Anda di halaman 1dari 11

PERATURAN DAN TATACARA

PENJATUHAN SANKSI
PERATURAN DAN TATACARA PENJATUHAN SANKSI PARTAI KEADILAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Peraturan adalah sekumpulan ketentuan yang bersifat mengikat bagi semua individu maupun lembaga
yang berada di lingkungan Partai Keadilan.
2. Tatacara adalah mekanisme atau prosedur umum mengenai bagaimana peraturan tersebut dilaksanakan.
3. Sanksi adalah hukuman yang dijatuhkan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan untuk mencapai tujuan
tertentu.
4. Partai adalah Partai Keadilan yang dideklarasikan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 1998.
5. Pimpinan Partai adalah unsur Dewan pimpinan pusat yang terdiri dari para Ketua, Sekretaris Jenderal dan
Bendahara umum, meliputi juga Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Partai dan Wakil Ketua Dewan Syari'ah.
6. Anggota adalah setiap anggota Partai Keadilan dari jenjang anggota madya ke atas.
7. Pelanggaran Syar'i adalah perbuatan dalam bentuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh syariah Islam
atau tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh syari’ah Islam.
8. Pelanggaran Organisasi adalah perbuatan anggota yang tidak mentaati AD, ART dan atau aturan
organisasi Partai Keadilan lainnya.
9. Tindakan adalah suatu bentuk putusan Majelis Qadha berupa tugas praktis/amalan tarbawi yang diberikan
kepada tersalah sebagai alternatif atau pelengkap dari sanksi yang dijatuhkan kepadanya.
10. Ta'zir adalah jenis pelanggaran dan sanksi syar'i yang tidak termasuk hudud dan qishash atau diyat. Ta'zir
bersifat memberikan pelajaran dan koreksi (ta-dib) yang sifatnya memperbaiki perilaku tersalah (tahdzib).
11. Dewan Syari'ah (DS) adalah Dewan Syari'ah Partai Keadilan di tingkat pusat.
12. Pemeriksa adalah Majelis Qadha yang memeriksa terdakwa dalam sidang tingkat pertama maupun
banding.
13. Majelis Qadha adalah susunan personil para qadhi yang ditunjuk oleh Dewan Syari'ah untuk memeriksa
perkara yang sampai kepada Dewan Syari'ah dan memberikan putusannya.
14. Qadhi adalah orang yang diangkat oleh Dewan Syari’ah dengan syarat-syarat tertentu untuk memeriksa
perkara dan memberikan putusannya.
15. Pelapor adalah individu atau instansi yang melaporkan bahwa telah terjadi pelanggaran oleh seseorang
anggota partai yang perlu diproses oleh Lajnah Hisbah.
16. Lajnah Hisbah adalah tim yang ditunjuk oleh Dewan Syari’ah Wilayah untuk melaksanakan pemeriksaan
awal terhadap anggota yang diadukan, dan menyeleksi kelaikan kasus untuk diajukan atau tidak kepada Dewan
Syari’ah.
17. Saksi adalah seorang atau lebih yang diminta hadir oleh Majelis Qadha dalam sidang Majelis untuk
memberikan keterangan yang sebenarnya mengenai kasus yang menyangkut anggota yang diajukan.
18. Pendamping/murafiq adalah seorang yang mendampingi anggota yang diadukan di muka Majelis Qadha
Dewan Syari’ah dan atas persetujuan Majelis dapat membantu anggota tersebut dalam memberi penjelasan yang
diminta.
19. Munafidz (Pelaksana Putusan) instansi eksekutif partai dari tingkat Dewan Pimpinan Pusat hingga
Dewan Pimpinan Daerah yang mendapat amar dari Majelis Qadha untuk men-tanfidz putusan Qadha atas
anggota yang ditetapkan bersalah, meresosialisasikannya dan mereposisi setelah selesai menjalani sanksi
20. Reposisi adalah pengembalian anggota partai yang telah selesai menjadi sanksi kepada posisi keanggotaan
sesuai dengan keputusan Majelis Qadha.
21. Rehabilitasi adalah pemulihan nama baik seorang anggota yang dinyatakan tidak bersalah.
22. Resosialisasi adalah pengembalian anggota yang telah menjalani putusan Majelis Qadha agar dapat
bersosialisasi kembali dengan anggota lainnya.

Pasal 2
Ruang Lingkup Peraturan
1. Peraturan ini berlaku untuk seluruh anggota inti partai baik yang berada di dalam maupun di luar negeri.
2. Penyelesaian kasus-kasus dan penetapan putusannya dilakukan dalam lingkup wilayah masing-masing, atau
wilayah terdekat bilamana belum terbentuk perangkat yang berkompoten di wilayahnya. 1
3. Untuk anggota yang berada di luar negeri penyelesaian kasus dan penetapan putusannya berada di
lingkungan wilayah DKI Jakarta.

Pasal 3
Manfaat dan Urgensi Peraturan
Manfaat dan urgensi peraturan:
1. Terhindarnya partai dari murka Allah SWT.
2. Terjaminnya keadilan bagi anggota yang dituduh telah melakukan pelanggaran.
3. Terjaminnya kepastian hukum.
4. Terjaminnya citra partai di mata publik.
5. Terhindarkannya perbedaan penerapan sanksi.
6. Terpeliharanya profesionalitas partai sebagai organisasi resmi dalam menyelesaikan masalah internal.
7. Terwujudnya partai yang teratur, solid dan taat pada aturan.
8. Tersedianya presedur pembelaan bagi anggota yang dituduh melakukan pelanggaran.
9. Tersedianya pedoman yang baku bagi instansi partai yang berwenang menyelesaikan setiap kasus.

BAB II
TUJUAN DAN PRINSIP PENJATUHAN SANKSI DAN TINDAKAN

Pasal 4
Tujuan peraturan
Tujuan peraturan:
1. Al Ishlah yaitu menyelesaikan sengketa yang terjadi antar anggota partai.
2. Al `Ilaj yaitu menyadarkan tersalah dan mendorongnya untuk memperbaiki diri setelah menjalani sanksi,
agar terhindar atau sembuh dari kebiasaan buruknya serta membantu agar lebih baik dari sebelumnya.
3. Al Inshaf yaitu membantu pihak yang terzhalimi dan atau dirugikan untuk memperoleh haknya baik yang
bersifat material maupun immaterial.
4. Az Zajru yaitu memberi pelajaran kepada tersalah sehingga tidak mengulangi kesalahannya.
5. Ar Rad'u, yaitu mencegah atau menangkal anggota yang lain agar tidak melakukan kesalahan yang telah
diperbuat oleh tersalah.
6. Al Himayan yaitu melindungi organisasi dengan memperbaiki anggotanya yang berbuat kesalahan dan
menghindarkan organisasi dari dampak negatif yang mungkin timbul akibat kesalahan tersebut.
7. Al Jabru yaitu membantu si pelaku untuk mendapatkan ampunan Allah atas dosa yang diperbuatnya.

Pasal 5
Prinsip-Prinsip Penjatuhan Sanksi dan Tindakan
Sanksi dan tindakan dijatuhkan dengan prinsip- prinsip sebagai berikut:
1. Merealisasikan kemaslahatan. Sanksi dan tindakan yang dijatuhkan harus dimaksudkan dan diduga kuat
dapat merealisasikan kemaslahatan, dan menghindari adanya unsur mafsadat.
2. Berlandaskan semangat kasih-sayang. Motivasi penjatuhan sanksi dan tindakan bukan kebencian atau
pembalasan, tetapi cinta kasih dan untuk perbaikan. Penerimaan sanksi dengan ikhlas oleh si bersalah akan
menambah tsiqah dan rasa hormat kepada dirinya dan menambah kedekatannya di hati anggota yang lain
setelah sanksi dan tindakan tersebut dijalani.
3. Sepadan dengan kesalahan. Sanksi dan tindakan tidak diperberat atau diperluas kecuali jika terdapat
alasan/keperluan yang sungguh-sungguh (darurat) untuk tercapainya tujuan dari sanksi dan tindakan tersebut.
4. Mengedepankan sifat pencegahan. Sanksi atau tindakan harus didahului langkah-langkah pencegahan,
dengan memperkuat semangat saling menasehati (tawashi) dan “al amru bil ma’ruf wannahyu ‘anil munkar”
5. Efektif, mudah, dan efisien. Proses penanganan, pemeriksaan, dan penyelesaian untuk setiap kasus
hendaknya berjalan secara efektif, mudah, dan efisien.
6. Persamaan di hadapan hukum. Semua pihak mempunyai kedudukan sama di hadapan hukum dan
Majelis Qadha.

1
Yang dimaksud dengan (wilayah masing-masing) dalam pasal ini adalah daerah operasional Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Keadilan
7. Bertahap. Qadhi dalam menjatuhkan hukuman kepada tersalah hendaknya mengutamakan sanksi yang
lebih ringan jika diperhitungkan dapat mencapai tujuan
8. Variasi dan opsi. Variasi sanksi dan tindakan disesuaikan dengan variasi pelanggaran dan situasi kondisi
tersalah. Sanksi dan tindakan dijatuhkan dengan mempertimbangkan pilihan yang paling maslahat (al ashlah).
9. Praduga tak bersalah. Setiap anggota yang diajukan untuk diperiksa atau sedang dalam pemeriksaan
banding dianggap tidak bersalah sebelum Majelis Qadha memutuskan kesalahannya. Dan seluruh pihak terkait
berkewajiban menjaga nama baik dan kehormatannya.
10. Berhati-hati dalam menjatuhkan sanksi. Sedianya seorang qadhi harus berhati-hati dalam menjatuhkan
sanksi kepada tersalah mengingat kesalahan karena memaafkan tersalah lebih ditolelir dari kesalahan dalam
menghukum.
11. Menyegerakan resosialisasi. Anggota yang telah selesai menjalani sanksi dan tindakan dengan baik segera
dilakukan resosialisasi dengan semangat penghormatan (takrim) dan kasih sayang (mawadaah).

BAB III
MAJELIS QADHA DAN LAJNAH HISBAH

Pasal 6
Wewenang dan Susunan Majelis Qadha
1. Karena kewajibannya, Majelis Qadha mempunyai wewenang:
a. Menerima atau menolak perkara pelanggaran yang diajukan oleh Lajnah Hisbah untuk diselesaikan sesuai
peraturan ini.
b. Memeriksa dan menyelesaikan setiap perkara pelanggaran dalam bentuk suatu putusan tertulis.
c. Menyelesaikan perkara sesuai wilayah kerjanya.
2. Dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara, Majelis Qadha berjumlah paling sedikit satu orang dan
paling banyak tiga orang qadhi.
3. Dewan Syari’ah mengangkat anggota Majelis Qadha dari para qadhi.
4. Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian qadhi adalah wewenang Dewan Syari'ah dan diatur
dalam ketentuan lain.

Pasal 7
Wewenang dan Susunan Lajnah Hisbah
1. Karena kewajibannya, Lajnah Hisbah mempunyai wewenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari perorangan dan atau lembaga tentang adanya pelanggaran sesuai
wilayah kerjanya.
b. Mencari keterangan dan barang bukti.
c. Memanggil anggota yang diduga melakukan pelanggaran.
d. Menyelesaikan perkara yang dilaporkan apabila dipandang dapat diselesaikan tanpa diajukan kepada
Majelis Qadha.
e. Melakukan langkah-langkah yang dipandang perlu untuk menyelesaikan perkara.
f. Melakukan tindakan penyaringan perkara sehingga hanya perkara yang memiliki bukti-bukti awal yang
cukup dan mendapat rekomendasi naqib yang bersangkutan dapat diajukan kepada Majelis Qadha.
2. Lajnah Hisab terdiri atas sekurang-kurangnya dua orang dari anggota Dewan Syari’ah Wilayah
atau Anggota Dewasa Partai yang memenuhi syarat sebagai anggota Lajnah Hisbah.
3. Dewan Syari’ah berhak mengangkat qadhi untuk masa tugas serendah-rendahnya satu tahun dan
paling lama 4 tahun
4. Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian Lajnah Hisbah adalah wewenang Dewan
Syari’ah dan diatur dalam ketentuan lain.

BAB IV
KLASIFIKASI PELANGGARAN, SANKSI, DAN TINDAKAN

Pasal 8
Klasifikasi Pelanggaran
Pelanggaran dalam peraturan ini diklasifikasikan kepada pelanggaran syar'i dan pelanggaran organisasi.
Pasal 9
Pelanggaran Syar'i
Pelanggaran syar'i dalam peraturan ini diklasifikasikan kepada:
a. Pelanggaran syar'i ringan;
b. Pelanggaran syar'i sedang;
c. Pelanggaran syar'i berat.

Pasal 10
Pelanggaran Syar'i Ringan
1. Pelanggaran syar'i ringan adalah melakukan perbuatan yang merusak muruah dan atau melakukan
perbuatan yang tidak seyogyanya (khilaful aula).2
2. Setiap anggota yang melakukan pelanggaran syar'i ringan diancam dengan sanksi ringan.
3. Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat ditambah tindakan.

Pasal 11
Pelanggaran Syar'i Sedang
1. Pelanggaran syar'i sedang adalah pelanggaran syar'i yang tidak tergolong dosa besar, tidak tergolong tindak
pidana hudud ataupun qishash.3
2. Termasuk pelanggaran syar’i sedang adalah:
a. Bid’ah yang tidak mengakibatkan kekufuran
b. Tidak menegakkan sholat berjama’ah4
c. Khalwah5
d. Tidak hati-hati bergaul dengan yang bukan mahram dan bukan istri atau suami
e. Menghina orang lain
f. Mencemarkan nama baik orang lain
g. Meng-gibah orang yang tidak halal kehormatannya6
h. Mengancam atau menteror orang lain
i. Mengabaikan hak orang tua, isteri, anak dan atau keluarga lainnya.
j. Meremehkan kewajiban yang berkenaan dengan harta (dzimmah maliah),
k. Mengingkari janji tanpa udzur syar'i.
3. Setiap anggota yang dengan sengaja melakukan pelanggaran syar'i sedang diancam dengan sanksi sedang.
4. Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat ditambah tindakan.

Pasal 12
Pelanggaran Syar'i Berat

2
Yang dimaksud dengan Muruah adalah keterhormatan kedudukan atau nama baik seseorang muslim yang harus dijaga oleh dirinya. Melakukan
sesuatu perbuatan yang menurunkan atau merusak citra dirinya dipandang perbuatan yang merusak muruah. Hal ini sesuai dengan posisi moral
dan sosial yang bersangkutan.
Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan yang tidak seyogyanya (khilaful aula), seperti perbuatan yang termasuk makruh.
3
Yang dimaksud dengan tindak pidana hudud adalah tindak kriminal yang telah ditetapkan hukumannya oleh al-Quran dan sunnah seperti zina,
menuduh berzina, mencuri, mabuk, muharabah, dan murtad.
Sedangkan qisas adalah tindakan pembunuhan, memotong sebagian anggota tubuh, atau melukainya.
4
Yang dimaksud dengan tidak menegakkan shalat jama'ah adalah:
Pertama, jika seseorang sama sekali tidak pernah melaksanakan shalat fardhu berjama'ah, baik di mesjid atau di tempat lain,
Kedua, jika seseorang anggota yang shalat fardhunya lebih sering tidak dilaksanakan secara berjama'ah baik di mesjid maupun di tempat selain
mesjid,
Ketiga, seseorang anggota yang shalat isya dan shubuhnya lebih sering tidak dilaksanakan secara berjama'ah.
5
Yang dimaksud dengan khalwah adalah seorang pria atau wanita berduaan dengan lawan jenisnya yang bukan mahram dan bukan suami-istri di
tempat yang tidak dilihat oleh orang lain yang mengundang fitnah dan atau godaan syetan.
6
Yang dimaksud dengan meng-ghibah orang yang tidak halal kehormatannya adalah menceritakan sesama Muslim tentang hal yang tidak
disenanginya. Tidak termasuk ghibah jika hal tersebut dilakukan untuk kemaslahatan yang lebih besar dengan tetap membatasi pada apa yang
benar-benar perlu. Seperti untuk keperluan penyidikan untuk kepentingan agama, penyidikan dan atau kesaksian di pengadilan
1. Pelanggaran syar'i berat adalah melakukan suatu larangan syar'i yang pelakunya dapat dijatuhi salah satu
dari hukuman hudud atau qishash, dan perbuatan lainnya yang (tidak diperselisihkan lagi) merupakan dosa
besar.
2. Setiap anggota yang dengan sengaja melakukan pelanggaran syar'i berat dapat dijatuhi salah satu sanksi
berat.
3. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditambah tindakan.

Pasal 13
Pelanggaran Organisasi
1. Setiap anggota yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang dapat menodai
citra partai dapat dijatuhi sanksi sedang.
2. Setiap anggota yang dengan sengaja memiliki sikap, menyampaikan perkataan atau melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan tujuan atau dengan AD/ART Partai dapat dijatuhi sanksi sedang.
3. Setiap anggota yang dengan sengaja tidak menghadiri liqa usrah atau tandzimi tanpa alasan yang sah dapat
dijatuhi tindakan.7
4. Jika ketidakhadiran tersebut pada ayat (3) terjadi lebih dari tiga kali maka anggota tersebut dapat dijatuhi
sanksi serendah-rendahnya sanksi ringan dan setinggi-tingginya sanksi sedang.
5. Setiap anggota yang tanpa alasan yang sah tidak menjaga, melindungi atau menjamin amanah yang
dipercayakan kepadanya dari anggota lainnya, amanah dari hasil musyawarah atau keputusan pimpinan dapat
dijatuhi dengan sanksi seringan-ringannya sanksi ringan dan seberat-beratnya sanksi sedang.
6. Sanksi pada ayat (5) dapat ditambah tindakan berupa memenuhi amanah yang belum dilaksanakan,
sepanjang amanah tersebut masih bisa ditunaikan.
7. Setiap anggota yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan partai
serta sarana-sarana yang dimilikinya dapat dijatuhi sanksi berat.8
8. Setiap anggota yang tanpa alasan sah:
a. Tidak melaksanakan hasil musyawarah partai
b. Tidak mematuhi keputusan pimpinan yang harus ditaati
c. Tidak mematuhi peraturan-peraturan partai
d. Tidak mematuhi kebijakan-kebijakan partai
e. Tidak mematuhi sikap-sikap partai,
Dapat dijatuhi serendah-rendahnya sanksi sedang dan setinggi-tingginya sanksi berat
9. Setiap anggota yang dengan sengaja dan tanpa alasan yang sah tidak membayar iuran wajib yang telah
ditetapkan partai selama tiga bulan berturut-turut dapat dijatuhi sanksi ringan.
10. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak mengurangi kewajiban pembayaran iuran yang harus
dipenuhi anggota tersebut.
11. Tuntutan atas pelanggaran ayat (9) tidak dapat diajukan sebelum bendahara partai sesuai tingkatannya
menyampaikan 3 (tiga) kali teguran tertulis kepada yang bersangkutan atas sikapnya tersebut.
12. Tuntutan atas pelanggaran ayat (9) menjadi gugur apabila yang bersangkutan membayar iuran tersebut
disertai penjelasan atau alasan keterlambatan tersebut dan permintaan maaf,
13. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (4), (5), (7), dan (8) dari pasal ini dapat ditambah dengan
tindakan.

Pasal 14
Klasifikasi Sanksi
1. Sanksi yang dijatuhkan kepada tersalah mempunyai tingkatan sebagai berikut:
a. Sanksi ringan,
b. Sanksi sedang,
c. Sanksi berat.
2. Sanksi ringan adalah berupa peringatan tertulis
3. Sanksi sedang terdiri atas:
a. Teguran yang diumumkan,

7
Yang dimaksud liqa atau acara tanzhimi, termasuk liqa tarbawi yang ditetapkan oleh organisasi
8
Yang dimaksud (dengan melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan partai serta sarana-sarana yang dimilikinya) dalam pasal
ini adalah perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian fatal seperti ditangkapnya jajaran qiyadah, pembekuan kegiatan partai dan
pembubarannya.
b. Peringatan keras,
c. Pemutasian tugas,
d. Pencekalan (al hajru),
e. Denda,
f. Skorsing 1 bulan s/d 3 bulan.
4. Sanksi berat terdiri atas:
a. Skorsing 3 bulan sd 6 bulan,
b. Pembekuan,
c. Penurunan status keanggotaan,
d. Pemboikotan,
e. Pemberhentian

Pasal 15
Tindakan
Majelis Qadha dapat memilih salah satu dari pilihan tindakan berikut bagi tersalah:
1. Istitabah, yaitu menyuruh taubat melalui cara yang ditentukan, seperti:
a. Membaca istighfar dalam jumlah tertentu selama waktu tertentu,
b. Menyatakan pengakuan bersalah secara suka rela,
c. Meminta maaf atau meminta diridhakan kepada pihak yang dizhalimi
d. Tilawatul quran sejumlah tertentu selama waktu tertentu
e. Meminta taujih atau tadzkirah kepada muwajjih tertentu.
2. Raddul mazhalim, yaitu mengembalikan hak-hak yang dizhalimi kepada pemiliknya seperti
mengembalikan modal, mengganti kerugian (ta’widh)
3. Melaksanakan kaffarat, yaitu berupa:
a. Shiyam tiga hari atau febih,
b. Ith’am (memberi makan) sepuluh orang, enam puluh orang atau lebih,
c. Infaq sebagai pengganti itqu raqabah, dengan besaran nilai yang ditentukan qadhi,
d. Memerintahkan berikrar memperbaharui tekad atau janji dan komitmen moralnya,
e. Tindakan lain yang dipandang efektif oleh qadhi untuk merealisasikan tujuan penjatuhan sanksi.

BAB V
KLASIFIKASI PENYELESAIAN PERKARA PELANGGARAN

Pasal 16
Klasifikasi Perkara
1. Perkara yang dimaksud dalam peraturan ini adalah meliputi tiga perkara, yaitu perkara biasa,
perkara luar biasa, dan perkara khusus.
2. Perkara biasa adalah perkara yang menyangkut anggota inti partai selain jajaran pimpinan lembaga
tinggi, tertinggi partai, dan anggota Majelis syura.
3. Perkara luar biasa adalah perkara yang menyangkut jajaran pimpinan partai, yaitu para Ketua
Dewan Pimpinan Pusat, Sekretaris Jenderal, Bendahara Umum, dan Wakil Ketua Dewan Syari’ah, wakil ketua
Majelis Pertimbangan Partai, dan anggota Majelis Syura.
4. Perkara khusus adalah perkara yang menyangkut jajaran pimpinan tertinggi dan tinggi partai, yaitu
para ketua dari Majelis Syura, Majelis Pertimbangan Partai, Dewan syariah, dan Presiden

Pasal 17
Penyelesaian Perkara Biasa
1. Penyelesaian perkara biasa harus melalui Lajnah Hisbah yang kemudian diperiksa dan diajukan kepada
Dewan Syari’ah Wilayah untuk mendapatkan putusan.
2. Seluruh perkara biasa sebelum diajukan ke Dewan Syari’ah Wilayah dapat diselesaikan di tingkat Hisbah.
3. Perkara yang tidak dapat diselesaikan di tingkat Hisbah diajukan kepada Dewan Syari’ah Wilayah untuk
mendapatkan putusan.

Pasal 18
Penyelesaian Perkara Luar Biasa
1. Penyelesaian perkara luar biasa langsung ditangani oleh Dewan Syari’ah.
2. Dewan syari'ah melaporkan putusannya kepada Majelis syura untuk mendapatkan pengukuhan.
3. Dewan Syari’ah menyusun prosedur penyelesaian perkara luar biasa.

Pasal 19
Prosedur Penyelesaian Perkara Khusus
1. Penyelesaian perkara khusus langsung ditangani oleh komisi khusus yang bersifat ad hoc.
2. Komisi khusus dibentuk dan diberi mandat oleh maielis syuro setelah mempertimbangkan laporan dari
Dewan Syari’ah.
3. Komisi khusus memproses perkara khusus dan selanjutnya menyampaikan rekomendasinya kepada Majelis
syura untuk mendapatkan putusan akhir.
BAB VI
PROSEDUR PENYELESAIAN PERKARA BIASA

Pasal 20
Pelaporan dan Pengaduan
1. Setiap anggota dapat mengajukan laporan kepada Lajnah Hisbah mengenai suatu pelanggaran yang
dilakukan oleh anggota lainnya.
2. Setiap anggota yang merasa dirugikan atas tindakan anggota lainnya dapat mengadukan anggota tersebut
kepada Lajnah hisbah.
3. Laporan/pengaduan diajukan baik dalam bentuk tertulis ataupun lisan yang selanjutnya akan dicatat oleh
Lajnah Hisbah untuk ditindaklanjuti.

Pasal 21
Pengajuan dan Penyelesaian Perkara oleh Lajnah Hisbah
1. Atas laporan alau pengaduan yang diterima, Lajnah Hisbah harus dapat menyelesaikannya paling lama
dalam waktu 15 (lima belas) hari.
2. Penyelesaian yang dilakukan oleh Lajnah Hisbah dapat berupa:
a. Mendamaikan pihak yang terkait
b. Menyatakan bahwa perkara yang dilaporkan/diadukan tidak didukung alasan yang memadai sehingga tidak
dapat diteruskan
c. Menyatakan bahwa perkara yang dilaporkan/diadukan harus diselesaikan oleh Majelis Qadha
3. Dalam hal Lajnah Hisbah berpendapat bahwa anggota yang diadukan bersalah tetapi atas pertimbangannya
perkara itu tidak perlu diteruskan ke Majelis Qadha, kepada anggota yang diadukan dapat diberikan salah satu
dari tindakan berikut:
a. Pemberitahuan atau klarifikasi lisan atau tulisan,
b. Menghadirkan tersalah di hadapan mas’ul sehingga yang bersangkutan merasa tertegur
c. Mas'ul menunjukkan sikap dingin terhadap tersalah
d. Teguran halus,
e. Teguran agak keras,
f. Melakukan tindakan lain bersifat tarbawi kepada anggota yang diadukan
4. Sebelum memberikan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Lajnah Hisbah
berkordinasi dengan naqib.
5. Jika menurut pertimbangan Lajnah Hisbah suatu perkara harus diajukan kepada Majelis Qadha, maka
Lajnah Hisbah harus menyerahkan, berkas perkara kepada Majelis Qadha paling lambat 21 (dua puluh satu hari)
sesudah laporan/pengaduan tersebut diterima.
6. Berkas perkara yang diajukan uleh Lajnah Hisbah sekurang-kurangnya mencakup:
a. Data anggota yang diduga melakukan pelanggaran yang meliputi:
i. Nama lengkap,
ii. Tempat dan tanggal lahir,
iii. Jenis kelamin,
iv. Alamat lengkap,
v. Status keanggotaan.
b. Pelanggaran yang dituduhkan
c. Keterangan yang cermat dan jelas mengenai terjadinya pelanggaran yang dituduhkan
d. Alat-alat bukti yang akan diajukan, antara lain:
i. Pengakuan,
ii. Keterangan saksi,
iii. Surat-surat/dokumen,
iv. Petunjuk (qorinah),
v. Keterangan ahli.

Pasal 22
Pemeriksaan di Depan Majelis Qadha
1. Majelis Qadha memeriksa dan menyelesaikan perkara dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sesudah berkas perkara diserahkan Lajnah Hisbah.
2. Pemeriksaan perkara dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
a. Pembacaan tuduhan oleh Lajnah Hisbah,
b. Pemeriksaan saksi-saksi, surat, dan saksi ahli,
c. Pemeriksaan anggota yang dituduh.
3. Selama pemeriksaan, anggota yang dituduh melakukan pelanggaran dapat didampingi oleh seorang
pendamping yang akan membantunya mempersiapkan bukti-bukti dan menyusun jawaban.

Pasal 23
Putusan Majelis Qadha
1. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, Majelis Qadha memberikan putusan di depan tertuduh
2. Apabila tertuduh berhalangan hadir tanpa udzur syar’i maka Majelis Qadha dapat memutuskan
perkara tersebut secara in absensia (ghiyabiyan).
3. Putusan yang diambil berupa:
a. Menyatakan anggota yang dituduh tidak bersalah,
b. Menyatakan anggota yang dituduh bersalah,
4. Dalam hal putusan kedua yang diambil, Majelis Qadha dapat menjatuhkan:
a. Sanksi dan atau
b. Tindakan.
5. Anggota yang dinyatakan salah dapat mengajukan permohonan banding secara tertulis kepada
Majelis Qadha tingkat banding selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sesudah putusan dibacakan; Salinan
permohonan banding tersebut diberikan kepada Majelis Qadha tingkat pertama.
6. Dalam hal tersalah menyatakan menerima putusan, maka Majelis Qadha memerintahkan kepada
munaffidz untuk menjalankan putusan.
7. Putusan yang dapat dibanding hanyalah putusan yang berupa penjatuhan sanksi.

Pasal 24
Pemeriksaan Tingkat Banding
1. Majelis Qadha tingkat banding memeriksa dan memutus perkara banding dalam waktu paling lambat 15
(lima belas) hari sesudah risalah banding diterima.
2. Dalam memeriksa perkara di tingkat banding, Majelis Qadha dapat melakukan satu hal-hal sebagai berikut:
a. Memeriksa berkas permohonan banding pemohon;
b. Memeriksa argumentasi Majelis Qadha tingkat pertama;
c. Memeriksa berkas pemeriksaan di tingkat pertama;
d. Memeriksa berkas pemeriksaan di tingkat pertama dan memerintahkan Qadha menambah
pemeriksaan yang diperlukan; atau
e. Memeriksa berkas pemeriksaan di tingkat pertama dan melakukan pemeriksaan tambahan
yang dianggap perlu;
f. Memeriksa ulang dari awal jika memandang perlu.

Pasal 25
Putusan Tingkat Banding
1. Sesudah melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur pada pasal 24 Majelis Qadha Tingkat banding
memberikan putusan, yang berupa:
a. Menguatkan putusan Majelis Qadha tingkat pertama;
b. Membatalkan putusan Majelis Qadha tingkat pertama;
c. Memperbaiki putusan Majelis Qadha tingkat pertama;
2. Putusan Majelis Qadha tingkat banding merupakan putusan terakhir dan berkekuatan hukum tetap.
3. Majelis Qadha tingkat banding mengirimkan salinan putusan kepada Majelis Qadha tingkat pertama dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari sesudah putusan dibuat.
4. Atas putusan tingkat banding ini, Majelis Qadha memerintahkan kepada munaffidz untuk menjalankan
putusan dan mengawasi pelaksanaan putusan sesuai daerah kerjanya.

Pasal 26
Pelaksanaan Putusan
1. Lembaga pelaksana putusan adalah seluruh jajaran ekskekutif partai dari tingkat pusat sampai tingkat
Dewan Pimpinan Daerah (DPD).
2. Pelaksanaan putusan dilakukan oleh lembaga eksekutif partai sesuai dengan tingkat dimana perkara
tersebut diputuskan dan atas amar Majelis Qadha.
3. Putusan yang sedang dalam prosas banding tidak bisa dilaksanakan hingga mendapat putusan dari Majelis
banding.

Pasal 27
Peninjauan Ulang (PU)
Dewan Syari’ah dapat meninjau ulang putusan akhir apabila ditemukan bukti-bukti baru yang meringankan.

Pasal 28
Rehabilitasi dan Reposisi9
1. Apabila tertuduh dinyatakan bari' atau tidak bersalah oleh Majelis Qadha, maka munaffidz wajib
melakukan rehabilitasi tertuduh selambat-lambatnya 15 hari setelah putusan Majelis.
2. Tatacara rehabilitasi diatur oleh Dewan Syari’ah sesuai dengan situasi dan kondisi dengan cara yang
sebaik-baiknya.
3. Apabila tersalah telah selesai menjalani sanksi dan tindakan sebagaimana mestinya, dan tidak mengulangi
perbuatannya, maka pihak munaffidz harus segera mereposisi dan meresosialisasi yang bersangkutan selambat-
lambatnya 15 hari sejak selesainya sanksi dan tindakan tersebut.

BAB VII
ATURAN PERALIHAN

Pasal 29
1. Peraturan ini tidak membatalkan ataupun menghentikan keharusan atau pelaksanaan eksekusi atas kasus-
kasus yang telah diputus berdasarkan pedoman sanksi yang lama.
2. Perkara yang terjadi sebelum peraturan ini berlaku dan belum ditangani sesuai pedoman sanksi yang lama
diselesaikan sesuai peraturan ini.
3. Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini dan diperlukan untuk efektifnya putusan Majelis Qadha
ditentukan sendiri oleh Majelis.

BAB VIII
ATURAN PENUTUP

Pasal 30
Dengan berlakunya peraturan ini maka peraturan penjatuhan sanksi yang lama dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 31
Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berlaku efektif enam bulan setelah ditetapkan.

9
Tersalah telah menjalani sanksi dan tindakan sebagaimana mestinya jika terbukti tidak mengulangi perbuatan yang sama selama menjalani
sanksi/tindakan
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Rajab 1423 H/ 29 September 2002 M

Majelis Syura Partai Keadilan

Anda mungkin juga menyukai