Anda di halaman 1dari 22

NAMA : JAKA SAPUTRA

NIM : 2120600017

UTS STUDI QUR’AN

1. JURNAL UIN SUNAN KALIJAGA : MENGKAJI NILAI SALAM DALAM

AL-QUR’AN

Salam adalah sesuatu yang bernilai tinggi dalam Islam. Hal itu dapat dilihat dari

beberapa ayat al-Qur’an yang berbicara tentang hal tersebut. Tetapi yang terjadi kini

di kalangan umat Islam Indonesia, sebaliknya. Ternyata salam tersebar luas di kalangan

masyarakat bawah. Hal tersebut menimbulkan kesan bahwa salam adalah milik orang

rendahan dan kalangan masyarakat bawah. Akibat yang muncul dari perilaku tersebut

menyebabkan sebagian orang Islam malu mengucapkan salam, seakan tidak mau disebut

orang kampungan.

Kalangan peminta-minta pun lebih yakin menjadikan salam sebagai sarana komunikasi

mereka dalam meminta kepada objek sasaran, karena salam sebagai simbol agama akan

lebih menggugah hati orang yang diminta untuk memberikan shadaqah dibandingkan

memakai simbol lain, seperti “Selamat pagi” atau “Helo pak”.

Karena salam disebarluaskan oleh kalangan masyarakat bawah, baik peminta-

minta jalanan maupun yang datang ke rumah-rumah, menimbulkan kesan bahwa setiap

ada orang yang mengucapkan salam seolah-olah dianggap ada orang yang sedang

meminta-minta shadaqah. Sampai-sampai ada kasus seseorang mertua datang dari


kampung mengucapkan salam ke rumah menantunya, tidak ada di antara penghuni

rumah yang menjawab.

Mengkaji Nilai Salam dalam al-Qur’an

Pengertian Salam

Secara terminologi kata salam berasal dari bahasa Arab artinya salam sejahtera, damai,

salam hormat seperti sampaikan salam saya kepadanya.3 Pengertian salam dalam al-

Qur’an bermakna keselamatan atau jalan keselamatan,4 juga dimaknai perdamaian,

menyerah diri dan tunduk,5 yang terbanyak di antaranya bermakna mengucapkan salam

keselamatan.6

Dengan demikian, pengertian salam yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia dan

yang disebutkan dalam al-Qur’an sama-sama bermakna salam sejahtera, salam

perdamaian, salam kehormatan, yang berbeda dalam Kamus Bahasa Indonesia tidak ada

makna menyerah diri dan tunduk sementara dalam al-Qur’an ditemukan kedua hal itu.

Klasifikasi Ayat-Ayat Salam Dalam al-Qur’an

Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat tentang salam, di antaranya yang dipergunakan Allah

untuk perdamaian bagi yang menyerah dalam peperangan, mengucapkan selamat kepada

para Rasul-Nya, ucapan selamat kepada penduduk surga, dan dalam hadits-hadits Nabi

terdapat perintah menyembarkan salam di kalangan umat Islam.


Kata salam dalam al-Qur’an di dalam berbagai bentuknya terdapat sebanyak 45

ayat.7Jika diklasifikasikan terbagi kepadaempat kata; 1) bentuk kata al-salama dalam

empat ayat yaitu, Q.S. an-Nisaa’, 4: 90-91; Q.S. an-Nahl, 16: 28; Q.S. an-Nahl,

16:87. Dari empat ayat di atas dapat diketahui bahwa makna al-salama adalah

perdamaian, menyerah diri, dan tunduk.

Bentuk kata salaamu, al-salaamu dan salaamun sebanyak 34 ayat, dua ayat di antaranya

dipakai untuk menyebut surge darul salaam (Q.S. al-An’am, 6: 127 dan Q.S. Yunus, 10:

25) satu ayat untuk menyebutkan jalan keselamatan (Q.S. al-Maidah, 5: 16) satu

ayat lagi untuk menyebut nama Allah yang bersifat al-salaam yakni Maha Memberi

keselamatan (Q.S. al-Hasyr, 59: 23) selebihnya dipakai untuk mengucapkan salam

keselamatan.

Di antara ayat-ayat yang mengucapkan salam keselamatan itu, dipergunakan Allah

mengucapkan selamat kepada para Rasul- Nya, antara lain, sebagai berikut; Ketika

Maryam bersandar ke pohon kurma menahan sakit menjelang persalinan, Malaikat Jibril

datang menghiburnya “Goyangkan pangkal pohon kurma itu ke arahmu, makan, minum

dan senangkanlah hatimu”. Kalau ada yang datang katakan: “Aku bernazar tidak

bicara”. Ketika kaumnya melihat bayi digendongnya mereka menuduhnya telah

berbuat zina, tetapi Maryam terdiam seribu bahasa sambil menunjuk bayinya. Maka

ketika itu berbicaralah sang bayi menjelaskan jati dirinya dan berdo’a: “Salam sejahtera

(semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku dan hari ketika aku

hidup dibangkitkan kembali“ (Q.S. Maryam, 19: 33).

Ketika Allah mengabulkan permohonan nabi Nuh a.s. agar menyelamatkannya dan

pengikutnya dari bencana besar dan menenggelamkan orang lain (kafir) ketika dunia
banjir besar. Maka Allah mengucapkan salam kepada nabi Nuh setelah selamat dari

bencana besar itu sebagai pujian yang


baik kepada-Nya untuk diabadikan bagi orang-orang yang datang kemudian; “Salam

kesejahteraan dilimpahkan kepada Nuh di seluruh alam”. “Demikianlah Kami

memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. Selanjutnya Allah

memuji nabi Nuh a.s. “Sesungguhnya dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang

beriman kemudian Kami tenggelamkan yang lain” (Q.S. ash-Shaaffaat, 37: 79-82).

Ketika nabi Ibrahim membenarkan mimpinya, dia dan anaknya Isma’il pasrah dan

berserah diri kepada Allah, Ibrahim membaringkan anaknya, ketika akan

menyembelih anaknya, Allah ganti dengan seekor Kibas, sungguh yang demikian itu suatu

ujian yang berat. Maka Allah mengucapkan selamat kepada nabi Ibrahim setelah dapat

melaksanakan uijian yang berat itu sebagai pujian yang baik kepada-Nya untuk

diabadikan bagi orang-orang yang datang kemudian; “Salam kesejahteraan dilimpahkan

atas Ibrahim”.“Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang

berbuat baik”. Selanjutnya Allah Ta’ala memuji nabi Ibrahim a.s. “Sesungguhnya dia

termasuk di antara hamba-hamba Kami yang beriman” (Q.S. ash-Shaaffaat, 37: 109-

111).

Ketika Allah menyelamatkan nabi Musa, Harun dan kaumnya dari bencana besar (tidak

ditenggelamkan Allah di laut merah). Maka Allah mengucapkan selamat kepada

keduanya setelah selamat dari bencana besar itu sebagai pujian yang baik kepada

kedua-Nya untuk diabadikan bagi orang-orang yang datang kemudian; “Salam

kesejahteraan dilimpahkan atas Musa dan Harun”. Selanjutnya Allah memuji keduanya

“Sesungguhnya keduanya termasuk di antara hamba-hamba Kami yang beriman” (Q.S.

ash-Shaaffaat, 37: 120-122). Seperti itulah halnya kepada nabi Il-Yaasin, ketika dia sukses

dalam tugasnya maka Allah mengucapkan selamat kepadanya. “Salam sejahtera atas

Il-Yaasin, sesungguhnya
Nilai Salam dalam al-Qur’an

Berikut ini akan dikaji nilai salam dalam al-Qur’an dari ayat-ayat yang bermakna

mengucapkan salam keselamatan, lebih khusus akan dibahas beberapa ayat yang

sudah dikemukakan di atas dengan memakai dua tafsir, yaitu tafsir al-Azhar dan tafsir al-

Mishbah sebagai berikut;

Salam Kesejahteraan Kepada Maryam “Dan salam kesejahteraan semoga dilimpahkan

kepadaku pada hari aku dilahirkan pada hari aku meninggal dan pada hari aku

dibangkitkan hidup kembali” (Q.S. Maryam, 19: 33).

Hamka menjelaskan bahwa nabi Isa al-Masih bermohon kepada Allah agar diselamatkan

dalam tiga pergantian hidup; yaitu (1) hari dia mulai hidup di dunia, (2) hidup di alam

kubur sesudah mati, dan (3) hidup di hari kiamat sewaktu dibangkitkan Allah kembali.8

Hamka tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa nabi Isa memohon keselamatan pada tiga

pergantian hidup tersebut.

M. Quraish Shihab menjelaskan lebih lanjut bahwa salam sejahtera semoga tercurah atas

diriku serta terhindar dari segala bencana dan kekurangan pada hari aku dilahirkan dan

pada hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan kembali pada padang mahsyar

kelak. 9 Karena pada tiga tempat tersebut adalah tempat penting lagi genting dalam

kehidupan manusia. Saat kelahiran, jika lahirnya cacat maka kehidupannya di dunia

akan terganggu. Saat kematian, jika kematiannya meninggalkan dunia kurang atau

tidak ada amal kebajikan maka kesengsaraan hidup akan menyertainya di


alam barzah, dan perlunya keselamatan di padang mahsyar agar terhindar dari

rasa malu dan takut yang mencekam.10

Dari dua penafsiran di atas dapat diketahui bahwa salam kesejahteraan pada tiga tempat

pergantian hidup adalah do’a nabi Isa al-Masih kepada Allah. Jadi nabi Isa bermohon

kepada Allah agar segala salam kesejahteraan dan kedamaian semoga tercurah

kepadanya pada tiga tempat tersebut. Hal ini menjadi permintaan semua orang. Maka

nilai salam dalam ayat tersebut sangat tinggi karena nabi Isa sebagai seorang Nabi yang

memohon kepada Allah. Demikian juga hendaknya semua kaum muslimin selamat pada

tiga tempat tersebut.

Salam Kesejahteraan kepada nabi Nuh “Salam kesejahteraan dilimpahkan kepada

Nuh di seluruh alam”. “Demikianlah Kami memberikan balasan kepada

orang-orang yang berbuat baik”. Selanjutnya Allah memuji nabi Nuh a.s.

“Sesungguhnya dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang beriman kemudian

Kami tenggelamkan yang lain” (Q.S. Ash- Shaaffaat, 37: 79-82).

Hamka menjelaskan bahwa ayat di atas adalah lanjutan kisah dari ayat sebelumnya pada

saat nabi Nuh memohon kepada Allah menghancurkan orang-orang kafir kecuali hamba-

hamba Allah yang tidak berdosa maka tidak dikaramkan. Maka ayat di atas, Allah

mengucapkan selamat dan penghargaan yang sangat tinggi kepada nabi Nuh yang telah

dengan gigih dan tabah dengan usia panjang menyampaikan peringatan Allah kepada

kaumnya.11
M. Quraish Shihab menyatakan selamat atas nabi Nuh adalah keterhindaran dari segala

yang tercela dan berbahaya atau hal-hal yang tidak menyenangkan dan menakutkan

seseorang pada tempat tertentu. Penggunaan kata nakirah pada salam yakni tidak

memakai alif dan lam untuk menggambarkan betapa besar dan banyaknya keselamatan

dan kedamaian yang diterima nabi Nuh. Karena nabi Nuh-lah orang pertama yang

bangkit mengajarkan tauhid dan menumpas kemusyrikan dalam waktu yang lebih

kurang seribu tahun.12 Dalam hal ini Allah mengucapkan selamat kepada nabi Nuh atas

jasanya yang sangat besar di bidang dakwah tauhid.

Salam Kesejahteraan kepada nabi Ibrahim “Salam kesejahteraan dilimpahkan atas

Ibrahim”. “Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang- orang yang berbuat

baik”. Selanjutnya Allah memuji nabi Ibrahim a.s. “Sesungguhnya dia termasuk di

antara hamba-hamba Kami yang beriman” (Q.S. ash-Shaaffaat, 37: 109-111).

2. JURNAL IAIN KEDIRI : MODERASI BERAGAMA

Islam telah menjadi kajian yang menarik banyak minat para peneliti untuk

dikaji lebih dalam lagi. Studi Islam pun makin berkembang. Islam tidak lagi

dipahami dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena

yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal

tentang bagaimana seseorang memaknai kehidupan nya. Islam telah menjadi

sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian dari

perkembangan dunia. Mengakaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin

hanya dari satu aspek,tetapi dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.


Di dunia Islam sendiri pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam mengkaji

keislaman sudah mulai berkembang ke ilmu modern. Islam tidak lagi dipahami

hanya dengan instrument kajian tradisional, yakni mengkaji islam dari segi

doktrinialnya saja.

Selain itu ada beberapa masalah yang berkaitan dengan agam terkadang ekspresi

agama diperankan oleh pemeluknya secara radikal. Agama dipahami secara

harfiah atau tekstual. Akibatnya, agama diekspresikan sesuai teks apa adanya

tanpa dilakukan interpretasi atau tafsir secara holistik. Secara ekstrim,

pemahaman agama yang radikal ketika dibawa ke ruang politik maka ia

dipastikan akan mengabaikan nilai-nilai inklusif yang egaliter dan demokratis.

Dengan begitu, perbenturan menjadi tak terhidarkan dengan aliran politik lain

yang berbeda. Tentu saja implikasinya adalah kehancuran kebalikan dari

kedamaian.
Oleh karena itu, moderasi beragama menjadi penting. Pemeluk agama harus

melakukan interpretasi terhadap teks suci. Setiap teks dipastikan memiliki

konteks yang tidak serta merta dipahami secara leterlek berdasarkan teks

yang harfiah. Penggalian terhadap teks suci dengan interpretasi yang

holistik akan melahirkan pemaknaan yang universal sesuai dengan konteks.

Interpretasi akan menghasilkan konsep-konsep yang operasional untuk

diaktualisasikan dalam konteks kehidupan. Sejumlah pemuka agama telah

sering mengumandangkan arahan moderasi dalam beragama. Sudah banyak

rujukan tentang konsep-konsep moderasi beragama beserta aktualisasinya.

Penguatannya kemudian adalah di tataran aktualisasi atau implementasi.

A. Moderasi Beragama dalam Lembaga Pendidikan Islam

Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah. Dalam

Alquran merupakan kata yang terekam dari al-Qur’an surat al Baqarah

ayat: 143. Kata al-Wasath dalam ayat tersebut, bermakana terbaik dan

paling sempurna.Dalam hadis yang sangat populer juga disebutkan bahwa

sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah-tengah.Dalam artian

melihat dan menyelesaikan satu persoalan, Islam moderat mencoba

melakukan pendekatan kompromi dan berada di tengah-tengah, begitu pula

dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun

mazhab. Islam moderat selalu mengedepankan sikap toleransi, saling


menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing

agama dan mazhab.Sehingga semua dapat menerima keputusan dengan

kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis [11, pp. 230-

231].

Hashim Kamali, menegaskan bahwa moderate, tidak dapat dilepaskan dari

dua kata kunci lainnya, yakni berimbang (balance), dan adil (justice).

Moderat bukan berarti kita kompromi dengan prinsipprinsip pokok

(ushuliyah) ajaran agama yang diyakini demi bersikap toleran kepada umat

agama lain; moderat berarti “… confidence, right balancing, and

justice…”[12, p. 14] Tanpa keseimbangan dan keadilan seruan moderasi

beragama akan menjadi tidak efekti. Dengan demikian, moderat berarti

masing-masing tidak boleh ekstrem di masing-masing sisi

pandangnya.Keduanya harus mendekat dan mencari titik temu.


Selama ekstremitas ada di salah satu sisi, dan moderasi beragama

tidak hadir, maka intoleransi dan konflik keagamaan tetap akan menjadi

“bara dalam sekam”, yang setiap saat bisa melesak, apalagi jika disulut

dengan sumbu politik. Sebab, seperti ditegaskan Kamali: “moderation is

about pulling together the disparate centers than want to find a proper

balance wherein people of different cultures, religions and politics listen

to each other and learn how to work out their differences“[12, p. 15].

Moderasi adalah ajaran inti agama Islam.Islam moderat adalah paham

keagamaan yang sangat relevan dalam konteks keberagaman dalam segala

aspek, baik agama, adat istiadat, suku dan bangsa itu sendiri. Tak pelak

lagi, ragam pemahaman keagamaan adalah sebuah fakta sejarah dalam

Islam. Keragaman tersebut, salah satunya, disebabkan oleh dialektika

antara teks dan realitas itu sendiri, dan cara pandang terhadap posisi akal

dan wahyu dalam menyelesaikan satu masalah. Konsekuensi logis dari

kenyataan tersebut adalah munculnya terma-terma yang mengikut di

belakang kata Islam. Sebut misalnya, Islam Fundamental, Islam Liberal,

Islam Progresif, Islam Moderat, dan masih banyak label yanglain. Di

dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menunjukkan misi agama

Islam, karakteristik ajaran Islam, dan karakteristik umat Islam. Misi agama

ini adalah sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin), QS.al-

Anbiya’: 107. Adapun karakteristik ajaran Islam adalah agama yang

sesuai dengan kemanusiaan (fitrah), QS.al-Rûm: 30, sedangkan


karakteristik umat Islam adalah umat yang moderat (ummatan

wasatan), QS. Al-Baqarah:

143. Di samping itu, terdapat pula ayat yang memerintahkan agar umat

Islam berpihak kepada kebenaran (hanîf), QS.al-Rûm: 30, serta

menegakkan keadilan (QS. al-Maidah: 8) dan kebaikan agar menjadi umat

terbaik (khair ummah), QS. Ali ‘Imrân: 110. Ayat-ayat tersebut

memperkuat perlunya beragama dengan sikap moderat (tawassuth) yang

digambarkan sebagai umatan wasathan, sehingga pada saat ini banyak

ulama mempromosikan konsep moderasi Islam (wasathiyyah al-Islâm).

Memang ada juga kelompok-kelompok Islam yang tidak setuju dengan

konsep moderasi ini, karena ia dianggap menjual agama kepada pihak lain.

Salah satu di antara ulama yang banyak menguraikan tentang moderasi

adalah Yusuf al- Qaradhawi. Dia adalah seorang tokoh ikhwan moderat

dan sangat kritis terhadap pemikiran Sayyid Quthb, yang dianggap

menginspirasi munculnya radikalisme dan ektrimisme serta paham yang

menuduh kelompok lain sebagai thâghût atau kafir takfiri. Dia pun

mengungkapkan bahwa rambu- rambu moderasi ini, antara lain: (1)

pemahaman Islam secara komprehensif, (2) keseimbangan antara

ketetapan syari’ah dan perubahan zaman, (3) dukungan kepada kedamaian

dan penghormatan nilai-nilai kemanusiaan, (4) pengakuan akan pluralitas

agama, budaya dan politik, dan (5) pengakuan terhadap hak-hak minoritas.

Karena moderasi ini menekankan pada sikap, maka bentuk moderasi


ini pun bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, karena

pihak-pihak yang berhadapan dan persoalan- persoalan yang dihadapi

tidak sama antara di satu negara dengan lainnya. Di negara-negara

mayoritas Muslim, sikap moderasi itu minimal meliputi: pengakuan atas

keberadaan pihak lain, pemilikan sikap toleran, penghormatan atas

perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan


kehendak dengan cara kekerasan. Hal ini berdasarkan pada ayat-ayat al-

Quran, antara lain menghargai kemajemukan dan kemauan berinteraksi

(QS. al-Hujurât: 13), ekspresi agama dengan bijaksana dan santun (QS. al-

Nahl: 125), prinsip kemudahan sesuai kemampuan (QS. al- Baqarah: 185,

al-Baqarah: 286 dan QS. al-Taghâbun: 16).

Kriteria dasar tersebut sebenarnya bisa juga dipergunakan untuk mensifati

muslim moderat di negara-negara minoritas muslim, walaupun secara

implementatif tetap ada perbedaan, terutama terkait dengan hubungan

antara agama dan negara. Di negara-negara minoritas muslim seperti

Amerika, John Esposito dan Karen Armstrong, seperti dituturkan oleh

Muqtadir Khan, mendeskripsikan muslim moderat sebagai orang yang

mengeskpresikan Islam secara ramah dan bersedia untuk hidup

berdampingan secara damai dengan pemeluk agama lain serta nyaman

dengan demokrasi dan pemisahan politik dan agama.

Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang

seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan

kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).

Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan

menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap

revolusioner dalam beragama. Seperti telah diisyaratkan sebelumnya,

moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem

dalam beragama, kutub ultrakonservatif atau ekstremkanan disatu sisi,


dan liberal atau ekstrem kiri disisi lain.

Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi

dan kerukunan, baik ditingkat lokal, nasional, maupung lobal. Pilihan pada

moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama

adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan

terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masingmasing umat beragama

dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan,

serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat

multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan

pilihan, melainkan keharusan [13, p. 18].

B. Jejak Moderasi Islam Ditinjau dalam Berbagai Persepektif

Islam pada dasarnya adalah agama universal, tidak terkotak-kotak oleh

label tertentu, hanya saja, cara pemahaman terhadap agama Islam itu

kemudian menghasilkan terma yang berbeda. Diterima atau tidak, itulah

fakta yang ada dewasa ini yang mempunyai akar sejarah yang kuat dalam

khazanah Islam. Fakta sejarah menyatakan bahwa embrio keberagamaan

tersebut sudah ada sejak era rasulullah, yang kemudian semakin

berkembang pada era sahabat, terlebih khusus pada era Umar bin

Khattab. Oleh karena itu, paham Islam moderat merupakan ajaran yang

mesti dibumikan di nusantara.Ia sangat representatif memberikan jawaban

dan solusi terhadap seluruh permasalahan yang dihadapi umat Islam


dewasa ini. Ia tidak terlalu ekstrim kekanan, dalam hal ini overtekstual,

tapi juga tidak terlalu ekstrim ke kiri, dalam artian overkonstekstual.


Kemoderatan Islam tersebut kemudian terekam juga dalam berbagai

disiplin ilmu; akidah, fiqih, tafsir, pemikiran, tasawuf dan dakwah.

1) Moderasi Akidah Islam

Dalam ilmu akidah (teologi), Islam moderat direpsentasikan oleh

aliran al- asy’ariyah.Aliran yang menengahi antara muktazilah yang

sangat rasional dengan salafiah dan hanabilah yang sangat

tekstual.Keduanya sama- sama berada pada titik ekstrim.muktazilah

dianggap ekstrim dalam memosisikan akal di atas segalanya. Dalam

pengambilan kesimpulan banyak menggunakan premis-premis

demonstrative yang bersifat logis.Sebaliknya, kaum salafiah dan

hanabilah berada pada titik yang berseberangan.Mengutamakan teks

dan seringkali dalam beberapa kasus dia mengabaikan penggunakan

akal dalam memahami teks tersebut. Akibat dari keduanya sama-sama

kurang mewakili dan menggambarkan ajaran Islam yang selama ini

dikenal dengan penuh keseimbangan. Rasionalitas yang berlebihan

seringkali mengaburkan kejernihan akidah Islam, sebaliknya

tekstualitas yang berlebihan bisa saja menyebabkan kejumudan dalam

berijtihad.

Bentuk moderasi aliran kalam asy’ariyah dapat dilihat dalam beberapa

pandangannya terkait dengan persoalan dan perdebatan teologis.

Misalnya perdebatan isu kalamullah dalam pada itu, terjewantahkan

dalam perdebatan hakekat Al-Quran antara kelompok hanabilah dan


muktazilah. Kelompok hanabilah menyatakan dengan tegas bahwa

Alquran adalah bukan makhluk, ia adalah Qadim dan Azali.

Sementara muktazilah menyatakan bahwa al- Qur’an adalah makhluk

[xvi], karena ia tersusun dari suara dan huruf yang dibaca yang

notabene sudah terjadi proses transmisi dan adaptasi dengan karya

karsa manusia [xvii]. Perdebatan yang panjang antar kelompok

tersebut menyebabkan fitnah bagi umat Islam. Dalam sejarahnya,

Ahamd bin Hanbal diperjara oleh pemerintah yang didominasi oleh

para penganut muktazilah, dengan asumsi bahwa dia menentang

pemerintah atas pendapatnya tentang al-Qur’an yang berlainan dengan

muktazilah.

2) Moderasi Hukum Islam

Kemoderatan Islam pun harus digalakkan dalam hukum, dalam hal ini,

dialektika antara teks dan realitas selalu berjalan lurus dalam

mengeluarkan sebuah hukum, karena maksud Tuhan yang tertuang

dalam al-Qur’an dan hadis tak pernah bersebrangan dengan

kemaslahatan umat manusia.Hasil ijtihad para ulama fuqaha yang

melahirkan sebuah hukum sejatinya tetap harus memerhatikan prinsip

fleksibilitas (almurunah). Karena pada hakekatnya tidak bisa

dipungkiri bahwa sebuah hukum senantiasa lahir dari pergumulan

sosial kemasyarakatan yang sangat dinamis.Konsekuensi logis dari


fakta ini adalah sebuah hokum bisasaja berubah dengan berubahnya

konteks kemasyarakatan dimana hukum itu hendakdiaplikasikan.

Sebagiaman yang dirumuskan oleh Muhammad Rauf Amin bahwa

karakteristik moderasi hukum Islam dapat dipetakan dalam tiga

karakter. Pertama, subatansialisasi teks atau hukum, yang dimaksud

dengan subtansialisasi teks adalah adanya kesadaran dan pengakuan

bahwa dibalik
sebuah teks atau hukum ada tujuan hukum (maqsad) yang menjadi pesan

utama bagi manusia.Bagi seorang mujtahid atau para fuqaha sejatinya

senantiasa memerhatikan tujuan hukum itu dalam tiap menelorkan sebuah

hukum dari teks.Ia harus menyelami makna yang terdalam di balik teks atau

ayat tertentu.Ia tidak boleh hanya memahami secara sepintas dan jumud

pada permukaan teks. Memahami maksud atau tujuan hukum itu adalah hal

yang sangat mendasar yang perlu dihadirkan sebagai sesuatu yang paling

penting dari sekedar pemahamanlahir.

Kedua, kontekstualisasi, adalah kontekstualisasi teks atau hukum. Jika yang

subtansialisasi melacak tujuan hukum di balik teks, maka karakter yang

kedua ini lebih pada upaya melacak historitas teks (unsure kesejarahan

sebuah teks)yang melingkupinya yang pada gilirannya memberi pengaruh

pada lahirnya sebuah hukum.Teori ini berasumsi bahwa sebauh hukum boleh

jadi ditetapkan oleh Allah atau nabi dikarenakan oleh sebauh kondisi atau

keadaan yang menghendaki adanya hukum tersebut. Dalam artian bahwa

bila kondisi yang menjadi pengaruh lahirnya teks tersebut berubah atau tidak

ada lagi, maka seharusnya hukum yang dilahirkan dari sebuah teks tersebut

juga berubah atau digantikan oleh hukum yang lain. Dengan demikian, teori

kontektualisasi ini sangat penting untuk dipahami oleh semua pakar hukum

sebelum melahirkan sebuah produk hukum dalam masyarakat.

Ketiga, rasionalisasi teks, karakter yang ketiga ini juga sangat penting untuk

diketahui oleh seluruh pakar hukum dan mujtahid.Rasionalisasi teks

bermakna bahwa tiap teks hukum memiliki illat yang merupakan dasar dan

sebab adanya sebuah hukum. Proses rasionalisasi itu sendiri adalah upaya
untuk melacak dan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi ada atau

tidak adanya sebuah hukum yang terkandung dalam sebuah teks. Dalam

bahasa lain para pakar sering memaknainya dengan kata illat hukum. Illat

hukum berbeda dengan hikmah sebuah hukum yang justru dipahami sebagai

padanan arti subtansialisasi. Untuk membedakan keduanya akan dilihat

dalam sebuah contoh konkrit, yaitu kebolehan untuk melakukan jama dan

qashar bagi musafir. Jama dan qashar itu dibolehkan bagi musafir karena

adanya kesulitan (masyaqqah) yang terkadung dalam perjalanan.Dalam

analisa kasus ini dapat dilihat dengan dua pandangan.Mengaitkan adanya

keringanan jamadan qashar karena perjalanan berarti yang terjadi adalah

rasionalisasi, sementara jika jama dan qashar itu dihubungkan dengan

adanya kesulitan (masyaqqah) maka yang terjadi adalah subtansialisasi [15,

pp. 73-77].

Anda mungkin juga menyukai