Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH

MATA KULIAH PENYAKIT TROPIS


DEARE YANG DISERTAI DENGAN MALNUTRISI BERAT

DI SUSUN OLEH :
NAMA : RIVALDI LAHUNA
NIM : PO7120318049

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


PRODI DIV KEPERAWATAN PALU
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada tuhan yang maha esa yang telah


memberikan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Makalah ini membahas tentang “Diare
yang disertai dengan malnutrisi berat”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak demi perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas
kepada pembaca. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada
semua pihakyang maha esa senantiasa memberikan kelancaran dan
kemudahan bagi kita semua.

Palu, 7 November 2021

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
Latar belakang.........................................................................................................
.................................................................................................................................
Rumusan masalah....................................................................................................
Tujuan......................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................
Definisi diare...........................................................................................................
Etiologi....................................................................................................................
.................................................................................................................................
Patofisiologi.............................................................................................................
Klasifikasi................................................................................................................
Manifestasi klinis.....................................................................................................
.................................................................................................................................
Pemeriksaan penunjang...........................................................................................
Komplikasi...............................................................................................................
Penatalaksanaan.......................................................................................................
Hubungan diare dengan status gizi..........................................................................
Definisi malnutrisi...................................................................................................
Etiologi....................................................................................................................
Patofisiologi.............................................................................................................
Manifestasi klinis.....................................................................................................
Komplikasi...............................................................................................................
Penatalaksanaan.......................................................................................................

BAB III PENUTUP.................................................................................................


Kesimpulan..............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Diare adalah meningkatnya frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari
yang di sertai perubahan konsistensi tinja cair, lendir atau darah. Diare sampai
dengan saat ini masih termasuk masalah kesehatan terbesar di dunia apalagi bagi
negara berkembang karena angka kesakitan dan kematian yang masih tinggi.
Penyakit menular merupakan perpaduan berbagai faktor yang saling
mempengaruhi. Faktor tersebut terdiri dari lingkungan (environment), agen
penyebab penyakit (agent), dan pejamu (host).
Diare merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di
seluruh dunia dan semua kelompok usia dapat terserang di Dunia terdapat kurang
lebih 500 juta anak yang menderita diare setiap tahunnya.
Masalah keperawatan yang muncul yaitu: Kekurangan volume cairan,
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, Hipertermi, Gangguan
pertukaran gas, Defisiensi pengetahuan, Resiko kerusakan integritas kulit (Sari,
2011 & NANDA, 2017).
2. Rumusan masalah

a. Apa pengertian DIARE?


b. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi DIARE?
c. Apa pengertian MALNUTRISI?
d. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi MALNUTRISI?

3. Tujuan

a. Apa pengertian DIARE?


b. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi DIARE?
c. Apa pengertian MALNUTRISI?
d. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi MALNUTRISI?

BAB 2

PEMBAHASAN

DIARE
1. Definisi Diare

Diare adalah peningkatan frekuensi atau penurunan konsistensi feses.


Diare pada anak dapat bersifat akut atau kronik (Carman, 2016)
Diare adalah peradangan pada lambung, usus kecil dan usus besar dengan
berbagai kondisi patologis dari saluran gastrointestinal dengan manifestasi di
sertai muntah-muntah atau ketidaknyaman abdomen (Muttaqin & Sari, 2011).
2. Etiologi

Penyebab utama diare akibat virus adalah rotasi virus banyak organisme
yang menyebabkan diare akibat bakteri, yaitu campylobacter, shigella,
salmonella, staphylococcus aureus dan escherichia coli. Salah satu agen parasit
yang paling sering menyebabkan diare pada anak. Kebanyakan organisme
patogen penyebab diare disebarluaskan lewat jalur fekal, oral melalui makanan
atau air yang terkontaminasi atau ditularkan antar manusia dengan kontak yang
erat. Kurangnya air bersih, tinggal berdesakan, hygiene yang buruk, kurang gizi
dan merupakan faktor resiko utama, khususnya untuk terjangkit infeksi bakteri
atau parasit yang patogen (Akton, 2014).

3. Patofisiologi

Menurut Muttaqin & Sari (2011) secara umum kondisi peradangan


pada gastrointestinal disebabkan oleh infeksi dengan melakukan invasi pada
mukosa, memproduksi enterotoksin dan atau memproduksi sitotoksin.
Mekanisme ini menghasilkan peningkatan sekresi cairan atau menurunkan
absorpsi cairan sehingga akan terjadi dehidrasi dan hilangnya nutrisi dan
elektrolit.
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare meliputi hal-hal sebagai

berikut:

1) Gangguan osmotik, kondisi ini berhubungan dengan asupan makanan atau


zat yang sukar diserap oleh mukosa intestinal dan akan menyebabkan
tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air
dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan
merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2) Respons inflamasi mukosa, terutama pada seluruh permukaan intestinal
akibat produksi enterotoksin dari agen infeksi memberikan respons
peningkatan aktivitas sekresi air dan elektrolit oleh dinding usus ke dalam
rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi
rongga usus.
3) Gangguan motilitas usus, terjadinya hiperperperistaltik akan mengakibatkan
berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul
diare, sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri
timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare.
Usus halus menjadi bagian absorpsi utama dan usus besar melakukan
absorpsi air yang akan membuat solid dari komponen feses, dengan adanya
gangguan dari gastroenteritis akan menyebabkan absorpsi nutrisi dan elektrolit
oleh usus halus, serta absorpsi air menjadi terganggu.
Selain itu, diare juga dapat terjadi akibat masuknya mokroorganisme
hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung.
Mikroorganisme tersebut berkembangbiak, kemudian mengeluarkan toksin dan
akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan
diare. Mikroorganisme memproduksi toksin. Enterotoksin yang di produksi agen
bakteri (seperti E. Coli dan Vibrio cholera) akan memberikan efek lansung
dalam peningkatan pengeluaran sekresi air ke dalam lumen gastrointestinal.
Beberapa agen bakteri bisa memproduksi sitotoksin (seperti Shigella dysenteriae,
vibrio parahaemolyticus, clostridium difficilr, enterohemorrhagic E. Coli) yang
menghasilkan kerusakan sel-sel yang terinflamasi. Invasi enterosit dilakukan
beberapa miktoba seperti Shigella, organisme campylobacter, dan enterovasif E.
Coli yang menyebabkan terjadinya destruksi, serta inflamasi.
Pada manifestasi lanjut dari diare dan hilangnya cairan, elektrolit
mamberikan manifestasi pada ketidakseimbangan asam basa dan gangguan
sirkulasi yaitu terjadinya gangguan keseimbangan asama basa (metabolik
asidosis). Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bikarbonat bersama feses.
Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam tubuh
dan terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anoreksia jaringan.
Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat
dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion
Na dari cairan eksraseluler ke dalam cairan intraseluler.
Respon patologis penting dari gastroenteritis dengan diare berat adalah
dehidra, pemahaman perawat sangatlah penting mengenai bagaimana patofisiogi
dehidrasi dapat membantu dalam menyusun rencana intervensi sesuai kondisi
individu. Dehidrasi adalah suatu gangguan dalam keseimbangan air yang
disebabkan output melebihi intake sehingga jumlah air pada tubuh berkurang.
Meskipun yang hilang adalah cairan tubuh, tetapi dehidrasi juga disertai
gangguan elektrolit. Dehidrasi dapat terjadi karena kekurangan air (water
deflection), kekurangan natrium (sodium defletion), serta kekurangan air dan
natrium secara bersama-sama.
Kekurangan air atau dehidrasi primer (water deflection): pada
peradangan gastroenteritis, fungsi usus besar dalam melakukan absorpsi cairan
terganggu sehingga masuknya air sangat terbatas. Gejala-gejala khas pada
dehidrasi primer adalah haus, saliva sedikit sekali sehingga mulut kering,
oliguria sampai anuri, sangat lemah, serta timbulnya gangguan mental seperti
halusinasi dan delirium. Pada stadium awal kekurangan cairan, ion natrium dan
klorida ikut menghilang dengan cairan tubuh, tetapi akhirnya terjadi reabsorpsi
ion melalui tubulus ginjal yang berlebihan sehingga cairan ekstrasel
mengandung natrium dan klor berlebihan, serta terjadi hipertoni. Hal ini
menyebabkan air keluar dari sel sehingga terjadi dehidrasi intasel, inilah yang
menimbulkan rasa haus. Selain itu, terjadi perangsangan pada hipofisis yang
kemudian melepaskan hormon antidiuretik sehingga terjadi oliguria.
Dehidrasi sekunder (sodium depletion). Pada gastroenteritis, dehidrasi
sekunder merupakan dehidrasi yang terjadi karena tubuh kehilangan cairan tubuh
yang mengandung elektrolit. Kekurangan natrium sering terjadi akibat keluarnya
cairan melalui saluran pencernaan pada keadaan muntah-muntah dan diare yang
hebat. Akibat dari kekurangan natrium terjadi hipotoni ekstrasel sehingga
tekanan osmotik menurun. Hal ini menghambat dikeluarkan hormon antidiuretik
sehingga ginjal mengeluarkan air agar tercapai konsentrasi cairan ekstrasel yang
normal. Akibatnya volume plasma dan cairan interstisial menurun. Selain itu,
karena terdapat hipotoni ekstrasel, air akan masuk ke dalam sel. Gejala-gejala
dehidrasi sekunder adalah nausea, muntah-muntah, sakit kepala, serta perasaan
lesu dal lelah. Akibat turunnya volume darah, maka curah jantung pun menurun
sehingga tekanan darah juga menurun dan filtrasi glomerulos menurun,
kemudian menyebabkan terjadinya penimbunan nitrogen yang akan
meningkatkan risiko gangguan kesimbangan asam basa dan hemokonsentrasi.
Diare dengan dehidrasi berat dapat mengakibatkan renjatan (syok)
hipovolemik. Syok adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh defisien sirkulasi
akibat disparitas (ketidakseimbangan) antara volume darah dan ruang vascular.
Faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan ini adalah bertambahnya
kapasitas ruang susunan vascular dan berkurangnya volume darah. Syok dibagi
dalam syok primer dan syok sekunder. Pada syok primer terjadi defisiensi
sirkulasi akibat ruang vascular membesar karena vasodilatasi. Ruang vaskular
yang membesar mengakibatkan darah seolaholah ditarik dan sirkulasi umum dan
segera masuk ke dalam kapiler dan venula alat-alat dalam (visera). Pada syok
sekunder terjadi gangguan keseimbangan cairan yang menyebabkan defisiensi
sirkulasi perifer disertai jumlah volume darah yang menurun, aliran darah yang
kurang, serta hemokosentrasi dan fungsi ginjal yang terganggu. Sirkulasi yang
kurang tidak langsung terjadi setelah adanya kena serangan/kerusakan, tetapi
baru beberapa waktu sesudahnya, oleh karena itu disebut syok sekunder atau
delayed shock. Gejala-gejalanya adalah rasa lesu dan lemas, kulit yang basah,
kolaps vena terutama vena-vena supervisial, pernapasan dangkal, nadi cepat dan
lemah, tekanan darah yang rendah, oliguria, dan terkadang disertai muntah.
Faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pada gastroenteritis adalah
karena volume darah berkurang akibat permeabilitas yang bertambah secara
menyeluruh. Hal ini membuat cairan keluar dari pembuluh-pembuluh dan
kemudian masuk ke dalam jaringan sehingga terjadi pengentalan
(hemokonsentarsi) darah.

4. Klasifikasi

a. Diare akut merupakan penyebab utama keadaan sakit pada anak-anak balita.
Diare akut didefenisikan sebagai keadaan peningkatan dan perubahan tiba-
tiba frekuensi defekasi yang sering disebabkan oleh agen infeksius dalam
traktus GI. Diare akut biasanya sembuh sendiri (berlangsung kurang dari 14
hari) dan akan mereda tanpa terapi yang spesifik jika dehidrasi tidak terjadi.
Diare infeksius akut (Gastroenteritis Infeksiosa) dapat disebabkan oleh virus,
bakteri dan parasit yang patogen.
b. Diare kronis sebagai keadaan meningkatnya frekuensi defekasi dan
kandungan air dalam feses dengan (lamanya sakit lebih dari 14 hari). Kerap
kali diare kronis terjadi karena keadaan kronis seperti sindrom malabsorbsi,
penyakit inflamasi usus, defisiensi kekebalan, alergi makan, intoleransi
laktosa, atau diare nonspesifik yang kronis, atau sebagai akibat dari
penatalaksanaan diare akut yang tidak memadai.
c. Diare intraktabel pada bayi merupakan sindrom yang terjadi pada bayi dalam
usia beberapa minggu pertama serta berlangsung lebih lama dari 2 minggu
tanpa ditemukannya mikroorganisme patogen sebagai penyebab dan bersifat
resisten atau membandel terhadap terapi. Penyebab yang paling sering adalah
diare infeksius akut yang tidak ditangani secara memadai.
d. Diare kronis nonspesifik, yang juga dikenal dengan istilah kolon iritabel
Pada anak atau diare todler, merupakan penyebab diare kronis yang sering
dijumpai pada anak-anak yang berusia 6 hingga 54 minggu. Anak-anak ini
memperlihatkan feses yang lembek yang sering disertai partikel makanan
yang tidak tercerna, dan lamanya diare melebihi 2 minggu. Anak-anak yang
menderita diare kronis nonspesifik ini akan tumbuh secara normal dan pada
anak-anak ini tidak terdapat gejala malnutrisi dan tidak ada darah dalam
fesesnya serta tidak tampak infeksi enterik.

5. Manifestasi Klinis

Menurut Kusuma (2016) Manifestasi klinis dapat di jadikan dua yaitu diare akut
dan diare kronis:
a. Diare akut

a) Buang air besar encer, gas-gas dalam perut, rasa tidak enak dan nyeri
perut
b) Nyeri pada kuadran kanan bawah disertai kram dan bunyi pada perut

c) Demam biasanya dalam menanggapi infeksi seperti virus atau infeksi


bakteri atau peradangan karena penyakit
b. Diare kronik

a) Penurunan berat badan dan napsu makan

b) Demam biasanya dalam menanggapi infeksi seperti virus atau infeksi


bakteri atau peradangan karena penyakit
c) Dehidrasi tanda-tandanya hipotensi takikardi, denyut lemah
6. Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien yang dengan diare akan di perlukan pemeriksaan penunjang


yaitu antara lain: pemeriksaan darah tepi lengkap (hemoglobin, hematokrit,
leukosit, jumlah leukosit), kadar elektrolit serum, ureum dan kreatinin,
pemeriksaan tinja (makroskopis dan mikrokopis, Ph dan kadar gula dalam tinja,
Biakan dan resistensi feses (colok dubur)) dan foto x-ray abdomen. Pasien
dengan diare karena virus biasanya mempunyai jumlah dan hitung jenis leukosit
yang normal atau limfositosis. Pasien dengan infeksi bakteri terutama bakteri
yang invasi ke mukosa, memiliki leukositosis dengan kelebihan darah putih.
Neutropenia dapat timbul pada samnellosis. Ureum dan kreatinin diperiksa untuk
mengetahui adanya kekurangan volume cairan dan mineral tubuh. Pemeriksaan
tinja di lakukan untuk melihat adanya leukosit dalam tinja yang menunjukan
adanya infeksi bakteri, adanya telur cacing dan parasit dewasa. Pasien yang telah
mendapatkan pengobatan antibiotik dalam tiga bulan sebelumnya atau yang
mengalami diare di rumah sakit sebaiknya di periksa tinja untuk pengukuran
toksin slostridium difficile. Rektoskopi atau sigmoidoskopi perlu di
pertimbangkan pada pasien-pasien yang toksik, pasien dengan diare berdarah
atau pasien dengan diare akut perristen. Pada sebagian besar, sigmoidoskopi
mungkin adekuat sebagai pemeriksaan awal (Wong, 2009).

 Penanganan

1. Pemberian cairan

Pemberian cairan pada pasien diare dengan memperhatikan derajat


dehidrasinya dengan keadaan umum.
2. Diatetik

Pembenaan makanan dan minuman khusus pada pasien dengan tujuan


penyembuhan dan menjaga kesehatan. Adapun hal yang perlu di perhatikan
adalah:
a. Memberikan ASI

b. Memberikan bahan makanan yang mengandung kalori, protein, vitamin,


mineral dan makanan yang bersih.
3. Obat-obatan
a. Obat anti sekresi

b. Obat anti sparmolitik

c. Anti biotic (Nursalam, 2008)

7. Komplikasi

Menurut Suhayono dalam (Nursalam, 2008) komplikasi yang dapat terjadi dari
diare akut maupun kronis, yaitu:
a. Kehilangan cairan dan elektrolit (terjadi dehidrasi)

Kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa


(asidosis metabolic), karena:
1.Kehilangan natrium bicarbonate bersama tinja.
2.Walaupun susu diteruskan, sering dengan pencernaan dalam waktu yang
terlalu lama
3.Makanan diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorpsi dengan
baik adanya hiperstaltik.
b. Gangguan sirkulasi

Sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, maka dapat terjadi
gangguan sirkulasi dara berupa renjatan atau syok hipovolemik. Akibat
perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah sehingga
dapat mengakibatkan perdarahan di dalam otak, kesadaran menurun, dan bila
tidak segera ditolong maka penderita meninggal.
c. Hiponatremia

Anak dengan diare hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L).
Hiponatremi sering terjadi pada anakdengan Shigellosis dan pada anak
malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi darin
hamper semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasi, koreksi Na
dilakukan berasama dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu: memakai
Ringer Laktat.

8. Penatalaksanaan
Menurut Ngastiyah (2014) penatalaksanaan yaitu:

a. Penatalaksanaan Medis

1. Dehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan. Empat hal penting yang perlu
diperhatikan.
a). Jenis cairan: oral: pedialyte atau oralit, ricelyte. Parenteral: NaCl, isotonic,
infuse RL
b). Jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan cairan yang dikeluarkan.

c). Jalan masuk atau cairan pemberian


1). Cairan per oral, pada pasien dehidrasi ringan dan sedang cairan
diberikan per oral berupa cairan yang berisikan NaCl dan
NaHCO3, KCL, dan glukosa.
2). Cairan parenteral, pada umumnya cairan Ringer Laktat (RL)
selalu tersedia di fasilitas kesehatan dimana saja. Mengenai
beberapa banyak cairan yang diberikan tergantung dari berat
ringan dehidrasi, yang diperhitungkan dengan kehilangan cairan
sesuai dengan umur dan berat badannya.
d). Jadwal pemberian cairan

Diberikan 2 jam pertama, selanjutnya dilakukan penilaian kembali


status hidrasi untuk menghitung kebutuhan cairan. Identifikasi penyebab
diare. Terapi sistemik seperti pemberian obat anti diare, obat anti
mortilitas dan sekresi usus, antimetik.
2. Pengobatan dietetic

Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun dengan berat badan
kurang dari 7 kg jenis makanan: susu (ASI atau susu formula yang
mengandung laktosa rendah ada asam lemak tidak jenuh, misalnyta LLM.
Almiron atau sejenis lainnya). Makan setengah padat (bubur) atau makan
padat (nasi tim), bila anak tidak mau minum susu karena dirumah tidak biasa.
Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya
susu yang tidak mengandung laktosa atau asam lemak yang berantai sedang
atau tidak jenuh

b. Penatalaksanaan keperawatan
1). Bila dehidrasi masih ringan

Berikan minum sebanyak-banyaknya, 1 gelas setiap kali setelah


pasien defekasi. Cairan mengandung elektrolit, seperti oralit. Bila tidak
ada oralit dapat diberikan larutan garam dan 1 gelas air matang
yang agak dingin dilarutkan dalam satu sendok teh gula pasir dan
1 jumput garam dapur. Jika anak terus muntah tidak mau minum
sama sekali perlu diberikan melalui sonde. Bila cairan per oral tidak
dapat dilakukan, dipasang infuse dengan cairan Ringer Laktat (RL) atau
cairan lain (atas persetujuan dokter). Yang penting diperhatikan adalah
apakah tetesan berjalan lancar terutama pada jam-jam pertama karena
diperlukan untuk mengatasi dehidrasi.
2). Pada dehidrasi berat

Selama 4 jam pertama tetesan lebih cepat.untuk mengetahui


kebutuhan sesuai dengan yang diperhitungkan, jumlah cairan yang masuk
tubuh dapat dihitung dengan cara:
(a) Jumlah tetesan per menit dikali 60, dibagi 15/20 (sesuai set
infuse yang dipakai). Berikan tanda batas cairan pada botol
infuse waktu memantaunya.
(b) Perhatikan tanda vital: denyut nadi, pernapasan, suhu.
(c) Perhatikan frekuensi buang air besar anak apakah masih
sering, encer atau sudah berubah konsistensinya.
(d) Berikan minum teh atau oralit 1-2 sendok jam untuk
mencegah bibir dan selaput lendir mulut kering.
(e) Jika dehidrasi telah terjadi, infus dihentikan, pasien diberikan
makan lunak atau secara realimentasi.
 Hubungan Diare dengan Status Gizi

Hubungan status gizi dan kejadian diare menurut Brown (2003),


kekurangan głzi dapat menyebabkan rentan terhadap infeksi karena dampak
negatif terjadi perubahan pada perlindungan yang diberikan oleh kulit dan
selaput lendir serta menginduksi perubahan fungsi kekebalan tubuh. Menurut
Brown (2003), malnutrisi meningkatkan kejadian diare. Selain itu dijelaskan juga
ada hubungan antara indikator antropometri status gizi dengan durasi penyakit
diare. Pada malnutrisi terjadi peningkatan derajat keparahan penyakit diare
(Brown, 2003).
Hubungan antara gizi anak dan penyakit infeksi adalah hubungan dua arah,
yaitu penyakit yang sering dapat mengganggu status gizi dan status gizi yang
buruk dapat meningkatkan resiko infeksi. Pada penelitian menunjukkan bahwa
efek merugikan dari infeksi tertentu (misalnya diare) pada pertumbuhan dapat
dikurangi atau dihilangkan dengan memperbaiki gizi. Intervensi meningkatkan
gizi menjadi lebih baik dapat mencegah dan mengendalikan infeksi. Hal ini adalah
cara Yang paling efektif untuk meningkatkan pertumbuhan anak (Dewey dan
Mayers, 201 1 ).
Diare merupakan penyebab utama dari malnutrisi. Setiap kejadian diare
dapat menyebabkan kehilangan nutrisi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
diare tidak hanya menyebabkan kematian tetapi dapat juga menyebabkan
malnutrisi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diare tidak hanya
menyebabkan kematian tetapi dapat juga menyebabkan malnutnsi. Diare dapat
mengakibatkan berkurangnya nafsu makan dan gangguan pencernaan yang
menyebabkan menurunnya absorbsi zat-zat nutrisi dalam tubuh sehingga
menimbulkan malnutrisi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diare tidak
hanya menyebabkan kematian tetapi dapat juga menyebabkan malnutnsi. Diare
dapat mengakibatkan berkurangnya nafsu makan dan gangguan pencernaan yang
menyebabkan menurunnya absorbsi zat-zat nutrisi dalam tubuh sehingga
menimbulkan malnutrisi. Penelitian yang dilakukan Oleh Iswari (201 1) di RSUD
Koja Jakarta, mengatakan bahwa kejadian diare memiliki hubungan yang
signifikan dengan status gizi pada anak usia di bawah 2 tahun. Penelitian yang
dilakukan Oleh Aulina (2008) di RSUD Bunder Kabupaten Gresik, yaitu terdapat
hubungan antara diare kronis dengan kejadian malnutrisi pada balita (Iswari, 201 1
; Aulina, 2008).
Semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan semakin berat diare
yang dideritanya. Ada 2 masalah yang berbahaya dari diare, yaitu kematian dan
malnutrisi. Diare dapat menyebabkan malnutrisi dan membuat lebih buruk lagi
karena pada diare tubuh akan kehilangan nutrien, anak-anak dengan diare
mungkin merasa tidak lapar serta ibu tidak memberi makan pada anak ketika
mengalami diare. Penderita gizi buruk akan mengalami penurunan produksi
antibodi serta terjadinya atropi pada dinding usus yang menyebabkan
berkurangnya sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan masuknya bibit
penyakit ke dalam tubuh terutama penyakit diare (WHO, 2009).
Rerata frekuensi diare pada balita adalah 1 kali dalam sebulan terakhir dan
rerata durasi diare adalah 3,0 hari (SD±2,O). Penelitian Nurcahyo dkk pada balita
usia 12-59 bulan di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa semakin sering
frekuensi diare maka status gizi balita menurut BB/UJ akan semakin buruk
(Nurcahyo, 2010). Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatimah
(2008) di Kecamatan Ciawi Kabupaten Tasikmalaya yang mendapatkan bahwa
semua anak dengan gizi kurang memiliki riwayat penyakit infeksi sepertl diare
berulang, ISPA berulang, dan tuberculosis (Fatimah, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Rusmiati di RSU Dr.Tengku Mansyur
Tanjung balai Medan mendapatkan adanya hubungan antara lamanya kejadian
diare dengan status gizi balita menurut BB/I_J (Rusmiati, 2008).
Sebagian besar ibu juga melakukan tindakan yang cepat dalam
menanggulangi diare dengan membawa berobat ke tempat pelayanan kesehatan
seperti bidan atau dokter (75,7%) dan memberikan oralit atau cairan rumah tangga
(5,4%). Tindakan tersebut akan memperkecil terjadinya gangguan keseimbangan
elektrolit pada anak karena prinsip utama dalam pengobatan diare akut adalah
rehidrasi (Petri, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Primayani (2009) di Ruang Rawat Inap
Anak RSUD Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NIT juga menyatakan bahwa
tidak semua kejadian diare menyebabkan status gizi kurang karena ada
kemungkinan adanya faktor perancu. Menurut Sulpuveda (1988) menyimpulkan
ada hubungan antara status antropometrik dengan insiden diare. Dan Sulpuveda
(1988) menyatakan malnutrisi menyebabkan peningkatan frekuensi kejadian dan
durasi kesakitan diare, yaitu 37% pada frekuensi kejadian, dan 73% pada durasi
kesakitan diare (Primayani, 2009; Sulpuveda, 1988).
Didapatkan hubungan Iemah antara Status gizi dengan lama han rawat inap
dalam penelitian dapat disebabkan Oleh faktor-faktor perancu. Jumlah dan
distribusi sampel, subjektivitas dalam penilaian derajat dehidrasi, hasil
penghitungan status gizi, penyebab diare, dan riwayat penyakit terdahulu dapat
mempengaruhi hasil penelitian.
Disimpulkan bahwa pada penelitian kami tidak didapatkan hubungan antara
status gizi dan lama rawat inap pasien diare anak di ruang rawat inap anak RSUD
Soe. Kabupaten Timor Tengah Selatan, NVI' (Primayani, 2009).
Saluran cerna berkembang pesat selama masa pranatal. Tetapi
perkembangan saluran cerna belum lengkap pada saat Iahir. Perkembangan fungsi
saluran cerna akan berlanjut setelah kelahiran, terutama pada masa laktasi. Oleh
karena itu, masa pranatal dan masa laktasi merupakan masa yang rentan
dikarenakan perkembangan saluran cerna yang belum sempurna. Dalam masa
rentan ini, usus sangat mudah mengalami kerusakan. Seperti pada balita yang
mengalami malnutrisi, asupan gizi yang kurang akan menyebabkan atrofi vilus
usus halus. Selain itu, malnutrisi juga dapat menyebabkan berkurangnya fungsi
imunitas pada tubuh dan perubahan struktur mukosa usus. Tiga hal itu merupakan
faktor pencetus terjadinya diare pada balita yang menderita malnutrisi (Rinda,
2014),
Vilus merupakan struktur fungsional usus halus. Tiap-tiap vilus terdiri atas
saluran limfe sentral yang dikelilingi oleh sel-sel epitel. Salah satu jenis epitel
vilus berfungsi mengabsorpsi bahan-bahan nutrisi dan air. Pada keadaan normal,
setelah makan dicerna di dalam lambung, makanan tersebut akan mengalami
absorpsi di dalam usus halus. Hasil-hasil akhir pencernaan karbohidrat, Iemak,
dan protein akan diabsorpsi oleh dinding usus ke dalam sirkulasi darah dan limfe
untuk digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu, juga diabsorpsi air, elektrolit, dan
vitamin. Absorpsi berbagai zat berlangsung dengan mekanisme transpor aktifdan
pasif. Pada kasus diare, vilus usus halus mengalami atrofi. Atrofi ini akan
menyebabkan absorbsi air dan zat-zat Iain akan terganggu. Air dan zat-zat Iain
yang harusnya diabsorbsi dan diedarkan ke dalam sirkulasi darah dan pembuluh
limfe menjadi tidak terabsorbsi. Oleh karena itu, chyme yang terbentuk masih
mengandung banyak air dan zat-zat Iain. Sebenarnya, di dalam usus besar chyme
mengalami reabsorbsi air. Tetapi, usus besar hanya dapat mereabsorbsi air
maksimal 6-8 liter per hari. Jika kandungan air dalam chyme melebihi daya
reabsorbsi usus besar, maka feses yang dikeluarkan menjadi encer. Selain
menyebabkan atrofi vilus usus halus, malnutrisi juga menyebabkan berkurangnya
fungsi imunitas tubuh. Jika sistem imun pada tubuh terganggu, maka tubuh akan
mudah sekali terkena infeksi. Salah satu penyebab diare adalah infeksi bakter E.
coli. Jika keadaan imun balita itu normal, maka sistem imun tubuh dapat
menangkal bakteri patogen tersebut sehingga tidak akan terjadi diare. Pada balita
yang mengalami malnutrisi, sistem imun tubuh tidak kuat melawan bakteri
tersebut. Oleh karena itu, bakteri itu berkembang dalam usus halus dan dapat
menyebabkan infeksi usus halus. Infeksi ini dapat mengganggu fungsi absorpsi
usus halus sehingga air yang diserap sedikit dan feses menjadi encer (Rinda,
2014).
Faktor penyebab diare Yang terakhir yaitu perubahan struktur mukosa usus.
Di dalam mukosa usus halus, terdapat sel goblet yang berfungsi menghasilkan
mukus. Mukus ini untuk melindungi dinding duodenum dari asam Iambung.
Malnutrisi menyebabkan kerusakan struktur mukosa usus sehingga produksi
mukosa terhambat. Terhambatnya produksi mukosa usus ini akan meningkatkan
kerentanan usus terhadap infeksi. Selain itu, apabila asam Iambung ikut keluar
bersama chyme ke duodenum, maka asam Iambung akan mengiritasi usus halus.
Usus halus yang teriritasi ini akan mengalami gangguan absorpsi air dan
mengakibatkan feses yang terbentuk menjadi encer (Rinda, 2014).
Menurut Hendarto & Musa (2002), balita dengan status gizi baik lebih
sering terkena penyakit infeksi jika dibandingkan dengan balita dengan status gizi
tidak baik. Menurut Zulkifli (2003), didapatkan bahwa Status gizi balita tidak
mempunyai hubungan dengan kejadian diare pada balita. Penelitian ini juga
didukung oleh Primayani (2009), hasil penelitian didapatkan tidak terdapat
hubungan antara status gizi dengan lama rawat inap pada pasien diare di RSUD
Soe NTT. Menurut Hendarto & Musa (2002), tidak terdapat hubungan antara
status gizi dengan kekerapan sakit pada balita. Penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian Sukmawati & Ayu (2010), hasil penelitian didapatkan tidak terdapat
hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita. Akan tetapi
penelitian ini tidak sesuai dengan Hamisah (201 1), balita dengan status gizi tidak
baik Iebih cenderung untuk terjadi diare 3.6 kali Iebih tinggi disbanding status
gizi baik. (Hendarto, 2002; Primayani 2009; Sukmawati, 2010; Hamisah, 2011)
 MALNUTRISI
1. Pengertian Malnutrisi

Gizi (Natrision) adalah suatu proses organisme menggunakan makanan


yang di konsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi.
Penyimpanan metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ
serta menghasilkan energy (Nyoman,2001).
Malnutrisi adalah suatu keadaan di mana tubuh mengalami gangguan
dalam penggunaan zat gizi untuk pertumbuhan, perkembangan dan aktivitas.
Malnutrisi dapat disebabkan oleh kurangnya asupan makanan maupun adanya
gangguan terhadap absorbsi, pencernaan dan penggunaan zat gizi dalam tubuh
(Rahajeng, 2009).
Kurang gizi protein (KEP) adalah keadaan dimana kurang gizi yang di
sebabkan rendah nya konsumsi energy dan protein dalam makanan sehari-hari
yang tidak memenuhi angka kebutuhan gizi (AKG) (Manjoer Arif,2000).
Dari berbagai macam pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
malnutrisi kurang energi protein adalah suatu keadaan di mana tubuh mengalami
gangguan dalam penggunaan zat gizi untuk pertumbuhan, perkembangan dan
aktivitas akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung energy dan protein
serta karena gangguan kesehatan.

2. Etiologi

Kurang gizi pada anak, bisa terjadi di usia Balita (Bawah Lima Tahun).
“Pedoman untuk mengetahui anak kurang gizi adalah dengan melihat berat dan
tinggi badan yang kurang dari normal”. Jika tinggi badan anak tidak terus
bertambah atau kurang dari normal, itu menandakan bahwa kurang gizi pada
anak tersebut sudah berlangsung lama. Menjelaskan, ada beberapa faktor yang
menjadi penyebab kurang gizi pada anak.
Pertama, jarak antara usia kakak dan adik yang terlalu dekat ikut
mempengruhi. Dengan demikian, perhatian ibu untuk kakak sudah tersita dengan
keberadaan adiknya, sehingga kakak cenderung tidak terurus dan tidak
diperhatikan makanannya. Oleh karena itu akhirnya kakak menjadi kurang gizi.
“Balita itu konsumen pasif, belum bisa mengurus dirinya sendiri, terutama untuk
makan”.
Kedua, anak yang mulai bisa berjalan mudah terkena infeksi atau juga
tertular oleh penyakit-penyakit lain.
ketiga adalah karena lingkungan yang kurang bersih, sehingga anak
mudah sakit-sakitan. Karena sakit-sakitan tersebut, anak menjadi kurang
gizi.

Keempat, kurangnya pengetahuan orang tua terutama ibu mengenai gizi.


“Kurang gizi yang murni adalah karena makanan,” Ibu harus dapat memberikan
makanan yang kandungan gizinya cukup.
Kelima, kondisi sosial ekonomi keluarga yang sulit. Faktor ini cukup
banyak mempengaruhi, karena jika anak sudah jarang makan, maka otomatis
mereka akan kekurangan gizi.
Keenam, selain karena makanan, anak kurang gizi bisa juga karena
adanya penyakit bawaan yang memaksa anak harus dirawat. Misalnya penyakit
jantung dan paru-paru bawaan (Siswono, 2001).

3. Patofisiologi

Penyakit malnutrisi dengan kekurangan energi protein atau tidak


mencukupinya makanan bagi tubuh sering kali dikenal dengan marasmus dan
kwarsiokor. Kwarsiokor adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan
protein baik dari segi kualitas maupun kwantitasnya. Kekurangan protein dalam
makanan akan mengakibatkan kekurangan asam amino essensial dalam serum
yang diperlukan untuk sintesis dan metabolisme terutama sebagai pertumbuhan
dan perbaikan sel, makin berkurangnya asam amino dalam serum menyebabkan
berkurangnya produksi albumin oleh hati. Kulit akan tampak bersisik dan kering
karena depigmentasi. Anak dapat mengalami gangguan pada mata karena
kekurangan vitamin A. Kekurangan mineral khusunya besi, kalsium dang zheng.
Edema yang terjadi karena hipoproteinemia yang mana cairan akan berpindah
dari intra vaskuler compartemen ke rongga interstisial yang kemudian
menimbulkan ansietas. Gangguan gastrointestinal seperti adanya perlemakan
pada hati dan atropi pada sel acini pankreas.
Marasmus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan kalori
dan protein. Pada marasmus ditandai dengan atropi jaringan terutama lapisan
subkutan dan badan tampak kurus seperti orang tua. Pada marasmus
metabolisme lemak kurang terganggu dari pada kwarsiokor sehingga kekurangan
vitamin biasanya minimal atau tidak ada. Pada marasmus tidak ditemukan edema
akibat dari hipoalbuminemia atau retensi sodium. Pemenuhan kebutuhan dalam
tubuh masih dapat ditemui dengan adanya cadangan protein sebagai sumber
energi (Yuliani, 2006).

4. Manifestasi Klinik

a. Tanda dan gejala terjadinya kurang energy protein

1) Badan kurus di timbang pada KMS berada di bawah garis merah atau
pita kuning bagian bawah
2) Lemah lesu.

3) Selera makan kurang.

4) Gangguan pertumbuhan pada anak.

5) Ganguan kecerdasan kepada anak mudah terkena penyakit.

b. Kategori KEP berdasarkan kriteria KMS yang baru di bedakan

menjadi dua, yaitu :


1) KEP sedang – berat

Anak disebut masuk dalam kategori sedang –berat bila berat badan
kurang dari 70% baku rujukan BB/u WHO- NCHS, pada
KMS artinya sama dengan di bawah garis merah.

2) KEP ringan

Anak di sebut KEP ringan bila berat badan 70% sampai kurang dari
80% baku rujukan BB/u WHO- NCHS.
Table kategori KEP menurut standar baku WHO-NCHS
Kategori Kriteria Kriteria menurut KMS
WHONCHS
KEP Ringan 70 - <80 % Pita warna kuning
(antara pita warna hijau
dan garis merah
KEP Sedang-berat < 70 % BGM

c. Cara mendeteksi KEP:

1) KEP dapat di deteksi dengan cara antropometri yaitu mengukur BB dan


umur yang di bandingkan dengan indeks BB/u baku standar WHO-
NCHS sebagai mana tercantum dalam KMS.
2) Badan kurus biala di timbang BB pada KMS berada di bawah garis
merah.
3) Lemah lesu dan cengeng.

4) Gangguan pertumbuhan badan kurang.

5) Selera makan kurang.

6) Gangguan perkembangan kecerdasan.

7) Sikap anak kurang tanggap.

d. Penyakit penyerta yang menyertai KEP yaitu :

1) Kwasiokor

Kwasiokor dapat di jumpai pada usia anak bayi yang masih

di sapih atau pada anak usia pra sekolah yang merupakangolongan


umur yang relatif memerlukan banyak
protein untuk tubuh. Gejala Kwasiokor :
a) Gejala yang terpenting adalah pertumbuhan yang terganggu

b) Gejala gastrointestinal

c) Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah di


cabut tanpa rasa sakit, rontok/ perubahan pada rambut.
d) Kulit penderita kering

Pengobatan Kwasiokor : Prinsisp Kwasiokor ialah memberikan


makanan yang mengandung banyak protein yang
bernilai hayati tinggi.

2) Marasmus

Gejala marasmus : Pertumbuhan kurang atau terhenti, Anak,


masih suka menangis, Konstipati diare, Lemak pipi menghilang wajah
penderita seperi wajah orang tua.
Komplikasi yang akan terjadi : Infeksi, Diare, Gangguan keseimbangan
elektrolit, Defisiensi vitamin A, Anemi.
Pencegahan: Pendidikan kesehatan, Rutin ke posyandu,

Program makanan tambahan, Pemberian zat besi, Pemberian


kapsul vitamin A dosis tinggi, Pemberian kapsul minyak beryodium
(Ngastiyah,2005).

5. Komplikasi

Bahaya komplikasi pada pasien malnutrisi energi protein sangat mudah


mendapat infeksi karena daya tubuhny rendah terutama system kekebalan tubuh.
Infeksi yang paling sering adalah bronkopneumonia dan tuberculosis. adanya
atrofilis usus menyebabkan penyerapan terganggu mengakibatkan pasien sering
diare. Melihat komplikasi tersebut sukar untuk di cegah yang perlu di perhatikan
adalah kebersihan mulut, kulit, dan hipotermia (Ngastiyah,2005).
6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan malnutrisi (tingkat ringan dan sedang) dilakukan dengan


memberikan makanan yang bergizi, menu yang seimbang, mengandung
karbohidrat dan protein dalam jumlah yang cukup. Selain itu, perlu juga
mengobati penyakit lain yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada
anak (misalnya diare). Anak dengan keadaan malnutrisi berat sering berada
dalam keadaan darurat dan sebaiknya dibawa ke rumah sakit untuk mendapat
pengobatan (Riyadi,2009).

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. A


DENGAN DADRS

A. PENGKAJIAN
1) Tanggal Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 09.00 WIB dengan
melakukan wawancara dan observasi pada klien dan keluarga
2) Identitas
 Identitas Pasien
Nama : An. A
Umur : 5 bln
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
 Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. H
Umur : 30 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : STM
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Pekalongan
Hub. dengan pasien : Orang tua kandung
3) Keluhan Utama
An. A BAB dengan konsistensi encer / mencret > 4x sehari
4) Riwayat Penyakit Sekarang
 2 hari sebelum masuk RS (tgl 8 Januari 2012) klien mencret > 10x / hr@ 6-8 sdm
air ampas, nyemprot, tidak ada darah maupun lendir dan bau busuk warna kuning.
Anak mencret setelah diberi jeruk, kemudian dibawa ke Bidan. Namun anak masih
tetap mencret bahkan muntah setiap diberi makan dan minum (muntahan sesuai
dengan apa yang sedang dimakan dan diminum). Oleh karena itu, anak dibawa ke
dokter spesialis anak,  5 jam sebelum masuk RS muntah (-), mencret (+) >5x dan
kencing banyak banyak setiap ½ jam, kemudian dibawa ke RS dan dirawat.

5) Riwayat Penyakit Masa Lalu


a. Prenatal
Ny. R mengatakan bahwa An. A adalah anak yang pertama. Selama masa
kehamilan Ibu memeriksakan kehamilannya di Puskesmas lebih dari 5x dan
mendapatkan suntikan TT 2x selama hamil ibu tidak menciptakan gangguan
yang berarti, hanya muntah yang wajar pada hari 3 bulan pertama ibu tidak
pernah mengkonsumsi obat maupun jamu jamuan yang tidak dianjurkan, ibu
hanya mengkonsumsi obat yang diberikan oleh bidan Puskesmas berupa kapsul
SF dan vitamin Bc. Ibu pernah mengalami abortus, dan sebelumnya belum
pernah memakai kontrasepsi.
b. Intranatal
Ibu melahirkan anaknya di Puskesmas Rawat Inap tempat memeriksakan
kehamilannya pada usia kehamilan 40 minggu, jenis persalinan spontan ditolong
oleh bidang Puskesmas.
c. Posnatal
Berat badan lahir An. A 2800 gram dan panjang badan 47 cm, bayi langsung
menangis kuat dan tidak kebiruan. Ibu mengatakan tidak tahu apgar score saat
lahir dan tidak ada kelainan kongenital.
d. Alergi
An. A belum pernah mengamai alergi terhadap makanan maupun obat-obatan.
e. Pertumbuhan dan perkembangan
Pada usia 2 bulan, BB anak 4300 gramdan PB 55 cm, sudah bisa mengamati
tangannya sendiri, tersenyum spontan dan bersuara ngoceh. Pada usia 5 bulan
ini, anak mampu berusaha menggapai maman, meraih dan mengamati benda,
meniru bunyi-bunyi kat-kat dan menoleh ke arah suara, serta mampu membalik
dan bangkit kepala tegak.
f. Riwayat imunisasi
Pada usia 0 bulan mendapatkan BCG dan HB-1, usia 2 bulan mendapatkan HB-
2 + DPT + Polio I, usia 4 bulan mendapatkan DPT dan polio.

6) Pola Fungsional Menurut Gondan’s


a. Pola Persepsi Kesehatan
Menurut keterangan keluarga, kesehatan merupakan aspek yang penting dalam
kehidupAn. Apabila ada salah satu anggota keluarga yang sakit, terutama anak,
yang lain ikut merasakan sakit terlebih ayah ibunya.
b. Pola Nutrisi
Diit yang diberikan adalah susu LLM dengan pemberian 8 x 60 cc dan 3x
½ porsi bubur tempe namun ibu masih tetap memberikan ASI. Daya isap anak
saat minum susu baik dengan dot (untuk susu LLM) maupun ASI ada, tetapi
tidak sering dan sedikit (60 cc susu LLM tidak semuanya habis, hanya 30 cc
saja yang terminum).
c. Pola Eliminasi
An. A. BAB 6 – 7 kail, warna kuning, konsistensi encer, BAK ± 1 x setiap 2
jam, warna kuning jernih.
d. Pola Aktivitas
An. A terlihat kurang aktif, tampak lemas, namun bila menangis keras dan
sering rewel, semua aktifitas anak dibantu orang tua.
e. Pola Istirahat Tidur
Sebelum sakit, An. A tidak siang selama ± 3 jam / hari dan tidur malam ± 10
jam / hari. Selama sakit An. A dapat tidur dengan nyenyak setelah minum obat,
tidur siang ± 1 jam dan tidur malam ± 5 jam, karena sering terjaga dari tidurnya.
f. Pola Persepsi Kognitif
Ibu mengatakan anaknya sakit diare, ibu tahu secara jelas dari pengertian
penyebab maut penatalaksanannya serta pencegahannya dari dokter spesialis
anak, karena ibu konsultasi lebih jauh lagi tentang kondisi kesehatan anaknya.
g. Pola Hubungan
Dari sejak lahir, An. A selalu diasuh setiap saat oleh ibunya, sehingga hubungan
mereka sangat dekat. Apalagi saat sakit seperti ini, An. A tidak mau berpisah
sebentarpun. Bila tidak tampak ibunya, An. A langsung menangis.
h. Pola Nilai Kepercayaan
Keluarga memeluk agama Islam dan selau berusaha menjalankan perintah-
perintah-Nya.

7) Riwayat Kesehatan Keluarga


a. Genogram

Keterangan :
: laki-laki
: perempuan
: klien
: tinggal serumah

b. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada riwayat penyakit hipertensi, asma, DM dan penyakit jantung dalam
keluarga. Penyakit yang sering diderita anggota keluarga adalah panas, batuk,
pilek (yang bila diobat langsung sembuh terutama pada saat musim pencaroba).
c. Kebiasaan
Keluarga pergi ke Puskesmas atau dokter bila ada anggota keluarga yang sakit.

8) Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Antropometri
BB : 5300 gr PB : 65 cm
LL : 37 cm LD : 32 cm
b. Pemeriksaan status gizi berdasarkan Z-score
nilai real - nilai median 5,3−7,3
WAZ = SD lower / SD upper = 1 ,00 = -2 (normal)
6,5−65, 9
HAZ = 2,7 = -0,3 (normal)
5,3−7,1
WHZ = 0,7 = -2,5 (kurus)
c. KU : sadar, kurang aktif
d. Vital sign : HR = 130 x/mnt S = 37oC
PR = 30 x/mnt N = isi / tegangan cukup
e. Kepala
Bentuk mesorhapal, kulit kepala bersih, rambut jarang, ubun-ubun cekung, tidak
ada benjolan.
f. Mata
Tampak cekung, sklera tidak ikterik, konjungiva anemis
g. Hidung
Tampak tidak ada ingus, tidak ada pernafasan cuping hidung.
h. Telinga
Simetris, tidak ada tanda-tanda peradangan (kemerahan (-), edema (-), discharge
(-), gangguan pendengaran (-), tidak ada sekret.,
i. Mulut
Tidak ada stomatitis, mukosa mulut agak kering dan tidak sianosis.
j. Leher
Simetris tidak ada pemberasaran kelenjar limfe dan tidak ada massa di leher.
k. Dada
- Palmo :
I : Pengembangan dada simetris, tidak ada retraksi dada.
Pa : Fremitus rata antara kiri dan kanan
Pe : Sonor
A : Suara dasar vesikuler, ronchi (-), wheezing (-)
- Cor
I : Ictus condis tidak tampak
Pa : Ictus condis teraba di SIC ke-5
Pe : Konfigurasi dalam batas normal
A : Bunyi jantung I dan II murni, tidak ada bising maupun gelap.
l. Abdomen
I : Perut tampak cembung
A : Hiperperistaltik (± 20 x/mnt)
Pa : Tidak ada hepatomegali, tidak ada splenomegali
Pe : Kembung.
m. Genital
Lengkap tidak ada kelainan, daerah sekitar genital lembab dan popok / pengalas
basah.
n. Ekstremitas
Tonus otot baik, akral hangat, capillary refil ¿ 2 detik, tidak ada sianosis
terpasang infus di tangan kiri.
o. Kulit
Kulit bersih, tidak ada laserasi, turgor kurang.
9) Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (7/1 – 2012)
Hemoglobi 10,30 gr %
n
Hematokrit 30,4 %

Eritrosit 3,71 jt/mmk

MCH 27,80 pg

MCV 82,00 fl

MCHC 33,90 g/dl

Leukosit 11,40 ribu/mm


k
Trombosit 452,0 ribu/mm
k
Kimia klinik
Glukosa sewaktu 109 mg/dl (136-145)
E
l
e
k
t
r
o
l
i
t
N 1 m 1
a 4 m 3
t 0 o 6
r l -
i . 1
u L 4
m 5
K 3 m 3
a , m ,
l 7 o 5
i l -
u . 5
m L ,
1
K 1 m 9 H
h 1 m 8
l 4 o -
o l 1
r . 0
i L 7
d
a
C 2 m 2
a , m ,
l 4 o 1
c 9 l 2
i . -
u L 2
m ,
5
0

Bahan darah
Sekresi – eksresi =
Faeces rutin
 Warna : kuning
 Konsistensi : lembek, cair
 Micros : Ascaris :- LPK negatif
Ankilostoma :- LPK negatif
Trikhiuris :- LPK negatif
Oxyuris :- LPK negatif
 Amoeba
A. Histolitikum - LPK negatif
A. Coli - LPK negatif
Kista - LPK
Sisa pencernaan - negatif
Sisa makanan - negatif
Sisa lemak - negatif
Sisa karbohidrat - negatif
Sisa protein +/pos negatif
Sisa daging - negatif
Granula amilum - negatif
Glabul amilum - negatif
Glabul lemak - negatif
Sisa tumbuhan - negatif
Sudan 3
Sel : Eritrosit - LPB negatif
Leukosit - LPB negatif
Epitel - LPB negatif
Kans : Ascaris - negatif
Ankilostoma - negatif
Trikhirius - negatif
Oxyuris - negatif
Kista - negatif
Bakteri +/pos negatif
Jamur - negatif

b. Therapy
Infus KAEN 3B 480/20/5 tetes/mnt
Oralit 50 cc tiap mencret
PO : - Paracetamol 3 x ½ cth
- Ketokoazole 3 x 50 mg
- Vit. BC 3 x ½ tab
- Vit. B6 3 x ½ tab
Diit : 3 x ½ porsi bubur tempe
8 x 60 cc LLM
Program : pengawasan KU, TTV dan tanda-tanda dehidrasi.
B. ANALISA DATA
N Tanda dan Gejala Problem
o
1. S : Ibu mengatakan ± 4 x Pengeluaran
anak mencret dengan cairan yang
konsistensi cair dan berlebihan =
warna kuning. diare &
O : - Ubun-ubun cekung,
muntah
turgor kulit kurang,
mukosa mulut agak
kering, mata terlihat
cekung.
- Anak tampak kurang aktif, lemas
dan gampang rewel.
- Minum susu sedikit-sedikit dan
kadang muntah.
- Perut kembung, hiperperistaltik (±
20 x/mnt)
- Laboratorium
* Hb = 10,30 gr %
Ht = 30,4 %
Klorida = 114
mmol/L
* Feces rutin :
Sisa protein +/pos
Bakteri +/pos
- Therapy
Infus KAEN 3B 480/20/5 tts/mnt
Oralit 50 cc tiap mencret
Ketokonozole 3 x 50 mg
Vit. BC & B6 3 x ½ tab
No Tanda dan Gejala Problem
2. S : - Kelembaha
O : - An. A BAB cair,
n daerah
bakteri ++
geneital
- Daerah sekitar genital lembab akibat BAB
- Ada kemerahan sekitar anus cair.
3. S : Ibu mengatakan anaknya Intake tidak
minum susu hanya sedikit, adekuat
baik LLM maupun ASI
dan muntah bila minum
banyak.
O : - BB = 5300 grm PB =
65 cm
- WAZ = -2 ; HAZ = -0,3 ; WHZ = -2,5
- HR = 130 x/mnt, RR = 30 x/mnt
N = isi / tegangan ckp,
S = 37oC
- Konjungtiva anemis, mukosa mulut
agak kering
- Hb = 10,30 gr %
- Anak terlihat lemah, kurang aktif,
turgor kulit kurang.
- Diit : 8 x 60 cc LLM & 3 x ½ porsi
bubur tempe
Th/ = Vit. BC & Vit.
B6 3 x ½ tab

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Defisit volume cairan berhubungan dengan BAB cair dan sering
2. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake
tidak adekuat dan muntah.
3. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kelembahan
genital akibat BAB cair.
D. INTERVENSI
Tgl No Dx Tujuan dan
Kriteria
Hasil
9/1 1 Setelah - Mo
2012 dilakukan cair
tindakan - Lan
keperawata cair
n selama 2 x - Mo
24 jam me
kebutuhan sed
cairan - Pan
adekuat - Ber
dengan pro
kriteria hasil - Pan
: deh
- Balance cairan seimbang
- Ubun-ubun tidak cekung,
turgor kulit baik, mukosa
mulut tidak adekuat.
- BAB lembab dan tidak cair.
9/1 2 Setelah - An
2012 dilakukan me
tindakan dem
keperawata - An
n selama 2 x me
24 jam - Mo
pemenuhan - Mo
nutrisi frek
adekuat - Tim
dengan
kriteria hasil
:
- Tidak muntah
- Susu diminum habis
- BAB tidak encer
- BB meningkat
9/1 3 Setelah - Kaj
2012 dilakukan irita
tindakan - Gu
keperawata unt
n selama 2 x sete
24 tidak - Gan
terjadi ten
gangguan - Gu
integritas per
kulit dengan gen
kriteria hasil - Jag
: gen
- Kulit bersih, kering
- Tidak ada aritema, pruritas.

E. IMPLEMENTASI

No Implementas
Tgl Respon
Dx i
9/1 1 - Lanjutkan pemberian cairan - KAEN 3B
2012 sesuai program KAEN 3B 5 lancar 5 tts/mn
tes/mnt
- Memotivasi ibu untuk - Ibu mengatak
memberikan cairan sedikit- memberikan
sedikit tapi sering. sedikit-sedikit
sering
- Memantau tanda-tanda vital. - HR = 130 x/m
30 x/mnt, S =
= isi / tegagan
- Memberikan obat PO sesuai - Obat masuk
program Vit. BC, B6, tidak dimuntah
ketokonazole 50 mg ada reaksi aler
- Memantau tanda-tanda - Ubun-ubun d
dehidrasi. cekung, turg
kurang, bibir k
9/1 2 - Menganjurkan ibu-ibu untuk - Ibu mengatak
2012 memberi susu sedikit-sedikit melaksanakan
tapi sering. perawat.
- Menganjurkan ibu untuk
memberikan ASI
- Menimbang anak - BB = 5300 gra
- Memantau adanya muntah - Anak tidak mu
I
m
p
l R
N
e e
T o T
m s
g t
e p
l D d
n o
x
t n
a
s
i
9 3 - Memantau - Sekitar anus
/ kerusakan kulit tampak
1 atau iritasi setiap kemerahan,
BAB tidak ada
2 laseri.
0
1
2
- Menganjurkan - Ibu mengikuti
ibu untuk anjuran
menggunakan perawat.
kapas lembab
untuk
membersihkan
anus setelah BAB
- Mengganti alat - Alat tenun
tenun yang bersih dan
basah / lembab kering.
setelah BAB /
BAK
- Menjaga - Daerah
kebersihan daerah genital bersih.
genital.
1 1 - Melanjutkan - Cairan
0 pemberian cairan masuk, aliran
/ KEAN 3B 5 lancar.
1 tetes/mnt

2
0
1
2
- Memantau tanda- - HR = 128
tanda vital x/mnt, RR =
28 x/mnt, S =
372 oC
- Memberikan obat - Obat masuk,
PO sesuai tidak
program Vit. B6, dimuntahkan
BC, ketokonazole
50 mg.
- memantau tanda- - Ubun-ubun
tanda dehidrasi. datar, mata
tidak cekung,
turgor kulit
baik, bibir
tidak kering.
T N I R T
g o m e t
l p s d
D l p
x e o
m n
e
n
t
a
s
i
2 - Menimbang BB - BB = 5350
gram
- Memberui makan - Susu sisa 10
sesuai diit 60 cc cc, bubur
susu LLM dan ½ temp tersisa 1
porsi bubur sendok kecil.
tempe.
- Monitor intake - Intake nutrisi
nutrisi cukup
adekuat,
dengan anak
minum susu
dan makan
bubur tempe
hanya tersisa
sedikit.
- Memberi obat - Obat masuk
sesuai program:
vitamin B
compleks ½ tab.
3 - Memantau - Kemerahan
kerusakan kulit sekitar anus
daerah genital berkurang.
- mengganti alat - alat tenun
tenun yang basah bersih dan
kering.
- Menjaga - Daerah
kebersihan daerah genital bersih
genital. dan tidak
lembab.
- Membersihkan - Daerah
genital anak genital bersih
sehabis BAB dan dan kering.
mengeringkannya
.
- memantau adanya - Tidak
lecet atau iritasi terdapat lecet
pada daerah anus. atau iritasi.

F. EVALUASI
T
D
g Catata
x
l n T
.
/ Perke t
K
J mbang d
e
a an
p
m
1 1 S : -
3 O : HR =
/ 128
1 x/mnt, N
2 = isi /
0 tegangan
1 cukup
2 RR = 28
x/mnt, S
= 372 oC
Ubun-
ubun
datar dan
mata
tidak
cekung,
turgor
kulit
baik,
bibir
tidak
kering.
A : Masalah
teratasi
sebagian
P : -

Pertaha
nkan
- Kaji
ulang
pemeri
ksaan
laborat
orium
untuk
hematol
ogi dan
feces
rutin
dengan
kolabor
asi
analisis
kesehat
an
1 2 S : -
3 O : BB =
/ 5350 gr
1 Susu
2 habis
0 anak
1 tidak
2 muntah.
A : Masalah
teratasi
sebagian
P :

Pertaha
nkan
1 3 S : -
3 O: -
/ Kemerah
1 an sekitar
2 dubur
0 berkuran
1 g.
2 - Alat
tenun
bersih
dan
kering.
- Daerah
genital
bersih
dan tidak
lembab
- Tidak
terdapat
lecet dan
iritasi

A : Masalah
tidak
menjadi
aktual
P :

Pertaha
nkan
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Diare merupakan keadaan buang air besar dengan fekuensi lebih dari 4 x pada
bayi dan lebih dari 3 x pada anak, dengan konsistensi cair, dapat berwarna hijau atau
dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja. Masalah yang perlu
diwaspadai pada klien diare adalah kekurangan volume cairan karena banyaknya
cairan yang keluar melalui feces, apalagi pada klien bayi. Pemenuhan kebutuhan
cairan untuk mengganti cairan yang telah hilang perlu diperhatikan agar tidak terjadi
komplikasi lebih lanjut. Selain itu pemantauan tanda-tanda vital dan tanda-tanda
dehidrasi juga perlu dilakukan. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut dan dengan
perawatan yang intensif, diharapkan klien dengan diare dapat segera puluih kembali.
DAFTAR PUSTAKA

…….. 2018. Buku Register Ruangan Kenanga RSUD Prof. W. Z. Johanes Kupang.

Akton Sharon. 2014. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC

Buku Bagan manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). 2015. Jakarta

Bulechek M. Gloria. 2016. Nursing Interventions Clasification. Edisi 6. Indonesia

Carman Susan. 2016. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC

Hassan Rusepno & Alatas Husein. 2002. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta

Kusuma Hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis. Jilid 1. Jogjakarta

Moorhead Sue. 2016. Nursing Outcomes Clasification. Edisi kelima. Indonesia

Muttaqin arif dan Sari Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Salemba Medika

Nanda Diagnosis Keperawatan. 2017. Definisi & klasifikasi. Edisi 10. Indonesia.

Ngastiyah. 2014. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta

Riskesdas. 2018. Pengendalian penyakit dan penyehatkan lingkungan.

Wong, D. L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6. Jakarta : EG

Anda mungkin juga menyukai