof. R. Subekti, S. H. dalam bukunya “Hukum Pembuktian” , menjelaskan bahwa
pembuktian ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam
suatu persengketaan.

KESIMPULAN
Dari ayat-ayat tersebut di atas membuktikan bahwasanya al-Qur’an merupakan kitab yang lengkap yang
telah mengatur segala urusan duniawi maupun ukhrowi termasuk juga mengenai alat bukti sebagaimana
yang telah kita ulas di atas. Adapun alat bukti tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 224, 225, dan 282
yang telah kita jelaskan.

Kesaksian dan persaksian yang diberikan oleh para saksi harus pula memenuhi kriteria atau syarat-syarat
yang dipakai dan disepakati oleh para ahli hukum Islam, sehingga kesaksian yang diberikan di muka
Pengadilan Agama dapat dijadikan sebagai alat pembuktian.

Hal ini dapat dilihat dari berbagai keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits yang menyangkut
soal saksi dan persaksiannya, di sisi lain dapat pula dilihat pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh
para ahli hukum Islam atau fuqaha Islam. Dimana para ahli hukum Islam memberikan suatu dalil yang
diambil dari sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan sunnah dan dari sumber hukum Islam lainnya.

Sedangkan menurut M. Nur Rosaid, S.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata, persangkaan adalah
kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, yang menarik kesimpulan ini
adalah hakim atau undang-undang. Satu persangkaan saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu, jadi
harus banyak persangkaan-persangkaan yang satu sama lain saling berhubungan/saling menutupi. Oleh
karena itu hakim harus berhati-hati dalam menarik kesimpulan tersebut.

Oleh karena itu, para praktisi hukum di pengadilan agama harus membedakan status saksi antara status
saksi sebagai syarat hukum agama Islam dengan status saksi sebagai alat bukti, untuk dapat mengetahui
kedudukan saksi tersebut, tidaklah mungkin dilakukan oleh praktisi hukum kalau tidak mengetahui
sepenuhnya hukum materil Islam, sedangkan saksi sebagai alat bukti merupakan pembenaran suatu
peristiwa yang berkaitan dengan hukum formal.

DAFTAR PUSTAKA

· Abdul Manan Penerapan Hukum Islam Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana: Jakarta, 2006

· Ash-Shiddiqi Nasir, Tafsir Al-Qur’an, Bulan Bintang: Jogjakarta, 1965


· Bahreisy Salim, terjemah singkat tafsir Ibnu Katsir, PT. bina Ilmu: Surabaya, 1987

· Lomba Sultan dan Halim Talli, Peradilan Islam dalam Lintasan Syari’ah, Makassar : tp. 2001

· Shaleh Qamaruddin dkk, Asbabunnuzul Latar belakang historis turunnya ayat-ayat al-Qur’an,
Diponegoro: Bandung, 1995

· Shihab M. Quraisy, Tafsir Al-Mishbah, Lentera Hati: Tangerang, 2000

· Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia , Liberty: Yogyakarta, 1993

· http://www.wikipedia.com

[1] Lomba Sultan dan Halim Talli, Peradilan Islam dalam Lintasan Syari’ah (Makassar : tp. 2001), h. 100.

[2] Lomba Sultan dan Halim Talli, op. cit., h. 100-101.

[3] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Cet. VII; Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000),
h. 119.

[4] H. salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, terjemah singkat tafsir Ibnu Katsir, jld.1 hlm.396
[5] H. Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. VIII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), h. 148

[6] Abdul Kadir Muhammad, op. cit., h. 120-121.

[7] Anton M. Muliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 779.

[8] H. Roihan A. Rasyid, op. cit., h. 152.

[9] Lihat, Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid 3 (Jakarta: al Maktabah al Khadimat al Haditsah, 1989), h. 318.

[10] H. Raihan A Rasyid op. cit., h. 152-153

[11] Departemen Agama RI, loc. cit.

[12] Ibid., h. 131

[13] Ibid., h. 60

[14] Ibid.,

[15] H. Raihan A Rasyid op. cit., h. 166.

[16] Sayyid Sabiq loc. cit


[17] Abdul Manan Penerapan Hukum Islam Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Cet. IV; Jakarta :
Kencana, 2006) h. 373

[18] Lomba Sultan, op. cit., h. 105-106

[19] Abdul Manan, loc. cit

[20] Ibid., h. 373-374

[21] R. Subketi dan R. Tjitrosudibo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Cet. 35; Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004), h. 419.

[16/11 17.07] melda hes c: Surat Al-Baqarah Ayat 224

ِ َّ‫ضةً أِل َ ْي َمانِ ُك ْم أَ ْن تَبَرُّ وا َوتَتَّقُوا َوتُصْ لِحُوا بَ ْينَ الن‬


‫اس ۗ َوهَّللا ُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬ َ ْ‫َواَل تَجْ َعلُوا هَّللا َ عُر‬

Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan,
bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.

[16/11 17.08] melda hes c: Tafsir jalalain:

(Janganlah kamu jadikan Allah), artinya sewaktu bersumpah dengan-Nya (sebagai sasaran) atau
penghalang (bagi sumpah-sumpahmu) yang mendorong kamu (untuk) tidak (berbuat baik dan
bertakwa). Maka sumpah seperti itu tidak disukai, dan disunahkan untuk melanggarnya lalu membayar
kafarat. Berbeda halnya dengan sumpah untuk berbuat kebaikan, maka itu termasuk taat (serta
mendamaikan di antara manusia), maksud ayat, jangan kamu terhalang untuk membuat kebaikan yang
disebutkan dan lain-lainnya itu jika terlanjur bersumpah, tetapi langgarlah dan bayarlah kafarat sumpah,
karena yang menjadi asbabun nuzulnya ialah tidak mau melanggar sumpah yang telah diikrarkannya.
(Dan Allah Maha Mendengar) ucapan-ucapanmu (lagi Maha Mengetahui) keadaan-keadaanmu.
[16/11 17.11] melda hes c: Tafsir Qurais Shihab:

Janganlah kalian terlalu mudah menyebut nama Allah dengan sering menggunakannya dalam sumpah.
Sebab, hal itu tidak sesuai dengan keagungan nama-Nya. Menjaga diri dengan tidak sering bersumpah
dengan nama Allah menyebabkan kebaktian, ketakwaan dan kemampuan melakukan perbaikan di
antara manusia. Sebab orang yang tidak sering bersumpah akan menjadi terhormat dan terpercaya di
hadapan orang sehingga omongannya diterima. Allah Maha Mendengar ucapan dan sumpah kalian,
Maha Mengetahui segala niat kalian.

[16/11 17.12] melda hes c: Asbabun Nuzul

Terdapat dua pendapat tentang asbabun nuzul ayat tersebut: Ayat tersebut turun berkenaan dengan
Abdullah bin Rawahah dan Basyir bin Nu’man, suami dari saudara perempuan Abdullah. Antara mereka
ada “sesuatu”, Basyir telah menceraikan saudara perempuan Abdullah kemudian dia ingin rujuk dan
berdamai kembali, namun Abdullah bersumpah tidak akan menemui Basyir, tidak akan berbicara
dengannya, dan tidak akan mendamaikan mereka berdua.

[16/11 17.13] melda hes c: Menurut pendapat lain, ayat tersebut berkenaan dengan Abu Bakar ketika
dia bersumpah tidak akan memberi nafkah Misthah karena dia telah berani turut serta menggunjing soal
hadits al-ifki (cerita bohong yang merusak nama baik Aisyah).

[16/11 17.20] melda hes c: -Baqarah: 224

Ayat

Terjemahan Per Kata (mufrodat)

‫َواَل‬

dan jangan

ْ ُ‫ت َۡج َعل‬


‫وا‬

kalian jadikan

َ ‫ٱهَّلل‬

Allah

‫ض ٗة‬
َ ‫ع ُۡر‬
(sebagai) penghalang

ۡ‫أِّل َ ۡي ٰ َمنِ ُكم‬

bagi/dalam sumpahmu

‫أَن‬

untuk

ْ ُّ‫تَبَر‬
‫وا‬

berbuat kebajikan

ْ ُ‫َوتَتَّق‬
‫وا‬

dan bertakwa

ْ ‫صلِح‬
‫ُوا‬ ۡ ُ‫َوت‬

dan mengadakan ishlah

َ‫بَ ۡين‬

diantara

ِ ۚ َّ‫ٱلن‬
‫اس‬

manusia

ُ ‫َوٱهَّلل‬

dan Allah

‫َس ِمي ٌع‬

Maha Mendengar

‫يم‬ٞ ِ‫َعل‬

Maha Mengetahui

[16/11 17.26] melda hes c: SURAH AL BAQARAH

2:224

Tafsir Kemenag
Tafsir QS. Al Baqarah (2) : 224. Oleh Kementrian Agama RI

Ayat ini memperingatkan manusia agar berhati-hati mem-pergunakan nama Allah dalam bersumpah.

Jangan berani bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk hal-hal yang tidak baik dan yang dilarang
oleh agama, sebab nama Allah sangat mulia dan harus diagungkan.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa sebab turunnya ayat 224 ini, ialah ketika Abu Bakar bersumpah
dengan menyebut nama Allah, bahwa ia tidak akan membantu lagi seorang kerabatnya (an-Nur [24]: 22)
yang bernama Mistah yang turut menyiarkan kabar bohong menjelek-jelekkan nama Aisyah istri
Rasulullah ‫ﷺ‬.

Riwayat yang mencemarkan nama baik Aisyah oleh orang-orang munafik disebut hadisul-ifki (kabar
bohong).

Dalam ayat ini dilarang bersumpah untuk tidak berbuat baik atau tidak bertakwa atau tidak mengadakan
islah di antara manusia.

Kalau sumpah seperti itu sudah diucapkan, wajib dilanggar (dibatalkan), sebab sumpah tersebut tidak
pada tempatnya, tetapi sesudah sumpah itu dilanggar, harus ditebus dengan membayar kafarat, yaitu
memerdekakan seorang budak atau memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian
kepada mereka atau kalau tak sanggup, berpuasa selama 3 hari.

Allah selalu mendengar dan mengetahui apa yang diucapkan dan dikerjakan oleh setiap orang.

Bersumpah yang hanya ucapan lidah saja tanpa sungguh-sungguh tidaklah akan dihukum Allah.

Tapi sumpah yang keluar dari hati dan diucapkan oleh lidah akan dinilai sebagai sumpah.

[16/11 17.30] melda hes c: Tafsir muyassar:


Janganlah kalian wahai kaum muslimin menjadikan sumpah kalian dengan nama Allah sebagai
penghalang bagi kalian untuk berbuat baik, bersilaturrahim, bertakwa dan melakukan perbaikan di
antara manusia dimana kalian diajak untuk melakukan sebagian darinya, lalu kalian menolak dengan
alasan sudah terlanjur bersumpah dengan nama Allah untuk tidak akan melakukannya.

Sebaliknya orang yang bersumpah harus meninggalkan sumpahnya dan melakukan amal-amal kebaikan
dan membayar denda kafarat sumpahnya, dan tidak menganggap apapun sumpahnya.

Allah Maha Mendengar perkataan kalian dan Maha Mengetahui segala keadaan kalian.

[16/11 17.41] melda hes c: Al Baqarah 282

‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِ ٰلٓى اَ َج ٍل‬

ُ‫ق هّٰللا َ َربَّهٗ َواَل يَبْخَسْ ِم ْنه‬ ِ َّ‫ق َو ْليَت‬ُّ ‫ب َك َما َعلَّ َمهُ هّٰللا ُ فَ ْليَ ْكتُ ۚبْ َو ْليُ ْملِ ِل الَّ ِذيْ َعلَ ْي ِه ْال َح‬
َ ُ‫ب كَاتِبٌ اَ ْن يَّ ْكت‬ َ ْ‫ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُوْ ۗهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَّ ْينَ ُك ْم كَاتِ ۢبٌ بِ ْال َع ْد ۖ ِل َواَل يَأ‬
‫ض ِع ْيفًا اَوْ اَل يَ ْست َِط ْي ُع اَ ْن يُّ ِم َّل ه َُو فَ ْليُ ْملِلْ َولِيُّهٗ بِ ْال َع ْد ۗ ِل َوا ْستَ ْش ِه ُدوْ ا َش ِه ْي َدي ِْن ِم ْن ِّر َجالِ ُك ۚ ْم فَاِ ْن لَّ ْم يَ ُكوْ نَا‬ َ ْ‫ق َسفِ ْيهًا اَو‬ ُّ ‫َش ْئـًًٔـ ۗا فَاِ ْن َكانَ الَّ ِذيْ َعلَ ْي ِه ْال َح‬
‫ب ال ُّشهَ ۤ َدا ُء اِ َذا َما ُد ُعوْ ا ۗ َواَل تَسْٔـَٔـَ ُم ْٓوا اَ ْن‬ َ ْ‫ض َّل اِحْ ٰدىهُ َما فَتُ َذ ِّك َر اِحْ ٰدىهُ َما ااْل ُ ْخ ٰر ۗى َواَل يَأ‬ ِ َ‫َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل وَّا ْم َراَ ٰت ِن ِم َّم ْن تَرْ ضَوْ نَ ِمنَ ال ُّشهَ ۤ َدا ِء اَ ْن ت‬
‫هّٰللا‬ ٓ
‫ْس َعلَ ْي ُك ْم‬ َ ‫ض َرةً تُ ِد ْيرُوْ نَهَا بَ ْينَ ُك ْم فَلَي‬ ِ ‫ص ِغ ْيرًا اَوْ َكبِ ْيرًا اِ ٰلى اَ َجلِ ٖ ۗه ٰذلِ ُك ْم اَ ْق َسطُ ِع ْن َد ِ َواَ ْق َو ُم لِل َّشهَا َد ِة َواَ ْد ٰن ٓى اَاَّل تَرْ تَاب ُْٓوا آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً َحا‬ َ ُ‫تَ ْكتُبُوْ ه‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ۢ
ٌ ْ‫ُضا َّر كَاتِبٌ َّواَل َش ِه ْي ٌد ەۗ َواِ ْن تَ ْف َعلُوْ ا فَاِنَّهٗ فُسُو‬ ۤ ۗ
‫َي ٍء َعلِ ْي ٌم‬ ْ ‫ق بِ ُك ْم ۗ َواتَّقُوا َ ۗ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ُ ۗ َو ُ بِ ُك ِّل ش‬ َ ‫ُجنَا ٌح اَاَّل تَ ْكتُبُوْ هَا َواَ ْش ِهد ُْٓوا اِ َذا تَبَايَ ْعتُ ْم ۖ َواَل ي‬

Terjemahan

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu
mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi
sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya),
atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki,
maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari
para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan
janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk
batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih
dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu
merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika
kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis
dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu
kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Tafsir Ringkas Kemenag RI

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu pembayaran
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya untuk melindungi hak masing-masing dan untuk
menghindari perselisiha…

[16/11 17.44] melda hes c: Tafsir Ringkas Kemenag RI

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu pembayaran
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya untuk melindungi hak masing-masing dan untuk
menghindari perselisihan. Dan hendaklah seorang yang bertugas sebagai penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar, jujur, dan adil, sesuai ketentuan Allah dan peraturan perundangan yang
berlaku dalam masyarakat. Kepada para penulis diingatkan agar janganlah penulis menolak untuk
menuliskannya sebagai tanda syukur, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya kemampuan
membaca dan menulis, maka hendaklah dia menuliskan sesuai dengan pengakuan dan pernyataan pihak
yang berutang dan disetujui oleh pihak yang mengutangi. Dan hendaklah orang yang berutang itu
mendiktekan apa yang telah disepakati untuk ditulis, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhan
Pemelihara-nya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripada utang-nya, baik yang berkaitan
dengan kadar utang, waktu, cara pembayaran, dan lain-lain yang dicakup oleh kesepakatan. Jika yang
berutang itu orang yang kurang akalnya, tidak pandai mengurus harta karena suatu dan lain sebab, atau
lemah keadaannya, seperti sakit atau sangat tua, atau tidak mampu mendiktekan sendiri karena bisu
atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya
mendiktekannya dengan benar dan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara
kamu. Jika tidak ada saksi dua orang laki-laki, atau kalau saksi itu bukan dua orang laki-laki, maka boleh
seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi yang
ada, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Hal tersebut agar jika yang seorang dari
perempuan itu lupa, maka perempuan yang seorang lagi yang menjadi saksi bersamanya
mengingatkannya. Dan sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis, kepada para saksi pun Allah
berpesan. Janganlah saksi-saksi itu menolak memberi keterangan apabila dipanggil untuk memberi
kesaksian, karena penolakannya itu dapat merugikan orang lain. Dan janganlah kamu bosan
menuliskannya, baik utang itu kecil maupun besar, sampai yakni tiba batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, yakni penulisan utang piutang dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil di sisi Allah,
yakni dalam pengetahuan-Nya dan dalam kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan kesaksian,
yakni lebih membantu penegakan persaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan
terkait jenis utang, besaran dan waktunya. Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika muamalah dilakukan
dalam bentuk utang piutang, tetapi jika hal itu merupakan perdagangan berupa jual beli secara tunai
yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya,
sebab memang pencatatan jual beli tidak terlalu penting dibanding transaksi utang-piutang. Dan
dianjurkan kepadamu ambillah saksi apabila kamu berjual beli untuk menghindari perselisihan, dan
janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi oleh para pihak untuk memberikan keterangan dan
kesaksian jika diperlukan, begitu juga sebaliknya para pencatat dan saksi tidak boleh merugikan para
pihak. Jika kamu, wahai para penulis dan saksi serta para pihak, lakukan yang demikian, maka sungguh,
hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan rasakanlah keagunganNya dalam
setiap perintah dan larangan, Allah memberikan pengajaran kepadamu tentang hak dan kewajiban, dan
Allah Maha Mengetahui Segala sesuatu.

[16/11 17.47] melda hes c: Kandungan Al Baqarah Ayat 282.

Setiap transaksi yang mengandung perjanjian penangguhan seharusnya ada bukti tertulis. Namun jika
tidak memungkinkan perjanjian tertulis, hendaknya dihadirkan saksi. Jika ternyata tidak ada saksi, tidak
pula bukti tulisan, diperbolehkan adanya jaminan.

Prinsip saling percaya dan menjaga kepercayaan semua pihak. Untuk menghilangkan keraguan maka
hendaklah diadakan perjanjian secara tertulis atau jaminan. Tapi jika semua pihak saling mempercayai,
atau dalam transaksi tunai yang tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari, tidak mengapa
tanpa tulisan atau jaminan asalkan tetap menjaga amanah.

Orang yang mengetahui fakta harus bersedia menjadi saksi. Bersaksi dalam kebenaran merupakan
bentuk ibadah. Sebaliknya, yang menyembunyikan kesaksian akan terancam siksa. Sedangkan bersaksi
palsu termasuk dosa besar.

Taqwa mencakup segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, dalam jual beli, utang piutang, atau
mu’amalat lainnya mesti didasari taqwa.
Taqwa juga harus amanah dan menjauhi hal-hal yang merugikan pihak manapun. Allah SWT maha
mengetahui segalanya, maka dari itu setiap manusia harus menampakkan fakta sebenarnya bila diminta
persaksian.

[16/11 17.49] melda hes c: Al-Baqarah: 282

Tafsir mufrodat:

‫ٰيَٓأَيُّهَا‬

wahai

َ‫ٱلَّ ِذين‬

orang-orang yang

‫َءا َمنُ ٓو ْا‬

beriman

‫إِ َذا‬

apabila

‫تَدَايَنتُم‬

kamu berhutang piutang

‫بِد َۡي ٍن‬

dengan hutang

‫إِلَ ٰ ٓى‬

sampai

‫أَ َج ٖل‬

waktu

‫ُّم َس ٗ ّمى‬

yang ditentukan

ُ‫فَ ۡٱكتُبُو ۚه‬

maka hendaklah kamu menuliskannya


‫َو ۡليَ ۡكتُب‬

dan hendaklah menulis

ۡ‫ب َّۡينَ ُكم‬

diantara kamu

ُ‫كَاتِ ۢب‬

seorang penulis

‫بِ ۡٱل َع ۡد ۚ ِل‬

dengan adil

‫َواَل‬

dan tidak

َ ‫يَ ۡأ‬
‫ب‬

enggan

ٌ‫كَاتِب‬

seorang penulis

‫أَن‬

bahwa

َ ُ‫يَ ۡكت‬
‫ب‬

menulis

‫َك َما‬

sebagaimana

ُ‫َعلَّ َمه‬

telah mengajarkannya

ُ ۚ ‫ٱهَّلل‬

Allah

‫فَ ۡليَ ۡكتُ ۡب‬

maka hendaklah ia menulis


‫َو ۡليُمۡ لِ ِل‬

dan hendaklah membacakan

‫ٱلَّ ِذي‬

orang yang

‫َعلَ ۡي ِه‬

atasnya

ُّ ‫ۡٱل َح‬
‫ق‬

hak
ۡ
ِ َّ‫َوليَت‬
‫ق‬

dan hendaklah ia bertakwa

َ ‫ٱهَّلل‬

Allah

ُ‫َربَّ ۥه‬

Tuhannya

‫َواَل‬

dan janganlah

ۡ ‫يَ ۡبخ‬
‫َس‬

ia mengurangi

ُ‫ِم ۡنه‬

daripadanya

‫ش َٗۡٔي ۚا‬

sesuatu/sedikitpun

‫فَإِن‬

maka jika

َ‫َكان‬

ada
‫ٱلَّ ِذي‬

orang yang

‫َعلَ ۡي ِه‬

atasnya

ُّ ‫ۡٱل َح‬
‫ق‬

hak

‫َسفِيهًا‬

lemah akal

‫أَ ۡو‬

atau

‫ض ِعيفًا‬
َ

lemah (keadaannya)

‫أَ ۡو‬

atau

‫اَل‬

tidak

‫يَ ۡستَ ِطي ُع‬

ia mampu

‫أَن‬

untuk

‫يُ ِم َّل‬

membacakan

‫هُ َو‬

ia

‫فَ ۡليُمۡ لِ ۡل‬

maka hendaklah membacakan


ُ‫َولِيُّ ۥه‬

walinya

‫بِ ۡٱل َع ۡد ۚ ِل‬

dengan adil

ْ ‫ٱست َۡش ِهد‬


‫ُوا‬ ۡ ‫َو‬

dan persaksikanlah

‫َش ِهيد َۡي ِن‬

dua orang saksi

‫ِمن‬

dari

ۖۡ‫ِّجالِ ُكم‬
َ ‫ر‬

orang-orang laki-lakimu

‫فَإِن‬

maka jika

ۡ‫لَّم‬

tidak

‫يَ ُكونَا‬

ada

‫َر ُجلَ ۡي ِن‬

dua orang lelaki

‫ُل‬ٞ ‫فَ َرج‬

maka seorang lelaki

‫َوٱمۡ َرأَتَا ِن‬

dan dua orang perempuan

‫ِم َّمن‬

dari orang
َ ‫ت َۡر‬
َ‫ض ۡون‬

kamu ridhai

َ‫ِمن‬

dari

‫ٱل ُّشهَدَٓا ِء‬

saksi-saksi

‫أَن‬

bahwa

‫َض َّل‬
ِ ‫ت‬

lupa

‫إِ ۡح َد ٰىهُ َما‬

salah seorang dari keduanya

‫فَتُ َذ ِّك َر‬

maka mengingatkan

‫إِ ۡح َد ٰىهُ َما‬

salah seorang dari keduanya

‫ٱأۡل ُ ۡخ َر ٰۚى‬

yang lain

‫َواَل‬

dan jangan

َ ‫يَ ۡأ‬
‫ب‬

enggan

‫ٱل ُّشهَدَٓا ُء‬

saksi-saksi itu

‫إِ َذا‬

apabila
‫َما‬

apa

ْ ۚ ‫ُدع‬
‫ُوا‬

mereka seru/panggil

‫َواَل‬

dan jangan

‫تَ ََۡٔـٔۡس ُم ٓو ْا‬

kamu jemu

‫أَن‬

bahwa/untuk

ُ‫ت َۡكتُبُوه‬

menuliskan

‫ص ِغيرًا‬
َ

kecil

‫أَ ۡو‬

atau

‫َكبِيرًا‬

besar

‫إِلَ ٰ ٓى‬

sampai

‫أَ َجلِ ۚ ِهۦ‬

waktu

ۡ‫ٰ َذلِ ُكم‬

demikian itu

ُ‫أَ ۡق َسط‬

lebih adil
‫ِعن َد‬

disisi

ِ ‫ٱهَّلل‬

Allah

‫َوأَ ۡق َو ُم‬

dan lebih menguatkan

‫لِل َّش ٰهَ َد ِة‬

bagi persaksian

‫َوأَ ۡدن ٰ َٓى‬

dan lebih dekat

‫أَاَّل‬

untuk tidak

‫ت َۡرتَاب ُٓو ْا‬

menimbulkan keragu-raguan

‫إِٓاَّل‬

kecuali

‫أَن‬

bahwa

َ‫تَ ُكون‬

itu (muamalah) adalah

ً‫تِ ٰ َج َرة‬

perdagangan

‫اض َر ٗة‬
ِ ‫َح‬

tunai

‫تُ ِديرُونَهَا‬

kamu jalankannya
ۡ‫بَ ۡينَ ُكم‬

diantaramu

َ ‫فَلَ ۡي‬
‫س‬

maka tidak ada

ۡ‫َعلَ ۡي ُكم‬

atas kalian

‫ُجنَا ٌح‬

dosa

‫أَاَّل‬

untuk tidak

‫ت َۡكتُبُوه َۗا‬

kamu menulisnya

‫َوأَ ۡش ِهد ُٓو ْا‬

dan persaksikanlah

‫إِ َذا‬

apabila

ۚۡ‫تَبَايَ ۡعتُم‬

kamu berjual beli

‫َواَل‬

dan jangan

‫ُضٓا َّر‬
َ ‫ي‬

saling menyulitkan

‫ب‬ٞ ِ‫كَات‬

penulis

‫َواَل‬

dan jangan
‫ۚيد‬ٞ ‫َش ِه‬

saksi

‫َوإِن‬

dan jika

ْ ُ‫ت َۡف َعل‬


‫وا‬

kalian kerjakan

ُ‫فَإِنَّ ۥه‬

maka sesungguhnya itu

ُ ۢ ‫فُسُو‬
‫ق‬

kefasikan

ۗۡ‫بِ ُكم‬

dengan/untuk kalian

ْ ُ‫َوٱتَّق‬
‫وا‬

dan bertakwalah

َ ۖ ‫ٱهَّلل‬

Allah

‫َويُ َعلِّ ُم ُك ُم‬

dan mengajarmu

ُ ۗ ‫ٱهَّلل‬

Allah

ُ ‫َوٱهَّلل‬

dan Allah

‫بِ ُك ِّل‬

dengan segala

‫ش َۡي ٍء‬

sesuatu
‫يم‬ٞ ِ‫َعل‬

Maha Mengetahui

[16/11 17.51] melda hes c: Tafsir jalalayin:

Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu mengadakan utang piutang), maksudnya muamalah seperti
jua beli, sewa-menyewa, utang-piutang dan lain-lain (secara tidak tunai), misalnya pinjaman atau
pesanan (untuk waktu yang ditentukan) atau diketahui, (maka hendaklah kamu catat) untuk
pengukuhan dan menghilangkan pertikaian nantinya. (Dan hendaklah ditulis) surat utang itu (di antara
kamu oleh seorang penulis dengan adil) maksudnya benar tanpa menambah atau mengurangi jumlah
utang atau jumlah temponya. (Dan janganlah merasa enggan) atau berkeberatan (penulis itu) untuk
(menuliskannya) jika ia diminta, (sebagaimana telah diajarkan Allah kepadanya), artinya telah diberi-Nya
karunia pandai menulis, maka janganlah dia kikir menyumbangkannya. 'Kaf' di sini berkaitan dengan
'ya'ba' (Maka hendaklah dituliskannya) sebagai penguat (dan hendaklah diimlakkan) surat itu (oleh
orang yang berutang) karena dialah yang dipersaksikan, maka hendaklah diakuinya agar diketahuinya
kewajibannya, (dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya) dalam mengimlakkan itu (dan
janganlah dikurangi darinya), maksudnya dari utangnya itu (sedikit pun juga. Dan sekiranya orang yang
berutang itu bodoh) atau boros (atau lemah keadaannya) untuk mengimlakkan disebabkan terlalu muda
atau terlalu tua (atau ia sendiri tidak mampu untuk mengimlakkannya) disebabkan bisu atau tidak
menguasai bahasa dan sebagainya, (maka hendaklah diimlakkan oleh walinya), misalnya bapak, orang
yang diberi amanat, yang mengasuh atau penerjemahnya (dengan jujur. Dan hendaklah persaksikan)
utang itu kepada (dua orang saksi di antara laki-lakimu) artinya dua orang Islam yang telah balig lagi
merdeka (Jika keduanya mereka itu bukan), yakni kedua saksi itu (dua orang laki-laki, maka seorang laki-
laki dan dua orang perempuan) boleh menjadi saksi (di antara saksi-saksi yang kamu sukai) disebabkan
agama dan kejujurannya. Saksi-saksi wanita jadi berganda ialah (supaya jika yang seorang lupa) akan
kesaksian disebabkan kurangnya akal dan lemahnya ingatan mereka, (maka yang lain (yang ingat) akan
mengingatkan kawannya), yakni yang lupa. Ada yang membaca 'tudzkir' dan ada yang dengan tasydid
'tudzakkir'. Jumlah dari idzkar menempati kedudukan sebagai illat, artinya untuk mengingatkannya jika
ia lupa atau berada di ambang kelupaan, karena itulah yang menjadi sebabnya. Menurut satu qiraat 'in'
syarthiyah dengan baris di bawah, sementara 'tudzakkiru' dengan baris di depan sebagai jawabannya.
(Dan janganlah saksi-saksi itu enggan jika) 'ma' sebagai tambahan (mereka dipanggil) untuk memikul dan
memberikan kesaksian (dan janganlah kamu jemu) atau bosan (untuk menuliskannya), artinya utang-
utang yang kamu saksikan, karena memang banyak orang yang merasa jemu atau bosan (biar kecil atau
besar) sedikit atau banyak (sampai waktunya), artinya sampai batas waktu membayarnya, menjadi 'hal'
dari dhamir yang terdapat pada 'taktubuh' (Demikian itu) maksudnya surat-surat tersebut (lebih adil di
sisi Allah dan lebih mengokohkan persaksian), artinya lebih menolong meluruskannya, karena adanya
bukti yang mengingatkannya (dan lebih dekat), artinya lebih kecil kemungkinan (untuk tidak
menimbulkan keraguanmu), yakni mengenai besarnya utang atau jatuh temponya. (Kecuali jika) terjadi
muamalah itu (berupa perdagangan tunai) menurut satu qiraat dengan baris di atas hingga menjadi
khabar dari 'takuuna' sedangkan isimnya adalah kata ganti at-tijaarah (yang kamu jalankan di antara
kamu), artinya yang kamu pegang dan tidak mempunyai waktu berjangka, (maka tidak ada dosa lagi
kamu jika kamu tidak menulisnya), artinya barang yang diperdagangkan itu (hanya persaksikanlah jika
kamu berjual beli) karena demikian itu lebih dapat menghindarkan percekcokan. Maka soal ini dan yang
sebelumnya merupakan soal sunah (dan janganlah penulis dan saksi -maksudnya yang punya utang dan
yang berutang- menyulitkan atau mempersulit), misalnya dengan mengubah surat tadi atau tak hendak
menjadi saksi atau menuliskannya, begitu pula orang yang punya utang, tidak boleh membebani si
penulis dengan hal-hal yang tidak patut untuk ditulis atau dipersaksikan. (Dan jika kamu berbuat) apa
yang dilarang itu, (maka sesungguhnya itu suatu kefasikan), artinya keluar dari taat yang sekali-kali tidak
layak (bagi kamu dan bertakwalah kamu kepada Allah) dalam perintah dan larangan-Nya (Allah
mengajarimu) tentang kepentingan urusanmu. Lafal ini menjadi hal dari fi`il yang diperkirakan
keberadaannya atau sebagai kalimat baru. (Dan Allah mengetahui segala sesuatu).

[16/11 17.54] melda hes c: Tafsir Qurais Shihab:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian melakukan utang piutang (tidak secara tunai) dengan
waktu yang ditentukan, maka waktunya harus jelas, catatlah waktunya untuk melindungi hak masing-
masing dan menghindari perselisihan. Yang bertugas mencatat itu hendaknya orang yang adil. Dan
janganlah petugas pencatat itu enggan menuliskannya sebagai ungkapan rasa syukur atas ilmu yang
diajarkan-Nya. Hendaklah ia mencatat utang tersebut sesuai dengan pengakuan pihak yang berutang,
takut kepada Allah dan tidak mengurangi jumlah utangnya. Kalau orang yang berutang itu tidak bisa
bertindak dan menilai sesuatu dengan baik, lemah karena masih kecil, sakit atau sudah tua, tidak bisa
mendiktekan karena bisu, karena gangguan di lidah atau tidak mengerti bahasa transaksi, hendaknya
wali yang ditetapkan agama, pemerintah atau orang yang dipilih olehnya untuk mendiktekan catatan
utang, mewakilinya dengan jujur. Persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki. Kalau tidak ada dua
orang laki- laki maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan untuk menjadi saksi ketika terjadi
perselisihan. Sehingga, kalau yang satu lupa, yang lain mengingatkan. Kalau diminta bersaksi, mereka
tidak boleh enggan memberi kesaksian. Janganlah bosan-bosan mencatat segala persoalan dari yang
kecil sampai yang besar selama dilakukan secara tidak tunai. Sebab yang demikian itu lebih adil menurut
syariat Allah, lebih kuat bukti kebenaran persaksiannya dan lebih dekat kepada penghilangan keraguan
di antara kalian. Kecuali kalau transaksi itu kalian lakukan dalam perdagangan secara langsung (tunai),
kalian tidak perlu mencatatnya, sebab memang tidak diperlukan. Yang diminta dari kalian hanyalah
persaksian atas transaksi untuk menyelesaikan perselisihan. Hindarilah tindakan menyakiti penulis dan
saksi. Sebab yang demikian itu berarti tidak taat kepada Allah. Takutlah kalian kepada-Nya. Dan
rasakanlah keagungan-Nya dalam setiap perintah dan larangan. Dengan begitu hati kalian dapat
memandang sesuatu secara proporsional dan selalu condong kepada keadilan. Allah menjelaskan hak
dan kewajiban kalian. Dan Dia Maha Mengetahui segala perbuatan kalian dan yang lainnya(1). (1)
Masalah hukum yang paling pelik di semua perundang-undangan modern adalah kaidah afirmasi. Yaitu,
cara-cara penetapan hak bagi seseorang jika mengambil jalur hukum untuk menuntut pihak lain. Al-
Qur'ân mewajibkan manusia untuk bersikap proporsional dan berlaku adil. Jika mereka sadar akan itu,
niscaya akan meringankan pekerjaan para hakim. Akan tetapi jiwa manusia yang tercipta dengan
berbagai macam tabiat seperti cinta harta, serakah, lupa dan suka balas dendam, menjadikan hak-hak
kedua pihak diperselisihkan. Maka harus ada kaidah-kaidah penetapan yang membuat segalanya jelas.

[16/11 17.56] melda hes c: Al Baqarah ayat 283

[16/11 17.56] melda hes c: ۞ ٗ‫اؤتُ ِمنَ اَ َمانَتَه‬ ْ ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليُؤَ ِّد الَّ ِذى‬ َ ْ‫َواِ ْن ُك ْنتُ ْم ع َٰلى َسفَ ٍر َّولَ ْم ت َِج ُدوْ ا كَاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقبُو‬
ُ ‫ضةٌ ۗفَاِ ْن اَ ِمنَ بَ ْع‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ࣖ ‫ق َ َربَّهٗ ۗ َواَل تَ ْكتُ ُموا ال َّشهَا َد ۗةَ َو َم ْن يَّ ْكتُ ْمهَا فَاِنَّ ٗ ٓه ٰاثِ ٌم قَ ْلبُهٗ ۗ َو ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ َعلِ ْي ٌم‬ ِ َّ‫َو ْليَت‬

Terjemahan

Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada
barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa menyembunyikannya,
sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

[16/11 17.58] melda hes c: Tafsir Ringkas Kemenag RI

Tuntunan pada ayat yang lalu mudah dilaksanakan jika seseorang tidak sedang dalam perjalanan. Jika
kamu dalam perjalanan dan melakukan transaksi keuangan tidak secara tunai, sedang kamu tidak
mendapatkan seorang penulis yang dapat menulis utang piutang sebagaimana mestinya, maka
hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh yang berpiutang atau meminjamkan. Tetapi
menyimpan barang sebagai jaminan atau menggadaikannya tidak harus dilakukan jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya, utang
atau apa pun yang dia terima, dan hendaklah dia yang menerima amanat tersebut bertakwa kepada
Allah, Tuhan Pemelihara-nya. Dan wahai para saksi, janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, yakni
jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik
hak maupun yang tidak diketahuinya, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya
kotor, karena bergelimang dosa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, sekecil apa pun itu,
yang nyata maupun yang tersembunyi, yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati.

[16/11 17.59] melda hes c: Al-Baqarah: 283

Tafsir mufrodat:

‫َوإِن‬
dan jika

ۡ‫ُكنتُم‬

kalian adalah

‫َعلَ ٰى‬

atas/dalam

‫َسفَ ٖر‬

perjalanan

ۡ‫َولَم‬

dan tidak

ْ ‫تَ ِجد‬
‫ُوا‬

kamu memperoleh

‫كَاتِبٗ ا‬

seorang penulis

‫ن‬ٞ َ‫فَ ِر ٰه‬

maka barang jaminan

‫ۖة‬ٞ ‫ُوض‬
َ ‫َّم ۡقب‬

yang dipegang

‫فَإِ ۡن‬

maka jika

َ‫أَ ِمن‬

mempercayai

‫ض ُكم‬
ُ ‫بَ ۡع‬

sebagian kamu

ٗ ‫بَ ۡع‬
‫ضا‬

sebagian yang lain

‫فَ ۡليُ َؤ ِّد‬


maka hendaklah menunaikan

‫ٱلَّ ِذي‬

orang yang

َ‫ۡٱؤتُ ِمن‬

dipercayai

ُ‫أَ ٰ َمنَتَ ۥه‬

amanatnya
ۡ
ِ َّ‫َوليَت‬
‫ق‬

maka hendaklah bertakwa

َ ‫ٱهَّلل‬

Allah

ُ‫َربَّ ۗۥه‬

Tuhannya

‫َواَل‬

dan jangan

ْ ‫ت َۡكتُ ُم‬
‫وا‬

kamu sembunyikan

َ‫ٱل َّش ٰهَ َد ۚة‬

persaksian

‫َو َمن‬

dan barang siapa

‫يَ ۡكتُمۡ هَا‬

menyembunyikannya

ُ‫فَإِنَّ ٓۥه‬

maka sesungguhnya ia

‫م‬ٞ ِ‫َءاث‬
berdosa

ُ‫قَ ۡلبُ ۗۥه‬

hatinya

ُ ‫َوٱهَّلل‬

dan Allah

‫بِ َما‬

dengan/terhadap apa

َ‫ت َۡع َملُون‬

kamu kerjakan

‫يم‬ٞ ِ‫َعل‬

[16/11 18.01] melda hes c: Tafsir jalalayin:

Jika kamu dalam perjalanan), yakni sementara itu mengadakan utang-piutang (sedangkan kamu tidak
beroleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan) ada yang membaca 'ruhunun' bentuk
jamak dari rahnun (yang dipegang) yang diperkuat dengan kepercayaanmu. Sunah menyatakan
diperbolehkannya jaminan itu di waktu mukim dan adanya penulis. Maka mengaitkannya dengan
jaminan, karena kepercayaan terhadapnya menjadi lebih kuat, sedangkan firman-Nya, "... dan jaminan
yang dipegang", menunjukkan jaminan disyaratkan harus dipegang dan dianggap memadai walaupun si
peminjam atau wakilnya tidak hadir. (Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai yang lainnya),
maksudnya yang berpiutang kepada orang yang berutang dan ia tidak dapat menyediakan jaminan
(maka hendaklah orang yang dipercayainya itu memenuhi), maksudnya orang yang berutang
(amanatnya), artinya hendaklah ia membayar utangnya (dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya) dalam membayar utangnya itu. (Dan barang siapa yang menyembunyikan kesaksian, maka ia
adalah orang yang berdosa hatinya). Dikhususkan menyebutkannya di sini, karena hati itulah yang
menjadi tempat kesaksian dan juga karena apabila hati berdosa, maka akan diikuti oleh lainnya, hingga
akan menerima hukuman sebagaimana dialami oleh semua anggota tubuhnya. (Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan) hingga tiada satu pun yang tersembunyi bagi-Nya.

[16/11 18.02] melda hes c: Tafsir Qurais Shihab:

Jika kalian sedang dalam perjalanan dan tidak ada yang dapat mencatat utang, maka jaminannya berupa
barang yang diperoleh pihak yang mengutangi dari pihak yang berutang. Kalau seseorang menitipkan
sesuatu kepada orang lain sebagai amanat, dan ia dipercayakan untuk itu, maka orang yang
diamanatkan harus menyerahkannya saat diminta. Dan hendaknya ia takut kepada Allah yang
memelihara dan mengawasinya, sehingga nikmat-Nya di dunia dan akhirat tidak diputus. Janganlah
menyembunyikan keterangan atau persaksian ketika diminta. Dan barangsiapa menyembunyikannya,
maka ia adalah orang yang berdosa dan buruk hati. Allah Maha Mengetahui segala apa yang kalian
lakukan. Dan Dia akan memberi balasan sesuai hak kalian.

[16/11 18.07] melda hes c: Kandungan Ayat Q.S. Al-Baqarah ayat 283

Setiap transaksi yang mengandung perjanjian penangguhan seharusnya ada bukti tertulis. Namun jika
tidak memungkinkan perjanjian tertulis, maka hendaklah ada yang menjadi saksi. Jika ternyata tidak ada
saksi, tidak pula bukti tulisan, maka dipersilakan adanya jaminan.

Prisnsip mu’amalat adalah saling percaya dan menjaga kepercayaan semua fihak. Untuk menghilangkan
keraguan maka hendakla diadakan perjanjian secara tertulis atau jaminan. Namun kalau semuanya
saling mempercayai, atau dalam transaksi tunai yang tidak akan menimbulkan masalah di kemudian
hari, tidak mengapa tanpa tulisan atau jaminan aslakan tetap menjaga amanah.

Orang yang mengetahui fakta kebenaran mesti bersedia menjadi saksi. Bersaksi dalam kebenaran,
merupkan ibadah. Sebaliknya yang menyembunyikan kesaksian, terancam siksa. Sedangkan bersaksi
palsu termasuk dosa besar.Taqwa mencakup segala aspek kehidupan. Oleh karena itu dalam jual beli,
utang piutang, atau mu’amalat lainnya mesti didasari taqwa.

Taqwa juga mesti dimanifestasikan dalam menjaga amanah, kepercayaan, kejujuran dan menjauhi hal-
hal yang merugikan fihak manapun. Allah SWT maha mengetahui segalanya. Oleh karena itu setiap
insane mesti tetap menjaga kejujuran, menegakkan kebenaran, menampakkan fakta sebenarnya bila
diminta persaksian. Orang yang menyembunyikan kesaksian akan diungkap kesalahannya oleh yang
Maha Mengetahui.

Asbabun Nuzul Q.S. Al-Baqarah ayat 283

Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa sesuatu yang
diberikan atau dititipkan kapanya itu akan akan dipelihara sebagaimana mestinya, dan pada saat yang
menyerahkan memintanya kembali, maka ia akan menerima utuh sebagaimana adanya tanpa keberatan
dari yang dititipi. Yang menerimapun menerimanya atas dasar kepercayaan dari pemberi bahwa apa
yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi atau penitip tidak akan meminta
melebihi apa yang diberikan atau disepakati kedua pihak.
Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikul amanah kesaksian, diingatkan, janganlah kamu,
wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak
menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.

[16/11 18.10] melda hes c: QS. An-Nisa' Ayat 135

‫ْط ُشهَد َۤا َء هّٰلِل ِ َولَوْ ع َٰلٓى اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ِو ْال َوالِ َد ْي ِن َوااْل َ ْق َربِ ْينَ ۚ اِ ْن يَّ ُك ْن َغنِيًّا اَوْ فَقِ ْيرًا فَاهّٰلل ُ اَوْ ٰلى بِ ِه َم ۗا فَاَل تَتَّبِعُوا ْالهَ ٰ ٓوى‬
ِ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكوْ نُوْ ا قَوَّا ِم ْينَ بِ ْالقِس‬
‫هّٰللا‬
‫ْرضُوْ ا فَاِ َّن َ َكانَ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ خَ بِ ْيرًا‬ ِ ‫اَ ْن تَ ْع ِدلُوْ ا ۚ َواِ ْن ت َْل ٗ ٓوا اَوْ تُع‬

135. Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah,
walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang
terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu
kerjakan.

[16/11 18.12] melda hes c: An-Nisa': 135

Tafsir mufrodat:

‫ٰيَٓأَيُّهَا‬

wahai

َ‫ٱلَّ ِذين‬

orang-orang yang

ْ ُ‫َءا َمن‬
‫وا‬

beriman

ْ ُ‫ُكون‬
‫وا‬

jadilah kamu
َ‫قَ ٰ َّو ِمين‬

orang-orang yang menegakkan

‫بِ ۡٱلقِ ۡس ِط‬

dengan keadilan

‫ُشهَدَٓا َء‬

menjadi saksi

ِ ‫هَّلِل‬

bagi/karena Allah

‫َولَ ۡو‬

walaupun

‫َعلَ ٰ ٓى‬

atas/terhadap

ۡ‫أَنفُ ِس ُكم‬

diri kalian sendiri

‫أَ ِو‬

atau

‫ۡٱل ٰ َولِد َۡي ِن‬

kedua orang tua

ۚ ِ‫َوٱأۡل َ ۡق َرب‬
َ‫ين‬

dan kaum kerabat

‫إِن‬

jika

‫يَ ُك ۡن‬

adalah

‫َغنِيًّا‬

kaya
‫أَ ۡو‬

atau

ٗ ِ‫فَق‬
‫يرا‬

miskin

ُ ‫فَٱهَّلل‬

maka Allah

‫أَ ۡولَ ٰى‬

lebih dekat (tahu)

‫بِ ِه َم ۖا‬

dengan keduanya

‫فَاَل‬

maka janganlah

ْ ‫تَتَّبِع‬
‫ُوا‬

kamu mengikuti

ٓ ٰ ‫ۡٱلهَ َو‬
‫ى‬

hawa nafsu

‫أَن‬

agar

ْ ۚ ُ‫ت َۡع ِدل‬


‫وا‬

kamu berbuat adil

‫َوإِن‬

dan jika

‫ت َۡل ُٓۥو ْا‬

kamu memutar balikkan

‫أَ ۡو‬

atau
ْ ‫تُ ۡع ِرض‬
‫ُوا‬

kamu menentang/enggan

‫فَإِ َّن‬

maka sesungguhnya

َ ‫ٱهَّلل‬

Allah

َ‫َكان‬

adalah Dia

‫بِ َما‬

dengan/terhadap apa

َ‫ت َۡع َملُون‬

kamu kerjakan

ٗ ِ‫خَ ب‬
‫يرا‬

Maha Mengetahu

[16/11 18.14] melda hes c: Asbabunuzul surat an nisa : 135

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari As-Suddi: bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat
135) berkenaan dengan pengaduan dua orang yang bersengketa, seorang kaya dan seorang lagi miskin.
Rasulullah Saw membela pihak yang fakir dengan menganggap orang fakir tidak akan mengzhalimi orang
kaya. Akan tetapi Allah tidak membenarkan tindakan Rasulullah Saw dan memerintahkan untuk
menegakkan keadilan di antara kedua belah pihak

[16/11 18.17] melda hes c: Sabab Al-Nuzul :

Terdapat di dalam kitab TafsirAl-Thabari bahwa diceritakan dari Muhammad bin al-Husain yang berkata,
diceritakan dari Ahmad bin al-Mufdhil yang berkata, dari al-Suda, tentang firman Allah di atas. Ayat di
atas diturunkan kepada Nabi Saw. Ada dua orang yang berselisih dan datang kepada Nabi Saw. Orang
yang satu kaya dan orang yang lainnya miskin. Nabi Saw. lebih condong kepada orang yang miskin. Nabi
Saw. berpendapat bahwa orang miskin tersebut tidak bersalah kepada orang kaya. Maka, Allah tidak
menyukai kecuali Nabi Saw. menegakkan keadilan, baik kepada orang kaya maupun orang yang miskin.
Allah berfirman : “jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya, maka janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
[16/11 18.20] melda hes c: Tafsir Ibnu Katsir:

[16/11 18.21] melda hes c: Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar
menegakkan keadilan, dan janganlah mereka bergeming dari keadilan itu barang sedikit pun, jangan
pula mereka mundur dari menegakkan keadilan karena Allah hanya karena celaan orang-orang yang
mencela, jangan pula mereka dipengaruhi oleh sesuatu yang membuatnya berpaling dari keadilan.
Hendaklah mereka saling membantu, bergotong royong, saling mendukung dan tolong-menolong demi
keadilan.

Firman Allah Swt. yang mengatakan:

{ِ ‫} ُشهَدَا َء هَّلِل‬

menjadi saksi karena Allah. (An-Nisa: 135)

Ayat ini semakna dengan firman-Nya:

ِ ‫َوأَقِي ُموا ال َّشها َدةَ هَّلِل‬

dan hendaklah kalian tegakkan kesaksian itu karena Allah. (At-Thalaq: 2)

Maksudnya, tunaikanlah kesaksian itu karena Allah. Maka bila kesaksian itu ditegakkan karena Allah,
barulah kesaksian itu dikatakan benar, adil, dan hak; serta bersih dari penyimpangan, perubahan, dan
kepalsuan. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

{‫} َولَوْ َعلَى أَ ْنفُ ِس ُك ْم‬

biarpun terhadap diri kalian sendiri. (An-Nisa: 135)


Dengan kata lain, tegakkanlah persaksian itu secara benar, sekalipun bahayanya menimpa diri sendiri.
Apabila kamu ditanya mengenai suatu perkara, katakanlah yang sebenarnya, sekalipun mudaratnya
kembali kepada dirimu sendiri. Karena sesungguhnya Allah akan menjadikan jalan keluar dari setiap
perkara yang sempit bagi orang yang taat kepada-Nya.

*******

Firman Allah Swt.:

َ‫أَ ِو ْالوالِ َدي ِْن َواأْل َ ْق َربِين‬

atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian. (An-Nisa: 135)

Yakni sekalipun kesaksian itu ditujukan terhadap kedua orang tuamu dan kerabatmu, janganlah kamu
takut kepada mereka dalam mengemukakannya. Tetapi kemukakanlah kesaksian secara sebenarnya,
sekalipun bahayanya kembali kepada mereka, karena sesungguhnya perkara yang hak itu harus
ditegakkan atas setiap orang, tanpa pandang bulu.

*******

Firman Allah Swt.:

{‫}إِ ْن يَ ُك ْن َغنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاهَّلل ُ أَوْ لَى بِ ِه َما‬

Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. (An-Nisa: 135)

Artinya, janganlah kamu hiraukan dia karena kayanya, jangan pula kasihan kepadanya karena miskinnya.
Allah-lah yang mengurusi keduanya, bahkan Dia lebih utama kepada keduanya daripada kamu sendiri,
dan Dia lebih mengetahui hal yang bermaslahat bagi keduanya.
*******

Firman Allah Swt.:

{‫}فَال تَتَّبِعُوا ْالهَ َوى أَ ْن تَ ْع ِدلُوا‬

Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. (An-Nisa: 135)

Maksudnya, jangan sekali-kali hawa nafsu dan fanatisme serta risiko dibenci orang lain membuat kalian
meninggalkan keadilan dalam semua perkara dan urusan kalian. Bahkan tetaplah kalian pada keadilan
dalam keadaan bagaimanapun juga, seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:

‫َوال يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشنَآنُ قَوْ ٍم عَلى أَاَّل تَ ْع ِدلُوا ا ْع ِدلُوا ه َُو أَ ْق َربُ لِلتَّ ْقوى‬

Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Maidah: 8)

Termasuk ke dalam pengertian ini ialah perkataan Abdullah ibnu Rawwahah ketika diutus oleh Nabi Saw.
melakukan penaksiran terhadap buah-buahan dan hasil panen milik orang-orang Yahudi Khaibar. Ketika
itu mereka bermaksud menyuapnya dengan tujuan agar bersikap lunak terhadap mereka, tetapi
Abdullah ibnu Rawwahah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku datang kepada kalian dari makhluk
yang paling aku cintai, dan sesungguhnya kalian ini lebih aku benci daripada kera dan babi yang
sederajat dengan kalian. Bukan karena cintaku kepadanya, benciku terhadap kalian, lalu aku tidak
berlaku adil terhadap kalian.” Mereka mengatakan, “Dengan demikian, berarti langit dan bumi akan
tetap tegak.”

Hadis ini insya Allah akan disebut secara panjang lebar berikut sanadnya dalam tafsir surat Al-Maidah.
*******

Firman Allah Swt.:

ِ ‫َوإِ ْن ت َْل ُووا أَوْ تُع‬


‫ْرضُوا‬

Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi. (An-Nisa: 135)

Menurut Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, makna talwu
ialah memalsukan dan mengubah kesaksian. Makna lafaz al-lai sendiri ialah mengubah dan sengaja
berdusta. Seperti pengertian yang ada di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

ِ ‫َوإِ َّن ِم ْنهُ ْم لَفَ ِريقا ً يَ ْلوُونَ أَ ْل ِسنَتَهُ ْم بِ ْال ِكتا‬


‫ب‬

Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab. (Ali
Imran: 78), hingga akhir ayat.

Al-i’rad artinya menyembunyikan kesaksian dan enggan mengemukakannya. Dalam ayat yang lain
disebutkan melalui firman-Nya:

ُ‫َو َم ْن يَ ْكتُ ْمها فَإِنَّهُ آثِ ٌم قَ ْلبُه‬

Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.
(Al-Baqarah: 283)

Nabi Saw. telah bersabda:

“‫”خَ ْي ُر ال ُّشهَدَا ِء الَّ ِذي يَأْتِي بِ َشهَا َدتِ ِه قَب َْل أَ ْن يُسألها‬
Sebaik-baik saksi ialah orang yang mengemukakan kesaksiannya sebelum diminta untuk bersaksi.

Karena itulah Allah mengancam mereka dalam firman selanjutnya, yaitu:

{‫}فَإِ َّن هَّللا َ َكانَ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِيرًا‬

maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan. (An-Nisa: 135)

Dengan kata lain, Allah kelak akan membalas perbuatan kalian itu terhadap diri kalian.

[16/11 18.29] nadia hes c: Tafsir jalalain sura anisa ayat 135

Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi penegak) atau benar-benar tegak dengan
(keadilan) (menjadi saksi) terhadap kebenaran (karena Allah walaupun) kesaksian itu (terhadap dirimu
sendiri) maka menjadi saksilah dengan mengakui kebenaran dan janganlah kamu menyembunyikannya
(atau) terhadap (kedua ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia) maksudnya orang yang disaksikan itu
(kaya atau miskin, maka Allah lebih utama bagi keduanya) daripada kamu dan lebih tahu kemaslahatan
mereka. (Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu) dalam kesaksianmu itu dengan jalan pilih kasih,
misalnya dengan mengutamakan orang yang kaya untuk mengambil muka atau si miskin karena merasa
kasihan kepadanya (agar) tidak (berlaku adil) atau menyeleweng dari kebenaran. (Dan jika kamu
mengubah) atau memutarbalikkan kesaksian, menurut satu qiraat dengan membuang huruf wawu yang
pertama sebagai takhfif (atau berpaling) artinya enggan untuk memenuhinya (maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan) hingga akan diberi-Nya balasannya.

[16/11 18.47] nadia hes c: 135.

۞ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكوْ نُوْ ا قَوَّا ِم ْينَ بِ ْالقِ ْس ِط ُشهَد َۤا َء هّٰلِل ِ َولَوْ ع َٰلٓى اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ِو ْال َوالِ َد ْي ِن َوااْل َ ْق َربِ ْينَ ۚ اِ ْن يَّ ُك ْن َغنِيًّا اَوْ فَقِ ْيرًا فَاهّٰلل ُ اَوْ ٰلى بِ ِه َم ۗا فَاَل تَتَّبِعُوا‬
‫ْرضُوْ ا فَاِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ خَ بِ ْيرًا‬
ِ ‫ْالهَ ٰ ٓوى اَ ْن تَ ْع ِدلُوْ ا ۚ َواِ ْن ت َْل ٗ ٓوا اَوْ تُع‬

Terjemahan

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun
terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya
ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.s

[16/11 18.57] nadia hes c: Asbabunuzul annisa ayat 135

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya
ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari As-Suddi: bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat
135) berkenaan dengan pengaduan dua orang yang bersengketa, seorang kaya dan seorang lagi miskin.
Rasulullah Saw membela pihak yang fakir dengan menganggap orang fakir tidak akan mengzhalimi orang
kaya. Akan tetapi Allah tidak membenarkan tindakan Rasulullah Saw dan memerintahkan untuk
menegakkan keadilan di antara kedua belah pihak.

at 2:38 PM

[16/11 18.59] nadia hes c: As-Suddy melanjutkan ucapannya): “Diturunkan mengenai Nabi SAW. yang
menerima pengaduan dua orang laki-laki yang bersengketa, yang satu kaya dan yang satu lagi faqîr
(miskin). Nabi SAW. berpihak kepada yang faqîr (miskin); karena menurut pandangan beliau SAW:
“Bahwa orang Faqîr (miskin) tidak akan berbuat zhâlim (aniaya) kepada yang kaya. Maka Allah SWT.
tidak membenarkan tindakan Nabi SAW. tersebut, dan (Allah SWT.) memerintahkan (Nabi SAW.) untuk
menegakkan keadilan di antara kedua belah pihak, yaitu antara orang kaya dan faqîr (miskin)”.

Anda mungkin juga menyukai