Anda di halaman 1dari 24

KONSEP DASAR CEDERA KEPALA

A. Definisi
Cedera Kepala merupakan trauma yang terjadi pada otak yang disebabkan
kekuatan atau tenaga dari luar yang menimbulkan berkurang atau berubahnya
kesedaran, kemampuan kognitf, kemampuan fisik, perilaku, ataupun kemampuan
emosi (Ignatavicius, 2011).
Cedera kepala merupakan trauma mekanik terhadap kepala, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis, yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial bersifat temporer
atau permanen. Cedera kepala dapat didefinisikan sebagai keadaan non
kongenital dan non degeneratif yang terjadi pada otak dan disebabkan oleh energi
atau kekuatan mekanik dari luar. Risiko yang mengalami cedera kepala adalah
gangguan temporer atau permanen dalam fungsi kognitif, fisik, dan fungsi
psikososial disertai adanya penurunan atau kehilangan kesadaran (PERDOSSI,
2006).
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce & Neil, 2006). Cedera kepala sebagai penyakit neurologi yang serius
diantara penyakit neurologi yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (60%
kematian yang disebabkan kecelakaan lalu lintas merupakan akibat cedera
kepala). Faktor kontribusi terjadinya kecelakaan seringkali adalah konsumsi
alkohol (Ginsberg, 2005). Risiko utama pasien yang mengalami cedera kepala
adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pebengkakan otak sebagai respon
terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK (Smetlzer & Bare, 2006).

B. Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala secara patologis menurut Nurarif (2015) yaitu:
1. Cedera kepala primer
Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan gangguan
integritas fisik, kimia, dan listrik dario sel di area tersebut, yang
menyebabkan kematian sel.
2. Cedera kepala sekunder
Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut
yang terjadi setelah trauma sehungga meningkatkan TIK yang tak terkendali,
meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan
biokimia, iskemi serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.
Klasifikasi Menurut Smeltzer dan Bare (2002), Klasifikasi Cedera Kepala,
yaitu
1. Cedera Kulit Kepala
Kulit kepala mengandung banyak pembuluh darah sehingga akan berdarah
jika mengalami cedera. Luka pada kulit kepala juga merupakan tempat
masuknya infeksi intra kranial.
2. Fraktur Tengkorak
Fraktur tengkorak merupakan rusaknya kontinuitas tulang tengkorak yang
disebabkan oleh trauma. dapat terjadi dengan tanpa kerusakan otak. Adanya
fraktur tengkorak biasanya akan menimbulkan dampak tekanan yang kuat.
Fraktur tengkorak dibagi menjadi dua, yaitu terbuka dan tertutup. Bila
fraktur terbuka maka duramater akan rusak dan bila fraktur tertutup maka
durameter tidak akan rusak.
3. Cedera Otak
Cedera Otak dibagi menjadi:
a. Komosio serebral
Komosio serebral adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya kerusakan
struktur anatomi jaringan otak akibat dari cedera kepala (Padila, 2012).
Sedangkan secara klinis didapatkan penderita pernah ataupun tidak
sadar selama kurang dari 15 menit disertai sakit kepala, pusing,
mualmuntah adanya amnesi retrograde ataupun antegrade. Pada
pemeriksaan radiologis CT scan tidak didapatkan adanya kelainan
(Padila, 2012).
b. Kontusio serebral
Kontusio serebral merupakan cedera kepala berat dimana otak
mengalami memar dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi.
Gejala yang muncul pada kontusio akan lebih khas. Pasien terbaring
kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin
dan pucat. Pasien dapat diusahakan untuk bangun tetapi akan segera
masuk kembali ke dalam keadaan tidak sadar.
c. Hemoragi intra cranial
Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah intra
kranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Efek utama ini
adalah seringkali lambat sampai hematoma tersebut yang akan
menyebabkan distorsi dan herniasi otak serta peningkatan TIK.
d. Epidural hematoma (EDH)
Epidural hematoma adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural,
terletak diantara tengkorak dan durameter. Keadaan ini sering
diakibatkan oleh fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri
maningeal tengah putus atau rusak (laserasi).
e. Subdural hematoma (SDH)
Subdural hematoma yaitu pengumpulan darah diantara durameter dan
dasar otak dan merupakan akibat terjadi putusnya pembuluh darah kecil
(vena) yang menjembatani pada ruang subdural. Disamping itu, menurut
Patricia, (2013) menjelaskan bahwa jika pasien hematoma subdural akut
dapat memperlihatkan gejala dalam24-48 jam setelah cedera karena
adanya akumulasi dara dari vena lebih lambat. Gejala meliputi sakit
kepala yang memburuk, defisit neurologis fokal, abnormalitas pupil
unilateral dan penurunan tingkat kesadaran, sedangkan hematoma
subdural kronis dapat mengalami perdarahan minor awal yang tidak
menimbulkan gejala.
f. Perdarahan subdural kronik (SDH kronik)
Subdural hematoma kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural
lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali
dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang
subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk
bekuan darah atau clot yang bersifat temponade. Dalam beberapa hari
akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran
pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan
neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru
dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi
bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi
membran semi permeabel. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh
SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan
gejala yang menyerupai TIA (Transient Ischemic Attack) dan dapat
terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan
kejang.
g. Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intracerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan
konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom
bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang
tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat
trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah kortikal dan
subkortikal.
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, dapat diklasifikasi penilaiannya
berdasarkan skor Glasgow Coma Scale (GCS) dan dikelompokkan menjadi
(Permana, 2013), yaitu :
1. Minimal = simple head injury
Nilai GCS, yaitu 15 (normal), dengan kesadaran baik, tidak adanya tanda
amnesia, pemeriksaan radiologi sebagai dasar indikasi sehingga hanya
perawatan luka dan tidak perlu adanya mondok. Pesan dari anggota keluarga
adalah hanya melihat atau observasi kesadaran seseorang yang mengalami
cedera kepala.
2. Cedera Kepala Ringan (CKR)
Nilai GCS yaitu 14, pasien terkesan disorientasi atau tidak mematuhi
perintah. Sedangkan nilai GCS 15 menunjukkan adanya amnesia pasca
cedera selama kurang dari 24 jam dan dapat terjadi kehilangan kesadaran
selama < 10 menit, disertai adanya gejala klinik seperti mual, muntah, sakit
kepala atau vertigo. Vital sign dalam batas normal, tidak adanya defisit
neurologi pada pemeriksaan radiologis seperti foto schedel, head CT scan.
Hal ini pasien mondok untuk observasi akan adanya lucid interval, dimana
kesadarannya semakin menurun atau dapat ditemukan lateralisasi dengan
diikuti GCS selama setiap 30 menit, pupil, defisit neurologi.
3. Cedera Kepala Sedang(CKS)
Nilai GCS yaitu 9-13, terjadi kehilangan kesadaran selama > 10 menit tetapi
< 8, terjadi kehilangan kesadaran > 6 jam atau terjadi amnesia pasca cedera
selama >7 hari jam, dan ditemukan defisit neurologis disertai cedera multipel
selama adanya gangguan cerebral diikuti oleh gangguan sistemik yang
mempunyai survey primer dan riwayat SAMPLE. HCTS adalah 40℅ massa
intrakranial (hematom), midline shift > 5 mm atau hematom > 25 cc dan
tindakan operasi segera 60℅ massa intrakranial (hematom), midline shift < 5
mm atau hematom < 25 cc terapi konvensional.
4. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam.

Glasgow Coma Scale


No Response Nilai
1 Membuka mata:
- Spontan 4
- Terhadap rangsang suara 3
- Terhadap rangsang nyeri 2
- Tidak ada 1

2 Motorik:
- Mampu bergerak sesuai 6
perintah
- Mampu melokalisasi nyeri 5
- Reaksi menghindari nyeri 4
- Fleksi abnormal 3
- Ekstensi abnormal 2
- Tidak ada 1

3 Verbal:
- Orientasi baik 5
- Kebingungan (Tidak mampu 4
berkomunikasi)
- Hanya ada kata- kata, tidak 3
berbentuk kalimat
- Hanya asal bersuara/ 2
erangan
- Tidak ada 1

C. Etiologi
Menurut Swasanti (2014), penyebab cedera kepala sebagai berikut:
1. Kecelakaan kerja
2. Kecelakaan lalu lintas dengan kendaraan bermotor
3. Jatuh atau tertimpa benda berat (benda tumpul)
4. Serangan atau kejahatan (benda tajam)
5. Pukulan (kekerasan, akibat luka tembak)
6. Kecelakaan olahraga

D. Patofisiologi
Cedera Kepala terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti terjatuh,
dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai kepala dan otak
sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan pada funsi otak dan seluruh sistem
dalam tubuh. Bila trauma mengenai ekstra kranial akan dapat menyebabkan
adanya leserasi pada kulit kepala dan pembuluh darah sehingga terjadi
perdarahan. Apabila perdarahan yang terjadi terus– menerus dapat menyebabkan
terganggunya aliran darah sehingga terjadi hipoksia. Akibat hipoksia ini otak
mengalami edema serebri dan peningkatan volume darah di otak sehingga
tekanan intra kranial akan meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang
kepala akan menyebabkan fraktur yang dapat menyebabkan desakan pada otak
dan perdarahan pada otak, kondisi ini dapat menyebabkan cidera intra kranial
sehingga dapat meningkatkan tekanan intra kranial, dampak peningkatan tekanan
intra kranial antaralain terjadi kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi
kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan
terjadinya gangguan dalam mobilitas (Borley & Grace, 2006).

E. Manifestasi Klinis
Orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki beberapa tanda dan
gejala. Dengan mengetahui manifestasi klinis dari cedera kepala, dapat
dibedakan antara cedera kepala ringan dan berat (Wong, D.L. et al., 2009).
a. Cedera ringan
Dapat menimbulkan hilang kesadaran, periode konfusi (kebingungan)
transien, somnolen, gelisah, iritabilitas, pucat , muntah (satu kali atau
lebih).
b. Cedera berat
Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, perdarahan retina, paralisis
ekstraokular (terutama saraf kranial VI), hemiparesis, kuadriplegia,
peningkatan suhu tubuh, cara berjalan yang goyah, dan perdarahan retina.
Menurut Corwin (2009. Hal 246) manifestasi klinis pada pasien dengan
cedera kepala ialah sebagai berikut :
a. Pada geger otak, kesadaran sering kali menurun.
b. Pola napas dapat menjadi abnormal secara progresif.
c. Respons pupil mungkin tidak ada atau secara progresif mengalami
deteriorasi.
d. Sakit kepala dapat terjadi dengan segera atau terjadi bersama penignkatan
tekanan intrakranial.
e. Muntah dapat terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial.
f. Perubahan prilaku, kognitif, dan fisik pada gerakan motorik dan berbicara
dapat terjadi dengan segera atau lambat, amnesia yang berhubungan
dengan kejadian ini biasa terjadi.

F. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada cedera kepala menurut Wijaya (2013), yaitu :
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang ini terjadi
sekitar 10℅ penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya
luka tembus dan pada sekitar 40℅ penderita yang memiliki luka tembus di
kepala.
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena
terjadinya cedera pada area bahasa dan otak. Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang
mengendalikan fungsi bahasa adalah Lobus Temprolis sebelah kiri dan
bagian lobus frontalis di sebelahnya.
Komplikasi utama trauma kepala adalah perdarahan, infeksi, edema dan
herniasi melalui tontronium. Infeksi selalu menjadi ancaman yang berbahaya
untuk cedera terbuka dan edema dihubungkan dengan trauma jaringan (Wong,
D.L. et al., 2009). Pada cedera kepala terjadi perdarahan kecil-kecil pada
permukaan otak yang tersebar melalui substansi otak daerah tersebut dan bila
area 10 contusio besar akan menimbulkan efek massa yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial (Long, 1996).
Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan aliran darah ke otak
menurun dan terjadi henti aliran darah ke otak/ iskemik. Bila terjadi iskemik
komplet dan lebih dari 3 sampai 5 menit, otak akan menderita kerusakan yang
tidak dapat diperbaiki. Pada iskemik serebral, pusat vasomotor terstimulasi dan
tekanan sistemik meningkat untuk mempertahankan aliran darah yang disertai
dengan lambatnya denyutan nadi dan pernafasan yang tidak teratur. Dampak
terhadap medula oblongata yang merupakan pusat pengatur pernafasan terjadi
gangguan pola nafas (Brunner & Suddart, 2002).

G. Penatalaksanaan
Penderita yang mengalami cedera kepala memerlukan penilaian dan
pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa. Waktu ini berperan
penting karena, diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal
dikenal dengan disebutinitial assesment (PPGD, 2009).
Penilaian awal (initial assesment) penderita cedera kepala memiliki tujuan
untuk memantau dan mencegah terjadinya cedera kepala sekunder dan
memperbaiki keadaan umum yang optimal sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit (Arsani, 2011). Penanganan yang dilakukan
oleh perawat di IGD merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk
menyelamatkan jiwa seseorang dengan cepat, tepat, dan benar, sedangkan
penanganan awal yang diberikan ke penderita adalahuntuk mempertahankan
hidup, mencegah kondisi menjadi lebih buruk dan meningkatkan pemulihan.
Penanganan yang dilakukan terjadi pada cedera kepala yaitu menjaga jalan nafas,
mengontrol pendarahan dan mencegah terjadinya syok, imobilisasi, mencegah
terjadinya komplikasi serta cedera sekunder. Pada setiap keadaan yang tidak
normal ini dapat membahayakan dan harus segera diberikan tindakan resusitasi
(Wahjoepramono, 2005).
Menurut Krisanty (2009) menjelaskan bahwa seseorang yang akan
memberikan penanganan awal harus segera mengkaji sesuatu, dengan
menentukan diagnosis untuk setiap korban yang membutuhkan perhatian dari
yang lainnya, serta tidak menunda pengiriman korban ke Rumah Sakit dengan
keadaan kondisi yang serius. Penanganan cedera kepala harus segera dilakukan
penanganan yang cepat sehingga dapat mencegah terjadinya cedera sekunder
sesuai dengan fisiologi dan patofisiologi cerebral (Pramono, 2006). Penanganan
cedera kepala tergantung pada tingkat keparahan yaitu cedera kepala ringan,
sedang, dan berat. Adapun urutan kejadian yang diatas dapat diterapkan dengan
praktek dalam keseharian secara terus menerus.
Pada tahap rumah sakit, yaitu : Triase merupakan suatu tindakan untuk
mengelompokkan penderita berdasarkan beratnya cedera diutamakan dengan ada
tidaknya gangguan pada A (airway), B (breathing), dan C (circulation). Penderita
mengalami gangguanjalan napas (Airway) harus mendapatkan prioritas
penanganan pertama dengan mengingat adanya gangguan jalan napas yaitu
penyebab tercepat kematian pada penderita. Triase mencakup rujukan oleh
penderita yang mendapatkan tempat perawatan (Pusbankes 118, 2015).
Penanganan Menurut Perdossi, (2006), tergantung derajat beratnya cedera,
yaitu:
1. Minimal
Tirah baring, elevasi bed bagian kepala lebih tinggi sekitar 30 derajat.
Istirahat di rumah. Diberikan nasehat agar kembali ke rumah sakit jika ada
tanda-tanda perdarahan epidural, serta penderita mulai terlihat mengantuk
(kesadaran mulai turun-gejala lucid interval).
2. Cedera Otak Ringan (Komosio Serebri)
Tirah baring, elevasi bed bagian kepala lebih tinggi sekitar 30 derajat.
Observasi di rumah sakit 2 hari. Adanya Keluhan hilang, mobilisasi dengan
gejala, seperti anti vertigo, anti emetik, analgetika dan antibiotika.
3. Cedera Otak Sedang dan Berat (Kontusio Serebri)
a. Terapi Umum
Untuk kesadaran menurun, seperti lakukan resusitasi, bebaskan jalan
nafas (airway), jaga fungsi pernafasan (Breathing), Circulation (tidak
terjadi hipotensi, sistolik >90 mmHg, nadi, suhu (tidak terjadi pireksia).
Keseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi dengan kalori >50℅ normal.
Jaga kebersihan gas darah, kebersihan kandung kemih perlu pasang
kateter, kelancaran jalur intravena, ubah posisi untuk cegah dekubitus,
posisi kepala ditinggikan 30 derajat, pasang selang nasogastrik pada hari
ke 2, kecuali kontra indikasi yaitu fraktur basis kranii, infus cairan
isotonis dan berikan oksigen sesuai indikasi.
b. Terapi Khusus
1) Medikamentosa
Mengatasi tekanan tinggi intrakranial. Pengobatan yang diberikan
pada cedera kepala adalah obat-obatan golongan deksamethasone
(dosis awal 10 mg dan dilanjutkan 4 mg setiap 6 jam), berikan
manitol 20℅(dosis 1-3 mg/kgBB/hari) bertujuan untuk mengatasi
edema serebri, seperti analgetik, anti emetik, antipiretik. Antibiotika
diberikan jika ada perdarahan lambung (Pusbankes 118, (2015).
2) Rehabilitasi
Mobilisasi bertahap dilakukan setelah keadaan klinik stabil,
Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi diberikan secara dengan
kebutuhan.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien dengan cedera kepala
menurut Muttaqin (2008), yaitu:
1. CT-Scan atau MRI (tanpa kontras): mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
2. EEG (Elektroensefalografi): melihat keberadaan dan perkembangan
gelombang patologis.
3. Foto rontgen : mendeteksi perubahan strukur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
4. PET (Pasitron Emisson Tomography): mendeteksi perubahan aktifitas
metabolisme otak.
5. Angiografi serebral: menunjukkan kelainansirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
6. Kadar elektrolit: mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
tekanan intrakranial (TIK)

I. KONSEP ASKEP KRITIS


1. Primery survey
a. Airway  
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas
2) Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu
sisi untuk mencegah penekanan/bendungan pada vena jugularis
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga
atau mulut 
b. Breathing  
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi
oksigen 
c. Circulation  
1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill,
sianosis pada kuku, bibir)
2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek
terhadap cahaya
3) Monitoring tanda – tanda vital
4) Pemberian cairan dan elektrolit
5) Monitoring intake dan output
d. Disability
1) Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
2) GCS : EVM
3) Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
4) Ada tidaknya refleks cahaya
5) Refleks fisiologis dan patologis
6) Kekuatan otot
e. Exposure
1) Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi,
edema
2) Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman

2. Secondary survey
Data subjektif :
a. Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama,
umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
status perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan
keluarga/pengirim).
b. Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat,
apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang
lain?
c. Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari,
tanggal, jam), lokasi/tempat mengalami cedera.
d. Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien
menjadi cedera.
e. Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan (jenisnya), obat, dan lainnya
f. Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan
pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani
proses pengobatan terhadap penyakit tertentu?
g. Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah
pasien menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera,
apakah penyakitn tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
h. Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir
sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk
mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih
lanjut/operasi.
i. Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah
pasien mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa
terjadi

Pengkajian pola fungsi menurut Gordon :


a. Aktifitas/Istirahat
Gejala: merasa lemah, lelah dan kaku
Tanda: Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia,
ataksia, cara berjalan tak tegap, masalah dalam kesimbangan, cedera
(trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot palstik.
b. Sirkulasi
Gejala: perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia) yang diselingi dengan
disritmia.
c. Integritas ego
Gejala: perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda: cemas, mudah tersinggung dan depresi
d.  Eliminasi
Gejala: inkontinensia kandung kemih/ usus atau mengalami gangguan
fungsi
e. Makanan atau cairan
Gejala: mual, muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda: muntah, gangguan menelan ( batuk, air liur kluar)
f. Neurosensori
Gejala: kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian
Tanda: perubahan kasadaran bisa sampai koma, perubahan status mental
g. Nyeri atau kenyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama
Tanda; wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
h. Pernafasan
Tanda; perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperpentilasi),
ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi)
i. Keamanan
Gejala: trauma baru atau trauma karena kecelakaan
Tanda: fraktur/dislokasi, ganguan penglihatan
j. Interaksi social
Tanda: afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-
ulang.
k. Penyuluhan dan pembelajaran
Gejala: penggunaan alkohol/obat lain.
J. Pathways
K. Diagnosa keperawatan (Herdman, 2012)
1. Nyeri akut berhubungan dengan cidera biologis kontraktur (terputusnya
jaringan tulang).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan
napas.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi/kognitif,
terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan, mis tirah baring, immobilisasi.
4. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak
adekuat (trauma jaringan).
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

L. Intervensi (Nurarif, 2015)

DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI


Nyeri akut berhubungan NOC NIC
dengan dengan cidera  Pain level Pain Management
biologis kontraktur  Pan control 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
(terputusnya jaringan  Comfort level komperhensif termasuk lokasi,
tulang). Kriteria Hasil: karakteristik, durasi, frekuensi,
 Mampu mengontrol nyeri (tahu kualitas dan factor presipitasi.
. penyebab nyeri, mampu menggunakan 2. Observasi reaksi nonverbal dari
teknik nonfarmakologi untuk ketidaknyamanan .
mengurangi nyeri, mencari bantuan) 3. Gunakan teknik komunikasi
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang terapeutik untuk mengetahui
dengan menggunakan manajemen nyeri. pengalaman nyeri pasien.
 Mampu mengenali nyeri (skala, 4. Kajij kultur yang mempengaruhi
intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri) respon nyeri.
 Menyatakan rasa nyaman setelahnyeri 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa
berkurang. lampau.
6. Evaluasi bersama pasien dan tim
kesehatan lain tentang
ketidakefektifan control nyeri
masa lampau.
7. Batu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan
dukungan.
8. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan
kebisingan.berulang.
9. Kurangi factor presipitasi nyeri.
10. Pilih dan lakukan penganganan
nyeri (farmakologi, non
farmakologi dan interpersonal)
11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi.
12. Ajarkan tentang teknik
farmakologi.
13. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
14. Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri.
15. Tingkatkan istirahat.
16. Kolaborasi dengan dokter jika
ada keluhan dan jika tindakan
tidak berhasil.
17. Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri.
Ketidakefektifan bersihan NOC NIC
jalan napas berhubungan 1. Respiratory status: ventilation Airway Suction
dengan obstruksi jalan 2. Respiratory status: airway patency 1. Pastikan kebutuhan oral atau
napas. tracheal sactioning.
Kriteria Hasil: 2. Auskultasi suara napas sebelum
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan dan sesudah suctioning.
suara napas yagn bersih, tidak ada 3. Informasikan pada klien dan
sianosis dan dispneu (mampu keluarga tentang suctioning.
mengeluarkan sputum, mampu 4. Minta klien nafas dalam
bernapas dengan mudah, tidak ada sebelum suction dilakukan.
pursed lips). 5. Berikan O2 dengan
2. Menunjukkan jalan napas yang paten menggunakan nasall untuk
(klien tidak merasa tercekik, irama memventilasi suctioning naso
napas, frekuensi pernapasan dalam trakeal
rentang normal, tidak ada suara napas 6. Gunakan alat yang steril setiap
abnormal).. melakukan tindakan.
3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah 7. Anjurkan pasien istirahat dan
faktor yang dapat menghambat jalan napas dalam setelah kateter
napas dikeluarkan dari naso trakeal
8. Monitor status oksigen pasein.
9. Hentikan suction dan berikan
O2 apabila pasien menunjujakn
bradikardi, peningkatan saturasi
O2.
Airway management
1. Buka jalan napas, gunakan
teknik chin lift atau jaw trhurst
bila perlu.
2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan napas
buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Laukakan fisioterapi dada jika
perlu.
6. Auskultasi suara napas, catat
adanya suara tambahan.
7. Lakukan suctioning pada mayo.
8. Berikan bronkodilator bila
perlu.
9. Berikan pelembab udara kasa
bsah NaCl lembab.
10. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
11. Montor respirasi dan status O2
Hambatan mobilitas fisik NOC : NIC :
berhubungan dengan a. Joint Movement : Active Exercise therapy : ambulation
kerusakan b. Mobility Level 1. Monitoring vital sign
persepsi/kognitif, terapi c. Self care : ADLs sebelm/sesudah latihan dan lihat
pembatasan/kewaspadaan d. Transfer performance respon pasien saat latihan
keamanan, mis tirah Kriteria hasil: 2. Konsultasikan dengan terapi
baring, immobilisasi. a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik fisik tentang rencana ambulasi
b. Mengerti tujuan dari peningkatan sesuai dengan kebutuhan
mobilitas 3. Bantu klien untuk
c. Memverbalisasikan perasaan dalam menggunakan tongkat saat
meningkatkan kekuatan dan berjalan dan cegah terhadap
kemampuan berpindah cedera
d. Memperagakan penggunaan alat Bantu 4. Ajarkan pasien atau tenaga
untuk mobilisasi (walker) kesehatan lain tentang teknik
ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien dalam
mobilisasi
6. Latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
7. Dampingi dan Bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs ps.
8. Berikan alat Bantu jika klien
memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan

Resiko cidera berhubungan NOC NIC


dengan penurunan tingkat Risk Kontrol Environment Management
kesadaran. (Manajemen lingkungan)
Kriteria Hasil : 1. Sediakan Iingkungan yang
a. Klien terbebas dari cedera aman untuk pasien
b. Klien mampu menjelaskan 2. Identifikasi kebutuhan
cara/metode untuk mencegah keamanan pasien, sesuai dengan
injury/cedera kondisi fisik dan fungsi kognitif
c. Klien mampu menjelaskan faktor pasien dan riwayat penyakit
resiko dari lingkungan/perilaku terdahulu pasien
personal 3. Menghindarkan lingkungan
d. Mampu memodifikasi gaya hidup yang berbahaya (misalnya
untuk mencegah injury memindahkan perabotan)
e. Menggunakan fasilitas kesehatan 4. Memasang side rail tempat
yang ada tidur
f. Mampu mengenali perubahan 5. Menyediakan tempat tidur
status kesehatan yang nyaman dan bersih
6. Menempatkan saklar lampu
ditempat yang mudah dijangkau
pasien.
7. Membatasi pengunjung
8. Menganjurkan keluarga
untuk menemani pasien.
9. Mengontrol lingkungan dari
kebisingan
10. Memindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan
11. Berikan penjelasan pada
pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya perubahan
status kesehatan dan penyebab
penyakit.

Resiko infeksi NOC NIC


berhubungan dengan 1. Immun status Infection Control (Kontrol Infeksi)
pertahanan tubuh primer 2. Knowledge : infection control 1. Bersihkan lingkungan setelah
yang tidak adekuat (trauma 3. Risk control dipakai pasien lain
jaringan). Kriteria Hasil 2. Instruksikan pengunjung untuk
  1. Klien bebas dari tanda dan gejala cuci tangan sebelumdan sesudah
infeksi mengunjungi pasien
2. Menunjukkan kemampuan untuk 3. Gunakan sabun antimikrobia
mencegah infeksi untuk cuci tangan
3. Jumlah lekosit normal 4. Cuci tangan setiap sebelum dan
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat sesudah tindakan keperawatan
5. Pertahankan lingkungan aseptik
setiap pemasangan alat
6. Ganti letak IV perifer dan line
sentral dan dressing sesuai
dengan petunjuk umum
7. Gunakan kateter intermiten
untuk menurunkan infeksi
kandung kemih
8. Tingkatkan intake
Infection Protection (Proteksi
Terhadap Infeksi)
1. Monitor tanda dan gejala infeksi
lokal atau sistemik
2. Monitor hitung granulocit, WBC
3. Berikan perawatan kulit pada
daerah epidema
4. Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap merah, panas
dan drainase
5. Inspeksi kondisi luka / insisi
bedah
6. Dorong masukan nutrisi, cairan
dan istirahat tidur
7. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotika sesuai resep
8. Ajarkan pada keluarga tanda dan
gejala serta pencegahan infeksi
9. Laporkan kecurigan infeksi dan
kultur positif
Ansietas berhubungan NOC : NIC :
dengan perubahan status 1. Kontrol kecemasan 1. Anxiety Reduction
kesehatan. 2. Koping (penurunan kecemasan)
2. Gunakan pendekatan yang
Kriteria Hasil: menenangkan
1. Klien mampu mengidentifikasi dan 3. Nyatakan dengan jelas
mengungkapkan gejala cemas harapan terhadap pelaku pasien
2. Mengidentifikasi, mengungkapkan 4. Jelaskan semua prosedur
dan menunjukkan tehnik untuk dan apa yang dirasakan selama
mengontol cemas prosedur
3. Vital sign dalam batas normal 5. Temani pasien untuk
4. Postur tubuh, ekspresi wajah, memberikan keamanan dan
bahasa tubuh dan tingkat aktivitas mengurangi takut
menunjukkan berkurangnya kecemasan 6. Berikan informasi faktual
mengenai diagnosis, tindakan
prognosis
7. Libatkan keluarga untuk
mendampingi klien
8. Instruksikan pada pasien
untuk menggunakan tehnik
relaksasi
9. Dengarkan dengan penuh
perhatian
10. Identifikasi tingkat
kecemasan
11. Bantu pasien mengenal
situasi yang menimbulkan
kecemasan
12. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
DAFTAR PUSTAKA

Arsani, S. H. (2011). “Hubungan tingkat pengetahuan dengan kemampuan


penatalaksanaan keperawatan cedera kepala oleh perawat di IGD RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta”. Diakses tanggal 3 Januari 2016 dari
http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t20578.pdf.
Ginsberg, L., 2010. Lecture Notes : Neurology 9th edition. West Sussex: Blackwell
Publishing Ltd.
Grace, Pierce A. dan Neil R. Borley. At a Glance Ilmu Bedah . Alih Bahasa dr. Vidia
Umami. Editor Amalia S. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, 2006.
Herdman, T Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Ignatavicius, Donna D and Workman M. Linda. (2011). Medical Surgical Nursing:
Patient Centered Collaborative Care. 6 th Edition. Canada: WB Saunders
Company.
Krisanty, P. (2009). Asuhan keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.
Long, Barbara, Carolyn., 1996. Perawatan medikal bedah 2: Suatu pendekatan proses
keperawatan. Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran.
Bandung.
Nurarif, Amin H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction
Padila. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Nuha Medika : Yogyakarta
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). (2006). Standar
Pelayanan Medis (SPM)&Standar Prosedur Operasional (SPO). Jakarta :
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Permana, A. (2013). The Disease : Diagnosis dan Terapi. Pustaka. Cendekia Press:
Yogyakarta
Pierce A. Grace & Neil R. Borley. At A Glance Ilmu Bedah. ed 3, 2006. p 91
Pusbankes 118. (2015). Penanggulangan Penderita Gawat Darurat: Basic Trauma and
Cardiac Life Support (BTCLS). Edisi XI. Yogyakarta: Baker-PGDM PERSI.
Smeltzer. S.C, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan medikal bedah. Vol 2. Brunner
& Suddarth (8thed.) Jakarta: EGC
Wahjoepramono, E.J., (2005). Cedera kepala. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita
Harapan. Jakarta
Wong, D. L., Hockenberry, M., Wilson, D., Winkelstein, L. M., & Schwartz, P.,
2009. Buku ajar keperawatan pediatrik Wong (6th ed.). (E. K. Yudha, D.
Yulianti, N. B. Subekti, E. Wahyuningsih, M. Ester, Penyunt., & N. J. Agus
Sutarna, Penerjemah). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai