Kefilsafatan
Pengantar Filsafat
Filsafat memiliki makna yang bermacam-macam bagi berbagai macam orang serta pada
berbagai masa di dalam sejarah kehidupan manusia. Berbagai definisi pun telah dicoba untuk
ditampilkan, serta banyak pula yang telah mencoba membatasi corak-corak pertanyaan yang
diajukan oleh seorang filsuf. Sepanjang sejarah peradaban Barat, area pembicaraan filsafat
meliputi banyak hal, mulai dari sikap pribadi orang terhadap dunia di sekitarnya, sampai dengan
seluruh jumlah pengetahuan manusia. Sebagai contoh adalah Aristoteles, filsuf Yunani, yang
menulis tentang metafisika, etika, politik, biologi, fisika, dan bahasa.
Ada satu masa di mana sebagian ilmuwan terutama kaum Positivisme mencoba membatasi
lingkup bahasan filsafat agar hanya berkisar pada pertanyaan-pertanyaan tentang logika dan
sintaksis. Namun, filsuf W.E. Hocking menguraikan definisi filsafat secara panjang lebar, sebagai
berikut:
Ungkapan Hocking tersebut memberikan gambaran kepada kita mengenai filsafat sebagai
suatu upaya, mungkin juga suatu “percobaan” yang berani dan beresiko, untuk keluar dari dunia
atau berada “di atas” dunia yang kita diami. Artinya, bahwa kita ingin memandang dunia dari sudut
pandang yang lebih tinggi.
Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa mereka yang menganur filsafat merupakan
orang-orang yang “melarikan diri” dari dunia ini. Sebagian besar yang lain beranggapan bahwa
filsafat sesungguhnya berhubungan secara intrinsik dengan inti peradaban manusia dan merupakan
bagian yang menyatu dari upaya kritis manusia menghadapi pertentangan-pertentangan,
kekalahan-kekalahan, maupun kemenangan-kemenangan dalam hidup.
John Dewey (1859 – 1952) mengatakan bahwa filsafat harus dipandang sebagai suatu
ungkapan perjuangan manusia dalam “upaya yang sudah dilakukan sejak lama, tetapi sekaligus
selalu baru”; artinya adalah bahwa upaya-upaya itu selalu menyesuaikan sebagian besar tradisi
yang membentuk akal pikiran manusia dengan kecenderungan-kecenderungan ilmiah, serta hasrat-
hasrat yang baru yang sudah tidak cocok lagi dengan yang sudah diperoleh.2
1 W.E. Hocking, “What Philosophy Is and Says”, Philosophical Review, XXXVIII, 140 – 155.
2 John Dewey, “Role of Philosophy in the History of Civilization,” dalam
E.S. Brightman (ed.), Proceedings of the Sixth
International Congress of Philosophy, (New York: Longmans, Green & Co., 1972), hal. 536.
Filsafat merupakan suatu kebijaksanaan yang sifatnya berupa usaha untuk mengetahui.
Mengetahui dalam arti yang paling penuh serta paling tegas, yaitu mengetahui dengan kepastian
dan dapat menyatakan bahwa barang sesuatu itu seperti keadaannya dan tidak dapat lain daripada
mengetahui berdasarkan sebab-sebabnya. Filsafat dengan perkataan lain merupakan ilmu
pengetahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama, sejauh sebab-sebab ini
termasuk dalam ketertiban alam.
2. Objek Filsafat
Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya, yang terdalam. Jika
hasil pemikiran disusun, maka susunan itulah yang kita sebut sebagai sistematika filsafat.
Sistematika atau struktur filsafat secara garis besar terdiri ata ontology, epistemologi dan aksiologi.
Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti (dipikirkan)-nya. Pemikiran
mengenai pendidikan di dalam area filsafat tentunya menjadi Filsafat Pendidikan. Jika yang
dipikirkannya adalah hukum maka hasilnya tentu menjadi Filsafat Hukum. Pemikiran mengenai
pengetahuan maka jadilah Filsafat Ilmu, atau memikirkan etika maka jadilah Filsafat Etika.
Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian ilmu pengetahuan yang lain. Ilmu
pengetahuan atau sains hanya meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti objek yang ada
dan yang mungkin ada. Filsafat juga meneliti objek-objek yang ada dan empiris, dan yang ada
tetapi tidak empiris (abstrak). Secara mendasar dikatakan bahwa objek di dalam filsafat ada dua,
yaitu objek material dan objek formal. Objek material filsafat berkenaan dengan fokus pemikirannya
baik yang bersifat konkret (empiris) maupun abstrak (tidak empiris), seperti misalnya permasalahan
sosial, pendidikan, kebudayaan, seni, tradisi, nilai moral, keindahan, dan sebagainya. Objek formal
• Pertama, meniadakan kecongkakan maha tahu sendiri. seseorang yang ingin mulai
berfilsafat harus mampu mengendalikan dirinya untuk menjauhkan diri dari sikap merasa
diri sudah tahu tentang hal yang akan dipelajari;
• Kedua, perlunya sikap mental berupa kesetiaan pada kebenaran (a loyalty to truth). Sikap
ini dapat melahirkan keberanian untuk mempertahankan kebenaran ynag
diperjuangkannya;
• Keempat, latihan intelektual dilakukan secara aktif dari waktu ke waktu dan diungkapkan
baik secara lisan maupun tertulis. Proses mempelajari filsafat itu mencakup belajar
memecahkan persoalan-persoalan filsafati oleh diri kita sendiri, misalnya: Bagaimana
pemahaman kita tentang keadilan? Apakah pengertian keadilan yang dipahami secara
hukum itu sudah cukup memuaskan pemikiran kita;