Anda di halaman 1dari 12

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT

TFAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS HASANUDDIN

(LAPORAN KASUS)
Stomatitis Apthosa Rekuren Minor

Oleh:

Nama : Astrid Dwi Satti

NIM : J014201012

Pembimbing : Prof. Dr. drg. Harlina., M. Kes

Tempat : Zoom Meeting

DIBAWAKAN SEBAGAI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
A. IDENTITAS PASIEN

1. Nama : Lala

2. Jenis kelamin :P

3. Usia : 21 Tahun

4. Alamat : Jl Hertasning

5. Pekerjaan : Mahasiswa

6. Status pernikahan : Belum menikah

B. KUJUNGAN PASIEN

(Kunjungan Pertama)

Gambar 1. Tampilan klinis pada mukosa bukan dan lidah pasien dikunjungan pertama

1. Pemeriksaan Subjektif

Pasien rawat jalan, wanita 21 tahun, mahasiswa, belum menikah; dengan

keluhan sariawan yang sakit di lidah hingga lidah terasa kaku dan sulit berbicara.

Pasien mengatakan bahwa dahulu sering mengalami sariawan dan bahkan 6 tahun

yang lalu muncul berjumlah 13 buah secara bersamaan. Dahulu berbagai terapi

telah dicoba, seperti minum susu, obat kumur povidon iodin, dan konsumsi

suplemen makanan yang mengandung zinc dan vitamin B12. Perbaikan dirasakan

setelahnya dengan kemunculan sariawan hanya 1-2 buah setiap akan menstruasi.
Satu tahun yang lalu pasien merasakan telah terbebas dari serangan sariawan,

namun 2 bulan yang lalu sariawan muncul kembali setiap sebelum dan setelah

menstruasi. Sariawan yang muncul langsung berukuran besar dan butuh waktu 1

minggu untuk sembuh. Pasien merasa lemas saat sebelum kemunculan sariawan

dan saat akan tidak mengonsumsi obat-obatan.

Saat ini pasien mengeluhkan adanya sariawan yang muncul 1 minggu

yang lalu berjumlah 3 buah. Sariawan telah berusaha diobati dengan obat kumur

klorheksidin glukonat, multivitamin neurotropik, dan vitamin C. Riwayat

predisposisi yang berhasil diketahui ialah adanya riwayat sariawan dari ibu pasien.

Menstruasi dirasa cenderung terlambat (mundur 1 minggu). Pasien berkerja di

bagian keuangan pada pagi hari dan mengajar les pada sore hingga malam hari.

Sayuran dan buah tidak dikonsumsi rutin setiap hari. Pasien tidak merokok dan

sering mengkonsumsi teh. Pasien merasa memiliki riwayat sakit maag. Serangan

sariawan yang kembali rutin ini menjadikan pasien khawatir

2. Pemeriksaan Objektif

1. Ekstra oral

a. Keadaan umum pasien : Baik dan tidak ada gejala prodromal

b. Tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu) : Normal

c. Wajah pasien: Simetris

d. Observasi pipi kiri dan kanan serta sudut bibir : T.A.K

e. Pemeriksaan kelenjar limfe : Tidak ada pembengkakan

2. Intra oral

Terlihat lesi ulser tunggal pada mukosa bukal dan lateral lidah dalam

dengan bentuk oval dan diameter ± 1 mm serta berwarna putih dikelilingi

eritema, berbatas tegas dan kondisi jaringan sekitar tidak mengalami hiperemi.
Dan pada pemeriksan intra oral pasien didapatkan oral hygine yang baik

3. Assesment

Diagnosis : Suspect Recurrent Apthous Stomatitis Minor

4. Planning

a. Pro KIE

1. Menginformasikan kepada pasien terkait temuan klinis.

2. Menginformasikan kepada pasien terkait perawatan yang akan

diberikan.

3. Intruksi untuk menghindari makanan berbumbu tajam dan minuman

bersoda.

4. Intruksi pasien untuk makan secara teratur dan seimbang, serta

berupaya mengendalikan stress

5. Pasien diinstruksikan untuk melakukan pencatatan riwayat sariawan

secara mandiri yang berupa tanggal dan lokasi kemunculan sariawan,

intensitas nyeri, tanggal perbaikan, obat atau vitamin yang

dikonsumsi, serta periode menstruasi.

b. Pro Medikasi

1. Desinfeksi lesi dengan (povidone iodine 10%)

2. Mengulasi lesi dengan obat anti inflamasi topikal (Aloclair gel)

3. Multivitamin mineral (1x/hari)

c. Peresepan

R/ Aloclair gel Tube 8 ml No. I

S 3 dd Lit. or. P.c

R/ Chlorhexidine Gluconate 0,12% 150 ml garg. Fl. No. I

S. coll oris 2 dd
d. Pro Konsul

Konsul pemeriksaan hematologi rutin

e. Pro Kontrol

Instruksikan kepada pasien untuk melakukan kontrol

perawatan 3 minggu setelah kunjungan pertama.

(Kunjungan Kedua)

1. Pemeriksaan Subjektif

Pasien datang kembali dengan membawa hasil pencatatan riwayat

Pemeriksaan Minggu- 1 Minggu-10 Rujukan sariawan. Pasien mengeluhkan

pusing kepala 1-2 jam setelah mengkonsumsi multivitamin, sehingga setelah 5

hari konsumsinya dihentikan dan pusing kepala hilang setelahnya. Keluhan

juga dirasakan saat mengkonsumsi kapsul suplemen besi berupa mual dan

sendawa selama ± 5 jam setelahnya

2. Pemeriksaan Klinis

Terlihat ulser dangkal (2x2 mm) pada lateral lidah kiri dan pada mukosa bukal

kiri (1x1 mm)

3. Pemeriksaan Lab
4. Asesment

Recurrent Apthous Stomatitis Minor in Iron Deficiency Anemia

5. Planning

a. Pro KIE

- Intruksi pasien untuk mengatur jarak anatara komsumsi teh dengan

makan besar atau suplemen zat besi

- Intruksi pasien untuk meningkatkan komsumsi daging sebagai sumber

zat besi

- Intruksi pasien untuk datang lagi 6 minggu setelahnya menyertakan

lembar permintaan pemeriksaan hematologi rutin disertai pemeriksaan

total iron binding capacity (TIBC) dan feritin kepada pasien

b. Pro medikasi

- Kompres ulser dengan klorhexidine glukonat

- Mengganti kapsul suplemen zat besi dengan sedian sirup mengandung

ferrazono

c. Pro Peresepa

R/ Chlorhexidine Gluconate 0,12% 150 ml garg. Fl. No. I


S. coll oris 2 dd

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Stomatitis Apthosa Rekuren berdasarkan etimologi dibagi menjadi tiga

kata dari stomatitis yang berarti inflamasi pada rongga mulut, Apthosa adalah

sariawan berdasarkan KBBI dan rekuren adalah kondisi berulang sehingga

dapat didefinisikan sebagai inflamasi yang terjadi pada oral mukosa yang

biasanya membentuk sebuah ulserasi pada mukosa pipi bagian dalam, bibir

bagian dalam, lidah, gusi, serta langit-langit dalam rongga mulut yang dapat

berulang atau rekuren. Gejala awal SAR bisa dirasakan penderita sebagai rasa

sakit dan ditandai dengan adanya ulser tunggal atau multiple yang terjadi

secara kambuhan pada mukosa mulut, berbentuk bulat atau oval, batas jelas,

dengan pusat nekrotik berwarna kuning-keabuan dan tepi berwarna kemerahan.

2.2 Epidemiologi

Prevalensi SAR pada populasi dunia bervariasi antara 5% sampai 66%. SAR

paling sering terjadi pada dekade kedua dan ketiga kehidupan seseorang. Hal ini
terbukti pada penelitian (Abdullah, 2018) yang menyebutkan bahwa terjadi prevalensi

SAR paling tinggi pada usia 20-29 tahun, yaitu sebesar 36,28%. Berdasarkan jenis

kelamin SAR lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki pernyataan

ini dukung oleh penelitian Abdullah yang didapatkan banyaknya penderita SAR

berjenis kelamin perempuan, yaitu sebesar 55,4%, sedangkan pada pria hanya sebesar

44,6%.

2.3 Etiologi dan Perdisposisi

Etiologi penyakit ini masih belum jelas, adapaun predisposisi SAR yang berhasil

diidentifikasi antara lain adanya keterlibatan faktor keturunan, dimana ibu pasien

mengaku juga memiliki riwayat sariawan. Peningkatan kecenderungan terjadinya SAR

pada anak dengan orang tua yang juga memiliki riwayat SAR lebih dari 42% penderita

SAR memiliki hubungan kekerabatan garis pertama (first degree relative) dengan

penderita SAR lainnya. Sebanyak 54,2% penderita SAR memiliki riwayat SAR dalam

keluarga. Belum dapat dipastikan apakah nilai yang tinggi ini terkait dengan pengaruh

genetik atau status sosial yang serupa atau tradisi dan kebiasaan yang serupa antar

anggota keluarga.

Penelusuran lebih lanjut pada kasus, memperlihatkan pasien juga memiliki

defisiensi hematinik, yakni defisiensi besi yang diduga juga merupakan predisposisi

SAR pada pasien. Hal ini terlihat dari nilai feritin yang jauh di bawah rentang

normal .Nilai ini disertai juga penurunan nilai Hb, Ht, MCV, MCH, dan MCHC.

Kadar serum feritin yang rendah disertai kadar Hb atau Ht yang rendah,

mengkonfirmasi diagnosis anemia defisiensi besi. Serum feritin merefleksikan

cadangan besi, dimana 1 µg/L setara 8-10 mg cadangan bes

2.4 Patomekanisme

Hubungan antara SAR dan defisiensi besi, mungkin dapat dijelaskan sebagai

berikut, bahwa mikronutrien seperti tembaga, besi, dan zinc diperlukan oleh sistem
imun untuk dapat berfungsi dengan baik. Mikronutrien berperan pada pertahanan

tubuh melalui fungsinya pada barier fisik kulit/mukosa, imunitas selular, dan produksi

antibodi. Sehingga defisiensi mikronutrien, misalnya besi, akan menyebabkan

disregulasi keseimbangan respon imunitas yang berujung pada terjadinya SAR

Pada kasus, gangguan gastrointestinal diduga berperan pada defisiensi besi yang

terjadi. Dugaan ini terlihat dari pengakuan pasien yang memiliki riwayat sakit maag

dan juga respon intoleransi terhadap kapsul fero glukonat yang diberikan, berupa mual

dan sendawa selama 5 jam setelah mengkonsumsinya. Selain itu, diet juga mungkin

berperan pada defisiensi besi pada pasien. Kebiasaan konsumsi teh secara berlebihan

yang dimiliki pasien akan menghambat absorbsi besi non-heme (dari sumber non

hewani), namun tidak mempengaruhi absorbsi besi heme (sumber hewani). Hal ini

terjadi akibat reaksi besi dengan tannin yang terdapat dalam teh, sehingga terjadi

pembentukan kompleks besi-tannin yang tidak larut.

2.4 Gambaran Klinis

Ga

mbar 2.1 Gambaran klinis Stomatitis

Karakteristik SAR ialah adanya ulserasi berulang (rekurensi) pada mukosa oral

tanpa disertai tanda-tanda adanya penyakit lainnya.Ulserasi pada SAR tampak sebagai

ulser yang membulat, dangkal, dan nyeri.biasanya diselimuti oleh pseudomembran

putih keabu-abuan dan dikelilingi margin yang kemerahan. SAR muncul pada mukosa
oral nonkeratin seperti pada tepi lateral lidah, mukosa bukal, dan mukosa labial.

Berdasarkan karakteristik ulserasinya, SAR diklasifikasikan atas minor (< 1 cm),

mayor (> 1 cm), dan herpertiformis (klaster ulser pinpoint multipel yang dapat

menyatu menjadi besar).SAR minor merupakan salah satu ulserasi oral yang sering

terjadi, diperkirakan penderitanya sebanyak 15-20% penduduk dunia. Pada tipe ini

diameter ulser berukuran kurang dari 1 cm, bulat, berbatas jelas, sakit, dan sembuh

dengan sendirinya dalam waktu 10-14 hari tanpa diikuti jaringan parut. Pada kasus,

riwayat rekurensi didapatkan dari anamnesis. Gambaran lesi memperlihatkan

gambaran khas dari SAR, dimana terdapat ulser yang membulat, nyeri, dikelilingi area

eritema, dan juga muncul pada mukosa oral non- keratin, yakni lateral lidah dan

mukosa bukal. Berdasarkan diameter ulser yang kurang dari 1 cm, maka disimpulkan

bahwa SAR tersebut merupakan tipe minor

2.6 Diagnosa banding

Salah satu diagnose banding pada RAS adalah traumatic ulcer, namun

perbedaannya adalah pada kondisi traumatic ulcer sendiri ukurannya

bergantung pada traumanya serta biasanya disebabkan karena adanya trauma

dari protesa ataupun pada pengguna ortodontik yang dapat menyebabkan ulcer.

Ulser tunggal yang tidak teratur, l esi cekung dan oval, bagian tengah lesi

biasanya kuning kelabu, batasnya tidak jelas Berwarna merah atau putih

kekuningan dengan tepi eritema yang tipis.


Gambar 2.2 Lesi Traumatik pada mukosa labial
2.7 Penatalaksanaan

Terapi SAR ialah simptomatik dan umumnya berdasarkan empiris. Hal ini

terutama bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan menghilangkan disabilitas

fungsional, menghambat reaksi peradangan akut, dan juga mengurangi frekuensi dan

derajat keparahan rekurensi.Namun demikian, penting untuk mempertimbangkan

adanya kemungkinan peranan faktor sistemik seperti pada kasus diatas yakni

defisiensi besi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Pada kasus, edukasi pasien

ditujukan pada keadaan SAR dan keadaan defisiensi besi. Pasien diinstruksikan

menghindari makanan berbumbu tajam dan minuman bersoda, mengupayakan makan

secara teratur dan seimbang, serta berupaya mengendalikan stres. Pada pasien SAR,

makanan yang dicurigai oleh pasien berulangkali dapat menyebabkan dan

memperparah aftosa harus dihindari.

Terhadap keadaan defisiensi besi, pasien diinstruksikan untuk meningkatkan

konsumsi makanan sumber zat besi. Diet kaya besi meliputi daging, ikan, unggas,

kacang lentil, kacang kering, sayur-sayuran, buah kering, dan molasses. Sumber besi

heme dari hemoglobin dan mioglobin yang ditemukan pada daging, ikan, dan unggas

dapat diabsorbsi dengan efektif oleh reseptor di usus. Sedangkan bioavailabilitas besi

non-heme dari tumbuh-tumbuhan, ditentukan oleh faktor diet yang dapat

meningkatkan atau menghambat absorpsi besi. Disarankan juga untuk membatasi

konsumsi kopi, teh, minuman berkarbonasi, makanan rendah gizi, dan konsumsi susu

yang berlebihan (lebih dari 4 cangkir per hari); karena akan menghambat penyerapan

besi .
Rujukan
Ronal A, Aliyah S. Strategi Penatalaksanaan Stomatitis Aftosa Rekuren Pada Anemia
Defisiensi Besi (Laporan Kasus). Majalah Sainstekes.2017;4 (2):033-042

Anda mungkin juga menyukai