Anda di halaman 1dari 15

METODE ISTIHSAN dan MASLAHAH MURSALAH

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Seminar Lokal


dalam Mata Kuliah Pengantar Studi Hukum Islam
Semester II Jurusan MD-A
Tahun Akademik 2019/2020

Oleh
KELOMPOK VII

1. NUR FAJRIATI A.M NIM. 1912030018


2. LUQMANUL HAKIM NIM. 1912030022
3. FADLI AZROBY NIM. 1912030025

Dosen Pembimbing:

Dr.H. Zulkarnaini, M.Ag

JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL
PADANG
1441 H / 2020 M
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah, rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas
mata kuliah “Pengantar Studi Hukum Islam” yang dibimbing oleh Bapak Dr.H. Zulkarnaini,
M.Ag Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dan do’a kedua orang tua
serta teman-teman yang tim penulis sayangi.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna disebabkan karena
terbatasnya referensi, pengetahuan, baik teori maupun praktek, oleh karena itu kritik maupun
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu tim penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini yang berjudul “Metode Istihsan dan Mashlaha Mursalah” ini
dapat bermanfaat bagi pembaca. Akhir kata,penulis ucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing mata kuliah “Pengantar Studi Hukum Islam” yang telah memberikan tugas makalah
ini kepada tim penulis sehingga dapat melatih tim penulis dalam pembelajaran ini.

Padang, 25 Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB IPENDAHULUAN................................................................................
A. Latar Belakang..........................................................................
B. Rumusan Masaslah....................................................................
C. Tujuan Makalah........................................................................
BAB II KEWARGANEGARAAN DAN URGENSINYA........................
A. Defenisi Istihsan dan Mashlahah Mursalah...............................
B. Pengguna Metode Istihsan dan Mashlahah Mursalah pada Zaman Kontemporer
...................................................................................................
C. Contoh Kasus............................................................................
D. Merumuskan Makna Istihsan dan Mashlahah Mursalah, Dasar Hukum dan
Klasifikasinya………………………………………
BAB III PENUTUP.......................................................................................
A. Kesimpulan...............................................................................
B. Saran.........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang
ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam
pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat
mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah
serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal
Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri
pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf
fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.

Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada
Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir
Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha
yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan,
istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.

B. Rumusan Masalah
1. Defenisi Istihsan dan Mashlahah Mursalah
2. Penggunaan Metode Istihsan dan Mashlahah Mursalah pada Zaman KOntemporer
3. Contoh Kasus
4. Merumuskan Makna Istihsan dan Mashlahah Mursalah, Dasar Hukum dan Klasifikasinya

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian istihsan dan mashlahah mursalah
2. Mengetahui penggunaan metode istihsan dan mashlaha mursalah pada zaman
kontemporer
3. Mengetahui contoh kasus
4. Mengetahui rumusan makna istihsan dan mashlahah mursalah, dasar hokum dan
klasifikasiny.

BAB II
Metode Istihsan dan Mashlahah Mursalah

A. Defenini Istihsan dan Mashlahah Mursalah


1. Pengertian Istihsan
Secara etimologi (lughawi/bahasa) istihsan ‫ استحسان‬berarti “memperhitungkan
sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik” atau “mengikuti sesuatu
yang lebih baik”, atau “mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang
disuruh untuk itu”.
Dari arti lughawi di atas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal
yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu
diantaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang
yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkan.
Secara terminologi (istilah), ada beberapa defenisi “istihsan” yang dirumuskan
ulama ushul. Di antara defenisi itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik
pandang. Ada juga defenisi yang disepakati semua pihak, namun di antaranya ada
yang diperselisihkan dalam pengalamannya.
a. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan defenisi, yaitu:
 “Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat dari
padanya (qiyas pertama)”.
 “Beralih dari penggunaan suatu dalil kepada adat kebiasaan karena suatu
kemaslahatan”.
b.   Istilah istihsan dikalangan Ulama’ Malikiyah diantaranya adalah sebagaimana
yang dikemukakan Al-Syatibi (salah seorang pakar Malikiyah) :
“Istihsan dalam mazbab Maliki adalah mengunakan kemaslahatan yang bersifat
juz'i sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli”

Di kalangan Ulama’ Hanabilah terdapat tiga definisi sebagaimana


   

dikemukakan Ibn Qudamah :


 Beralihmya mujahid dalam menetapkan hukum terhadapsuatu masalah  dari
1
yang sebanding dengan itu karena adanyadalil khusus dalam Al-Qur'an atau
sunah.
 Istihsan itu ialah apa-apa yang dianggap lebih baik olehseorang
mujahidberdasarkan pemikiran akalnya.
 Dalil yang muncul dalam diri mujahid yang ia tidak mampumenjelaskannya.1
Dari definisi istihsan pertama yang berlaku di kalangan Ulama Hambali tersebut
dapat disimpulkan bahwa seorang mujtahid tidak menetapkan hukum sebagaimana
yang ditetapkan pada kasus yang sejenis dengan kasus itu adalah karena ia
mengikuti dalil lain dari al-Qur'an dan Sunnah. Terhadap definisi kedua mungkin
timbul keberatan dari ulama lain karena apa yang dianggap mujahid lebih baik
menuntut akalnya itu belum tentu lebih baik menurut kenyataannya. Definisi ketiga
juga mungkin timbul sanggahan, sebagaimana dikemukakan Ibnu Subki yang
mengatakan bahwa jika dalil yang muncul dalam diri mujahid itu nyata adanya,
maka cara tersebut dapat diterima dan tidak ada kesukaran dalam menjelaskan dalil
itu, terapi bila dalil tersebut tidak betul, maka cara istihsan seperti itu tertolak.

c. Dikalangan Ulama’ Hanafiyah istihsan itu ada dua macam yang dikemukakan


dalam dua rumusan seperti dikutip oleh Al-Sarkhisi :
 Beramal dengan iitihad dan unum pendapat dalam menentukan sesuatu
yangsyara' menyerahkannya kepadapendapat kita.
 Dalil yang menyalahi qiyás yang zahir yang didahului prasangka
sebelumdiadakan pendalaman terhadap dalil itu,namun setelah diadakan
penelitian yang mendalam terhadapdalil itu dalam hukum yang berlaku dan
dasar-dasar yangsama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi
qiyâsitu lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.2

Dari penelaahan terhadap dua definisi yang berlaku di kalangan Ulama’


Hanafiyah tersebut dapat diberikan penjelasan bahwa arti istihsan dalam definisi
pertama tidak menyalahi sesuatu apa pun, karena pengertian “yang terbaik" dalam

1 Amir Syarifudi,. Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: PT LOGO Wacana Ilmu, 2009) hal. 305.
2
Ibid., hal. 306
hal ini adalah di antara dua hal yang kita dapat memilih, karena syara'telah
memberikan hak pilih kepada kita. Umpamanya penetapan ukuran mut'ah dari
suami yang menceraikan istrinya selum dicampuri dan sehelumnya belum
ditetapkan maharnya. Memberikan mut'ah itu wajib, yang ukurannya menurut
kemampuan suami dengan syarat harus sesuai dengan “kepatutan". Tentang ukuran
patut itu sendiri diserahkan kepada apa yang lebih baik berdasarkan pendapat yang
umum.
Dalam definisi kedua terkandung adanya perbenturan dalil dengan qiyas zhahir.
Semula ada prasangka lemah pada dalil itu karena belum diadakan penelitian yang
mendalam namun sesudah diteliti secara mendalam ternyata dalil itu lebih kuat dari
pada qiyas. Dalam hal ini dipandang lebih baik menggunakan dalil itu ketimbang
menggunakan qiyas yang menurut lahirnya kuat. Meninggalkan beramal
dengan qiyas untuk mengamamalkan dalil itu disebut "istihsan" menurut Ulama’
Hanafiyah.

2. Pengertian Mashlahah Mursalah


Sebelum menjelaskan pengertian mashlahah mursalah, terlebih dahulu perlu
dibahas tentang mashlahah, karena mashlahah mursalah itu merupakan salah satu
bentuk dari mashlahah.
Mashlahah (‫ )مصلحه‬berasal dari kata shalaha dengan penambahan alif di awalnya
yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah
mashdar arti kat shalih yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.
Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti “perbuatan-perbuatan yang
mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap
segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau
menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan, atau dalam arti
menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi
setiap mengandung manffat patut disebut mashlahah. Denganbegitu mashlahah
mengandung dua sisi yaitu menarik atau mendatangkan kemashlahatan dan menolak
atau menghindarkan kemudharatan.
Dalam mengartikan maslahah murshalah secara defenitif terdapat perbedaan
rumusan dikalangan para ulama yang kalau dianalisa ternyata hakikatnya adalah
sama.
1. Al-Ghazali, bahwa maslahah mursalah itu berarti sesuatu yang mendatangkan
manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudharat (keburukan), namun hakikat
dari maslahah mursalah adalah:
Memelihara tujuan syara” (dalam menetapkan hukum)
2. Al-Khawarizmi memberikan defenisi yang hampir sama dengan defenisi Al-
Ghazali di atas yaitu:
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hokum) dengan cara
menghindarkan kerusakan diri manusia
3. Al-Iez ibn Abdi ak-Salam dalam kitabnya Qawa’id Al-Ahkam, memberikan arti
mashlahah mursalah dalam bentuk hakikatnya dengan “kesenangan dan
kenikmatan”. Sedangkan bentuk majaznya adalah “sebab-sebab yang
mendatangkan kesenangan dan kenikmatan” tersebut
4. Al-Syatibi mengartikan maslahah mursalah itu dari dua pandangan, yaitu:
a. Dari segi terjadinya mashlahah mursalah dalam ke nyataan, berarti:
Sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna
hidupnya, tercapai apa yang dikehendakinya oleh sifat syahwati dan aklinya
secara mutlak
b. Dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah, yaitu
kemashlahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hokum syara’. Untuk
menghasilkannya Allah menuntut manusia untuk berbuat.

Dengan beberapa defenisi tentang mashlalah dengan rumusan yang berbeda


tersebut dapat disimpulkan bahwa mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang
baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan
keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum.

B. Penggunaan Metode Istihsan da Mashlahah Mursalah Pada Zaman Kontemporer


a. Istihan pada Zaman Kontemporer
Seperti yang telah dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan oleh sekelompok
ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu merasa kurang
puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secara konvesional, seperti dengan
menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan. Dengan
cara konvesional itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang (tidak) mendatangkan
kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam keadaan demikian, si
mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan yang konvesional tersebut. Pendekatan
yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang mereka lakukan adalah dalam
bentuk ijtihad yang disebut istihsan.
Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang permasalahan
kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin komplek, permasalahan
itu harus dihadapi umat islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari
segi hukum islam. Kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau
metode lama (konvesional) yang digunakan oleh ulama terdahulu untuk
menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan
tersebut dengan baik (tepat). Karena itu, si mujtahid harus mampu menemukan
pendekatan atau dalil alternatif di luar pendekatan lama. Oleh karena itu
kecendrungan untuk menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya
dorongan dari tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan
manusia yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Dengan
menggunakan dasar istihsan, kita dapat menghadapi masalah perbankan yang telah
menjadi masalah yang sangat penting dalam masalah ekonomi.
b. Mashlahah Mursalah pada Zaman Kontemporer
Dewasa ini lebih-lebih lagi pada masa mendatang, permasalahan kehidupan
manusia akan semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu
harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi
hukum. Semua persoalan tersebut, tidak akan dapat dihadapi kalau hanya semata
mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama (konvensional) yang
digunakan ulama terdahulu.
Kita akan mengalami kesulitan dalam menemukan dalil nash atau petunjuk syara’
untuk mendudukan hukum dari kasus (permasalahan) yang muncul. Dalam kondisi
demekian, kita akan berhadapan dengan beberapa kasus (masalah) yang secara
rasional (aqliyah) dapat dinilai baik buruknya untuk menetapkan hukumnya, tetapi
tidak sulit menemukan dukungan hukumannya dari nash. Dala upaya untuk mencari
solusi agar seluruh tindak tanduk umat Islam dalam tatanan hukum agama,
mashlahah mursalah dapat dijadikan salah satu alternative sebagai dasar dalam
berijtihad.

C. Contoh Kasus
1. Contoh Kasus Istihsan
a. Seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang dititipkan
kepadanyaapabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila seorang
anak menitipkan barang kepada bapaknya, kemudian barang tersebut digunakan
olehbapaknya untuk membiayai hidupnya, maka berdasarkan Istihsan si bapak
tidak diwajibkan untuk menggantinya, karena ia mempunyai hak menggunakan
hartaanaknya untuk membiayai keperluan hidupnya.
b. Seseorang mempunyai kewenangan bertindak hukum, apabila ia sudah dewasadan
berakal. Bagaimana halnya dengan anak kecil yang disuruh ibunya kewarunguntuk
membeli sesuatu ?, Berdasarkan Istihsan anak kecil tersebut boleh membelibarang-
barang yang kecil yang menurut kebiasaan tidak menimbulkankemafsadatan.
2. Contoh Kasus Mashlahah Mursalah
a. Membuang barang barang yang ada diatas kapal laut tanpa seizin yang punya
barang, karena ada gelombang besar yang membuat kapal oleng. Hal ini dilakukan
demi kemaslahatan penumpang dan menolak bahaya.
b. Mensyaratkan adanya surat kawin, untuk syahnya gugatan dalam soal perkawinan.
D. Merumuskan Makna Istihsan dan Mashlahah Mursalah , Dasar Hukum dan
Klasifikasinya
a. Istihsan
Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa hukum-hukum Islam
adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan sebagai
fiqh waq’i bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan sebagai yang
digambarkan oleh sebagian oarang yang tidak mengetahui hakikat fiqh Islam atau
ingin menjauhkan manusia daripadanya.
Pada hakekatnya Istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karenanya
sesungguhnya hokum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan
Qiyas tersembunyiyang mengalahkan tehadap Qiyas yang jelas, karena adanya
beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenaang hati si
mujtahid. Itulah sehi Istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari Istihsan ialah
bahwa dalilnya adalah mashlahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hokum
kulli (umum), dan ini disebut segi Istihsan.
Mereka yang menggunakan hujjah berupa Istihsan, mereka ini kebanyakan dari
ulama’ Hanafiyyah, maka dalil mereka terhadap kehujjahanya, ialah : bahwasanya
beristidlal dengan istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata, atau ia
merupaka pentarjihan suatu Qiyas atas qiyas yang kontradiksi ddengannya, dengan
adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini , atau  ia merupakan Istidlal dengan
kemashlahatan Mursalah (umum) berdasarkan pengecualian kasuistik dari hokum
yang kulli (umum). Semuanya ini merupakan istidlal yang sohih.
Dasar Hukumnya
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil al-Qur'an dan Sunnah
yang menyebutkan Kata istihsanp dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar
dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar 18:

ٓ ٓ
‫ب‬ َ ‫ِين َهد َٰى ُه ُم ٱهَّلل ُ ۖ َوأ ُ ۟و ٰلَ ِئ‬
۟ ُ‫ك ُه ْم أ ُ ۟ول‬
ِ ‫وا ٱأْل َ ْل ٰ َب‬ َ ‫ُون أَحْ َس َن ُهۥٓ ۚ أ ُ ۟و ٰلَئ‬
َ ‫ِك ٱلَّذ‬ (َ ‫ُون ْٱل َق ْو َل َف َي َّت ِبع‬ َ ‫ٱلَّذ‬
َ ‫ِين َيسْ َت ِمع‬

Artinya: Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
Firman Allah SWT dalam surah Az-Zumar ayat 55:
َ ‫نز َل إِلَ ْي ُكم مِّن رَّ ِّب ُكم مِّن َقب ِْل أَن َيأْ ِت َي ُك ُم ْٱل َع َذابُ َب ْغ َت ًة َوأَن ُت ْم اَل َت ْش ُعر‬
‫ُون‬ ُ َ ۟
ِ ‫َوٱ َّت ِبع ُٓوا أحْ َس َن َمٓا أ‬

Artinya: Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya,
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang
terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal
lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan
bahwa Istihsan adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:

.ٌ‫ َرأَ ْوا َس ِّي ًئا َفه َُو عِ ْن َد هَّللا ِ َس ِّيئ‬ ‫ُون َح َس ًنا َفه َُو عِ ْن َد هَّللا ِ َح َسنٌ َو َما‬
َ ‫َف َما َرأَى ْالمُسْ لِم‬

Artinya: Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi
Allah adalah buruk pula.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.
b. Mashlahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut bahasa berarti Maslahah sama dengan manfaat, baik
dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan
yang mengandung manfaat. Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa definisi
Maslahah yang di kemukakan oleh ulama ushul Fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut
mengandung esesnsi yang sama. Imam Ghozali mengemukakan bahwa pada
prinsipnya Maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemdharatan dalam
rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.
Ada juga yang berpendapat Maslahah mursalah adalah kebaikan (kemaslahatan
yang tidak di singgung-singgung syara’ secara jelas untuk mengerjakan atau
meninggalkannya, sedangkan apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau
menghindari kerusakan atau keburukan, seperti seseorang menghukum sesuatu yang
belum ada ketentuannya oleh agama.
Di antara ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya atau dasar hukum maslahah
mursalah adalah firman Allah SWT dalam surah Al-Anbiya’ ayat 107:

‫ك إِال َرحْ َمةً لِ ْل َعالَ ِمين‬


َ ‫َو َما أَرْ َس ْلنَا‬

Artinya: Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam

Firman Allah SWT dalam surah Yunus ayat 57:

َ ‫ور َوه ًُدى َو َرحْ َم ٌة لِّ ْلم ُْؤ ِمن‬


‫ِين‬ ُّ ‫ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱل َّناسُ َق ْد َجٓا َء ْت ُكم م َّْوعِ َظ ٌة مِّن رَّ ِّب ُك ْم َوشِ َفٓا ٌء لِّ َما فِى ٱل‬
ِ ‫ص ُد‬

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari


Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Istihsan adalah sebuah konsep penalaran untuk menggali dan menemukan
hukum suatu kejadian yang tidak ditetapkan hukumnya secara jelas oleh nash,
di mana posisi istihsan disamakan dengan qiyas namun dengan sandaran yang
lebih kuat.
2. Pada prinsipnya, istihsan tetap bersandar kepada dalil nash, ijma‟, dan qiyas,
dengan esensi yang sama, yaitu untuk menghindarkan kesulitan demi sebuah
kemaslahatan.
3. Istihsan sebagai salah satu metode istinbat hukum alternatif ternyata akan
selalu relevan dengan perkembangan zaman.
4. Maslahah mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung nilai baik
(manfaat) dan memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak
mudarat dan meraih maslahah.
5. Dasar hukum istihsan terdapat dalam Al-Qur’an surah Az-Zumar ayat 18 dan
ayat 55
6. Dasar hukum mashlahah mursalah terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-
Anbiya’ ayat 107 dan surah Yunus ayat 58
B. Saran
Sekian makalah yang dapat penulis buat, lebih dan kurangnya mohon di
maafkan. Penulis menyadari dalam penulisan tugas ini banyak sekali terdapat
kekuranagan, maka dari pada itu penulis berharap sekali kritik berserta saran yang
membangun dari dosen pembimbing dan teman-teman semua agar tugas menjdi
lebih sempurna.Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, PT.LOGO Wacana Ilmu: Jakarta, 2009

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Kencana Prenada Media Grup: Jakarta, 2009
Dimyati, Muhammad, Syarhul Waraqat, Darul Kutub Al-Islamiyah: Mesir, 2009

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu: Jakarta, 2001


http://tepolngo2.blogspot.com/2010/06/makalah-maslahah-mursalah.html

http://ryanfadhilah.blogspot.com/2012/04/makalah-istihsan-masalah-masalahnya.html

Anda mungkin juga menyukai