Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TEORI-TEORI KEBENARAN

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Filsafat Manajemen
Dosen Pengajar : Dr. Drs. Abdul Rahman Pakaya, M.Si

Oleh:
MEGA SETIAWATI KARIM
(931420196)

KELAS C
PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
TAHUN 2021

I
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayat, dan innayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang Teori-Teori Kebenaran.

Makalah ini telah kami susun secara maksimal dengan mendapatkan bantuan 
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Oleh
karena itu, kami ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Abdul Rahman Pakaya, M.Siselaku dosen mata kuliah Filsafat


Manajemen.

2. Teman-teman yang telah memberikan bantuan, semangat, serta motivasi
sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi isi materi, susunan kalimat, maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah tentang Filsafat Manajemen ini
dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................................1
1.3. Tujuan........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Teori Korespondensi..................................................................................2
2.2. Teori Pragmantis........................................................................................3
2.3. Teori Koherensi.........................................................................................5
2.4. Teori Sintaksis...........................................................................................6
2.5. Teori Semantis...........................................................................................9
2.6. Teori Non-Deskripsi..................................................................................11
2.7. Teori Logis Yang Berlebihan....................................................................11
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan……………………………………………………………….12

3.2. Saran………………………………………………………………………13

3.3. Daftar Pustaka…………………………………………………………….14


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam lintas sejarah, manusia dalam kehidupannya senantiasa sibukkan oleh berba
gai pertanyaan mendasar tentang dirinya. Pelbagai jawaban yang bersifat spekulatif cob
a diajukan oleh para pemikir sepanjang sejarah dan terkadang jawaban-jawaban yang di
ajukan saling kontradiksif satu dengan yang lainnya. Perdebatan mendasar yang sering
menjadi bahan diskusi dalam sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan seputar sum
ber dan asal usul pengetahuan dan kebenaran.1 Filsafat dan agama sebagai dua kekuatan
yang mewarnai dunia telah menawarkan konstruk epistemologi yang berbeda dalam me
njawab permasalahanpermasalahan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya. Man
usia selalu berusaha menemukan kebenaran. Banyak cara telah ditempuh untuk memper
oleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melal
ui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membua
hkan prinsip-prinsip yang terkadang melampaui penalaran rasional, kejadian-kejadianya
ng berlaku di alam itu dapat dimengerti.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah
dalam makalah ini seperti:
 Apa sajakah yang termasuk dalam teori-teori kebenaran?
 Bagaimanakah penjelasan masing-masing teori kebenaran?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain:


1. Untuk mengetahui yang termasuk dalam teori-teori kebenaran

2. Untuk mengetahui penjelasan masing-masing teori kebenaran

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Teori Korespondensi (Bertand Russel 1872-1970)


Teorikebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-p
ernyataan adalah benar jika berkorespondensi (berhubungan) terhadap fakta yang ada. K
ebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika adakesesuaian antara arti yang dimaks
ud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi (ungkapan atau keputusan) adalah
benar apabila terdapat suatu faktayang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini seri
ng diasosiasikan denganteori-teori empiris pengetahuan.
Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima secara lu
as oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepadarealita ob
yektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan ten
tang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang d
ijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya, karena kebenaran mem
punyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang se
suatu (Titus, 1987:237).
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi su
atu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu ber
korespondensi (berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan ters
ebut (Suriasumantri, 1990:57).
Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “matahari terbit dari timur” maka pe
rnyataan itu adalah benar sebab pernyataan tersebut bersifat faktual, atau sesuai dengan
fakta yang ada bahwa matahari terbit dari timur dan tenggelam di sebelah barat.
Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubun
gan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan sesuai den
gan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak maka pertimbangan itu salah (Jujun,
1990:237).
Teori ini menganggap. Teori kebenaran korespondensi adalah “teori kebenaran yan
g menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung

2
dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh pe
rnyataan tersebut.”
Teori kebenaran Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi adalah teori keben
aran yang paling awal (tua) yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori ini
menganggap bawa “suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu
mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik) yang diketahuinya”,
Contoh, ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian (corres
pondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek
yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian kebenaran episti
mologis adalah kemanunggalan/keselarasan antara pengetahuan yang ada pada subjek d
engan apa yang ada pada objek, atau pernyataan yang sesuai dengan fakta, yang berselar
as dengan realitas, yang sesuai dengan situasi actual.
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme.diantara
pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey dan Tarski. Mengena
i teori korenspondensi tentang kebenaran, dapat disimpulkan sebagai berikut: "Kebenar
an adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan itu sendiri" .

2.2 Teori Pragmatis (Charles S 1839-1914)


Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah maka
lah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini ke
mudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsa
an Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ah
li-ahli filsafat ini di antaranya adalah William James(1842-1910), John Dewey (1859-19
52), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I.Lewis (Jujun, 1990:57).
Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya adalah William James dan John Dewey. Suat
u pengetahuan atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah “bila proposisi itu
mempunyai konsekwensi-konsekwensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti yang
terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri”, maka menurut teori ini, tidak ada
kebenaran mutlak, universal, berdiri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan ter
gantung serta dapat diroreksi oleh pengamalan berikutnya.

3
Jika seseorang menyatakan teori X dalam pendidikan, lalu dari teori itu dikembang
kan teori Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap benar kare
na fungsional.
Pragmatism berasal dari bahasa Yunani Pragma, artinya yang dikerjakan, yang dila
kukan, perbuatan, dan tindakan. Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil, ata
u teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendat
angkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat bagi kehidu
pan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia mambawa kepada akibat y
ang memuaskan, apabila ia berlaku pada praktek, apabila ia mempunyai nilai praktis. K
ebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat praktisnya. Ja
di kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibat
asi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu da
lil atau teori tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk
kehidupannya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori ini juga dikenal dengan te
ori problem solving, artinya teori yang dengan itu dapat memecahkan segala aspek perm
asalahan. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan prakti
s.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau me
muaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diarti
kan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenara
n adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability)  dan akibat atau pengaruhnya
yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenar
an yang tetap atau mutlak.
Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari keuntun
gan-keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu pengetahuan ma
nusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengan kata lain ilmu peng
etahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa jiwa bersifat eksploitatif
terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat sebesar mungkin bagi manusi
a.

4
2.3 Teori Koherensi atau Konsistens
Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini adalah Spinosa, Hegel dan Bradley. Sua
tu pengetahuan dianggap benar menurut teori ini adalah “bila suatu proposisi itu mempu
nyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar”. Jadi,
kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau melal
ui pembuktian logis atau matematis. Pada umumnya ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu sosia
l, ilmu logika, menuntut kebenaran koherensi.
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan fa
kta atau realita, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri, dengan kata lain
kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan
lainnya yang telah kita ketahui dan kebenarannya terlebih dahulu. 
Teori ini menganggap bahwa“ "Suatu pernyataan dapat dikatakan benar apabila p
ernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumn
ya yang di anggap benar". 
Misalnya bila kita menganggap bahwa pernyataan “semua hewan akan mati” adalah
suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan “bahwa ayam adalah hewan, dan ayam a
kan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataa
n yang pertama.
Jadi menurut teori ini, “putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling berh
ubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Maka lahirlah rumusan kebenaran adal
ah konsistensi, kecocokan.”
Teorikebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria k
oheren atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pe
rnyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyata
an itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang d
ianggap benar (Jujun, 1990:55).
Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logik
a.
Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau kensistensi an
tara pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yang konsis
ten dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi dilahirkan untuk m

5
enyikapi dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta adanya interkone
ksi dan tidak adanya kontradiksi antara keduanya.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang ol
eh Allah” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalah
perbuatan maksiat, maka mencuri dilarang oleh Allah” adalah benar pula, sebab pernyat
aan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley d
an Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu makati
ap-tiap pertimbangan yang benar  dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat te
rus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut
(Titus,1987:239).

2.4 Teori Sintaksis


Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis
atau gramatika yang dipakai dalam suatu pernyataan atau tata-bahasa yang melekat. Keb
enaran ini terkait dengan bagaimana suatu hasil pemikiran diungkapkan dalam suatu per
nyataan bahasa (lisan atau tertulis) yang perlu dirangkai dalam suatu keteraturan sintaks
is atau gramatika yang digunakannya (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,
2003: hal. 141).
Teori ini berkembang di antara para filsuf analitika bahasa, terutama yang berusaha
untuk menyusun bahasa dengan tata bahasa dan logika bahasa yang ketat, misalnya Bert
rand Russell, Ludwig Wittgenstein (periode I). Aliran filsafat analitika bahasa memanda
ng bahwa problema-problema filosofis akan menjadi terjelaskan apabila menggunakan a
nalisis terminologi gramatika, dan bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari ba
hwa banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. S
ehingga para tokoh filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa tugas utama filsafat adal
ah menganalisa konsep-konsep. (Kaelan, 1998: 80).
Bahasa memiliki peranan sentral dalam mengungkapkan secara verbal pandangan d
an pemikiran filosofis, maka timbullah suatu masalah yaitu keterbatasan bahasa sehari-h
ari yang dalam hal tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep filosofis. Bahasa sehar
i-hari memiliki banyak kelemahan, antara lain: kekaburan makna, tergantung pada konte
ks, mengandung emosi, dan menyesatkan. Untuk mengatasi kelemahan dan demi kejela

6
san kebenaran konsep-konsep filosofis, maka perlu dilakukan suatu pembaharuan bahas
a, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika, sehingga kebenaranny
a dapat dipertanggungjawabkan (Kaelan, 1998: 83).
Menurut kelompok filsuf ini, tugas filsafat yaitu membangun dan mengembangkan
bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-
hari. Usaha untuk membangun dan memperbaharui bahasa itu membuktikan bahwa perh
atian filsafat itu memang besar berkenaan dengan konsepsi umum tentang bahasa serta
makna yang terkandung di dalamnya (Kaelan, 1998: 83).
Ada berbagai cara untuk membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat men
gatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari. Bertrand Russell
menyatakan bahwa Paulus Wahano, Menguak Kebenaran Ilmu... 283 logika merupakan
suatu yang fundamental dalam filsafat. Ia lebih menekankan logikanya bersifat atomis, s
ehingga ia lebih suka menyebut filsafatnya dengan nama ’atomisme logis’. Struktur pem
ikiran atomisme logis diilhami oleh konsep Hume tentang susunan ide-ide dalam penge
nalan manusia. Menurut Hume semua ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide yang se
derhana atau ide yang atomis (atomic ideas), yang merupakan ide terkecil. Bertrand Rus
sell menolak atomisme psikologisnya David Hume, karena analisisnya tidak dilakukan t
erhadap aspek psikologis, namun dilakukan terhadap proposisi-proposisi (Kaelan, 1998:
87).
Bertrand Russell ingin menganalisis hakikat realitas dunia melalui analisis logis, ka
rena analisis logis berdasarkan pada kebenaran apriori yang sifatnya universal dan bersu
mber pada rasio manusia. Sedangkan sintesa logis merupakan metode untuk mendapatk
an kebenaran pengetahuan melalui pengetahuan empiris yang bersifat aposteriori. Penge
tahuan pada hakikatnya merupakan pernyataan-pernyataan yang tersusun menjadi suatu
sistem yang menunjuk pada suatu entitas atau unsur realitas dunia; terdapat suatu kesesu
aian bentuk atau struktur antara bahasa dengan dunia. Dunia merupakan suatu keseluruh
an fakta, adapun fakta terungkapkan melalui bahasa, sehingga terdapat suatu kesesuaian
antara struktur logis bahasa dengan struktur realitas dunia (Kaelan, 1998: 99-100).
Proposisi pada hakikatnya merupakan simbol bahasa yang mengungkapkan fakta.
Masing-masing proposisi atomis memiliki arti atau maksud sendiri-sendiri yang terpisah
satu dengan lainnya. Untuk membentuk proposisi majemuk, maka proposisi-proposisi at
omis tersebut dirangkaikan dengan kata penghubung, yaitu ’dan’, ’atau’, serta kata peng

7
hubung lainnya. Kebenaran atau ketidakbenaran proposisi-proposisi majemuk tergantun
g pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi-proposisi atomis yang ada di dalamnya.
Dan karena proposisi pada hakikatnya merupakan simbol bahasa yang mengungkapkan
fakta, maka fakta-fakta atomis menentukan benar atau tidaknya proposisi apapun juga
(Kaelan, 1998: 104-105).
Selain Bertrand Russell, kita juga akan melihat sekilas tokoh lainnya, yaitu Ludwig
Wittgenstein, yang merupakan teman dekat Bertrand Russell, dan sekaligus juga sebagai
tokoh aliran filsafat atomisme logis. Wittgenstein menegaskan bahwa tugas filsafat adal
ah melakukan analisis tentang ungkapan-ungkapan, problem-problem, serta konsep yan
g menggunakan bahasa yang me- Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 3, Desember 2008 284
miliki struktur logika. Analisa dilakukan terhadap proposisi atau realitas yang dikemuka
kan oleh para filsuf terdahulu dengan menggunakan bahasa yang menggunakan syarat l
ogika. Kalau Bertrand Russell mengurai/menganalisa bahasa ke dalam proposisi majem
uk yang selanjutnya semakin sederhana menjadi proposisi atomis, sedangkan Wittgenste
in ingin menjelaskan dunia dengan menguraikannya ke dalam fakta-fakta. Dunia itu ada
lah jumlah keseluruhan dari fakta (totalitas fakta), dan bukannya jumlah dari objek-obje
k atau benda-benda itu sendiri. Totalitas fakta itu sangat kompleks, dan terdiri atas fakt
a-fakta yang kurang kompleks. Selanjutnya fakta-fakta ini terdiri atas fakta-fakta yang s
emakin kurang kompleks lagi, demikian seterusnya dan akhirnya sampai pada fakta-fakt
a yang sudah tidak dapat diredusir atau dikurangi lagi. Fakta-fakta ini adalah fakta yang
terkecil, yang paling elementer, yang merupakan bagian terkecil, sehingga disebut sebag
ai fakta atomis (atomic fact) (Kaelan, 1998: 106-113).
Suatu pernyataan memiliki kebenaran, bila pernyataan itu mengikuti aturan sintaksi
s baku, yang tersusun secara logis dari proposisi-proposisi yang dapat dipertanggungjaw
abkan kebenarannya. Apabila proposisi atau pernyataan itu tidak mengikuti syarat terse
but, proposisi atau pernyataan itu tidak mempunyai arti, sehingga tidak mampu mengun
gkap makna dari hasil pemikiran yang telah dilakukan.
Suatu ide, konsep, atau teori dinyatakan benar, bila berhasil diungkapkan menurut a
turan sintaksis yang baku. Kebenaran baru akan tampak dalam suatu pernyataan bahasa
(lisan atau tertulis). Benar atau salahnya suatu pernyataan sangat dipengaruhi oleh keter
aturan sintaksis serta penataan bahasa yang digunakannya. Apabila mampu dinyatakan

8
dalam wujud bahasa dengan aturan sintaksis yang baku, pernyataan tersebut dapat dikat
akan benar. Apabila tidak mampu, itu salah.
Bahasa berfungsi untuk mengungkap ide, konsep, atau teori yang telah dihasilkan d
ari proses pemikiran dalam komunikasi kita satu sama lain. Bila pernyataan atau ungkap
an bahasa tersebut tidak didasarkan pada aturan bahasa yang ada tentu dapat menghasilk
an pernyataan yang tidak memiliki makna, atau pernyataan yang memiliki makna yang s
ama sekali berbeda dengan makna yang sudah ada dalam pemikiran kita.

2.5 Teori Semantis


Teori kebenaran semantis dianut oleh faham filsafat analitika bahasa yang dikemba
ngkan oleh paska filsafat Bertrand Russell. Teori kebenaran semantis sebenarnya berpan
gkal atau mengacu pada pendapat Aristoteles dengan ungkapan sebagai berikut: “Menga
takan sesuatu yang ada sebagai yang ada dan sesuatu yang tidak ada sebagai yang tidak
ada, adalah benar”, juga mengacu pada teori korespondensi, yang menyatakan bahwa:
“kebenaran terdiri dari hubungan kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan apa yan
g terjadi dalam realitas”.
Bertrand Russell dengan teman-temannya berusaha untuk membangun bahasa ilmia
h, dengan menyusun proposisi-proposisi dengan logika yang ketat, agar mampu mengga
mbarkan dunia secara dapat dipertanggungjawabkan. Mereka menganggap bahwa bahas
a biasa sehari-hari (ordinary language) itu belum memadai, karena memiliki banyak kel
emahan, antara lain: kekaburan makna, tergantung pada konteks, mengandung emosi, da
n menyesatkan. Namun sebaliknya terdapat kelompok filsuf analitika bahasa lain (Wittg
enstein Periode II, Moritz Schlick, Alfred Jules Ayer) yang beranggapan bahwa bahasa
biasa, yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari, sebenarnya telah cukup memadai
sebagai sarana pengungkapan konsep-konsep filsafat. Untuk mengatasi kelemahan-kele
mahan dan kekurangan-kekurangan bahasa biasa sehari-hari dalam filsafat, harus diberi
kan suatu pengertian khusus atau penjelasan terhadap penyimpangan-penyimpangan ters
ebut (Kaelan, 1998: 82-83).
Menurut Wittgenstein Periode II (dalam penjelasannya tentang filsafat bahasa bias
a), masalah-masalah filsafat itu timbul justru karena adanya penyimpangan-penyimpang
an penggunaan bahasa biasa oleh para filsuf dalam berfilsafat, sehingga timbul penyimp
angan dan kekacauan dalam filsafat itu, serta tanpa adanya suatu penjelasan untuk dapat

9
dimengerti. Menurut pandangan ini, tugas filsuf adalah memberikan semacam terapi unt
uk penyembuhan dalam kelemahan penggunaan bahasa filsafat tersebut. Positivisme log
is menentukan sikap bahwa langkah paling tepat agar tidak terjadi kekacauan dalam bah
asa adalah melakukan analisis terhadap bahasa yang digunakan dalam ilmu pengetahuan
dan filsafat.
Usaha yang dilakukan bukanlah proyek membangun bahasa khusus dengan menggu
nakan logika bahasa yang ketat, melainkan lebih berusaha menemukan makna atau arti
dalam penggu- Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 3, Desember 2008 286 naan bahasa. Suat
u ungkapan atau proposisi dianggap bermakna atau memiliki arti, apabila secara prinsip
dapat diverifikasi. Memverifikasi berarti menguji, yaitu membuktikan secara empiris. S
ehingga ilmu pengetahuan maupun filsafat baru dapat memiliki pernyataan-pernyataan
yang berupa aksioma, teori atau dalil yang boleh dikatakan bermakna, apabila secara pri
nsip pernyataan-pernyataan tersebut dapat diverifikasi. Setiap pernyataan atau proposisi
yang secara prinsip tidak dapat diverifikasi, maka pernyataan atau proposisi tersebut pad
a hakikatnya tidak bermakna (Kaelan, 1998: 124-125).
Meskipun secara prinsip positivisme logis menerapkan prinsip verifikasi, namun di
antara para tokohnya memiliki perbedaan pemahaman. Misalnya, Moritz Schlick menaf
sirkan verifikasi itu dalam pengertian pengamatan secara langsung. Hanya proposisi ata
u pernyataan yang mengandung istilah yang diangkat secara langsung dari objek yang d
apat diamati itulah yang mengandung makna. Sedangkan Ayer memiliki pandangan yan
g berbeda dan berpendapat bahwa prinsip verifikasi itu merupakan pengandaian untuk
melengkapi suatu kriteria, sehingga melalui kriteria tersebut dapat ditentukan apakah su
atu pernyataan atau proposisi itu memiliki makna atau tidak. Suatu kalimat mengandung
makna, apabila pernyataan atau proposisi tersebut dapat diverifikasi atau dapat dianalisa
secara empiris, yaitu mengandung kemungkinan bagi pengalaman (Kaelan, 1998: 126-1
27).
Menurut teori ini, benar atau tidaknya suatu proposisi didasarkan pada ada tidaknya
arti atau makna dalam proposisi terkait. Apabila proposisi tersebut memiliki arti atau ma
kna, serta memiliki pengacu (referent) yang jelas, proposisi dinyatakan benar. Sedangka
n apabila sebaliknya dapat dinyatakan salah. Setiap pernyataan tentu memiliki arti atau
makna yang menjadi acuannya. Proposisi itu mempunyai nilai kebenaran, bila proposisi
memiliki arti. Arti diperoleh dengan menunjukkan makna yang sesungguhnya, yaitu den

1
0
gan menunjuk pada referensi atau kenyataan. Arti yang dikemukakan itu memiliki sifat
definitif, yaitu secara jelas menunjuk ciri khas dari sesuatu yang ada. Arti yang termuat
dalam proposisi tersebut dapat bersifat esoterik, arbitrer, atau hanya mempunyai arti sej
auh dihubungkan dengan nilai praktis dari subyek yang menggunakannya (Tim Dosen F
ilsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2003: hal. 141-142).

2.6 Teori Non Deskripsi


Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat fun
gsionalisme. Jadi, menurut teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai
nilai benar ditentukan (tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi
yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari).
Oleh karena itu white (1978) lebih lanjut menjelaskan: "the theory non descriptive g
ive us an important insight into function of the use of "true" and "false", but not an anal
ysis of their meaning". Artinya "teori non deskriptif memberi kita wawasan penting tent
ang fungsi penggunaan" benar "dan" salah ", tetapi bukan analisis artinya".
Contoh: petani menanam jagung (sebenarnya yang ditanam adalah bibit jagung lalu diha
rapkan akan menjadi jagung nantinya).

2.7 Teori Logis Yang Berlebihan


Teori yang dikembangkan aliran positivistik ini pada dasarnya menyatakan kebenar
an itu proposisi yang merupakan fakta atau data yang telah memiliki evidensi. artinya o
bjek pengetahuan itu telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri. Seperti pernya
taan bahwa lingkaran itu bulat, pernyataan itu telah menunjukkan kejelasan yang tidak p
erlu diterangkan lagi.Teori ini mempunyai pemahaman bahwa masalah kebenaran hanya
merupakan kekacauan bahasa dan hal ini mengakibatkan adanya suatu pemborosan kare
na pada dasarnya pernyataaan yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat l
ogik yang sama dari masing-masing yang melingkupinya.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

1
1
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata.
Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia Uraian dan
ulasan mengenai berbagai teori kebenaran di atas telah menunjukkan kelebihan dan
kekurangan dari berbagai teori kebenaran. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan
Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta
Koherensi bersifat rasional dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis
fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak Performatif Bila pemegang otoritas
benar, pengikutnya selamat Tidak kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus
Didukung teori yang kuat dan masyarakat ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan
kebenaran.

Berdasarkan teori korespondensi, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan


membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan
dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence),
maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.

Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan fakta dan realitas, tetapi
mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan yang lainnya, yang telah ada lebih
dulu dan diakui kebenarannya. Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan
dengan fakta/realitas, tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada
sebelumnya dan dianggap benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma
adalah ayah Rajiv, dan putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama
Sonia, maka sebuah putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat
dikatakan benar, dan putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.

Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang


telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut
sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.

3.2. Saran

1
2
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat memaafkan dan memakluminya,
karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, alfa dan lupa.

DAFTAR PUSTAKA

1
3
https://media.neliti.com/media/publications/62067-ID-teori-kebenaran-p
erspektif-filsafat-ilmu.pdf
http://rizkie-library.blogspot.com/2015/12/teori-teori-kebenaran.html
https://media.neliti.com/media/publications/81854-ID-menguak-kebenara
n-ilmu-pengetahuan-dan-a.pdf
https://id.scribd.com/document/393446378/Teori-Kebenaran-Non-Deskripsi
http://perilakuorganisasi.com/teori-kebenaran-ilmiah.html
http://idr.uin-antasari.ac.id/6936/1/Arti%20dan%20Makna%20Kebenaran.pd
f
https://raafsyamjani.wordpress.com/2013/04/25/maklalah-teori-kebenara
n-filspat-ilmu/

1
4

Anda mungkin juga menyukai