Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“ Alat Bukti ”
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Perkuliahan Strategi Pembelajaran
TAFSIR AYATUL AHKAM III

oleh kelompok : 3

Nindy Abdilla Rizka : 1219102

Nadia Yulita Sari : 1219074

Melda wati : 1219087

Jusril Aguswan : 1219099

M. David : 1219104

Dosen Pembimbing :

Rahmad Sani, S Th. I, M.Ag

PROGRAM STUDI
HUKUM EKONOMI SYARIAH/HES-C
FAKULTAS SYARIAH (FSYAR) INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadiran Allah yang maha esa karna telah
melimpahkan rahmatnya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktunya.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan para sahabatnya hingga pada umatnya sampai akhir zaman.

Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak dosen Rahmad Sani, S Th. I, M.Ag yang telah
memberikan tugas ini kepada kami, sehingga kami mendapatkan banyak ilmu tambahan
khususnya dalam masalah “Alat Bukti ”.

Kami selaku penyusun berharap semoga makalah ini bisa dengan mudah di pahami.
Sebelumnya, kami meminta maaf jika terdapat kurang berkenan, serta tak lupa kami juga
berharap adanya masukan serta kritikan yang membangun demi terciptanya makalah ini ke yang
lebih baik lagi.

Bukittinggi, 16 November 2021


DAFTAR ISI

Kata pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i

Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1

B. Rumusan masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

C. Tujuan pembahasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Alat Bukti . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
B. Ayat Al-Quran Tentang Alat Bukti Dan Penafsiran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
B. Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24

Daftar pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Dalam penyelesaian sebuah perkara di setiap pengadilan membutuhkan proses agar


terpecahkannya masalah tersebut, siapa yang terbukti bersalah dan siapa yang terbukti tidak
bersalah. Agar terpecahkannya masalah tersebut maka dibutuhkanlah alat-alat bukti, yakni
upaya yang bisa dipergunakan oleh pihakpihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di
muka pengadilan. Dalam pembuktian diperlukan alat-alat bukti. Alat bukti adalah alat-alat
atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara dimuka sidang
pengadilan untuk meyakinkan hakim akan kebenaran tuntutan atau bantahannya. Alat bukti
ini sangat penting artinya bagi para pihak yang berperkara yang merupakan alat atau sarana
untuk meyakinkan kebenaran tuntutan hak penggugat atau menolak tuntutan. Begitu pula
bagi hakim, alat bukti sangat diperlukan dalam proses memutuskan sebuah perkara yang
diajukan kepadanya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Itu Alat Bukti?


2. Penjelasan Ayat Al-Quran Tentang Alat Bukti Dan Penafsirannya?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk Mengetahui Itu Alat Bukti


2. Untuk Mengetahui Ayat Al-Quran Tentang Alat Bukti Dan Penafsirannya?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Alat Bukti


Setiap tuntutan hak atau menolak tuntutan hak harus dibuktikan di muka sidang
pengadilan. Dalam pembuktian ini diperlukan alat-alat bukti. Alat bukti adalah alat-alat
atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara di muka sidang
pengadilan untuk meyakinkan hakim akan kebenaran tuntutan atau bantahannya. Alat
bukti ini sangat penting artinya bagi para pihak yang berperkara merupakan alat atau
sarana untuk meyakinkan kebenaran tuntutan hak penggugat atau menolak tuntutan hak
bagi hakim. Dan bagi hakim, alat bukti tersebut dipergunakan sebagai dasar memutus
perkara.
Suatu perkara di pengadilan tidak dapat diputus oleh hakim tanpa didahului
dengan pembuktian. Dengan kata lain, kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti
maka perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim tetapi dengan menolaknya gugatan
karena tidak ada bukti.1
Dari uraian singkat di atas, maka dapat diketahui bahwa tujuan utama dari alat
bukti ialah untuk lebih memperjelas dan meyakinkan hukum sehingga ia tidak keliru
dalam menetapkan putusannya dan pihak yang benar tidak dirugikan sehingga dengan
demikian keadilan di muka bumi ini dapat ditegakkan.
Alat bukti terdiri dari beberapa macam di antaranya ada yang disepakati oleh
Mazhab-mazhab dan sebagainya lagi masih diperselisihkan. Diantara alat bukti yang
kebanyakan digunakan oleh para fuqaha seperti diungkapkan oleh Abu Yusuf :

‫ و قر ان‬، ‫ غلم به‬،‫ بـينـة‬، ‫ قسامة‬، ‫ نكو ل‬، ‫ اقـر ار‬،‫يمـيـن‬

Artinya : “Sumpah, Pengakuan, penolakan sumpah, qasamah, bayyinah, ilmu qadhi dan
petunjuk-petunjuk.”

1
Abdul Manan Penerapan Hukum Islam Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana: Jakarta, 2006

2
B. Penjelasan Ayat Al-Quran Tentang Alat Bukti Dan Penafsirannya
Dari macam-macam alat bukti tersebut di atas kami mencoba menjelaskan dengan
menggunakan dalil-dalil al-Qur’an sebagai berikut:
a. Alat bukti sumpah sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah:224

َ ‫ُصلِ ُحو ْا َوتَتَّقُو ْا تَبَ ُّرو ْا أَن أِّل َ ۡي ٰ َمنِ ُكمۡ ع ُۡر‬
‫ض ٗـة ٱهَّلل َ ت َۡج َعلُو ْا َواَل‬ ۡ ‫س بَ ۡينَ َوت‬ َ ُ‫س ِمي ٌع لَّه‬
ِ ۚ ‫ٱوٱل لنَّا‬ َ ‫يم‬ٞ ِ‫َعل‬

Artinya : “Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang
untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Asbabun Nuzulnya

Asbaabun nuzul dari ayat ini adalah berkenaan dengan sumpahnya Abu Bakar untuk
tidak akan memberi belanja lagi kepada Misthah (adalah seorang fakir miskin yang
hidupnya dibiayai oleh Abu Bakar Shiddiq r.a.), karena ia ikut serta memfitnah Siti ‘Aisyah.
Ayat tersebut sebagai teguran agar sumpah itu tidak menghalangi seseorang untuk berbuat
kebaikan. Maka turunlah ayat ini.

Penafsirannya :

a. Tafsir jalalain
(Janganlah kamu jadikan Allah), artinya sewaktu bersumpah dengan-Nya (sebagai
sasaran) atau penghalang (bagi sumpah-sumpahmu) yang mendorong kamu (untuk) tidak
(berbuat baik dan bertakwa). Maka sumpah seperti itu tidak disukai, dan disunahkan
untuk melanggarnya lalu membayar kafarat. Berbeda halnya dengan sumpah untuk
berbuat kebaikan, maka itu termasuk taat (serta mendamaikan di antara manusia),
maksud ayat, jangan kamu terhalang untuk membuat kebaikan yang disebutkan dan lain-
lainnya itu jika terlanjur bersumpah, tetapi langgarlah dan bayarlah kafarat sumpah,
karena yang menjadi asbabun nuzulnya ialah tidak mau melanggar sumpah yang telah
diikrarkannya. (Dan Allah Maha Mendengar) ucapan-ucapanmu (lagi Maha Mengetahui)
keadaan-keadaanmu.
b. Tafsir Qurais Shihab

3
Janganlah kalian terlalu mudah menyebut nama Allah dengan sering
menggunakannya dalam sumpah. Sebab, hal itu tidak sesuai dengan keagungan nama-
Nya. Menjaga diri dengan tidak sering bersumpah dengan nama Allah menyebabkan
kebaktian, ketakwaan dan kemampuan melakukan perbaikan di antara manusia. Sebab
orang yang tidak sering bersumpah akan menjadi terhormat dan terpercaya di hadapan
orang sehingga omongannya diterima. Allah Maha Mendengar ucapan dan sumpah
kalian, Maha Mengetahui segala niat kalian.
Jadi, penafsiran dari ayat ini menjelaskan bahwasanya tidaklah seseorang itu
menggunakan sumpah atas nama Allah untuk menyakinkan orang lain demi
kepentingannya sendiri. karena banyak menyebut nama Allah dalam sumpah dapat
menghalangi seseorang berbuat kebajikan, bertakwa, dan melakukan ishlah (perbaikan
antara manusia). Ini karena penyebutan nama Allah yang bukan pada tempatnya dapat
mengantar seseorang terbiasa dengannya, sehingga dengan demikian mengantar ia
berbuat dosa, bahkan menjadikan orang tidak percaya kepadanya, sehingga langka-
langkahnya untuk melakukan ishlah akan gagal. Ini karena sumpah adalah alat untuk
mengukuhkan ucapan, dalam rangka menyakinkan orang lain. Jika seseorang terpercaya,
ia tidak perlu menguatkan ucapannya dengan sumpah. Tanpa sumpah pun ia dipercaya.
Nah, banyak bersumpah adalah bukti kekurang percayaan, dan ini pada gilirannya
menghasilkan halangan melakukan kebajikan, takwa, dan ishlah.
c. Tafsir Kemenag Kementrian Agama RI
Ayat ini memperingatkan manusia agar berhati-hati mem-pergunakan nama Allah
dalam bersumpah. Jangan berani bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk hal-hal
yang tidak baik dan yang dilarang oleh agama, sebab nama Allah sangat mulia dan harus
diagungkan.2
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa sebab turunnya ayat 224 ini, ialah ketika Abu
Bakar bersumpah dengan menyebut nama Allah, bahwa ia tidak akan membantu lagi
seorang kerabatnya (an-Nur [24]: 22) yang bernama Mistah yang turut menyiarkan kabar
bohong menjelek-jelekkan nama Aisyah istri Rasulullah ‫ﷺ‬. Riwayat yang

2
Ash-Shiddiqi Nasir, Tafsir Al-Qur’an, Bulan Bintang: Jogjakarta, 1965

4
mencemarkan nama baik Aisyah oleh orang-orang munafik disebut hadisul-ifki (kabar
bohong).
Dalam ayat ini dilarang bersumpah untuk tidak berbuat baik atau tidak bertakwa
atau tidak mengadakan islah di antara manusia. Kalau sumpah seperti itu sudah
diucapkan, wajib dilanggar (dibatalkan), sebab sumpah tersebut tidak pada tempatnya,
tetapi sesudah sumpah itu dilanggar, harus ditebus dengan membayar kafarat, yaitu
memerdekakan seorang budak atau memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi
pakaian kepada mereka atau kalau tak sanggup, berpuasa selama 3 hari.
Allah selalu mendengar dan mengetahui apa yang diucapkan dan dikerjakan oleh
setiap orang. Bersumpah yang hanya ucapan lidah saja tanpa sungguh-sungguh tidaklah
akan dihukum Allah. nTapi sumpah yang keluar dari hati dan diucapkan oleh lidah akan
dinilai sebagai sumpah.
d. Tafsir muyassar
Janganlah kalian wahai kaum muslimin menjadikan sumpah kalian dengan nama
Allah sebagai penghalang bagi kalian untuk berbuat baik, bersilaturrahim, bertakwa dan
melakukan perbaikan di antara manusia dimana kalian diajak untuk melakukan sebagian
darinya, lalu kalian menolak dengan alasan sudah terlanjur bersumpah dengan nama
Allah untuk tidak akan melakukannya.
Sebaliknya orang yang bersumpah harus meninggalkan sumpahnya dan
melakukan amal-amal kebaikan dan membayar denda kafarat sumpahnya, dan tidak
menganggap apapun sumpahnya. Allah Maha Mendengar perkataan kalian dan Maha
Mengetahui segala keadaan kalian.

b. Ayat yang menyebutkan tentang pembuktian saksi adalah surat Al-Baqarah:282

ُّ ‫ض َّل إِ ْحدَا ُه َما فَتُ َذ ِّك َر إِ ْحدَا ُه َما األُ ْخ َرى َوال يَأْ َب ال‬
‫ش َهدَا ُء إِ َذا َما ُدعُوا‬ ِ َ‫َض َّل إِ ْحدَا ُه َماأَنْ ت‬
ِ ‫…ت‬

… ْ‫هدَا ِء أَن‬
َ ‫ش‬
ُّ ‫ض ْونَ ِمنَ ال‬ ِ ‫ش ِهي َد ْي ِن ِمنْ ِر َجالِ ُك ْم فَإِنْ لَ ْم يَ ُكونَا َر ُجلَ ْي ِن فَ َر ُج ٌل َوا ْم َرأَت‬
َ ‫َان ِم َّمنْ ت َْر‬ ْ َ ‫ست‬
َ ‫ش ِهدُوا‬ ْ ‫َوا‬

Artinya: “…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka

5
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil…”

Penafsirannya
Inilah ayat terpanjang dalam al-Qur’an, dan dikenal oleh para ulama’ dengan
nama Ayat al-Mudayanah (ayat utang-piutang). Ayat ini antara lain berbicara tentang
anjuran – atau menurut sebagian ulama’ – kewajiban menulis utang-piutang dan
mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris), sambil
menekankan perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan
waktunya.
Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt. Kepada kaum yang menyatakan
beriman, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.
Kata tadaayantum, yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari
kata dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh
huruf-huruf kata dain itu (yakni daal, ya’ dan nuun) selalu menggambarkan hubungan
antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak yang lain. Kata ini
antara lain bermakna hutang, pembalasan, ketaatan dan agama. Kesemuanya
menggambarkan hubungan timbale balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah.
Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni hutang-
piutang.3
a. Tafsir Ringkas Kemenag RI
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk
waktu pembayaran yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya untuk melindungi
hak masing-masing dan untuk menghindari perselisihan. Dan hendaklah seorang yang
bertugas sebagai penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, jujur, dan adil,
sesuai ketentuan Allah dan peraturan perundangan yang berlaku dalam masyarakat.
Kepada para penulis diingatkan agar janganlah penulis menolak untuk menuliskannya
sebagai tanda syukur, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya kemampuan
membaca dan menulis, maka hendaklah dia menuliskan sesuai dengan pengakuan dan
3
Lomba Sultan dan Halim Talli, Peradilan Islam dalam Lintasan Syari’ah, Makassar : tp. 2001
6
pernyataan pihak yang berutang dan disetujui oleh pihak yang mengutangi. Dan
hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan apa yang telah disepakati untuk ditulis,
dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhan Pemelihara-nya, dan janganlah dia
mengurangi sedikit pun daripada utang-nya, baik yang berkaitan dengan kadar utang,
waktu, cara pembayaran, dan lain-lain yang dicakup oleh kesepakatan. Jika yang
berutang itu orang yang kurang akalnya, tidak pandai mengurus harta karena suatu dan
lain sebab, atau lemah keadaannya, seperti sakit atau sangat tua, atau tidak mampu
mendiktekan sendiri karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan, atau
boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar dan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada saksi dua
orang laki-laki, atau kalau saksi itu bukan dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-
laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi
yang ada, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.
Dan dianjurkan kepadamu ambillah saksi apabila kamu berjual beli untuk
menghindari perselisihan, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi oleh para
pihak untuk memberikan keterangan dan kesaksian jika diperlukan, begitu juga
sebaliknya para pencatat dan saksi tidak boleh merugikan para pihak. Jika kamu, wahai
para penulis dan saksi serta para pihak, lakukan yang demikian, maka sungguh, hal itu
suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan rasakanlah
keagunganNya dalam setiap perintah dan larangan, Allah memberikan pengajaran
kepadamu tentang hak dan kewajiban, dan Allah Maha Mengetahui Segala sesuatu.
b. Tafsir jalalayin
Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu mengadakan utang piutang),
maksudnya muamalah seperti jua beli, sewa-menyewa, utang-piutang dan lain-lain
(secara tidak tunai), misalnya pinjaman atau pesanan (untuk waktu yang ditentukan) atau
diketahui, (maka hendaklah kamu catat) untuk pengukuhan dan menghilangkan
pertikaian nantinya. (Dan hendaklah ditulis) surat utang itu (di antara kamu oleh seorang
penulis dengan adil) maksudnya benar tanpa menambah atau mengurangi jumlah utang
atau jumlah temponya. (Dan janganlah merasa enggan) atau berkeberatan (penulis itu)
untuk (menuliskannya) jika ia diminta, (sebagaimana telah diajarkan Allah kepadanya),
artinya telah diberi-Nya karunia pandai menulis, maka janganlah dia kikir
7
menyumbangkannya. 'Kaf' di sini berkaitan dengan 'ya'ba' (Maka hendaklah
dituliskannya) sebagai penguat (dan hendaklah diimlakkan) surat itu (oleh orang yang
berutang) karena dialah yang dipersaksikan, maka hendaklah diakuinya agar diketahuinya
kewajibannya, (dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya) dalam
mengimlakkan itu (dan janganlah dikurangi darinya), maksudnya dari utangnya itu
(sedikit pun juga.
Dan sekiranya orang yang berutang itu bodoh) atau boros (atau lemah
keadaannya) untuk mengimlakkan disebabkan terlalu muda atau terlalu tua (atau ia
sendiri tidak mampu untuk mengimlakkannya) disebabkan bisu atau tidak menguasai
bahasa dan sebagainya, (maka hendaklah diimlakkan oleh walinya), misalnya bapak,
orang yang diberi amanat, yang mengasuh atau penerjemahnya (dengan jujur. Dan
hendaklah persaksikan) utang itu kepada (dua orang saksi di antara laki-lakimu) artinya
dua orang Islam yang telah balig lagi merdeka (Jika keduanya mereka itu bukan), yakni
kedua saksi itu (dua orang laki-laki, maka seorang laki-laki dan dua orang perempuan)
boleh menjadi saksi (di antara saksi-saksi yang kamu sukai) disebabkan agama dan
kejujurannya. Saksi-saksi wanita jadi berganda ialah (supaya jika yang seorang lupa)
akan kesaksian disebabkan kurangnya akal dan lemahnya ingatan mereka, (maka yang
lain (yang ingat) akan mengingatkan kawannya), yakni yang lupa. Ada yang membaca
'tudzkir' dan ada yang dengan tasydid 'tudzakkir'. Jumlah dari idzkar menempati
kedudukan sebagai illat, artinya untuk mengingatkannya jika ia lupa atau berada di
ambang kelupaan, karena itulah yang menjadi sebabnya. Menurut satu qiraat 'in'
syarthiyah dengan baris di bawah, sementara 'tudzakkiru' dengan baris di depan sebagai
jawabannya. (Dan janganlah saksi-saksi itu enggan jika) 'ma' sebagai tambahan (mereka
dipanggil) untuk memikul dan memberikan kesaksian (dan janganlah kamu jemu) atau
bosan (untuk menuliskannya), artinya utang-utang yang kamu saksikan, karena memang
banyak orang yang merasa jemu atau bosan (biar kecil atau besar) sedikit atau banyak
(sampai waktunya), artinya sampai batas waktu membayarnya, menjadi 'hal' dari dhamir
yang terdapat pada 'taktubuh' (Demikian itu) maksudnya surat-surat tersebut (lebih adil di
sisi Allah dan lebih mengokohkan persaksian), artinya lebih menolong meluruskannya,
karena adanya bukti yang mengingatkannya (dan lebih dekat), artinya lebih kecil
kemungkinan (untuk tidak menimbulkan keraguanmu), yakni mengenai besarnya utang
8
atau jatuh temponya. (Kecuali jika) terjadi muamalah itu (berupa perdagangan tunai)
menurut satu qiraat dengan baris di atas hingga menjadi khabar dari 'takuuna' sedangkan
isimnya adalah kata ganti at-tijaarah (yang kamu jalankan di antara kamu), artinya yang
kamu pegang dan tidak mempunyai waktu berjangka, (maka tidak ada dosa lagi kamu
jika kamu tidak menulisnya), artinya barang yang diperdagangkan itu (hanya
persaksikanlah jika kamu berjual beli) karena demikian itu lebih dapat menghindarkan
percekcokan. Maka soal ini dan yang sebelumnya merupakan soal sunah (dan janganlah
penulis dan saksi -maksudnya yang punya utang dan yang berutang- menyulitkan atau
mempersulit), misalnya dengan mengubah surat tadi atau tak hendak menjadi saksi atau
menuliskannya, begitu pula orang yang punya utang, tidak boleh membebani si penulis
dengan hal-hal yang tidak patut untuk ditulis atau dipersaksikan. (Dan jika kamu berbuat)
apa yang dilarang itu, (maka sesungguhnya itu suatu kefasikan), artinya keluar dari taat
yang sekali-kali tidak layak (bagi kamu dan bertakwalah kamu kepada Allah) dalam
perintah dan larangan-Nya (Allah mengajarimu) tentang kepentingan urusanmu. Lafal ini
menjadi hal dari fi`il yang diperkirakan keberadaannya atau sebagai kalimat baru. (Dan
Allah mengetahui segala sesuatu).
c. Tafsir Qurais Shihab
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian melakukan utang piutang (tidak
secara tunai) dengan waktu yang ditentukan, maka waktunya harus jelas, catatlah
waktunya untuk melindungi hak masing- masing dan menghindari perselisihan. Yang
bertugas mencatat itu hendaknya orang yang adil. Dan janganlah petugas pencatat itu
enggan menuliskannya sebagai ungkapan rasa syukur atas ilmu yang diajarkan-Nya.
Hendaklah ia mencatat utang tersebut sesuai dengan pengakuan pihak yang berutang,
takut kepada Allah dan tidak mengurangi jumlah utangnya.
Kalau orang yang berutang itu tidak bisa bertindak dan menilai sesuatu dengan
baik, lemah karena masih kecil, sakit atau sudah tua, tidak bisa mendiktekan karena bisu,
karena gangguan di lidah atau tidak mengerti bahasa transaksi, hendaknya wali yang
ditetapkan agama, pemerintah atau orang yang dipilih olehnya untuk mendiktekan catatan
utang, mewakilinya dengan jujur. Persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki. Kalau
tidak ada dua orang laki- laki maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan untuk
menjadi saksi ketika terjadi perselisihan. Sehingga, kalau yang satu lupa, yang lain
9
mengingatkan. Kalau diminta bersaksi, mereka tidak boleh enggan memberi kesaksian.
Janganlah bosan-bosan mencatat segala persoalan dari yang kecil sampai yang besar
selama dilakukan secara tidak tunai. Sebab yang demikian itu lebih adil menurut syariat
Allah, lebih kuat bukti kebenaran persaksiannya dan lebih dekat kepada penghilangan
keraguan di antara kalian. Kecuali kalau transaksi itu kalian lakukan dalam perdagangan
secara langsung (tunai), kalian tidak perlu mencatatnya, sebab memang tidak diperlukan.
Yang diminta dari kalian hanyalah persaksian atas transaksi untuk menyelesaikan
perselisihan. Hindarilah tindakan menyakiti penulis dan saksi. Sebab yang demikian itu
berarti tidak taat kepada Allah. Takutlah kalian kepada-Nya.
Dan rasakanlah keagungan-Nya dalam setiap perintah dan larangan. Dengan
begitu hati kalian dapat memandang sesuatu secara proporsional dan selalu condong
kepada keadilan. Allah menjelaskan hak dan kewajiban kalian. Dan Dia Maha
Mengetahui segala perbuatan kalian dan yang lainnya. Masalah hukum yang paling pelik
di semua perundang-undangan modern adalah kaidah afirmasi. Yaitu, cara-cara
penetapan hak bagi seseorang jika mengambil jalur hukum untuk menuntut pihak lain.
Al-Qur'ân mewajibkan manusia untuk bersikap proporsional dan berlaku adil. Jika
mereka sadar akan itu, niscaya akan meringankan pekerjaan para hakim. Akan tetapi jiwa
manusia yang tercipta dengan berbagai macam tabiat seperti cinta harta, serakah, lupa
dan suka balas dendam, menjadikan hak-hak kedua pihak diperselisihkan. Maka harus
ada kaidah-kaidah penetapan yang membuat segalanya jelas.

Isi Kandungan Al Baqarah Ayat 282

Setiap transaksi yang mengandung perjanjian penangguhan seharusnya ada bukti


tertulis. Namun jika tidak memungkinkan perjanjian tertulis, hendaknya dihadirkan saksi.
Jika ternyata tidak ada saksi, tidak pula bukti tulisan, diperbolehkan adanya jaminan.
Prinsip saling percaya dan menjaga kepercayaan semua pihak. Untuk menghilangkan
keraguan maka hendaklah diadakan perjanjian secara tertulis atau jaminan. Tapi jika
semua pihak saling mempercayai, atau dalam transaksi tunai yang tidak akan
menimbulkan masalah di kemudian hari, tidak mengapa tanpa tulisan atau jaminan
asalkan tetap menjaga amanah.

10
Orang yang mengetahui fakta harus bersedia menjadi saksi. Bersaksi dalam
kebenaran merupakan bentuk ibadah. Sebaliknya, yang menyembunyikan kesaksian akan
terancam siksa. Sedangkan bersaksi palsu termasuk dosa besar. Taqwa mencakup segala
aspek kehidupan. Oleh karena itu, dalam jual beli, utang piutang, atau mu’amalat lainnya
mesti didasari taqwa. Taqwa juga harus amanah dan menjauhi hal-hal yang merugikan
pihak manapun. Allah SWT maha mengetahui segalanya, maka dari itu setiap manusia
harus menampakkan fakta sebenarnya bila diminta persaksian. Sedikit menerangkan
diatas, kami disini hanya mencoba menjelaskan tentang persaksian, baik secara tulis
menulis maupun selainnya.Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjadi
saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara
actual telah menjadi saksi.

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara
kamu. kata saksi yang digunakan ayat ini adalah syahiidain bukan syaahidain. Ini berarti
bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal
kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut.
Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi
dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau
kalau tidak ada – atau kalau bukan yakni kalau bukan dua orang saksi, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang
disepakati oleh yang melakukan transaksi. Betapapun, ayat di atas tidak menutup
kemungkinan kesaksian wanita baik secara luas, terbatas, maupun sempit. Dalam
pandangan mazhab Malik, kesaksian wanita dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan
dengan harta benda, tidak dalam kriminal, pernikahan, cerai dan rujuk. Mazhab Hanafi
lebih luas dan lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kodrat wanita. Mereka
membenarkan kesaksian wanita dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta, persoalan
rumah tangga, seperti pernikahan, talak, dan rujuk, bahkan segala sesuatu kecuali dalam
soal kriminal. Memang, persoalan kriminal yang dapat mengantar kepada jatuhnya
hukuman mati, dan dera, disamping tidak sejalan dengan kelemahlembutan wanita,
kesaksian dalam hal tersebut juga tidak lumrah bagi mereka yang diharapkan lebih
banyak member perhatian pada anak-anak dan rumah tangganya.

11
Sebagaimana Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil. Karena keengganannya dapat mengakibatkan
hilangnya hak atau terjadi korban. Memang, banyak orang, sejak dahulu apalagi
sekarang, yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena
kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, merka perlu dihimbau.
Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang member keterangan, dan
wajib hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan. Nanti dalam ayat
berikut akan ada larangan tegas disertai ancaman bagi saksi-saksi yang menyembunyikan
kesaksian, yang mengakibatkan kerugian pihak lain.
Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan,
tentu saja mempunyai aneka kepentingan pribadi atau keluarga; kehadirannya sebagai
saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat mengganggu kepentingannya. Di sisi lain,
mereka yang melakukan transaksi jual beli atau hutang-piutang itu, dapat juga mengalami
kesulitan dari para penulis dan saksi jika mereka menyelewengkan kesaksian atau
menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu
redaksi yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan
pembeli, serta yang berhutang dan pemberi hutang.
Salah satu bentuk mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah
hilangnya kesempatan memperoleh rezeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan
mereka ganti biaya transport dan biaya , sebagai imbalan jerih payah dan penggunaan
waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang
bermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau
melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai
para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah, melakukan yang demikian, maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan
perintah bertakwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran Ilahi, merupakan
penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan
menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk

12
menarik keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya takwa
serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat.
Namun dalam penafsiran lain disebutkan lebih jelas dan mendetail mengenai
tafsiran ayat ini, Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Islam menetapkan perlunya
mendokumentasikan misalnya dalam bentuk tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting
yang terjadi diantara manusia karena itu sangat beralasan kalau tulisan atau surat-surat
dijadikan sebagai salah satu alat bukti.

c. Al Baqarah ayat 283

‫ش َها َد ۗةَ َو َمنْ يَّ ْكتُ ْم َها فَاِنَّ ٗ ٓه ٰاثِ ٌم قَ ْلبُ ٗه ۗ َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُ ْو َن َعلِ ْي ٌم َواَل فَ ْليُ َؤ ِّد‬
َّ ‫تَ ْكتُ ُموا ال‬
ࣖ ۗ ‫ق هّٰللا َ َربَّ ٗه‬ ِ َّ‫اؤتُ ِم َن اَ َمانَت َٗه َو ْليَت‬ ْ ‫ضا الَّ ِذى‬ ً ‫ض ُك ْم بَ ْع‬ُ ‫اَ ِم َن بَ ْع‬

۞ ْ‫ضةٌ ۗفَاِن‬ َ ‫َواِنْ ُك ْنتُ ْم َع ٰلى‬


َ ‫سفَ ٍر َّولَ ْم ت َِجد ُْوا َكاتِبًا فَ ِر ٰهنٌ َّم ْقبُ ْو‬
Artinya : “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena
barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Asbabun Nuzul Q.S. Al-Baqarah ayat 283

Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi,
bahwa sesuatu yang diberikan atau dititipkan kapanya itu akan akan dipelihara
sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkan memintanya kembali, maka ia
akan menerima utuh sebagaimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi. Yang
menerimapun menerimanya atas dasar kepercayaan dari pemberi bahwa apa yang
diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi atau penitip tidak akan
meminta melebihi apa yang diberikan atau disepakati kedua pihak.

13
Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikul amanah kesaksian,
diingatkan, janganlah kamu, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan
mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh
pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.4

Penafsirannya :

a. Tafsir Ringkas Kemenag RI


Tuntunan pada ayat yang lalu mudah dilaksanakan jika seseorang tidak sedang
dalam perjalanan. Jika kamu dalam perjalanan dan melakukan transaksi keuangan tidak
secara tunai, sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis yang dapat menulis utang
piutang sebagaimana mestinya, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh
yang berpiutang atau meminjamkan. Tetapi menyimpan barang sebagai jaminan atau
menggadaikannya tidak harus dilakukan jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya, utang atau apa pun
yang dia terima, dan hendaklah dia yang menerima amanat tersebut bertakwa kepada
Allah, Tuhan Pemelihara-nya. Dan wahai para saksi, janganlah kamu menyembunyikan
kesaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali,
baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya, karena barang
siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor, karena bergelimang dosa. Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, sekecil apa pun itu, yang nyata maupun yang
tersembunyi, yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati.
b. Tafsir jalalayin
Jika kamu dalam perjalanan), yakni sementara itu mengadakan utang-piutang
(sedangkan kamu tidak beroleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan)
ada yang membaca 'ruhunun' bentuk jamak dari rahnun (yang dipegang) yang diperkuat
dengan kepercayaanmu. Sunah menyatakan diperbolehkannya jaminan itu di waktu
mukim dan adanya penulis. Maka mengaitkannya dengan jaminan, karena kepercayaan
4
Shaleh Qamaruddin dkk, Asbabunnuzul Latar belakang historis turunnya ayat-ayat al-Qur’an,
Diponegoro: Bandung, 1995

14
terhadapnya menjadi lebih kuat, sedangkan firman-Nya, "... dan jaminan yang dipegang",
menunjukkan jaminan disyaratkan harus dipegang dan dianggap memadai walaupun si
peminjam atau wakilnya tidak hadir. (Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai yang
lainnya), maksudnya yang berpiutang kepada orang yang berutang dan ia tidak dapat
menyediakan jaminan (maka hendaklah orang yang dipercayainya itu memenuhi),
maksudnya orang yang berutang (amanatnya), artinya hendaklah ia membayar utangnya
(dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya) dalam membayar utangnya itu.
(Dan barang siapa yang menyembunyikan kesaksian, maka ia adalah orang yang berdosa
hatinya). Dikhususkan menyebutkannya di sini, karena hati itulah yang menjadi tempat
kesaksian dan juga karena apabila hati berdosa, maka akan diikuti oleh lainnya, hingga
akan menerima hukuman sebagaimana dialami oleh semua anggota tubuhnya. (Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan) hingga tiada satu pun yang tersembunyi
bagi-Nya.
c. Tafsir Qurais Shihab
Jika kalian sedang dalam perjalanan dan tidak ada yang dapat mencatat utang,
maka jaminannya berupa barang yang diperoleh pihak yang mengutangi dari pihak yang
berutang. Kalau seseorang menitipkan sesuatu kepada orang lain sebagai amanat, dan ia
dipercayakan untuk itu, maka orang yang diamanatkan harus menyerahkannya saat
diminta. Dan hendaknya ia takut kepada Allah yang memelihara dan mengawasinya,
sehingga nikmat-Nya di dunia dan akhirat tidak diputus. Janganlah menyembunyikan
keterangan atau persaksian ketika diminta. Dan barangsiapa menyembunyikannya, maka
ia adalah orang yang berdosa dan buruk hati. Allah Maha Mengetahui segala apa yang
kalian lakukan. Dan Dia akan memberi balasan sesuai hak kalian.5

Isi Kandungan Ayat Q.S. Al-Baqarah ayat 283

Setiap transaksi yang mengandung perjanjian penangguhan seharusnya ada bukti


tertulis. Namun jika tidak memungkinkan perjanjian tertulis, maka hendaklah ada yang
menjadi saksi. Jika ternyata tidak ada saksi, tidak pula bukti tulisan, maka dipersilakan
adanya jaminan.

5
Shihab M. Quraisy, Tafsir Al-Mishbah, Lentera Hati: Tangerang, 2000
15
Prisnsip mu’amalat adalah saling percaya dan menjaga kepercayaan semua fihak.
Untuk menghilangkan keraguan maka hendakla diadakan perjanjian secara tertulis atau
jaminan. Namun kalau semuanya saling mempercayai, atau dalam transaksi tunai yang
tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari, tidak mengapa tanpa tulisan atau
jaminan aslakan tetap menjaga amanah.

Orang yang mengetahui fakta kebenaran mesti bersedia menjadi saksi. Bersaksi
dalam kebenaran, merupkan ibadah. Sebaliknya yang menyembunyikan kesaksian,
terancam siksa. Sedangkan bersaksi palsu termasuk dosa besar.Taqwa mencakup segala
aspek kehidupan. Oleh karena itu dalam jual beli, utang piutang, atau mu’amalat lainnya
mesti didasari taqwa.

Taqwa juga mesti dimanifestasikan dalam menjaga amanah, kepercayaan,


kejujuran dan menjauhi hal-hal yang merugikan fihak manapun. Allah SWT maha
mengetahui segalanya. Oleh karena itu setiap insane mesti tetap menjaga kejujuran,
menegakkan kebenaran, menampakkan fakta sebenarnya bila diminta persaksian. Orang
yang menyembunyikan kesaksian akan diungkap kesalahannya oleh yang Maha
Mengetahui.

d. Surat An-Nisa Ayat 6


”Wabtalul yatāmā hattā idzā balaghun nikāh, fa in ānastum minhum rusydan fadfa’ū
ilaihim amwālahum, walā ta’kulūhā isrāfan wa bidāran an yakbarū, wa man kāna
ghaniyyan fal yasta’fif wa man kāna faqīran falya’kul bil ma’rūf, fa idzā dafa’tum ilaihim
amwālahum fa asyhidū ‘alaihim, wa kafā billāhi hasība.”

Artinya: “Ujilah anak-anak yatim hingga mereka mereka mencapai usia siap nikah
(baligh); lalu bila kalian melihat mereka telah cakap (dalam urusan pengelolaan
harta dan urusan agama), maka serahkanlah harta mereka kepada mereka; jangan
kalian makan harta mereka secara berlebihan dan terburu-buru khawatir mereka
beranjak besar; siapa saja wali yatim yang kaya maka hendaklah menghindar
(dari memakan harta anak yatim) dan siapa saja wali yatim yang fakir, maka
makanlah (dari harta anak yatim) dengan cara yang baik; lalu ketika kalian

16
serahkan harta mereka kepada mereka, buatlah persaksian atas mereka; dan
cukuplah Allah sebagai Zat Yang Maha Menjaga,” (Surat An-Nisa ayat 6).

Asbababun Nuzul

Pakar tafsir dan sababun nuzul, Imam Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi (wafat
468 H/1076 M) menerangkan, Surat An-Nisa ayat 6 ini turun berkaitan dengan Tsabit bin
Rifa’ah RA yang ditinggal mati ayahnya, kemudian paman yang merawatnya mendatangi
Rasulullah SAW untuk bertanya atas pengelolaan hartanya.

Imam Al-Wahidi menjelaskan, Firman Allah, ‘Wabtalul yatāmā… [An-Nisa’ ayat


6].’ Surat An-Nisa ayat 6 ini turun berkaitan dengan Tsabit bin Rifa’ah dan pamannya.
Peristiwanya adalah bahwa Rifa’ah wafat dan meninggalkan anak laki-lakinya yang
bernama Tsabit dalam kondisi masih kecil. Lalu pamannya mendatangi Rasulullah SAW dan
berkata, ‘Sungguh anak laki-laki saudaraku ini menjadi anak yatim dalam perawatanku.
Maka apa yang halal bagiku dari hartanya dan kapan aku dapat menyerahkan hartanya
kepadanya?’ Lalu turunlah Surat An-Nisa ayat 6 ini.

Penafsirannya

a. Ragam Tafsir

Surat An-Nisa ayat 6 ini mencakup tiga hal pokok, yaitu pendidikan anak yatim,
hukum memakan harta anak yatim, dan penyerahan harta anak yatim kepadanya.

Pertama, berkaitan dengan pendidikan, wali diperintahkan oleh Allah SWT agar
menguji anak yatim dalam urusan pengelolaan harta dan urusan agamanya sampai usia
yang layak untuk nikah, yaitu dengan memenuhi dua syarat, satu: rusydu dengan maksud
anak yatim telah cakap dalam urusan mengelola hartanya dan urusan agamanya; dan dua:
mencapai usia baligh dengan ihtilam (keluar air mani), keluar darah haid atau mencapai
usia 15 tahun qamariyah. Bila dalam usia baligh anak yatim sudah cakap dalam kedua
urusan tersebut, maka wali yatim diperintahkan untuk menyerahkan harta mereka
kepadanya. Demikian menurut Imam As-Syafi’i.

17
Adapun menurut Imam Malik, di luar persyaratan usia baligh, yang menjadi syarat
penyerahan harta kepada anak yatim hanyalah rusydu dalam arti cakap dalam mengelola
harta secara baik, tidak memasukkan syarat rusydu dengan makna cakap dalam urusan
agamanya. (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Hasyiyyatus Shawi ‘ala Tafsiril Jalalain.

Kedua, berkaitan dengan memakan harta anak yatim, dalam ayat ini Allah melarang
wali memakan harta anak yatim secara berlebihan dan khawatir anak yatim beranjak
dewasa yang berkonsekuensi pada wali harus menyerahkah harta anak yatim kepada
mereka. Pun demikian, ada pengecualian dari larangan memakan harta anak yatim, yaitu
bagi para wali yang fakir, maka ia tidak haram makan dari harta anak yatim sesuai
dengan upah standar kerja mengurus anak yatim. Dalam konteks ini diriwayatkan atsar
shahih:

“Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah RA terkait firman Allah Ta’ala: ‘siapa saja
yang kaya maka hindarilah dari memakan harta anak yatim, dan siapa saja yang miskin
maka makanlah dari harta tersebut secara baik (An-Nisa’ ayat 6),’ ia berkata: ‘Ayat
tersebut diturunkan berhubungan dengan wali yatim, bahwa ia boleh mengambil harta
anak yatim bila dalam kondisi membutuhkan sesuai kadar upahnya secara baik,’”
(Muttafaq ‘Alaih). (Badruddin Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari,

Ketiga, berkaitan dengan penyerahan harta anak yatim kepadanya, maka wali
dianjurkan untuk menghadirkan saksi saat penyerahan harta agar di kemudian hari
terhindar dari persengketaan dengan anak yatim tentang urusan hartanya. Perintah
menghadirkan saksi ini hukumnya adalah sunnah sebagaimana dijelaskan oleh Syekh
Muhammad Nawawi Banten. (Muhammad Nawawi Al-Bantani, At-Tafsirul Munir li
Ma’alimit Tanzil, [Beirut, Darul Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman 154-155).

Adapun frasa ‫“ َو َكفَى بِاهللِ َح ِس `يبًا‬cukuplah Allah sebagai Zat Yang Maha Menjaga”,
maksudnya Allah maha menjaga amal manusia dan memperhitungkannya. Frasa ini
merupakan janji baik dari Allah bagi wali yang disiplin dalam mengelola harta anak
yatim. Meskipun kemudian dituduh mengorupsi dan menzalimi hartanya, maka cukuplah
Allah yang nanti akan memberi perhitungan seadil-adilnya.

b. Tafsir Ringkas Kemenag RI


18
Setelah menjelaskan tentang larangan menyerahkan harta anak yatim dalam
kondisi mereka belum mampu mengelola, berikutnya Allah memerintahkan agar para
wali menguji terlebih dahulu kematangan berpikir, kecerdasan, dan kemampuan mereka
mengelola harta sebelum menyerahkannya. Dan ujilah kecerdasan dan mental anak-anak
yatim itu dengan memperhatikan keagamaan mereka, kematangan berpikir, dan cara
membelanjakan harta, kemudian latihlah mereka dalam menggunakan harta itu sampai
hampir mereka cukup umur untuk menikah dengan menyerahkan harta sedikit demi
sedikit. Kemudian jika menurut pendapat kamu melalui uji mental tersebut dapat
diketahui dengan pasti bahwa mereka betul-betul telah cerdas dan pandai dalam
memelihara dan mengelola harta, maka serahkanlah kepada mereka hartanya itu,
sehingga tidak ada alasan bagi kalian untuk menahan harta mereka. Dan janganlah kamu,
para wali, dalam mengelola harta ikut memakannya harta anak yatim itu dan mengambil
manfaat melebihi batas kepatutan, dan janganlah kamu menyerahkan harta kepada
mereka dalam keadaan tergesa-gesa menyerahkannya sebelum mereka dewasa, karena
kalian khawatir bila mereka dewasa mereka akan memprotes kalian. Barang siapa di
antara pemelihara itu mampu mencukupi kebutuhan hidup untuk diri dan keluarganya,
maka hendaklah dia menahan diri dari memakan harta anak yatim itu dan mencukupkan
diri dengan anugerah dari Allah yang diperolehnya. Dan barang siapa miskin, maka
bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut sekadar untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya, sebagai upah atau imbalan atas pemeliharaannya. Kemudian,
apabila kamu menyerahkan harta itu yang sebelumnya berada di tangan kamu kepada
mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi ketika menyerahkan harta itu kepada
mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas atas segala amal perbuatan dan perilaku
mereka. Dan Dia memperhitungkan semua perilaku tersebut kemudian memberinya
balasan setimpal.

5. Dalam dalam Q.S. an Nisa (4) : 135

‫ش َه َدا َء هَّلِل‬ ْ ِ‫ين بِا ْلق‬


ُ ‫س ِط‬ َ ‫…يَاأَيُّ َها الَّ ِذ‬
َ ‫ين َءا َمنُوا ُكونُوا قَ َّوا ِم‬

19
Artinya :“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…”

Asbabab Al-Nuzul

Terdapat di dalam kitab TafsirAl-Thabari bahwa diceritakan dari Muhammad bin


al-Husain yang berkata, diceritakan dari Ahmad bin al-Mufdhil yang berkata, dari al-
Suda, tentang firman Allah di atas. Ayat di atas diturunkan kepada Nabi Saw. Ada dua
orang yang berselisih dan datang kepada Nabi Saw. Orang yang satu kaya dan orang yang
lainnya miskin. Nabi Saw. lebih condong kepada orang yang miskin. Nabi Saw.
berpendapat bahwa orang miskin tersebut tidak bersalah kepada orang kaya. Maka, Allah
tidak menyukai kecuali Nabi Saw. menegakkan keadilan, baik kepada orang kaya
maupun orang yang miskin. Allah berfirman : “jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah
lebih tahu kemaslahatannya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran.

Penafsirannya :

a. Tafsir Ibnu Katsir


Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar
menegakkan keadilan, dan janganlah mereka bergeming dari keadilan itu barang sedikit
pun, jangan pula mereka mundur dari menegakkan keadilan karena Allah hanya karena
celaan orang-orang yang mencela, jangan pula mereka dipengaruhi oleh sesuatu yang
membuatnya berpaling dari keadilan. Hendaklah mereka saling membantu, bergotong
royong, saling mendukung dan tolong-menolong demi keadilan.6
Firman Allah Swt. yang mengatakan menjadi saksi karena Allah. (An-Nisa: 135)
َّ ‫ َوأَقِي ُم``وا‬dan hendaklah kalian tegakkan
Ayat ini semakna dengan firman-Nya: ِ ‫الش`ها َدةَ هَّلِل‬
kesaksian itu karena Allah. (At-Thalaq: 2)
Maksudnya, tunaikanlah kesaksian itu karena Allah. Maka bila kesaksian itu
ditegakkan karena Allah, barulah kesaksian itu dikatakan benar, adil, dan hak; serta
bersih dari penyimpangan, perubahan, dan kepalsuan. Karena itulah dalam firman
6
Bahreisy Salim, terjemah singkat tafsir Ibnu Katsir, PT. bina Ilmu: Surabaya, 1987

20
selanjutnya disebutkan: {‫ } َولَوْ َعلَى أَ ْنفُ ِس ُك ْم‬biarpun terhadap diri kalian sendiri. (An-Nisa:
135)
Dengan kata lain, tegakkanlah persaksian itu secara benar, sekalipun bahayanya
menimpa diri sendiri. Apabila kamu ditanya mengenai suatu perkara, katakanlah yang
sebenarnya, sekalipun mudaratnya kembali kepada dirimu sendiri. Karena sesungguhnya
Allah akan menjadikan jalan keluar dari setiap perkara yang sempit bagi orang yang taat
kepada-Nya.
Firman Allah Swt َ‫ أَ ِو ْالوالِ َد ْي ِن َواأْل َ ْق َربِين‬atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian. (An-
Nisa: 135) Yakni sekalipun kesaksian itu ditujukan terhadap kedua orang tuamu dan
kerabatmu, janganlah kamu takut kepada mereka dalam mengemukakannya. Tetapi
kemukakanlah kesaksian secara sebenarnya, sekalipun bahayanya kembali kepada
mereka, karena sesungguhnya perkara yang hak itu harus ditegakkan atas setiap orang,
tanpa pandang bulu.
Firman Allah Swt. {‫ }إِ ْن يَ ُك ْن َغنِيًّا أَوْ فَقِ``يرًا فَاهَّلل ُ أَوْ لَى بِ ِه َما‬Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. (An-Nisa: 135) Artinya, janganlah kamu
hiraukan dia karena kayanya, jangan pula kasihan kepadanya karena miskinnya. Allah-
lah yang mengurusi keduanya, bahkan Dia lebih utama kepada keduanya daripada kamu
sendiri, dan Dia lebih mengetahui hal yang bermaslahat bagi keduanya.
Firman Allah Swt.:{‫ }فَال تَتَّبِعُوا ْالهَ َوى أَ ْن تَ ْع ِدلُوا‬Maka janganlah kalian mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. (An-Nisa: 135) Maksudnya, jangan
sekali-kali hawa nafsu dan fanatisme serta risiko dibenci orang lain membuat kalian
meninggalkan keadilan dalam semua perkara dan urusan kalian. Bahkan tetaplah kalian
pada keadilan dalam keadaan bagaimanapun juga, seperti yang dinyatakan oleh firman-
Nya:‫ َوال يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشنَآنُ قَوْ ٍم عَلى أَاَّل تَ ْع ِدلُوا ا ْع ِدلُوا ه َُو أَ ْق َربُ ِللتَّ ْقوى‬Dan janganlah sekali-kali kebencian
kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Maidah: 8)
Termasuk ke dalam pengertian ini ialah perkataan Abdullah ibnu Rawwahah
ketika diutus oleh Nabi Saw. melakukan penaksiran terhadap buah-buahan dan hasil
panen milik orang-orang Yahudi Khaibar. Ketika itu mereka bermaksud menyuapnya
dengan tujuan agar bersikap lunak terhadap mereka, tetapi Abdullah ibnu Rawwahah
berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku datang kepada kalian dari makhluk yang paling
21
aku cintai, dan sesungguhnya kalian ini lebih aku benci daripada kera dan babi yang
sederajat dengan kalian. Bukan karena cintaku kepadanya, benciku terhadap kalian, lalu
aku tidak berlaku adil terhadap kalian.” Mereka mengatakan, “Dengan demikian, berarti
langit dan bumi akan tetap tegak.” Hadis ini insya Allah akan disebut secara panjang
lebar berikut sanadnya dalam tafsir surat Al-Maidah.
ِ ‫ َوإِ ْن ت َْل ُووا أَوْ تُع‬Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata)
Firman Allah Swt.: ‫ْرضُوا‬
atau enggan menjadi saksi. (An-Nisa: 135) Menurut Mujahid dan lain-lainnya yang
bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, makna talwu ialah memalsukan dan
mengubah kesaksian. Makna lafaz al-lai sendiri ialah mengubah dan sengaja berdusta.
Seperti pengertian yang ada di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: ‫َوإِ َّن ِم ْنهُ ْم لَفَ ِريقا ً يَ ْلوُونَ أَ ْل ِسنَتَهُ ْم‬
ِ ‫ بِ ْال ِكت``ا‬Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya
‫ب‬
membaca Al-Kitab. (Ali Imran: 78), hingga akhir ayat. Al-i’rad artinya menyembunyikan
kesaksian dan enggan mengemukakannya.
Dalam ayat yang lain disebutkan melalui firman-Nya: ُ‫ َو َم ْن يَ ْكتُ ْمه``ا فَإِنَّهُ آثِ ٌم قَ ْلبُ`ه‬Dan
barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya. (Al-Baqarah: 283) Nabi Saw. telah bersabda: “ ‫خَ ْي ُر ال ُّشهَدَا ِء الَّ ِذي يَأْتِي بِ َشهَا َدتِ ِه‬
‫ ”قَب َْل أَ ْن يُسألها‬Sebaik-baik saksi ialah orang yang mengemukakan kesaksiannya sebelum
diminta untuk bersaksi. Karena itulah Allah mengancam mereka dalam firman
selanjutnya, yaitu: {‫ }فَإ ِ َّن هَّللا َ َك`انَ بِ َم`ا تَ ْع َملُ`ونَ خَ بِ``يرًا‬maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan. (An-Nisa: 135) Dengan kata lain, Allah
kelak akan membalas perbuatan kalian itu terhadap diri kalian.
b. Tafsir jalalain
Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi penegak) atau benar-
benar tegak dengan (keadilan) (menjadi saksi) terhadap kebenaran (karena Allah
walaupun) kesaksian itu (terhadap dirimu sendiri) maka menjadi saksilah dengan
mengakui kebenaran dan janganlah kamu menyembunyikannya (atau) terhadap (kedua
ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia) maksudnya orang yang disaksikan itu (kaya atau
miskin, maka Allah lebih utama bagi keduanya) daripada kamu dan lebih tahu
kemaslahatan mereka. (Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu) dalam kesaksianmu
itu dengan jalan pilih kasih, misalnya dengan mengutamakan orang yang kaya untuk
mengambil muka atau si miskin karena merasa kasihan kepadanya (agar) tidak (berlaku
22
adil) atau menyeleweng dari kebenaran. (Dan jika kamu mengubah) atau
memutarbalikkan kesaksian, menurut satu qiraat dengan membuang huruf wawu yang
pertama sebagai takhfif (atau berpaling) artinya enggan untuk memenuhinya (maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan) hingga akan diberi-Nya
balasannya.7

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari ayat-ayat tersebut di atas membuktikan bahwasanya al-Qur’an merupakan
kitab yang lengkap yang telah mengatur segala urusan duniawi maupun ukhrowi
termasuk juga mengenai alat bukti sebagaimana yang telah kita ulas di atas. Adapun alat
bukti tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 224, dan 282 dan surat an nisa ayat 6 dan 135
yang telah di jelaskan .Kesaksian dan persaksian yang diberikan oleh para saksi harus
pula memenuhi kriteria atau syarat-syarat yang dipakai dan disepakati oleh para ahli
hukum Islam, sehingga kesaksian yang diberikan di muka Pengadilan Agama dapat
dijadikan sebagai alat pembuktian.
Oleh karena itu, para praktisi hukum di pengadilan agama harus membedakan
status saksi antara status saksi sebagai syarat hukum agama Islam dengan status saksi
sebagai alat bukti, untuk dapat mengetahui kedudukan saksi tersebut, tidaklah mungkin
dilakukan oleh praktisi hukum kalau tidak mengetahui sepenuhnya hukum materil Islam,

7
http://www.wikipedia.com
23
sedangkan saksi sebagai alat bukti merupakan pembenaran suatu peristiwa yang berkaitan
dengan hukum formal.
B. Saran
Semoga dengan pembuatan makalah ini, senantiasa menambah wawasan serta
pengetahuan dan menjadi motivasi baik bagi penyusun maupun rekan-rekan sekalian
dengan penuh pengharapan kepada allah SWT. Semoga makalah ini menjadi sebagai
pembuka untuk mendapatkan ilmu yang lebih banyak dan bermanfaaat guna untuk
kehidupan yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

· Abdul Manan Penerapan Hukum Islam Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana:
Jakarta, 2006

· Ash-Shiddiqi Nasir, Tafsir Al-Qur’an, Bulan Bintang: Jogjakarta, 1965

· Bahreisy Salim, terjemah singkat tafsir Ibnu Katsir, PT. bina Ilmu: Surabaya, 1987

· Shaleh Qamaruddin dkk, Asbabunnuzul Latar belakang historis turunnya ayat-ayat al-Qur’an,
Diponegoro: Bandung, 1995

· Shihab M. Quraisy, Tafsir Al-Mishbah, Lentera Hati: Tangerang, 2000

· http://www.wikipedia.com

24
25

Anda mungkin juga menyukai