Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Asma adalah penyakit yang heterogen, yang ditandai dengan adanya
inflamasi kronik saluran napas yang menimbulkan gejala berupa sesak napas,
mengi, nyeri dada dan batuk yang timbul bervariasi dalam hal waktu, intensitas
disertai dengan derajat obstruksi yang bervariasi.1 Inflamasi kronik pada asma
melibatkan banyak sel dan elemennya sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan hiperresponsif jalan napas yang dapat menimbulkan gejala episodik
berulang. Gejala episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.2
Survey Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mencatat angka
serangan asma pada usia dibawah 18 tahun mencapai presentase 8,4% dengan
total jumlah kematian yang disebabkan oleh asma adalah 3.651 jiwa, dan serangan
asma dimulai dari usia 18 tahun di dunia mencapai persentase 7,6%.3 Menurut
Riskesdas tahun 2013, asma termasuk kedalam kelompok penyakit tidak menular
dengan prevalensi sebesar 4,5% di Indonesia.4,5 Prevalensi kasus asma di RSUD
Arifin Achmad sebanyak 18 orang, dimana kasus asma menempati urutan ke-7
dari 10 penyakit terbanyak di bangsal paru terpadu pada tahun 2017.
Interaksi antara faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan merupakan
faktor resiko terjadinya asma. Faktor pejamu yaitu predisposisi genetik, alergik,
hiperaktivitas bronkus dan faktor yang memodifikasi penyakit genetik sedangkan
faktor lingkungan yang berpengaruh adalah alergen, sensitisasi lingkungan kerja,
asap rokok, polusi udara, infeksi saluran pernafasan, diet, dan status sosial
ekonomi. Pengobatan penyakit asma dilakukan secara kuratif dan rehabilitatif.
Tujuan manajemen pengobatan asma adalah untuk mengontrol gejala,
mempertahankan aktivitas sehari-hari, meminimalisir resiko eksaserbasi, batas
aliran udara dan efek samping dari asma.2,6
Berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA), asma termasuk masalah
kesehatan masyarakat utama di seluruh negara di dunia dan tercatat ada 300 juta
orang penderita asma diseluruh dunia dan diperkirakan akan terus meningkat hingga
400 juta pada tahun 2025. Satu dari 250 orang yang meninggal adalah penderita
asmadan sekitar 180.000 kematian pertahun disebabkan oleh penyakit asma dengan
kematian terbanyak pada usia > 45 tahun. 3
Penelitian yang dilakukan oleh Anggia (2005) di RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru didapatkan kelompok umur terbanyak yang menderita asma adalah 25-
34 tahun sebanyak 17 orang (24,29%) dari 70 orang dan perempuan lebih banyak
dari pada laki-laki (52,86%).5 Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini
tidak sepenuhnya diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak
dari data berbagai negara yang menunjukan peningkatan kunjungan ke
gawatdaruratan, rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena asma.1
BAB II
ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : ny. AK
NO RM : 00084xxx
Umur : 49 tahun
Pekerjaan : wiraswata
Tanggal masuk RSUD : 17 Oktober 2021

ANAMNESIS

Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien masuk ke Poliklinik Paru dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari SMRS.
Sesak nafas dirasakan hilang timbul. Sesak nafas disertai bunyi ngik. Sesak nafas
muncul terutama saat pasien kelelahan dan terkena debu. Sesak nafas tidak
disertai dengan nyeri dada. Sesak nafas timbul tiga kali dalam seminggu. Sesak
nafas menganggu aktivitas dan pasien masih dapat tidur telentang dan berbicara
satu kalimat. Pasien mengatakan sesak nafasnya membuatnya terganggu pada
malam hari sehingga membuatnya terbangun saat tidur sebanyak 3 kali dalam
sebulan. Keluhan disertai batuk yang muncul sejak 3 hari SMRS. Batuk dirasakan
hilang timbul tidak berdahak. Demam (-), penurunan nafsu makan (-), penurunan
berat badan (-). Mual – muntah (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat asma sejak 5 tahun yang lalu


- Riwayat alergi debu (+)
-Tidak ada riwayat penggunaan OAT
- Tidak ada riwayat diabetes melitus
- Tidak ada riwayat keganasan

Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah kandung pasien memiliki penyakit asma

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan


- Pasien seorang wiraswta
- Pasien tidak ada kebiasaan merokok
- Riwayat konsumsi alkohol (-)
- Riwayat konsumsi jamu-jamuan (-)
- Pasien mengaku jarang berolahraga
- Ventilasi rumah cukup, pengcahayaan cukup, jarak rumah pasien dengan
rumah tetangga berjauhan

Pemeriksaan Umum
• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : Komposmentis kooperatif
• Tekanan darah : 130/80 mmHg
• Nadi : 97 x/menit
• SpO2 : 98%
• Suhu : 36,8 °C
• Napas : 19x/ menit

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
1. Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, diameter
pupil kiri dan kanan 2 mm , reflek cahaya +/+.
2. Telinga: deformitas daun telinga (-), cairan (-), darah (-)
3. Hidung: nafas cuping hidung (-), cairan (-), darah (-)
4. Mulut : mukosa basah, lidah tidak kotor, bibir sianosis (-)
5. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP 5-2 cmH20
Toraks
Paru:
1. Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri,
penggunaan otot bantu pernafasan (-), retraksi dinding dada (-)
2. Palpasi : Vokal fremitus teraba sama pada paru kanan = kiri
3. Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
4. Auskultasi : Vesikuler (+/+) ,wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung :
1. Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
2. Palpasi : iktus kordis teraba di SIK VI linea midklavikula sinistra
3. Perkusi :
 Batas jantung kanan : Linea parasternalis dekstra
 Batas jantung kiri : Linea midklavikula sinistra
4. Auskultasi: bunyi jantung S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : Perut tampak datar, venektasi (-), scar (-)
- Auskultasi : bising usus (+) 8x/menit
- Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
- Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-).
RESUME
Anamesisr
a. Sesak nafas yang dicetuskan debu rumah dan kelelahan
b. Suara nafas berbunyi “ngik”
c. Sesak sejak 1 minggu memberat 1 hari
d. Sesak muncul 3 kali dalam 1 minggu
e. Sesak malam hari 3x/bulan
f. Mengganggu aktivitas dan tidur
g. Posisi tidur berbaring terlentang
h. Batuk berdahak bewarna putih
i. Riwayat asma sejak 3 tahun yang lalu

Pemeriksaan Fisik

a. SpO2 : 98%
b. RR : 19x/menit
c. Penggunaan otot-otot pernafasan (-)
d. Wheezing (+/+)
DIAGNOSIS KERJA
Asma persisten ringan

RENCANA PENATALAKSANAAN
 Non farmakologis
• Bed rest
• Hindari faktor pencetus

 Farmakologis
• Inhalasi ventolin
• Salbutamol tab 2x 4 m
• Ambroxol tab 2x30
• Metilprednoslon 2x 4 mg
RENCANA PEMERIKSAAN
 Spirometri
 APE
 Kontrol ulang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Berdasarkan Global Initiative For Asthma (GINA) asma adalah penyakit


heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronik yang
ditandai dengan gejala berupa sesak napas, mengi, dada terasa berat, dan batuk
yang timbul secara bervariasi dalam waktu dan intensitas, disertai dengan derajat
obstruksi yang bervariasi.1 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Hiperesponsif jalan napas pada asma
menyebabkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa
berat dan batuk terutama malam dan atau dini hari, gejala bervariasi dan sering
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1,2

3.2 Faktor Risiko

Faktor risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor


pejamu (host faktor) dan faktor lingkungan. Kemungkinan terjadinya interaksi
faktor genetik / pejamu dengan lingkungan dapat dipikirkan melalui2,8 :
a. Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma.
b. Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.
Gambar 3.1. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma

2.2.1 Faktor Pejamu

Asma sebagai penyakit yang diturunkan telah dibuktikan dari berbagai


penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat /
kecenderungan terjadinya asma. Fenotip berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan
ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum)
dan atau keduanya. Adapun faktor pejamu penyakit asma adalah sebagai
berikut2,9:

1. Predisposisi genetik
2. Alergik (atopi)
3. Hiperesponsif jalan napas
4. Jenis kelamin
5. Ras/etnik
6. Obesitas

3.2.2 Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan dibagi menjadi dua yaitu yang mempengaruhi dengan


kecendrungan atau predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, dan yang
menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan menyebabkan gejala menetap1,2.
a. Faktor lingkungan yang mempengaruhi berkembangnya asma pada individu

dengan predisposisi asma2,9


1. Alergen di dalam ruangan  alergen binatang, alergen kecoa, jamur
2. Alergen di luar ruangan  tepung sari bunga, jamur
3. Bahan lingkungan kerja
4. Asap rokok  perokok aktif dan perokok pasif
5. Polusi udara  polusi udara di luar dan di dalam ruangan
6. Infeksi parasit
7. Status sosioekonomi
8. Diet dan obat
b. Faktor lingkungan mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-
gejala asma menetap2,8
1. Alergen di dalam dan di luar ruangan
2. Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
3. Infeksi pernapasan
4. Exercise dan hiperventilasi
5. Perubahan cuaca
6. Sulfur dioksida
7. Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat
8. Ekspresi emosi yang berlebihan
9. Asap rokok
10. Iritan (parfum, bau-bau merangsang, household spray)
3.3 Klasifikasi

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola

keterbatasan aliran udara, namun ada juga yang membagi asma menjadi asma

alergik (ekstrinsik) dan non-alergik (intrinsik), yaitu:10

1. Asma tipe non-atopi (intrinsik/non-alergik)

a. Tidak ada hubungan dengan paparan alergen


b. Serangan timbul setelah dewasa
c. Tidak ada riwayat keluarga yang menderita asma
d. Sering dicetuskan oleh penyakit infeksi
e. Berhubungan dengan pekerjaan atau beban fisik
f. Stimulus psikis dapat berperan untuk menimbulkan serangan asma
g. Perubahan cuaca atau lingkungan yang nonspesifik merupakan keadaan
yang peka terhadap penderita.

2. Asma tipe atopi (ekstrinsik/alergik)

a. Keluhan berhubungan dengan paparan alergen dari lingkungan


b. Uji kulit atau uji provokasi bronkus positif
c. Timbul sejak anak-anak
d. Terdapat riwayat keluarga yang menderita asma
e. Terdapa riwayat eksim pada waktu bayi
f. Sering mengalami rinitis
g. Penyebab tersering di Inggris adalah Hous Dust Mite, sedangkan di
Amerika Serikat tepungsari bunga.

Klasifikasi pada asma baik saat serangan akut maupun berdasarkan berat
penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka
panjang, karena semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Pada
umumnya penderita sudah dalam pengobatan dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Penilaian berat asma pada penderita dalam
pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.2
Gejala Berat Serangan Akut Keadaan
danTanda Ringan Sedang Berat Mengancam jiwa
Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat -
Posisi Dapat tidur Duduk Duduk -
terlentang membungkuk
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa Kata demi kata -
kata
Kesadaran Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah,
gelisah kesadaran menurun

Frekuensi napas <20 kali/menit 20-30 >30 kali/menit -


kali/menit
Nadi <100 100–120 >120 kali/menit Bradikardia
kali/menit kali/menit
Pulsus paradoksus -10 mmHg +/-10–20 + >25 mmHg -
mmHg
Otot Bantu Napas - + + Kelelahan otot
dan retraksi Torakoabdominal
suprasternal paradoksal
Mengi Akhir ekspirasi Akhir Inspirasi dan Silent Chest
paksa ekspirasi ekspirasi

APE >80% 60–80% <60% -


Tabel 2.3.1 Klasifikasi asma dalam serangan akut

Derajat Gejala Gejala Faal paru


Asma Malam
I. Bulanan ≤ 2 kali sebulan APE ≥80%
Intermiten * Gejala <1x/minggu * VEP1 ≥80% nilai prediksi
* Tanpa gejala di APE ≥80% nilai terbaik
luar serangan
* Variabiliti APE <20%
* Serangan singkat

II. Persisten Mingguan > 2 kali sebulan APE > 80%


Ringan * Gejala >1x/minggu, * VEP1 ≥ 80% nilai
tetapi < 1x/hari prediksi APE ≥ 80% nilai
* Serangan dapat terbaik
mengganggu aktivitas * Variabiliti APE 20-30%
dan tidur

III. Harian > 1x / seminggu APE 60 – 80%


Persisten * Gejala setiap hari * VEP1 60-80% nilai prediksi
Sedang * Serangan mengganggu APE 60-80% nilaiterbaik
aktiviti dan tidur
* Variabiliti APE >30%
* Membutuhkan
bronkodilator setiap
hari
IV. Kontinyu Sering APE ≤ 60%
Persisten * Gejala terus menerus * VEP1≤60% nilai prediksi
Berat * Sering kambuh APE ≤60% nilai terbaik
Aktiviti fisik terbatas * Variabiliti APE >30%

Tabel 3.3.2 Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum Pengobatan)
Menurut Global Initiative For Asthma (GINA) 2017, klasifikasi asma
dibagi menjadi asma terkontrol, terkontrol sebagian dan tidak terkontrol.
Klasifikasi asma menurut GINA dapat dilihat pada Tabel 2.4.3 berikut:1

Karakteristik (dalam Asma terkontrol Asma terkontrol Asma tidak terkontrol


waktu 1 bulan terakhir) sebagian

Gejala di siang hari Tidak ada 1-2x/minggu 3-4x/minggu

Aktivitas yang terbatas Tidak ada Ada 1-2x Ada 3-4x

Gejala pada malam hari Tidak ada Ada 1-2x Ada 3-4x

Membutuhkan obat Tidak ada 1-2x/minggu 3-4x/minggu


pelega

Tabel 3.3.3 Klasifikasi asma menurut GINA 20171

3.4 Patofisiologi

Asma merupakan proses inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


peran sel – sel inflamasi seperti sel mast, sel limfosit T, eosinofil, makrofag,
neutrofil dan sel epitel. Inflamasi pada penderita asma disebabkan oleh faktor
lingkungan dan berbagai faktor lain. Mediator inflamasi dari sel mast yang
berikatan dengan IgE akan diekskresikan jika pejamu tepapar alergen. Pada reaksi
asma tipe cepat, degranulasi akan terjadi pada sel mast, mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin, protease, dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot
polos bronkus, sekresi mukus, dan vasodilatasi.2,7

Reaksi yang timbul antara 6 – 9 jam setelah provokasi allergen adalah


reaksi fase lambat. Reaksi ini melibatkan limfosit T, eosinofil, sel T CD4+,
neutrofil, dan makrofag. Inflamasi kronik melibatkan sel limfosit T, eosinofil,
makofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus. Limfosit T ini
berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF.2
Pada penderita asma bronkial karena saluran napasnya hiperresponsif
terhadap adanya partikel udara, jalan napas (bronkus) memberi reaksi yang sangat
berlebihan (hiperreaktif) sebelum partikel keluar dari jalan napas tersebut, maka
terjadilah keadaan2,8:
• Otot polos saluran napas akan berkontraksi / memendek / mengkerut.
• Produksi kelenjar mukus yang berlebihan.
• Bila ada infeksi akan terjadi reaksi edema/pembengkakan dalam saluran
napas.

Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas.
Akibatnya menjadi sesak napas, batuk-batuk karena saluran napas mulai berusaha
untuk membersihkan diri, keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar
suara napas yang berbunyi yang timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran
napas yang sempit. Suara napas tersebut dapat sampai terdengar keras terutama
saat mengeluarkan napas (ekspirasi).2,8

Proses inflamasi kronik yang terjadi pada asma akan menimbulkan


kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan
yang menghasilkan perbaikan dan pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel
baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan
yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang
rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan skar. Pada asma, kedua
proses tersebut berkontribusi yang menghasilkan perubahan struktur saluran napas
dengan nama airway remodeling. Secara ringkas, patofisiologi asma dapat
dijelaskan melalui bagan berikut1,2 :
Diagnosis

Diagnosis asma didasari oleh gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa
berat di dada yang bersifat episodik dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sangat berarti dalam menegakkan
diagnosis asma.1,2,9

2.5.1 Anamnesis
Riwayat Penyakit / Gejala
a. Bersifat episodik, adalah serangan berulang ( hilang timbul ) yang
diantaranya terdapat periode bebas serangan
b. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
c. Gejala timbul / memburuk terutama malam / dinihari
d. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
e. Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal – hal yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
a. Riwayat keluarga (atopi)
b. Riwayat alergi /atopi
c. Penyakit lain yang memberatkan
d. Perkembangan penyakit dan pengobatan
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada asma bervariasi dari normal pada saat stabil ( tidak
eksaserbasi), sampai didapatkan gambaran klinis yang berat yaitu pada
eksaserbasi akut berat. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan
adalah mengi pada auskultasi, yang merupakan tanda terdapatnya obstruksi jalan
nafas. Wheezing pada umumnya bilateral, polifonik dan lebih terdengar pada fase
ekspirasi.2,8

Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik dapat tidak terdengar mengi atau
hanya terdengar jika melakukan ekspirasi paksa. Hal itu menunjukkan obstruksi
jalan nafas yang tidak berat, sehingga intensitas bunyi nafas tambahan tersebut
(mengi) tidak keras, nada tidak tinggi dan hanya terdengar pada 1 fase pernafasan
(ekspirasi). Semakin berat obstruksi jalan nafas semakin tinggi nadanya dan
semakin keras intensitasnya dan terdengar pada kedua fase pernafasan ( inspirasi
dan ekspirasi). Pada obstruksi jalan nafas yang sangat berat mengi tidak terdengar
dan pasien tanpak gelisah bahkan kesadaran menurun serta sianosis. Kondisi
tersebut dikenal dengan silent chest.2,9

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Spirometri

Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa


(VKP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) Pemeriksaan itu
sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai
rasio VEP1/ KVP< 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.2,9
b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Pemeriksaan ini dapat menggunakan spirometri atau dengan alat peak
expiratory flow meter (PEF). Alat PEF ini dapat digunakan di rumah untuk
memantau kondisi asma pasien dan menilai reversibilitas dan variabilitas
asma.2
c. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus sebaiknya dilakukan pada penderita dengan
gejala asma dan faal paru normal. Uji ini mempunyai sensitivitas yang
tinggi tetapi spesifisitasnya rendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu
berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat ditemukan pada
penyakit lain seperti rinitis alergika, PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis
kistik.2
d. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi dalam asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan
uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut dapat membantu
untuk mengetahui faktor pencetus.2,10
e. Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain.
Pada serangan asma ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan.2
f. Darah Rutin
Pada asma, eosinofil total akan meningkat di dalam darah.2
g. Analisa Gas Darah
Pemeriksaan analisa gas darah dilakukan pada pasien asma yang sangat
berat dan ditemukan hiperkapnia dengan PaCO2> 45 mmHg, hipoksemia
dan asidosis respiratorik.2,8

3.6 Diagnosis Banding

Diagnosis pada asma antara lain sebagai berikut2,8,9:


a. Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan
sputum 3 bulan dalam setahun untuk setidaknya 2 tahun. Gejala dimulai
dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengi dan menurunkan
kemampuan jasmani.
b. Gagal jantung kiri
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardia dan timbul pada
malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Pasien tiba-tiba
terbangun malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau
berkurang bila duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan
edem paru.
c. Emfisema paru
Sesak nafas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertai.
d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung.
Disamping gejala sesak napas, pasien batuk disertai darah (haemaptoe).

3.7 Penatalaksanaan

Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah untuk meningkatkan dan


mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.10-12
Tujuan dari penatalaksanaan asma2 :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise

5. Menghindari efek samping obat

6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara ireversibel

7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksaan asma terdiri dari non farmakologi dan farmakologi.


Penatalaksanaan non farmakologi terdiri dari2,11:
2.7.1 Penatalaksaan non farmakologi :
Edukasi kepada penderita/ keluarga bertujuan untuk:
- Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan
pola penyakit asma sendiri)
- Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma)
- Meningkatkan kepuasan
- Meningkatkan rasa percaya diri
- Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri.
- Menghindari faktor pencetus
-
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan tetapi
sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Sehingga
identifikasi faktor pencetus layak dilakukan dengan berbagai pertanyaan
mengenai beberapa hal yang dapat sebagai pencetus serangan. Pada tabel 2.7.1
dapat dilihat daftar pertanyaan untuk mengetahui faktor pencetus.2

Tabel 2.7.2 Sediaan dan dosis obat pengontrol asma


1. Bronkodilator (Pelega)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan nafas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat didada dan batuk, tetapi tidak memperbaiki
inflamasi jalan nafas atau menurunkan hiperesponsif jalan nafas.2,11,12
a. β2 agonis kerja singkat
Obat yang termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol,
dan prokaterol, mempunyai waktu kerja yang cepat. Formaterol mempunyai onset
yang cepat dan durasi lama. Pemberian ini dapat secara inhalasi atau oral.Obat ini
merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai
praterapi pada exercise-induced asthma.2,12
b. Kortikosteroid sistemik
Dapat diberikan melalui oral atau parenteral. Obat ini biasanya digunakan
pada asma persisten berat setiap hari atau selang sehari. Steroid sistemik
digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain telah
optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan
bronkodilator lain. 2,12
c. Antikolinergik
Mekanisme kerja antikolinergik memblok efek penglepasan asetilkolin
dari saraf kolinergik pada jalan napas. Pemberiannya secara inhalasi. Efeknya
lama, membutuhkan 30-60 menit untuki mencapai efek maksimum. 2,12
d. Metilstatin
Amiofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala
walau disadari onsetnya lebih lama daripada antagonis beta-2 kerja singkat.2,12
e. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat apabila
tidak tersedia β2 agonis. 2,12
Tabel 2.7.3 Sediaan dan dosis obat pelega untuk mengatasi gejala

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan,
tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi pengontrol harian Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
Asma Tidak perlu ---- -----
Intermiten
Asma Glukokortikosteroid  Teofilin lepas lambat -----
Persisten inhalasi  Kromolin
Ringan (200-400 ug BD/hari  Leukotrienemodifiers
atau ekivalennya)
Asma Kombinasi inhalasi  Glukokortikosteroid  Ditambah
Persisten glukokortikosteroid (400-800 inhalasi (400-800 ug BD agonis beta-
Sedang ug BD/hari atau ekivalennya) atau ekivalennya) 2 kerja lama
dan agonis beta-2 kerja lama ditambah Teofilin lepas oral,atau
lambat,atau
 Glukokortikosteroid  Ditambah
inhalasi (400-800 ug BD teofilin lepas
atau ekivalennya) lambat
ditambah agonis beta-2
kerja lama oral,atau
 Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya)atau
Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug BD
atau ekivalennya)
ditambah
leukotrienemodifiers
Asma Kombinasi Prednisolon/
Persisten inhalasiglukokortikosteroid metilprednisolon oral
Berat (> 800 ug BD selang sehari 10 mg
atauekivalennya) dan ditambah agonis beta-2
agonis beta-2 kerja lama, kerja lama oral,
ditambah  1 di bawah ditambah teofilin lepas
ini: lambat
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3
bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin
dengan kondisi asma tetap terkontrol
2.7.4 Tabel Pengobatan sesuai berat asma

Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit

Kondisi di Indonesia dengan fasilitas layanan medis yang sangat bervariasi


akan mempengaruhi bagaimana penatalaksanaan asma saat serangan akut terjadi.
Serangan yang ringan sampai sedang relatif dapat ditangani di fasilitas layanan
medis sederhana, bahkan serangan ringan dapat diatasi dirumah. Namun, serangan
sedang dan berat sebaiknya dilakukan dirumah sakit mengingat mortalitas akibat
serangan asma sedang berat yang tak tertolong sangat tinggi. Berikut ini algoritma
pentalaksanaan serangan asma di rumah sakit :2,11,12
Algoritma penatalaksanaan serangan asma di rumah sakit
3.10 Pencegahan

Upaya pencegahan dapat dibedakan menjadi 3 yaitu8,10 :


1. Pencegahan primer
Ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi risiko asma dengan cara:
a. mengindari asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak.
b. Pemberian ASI ekslusif sampai usia 6 bulan
c. Diet hipoalergik ibu menyusui.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak
berkembang menjadi asma. Ditujukan untuk mencegah inflamasi yang telah
tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta alergen
dalam ruangan.
3. Pencegahan tersier
Menghindari pajanan pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan
menurunkan kebutuhan pengobatan.
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien merasakan sesak nafas yang dapat disebabkan oleh penyempitan


saluran nafas karena adanya faktor pencetus dari lingkungan. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan pada auskultasi dapat berupa wheezing pada kedua lapangan paru
apabila terjadi serangan akut asma. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari
sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan
nafas dan dibawah membran basal sehingga menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berupa mengi, sesak
nafas, dan batuk –batuk pada malam hari dan atau dini hari.1,2
Diagnosa pada pasien ini adalah asma persisten ringan. Hal ini berkaitan
dengan keluhan serangan sesak nafas pada pasien dengan riwayat asma. Pada
anamnesis, pasien mengeluhkan dalam seminggu ini sesak nafas 3 kali dalam
seminggu dengan bunyi “ngik” dan 3 kali untuk serangan malam. Sesak
mengganggu aktivitas, dan mengganggu tidur malam. Gambaran klinis tersebut
sesuai dengan gambaran klinis derajat asma serangan ringan. Pada pasien ini
ditemukan hasil radiologi yang normal. Pada ilustrasi laporan kasus ini gejala
khas tersebut ditemukan pada pasien yang tercakup dalam anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 2,10

Pada pasien ini diberikan tatalaksana non-farmakologi dan farmakologi.


Tatalaksana non-farmakologi pada pasien ini adalah bedrest dan edukasi untuk
hindari faktor pencetus. Tatalaksana farmakologi pada pasien ini adalah terapi
kombinasi inhalasi steroid dan brokodilator long acting ß2 agonis kerja cepat
yaitu budesonide dan formoterol. Penggunaan kombinasi long-acting β2-agonis
kerja cepat (formoterol) dan inhalasi glucocorticosteroid (budesonide) dalam satu
inhaler sebagai pengontrol dan pelega efektif dalam mempertahankan tingkat
kontrol asma yang tinggi dan mengurangi eksaserbasi. Budesonide dan
Formoterol bekerja secepat dan seefektif SABA (short acting beta 2 agonist)
dalam menimbulkan efek bronkodilatasi.13 Pada pasien asma di butuhkan
parameter objektif untuk menilai berat asma dengan mengukur faal paru
menggunakan spirometri. Pada spirometri digunakan untuk mencari volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP).8,9
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat
mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penangan asma sehari-
hari yang kurang tepat. Penanganan asma ditekankan pada penanganan jangka
panjang, dengan tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan gejala
dengan memberikan penangan yang tepat. Terapi asma pada saat serangan
meliputi beberapa hal diantaranya yaitu menjaga saturasi oksigen arteri tetap
adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi jalan napas dengan
bronkodilator inhalasi kerja cepat (2-agonis dan antikolinergik) dan mengurangi
inflamasi saluran napas serta mencegah kekambuhan dengan pemberian
kortikosteroid sistemik yang lebih awal.
Penilaian berat serangan asma merupakan langkah pertama dalam
penanganan serangan akut. Langkah selanjutnya adalah memberikan pengobatan
yang tepat sesuai algoritma tatalaksana serangan asma di rumah sakit, kemudian
selanjutnya menilai respon pengobatan dan memberikan tindakan apa yang
sebaiknya diberikan pada penderita (pulang, dirawat atau dirawat di ICU).1
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. 2017. Available on www.ginasthma.org

2. Perhimpunan dokter paru Indonesia (PDPI) 2011. Asma (Pedoman Diagnosis


& penatalaksanaan asma di Indonesia). Jakarta : 2011 : 3-80.

3. Centers for Disease Control and Pervention (CDC) : Respiratory and Allergies
: Asthma. 2015. Available on : https://www.cdc.gov/nchs/fastats/asthma.htm

4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013.


Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. J-akarta: Bakti Husada;
2013.

5. Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru. Profil Kesehatan Kota Pekanbaru Tahun


2015. Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru; 2016. 23.

6. Reviona D, Munir SM, Azrin M. Penilaian Derajat Asma Dengan


Menggunakan Asthma Control Test (ACT) Pada Pasien Asma Yang
Mengikuti Senam Asma di Pekanbaru. 2014;1(2):1–13.

7. Sullivan, Hunt, John Mac Sharry. The Microbiome and the Pathophysiology
of Asthma. 2016. Available on https://respiratory-
research.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12931-016-0479-4.

8. WebMD. Astham Prevention. 2017. Available on


https://www.webmd.com/asthma/guide/asthma-prevention.

9. Zab Mosenifar, MD, FACP, FCCP. Asthma Guidelines. 2017. Available on


https://emedicine.medscape.com/article/296301-guidelines.

10. Cut Yulia Indah Sari. Inflamasi Alergi pada Asma. PPDS I Pulmonologi dan
Ilmu Kedokt Respirasi. 2013;40(8):585–8.

11. Fitri R, Priyanto H, Rinanda T, Kedokteran F, Syiah U, Mikrobiologi B, et al.


Kepatuhan Pengobatan Asma dengan Kualitas Hidup pada Pasien Asma
Persisten. J Respirologi Indones. 2016;36(3):130–7.
12. Prihartanto D. Pilihan Pengobatan pada Serangan Asma. CDK-242.
2016;43(7):541–3

13. Syafiuddin T. Perbaikan Kualiti Hidup Penderita Asma dengan Pengobatan


Inhalasi Kombinasi Steroid dan ß2 Agonis Kerja Lama. 2007.
(http://www.klikpdpi.com/jurnal-warta/ dikutip Oktober 2020).

Anda mungkin juga menyukai