Anda di halaman 1dari 17

STUDI FIQH DENGAN PENDEKATAN ANTROPOLOGIS

Oleh:
Moh. Falatehan
02210721022

Dosen Pengampu:

1. Dr. H. Lukman S. Thahir, MA


2. Dr. Muhtadin, M.Hum

PROGRAM PASCASARJANA (S2)


PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) DATOKARAMA

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Wacana kajian paradigma fikih tidak Iepas dari pembahasan wiIayah


doktrin tekstuaI dan wilayah historis empiris yang tidak bisa dipisahkan, tetapi dua
entitas tersebut dapat dibedakan. Ada wilayah ubudiyah/nas sebagaimana salat,
dan ada pula wilayah historis sebagaimana misalnya wilayah muamalah atau
praktik kehidupan umat seperti jual beli, pernikahan, dan gadai.

Dewasa ini telah muncul suatu kajian agama yang menggunakan


antropologi sebagai basis pendekatannya. Berbagai pendekatan dalam
memahami agama yang selama ini digunakan dipandang harus dilengkapi
dengan pendekatan antropologi tersebut. Berbagai pendekatan dalam memahami
agama yang ada selama ini antara lain pendekatan teologis, normatif, filosofis,
dan historis.

Di Indonesia pada awal tahun 70-an, di mana penelitian agama masih


dianggap sesuatu yang tabu. Kebanyakan orang berkata: mengapa agama yang
sudah begitu mapan mau diteliti lagi, agama adalah wahyu Allah yang tidak bisa
diutak-atik.

Seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya sebagian besar orang


dapat memahami bahwa agama bisa diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi
agama itu sendiri. Kini, penelitian terhadap agama bukanlah hal yang asing lagi,
malah orang “berlomba-lomba” melakukannya dengan berbagai pendekatan.
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran empirik
akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama
tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat antara hubungan
agama dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat.

B. Permasalahan
Berpedoman dari latar belakang di atas, maka pembahasan makalah ini
difokuskan pada permasalahan :
1. Bagaimana pengertian fikih dan antropologi?
2. Bagaimana pemahaman fikih tekstual dan pemahaman fikih kontekstual?
3. Bagaimana pendekatan antropologi dalam fikih?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN FIKIH DAN ANTROPOLOGI
a. Pengertian Ilmu Fikih
Dilihat dari sudut bahasa, fikih berasal dari kata faqaha ‫ فقه‬, yang berarti
“memahami” dan “mengerti”. Dalam peristilahan syar`i, ilmu fikih dimaksudkan
sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar`i amali (praktis) yang
penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-
dalilnya yang terperinci (al-tafsili) dalam Alquran dan hadis1 . Sedangkan “fikih”
menurut istilah adalah:
‫مجموعة األحكام الشرعية العملية المكتسبة من أدلَتها التفصيل َية‬
Himpunan hukum syara` tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari
dalil-dalilnya yang terperinci2
Sebagaimana dikemukakan oleh al-Jurjani 3 adalah sebagai berikut:
‫العلم باالحكام الشرعية العملية المكتسبة من ادلتها التفصيلية‬
“Ilmu tentang hukum syara` tentang perbuatan manusia (amaliah) yang
diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci”.
Hukum syar`i yang dimaksud dalam defenisi di atas adalah segala
perbuatan yang diberi hukumnya itu sendiri dan diambil dari syariat yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Adapun kata `amali dalam defenisi itu
dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa yang menjadi lapangan pengkajian ilmu
ini hanya yang berkaitan dengan perbuatan (`amaliyah) mukallaf dan tidak
termasuk keyakinan atau iktikad (`aqidah) dari mukallaf itu. Sedangkan yang
dimaksud dengan dalil-dalil terperinci (al-tafshili) adalah dalil-dalil yang
terdapat dan terpapar dalam nash di mana satu persatunya menunjuk pada satu
hukum tertentu4 .
Sebagai perbandingan, al-Kasani mendefinisikan fikih sebagai ilmu halal
dan haram, ilmu syariat dan hukum. Pengertian seperti ini menggambarkan
secara sederhana bidang kajian fikih yang umumnya bicara tentang halal atau

1 Hasbi al-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: CV. Mulia, 1967), hlm. 17.
2 Rachmat Syafe`I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 19.
3 Kamal Mukhtar, dkk., Ushul Fiqh I, (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 2.
4 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2009), hlm. 2.

3
haramnya suatu perbuatan tertentu. Sementara itu Abu Hanifah sebagaimana
dikutip, menyebut fikih sebagai pengetahuan diri tentang apa yang menjadi hak
dan kewajibannya. Kemudian dijelaskan bahwa ada satu penekanan yang
melekat pada fiqh, yaitu pencapaiannya yang berdasarkan zann (dugaan kuat)
sehingga ulama (terutama usuliyyin) menyebut fikih sebagai bab dugaan (al-
fikih min bab az-zunun)5 .
Dari sini bisa diketahui bahwa Fikih terbentuk dari kumpulan hukum-
hukum shara’ yang berhubungan dengan ucapan dan perbuatan manusia yang
diambil dari nas-nas atau yang diambil dari dalil-dalil syara’ yang lain.
b. Pengertian Antropologi
Antropologi berasal dari dua akar kata Yunani: anthropos, artinya
“orang” atau “manusia”; dan logos, artinya “ilmu/nalar”. Menurut kamus
athropology dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang berusaha mencapai
pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk
fisik, kepribadian, masyarakat, serta kebudayaannya 6 . Dari analisis usul asal kata,
disimpulkan bahwa antropologi merupakan ilmu pengetahuan tentang manusia.
Dalam refleksi yang lebih bebas, antropologi adalah ilmu pengetahuan yang
mencoba menelaah sifat-sifat manusia secara umum dan menempatkan manusia
yang unik dalam sebuah lingkungan hidup yang lebih bermartabat7
Pengertian Antropologi Menurut Ahli Berikut adalah beberapa
pengertian dari Antropologi:
a) Keesing (1981) 8 , Antropologi adalah kajian tentang manusia.
b) Haviland (1985)9 , Antropologi adalah suatu studi tentang manusia dan
perilakunya dan melaluinya diperoleh pengertian lengkap tentang
keanekaragaman manusia
c) Prof Harsojo 10 , Antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang umat manusia sebagai mahkluk masyarakat, terutama pada sifat-

5 Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 1, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1986) hlm.19.
6 Ariyono Suyono, 1985, Kamus Antropologi, Jakarta : Akademi Persindo, hlm. 28.
7 Gunsu Nurmansyah dkk, Pengantar Antropologi Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi Cet. 2019, h. 1
8 Roger M. Keesing, Cultura Anthropology, A Contemporary Perspective/ Second Edition, diterjemahkan

oleh Drs. Samuel Gunawan, tahun 1999 dengan judul Antropologi Budaya, Suatu Perspektif
Kontemporer, Jakarta : Penerbit Erlangga, hlm. 2
9 Ibid. Pengantar Antropologi, h. 2
10 Harsono, 1976, Pengantar Antropologi, Bandung: Angkasa Offset, hlm. 13

4
sifat khusus badani dan cara-cara produksi, tradisi-tradisi dan nilai-nilai
yang membuat pergaulan hidup menjadi berbeda dari yang satu dengan
lainnya.
Koentjaraningrat (2009)11 , Ilmu antropologi memperhatikan 5 (lima)
buah masalah mengenai makhluk hidup yaitu :
1. Masalah pada perkembangan manusia sebagai makhluk biologis
2. Masalah pada sejarah terjadinya aneka bentuk makhluk manusia, dipandang
dari sudut ciri-ciri tubuhnya.
3. Masalah pada sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam
bahasa di seluruh dunia.
4. Masalah persebaran dan terjadinya keanekaragaman kebudayaan manusia di
seluruh dunia.
5. Masalah pada dasar-dasar dan keanekaragaman kebudayaan manusia dalam
kehidupan masyarakatmasyarakat dan suku bangsa yang tersebar di seluruh
penjuru bumi pada zaman sekarang ini.
Dalam kajiannya, antropologi kemudian terbagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu (1) antropologi fisik (paleontologi) yang mengkaji asal-usul manusia,
evolusi dan sejarahnya; dan (2) antropologi budaya yang terbagi menjadi
arkeologi, etnologi, dan etnograf12 . Arkeologi memokuskan kajiannya pada
kebudayaan masa lalu melalui penelitian yang sistematis atas data-data
peninggalan bendawi. Etnologi fokus pada asas kebudayaan manusia dalam
kehidupan masyarakat suatu bangsa yang ada di seluruh dunia, baik cara berfikir
maupun berperilakunya. Sedangkan etnografi mengkaji tentang adat istiadat dan
kebiasaan masyarakat.
B. PEMAHAMAN FIKIH TEKSTUAL DAN PEMAHAMAN FIKIH
KONTEKSTUAL
1. Pengertian Pemahaman Fikih Tekstual
Secara etimologi, tekstual berasal dari bahasa Inggris, yakni text yang
berarti isi atau bunyi, dalam bahasa Arab tekstual bisa diartikan harfiyyah
(berdasarkan huruf dalam teks), atau dikenal juga dengan sebutan zahiriyah (yang
nampak pada dari pengarang, kedua, kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran

11 Koentjaraningrat, 2009, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru; hlm. 10.
12 Ibid, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 24

5
atau alasan, ketiga, bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran teks),
sedangkan dalam bahasa Indonesia teks mempunyai beberapa makna: pertama,
naskah yang berupa kata-kata asli13 .
Setelah melihat makna kata tekstual secara etimologi, maka bisa
dirumuskan bahwa pemahaman tekstual berarti memahami dalil-dalil agama baik
dari Quran maupun Hadis berdasarkan makna lahiriah, asli, atau sesuai dengan
arti secara bahasa.
Dengan kata lain, pendekatan tekstual adalah sebuah pendekatan studi
Quran atau Hadis yang menjadikan lafal-lafalnya sebagai obyek. Pendekatan ini
menekankan analisisnya pada sisi kebahasaan dalam memahami Quran.
Pendekatan ini banyak dipergunakan oleh ulama-ulama salaf dalam menafsiri
Quran dengan cara menukil Hadis atau pendapat ulama yang berkaitan dengan
makna lafal yang sedang dikaji.
Menurut pemahaman ini, segala sesuatu yang tersurat pada redaksi
(matan) ayat ataupun Hadis dipahami sesuai dengan makna lughawiy-nya secara
harfiyyah, sehingga langsung dapat dipahami oleh pembaca. Cakupan makna dan
kandungan pesan yang ingin disampaikan oleh nas (Quran dan Hadis) dapat
ditangkap oleh pembaca hanya dengan membaca teks (kata-kata) yang terdapat di
dalamnya. Karena makna-makna tersebut telah dikenal dan dipahami secara
umum dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa
pemahaman dalil dengan cara seperti ini dapat dikategorikan sebagai salah satu
pendekatan yang paling sederhana dan mendasar. Karena hanya dengan membaca
lafal ayat Quran atau Hadis dan memahami makna lughawiy-nya, pembaca dapat
menarik pemahaman dan gagasan atau ide yang dimiliki oleh nas (teks) tersebut.
Pada dasarnya pemahaman tekstual maupun kontekstual sudah ada
semenjak zaman sahabat Nabi, bahkan sudah ada ketika Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam masih hidup, hal tersebut bisa dilihat dan diamati dari riwayat
Hadis berikut, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

‫العصر إال في بني قريظة‬


َ ٌ‫ال يصلين أحد‬

13
Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001M ), h.916

6
“Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian mengerjakan shalat Ashar kecuali
di Bani Quraizhah”14
Sebagian sahabat Nabi ada yang memahami Hadis tersebut dengan
pendekatan tekstual sehingga sebagian mereka tidak melaksanakan shalat ashar
kecuali di bani Quraizah meskipun di tengah perjalanan sudah masuk waktu ashar.
Bahkan sebagian riwayat mengatakan, ada di antara mereka yang melaksanakan
shalat ashar setelah Isya di perkampungan Bani Quraizah.`
Namun sebagian lain memahami Hadis tersebut dengan pendekatan
kontekstual, Hadis tersebut tidak dipahami secara harfiyyah, tapi secara
kontekstual bisa dipahami agar mereka bersegera menuju perkampungan Bani
Quraizah sehingga bias melaksanakan shalat ashar di tempat itu.
Dari ulasan di atas bisa disimpulkan bahwa tokoh pemahaman tekstual itu
sudah ada sejak zaman awal Islam (para salaf) dari kalangan sahabat, tabi’in dan
tabiu’ al-tabi’in, adapun dalam bidang ilmu fikih maka bukanlah sesuatu yang
asing lagi dalam dunia studi Islam bahwa al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah
merupakan salah satu tokoh yang sangat popular berpegang teguh dengan
madzhab zhahiriyah (tekstualis), Ibnu Hazm sangat berlebihan memegang
madzhab zahiriyah sampai beliau meniadakan qiyas (analogi), beliau juga
membantah dan mengingkari dengan keras siapa saja yang beristinbat hukum
dengan qiyas, hal ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan
bahwa qiyas merupakan salah satu sumber hukum Islam ketika terpenuhi syarat-
syarat dan dawabitnya
2. Pengertian Pemahaman Fikih Kontekstual
Kontekstual, secara etimologis, berasal dari kata benda bahasa Inggris
“context”, yang berarti “suasana” atau “keadaan” atau kondisi . Dalam penjelasan
lain disebutkan ia berarti; situasi di mana suatu peristiwa terjadi”15
Dari uraian di atas bisa dirumuskan bahwa Fikih pemahaman kontekstual
adalah memahami hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil agama baik dari al-Qur’an
maupun al-Hadis dengan pendekatan non kebahasaan, akan tetapi melalui
pemahaman yang berdasarkan konteks, situasi dan kondisi ketika teks (wahyu) itu

14 Muhammad bin Ismail al-Bukhary, Shahih al-Bukhary cet. I (Dar al-Najah,1422H), Vol. 2, hal. 15
15
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), Edisi II, hlm. 458

7
muncul, hal tersebut bisa dengan pendekatan historis, sosiologis, antropologis
bahkan pendekatan psikologis16 .
Pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara
mengaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam Hadis dengan perkara-
perkara sosial dan situasi historis kultural yang mengitarinya. Adapun pendekatan
sosiologis adalah memahami Hadis Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam
dengan mengkaji kondisi dan situasi masyarakat saat munculnya Hadis tersebut.
Sedangkan pendekatan antropologis yaitu dengan memperhatikan terbentuknya
Hadis pada tataran nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia.
Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan psikologis, dimana dengan pendekatan
ini memahami Hadis Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam. dengan
memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan psikis Nabi shallallahu
a’laihi wasallam dan masyarakat, khususnya sahabat yang dihadapi Nabi
shallallahu a’laihi wasallam yang turut melatarbelakangi munculnya Hadis17 .
Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa Fikih
pemahaman konstektual ini sudah pernah terjadi di zaman para sahabat Nabi,
yaitu tatkala Nabi bertitah agar para sahabat tidak sholat ashar kecuali jika tiba di
bani Quraizah, sebagian sahabat memahaminya secara harfiyah, akan tetapi
sahabat yang lain tidak memahaminya secara harfiyah namun dengan cara
membaca konteks dari Hadis tersebut, perintah Nabi tersebut memiliki konteks
bahwa Nabi ingin agar para sahabat segera bergegas dengan cepat sehingga
mereka sampai di bani Quraizah sebelum shalat Ashar, dan bias shalat Ashar di
tempat tersebut.
Di antara ulama salaf yang dianggap termasuk sering memakai pendekatan
kontekstual adalah al-Imam Abu Hanifah, beliau termasuk tokoh madrasah al-
Ra’yi di Kufah. Dalam banyak masail fikhiyyah Imam Abu Hanifah dianggap
sering berbeda dengan fuqaha lainnya seperti Malik, Syafi’i dan Ahmad bin
Hanbal yang dikenal lebih tekstualis, Sebagai contoh sikap beliau dalam masalah
zakat fitrah, para imam-imam madzhab berpendapat bahwa zakat fitrah harus

16
Said Agil Husain Munawar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Histori-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001M), hal. 24
17
Maizudin, Kajian Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu ke Islaman, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang, 2001), h.
115

8
dikeluarkan berupa makanan pokok sebagaimana yang terdapat dalam zhahir
Hadis, akan tetapi Abu Hanifah berpendapat boleh zakat fitrah dengan uang
karena yang menjadi substansi adalah meringankan beban hidup fakir miskin
bukan masalah uang atau makanan pokoknya.
C. PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM FIKIH
Dalam menjelaskan wacana antropologis daIam fikih, dapat dijeIaskan
bagaimana cara kerja pendekatan antropologis dalam kajian fikih, yakni: Pertama,
pendekatan ini memiIiki ciri khas deskriptif, bukan doktrin normatif, apalagi
literalistik. Pendekatan ini bermula dari membaca fenomena riil kehidupan manusia
sebagaimana adanya tanpa ada rekayasa dan dijelaskan secara alamiah. Cara kerja
ini dikenal dengan thick description yang menjadi bagian dari pengungkapan
pengamalan empiris hukum fikih oIeh umat yang diperhatikan secara serius,
mendalam dan berkelanjutan. Menurut CIifford Geertz, thick description adalah
istilah yang dipakai untuk menjelaskan fenomena yang sedang berlangsung dan
terjadi di masyarakat yang perlu dipahami dan diketahui untuk ditafsirkan
mengenai apa yang sedang dipikirkan dan dikerjakan masyarakat, dan kajian bermula
dari dalam, tidak dari luar (outsider)18 .
Kajian antropologis menjadi salah satu alternatif dalam mendalami dan
memahami ajaran hukum fikih. Sebab, seIama ini fikih Iebih banyak dipahami dan
didalami melalui jalur pendekatan doktrin Iiteralistik. Paradigma antropoIogis ini
merupakan perubahan rute dari naIar yang mer langit menuju nalar yang membumi,
dari wacana fikih eksIusif menuju wacana fikih inkIusif. Rute yang dapat
mengantarkan seseorang kepada tujuan yang hendak dicapai. Pencapain tujuan yang
mengantarkan pada kemudahan dan kemaslahatan itu sangat dikehendaki oIeh uIama
usuI fikih sesuai dengan firman Allah swt.
‫وما جعل عليكم في الدين من حرج‬
Artinya: Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan
(Q.S. aI-Hajj [22]: 78).

Tujuan IegisIasi hukum fikih dimaksudkan untuk memberikan keluasan dan


kemudahan bagi kaum Muslim, sehingga kaum Muslim dapat dengan mudah

18David N. GeIIer, “Pendekatan AntropoIogis”, daIam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi
Agama, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 46

9
mencapai tujuan kemaslahan hidupnya yang hakiki. Dengan menjalankan ajaran
fikih inkIusif dan berlandaskan pada tradisi masyarakat, maka kaum Muslim akan
memperoleh kemaslahatan hidup yang hakiki, sehingga ada dialektika antara nas fikih
dan budaya masyarakat. Dengan adanya dialektika antara budaya dan nas fikih, maka
akan Iahir wawasan fikih yang mampu memberikan kemudahan dan jalan yang luas
untuk ditempu oleh kaum Muslim. Inilah pesan utama ayat tersebut yang menekankan
bagi kaum Muslim untuk menciptakan kemudahan dan keluasan daIam menjalankan
norma-norma fikih.
‫يريد هللا بكم اليسر وال يريد بكم العسر‬
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu (Q.S. aIrBaqarah [z]: 185).

Ayat tersebut memberikan wawasan kepada kaum Muslim untuk memberikan


kemudahan bagi kaum Muslim melalui kajian antropologis yang menempatkan
manusia sebagai titik pijak dalam membangun dan merumuskan hukum fikih.
Pendekatan antropologis ini membantu paradigma fikih dalam sesuai kondisi riil yang
menjadi tradisi dan kebiasaan kaum Muslim dan umat manusia sebagaimana adanya.
Wacana fiqh yang sesungguhnya ini adalah yang memberikan kemudahan dan tidak
mendatangkan kesulitan, tetapi kemudahan itu tidak sampai mendatangkan dosa dan
maksiat. Segala aturan hukum fikih yang dihasiIkan oIeh ilmu ushuI fiqh harus
mencerminkan sifat dan karakter hukum fikih yang memberikan kemudahan. Produk
hukum yang diharapkan adalah produk hukum fikih yang mampu mengantarkan kaum
muslim mencapai kemaslahatan individual dan kolektif. Wacana fiqh di sini tumbuh
dan berkembang dengan suasana alamiah seiring dengan perkembangan sejarah hidup
manusia dengan tetap berada dalam koridor ketentuan nas hukum fikih yang qath’i.

Paradigma antropologis dalam kajian fikih akan memberikan sumbangan


nyata untuk memperkokoh dalam mengakomodir tradisi dan budaya masyarakat.
Hal yang sangat bermakna dalam paradigma antropologis adalah memposisikan dan
menempatkan budaya masyarakat atau kebiasaan sebelumnya sebagai bagian dari nalar
keilmuan fiqh dan usuI fikih yang esensial dan integral, sehingga paradigma keilmuan ini
mampu mengangkat dan mengakomodir realitas hidup masyarakat. Deskripsi
budaya berjalan sebagaimana apa adanya tanpa ada hegemoni dan kepentingan yang
menafikan atas pesan utama nas fikih.

10
Peran ensensial budaya dalam pembangunan paradigma usuI fikih yang
berwawasan antrorpologis sesungguhnya hendak menempatkan teori pembentukan
hukum Islam/fikih berupa ‘urf sebagai paradigma penting dalam mengakomodir tradisi
yang berjalan di masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa ‘urf adalah sesuatu yang
dikenal dan menjadi tradisi dari suatu masyarakat. Tradisi ini oleh ulama usul fikih
kemudian dikukuhkan sebagai bagian dari teori pembentukan norma hukum fikih
sebagaimana kaidah: al-‘adatu syariatun muhakkamtun yang artinya “tradisi dapat
dikukuhkan menjadi hukum syara’19

Paradigma ‘urf bukanlah dalil syar’i yang berdiri sendiri, tetapi merupakan
dalil yang melestarikan budaya sebagaimana adanya yang diyakini mambawa
maslahah20 . Adapun daliI naqIi ‘urf berdasarkan sunah Nabi sebagai berikut: “Hal-
hal yang dianggap baik oleh kaum Muslim, maka baik pula menurut Allah SWT.”

Demikian juga kajian antropologis ini memiliki kedekatan teoritik dengan


teori istishhab. Sebagaimana teori Thick description Clifford Geertz, para uIama
usuI fikih juga bekerja dengan model yang hampir sama, misalnya pendapat Imam aI-
Sarkhasi (dari kaIangan uIama Hanafiyah) yang menyebutkan kaidah bahwa
“istishhâb al-hal li itsbât al-hukm ibtida’un”21 . Dalam hal ini, istishhâb adaIah upaya
dari uIama ushuI fiqh untuk menjelaskan dan menerapkan tradisi yang ada di kalangan
umat yang sudah berjalan dengan baik dan digalinya sebagai salah satu sumber hukum
yang diakui syara’ dan ini menjadi salah satu bentuk teori ijtihad uIama ushuI fiqh.
WaIaupun tidak sama persis, sebab thick description hanya menjelaskan
sebagaimana apa adanya dan berkesinambungan, sedangkan istishhâb tidak hanya
sekedar menjelaskan sebagaimana apa adanya tetapi juga menetapkan dan
menerapkan haI-haI yang sudah ada (ibqa’ ma k ana) 22 , yang bermakna
bagi masyarakat yang hendak mengamalkannya.

Paradigma kajian fikih antropoIogis ini hendak menempatkan nilai-nilai


budaya sebagai dasar pembangunan fiqh, sehingga penekanannya bukan pada
aspek idealisasi dengan gerakan universaIisasi norma hukum fikih, tetapi

19 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta: Desantara, 2001), h.. 113;
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar aIrQaIam, t.th.), h. 79-80.
20 Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh , h. 81-82
21 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1997), h. 103.
22 Amir Syarifuddin, Usul fikh, h. 365

11
menekankan pada upaya pribumisasi niIai-niIai hukum fikih dan
mentransformasikan diri daIam pranata kehidupan masyarakat23 .

Kajian antropologis yang memberikan ruang bagi tradisi lokal yang


berlaku (local practices) untuk diakomodir dan diakui. Tradisi hidup beragama
yang diIakukan oIeh masyarakat, misalnya tradisi perayaan perkawinan
(resepsi) atau walimatul ursy. Dengan meminjam bahasa M Amin Abdullah, local
practices yang dalam kajian ilmu fikih dikenaI dengan “praktik pengamaIan
fikih IokaIistik sebagai hasiI kajian uIama ushuI fikih dalam menghadapi tradisi
lokal perlu mendapat perhatian. DaIam studi fikih dan usul fikih, kajian ini jika titik
tekannya pada pengakuan tradisi sebagai bahan pertimbangan pembangunan hukum
masuk kategori ‘urf dan jika titik tekan kajiannya pada pengakuan pada tradisi
yang sudah berlaku sebelumnya sebagai bahan pertimbangan, maka ia masuk
kategori istishhab. Dengan demikian, praktik pengamalan fikih di masyarakat
akan diniIai melenceng dari hukum fikih otentik kaIau tidak ada hubungan
intensif dengan nas-nas hukum fikih. Paradigma ini adaIah paradigma
normatif. Sementara itu, menurut antropolog, praktik pengamaIan fikih di
masyarakat harus diteliti dengan cermat dan mendalam untuk dapat mememahami
kandungan praktinya, sehingga otentisitas tidak ditentukan sesamata-mata oIeh
nas fikih, tetapi juga reaIitas sosial budaya atau praktik pengamalan
empirisnya24 .
Sisi kelebihan pendekatan antropologis ini adalah bahwa kedalaman dalam
menggunakan teori hukum adat (’urf) ini sebagai titik sentral daIam pembangunan hukum-
hukum fikih, sehingga dengan penekanan pada tradisi/hukum adat di masyarakat dapat
berkembang dan dinamis. Hal ini berbeda jika titik tekannya pada penalaran ushuI fikih
masa IaIu25 .

Kedua, pendekatan antropoIogis juga memberikan ruang untuk membangun


keterkaitan antara berbagai domain hidup secara lebih utuh (connections across social
domains). Kajian antropoIogis memberikan ruang untuk membangun sinergitas antara
berbagai elemen hidup, sehingga ada hubungan yang relevan antara satu aspek dengan aspek

23 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi,
(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 19.
24 M Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi untuk Studi Agama dan Studi Islam,

http://aminabd.wordpress. com
25 Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh , h. 89

12
lainnya26 .

Ketiga, selain itu, pendekatan antropologis hendak menawarkan wawasan


komparatif (comparative), yakni membandingkan antara satu tradisi dengan tradisi lainnya
untuk saling memperkaya di antara masingrmasing tradisi itu. DaIam kajian antropoIogis,
CIifford Geertz membandingkan antara tradisi Islam Indonesia dan tradisi Islam Maroko untuk
tujuan memperkaya keduanya 27 .
Berangkat dari uraian di atas, maka fikih dan antropologi dapat dipadukan.
Antropologi berguna sebagai alat metodologi dalam memahami kehidupan
keagamaan masyarakat. Kegunaan selanjutnya adalah mengarahkan dan menambah
keyakinan keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat sesuai dengan ajaran yang
benar tanpa menimbulkan kegaduhan antar sesama warga masyarakat. Oleh karena
itu, melalui pendekatan antropologi dalam studi Islam khusunya berkenaan dengan
fikih ini diharapkan umat Islam lebih toleran terhadap berbagai perbedaan budaya-
budaya lokal dengan ajaran islam itu sendiri.
Dengan pendekatan antropologi agama nampak lebih akrab dan dapat
difungsikan dengan berbagai fenomena kehidupan. Dari sini semakin nampak
kontribusi antropologi bagi kajian keagamaan. Setidaknya ada dua kontribusi
antropologi bagi studi Islam, yaitu:
Pertama, antropologi membantu dalam mempelajari agama secara empiris.
Di sini penelitian keagamaan diarahkan pada pemahaman aspek konteks sosial yang
melingkari agama. Oleh karena itu kajian semacam ini mengarahkan perhatian pada
manusia dan budayanya. Karena agama diciptakan untuk membantu manusia dalam
memenuhi kebutuhan kemanusiaanya sekaligus mengarahkan pada kehidupan yang
lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa manusia merupakan persoalan agama yang
harus diamati secara empiris. Artinya pemahaman tentang agama akan menjadi utuh
setelah memahami manusianya. Karena pentingnya kajian tentang manusia ini, maka
mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi
penting. Sebagai system of meaning yang berarti bagi kehidupan dan perilaku
manusia, kebudayaan menjadi aspek esensial manusia yang tidak bisa ditinggalkan
dalam memahami manusia. Dalam bahasa Max Weber, budaya adalah jaring-jaring

26 M Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi untuk Studi Agama dan Studi Islam, http://aminabd.wordpress.
com[z o1 1
27 Ibid

13
kepentingan manusia. Sementara Geertz memahami budaya sebagai pola makna
(pattern meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-
simbol. Dengan budaya tersebut manusia berkomunikasi, berperilaku dan melihat
kehidupan. Namun demikian, analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi
antropologi tidak berusaha menemukan hukum-hukum sebagaimana pada ilmu alam,
akan tetapi lebih pada kajian interpretatif untuk mengungkap makna (meaning).
Ditinjau dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai
sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci pada hakekatnya merupakan
pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Di sini
Geertz memaknai ethos sebagai ‖tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia,
aspek moral dan estetika mereka‖. Ditegaskan Geertz bahwa agama telah
memberikan karakter khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah
laku kesehariannya. Selain itu, agama juga memberikan gambaran tentang realitas
yang ingin dicapai oleh manusia.
Kedua, antropologi membantu studi Islam melihat keragamaan pengaruh
budaya dalam praktik Islam. Kajian crossculture terhadap agama memberikan
gambaran yang beragam tentang kaitan agama dan budaya. Dengan luasnya
pemahaman tentang budaya-budaya yang ada, memungkinkan adanya dialog dan
tidak mustahil muncul gagasan moral dunia. Dalam istilah Tibbi disebut sebagai
”international morality” yang berdasar pada kekayaan budaya dunia.
Dengan demikian memahami Islam yang telah bergumul dalam sejarah dan
budaya yang cukup lama tidak akan sempurna jika mengabaikan pemahaman tentang
manusia. Karena realitas keagamaan sejatinya merupakan realitas kemanusiaan yang
terwujud dalam dunia nyata. Selain itu, makna sesungguhnya dari keberagamaan
terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Pada posisi inilah antropologi
dibutuhkan untuk membantu memahami Islam. Antropologi berguna sebagai alat
untuk memahami ralitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktekkan
umat Islam. Praktek umat Islam tersebut menjadi gambaran sesunggunya dari
keberagamaan umat Islam.
Antropologi yang mengkaji secara langsung hubungan agama dan
masyarakat pada tataran grassroot memberikan data yang sebenarnya terjadi pada
masyarakat. Sehingga bagi antropologi, melihat agama yang ada pada masyarakat

14
sama halnya melihat bagaimana agama diyakini, diinterpretasi (dimaknai) dan
dipraktekkan oleh pemeluknya. Jadi, pembahasan tentang hubungan agama dan
masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana postmodernisme yang
berkembang dewasa ini.

15
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
1. Fikih merupakan hasil pencapaiannya yang berdasarkan zann (dugaan kuat)
sehingga ulama (terutama usuliyyin) menyebut fikih sebagai bab dugaan (al-
fikih min bab az-zunun).

2. Melalui pendekatan antropologi, fikih yang berada pada dataran empirik akan
dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa hukum tersebut
muncul dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat antara hubungan fikih
dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat.
3. Antropologi berguna sebagai alat metodologi dalam memahami kehidupan
keagamaan masyarakat. Kegunaan selanjutnya adalah mengarahkan dan
menambah keyakinan keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat sesuai
dengan ajaran yang benar tanpa menimbulkan kegaduhan antar sesama warga
masyarakat.

4. Antropologi membantu dalam mempelajari agama secara empiris. Di sini


penelitian keagamaan diarahkan pada pemahaman aspek konteks sosial yang
melingkari agama. Oleh karena itu kajian semacam ini mengarahkan
perhatian pada manusia dan budayanya.
5. Kajian antropologis di dalam paradigma usul fikih atau fikih akan mampu
mendukung tingkat kesalingterkaitan dan kedinamisan antara berbagai paham
dan aliran mazhab hukum fikih. Dengan pendekatan antropologis ini, segala
pendapat dan rumusan keilmuan fikih terbuka untuk dikaji ulang dan
ditransformasikan dalam kehidupan umat dan bangsa serta tidak hanya
bersifat melibatkan elemen tertentu, tetapi dapat melibatkan semua elemen
yang berkompeten dengan lahirnya pendapat hukum fikih

16
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
- Abdurrahman. (1992) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Cet. I. Jakarta: Akademika
Pressindo.
- Ariyono Suyono, 1985, Kamus Antropologi, Jakarta : Akademi Persindo,
- Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2009)
- Amir Syarifuddin, Usul fikih…, h. 365
- David N. GeIIer, “Pendekatan AntropoIogis”, daIam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan
Studi Agama, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2002),
- Hasbi al-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: CV. Mulia, 1967),
- Rachmat Syafe`I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
- Koentjaraningrat. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Cet. VIII. Jakarta: Rineka Cipta.
- Kamal Mukhtar, dkk., Ushul Fiqh I, (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995)
- Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 1, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1986)
- Gunsu Nurmansyah dkk, Pengantar Antropologi Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi Cet.
2019,
- Roger M. Keesing, Cultura Anthropology, A Contemporary Perspective/ Second Edition,
diterjemahkan oleh Drs. Samuel Gunawan, tahun 1999 dengan judul Antropologi Budaya,
Suatu Perspektif Kontemporer, Jakarta : Penerbit Erlangga.
- Harsono, 1976, Pengantar Antropologi, Bandung: Angkasa Offset,
- Koentjaraningrat, 2009, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru;
- Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Edisi II,
- Maizudin, Kajian Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu ke Islaman, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang,
2001),
- Abdullah, M Amin Urgensi Pendekatan Antropologi untuk Studi Agama dan Studi Islam, http://
aminabd.wordpress.com[zo11[o1[1¢[urgensir pendekatanrantropoIogiruntukrstudiragamar
danrstudirisIam
- Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001
- Khallaf, Abdul Wahhab, Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar aIrQaIam, t.th.
- Said Agil Husain Munawar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Histori-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001M)
- Muhammad bin Ismail al-Bukhary, Shahih al-Bukhary cet. I (Dar al-Najah,1422H), Vol. 2
- Kamal Mukhtar, dkk., Ushul Fiqh I, (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 2.

17

Anda mungkin juga menyukai