Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

OLEH
DWI MEIRIANTI NUGRAHAINI
G4D014067

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2015
A. LATAR BELAKANG
Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang terletak di sebelah inferior buli-
buli dan membungkus uretra posterior. Kelenjar ini mengelilingi uretra dan
dipotong melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari
vas deferen. Kelenjar prostat, dapat mengalami beberapa gangguan, dimana salah
satu gangguan yang cukup sering ditemukan adalah Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH). Gangguan ini banyak menyerang pria yang telah berusia lanjut. Oleh
karena cukup banyaknya kasus penderita BPH, maka dari itu sebagai tenaga
kesehatan perlu mengetahui lebih lanjut mengenai BPH.
Paling sering mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Bila
mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan
menghambat aliran urin keluar dari buli-buli. Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
merupakan Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) yang menghambat aliran urin dari
buli-buli. Pembesaran ukuran prostat ini akibat adanya hyperplasia stroma dan sel
epitelial mulai dari zona periurethra (Purnomo, 2007).
Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa ± 20 gram. Mc Neal membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler
anterior dan zona periurethra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada
zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona
perifer (Citra, 2009).
Di seluruh dunia, hampir 30 juta pria yang menderita gejala yang berkaitan
dengan pembesaran prostat, di USA hampir 14 juta pria mengalami hal yang
sama. BPH merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia
setelah batu saluran kemih (Citra, 2009).
Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin meningkat,
diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di Indonesia berusia 60 tahun
atau lebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian
bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/ LUTS) akibat BPH. BPH mempengaruhi
kualitas kehidupan pada hampir 1/3 populasi pria yang berumur > 50 tahun (Citra,
2009).

B. PENGERTIAN
Benign prostate hyperplasia (BPH) adalah sejenis keadaan di mana kelenjar
prostat membesar dengan cepat (Amalia, 2007). BPH merupakan pertumbuham
berlebihan prostat yang bersifat jinak dan bukan kanker (Tan & Rahardja, 2010).
BPH adalah kondisi patologis yang paling sering terjadi pada pasien dengan usia
diatas 50 tahun (Smeltzer & Bare, 2005).

C. ETIOLOGI
Penyebab BPH belum jelas. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan
faktor histologi dan hormon menurut Mansjoer (2009), diantaranya:
1. Teori DHT (dihidrotestosteron)
Testosteron dengan bantuan enzim 5- α reduktase dikonversi menjadi DHT
yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
2. Teori kebangkitan kembali (Reawakening)
Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan
epitel. Menurut Mc Neal, lesi primer BPH adalah penonjolan kelenjar yang
kemudian bercabang.
3. Teori hormon
Estrogen berperan pada insiasi dan maintenance pada prostat manusia.
4. Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic Fibroblast Growth
Factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stoma dan ditemukan dengan
konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. b-
FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.

Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya BPH, yaitu
adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan
kelainan kongenital berupa defisiensi 5- α reduktase, yaitu enzim yang
mengkonversi testosteron ke DHT. Kadar serum DHT-nya rendah, sehingga
prostat tidak membesar. Begitupun sebaliknya pada BPH. Sedangkan pada proses
penuaan, kadar testosteron serum menurun disertai meningkatnya konversi
testosterone menjadi estrogen pada jaringan peripheral (Amalia, 2007).

D. PATOFISIOLOGI
Teori-teori tentang terjadinya BPH :
1. Teori DHT (dihidrotestosteron)
Testosteron dengan bantuan enzim 5- α reduktase dikonversi menjadi DHT
yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat (Mansjoer, 2009).
2. Teori kebangkitan kembali (Reawakening)
Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan
epitel. Menurut Mc Neal, lesi primer BPH adalah penonjolan kelenjar yang
kemudian bercabang (Mansjoer, 2009).
3. Teori hormon
Estrogen berperan pada insiasi dan maintenance pada prostat manusia
(Mansjoer, 2009).
4. Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic Fibroblast Growth
Factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stoma dan ditemukan dengan
konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. b-
FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi
(Mansjoer, 2009).
5. Faktor penuaan
kadar testosteron serum menurun disertai meningkatnya konversi testosterone
menjadi estrogen pada jaringan peripheral (Amalia, 2007).
Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen uretra pars
prostatika dan menghambat aliran urin sehingga menyebabkan tingginya tekanan
intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan, menyebabkan terjadinya perubahan anatomik buli-
buli, yakni: hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS). Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala menuut Citra (2009)
yaitu :
1. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah
gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema
yang terjadi pada prostat yang membesar.
2. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
3. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat
mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa
belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak
dalam buli-buli.
4. Nocturia (miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan
yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan
normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama
tidur.
5. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat
miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor
sehingga terjadi kontraksi involunter,
6. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya
penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli
mencapai complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik
melebihi tekanan spingter.
7. Hematuri disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah submukosa pada prostat
yang membesar.
8.  Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau
uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau
retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.
9. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin
tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk
organisme infektif.
10. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli,
Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu
tersebut dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi
pielonefritis.

E. TANDA GEJALA
Menurut Amalia (2007) gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua
kelompok yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif. Tanda gejala BPH antara lain:
1. Tanda BPH
Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran konsistensi
kenyal pada pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination (DRE).
2. Gejala BPH
a. Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran kencing lemah (loss of
force), pancaran kencing terputus-putus (intermitency), tidak lampias saat
selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin kencing lagi sesudah
kencing (double voiding) dan keluarnya sisa kencing pada akhir berkemih
(terminal dribbling).
b. Gejala iritatif adalah frekuensi kencing yang tidak normal (polakisuria),
terbangun di tengah malam karena sering kencing (nocturia), sulit
menahan kencing (urgency), dan rasa sakit waktu kencing (disuria),
kadang juga terjadi kencing berdarah (hematuria).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan menurut Mansjoer (2009) yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri
dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum, dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi tau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA
< 4 ng/ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah
Prostate Specific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan
volume prostat. Bila PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat,
demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi
intraven, USG, dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah
untuk memperkirakan volume BPH, menetukan derajat disfungsi buli-buli dan
volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupuntidak berhubungan dengan BPH. Dari foto polos dapat
dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli.
Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari kegnasan
prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter
berbelok-belok di vesika), indentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu
urin, atau filling defect di vesika. Sedangkan dari USG dapat diperkirakan
besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin, batu ginjal,
divertikulum atau tumor buli-buli.
G. PATHWAY
Ketidakseimbangan Proliferasi abnormal mikrotrauma Penuaan
estrogen & dan sel stoma
testosteron ↑ estrogen
↑ basic fibroblast
Produksi stoma & growth factor (b-FGF)
epitel berlebihan
Menstimulasi
pertumbuhan stoma

Pembesaran prostat

Penyempitan lumen
uretra

Obstruksi aliran urin

↑ tekanan intra Retensi urin


vesika

↓ kekuatan Risiko
Pembuluh darah urgency Nyeri akut aliran urin infeksi
pecah

Rasa belum puas Pengosongan


hematuria nocturia
setelah miksi tidak lengkap

Sumber : Amalia (2007); Citra (2009); Mansjoer (2009).


Gangguan eliminasi urin
H. PENGKAJIAN
1. Sirkulasi :
Peningkatan tekanan darah (efek lebih lanjut pada ginjal )
2. Eliminasi :
a. Penurunan kekuatan / kateter berkemih.
b. Ketidakmampuan pengosongan kandung kemih.
c. Nokturia, disuria, hematuria.
d. Duduk dalam mengosongkan kandung kemih.
e. Kekambuhan UTI, riwayat batu (urinary stasis).
f. Konstipasi (penonjolan prostat ke rektum)
g. Masa abdomen bagian bawah, hernia inguinal, hemoroid (akibat
peningkatan tekanan abdomen pada saat pengosongan kandung kemih)
3. Makanan / cairan:
a. Anoreksia, nausea, vomiting.
b. Kehilangan BB mendadak.
4. Nyeri :
Suprapubis, panggul, nyeri belakang, nyeri pinggang belakang, intens (pada
prostatitis akut).
5. Rasa nyaman :  demam
6. Seksualitas :
a. Perhatikan pada efek dari kondisinya/tetapi kemampuan seksual.
b. Takut beser kencing selama kegiatan intim.
c. Penurunan kontraksi ejakulasi.
d. Pembesaran prostat.
7. Pengetahuan / pendidikan :
a. Riwayat adanya kanker dalam keluarga, hipertensi, penyakit gula.
b. Penggunaan obat antihipertensi atau antidepresan, antibiotika/
antibakterial untuk saluran kencing, obat alergi.
8. Pemeriksaan fisik : colok dubur
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan eliminasi urin b.d. obstruksi anatomic (BPH)
2. Retensi urin b.d. sumbatan (BPH)
3. Resiko infeksi
4. Nyeri akut b.d. agen cidera biologis (BPH)

J. Intervensi
Menurut Smelzer & Bare (2005), intervensi keperawatan yang dilakukan pada
pasien dengan BPH dibagi menjadi 2 tahap, yakni intervensi preoperatif dan
pascaoperatif.
1. Intervensi preoperatif :
a. Menurunkan ansietas
b. Menghilangkan ketidaknyamanan
Jika tanda ketidaknyamanan tampak, pasien diinstruksikan untuk tirah
baring, memberikan analgesik, dan tindakan penurunan ansietas dilakukan.
Perawat juga dapat memantau pola berkemih pasien, mengawasi terhadap
distensi kandung kemih, dan membantu saat kateterisasi. Kateter dapat
membantu mendekompresi kandung kemih selama beberapa hari.
c. Pendidikan pasien
Perawat dapat memberikan informasi mengenai penyakit yang dialami
pasien, tindakan dan prosedur operasi yang akan dilakukan, dan tindakan
yang dilakukan setelah operasi.
d. Persiapan praoperatif
2. Intervensi pascaoperatif :
a. Menghilangkan nyeri
b. Penyuluhan pasien dan pemeliharaan kesehatan
Jika psien dapat bergerak bebas, pasien didorong untuk berjalan-jalan,
namun tidak duduk dalam waktu yang lama, karena hal ini dapat
meningkatkan tekanan abdomen dan kemungkinan ketidaknyamanan serta
perdarahan. Pelunak feses dapat diberikan untuk menghindari mengejan
yang berlebihan, namun pemberian enema juga perlu berhati-hati untuk
menghindari kemungkinan perforasi rektal. Latihan perineal perlu
dilakukan agar pasien dapat mengontrol berkemih.
c. Memantau dan mengatasi komplikasi potensial
Setelah operasi, amati pasien terhadap komplikasi utama seperti hemoragi,
infeksi dan obstruksi kateter.
K. Penatalaksanaan medis
1. Reseksi Transuretral Prostat (TUR atau TURP)
TUR atau TURP adalah prosedur yang paling umum dan dapat dilakukan
melalui endoskopi. Instrument bedah dan optikal dimasukkan secara langsung
melalui uretra ke dalam prostat, yang kemudian dapat dilihat secara langsung.
Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prosedur
ini tidak memerlukan insisi, dan digunakan untuk kelenjar dalam ukuran yang
beragam dan ideal bagi pasien yang mempunyai kelenjar kecil dan yang
dipertimbangkan memiliki risiko bedah yang buruk.
2. Prostatektomi suprapubik
Merupakan salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangkat
dari atas. Pendekatan ini dapat digunakan untuk segala ukuran kelenjar,
namun kelemahan tindakan ini adalah kehilangan darah mungkin akan lebih
banyak dibandingkan dengan prosedur lainnya.
3. Prostatektomi perineal
Merupakan suatu metode untuk mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Pendekata ini lebih praktis ketika pendekatan lainnya tidak
memungkinkan, dan sangat berguna untuk biopsy terbuka.
4. Prostatektomi retropubik
Merupakan suatu teknik lain dan lebih umum disbanding pendekatan
suprapubik. Dokter bedah akan membuat insisi abdomen rendah mendekati
kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi
dalam pubis.
5. Insisi Prostat Transuretral (TUIP)
TUIP adalah prosedur lain untuk menangani BPH dengan cara memasukkan
instrument melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi
konstriksi uretral. TUIP diindikasikan saat kelenjar prostat berukuran kecil
(30 gr atau kurang) dan akan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, R. (2007). Faktor-faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak.


semarang: Universitas Diponegoro.

Citra, B. D. (2009). Benign prostate hyperplasia (BPH). Riau: Universitas Riau.

Mansjoer, A. (2009). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Eusculapius.

Purnomo. (2007). Dasar-dasar urologi, edisi kedua. Jakrta: CV. Agung Seto.

Tan, T. & Rahardja, K. (2010). Obat-obat sederhana untuk ganghuan sehari-hari.


Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2005). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai