Anda di halaman 1dari 11

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................2

DAFTAR ISI.................................................................................................................3

BAB I.............................................................................................................................4

PENDAHULUAN.........................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................4

1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................5

BAB II...........................................................................................................................6

PEMBAHASAN............................................................................................................6

2.1 Pengertian Riba....................................................................................................6

2.2 Dalil Mengenai Larangan Riba............................................................................6

2.3 Macam-Macam Riba............................................................................................7

2.4 Konsep Riba dan Bunga dalam Ekonomi Islam..................................................8

2.5 Riba dalam Pandangan Islam...............................................................................9

BAB III........................................................................................................................11

PENUTUP...................................................................................................................11

3.1 Kesimpulan........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem Ekonomi yang umumnya diterapkan dalam perekonomian modern
adalah ekonomi konvensional yang tentu dalam penerapannya mengalami banyak
pertentangan dengan sistem ekonomi islam. Seperti permasalahan bunga bank
yang termasuk dilarang dalam hukum islam karena dianggap sebagai bentuk
kezaliman dalam praktik ekonomi. Ajaran ekonomi islam yang mengedepankan
humanism mengalami pertentangan dalam praktik riba karena menyebabkan
eksploitasi kelompok yang lebih rendah.
Sistem ekonomi yang tidak memperdulikan prinsip persamaan, pemerataan,
kurang mengedepankan kemanusian, serta nilai agama menurut para ekonomi
menyebabkan timbulnya permasalahan kemanusian. Salah satunya adalah sistem
riba yang menjadi penghalang terbesar tercapainya keadilan yang merata. Tanpa
mengeleminasi sistem bunga dalam kegiatan ekonomi akan mustahil untuk
keadilan dapat tercipta.
Secara lebih luas, larangan riba dianggap sebagai bentuk penghapusan
tindakan dzalim atau ketidakadilan dalam sebuah praktik ekonomi. Oleh karena
itu ekonomi syariah harus dapat menentang sistem eksploitatori yang
menimbulkan banyak kesenjangan ekonomi dan memberi kerugian bagi pihak
lemah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Riba?
2. Bagaimana dalil mengenai pelarangan riba?
3. Apa saja macam-macam riba?
4. Bagaimana konsep riba dan bunga dalam ekonomi islam?
5. Bagaimana pandangan islam mengenai riba?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami yang dimaksud dengan riba.
2. Untuk mengetahui dalil mengenai pelarangan riba.
3. Untuk memahami macam-macam riba.
4. Untuk mengetahui konsep riba dan bunga dalam ekonomi islam.
5. Untuk mengetahui pandangan islam mengenai riba.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Riba

Konsep riba sebenarnya sudah lama dikenal dan terus mengalami


perkembangan makna. Kajian mengenai riba sudah lama dibahas oleh
kalangan muslim maupun non muslim. Kalangan yahudi mengenal riba
dengan istilah neshekh sebagai hal yang dilarang dan hina,
Secara etimologis kata ar-riba memiliki arti bertambah dan tumbuh
(Abadi, 1998 : 332). Menurut terminologi riba didefinisikan sebagai
melebihkan keuntungan dari salah satu pihak terhadap pihak lain dalam
sebuah transaksi jual beli atau pertukaran barang sejenis tanpa memberi
imbalan pada kelebihan tersebut (Al-Jaziri, 1972 :221). Riba dalam ungkapan
lain diartikan sebagai pembayaran hutang yang harus dipenuhi oleh pihak
peminjam dengan nominal yang lebih besar dari jumlah pinjaman sebagai
komisi atas tenggang waktu yang lewat dari batas jatuh tempo (Muslim,
2005 : 128).
Riba adalah tindakan melebihkan keuntungan dalam sebuah traksaksi
oleh satu pihak dimana hal tersebut menyebabkan pihak lain harus membayar
hutang dalam jumlah yang lebih besar dari pokok pinjamannya. Oleh karena
itu praktik riba dilarang dalam islam karena dianggap sebagai salah satu
bentuk ketidakadilan dalam kegiatan ekonomi.

2.2 Dalil Mengenai Larangan Riba


Dalam Al-Qur’an dan hadis yang diwahyukan secara bertahap telah
ditegaskan mengenai pelarangan riba dalam islam. Tahap pertama yaitu dalam
surah Ar-Rum ayat 39 dimana Allah menyatakan bahwa Allah tidak menyukai
orang yang melakukan praktik riba. Dengan menjauhkan riba maka orang
tersebut akan mendapat hidayah Allah. Riba bukanlah cara menolong manusia
dan tidak akan membantu manusia yang melakukannya menjadi dekat dengan
Allah. Pada ayat ini belum ada penegasan mengenai larangan atau hukum
praktik riba.
Tahap kedua Allah menurunkan surat An-Nisa’ ayat 160-161 dimana
riba diartikan sebagai pekerjaan yang dzalim dan batil. Pada ayat ini
dijelaskan mengenai balasan siksa bagi kaum yahudi yang melakukannya.
Walaupun tidak langsung menegaskan mengenai larangan praktik riba, ayat
ini menggambarkan lebih tegas lagi mengenai riba melalui riwayat kaum
yahudi dan telah membantu meningkatkan perhatian dan kesiapan untuk
menerima pelarangan riba.
Tahap ketiga turun surat Ali Imran ayat 130 riba tidak secara tuntas
diharamkan oleh Allah, tetapi melarang dalam bentuk lipat ganda. Karena
kebijaksanaan Allah, riba yang sudah mengakar dalam segala perbuatan
masyarakat dilarang sedikit demi sedikit.
Tahap keempat, Allah menurunkan surat Al-Baqarah ayat 275-279
berisi pelarangan riba secara tegas, jelas, pasti dan tuntas. Riba dianggap
haram secara mutlak dalam berbagai bentuk praktiknya. Bagi mereka yang
tetap melakukan praktik riba dianggap telah melakukan tindakan kriminal dan
akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

2.3 Macam-Macam Riba


Umumnya para ulama membagi riba menjadi dua yakni :
1) Riba nasi’ah yang merupakan tambahan dalam pokok pinjaman yang
menjadi syarat dan diambil oleh pemberi pinjaman dari orang yang
berhutang sebagai kompensasi atas pinjaman yang diberikan (Sayyid
Sabiq, 2013). Allah melarang perbuatan ini seperti dalam Al-Qur’an Surah
Al-Baqarah ayat 280 dimana dapat disimpulkan bahwa apabila hutang
seseorang telah jatuh tempo tetapi belum bisa melakukan pembayaran
hendaknya pemberi hutang memberi keringanan waktu dengan bersabar
dan tidak menagihnya.
2) Riba fadhl, yaitu pertukaran antara barang sejenis dengan takaran berbeda
dan barang yang ditukar termasuk barang ribawi. Dalam syariat telah
ditetapkan keharamannya enam barang yaitu emas, perak, gandum merah,
gandum putih, kurma, dan garam dimana apabila dari enam barang
tersebut ditransaksikan secara sejenis dengan disertai tambahan maka
hukumnya haram.

2.4 Konsep Riba dan Bunga dalam Ekonomi Islam


Dalam The American Heritage Dictionary of the English Language
bunga diartikan sebagai interest is a charge for a financial loan, usually a
percentage of the amount loaned (Wirdyaningsih, et.al, 2005 : 21). Sedangkan
riba dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai usury yang memiliki arti the
act of lending money at exorbitant or illegal rate of interest (Wirdyaningsih,
2005 : 25).
Usury dan interest dalam sejarah ekonomi Eropa diartikan berbeda.
Dimana usury diartikan sebagai aktifitas meminjamkan uang, sehingga usury
adalah harga yang harus dibayar untuk menggunakan uang. Sedangkan
interest dalam bahasa latin berarti kompensasi atas kerugian yang muncul di
tengah transaksi apabila peminjam tidak mengembalikan hutang sesuai jangka
waktu yang diberikan. Dalam perkembangannya interest tidak hanya
didefiniskan sebagai ganti rugi atas keterlambatan pembayaran tetapi juga
sebagai ganti rugi atas hilangnya kesempatan (opportunity loss) (Rivai’, dkk,
2007 : 762 ; Karim, 2007 : 42).
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa interest dan
usury yang dikenal saat ini pada hakikatnya adalah hal yang sama yang
memiliki arti tambahan. Penggunaan usury muncul karena belum
mumpuninya pasar keuangan pada zaman itu sehingga harus ditetapkan suatu
bunga yang dianggap wajar.
Sampai saat ini meskipun sudah banyak teori mengenai bunga dalam
perekonomian baik dari kelompok teori bunga murni maupun bunga moneter,
teori-teori tersebut belum mampu menjelaskan secara pasti apaah bunga
diperlukan dalam suatu pereknomian, atau apakah bunga benar berperan
dalam mendorong investasi secara nyata dan bukan hanya spekulasi.
Golongan yang menyamakan bunga dengan riba cenderung mendekati
permasalahan dari sisi legal formal atau istilah “doktriner-normatif-deduktif”
dilihat dari pembahasan yang mengutamakan nash dan kurang memperhatikan
aspek objektif dari perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana yang
mempengaruhi aspek sosial ekonomi di masyarakat. Sedangkan golongan
yang mendukung halalnya bunga bank memandang persoalan dengan lebih
menekankan sisi objektif keberadaan perbankan atau istilah “empiris-historis-
induktif” tetapi tidak mengabaikan aspek nash.

2.5 Riba dalam Pandangan Islam


Pelarangan riba sebenarnya bukan hanya terjadi pada umat muslim
saja, tetapi juga terjadi pada agama seperti yahudi dan nasrani. Selain adanya
bunga, pelarangan riba dilakukan karena dianggap mengandung unsur
eksploitasi pada kaum fakir miskin. Menurut pendapat beberapa pemikir
islam, riba bukan hanya dianggap sebagai suatu hal yang tidak bermoral tetapi
juga merupakan sesuatu yang mengambat kegiatan ekonomi masyarakat.
Dalam kitab fiqh ‘ala al-madzab al-arba’ah, Abdul al-Rahman al-Jaziri
mmendefinisikan riba sebagai salah satu bentuk transaksi terselubung yang
dilarang.
Dalam hal ini, bunga bank juga merupakan bagian dari riba sehingga
jumhur ulama sepakat menetapkan bahwa bunga bank merupakan riba dan
hukumnya haram. Umat muslim tidak boleh bermuamalah dengan bank yang
menggunakan sistem bunga didalamnya, kecuali dalam keadaan yang
mendesak. Bahkan Yusuf Qardhawi secara mutlak mengharamkannya,
sehingga tidak mengenal istilah mendesak atau darurat.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, pengambilan bunga uang
atau riba dengan alasan mendesak tida dapat dibenarkan karena orang tidak
mungkin mati kelaparan hanya karena jalan satu-satunya adalah meminjam
uang dengan riba. Mustahil orang meminjam uang dengan adanya bunga atau
riba tanpa memiliki unsur tida menginginkan.
Riba akan terus mengalami perubahan bentuk untuk menghindari
hukum larangannya, bahkan bukan tidak mungkin bahwa pada masa
mendatang bunga bank mengalami perubahan istilah sehingga muncul
perdebatan mengenai hukumnya. Padahal pada intinya, riba akan tetap
dilarang bagaimanapun bentuk praktiknya.
Menurut Qardhawi pelarangan riba memiliki maksud tersendiri yaitu
untuk mewujudkan keadilan diantara pemilik harta dengan peminjam, dimana
konsep keadilan dalam islam tidak memihak pada pihak manapun sehingga
kedua belah pihak berada dalam posisi yang seimbang.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Riba adalah tindakan melebihkan keuntungan dalam sebuah traksaksi oleh
satu pihak dimana hal tersebut menyebabkan pihak lain harus membayar hutang
dalam jumlah yang lebih besar dari pokok pinjamannya.

Dalam Al-Qur’an dan hadis yang diwahyukan secara bertahap telah


ditegaskan mengenai pelarangan riba dalam islam. Tahap pertama yaitu dalam surah
Ar-Rum ayat 39 dimana Allah menyatakan bahwa Allah tidak menyukai orang yang
melakukan praktik riba. Tahap kedua Allah menurunkan surat An-Nisa’ ayat 160-161
dimana riba diartikan sebagai pekerjaan yang dzalim dan batil. Tahap ketiga turun
surat Ali Imran ayat 130 riba tidak secara tuntas diharamkan oleh Allah, tetapi
melarang dalam bentuk lipat ganda. Tahap keempat, Allah menurunkan surat Al-
Baqarah ayat 275-279 berisi pelarangan riba secara tegas, jelas, pasti dan tuntas.

Umumnya ulama membagi riba menjadi dua yaitu 1) Riba nasi’ah yang
merupakan tambahan dalam pokok pinjaman yang menjadi syarat dan diambil oleh
pemberi pinjaman dari orang yang berhutang sebagai kompensasi atas pinjaman yang
diberikan (Sayyid Sabiq, 2013). 2) Riba fadhl, yaitu pertukaran antara barang sejenis
dengan takaran berbeda dan barang yang ditukar termasuk barang ribawi.

Interest dan usury yang dikenal saat ini pada hakikatnya adalah hal yang sama
yang memiliki arti tambahan. Penggunaan usury muncul karena belum mumpuninya
pasar keuangan pada zaman itu sehingga harus ditetapkan suatu bunga yang dianggap
wajar.

Pelarangan riba dilakukan karena dianggap mengandung unsur eksploitasi


pada kaum fakir miskin. Menurut pendapat beberapa pemikir islam, riba bukan hanya
dianggap sebagai suatu hal yang tidak bermoral tetapi juga merupakan sesuatu yang
mengambat kegiatan ekonomi masyarakat. Dalam kitab fiqh ‘ala al-madzab al-
arba’ah, Abdul al-Rahman al-Jaziri mmendefinisikan riba sebagai salah satu bentuk
transaksi terselubung yang dilarang.
DAFTAR PUSTAKA
Hafnizal, Veri Mei. (2017). Bunga Bank (Riba) dalam Pandangan Hukum Islam. At-
Tasyri’, Vol.09(No.1), Hal 47-60.

Kalsum, Ummi. (2014). RIba dan Bunga dalam Islam. Jurnal Al-‘Adl, Vol.7(No.2),
Hal 67-83.

Rahmawaty, Anita. (2013). Riba dalam Perspektif Keuangan Islam. Jurnal Hukum
Islam, Vol.14(No.2).

Setyawati, Rohma. Oktafia, Renny. (2019). Riba dalam Pandangan Islam.

Tho’in, Muhammad. (2016). Larangan Riba dalam Teks dan Konteks. Jurnal Ilmiah
Ekonomi Islam, Vol.02(No.02), Hal 63-72.

Yulianti, Rahmani Timorita. (2002). Riba dalam Perspektif Ekonomi Islam. Millah,
Vol.11(No.2), Hal 51-70.

Anda mungkin juga menyukai