Anda di halaman 1dari 166

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan izin-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir
dengan judul “Museum Etnologi Sulawesi Tengah Di Palu”. Penelitian dan
penulisan ini dalam rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan Program
Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Tadulako, Palu.
Dengan terselesaikannya penulisan ini, penulis ingin menyampaikan
hormat dan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua
orang tua tercinta Ayahanda Irfan Jabar dan Ibunda Nur Anci yang senantiasa dan
tak henti-hentinya memberikan doa, kasih sayang, didikan, bimbingan, bantuan,
dorongan, dan segala fasilitas yang menjadi motivasi penulis dalam menyelesaikan
studi selamai ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberkati dan melimpahkan
kesehatan serta kesejahtraan-Nya. Amin.
Ucapan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya juga disampaikan
kepada bapak Dr. Ir. H. Zaenal Sirajuddin, MT selaku pembimbing I, dan ibu Dr. Ir.
Ahda Mulyati, MT selaku pembimbing II serta bapak Zubair Butudoka, ST., MT
selaku dosen wali yang penuh kesabaran dan keikhlasan dalam memberikan
arahan secara terus-menerus dan juga memberikan motivasi serta masukan yang
sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Pada penulisan hasil ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak, untuk itu perkenankan pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Muh. Basir, S.E, M.S selaku Rektor Universitas Tadulako.
2. Bapak Dr.H. Amar, ST., MT selaku dekan Fakultas Teknik Universitas Tadulako.
3. Ibu Dr. Ir. Ahda Mulyati, ST., MT dan Bapak Dr. Muhammad Bakri, ST.,MT
selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Tadulako.

i
4. Ibu Andi Jiba Rifai B. ST., MT selaku Ketua Program Studi S1 Teknik Arsitektur
Universitas Tadulako.
5. Bapak/Ibu dosen Jurusan Teknik Arsitektur Untad yang telah membagikan
ilmu pengetahuannya kepada penulis sejak awal kuliah hingga akhir.
6. Segenap pegawai tata usaha Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNTAD yang
banyak membantu semasa perkuliahan penulis.
7. Saudara kandung Moh. Shafri, Fatmawati, dan Moh. Ghazali yang banyak
membantu baik moral maupun materil.
8. Teruntuk sahabat seperjuangan Idham, Udin, fahrul, Ale, Landri, Nanong,
Toiyanta, Razab, Udo, Maya, Fany, Monik, Tiwi, Irta, Della, Bella dan Irha
untuk tawa kalian yang selalu ada.
9. Kawan - kawan mahasiswa Arsitektur 2012 Tadulako yang tidak bisa
disebutkan satupersatu, terima kasih atas segala kebersamaan, do’a, dan
semangat yang dilalui bersama.
10. Kawan- kawan KKN-71 layana indah, Fandy, Yudi, Vhytha, Asmita, Edys, Ayu
dan Nisa serta kawan- kawan lainya yang tidak bisa disebutkan satupersatu,
terima kasih selalu menjaga dan memberikan dukungan selama ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat banyak
kekurangan dalam penulisan skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan penulis. Untuk itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan tulisan ini. Dengan segala kerendahan hati,
penulis berharap semoga Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua,
khususnya pengembangan ilmu dan teknologi arsitektur.

Palu, Juli 2017

JALALUDDIN

ii
MUSEUM OF ETHNOLOGY CENTRAL SULAWESI IN PALU
Jalaluddin¹, Zaenal Sirajuddin², Ahda Mulyati³
Department Of Architecture Engineering Faculty Tadulako University

ABSTRAC
The purpose of this study is to conceptualize the concept of design and
create an effective Museum Ethnology design and in accordance with the concept
of Regionalism Architecture.
Data were collected through unstructured observation and interview
process to produce data in the form of situation description about the observed
object of the researcher, as well as literature study and case study.
The data were analyzed by using macro micro analysis and studying the
principles of the Regionalism Architecture design to find out the specific traditions
identity based on place / area and climate in order to obtain the transformation
of Central Sulawesi Architectural Regionalism (analogous study of Bantaya House)
to the Museum of Ethnology.
The result of this study is the design of the Museum of Ethnology of Central
Sulawesi in Palu, planned by considering the cultural potentials of Central
Sulawesi. The image of the building is obtained through the approach of
architecture of regionalism (the analogous study of Bantaya House) taking into
account the modern elements and local wisdom.
Museum of Ethnology Central Sulawesi in Palu is a museum provided for
educational, research and tourism activities by relying on the appeal of ethnic or
cultural behavior especially in Central Sulawesi.

Keywords : Museum, Ethnology, Regionalism Architecture

¹Mahasiswa
²Dosen Pembimbing 1
³Dosen Pembimbing 2

iii
MUSEUM ETNOLOGI SULAWESI TENGAH DI PALU
Jalaluddin¹, Zaenal Sirajuddin², Ahda Mulyati³
Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako

ABSTRAK
Tujuan dari studi ini ialah untuk menyusun konsep perancangan serta
menciptakan desain Museum Etnologi yang efektif dan sesuai dengan konsep
Regionalisme Arsitektur.
Data dikumpulkan melalui proses observasi dan wawancara tidak
terstruktur untuk menghasilkan data berupa gambaran situasi mengenai objek
yang diamati peneliti, serta studi literatur dan studi kasus.
Data di analisis dengan menggunakan analisis makro mikro serta mengkaji
prinsip rancang Regionalsime Arsitektur untuk mengetahui identitas tradisi secara
khusus berdasarkan tempat/daerah dan iklim guna mendapatkan transformasi
bentuk Regionalisme Arsitektur Sulawesi Tengah (studi analogi rumah bantaya)
penerapanya pada Museum Etnologi.
Hasil dari studi ini ialah desain Museum Etnologi Sulawesi Tengah di Palu,
direncanakan dengan mempertimbangkan potensi-potensi kebudayaan yang ada
di Sulawesi Tengah. Citra bangunan diperoleh melalui pendekatan arsitektur
regionalisme (studi analogi rumah bantaya) dengan mempertimbangkan unsur
modern dan kearifan lokal.
Museum Etnologi Sulawesi Tengah di Palu adalah sebuah museum yang
disediakan untuk kegiatan pendidikan, penelitian dan pariwisata dengan
mengandalkan daya tarik perilaku etnik atau kebudayaan khususnya di Sulawesi
Tengah.

Kata Kunci : Museum, Etnologi, Regionalisme Arsitektur

¹Mahasiswa
²Dosen Pembimbing 1
³Dosen Pembimbing 2

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
LEMBAR PERSETUJUAN
PRAKATA ................................................................................................................i
ABSTRAC ............................................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................v
DAFTAR TABEL .................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 3
1.3. Tujuan dan Sasaran Penelitian .................................................................... 3
1.3.1. Tujuan .................................................................................................... 3
1.3.2. Sasaran ................................................................................................... 3
1.4. Lingkup Penelitian ....................................................................................... 4
1.5. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4
1.5.1. Manfaat Teoritis .................................................................................... 4
1.5.2. Manfaat Praktis...................................................................................... 4
1.6. Sistematika Penulisan.................................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Tinjauan umum ............................................................................................ 5
2.1.1. Pengertian Museum .............................................................................. 5
2.1.2. Fungsi Museum ...................................................................................... 5
2.1.3. Jenis Museum ........................................................................................ 6

v
2.1.4. Penyajian Koleksi ................................................................................... 9
2.1.5. Kegiatan Dalam Museum ..................................................................... 12
2.1.6. Fasilitas Museum ................................................................................. 13
2.1.7. Persyaratan Berdirinya Museum ......................................................... 14
2.1.8. Studi Banding Museum Etnologi ......................................................... 18
2.2. Tinjauan Khusus Regionalisme Arsitektur ................................................ 22
2.2.1. Regionalisme Sebagai Alternatif .......................................................... 22
2.2.2. Ciri Regionalisme ................................................................................. 22
2.2.3. Prinsip Rancang Regionalisme ............................................................. 24
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian ........................................................................................ 27
3.2. Alur Penelitian ........................................................................................... 28
3.3. Metode Penelitian ..................................................................................... 29
3.4. Jenis Data ................................................................................................... 29
3.4.1. Data Primer .......................................................................................... 29
3.4.2. Data Sekunder...................................................................................... 29
3.5. CaraPenelitian ............................................................................................ 30
3.6. Teknik Analisis dan Sintesis ....................................................................... 30
3.6.1. Teknik Analisis ...................................................................................... 30
3.6.2. Sintesis ................................................................................................. 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil ............................................................................................................ 33
4.1.1. Gambaran Umum Kota Palu ................................................................ 33
4.1.2. Potensi Museum Etnologi .................................................................... 37
4.1.3. Koleksi Benda Museum Etnologi ......................................................... 43
4.1.4. Sistem Pengelolaan Museum .............................................................. 49
4.2. Pembahasan : Pendekatan Konsep Perancangan .................................... 54
4.2.1. Pendekatan Konsep Tapak................................................................... 56
4.2.2. Pendekatan Konsep Sirkulasi ............................................................... 63

vi
4.2.3. Pendekatan Konsep Parkir ................................................................... 64
4.2.4. Pendekatan Konsep Iklim (Matahari & Angin) .................................... 66
4.2.5. Pendekatan Konsep Noice (Kebisingan) .............................................. 67
4.2.6. Pendekatan Konsep Ruang Luar .......................................................... 68
4.2.7. Pendekatan Konsep Aktivitas Pelaku ................................................... 72
4.2.8. Pendekatan Konsep Kebutuhan Ruang ............................................... 77
4.2.9. Pendekatan Konsep Bentuk ................................................................. 80
4.2.10. Pendekatan Konsep Struktur ............................................................. 85
4.2.11. Pendekatan konsep Utilitas ............................................................... 87
4.3. Konsep Perancangan ................................................................................. 89
4.3.1. Konsep Tapak ....................................................................................... 89
4.3.2. Konsep Sirkulasi dan Parkir .................................................................. 91
4.3.3. Konsep Pengendalian Iklim ................................................................. 95
4.3.4. Konsep Noice (Kebisingan) .................................................................. 97
4.3.5. Konsep Ruang Luar .............................................................................. 99
4.3.6. Konsep Penzoningan Tapak ............................................................... 102
4.3.7. Konsep Aktivitas dan Kebutuhan Ruang ............................................ 104
4.3.8. Konsep Hubungan Ruang ................................................................... 107
4.3.9. Konsep Besaran Ruang ...................................................................... 110
4.3.10. Konsep Zoning Ruang ...................................................................... 113
4.3.11. Konsep Bentuk ................................................................................. 121
4.3.12. Konsep Struktur ............................................................................... 124
4.3.13. Konsep Utilitas ................................................................................. 128
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan............................................................................................... 133
5.2. Saran......................................................................................................... 134
5.3. Rekomendasi Desain ............................................................................... 135
5.3.1. Jalur Pelayanan Museum Etnologi..................................................... 135
5.3.2. Site Plan ............................................................................................. 136

vii
5.3.3. Sirkulasi Tapak ................................................................................... 137
5.3.4. Zona ................................................................................................... 137
5.3.5. Orientasi Matahari dan Angin............................................................ 148
5.3.6. View ................................................................................................... 149
5.3.7. Kebisingan (Noice) ............................................................................. 149
5.3.8. Ruang Luar (Landscape) ..................................................................... 150
5.3.9. Bentuk / Tampilan Bangunan ............................................................ 151
5.3.10. Struktur ............................................................................................ 152
5.3.11. Utilitas .............................................................................................. 153
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 154

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Instrumen Penelitian ............................................................................ 30


Tabel 4.1. Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Wilayah kota Palu ...................... 36
Tabel 4.2. Data Benda Koleksi .............................................................................. 44
Tabel 4.3. Jenis pola parkir ................................................................................... 65
Tabel 4.4. Jenis Vegetasi yang digunakan............................................................. 69
Tabel 4.5. Jenis Perkerasan dan Furniture yang digunakan ................................. 71
Tabel 4.6. Jumlah Penduduk Kota Palu dan pariwisata dalam 5 Tahun .............. 74
Tabel 4.7. Kebutuhan Ruang ................................................................................. 77
Tabel 4.8. Perbandingan Pemilihan Pendekatan Bentuk Museum Etnologi ........ 84
Tabel 4.9. Jenis-jenis pondasi ............................................................................... 85
Tabel 4.10. Jenis-jenis Upper Structure (kolom dan balok).................................. 86
Tabel 4.11. Jenis-jenis Upper Structure (penutup atap) ...................................... 87
Tabel 5.1. Total Perhitungan Luasan Area Parkir ............................................... 139
Tabel 5.2. Total Perhitungan Luas Lantai Bangunan Utama............................... 140
Tabel 5.3. Total Perhitungan Luas Lantai Lesehan Etnis..................................... 142
Tabel 5.4. Total Perhitungan Luas Lantai Ampiteter .......................................... 143
Tabel 5.5. Total Perhitungan Luas Lantai Unit Pelayanan Administrasi ............. 144
Tabel 5.6. Total Perhitungan Luas Lantai Unit Pelayanan Servis dan Teknis ..... 145
Tabel 5.7. Total Perhitungan Luas Lantai Unit Pelayanan Keamanan ................ 146
Tabel 5.8. Rekapitulasi Perhitungan Luas lantai terbangun ............................... 147

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. System Pencahayaan Dan Penghawaan .......................................... 16


Gambar 2.2. System Ergonomi Dan Tata Letak Koleksi ........................................ 17
Gambar 2.3. Sirkulasi Ruang Pamer ..................................................................... 17
Gambar 2.4. Sirkulasi Ruang Pamer ..................................................................... 18
Gambar 2.5. Museum Indonesia .......................................................................... 18
Gambar 2.6. Museum Etnologi Vietnam .............................................................. 20
Gambar 2.7. Museum Nasional Etnologi Japan .................................................... 21
Gambar 2.8. Style Regionalisme Arsitektur ......................................................... 24
Gambar 3.1. Peta Administrasi Kota Palu ............................................................. 27
Gambar 3.2. Alur Penelitian................................................................................. 28
Gambar 3.3. Alur Pengolahan Data ...................................................................... 31
Gambar 4.1. Grafik presentase jumlah wisatawan ke Sulawesi Tengah .............. 37
Gambar 4.2. Contoh Benda Koleksi ...................................................................... 46
Gambar 4.3. Contoh Benda Koleksi ...................................................................... 47
Gambar 4.4. Contoh Benda Koleksi ...................................................................... 48
Gambar 4.5. Contoh Benda Koleksi ...................................................................... 49
Gambar 4.6. Struktur Organisasi Museum ........................................................... 50
Gambar 4.7. Peta Administrasi Kota Palu ............................................................. 57
Gambar 4.8. Lokasi Alternatif 1 ............................................................................ 58
Gambar 4.9. Lokasi Alternatif 2 ............................................................................ 60
Gambar 4.10. Lokasi Alternatif 3 .......................................................................... 62
Gambar 4.11. Tanggapan Terhadap Matahari Dan Angin .................................... 67
Gambar 4.12. Tanggapan Terhadap kebisingan ................................................... 68
Gambar 4.13. Rumah Adat Saoraja / Banua Oge ................................................. 81
Gambar 4.14. Rumah Lobo ................................................................................... 82
Gambar 4.15. Rumah Tambi ................................................................................. 83
Gambar 4.16. Rumah Bantaya .............................................................................. 83

x
Gambar 5.1. Alur Pelayanan Museum Etnologi.................................................. 135
Gambar 5.2. Sirkulasi Tapak ............................................................................... 137
Gambar 5.3. Model Pola Parkir........................................................................... 138
Gambar 5.4. Skematik Denah Unit Pelayanan Umum (Gedung Utama) ............ 140
Gambar 5.5. Skematik Denah Unit Pelayanan Umum (Lesehan Etnis) .............. 142
Gambar 5.6. Skematik Denah Unit Pelayanan Umum (Ampiteater) .................. 143
Gambar 5.7. Skematik Denah Pelayanan Administrasi (Pengelola) ................... 144
Gambar 5.8. Skematik Denah Bangunan Unit Pelayanan Service dan Teknis .... 145
Gambar 5.9. Skematik Denah bangunan Unit Pelayanan Keamanan ................ 146
Gambar 5.10. Material Kedap Suara dan vegetasi Untuk meminimalisir bunyi 150
Gambar 5.11. Bentuk Bangunan Museum Etnologi ........................................... 152

xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Museum adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan
publik dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian,
mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, memamerkan benda nyata
kepada masyarakat untuk kebutuhan pendidikan, dan rekreasi. Karena itu
bisa menjadi dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu, ataupun
dokumentasi pemikiran imajinatif masa depan. Ada beberapa tipe museum
yaitu Museum Arkeologi, Museum Seni, Museum Biografi, Museum Anak,
Museum Universal, Museum Etnologi, Museum Rumah Bersejarah, Museum
Sejarah, Museum Maritim, dan Museum Militer Maritim (Wikipedia
Indonesia, ensiklopedia, 2016).
Etnologi, merupakan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat dari
bangsa-bangsa tertentu yang tersebar di muka bumi pada masa sekarang,
etnologi mempelajari dinamika kebudayaan, bagaimana kebudayaan
berkembang dan berubah, serta bagaimana kebudayaan tersebut dan
kebudayaan lain saling mempengaruhi, termasuk interaksi berbagai
kepercayaan dan cara-cara melaksanakannya. Museum Etnologi sendiri
adalah sebuah museum yang diperuntukkan bagi masyarakat umum yang
berfungsi untuk mengumpulkan, merawat, menyajikan artefak dan obyek
yang berhubungan dengan etnologi serta melestarikan warisan budaya
masyarakat, bendawi maupun non bendawi untuk tujuan studi, penelitian dan
pariwisata. Museum seperti ini dibangun pada suatu daerah yang memiliki
kelompok etnis atau etnis minoritas yang berjumlah banyak (Wikipedia
Indonesia, ensiklopedia, 2013).

1
Perkembangan sektor pendidikan, ekonomi, dan pariwisata yang
berdampak pada pergeseran dan perubahan lingkungan kebudayaan,
merupakan salah satu konsekuensi dan tuntutan dari era globalisasi yang
menuntut pelayanan sarana publik. Hal tersebut membawa dampak begitu
besar bagi Indonesia, terlihat dari berbagai aspek, diantaranya semakin
banyak masyarakat yang tidak mengenali warisan budaya daerahnya dan
mengakibatkan hilangnya nilai historis serta kearifan lokal pada generasi
muda. Hal ini, berdampak pada hilangnya identitas suatu daerah. Indonesia,
khususnya Sulawesi Tengah, memiliki keanekaragaman budaya dan
peninggalan yang menjadi identitas, aset kekayaan bangsa. Untuk menjaga
identitas daerah dan keanekaragaman budaya, Pemerintah Daerah
melakukan berbagai upaya diantaranya melalui visi Dinas Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif Provinsi Sulawesi Tengah : “Ketahanan budaya sejuta
wisatawan tahun 2020 dalam mendorong percepatan pertumbuhan
ekonomi kreatif”. Salah satu misinya yaitu : “Peningkatan upaya pelestarian,
pembinaan dan pemanfaatan serta penghargaan karya – karya budaya
untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan serta jati diri bangsa”. Visi
tersebut tidak sejalan dengan sarana publik yang ada utamanya pada
kebutuhan pendidikan dan pariwisata. Pada perkembangannya, Provinsi
Sulawesi Tengah memiliki ±2,839 juta jiwa penduduk yang terdiri atas 15
kelompok etnis atau suku bangsa dengan 22 bahasa berbeda, selain
penduduk asli, Sulawesi Tengah juga dihuni oleh transmigran seperti dari Bali,
Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Suku pendatang yang
juga banyak mendiami wilayah Sulawesi Tengah adalah Mandar, Bugis,
Makasar, dan Toraja serta etnis lainnya yang notabenya adalah masyarakat
budaya (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, 2014).
Berdasarkan uraian diatas, maka pemilihan judul “Museum Etnologi
Sulawesi Tengah di Palu”, sebagai judul tugas akhir, diharapkan mampu
memberi kontribusi terhadap sektor pendidikan dan pariwisata di Indonesia,

2
khususnya di Sulawesi Tengah. Adapun pemilihan lokasi perancangan
Museum Etnologi di Kota Palu didasarkan pada orientasi Kota Palu sebagai
ibukota provinsi, yang merupakan pusat perekonomian, pendidikan, dan
kebudayaan di Sulawesi Tengah, sejalan dengan perancangan tersebut perlu
dikembangkan suatu konsep Regionalisme Arsitektur yang mengacu pada
identitas tradisi secara khusus berdasarkan tempat / daerah dan iklim untuk
memperlihatkan identitas secara formal maupun simbolik ke dalam bentuk
baru yang disesuaikan dengan kebutahan era modern.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, masalah yang dapat
dirumuskan adalah belum tersedianya sarana publik untuk menampung
keanekaragaman warisan budaya Etnologi Sulawesi Tengah dan bagaimana
desain Museum Etnologi dengan penerapan konsep Regionalisme Arsitektur.

1.3. Tujuan dan Sasaran Penelitian


1.3.1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun konsep
perancangan serta mewuujudkan desain Museum Etnologi yang efektif dan
sesuai dengan konsep Regionalisme Arsitektur.
1.3.2. Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mendapatkan hasil desain Museum Etnologi Sulawesi Tengah di Palu dengan
penerapan konsep Regionalisme Arsitektur melalui tahapan sebagai berikut :
a. Menganalisis dan mengelompokan pelaku aktivitas serta jenis kegiatan
yang berlansung guna mendapatkan standar kebutuhan ruang dan
besaran ruang pada Museum Etnologi Sulawesi Tengah di Palu
b. Mentransformasi bentuk Museum Etnologi Sulawesi Tengah di Palu
sesuai dengan terapan konsep Regionalisme Arsitektur

3
1.4. Lingkup Penelitian
Penelitian perancangan Museum Etnologi ini dikhususkan untuk
masyarakat asli Sulawesi Tengah yang terdiri dari 15 suku (kelompok etnis)
yang tersebar di 13 kabupaten/Kota. Penelitian disesuaikan dengan lingkup
disiplin ilmu Arsitektur, dan kondisi serta kaitannya dalam disiplin ilmu
Arsitektur.

1.5. Manfaat Penelitian


1.5.1. Manfaat Teoritis
Untuk pengembangan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi), untuk
melestarikan keanekaragaman budaya Sulawesi Tengah dan sebagai
tambahan wawasan ilmu pengetahuan dan kontirbusi bagi pengembangan
ilmu Arsitektur, guna menjadi inspirasi penelitian lanjutan.
1.5.2. Manfaat Praktis
Untuk masyarakat pengguna / umum dan pemerintah, khusunya
pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tengah.

1.6. Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan Museum Etnologi Sulawesi Tengah di Palu terdiri
atas beberapa bab yakni, pada bab I berisi gambaran latar belakang perlunya
penelitian ini dilakukan, dengan melihat berbagai potensi dan masalah yang
muncul, bab ini juga mengemukakan tujuan penelitian, sasaran penelitian,
manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian serta sistematika penulisan.
Pada bab II Berisi tentang teori-teori mengenai Museum Etnologi yang
berkaitan dengan penelitian ini. Pada bab III berisi uraian lokasi penelitian,
metode penelitian, sumber data, instrumen penelitian, teknik pengumpulan
data serta teknik analisis dan sintesis. Pada bab IV berisi uraian data mengenai
obyek studi dan hasil analisis hingga mendapat keluaran (output) untuk
pembuatan konsep rancangan, dan pada bab V berisikan kesimpulan dan
rekomendasi desain.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan umum


2.1.1. Pengertian Museum
Museum adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan
publik dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian,
mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, memamerkan benda nyata
kepada masyarakat untuk kebutuhan pendidikan, dan rekreasi. Karena itu bisa
menjadi dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu, ataupun dokumentasi
pemikiran imajinatif masa depan. (Wikipedia Indonesia, ensiklopedia, 2016).

2.1.2. Fungsi Museum


Berdasarkan peraturan Pemerintah No 19 Tahun 1995, museum
memiliki tugas menyimpan, merawat, mengamankan dan memanfaatkan
koleksi museum, berupa benda cagar budaya. Dengan demikian museum
memiliki dua fungsi besar, yaitu :
a. Sebagai tempat pelestarian, museum harus melaksanakan kegiatan
sebagai berikut :
1) Penyimpanan, yang meliputi pengumpulan benda untuk menjadi
koleksi, pencatatan koleksi, sistem penomoran dan penataan koleksi.
2) Perawatan, yang meliputi kegiatan mencegah dan menanggulangi
kerusakan koleksi.
3) Pengamanan, yang meliputi kegiatan perlindungan untuk menjaga
koleksi dari gangguan atau kerusakan oleh faktor alam dan ulah
manusia.
b. Sebagai sumber informasi, museum melaksanakan kegiatan
pemanfaatan melalui penelitian dan penyajian.

5
1) Penelitian dilakukan untuk mengembangkan kebudayaan nasional,
ilmu pengetahuan dan teknologi.
2) Penyajian harus tetap memperhatikan aspek pelestarian dan
pengamanannya.

2.1.3. Jenis Museum


Menurut Direktorat Museum (2009), museum yang terdapat di
Indonesia dapat dibedakan atas beberapa jenis klasifikasi, yaitu :
a. Jenis museum berdasarkan koleksi yang dimiliki, terdapat dua jenis :
1) Museum Umum, yaitu museum yang koleksinya terdiri dari
kumpulan bukti material manusia dan atau lingkungannya yang
berkaitan dengan berbagai cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi.
2) Museum Khusus, yaitu museum yang koleksinya terdiri dari
kumpulan bukti material manusia atau lingkungannya yang berkaitan
dengan satu cabang seni, satu cabang ilmu atau satu cabang
teknologi.
b. Jenis museum berdasarkan kedudukannya, terdapat tiga jenis :
1) Museum Nasional, yaitu museum yang koleksinya terdiri dari
kumpulan benda yang berasal, mewakili dan berkaitan dengan bukti
material manusia dan atau lingkungannya dari seluruh wilayah
Indonesia yang bernilai nasional.
2) Museum Provinsi, yaitu museum yang koleksinya terdiri dari
kumpulan benda yang berasal, mewakili dan berkaitan dengan bukti
material manusia dan atau lingkungannya dari wilayah propinsi
dimana museum berada.
3) Museum Lokal, yaitu museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan
benda yang berasal, mewakili dan berkaitan dengan bukti material
manusia dan atau lingkungannya dari wilayah kabupaten atau
kotamadya dimana museum tersebut berada.

6
c. Jenis Museum Berdasarkan Tipe
Museum memiliki beragam tipe, dari institusi yang besar hingga
institusi kecil yang memusatkan diri kepada subyek tertentu, lokasi, atau
seseorang. Tipe dan ukuran museum tercermin dalam koleksinya, sebuah
museum biasanya memiliki koleksi inti yang merupakan benda terpenting
di bidangnya. Kategori museum-museum tersebut diantaranya :
1) Museum Arkeologi, merupakan museum yang mengkhususkan diri
untuk memajang artefak arkeologis. Museum arkeologi banyak yang
bersifat museum terbuka (museum yang terdapat di ruang terbuka
atau Open Air Museum).
2) Museum Seni, lebih dikenal dengan nama galeri seni, merupakan
sebuah ruangan untuk pameran benda seni, mulai dari seni visual
yaitu diantaranya lukisan, gambar, dan patung. Beberapa contoh
lainnya adalah seni keramik, seni logam dan furnitur.
3) Museum Biografi, merupakan museum yang didedikasikan kepada
benda yang terkait dengan kehidupan seseorang atau sekelompok
orang, dan terkadang memajang benda-benda yang mereka koleksi.
Beberapa museum terletak di dalam rumah atau situs yang terkait
dengan orang yang bersangkutan pada saat dia hidup.
4) Museum Anak, merupakan institusi yang menyediakan benda
pameran dan program acara untuk menstimulasi pengalaman
informal anak. Berlawanan dengan museum tradisional; yang
memiliki peraturan untuk tidak menyentuh benda pameran, museum
ini biasanya memiliki benda yang dirancang untuk dimainkan oleh
anak-anak. Museum anak kebanyakan merupakan organisasi nirlaba
dan dikelola oleh sukarelawan atau oleh staf profesional dalam
jumlah yang kecil.
5) Museum Universal atau dikenal pula dalam bahasa Inggris sebagai
Museum encyclopedic, merupakan museum yang umum kita jumpai.

7
Biasanya merupakan institusi besar, yang bersifat nasional, dan
memberikan informasi kepada pengunjung mengenai berbagai
variasi dari tema lokal dan dunia. Museum ini penting karena
meningkatkan rasa keingin-tahuan terhadap dunia.
6) Museum Etnologi, merupakan museum yang mempelajari,
mengumpulkan, merawat, dan memamerkan artefak dan obyek yang
berhubungan dengan etnologi. Museum seperti ini biasanya
dibangun di negara yang memiliki kelompok etnis atau etnis
minoritas yang berjumlah banyak.
7) Museum Rumah Bersejarah, atau yang lebih dikenal dengan rumah
bersejarah merupakan yang terbanyak jumlahnya di dunia dari
kategori museum sejarah. Museum ini biasanya beroperasi dengan
dana yang terbatas dan staf yang sedikit. Kebanyakan dikelola oleh
relawan dan sering kali tidak memenuhi syarat untuk menjadi
museum profesional.
8) Museum Sejarah, mencakup pengetahuan sejarah dan kaitannya
dengan masa kini dan masa depan. Beberapa di antara museum
tersebut memiliki benda koleksi yang sangat beragam, mulai dari
dokumen, artefak dalam berbagai bentuk, benda sejarah yang terkait
dengan even kesejarahan. Ada beberapa macam museum sejarah,
diantaranya, rumah bersejarah, yang merupakan bangunan yang
memiliki nilai sejarah atau arsitektural yang tinggi. Kedua adalah situs
bersejarah yang menjadi museum seperti Pulau Robben. Ketiga
adalah museum ruang terbuka atau disebut juga dengan nama Open
Air Museum. Pada museum ini, para masyarakat yang berada di
dalamnya berusaha untuk membuat ulang kehidupan pada suatu
waktu dengan sebaik mungkin, termasuk diantaranya bangunan dan
bahasa.

8
9) Museum Maritim, merupakan museum yang mengkhususkan diri
kepada presentasi sejarah, budaya atau arkeologi maritim.
Menceritakan kaitan antara masyarakat dengan kehidupan yang
berkaitan dengan air atau maritim. Terdapat beberapa jenis museum
maritim, diantaranya:
a) Museum Arkeologi Maritim yang menceritakan mengenai kaitan
arkeologi dengan maritim. Museum ini biasanya memajang dan
mengawetkan kapal karam dan artefak yang terkait dengan
lingkungannya.
b) Museum Sejarah Maritim, merupakan museum yang
mengedukasi masyarakat mengenai sejarah maritim di suatu
komunitas atau masyarakat.
c) Museum Militer Maritime, contoh dari museum ini adalah
Museum Nasional Angkatan Laut Amerika Serikat.

2.1.4. Penyajian Koleksi


Penyajian koleksi merupakan salah satu cara berkomunikasi antara
pengunjung dengan benda-benda koleksi yang dilengkapi dengan teks,
gambar, foto, ilustrasi dan pendukung lainnya. (Direktorat Museum, 2008)
a. Prinsip-Prinsip Penyajian Koleksi
Penataan koleksi di ruang pameran museum harus memenuhi
prinsip – prinsip penyajian koleksi sebagai berikut :
1) Sistematika atau alur cerita pameran
Sistematika atau alur cerita pameran sangat diperlukan dalam
penyajian koleksi di ruang pameran, karena akan mempermudah
komunikasi dan penyampaian informasi koleksi museum kepada
masyarakat.
2) Koleksi yang mendukung alur cerita

9
Koleksi yang mendukung alur cerita harus disajikan di ruang pameran
dan dipersiapkan, agar sajian koleksi terlihat hubungan dan
keterkaitan yang jelas antar isi materi pameran.
b. Jenis Pameran
Jenis pameran di museum dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu pameran tetap dan pameran khusus / temporer.
1) Pameran tetap
Pameran tetap adalah pameran yang diadakan dalam jangka waktu
2 sampai dengan 4 tahun. Tema pameran sesuai dengan jenis, visi
dan misi museum. Idealnya, koleksi pameran yang disajikan adalah
25 sampai dengan 40 persen dari koleksi yang dimiliki museum, dan
dilakukan penggantian koleksi yang dipamerkan dalam jangka waktu
tertentu.
2) Pameran khusus / temporer
Pameran khusus / temporer dalah pameran koleksi museum yang
diselenggarakan dalam waktu relatif singkat. Fungsi utamanya
adalah untuk menunjang pameran tetap, agar dapat lebih banyak
mengundang pengunjung datang ke museum.
c. Metode Pameran
Metode dan teknik penyajian koleksi pada museum terdiri dari 6
macam metode, yaitu :
1) Metode pendekatan intelektual, adalah cara penyajian benda-benda
koleksi museum yang mengungkapkan informasi tentang guna, arti
dan fungsi benda koleksi museum.
2) Metode pendekatan romantik (evokatif), adalah cara penyajian
benda-benda koleksi museum yang mengungkapkan suasana
tertentu yang berhubungan dengan benda-benda yang dipamerkan.

10
3) Metode pendekatan estetik, adalah cara penyajian benda-benda
koleksi museum yang mengungkapkan nilai artistik yang ada pada
benda koleksi museum.
4) Metode pendekatan simbolik, adalah cara penyajian benda-benda
koleksi museum dengan menggunakan simbol-simbol tertentu
sebagai media interpretasi pengunjung.
5) Metode pendekatan kontemplatif, adalah cara penyajian koleksi di
museum untuk membangun imajinasi pengunjung terhadap koleksi
yang dipamerkan.
6) Metode pendekatan interaktif, cara penyajian koleksi di museum
dimana pengunjung dapat berinteraksi langsung dengan koleksi yang
dipamerkan. Penyajian interaktif dapat menggunakan teknologi
informasi.
d. Penataan Koleksi
Penataan dalam suatu pameran dapat disajikan dengan cara sebagai
berikut :
1) Tematik, yaitu dengan menata materi pameran sesuai tema dan
subtema.
2) Taksonomik, yaitu menyajikan koleksi dalam kelompok atau sistem
klasifikasi.
3) Kronologis, yaitu menyajikan koleksi yang disusun menurut usianya
dari yang tertua hingga sekarang.
e. Panil-panil Informasi
Panil-panil informasi atau label secara umum dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu :
1) Teks dinding (introductory label) yang memuat informasi awal /
pengenalan mengenai pameran yang diselenggarakan, tema dan
subtema pameran, kelompok koleksi.

11
2) Label individu yang berisi nama dan keterangan singkat mengenai
koleksi yang dipamerkan. Informasi yang disampaikan berisi
keterangan yang bersifat deskriptif, dan informasi yang dibutuhkan
sesuai dengan alur cerita.

2.1.5. Kegiatan Dalam Museum


Menurut Direktorat Museum (2009), Kegiatan pelayanan museum
kepada pengunjung museum meliputi kegiatan pameran tetap dan temporer,
bimbingan pemanduan keliling museum, ceramah, bimbingan karya tulis,
pemutaran film dan slide.
Menurut Sutaarga (1990), kegiatan dalam museum secara garis besar
meliputi :
a. Pengumpulan koleksi, kegiatan ini antara lain meliputi, jual beli koleksi,
peminjaman koleksi, pembuatan film dokumenter, dan kegiatan lainya.
b. Penyimpanan dan pengelolaan koleksi, kegiatan ini antara lain meliputi,
penampungan, penyimpanan, penelitian, dan penggandaan (reproduksi).
c. Preservasi, kegiatan ini antara lain meliputi :
1) Reproduksi, sebagai cadangan koleksi untuk menyelamatkan koleksi
aslinya.
2) Penyimpanan, untuk menyelamatkan koleksi asli dari faktor
merugikan.
3) Registrasi, pemberian dan penyusunan keterangan menyangkut
benda koleksi.
d. Observasi, penyeleksian koleksi untuk disesuaikan dengan persyaratan
koleksi museum.
e. Apresiasi, kegiatan ini antara lain meliputi :
1) Pendidikan, menunjang fungsi museum sebagai sarana pendidikan
bagi masyarakat yang sifatnya non formal.
2) Rekreatif, museum sebagai obyek rekreasi yang menyajikan acara
yang menghibur.

12
f. Komunikasi, kegiatan ini antara lain meliputi :
1) Pameran, ruang pamer merupakan sarana komunikasi antara
masyarakat / pengunjung dengan materi koleksi, yang dibantu dengan
guide.
2) Pertemuan, antara pengelola dengan masyarakat sebagai penunjang
kegiatan.
3) Administrasi.

2.1.6. Fasilitas Museum


Menurut Direktorat Museum (2008), bangunan museum setidaknya
terdiri dari dua unsur, yakni bangunan pokok dan bangunan penunjang.
a. Bangunan pokok meliputi beberapa ruang sebagai berikut :
1) Ruang pameran tetap
2) Ruang pameran temporer
3) Ruang auditorium
4) Ruang kantor/administrasi
5) Ruang perpustakaan
6) Ruang laboratorium
7) Ruang penyimpanan koleksi
8) Ruang edukasi
9) Ruang transit koleksi
10) Bengkel kerja reparasi
b. Bangunan penunjang meliputi beberapa ruang sebagai berikut :
1) Ruang cenderamata dan kafetaria
2) Ruang penjualan tiket dan penitipan barang
3) Ruang lobi
4) Ruang toilet
5) Ruang parkir dan taman
6) Ruang pos jaga

13
2.1.7. Persyaratan Berdirinya Museum
Persyaratan museum menurut Tedjo Susuli (1999), terdapat beberapa
persyaratan yang harus diperhatikan dalam perencanaan suatu museum,
antara lain :
a. Lokasi Museum
1) Lokasi yang strategis
Lokasi yang dipilih bukan untuk kepentingan pendirinya, tetapi untuk
masyarakat umum, pelajar, mahasiswa, ilmuwan, wisatawan, dan
masyarakat umum lainnya.
2) Lokasi harus sehat
Lokasi sehat diartikan lokasi yang tidak terletak di daerah industri yang
banyak pengotoran udara, bukan daerah yang berawa atau tanah
pasir, elemen iklim yang berpengaruh pada lokasi itu antara lain :
kelembaban udara setidaknya harus terkontrol mencapai netral, yaitu
55 – 65 %.
b. Persyaratan Bangunan
1) Persyaratan umum
Persyaratan umum adalah persyaratan yang mengatur bentuk ruang
museum, yang dijabarkan sebagai berikut :
a) Bangunan dikelompokkan dan dipisahkan dalam 3 aspek, yaitu :
- Fungsi dan aktivitas
- Ketenangan dan keramaian
- Keamanan
b) Pintu masuk utama (main entrance), adalah pintu masuk yang
diperuntukan bagi pengunjung museum.
c) Pintu masuk khusus (service utama), adalah pintu masuk untuk
bagian pelayanan, perkantoran, rumah jaga serta ruang-ruang
pada bangunan khusus.

14
d) Area semi publik, terdiri dari bangunan administrasi termasuk
perpustakaan dan ruang rapat.
e) Area privat terdiri dari :
- Laboratorium Konservasi
- Studio Preparasi
- Storage
f) Area publik / umum terdiri dari :
- Bangunan utama, meliputi pameran tetap, pameran temporer,
dan peragaan.
- Auditorium, keamanan, gift shop, cafetaria, ticket box,
penitipan barang, lobby / ruang istirahat, dan tempat parkir.
2) Persyaratan Khusus
a) Bangunan utama yang mewadahi kegiatan pameran tetap dan
temporer, harus dapat memenuhi syarat –syarat sebagai berikut :
- Memuat benda-benda koleksi yang akan dipamerkan.
- Mudah dalam pencapaiannya baik dari luar atau dalam.
- Merupakan bangunan penerima yang harus memiliki daya
tarik sebagai bangunan utama yang dikunjungi oleh
pengunjung museum.
- Memiliki sistem keamanan yang baik, baik dari segi konstruksi,
spesifikasi ruang untuk mencegah rusaknya benda-benda
secara alami ataupun karena pencurian.
b) Bangunan Auditorium harus mudah dicapai oleh umum dan dapat
dipakai untuk ruang pertemuan, diskusi, serta ceramah.
c) Bangunan Khusus harus terletak pada tempat yang kering,
Mempunyai pintu masuk yang khusus, memiliki sistem keamanan
yang baik (terhadap kerusakan, kebakaran, dan pencurian).
d) Bangunan Administrasi terletak di lokasi yang strategis baik dari
pencapaian umum maupun terhadap bangunan lainnya.

15
c. Persyaratan Ruang
Ruang pamer sebagai fungsi utama dari museum harus memenuhi
beberapa persyaratan teknis ruang pamer, yaitu :
1) Pencahayaan dan Penghawaan
Pencahayaan dan penghawaan merupakan aspek teknis utama yang
perlu diperhatikan untuk membantu memperlambat proses pelapukan
dari koleksi. Untuk museum dengan koleksi utama kelembaban yang
disarankan adalah 50% dengan suhu 210C – 260C. intensitas cahaya
yang disarankan sebesar 50 lux dengan meminimalisir radiasi ultra
violet.

Gambar 2.1. System Pencahayaan Dan Penghawaan


(Sumber : Neufert E,2002)

2) Ergonomi dan Tata Letak


Untuk memudahkan pengunjung dalam melihat, menikmati,
dan mengapresiasi koleksi, maka perletakan peraga atau koleksi turut
berperan. Berikut gambar standar perletakan koleksi di ruang pamer
museum.

16
Gambar 2.2. System Ergonomi Dan Tata Letak Koleksi
( Sumber : Neufert E, 2002)

3) Jalur Sirkulasi di Dalam Ruang Pamer


Jalur sirkulasi di dalam ruang pamer harus dapat
menyampaikan informasi, membantu pengunjung memahami
koleksi yang dipamerkan. Penentuan jalur sirkulasi bergantung juga
pada runtutan cerita yang ingin disampaikan dalam pameran,
seperti pada gambar berikut.

Gambar 2.3. Sirkulasi Ruang Pamer


(Sumber : Neufert E, 2002)

17
Gambar 2.4. Sirkulasi Ruang Pamer
(Sumber : Neufert E ,2002)
2.1.8. Studi Banding Museum Etnologi
a. Museum Indonesia
Museum Indonesia, adalah museum antropologi dan etnologi
yang terletak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Indonesia.
Museum ini berkonsentrasi pada seni dan budaya berbagai suku bangsa
yang menghuni Nusantara dan membentuk negara kesatuan Republik
Indonesia.

Gambar 2.5. Museum Indonesia


(Sumber : Wikipedia Indonesia, ensiklopedia, 2013)

Museum ini bergaya arsitektur Bali dan dihiasi beraneka ukiran


dan patung Bali yang sangat halus dan indah. Museum ini menyimpan
koleksi beraneka seni, kerajinan, pakaian tradisional dan kontemporer

18
dari berbagai daerah di Indonesia. Ruang pamer permanen Museum
Indonesia memamerkan koleksi yang terbagi atas tiga bagian yang
masing-masing terletak di tiga lantai :
Lantai pertama, ruang pamer lantai pertama bertema Bhinneka
Tunggal Ika (berbeda-beda tapi satu jua). Bagian ini menampilkan
pakaian tradisional dan pakaian pernikahan dari 33 provinsi di Indonesia
(jumlah provinsi Indonesia tahun 1975 sampai 2010). Ruang pamer ini
juga menampilkan berbagai kesenian khas Indonesia, seperti beraneka
ragam tari, wayang, dan gamelan, serta lukisan kaca bergambar peta
Indonesia. Pameran ini menampilkan kekayaan dan keanekaragaman
budaya masyarakat Indonesia, yang terdiri atas berbagai bahasa, tradisi,
agama, budaya, dan adat istiadat masyarakat Indonesia.
Lantai kedua, Manusia dan Lingkungan adalah tema dari ruang
pamer di lantai kedua. Bertujuan untuk menjelaskan mengenai interaksi
masyarakat Indonesia dengan alam dan lingkungannya. Dipamerkan
berbagai rumah miniatur rumah tradisional, bangunan peribadatan,
lumbung padi, dan tata letak bangunan dan ruang tinggal masyarakat
Indonesia. Sebagai contoh, rumah panggung, rumah yang didirikan di atas
pohon atau di atas sungai, serta bebagai bangunan tradisional lainnya.
Diorama dari bagian rumah tradisional Indonesia juga dipamerkan,
seperti kamar pengantin adat Palembang, ruang tengah masyarakat
Jawa, serta dapur masyarakat Batak. Dipamerkan pula berbagai benda
keperluan sehari-hari untuk berburu, mengumpulkan makanan, dan alat-
alat pertanian. Beberapa diorama menampilkan upacara adat
menyangkut daur hidup manusia, seperti upacara Mitoni (tujuh
bulanan), Turun Tanah (upacara untuk bayi), Khitanan, Mapedes
(upacara potong gigi masyarakat Bali), upacara pelantikan Datuk, dan
Pelaminan Minangkabau.

19
Lantai ketiga, Seni dan Kriya adalah tema ruang pamer lantai ketiga.
Ruangan ini menampilkan seni dan kerajinan tradisional dan
kontemporer masyarakat Indonesia. Kerajinan kain tradisional seperti
Songket, Tenun, dan Batik dipamerkan, demikian juga benda-benda
kerajinan dari logam seperti ukiran tembaga dan kuningan. Seni ukir kayu
yang sangat teliti dan rumit juga ditampilkan, seperti seni ukir Jepara
(Jawa tengah), Bali, Toraja, dan Asmat. Benda seni utama di lantai ketiga
adalah ukiran kayu yang sangat besar berbentuk Kalpataru, pohon hayat.
Ukiran pohon setinggi delapan meter dan lebar empat meter ini
melambangkan alam semesta dan mengandung lima unsur dasar; langit,
air, angin, bumi, dan api. Benda seni utama ini ini menutup pameran di
museum ini.
b. Museum Etnologi Vietnam
Museum Etnologi Vietnam berlokasi di Jalan Nguyen Van Huyen,
jauhnya kira-kira 8 Km dari jantungnya ibukota Hanoi. Dibangun pada
tahun 1997.

Gambar 2.6. Museum Etnologi Vietnam


(Sumber : Wikipedia Indonesia, ensiklopedia, 2013)

Museum ini telah menjadi hal yang menarik bagi para wisatawan
domestik dan mancanegara karena semua benda yang dipamerkan
sangat lugas, mencerminkan semua segi budaya bendawi dan non

20
bendawi, hal-hal yang tipikal dalam kehidupan dan kreasi dari semua
etnis di Vietnam.
Zona pameran di Museum ini ialah gedung berbentuk neraka
perunggu luasnya kira-kira 2500 meter persegi. Gedung ini punya
arsitektur yang sangat khas dan dirancang secara khusus. Semua benda
dari etnis-etnis yang dipamerkan di sini diatur menurut rumpun bahasa
seperti zona yang memperkenalkan etnis Kinh, zona memperkenalkan
kelompok bahasa-bahasa Tay, Thai dan Ka Dai, kelompok bahasa Mon-
Khmer, kelompok bahasa Nam Dao, etnis Cham, etnis Tionghoa, etnis
Khmer dan lain- lain.
Museum ini menyimpan dan memamerkan banyak benda budaya
dari 54 etnis di Vietnam yang terdiri dari 27000 benda, diantaranya 23000
benda tentang komunitas etnis-etnis di Vietnam dan sisanya ialah benda-
benda tentang etnis-etnis di Asia Tenggara dan di negara-negara lain.
c. Museum Nasional Etnologi Japan
Museum Nasional Etnologi (Kokuritsu Minzokugaku
Hakubutsukan) adalah salah satu dari institut riset antar universitas
sekaligus museum di kota Suita, Prefektur Osaka, Jepang.
Museum/institut ini populer dengan sebutan Minpaku.

Gambar 2.7. Museum Nasional Etnologi Japan


(Sumber : Wikipedia Indonesia, ensiklopedia,2016)

21
Sejak bulan April 2004, Minpaku menjadi anggota Institusi Nasional
Humaniora. Fungsinya sebagai pusat penelitian serta museum di bidang
etnologi. Letaknya di dalam Expo Memorial Park.
Pameran di gedung utama dibagi menurut wilayah dan lintas
budaya. Pameran wilayah dimulai dari Oseania, Amerika, Eropa, Afrika,
dan Asia termasuk Jepang. Pameran menurut lintas budaya tidak dibagi
menurut wilayah atau bangsa, melainkan menurut tema seperti musik
dan bahasa. Sejak dibuka, museum ini juga mengoleksi video tentang
kehidupan bangsa-bangsa di dunia.

2.2. Tinjauan Khusus Regionalisme Arsitektur


2.2.1. Regionalisme Sebagai Alternatif
Studi tentang arsitektur di Sulawesi Tengah, merupakan sebuah topik
yang menarik. Secara geografis Sulawesi Tengah terletak di daerah
katulistiwa yang merupakan daerah tropis dan berupa gugusan pegunungan,
lembah dan lautan, yang menjadikan Sulawesi Tengah sebagai mutiara
katulistiwa dan poros maritim Indinesia. Letak Sulawesi Tengah yang strategis
dan kaya akan warisan budaya, akan memberikan satu ciri yang tentunya
berbeda dengan tempat lainnya. Bertitik tolak dari kondisi tersebut kemudian
muncul sebuah usaha untuk memunculkan identitas atau ciri kedaerahan
yang kemudian disebut Regionalisme.

2.2.2. Ciri Regionalisme


Bermula dari munculnya arsitektur modern yang berusaha
meninggalkan masa lampaunya, menunggalkan ciri serta sifat-sifanya.
Muncullah usaha untuk “mempertautkan” antara yang lama dan yang baru.
Regionalisme diperkirakan berkembang sekitar tahun 1960. Sebagai salah
satu perkembangan arsitektur modern yang mempunyai perhatian besar
pada ciri kedaerahan, terutama tumbuh di negara berkembang. Ciri
kedaerahan yang dimaksud berkaitan erat dengan budaya setempat, iklim

22
dan teknologi pada saatnya. Regionalisme ada dua macam, (Oskan, Suha
1985) yaitu:
a. Concrete Regionalism
Concrete Regionalism yaitu pendekatan kepada ekspresi daerah atau
regional dengan mencontoh kehebatannya, bagian-bagiannya atau
seluruh bangunan di daerah tersebut. Bangunan tersebut akan dapat
diterima dalam bentuknya yang baru dengan memperhatikan nilai-nilai
yang melekat pada bentuk aslinya dan tetap mempertahankan
kenyamanan pada bangunan baru ditunjang oleh kualitas bangunan
lama.
b. Abstract Regionalism
Abstract Regionalism yaitu menggabungkan unsur-unsur kualitas abstrak
bangunan misalnya massa, padat dan rongga, proporsi, rasa meruang,
penggunaan pencahayaan dan prinsip-prinsip struktur dalam bentuk
yang diolah kembali.
1) Responsive dari iklim, didasarkan pada pendekatan klimatologi
(iklim) muncul bangunan/elemen yang spesifik untuk
mengoptimalkan bangunan yang responsive terhadap iklim.
2) Pola pola budaya/perilaku, sebagai penentu tata ruang, hirarki, sifat
ruang yang dipakai untuk membangun kawasan agar sesuai dengan
keadaan sosial budaya masyarakat tersebut.
3) Ikenografik (simbol-simbol), memunculkan bangunan-bangunan
modern yang baru tapi menimbulkan representasi (simbol
masyarakat) makna-makna yang sesuai/khas.
Menurut Curtis, William (1985), regiolisme diharapkan dapat
menghasilkan bangunan yang bersifat baru, melebur atau menyatukan antara
yang lama dan yang baru, antara regional dan universal. Lama dalam kaitan di
sini arsitektur masa lampau atau tradisional, sedangkan baru berarti
arsitektur masa kini atau arsitektur modern. Arsitektur tradisional

23
mempunyai lingkup regional, sedangkan arsitektur modern mempunyai
lingkup universal. Dengan demikian yang menjadi ciri utama Regionalisme
adalah menyatunya arsitektur tradisional dengan arsitektur modern.
2.2.3. Prinsip Rancang Regionalisme
Secara geografis, setiap wilayah/region memiliki ciri kedaerahan yang
berbeda-beda, bergantung pada budaya setempat, iklim dan teknologi yang
ada.

Gambar 2.8. Style Regionalisme Arsitektur


(Sumber : Wikipedia Indonesia, ensiklopedia, 2013)

Karenanya, setiap arsitek dari berbagai daerah di seluruh dunia


memiliki pemikiran tersendiri atas sebuah teori regionalisme. Regionalisme
bukan sebuah gaya, melainkan sebuah aliran pemikiran tentang arsitektur.
Menurut Curtis, William (1985), Regionalisme dalam arsitektur sebagai
respon alami terhadap hegemoni barat yang berusaha menciptakan suatu
arsitektur yang lunak dan mirip (serupa) didalam pengembangan pusat-
pusat urban (kota) yang sangat cepat di dunia. Curtis William yang
merefleksikan jalan pemikiran ini, mencatat bahwa disana ada momentum
pertemuan suasana hati yang menolak reproduksi yang fasih menurut
formula internasional dan yang sekarang mencari kontinuitas di dalam
tradisi lokal.
Menurut Frampton, Kenneth (1982), Regionalisme tidak bermaksud
menunjukkan Vernakuler sebagai suatu hasil hubungan interaksi iklim,

24
budaya, dan hasil karya manusia, akan tetapi lebih pada mengidentifikasikan
Regional yang tujuannya telah dihadirkan kembali dan disediakan dalam
jumlah tertentu. Regionalisme tertentu, pendefinisiannya pada hasil
eksplisit atau implisit antara masyarakat dan pernyataan arsitektural, maka
antara kondisi awal ekspresi regional tidak hanya kemakmuran lokal tetapi
juga rasa yang kuat akan identitas.
Menurut Buchanan, Peter (1983), Regionalisme adalah kesadaran diri
yang terus menerus, atau pencapaian kembali, dari identitas formal atau
simbolik. Berdasar atas situasi khusus dan budaya lokal mistik, regionalisme
merupakan gaya bahasa menuju kekuatan rasional dan umum arsitektur
modern. Seperti budaya lokal itu sendiri regionalisme lebih sedikit
diperhatikan dengan hasil secara abstrak dan rasional, lebih dengan
penambahan fisik lebih dalam dan nuansa pengalaman hidup.
Menurut Tan, Hock (1994), menyatakan bahwa Regionalisme dapat
didefinisikan sebagai suatu kesadaran untuk membuka kekhasan tradisi
dalam merespon terhadap tempat dan iklim, kemudian melahirkan identitas
formal dan simbolik ke dalam bentuk kreatif yang baru menurut cara
pandang tertentu dari pada lebih berhubungan dengan kenyataan pada
masa itu dan berakhir pada penilaian manusia. Hanya ketika kita mengenali
bahwa tradisi kita merupakan sebuah warisan yang berevolusi sepanjang
zaman akan dapat menemukan keseimbangan antara identitas regional dan
internasional.
Berdasarkan hal diatas arsitektur regional oleh para arsitek dapat
disimpulkan sebuah definisi yang lebih lengkap yang mana definisi ini dapat
diterima untuk segala zaman, yaitu definisi menurut Tan, Hock (1994),
klasifikasi dalam 6 strategi regionalisme, yaitu :
1) Memperlihatkan identitas tradisi secara khusus berdasarkan
tempat/daerah dan iklim.

25
2) Memperlihatkan identitas secara formal dan simbolik ke dalam bentuk
baru yang lebih kreatif.
3) Mengenalnya sebagai tradisi yang sesuai untuk segala zaman.
4) Menemukan kebenaran yang seimbang antara identitas daerah dan
internasional.
5) Memutuskan prinsip mana yang masih layak/patut untuk saat ini
(aktual).
6) Menggunakan teknologi modern, dan hal-hal tradisional digunakan
sebagai elemen-elemen untuk langgam modern.

26
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian


Lokasi Penelitian terletak di wilayah Kota Palu, yaitu pada kawasan
pariwisata, pendidikan, dan peruntukan lainnya yang sesuai dengan RTRW
Kota Palu tahun 2010-2030, mengingat orientasi Kota Palu sebagai ibu kota
provinsi, yang merupakan pusat perekonomian, pendidikan, dan kebudayaan
di Sulawesi Tengah, lokasi tersebut akan dianalisis lebih lanjut guna
menentukan tapak yang tepat untuk bangunan Museum Etnologi.

Gambar 3.1. Peta Administrasi Kota Palu


(Sumber : Dinas Tata Ruang Kota Palu, 2014)

27
3.2. Alur Penelitian

JUDUL
“Museum Etnologi Sulawesi Tengah
di Palu”

Latar Belakang Penelitian


Rumusan Masalah
Tujuan dan Sasaran

DATA
Primer dan sekunder
Feed back

ANALISIS SINTESIS
Makro : Mikro : - Konsep Tapak
- Pendekatan Konsep Tapak - Pendekatan Konsep - Konsep Sirkulasi &
- Pendekatan Konsep Iklim Aktivitas Pelaku Parkir
(Matahari dan Angin) - Pendekatan Konsep - Konsep Pengendalian
- Pendekatan Konsep sirkulasi Kebutuhan Ruang Iklim
- Pendekatan Konsep kebisingan - Pendekatan Konsep - Konsep Ruang Luar
- Pendekatan Ruang Luar Bentuk - Konsep Aktivitas Pelaku
- Pendekatan Konsep Parkir - Pendekatan Konsep - Konsep Keb. Ruang
Struktur & Utilitas - Konsep Bentuk
- Konsep Struktur
- Konsep Utilitas

DESAIN

Gambar 3.2. Alur Penelitian


(Sumber : Analisis penulis, 2016)

28
3.3. Metode Penelitian
Prosedur atau langkah- langkah penelitian terdiri atas :
a. Pengambilan data melalui proses observasi (grand tour dan mini tour)
grand tour dilakukan pada awal untuk mengetahui fenomena yang ada
dilokasi penelitian, dilanjutkan dengan mini tour dengan tujuan untuk
mendalami fenomena yang ditemukan sebelumnya.
b. Wawancara tidak terstruktur dengan tujuan untuk menghasilkan data
berupa gambaran situasi mengenai objek yang diamati peneliti.
Wawancara tidak terstruktur bermaksud untuk menggali lebih dalam
informasi- informasi yang diketahui oleh informan mengenai fenomena-
fenomena yang terjadi.

3.4. Jenis Data


Terdapat dua jenis data dan sumber data yang digunakan pada
penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Kedua jenis data tersebut
dapat dibedakan sebagai berikut:
3.4.1. Data Primer
Data primer, yaitu data yang diperoleh lewat observasi ke tempat
objek penelitian serta diskusi dan wawancara langsung terhadap masyarakat
umum yaitu antara lain kondisi existing, dan kebutuhan fasilitas untuk
Museum Etnologi.
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder, yaitu data yang telah dikumpulkan dengan maksud
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan
dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder
adalah literatur, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan
penelitian yang dilakukan.

29
3.5. CaraPenelitian
Data-data yang diperlukan pada penelitian ini meliputi data fisik dan
data non fisik. Adapun teknik pengumpulan data penelitian dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 3.1. Instrumen Penelitian
Teknik
Jenis Data Data yang Dibutuhkan Pengumpulan Alat yang Digunakan
Data
Data Fisik Kamera, meteran,
1. Kondisi eksisting tapak alat ukur digital
2. Luas tapak Observasi (measurement
3. Kebutuhan fasilitas accuracy), alat tulis,
alat gambar.
Data
Data Nonfisik
Primer
1. Aktivitas pengunjung
2. Urgensi (tingkat) Observasi,
Kamera, alat tulis.
kebutuhan terhadap Wawancara
fasilitas Museum
Etnologi.
1. Standar fasilitas
Literatur yang
Museum Etnologi
Data Studi Literatur memuat bahan yang
2. Contoh Museum
Sekunder dan Studi Kasus diperlukan (buku,
Etnologi
artikel ilmiah, dsb)
3. Konsep arsitektur
(Sumber : Analisis penulis berdasarkan data lapangan ,2016)

3.6. Teknik Analisis dan Sintesis


3.6.1. Teknik Analisis
Untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan selama penelitian
dilakukan dengan metode analisis makro dan mikro, dengan tahapan analisis
sebagai berikut :
a. Mengumpulkan dan menelaah data melalui pengamatan dan studi
literatur dengan mengelompokkan data makro meliputi analisis tapak
terhadap matahari dan angin, sirkulasi, kebisingan, view dan tata ruang
luar.

30
b. Data mikro, dikelompokkan berdasarkan pendekatan perancangan
arsitektur meliputi fungsi ruang, aktivitas pelaku, kebutuhan ruang,
besaran ruang, pola organisasi ruang, struktur dan utilitas serta citra
bangunan yaitu bentuk bangunan.

Berikut gambaran alur pengolahan data

TAHAP 1 TAHAP 2 TAHAP 3 TAHAP 4


(Informasi) (Fakta) (Fenomena) (Data)
Observasi (jenis Mengkategorikan Menelaah data dan
Isu (Opini) observasi hasil yang informasi yang
Studi literatur rekaman) dan didapatkan dari diperoleh dari hasil
Wawancara (jenis observasi dan observasi dan
wawancara semi wawancara. analisis terhadap
terstruktur) tapak

Gambar 3.3. Alur Pengolahan Data


(Sumber : Analisis penulis berdasarkan data lapangan, 2016)

1) Tahap 1
Tahapan ini merupakan suatu proses untuk mengumpulkan
informasi melalui isu atau opini publik dan studi literatur, yang
kemudian akan di tinjau kembali kebenarannya melalui observasi
dan wawancara.
2) Tahap 2
Tahapan ini merupakan suatu proses dimana informasi yang
dikumpulkan akan dibuktikan melalui observasi dan wawancara
(studi lapangan), guna mencari kebenaran informasi yang
dikumpulkan dan kemudian menjadi sebuah fakta.
3) Tahap 3
Tahapan ini merupakan suatu proses dimana informasi yang
telah dibuktikan kebenarannya (fakta), akan dikategorikan sesuai
dengan tahapan dan lingkup penelitian yang dilakukan.

31
4) Tahap 4
Tahapapan ini merupakan proses menelaah data dan
informasi yang telah dikategorikan sesuai dengan tahapan dan
lingkup penelitian. Diperoleh dari hasil observasi serta analisis
terhadap tapak, yang kemudian dirangkum dalam sebuah data.

3.6.2. Sintesis
Sintesis, merupakan suatu integrasi dari dua atau lebih elemen yang
ada untuk menghasilkan suatu hasil baru atau penggabungan dari beberapa
analisis menjadi satu gagasan atau out-put baru (Wikipedia Indonesia,
ensiklopedia, 2013).
Pada fase ini sintesis berfungsi untuk menginterprestasi dan
menyimpulkan hasil analisis yang bermuara pada konsep dan desain yang
tepat sebagai solusi arsitektural.

32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Gambaran Umum Kota Palu
a. Letak Geografis
Kota Palu merupakan Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, dengan jumlah
penduduk ±367.342 jiwa (2014), berada pada daerah dataran lembah Palu
dan Teluk Palu dengan luas wilayah 395,06km². (Badan Pusat Statistik Kota
Palu, 2014). Berdasarkan persyaratan berdirinya museum, letak museum
harus berada pada lokasi yang sehat diartikan lokasi yang tidak terletak di
daerah industri yang banyak pengotoran udara, lokasi museum terletak
bukan pada daerah yang berawa atau tanah pasir. (Susuli Tedjo, 1999)
b. Existing Museum di Kota Palu
Telah berdiri sebuah Museum Negeri Sulawesi Tengah yang terletak
di Jalan Kemiri, Kelurahan Kamonji, Kecamatan Palu Barat Kota Palu dengan
fungsi museum umum, yang menampung berbagai macam koleksi
peninggalan sejarah yang berasal dari Sulawesi Tengah diantaranya; koleksi
geologi, biologi, etnologi, arkeologi, histori (sejarah daerah dan nasional),
numesmatika / hereldika, filologika, dan keramologika, dengan total jumlah
koleksi 7400 jenis (2015). Museum tersebut dibuka untuk umum pada hari
senin hingga sabtu, pukul 07.30 - 15.45, dalam 5 (lima) tahun terakhir jumlah
pengunjung pada museum ±400 orang / bulan serta sebagian besar
pengunjung adalah pelajar. Intensitas pengunjung pada museum untuk
ukuran museum daerah relatif sepi, dikarenakan masyarakat melihat
museum hanya sebagai tempat menyimpan dan menyajikan benda sejarah
dan budaya saja.
Idealnya sebuah museum harus memenuhi standar operasional
fungsi museum dintaranya sebagai :

33
1) Media rekreasi
2) Pendidikan dan penelitian
3) Jendela informasi daerah serta media untuk memperkuat jati diri bangsa
Potensi lain yang menjadi kekuatan dari museum adalah potensinya
sebagai ruang publik, museum sebagai ruang publik tidak hanya berupa ruang
penyaji koleksi bagi masyarakat pengunjung saja akan tetapi museum
menjadi tempat interaksi masyarakat dengan (informasi/pengetahuan) dari
benda koleksi yang di sajikan, museum sebagai ruang publick juga dapat
dirintis dengan membuka akses pada masyarakat luas, memanfaatkan ruang
non koleksi yang ada untuk melaksanakan kegiatan atau acara yang
berdekatan dengan tema museum seperti, tren penyewaan ruang
pertemuan, seminar, workshop, dan lain- lain
c. RTRW kota Palu (Peruntukan Museum Etnologi)
Berdasarkan peraturan daerah Kota Palu No: 16 tentang rencana tata
ruang wilayah kota Palu, tahun 2010 – 2030. Sistem pusat pelayanan kegiatan
kota diarahkan berjenjang sesuai dengan bentuk dasar kota sebagai Kota
Teluk, yaitu; pusat pelayanan kota, sub pusat pelayanan kota dan pusat
lingkungan.
1) Rencana pengembangan sistem pusat pelayanan kota Palu ditetapkan
pada kawasan pusat pengembangan kegiatan perdagangan regional, jasa,
transportasi dan pemerintahan yang mencakup wilayah Kecamatan Palu
Barat, Kecamatan Palu Selatan, Kecamatan Palu Timur dan Kecamatan
Mantikulore.
2) Rencana pengembangan sistem sub pusat pelayanan kota Palu kawasan
dengan fungsi perkantoran pemerintahan, perdagangan jasa, serta
pelayanan sosial dan budaya yang tersebar di 8 (Delapan) kecamatan,
yaitu Kecamatan Palu Utara, Kecamatan Palu Timur, Kecamatan
Mantikulore, Kecamatan Palu Selatan, Kecamatan Palu Barat, Kecamatan
Ulujadi, Kecamatan Tatanga, dan kecamatan tawaeli.

34
3) Pusat lingkungan meliputi kawasan dengan fungsi perkantoran
pemerintahan, pendidikan, perdagangan jasa dengan skala lingkungan,
pelayanan sosial dan budaya, serta perumahan yang tersebar di setiap
kelurahan.

35
Tabel 4.1. Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Wilayah kota Palu

Materi yang di Atur


Struktur Ruang
Ketentuan Umum
Kota Deskripsi Ketentuan Umum Kegiatan
Intensitas Bangunan
Diperuntukan bagi  Menyediakan lahan untuk kegiatan pemanfaatan 1. KDB maksimal 60 %
kawasan pariwisata ruang pembangunan pariwisata dan fasilitas 2. KLB maksimum 4 lantai
penunjang pariwisata, kegiatan pemanfaatan 3. RTH minimal 20 %
potensi alam dan budaya masyarakat sesuai 4. Dilengkapi dengan
dengan daya dukung dan daya tampung sarana minimal meliputi
lingkungan, kegiatan perlindungan terhadap situs telekomunikasi, listrik,
peninggalan kebudayaan masa lampau (heritage). air bersih, drainase,
Kawasan Budidaya  Membatasi kegiatan lain untuk mendukung pembuangan limbah,
kegiatan pariwisata sesuai dengan penetapan dan persampahan
KDB, KLB dan KDH yang ditetapkan.
Di peruntukkan bagi  Menyediakan lahan untuk kegiatan pembangunan 1. KDB maksimal 60 %
kawasan pelayanan prasarana dan sarana pendidikan, kesehatan, 2. KLB maksimum 4 lantai
umum peribadatan, penghijauan serta kegiatan 3. RTH minimal 20 %
penunjang kawasan pelayanan umum sesuai
dengan skala yang ditetapkan.
(Sumber : Dinas Tata Ruang Kota Palu, 2014)

36
4.1.2. Potensi Museum Etnologi
a. Wisata Budaya
Wisata berbasis budaya adalah kegiatan wisata yang dipengaruhi
oleh adanya objek- objek wisata yang berwujud hasil- hasil seni dan
kebudayaan sebagai objeknya (Wikipedia, Indonesia, 2015)
Menurut Citra Pariwisata Indonesia (2003), wisata budaya merupakan
elemen pariwisata yang paling menarik minat wisatawan, budaya
mendapatkan skor 42,33% dari wisatawan dalam kategori 'sangat menarik'
dan berada di atas elemen lainnya seperti keindahan alam dan peninggalan
sejarah, dengan skor masing-masing 39,42% dan 30,86%. Hal tersebut
membuktikan bahwa atraksi budaya merupakan hal yang paling disukai
wisatawan dari pariwisata di Indonesia.
Menurut Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Sulawesi
Tengah (2014), secara umum banyak wisatawan lokal dan luar negeri datang
berkunjung ke Sulawesi Tengah untuk liburan dan melakukan penelitian.
Pada tahun 2012 wisatawan yang datang ke Sulawesi Tengah mencapai
9.225 orang. Pada tahun 2013 mengalami peningkatan jumlah sebanyak
11.224. Kemudian pada tahun 2014 juga mengalami kenaikan mencapai
13.324 orang.

PRESENTASE JUMLAH WISATAWAN KE SULAWESI


TENGAH
Bangkep Banggai
Toli-Toli Buol
3% 6% 1% 0% Donggala
Morowali 12%
3% Poso
Sigi 12%
1% Palu
15%
Parimo
8% Tojo Una-Una
39%
Donggala Poso Tojo Una-Una Parimo
Palu Sigi Morowali Bangkep
Banggai Toli-Toli Buol

Gambar 4.1. Grafik presentase jumlah wisatawan ke Sulawesi Tengah


(Sumber : Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Sulawesi Tengah, 2014)

37
Oleh karena itu dalam industri pariwisata Sulawesi Tengah, hasil
kebudayaan bangsa merupakan salah satu komoditi utama yang menarik
wistawan berkunjung, adapun unsur kebudayaan yang dapat menarik
wisatawan yaitu: 1) masyarakat (traditions) 2) bentuk dan karakteristik
arsitektur di masing-masing daerah tujuan wisata (architectural
characteristic in the area) 3) sejarah suatu tempat (history of the region) 4)
musik dan kesenian (art and music) 5) kerajinan tangan (handicraft) 6) tata
cara berpakaian penduduk setempat (dress and clothes).
Menurut Oka Yeti, (1997) berhasilnya suatu tempat wisata sangat
tergantung pada 3A, yaitu atraksi (attraction), mudah dicapai (accessibility),
dan Akomodasi fasilitas (amenities).
1) Atraksi (attraction)
Atraksi wisata yaitu sesuatu yang dipersiapkan terlebih dahulu agar
dapat dilihat, dinikmati dan yang termasuk dalam hal ini adalah: tari-
tarian, nyanyian kesenian rakyat tradisional, upacara adat, dan lain-lain.
Hal ini sejalan dengan keadaan provinsi Sulawesi Tengah kaya akan
budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut
aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan
dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern
serta pengaruh agama.
Penduduk asli Provinsi Sulawesi Tengah terdiri atas 15 kelompok
etnis atau suku bangsa (Asrul, 2010) yaitu :
a) Etnis Kaili mendiami Kota Palu dan Kabupaten Donggala.
b) Etnis Lore mendiami Kabupaten Poso.
c) Etnis Pamona mendiami Kabupaten Poso.
d) Etnis Mori mendiami Kabupaten Morowali Utara.
e) Etnis Bungku mendiami Kabupaten Morowali.
f) Etnis Saluan atau Loinang mendiami Kabupaten Banggai.

38
g) Etnis Balantak mendiami Kabupaten Banggai.
h) Etnis Mamasa mendiami Kabupaten Banggai.
i) Etnis Taa mendiami Kabupaten Banggai.
j) Etnis Bare’e mendiami Kabupaten Touna
k) Etnis Banggai mendiami Kabupaten Banggai Kepulauan.
l) Etnis Buol mendiami Kabupaten Buol.
m) Etnis Tolitoli, etnis Dampal, dan etnis Pandau mendiami
Kabupaten Tolitoli.
n) Etnis Tomini mendiami Kabupaten Parigi Moutong.
o) Etnis Dampelas mendiami Kabupaten Donggala.
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah juga dihuni oleh
transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur. Suku pendatang yang juga banyak mendiami wilayah
Sulawesi Tengah adalah Mandar, Bugis, Makasar dan Toraja serta etnis
lainya yang telah lama mendiami Provinsi Sulawesi Tengah.
Berikut ragam jenis atraksi wisata yang akan dipamerkan dalam
bentuk visual 2 dimensi (lukisan/gambar/relif), 3 dimensi (patung),
maupun audio visual (video) pada Museum Etnologi:
a) Seni Tari
Kesenian Seni Tari, di Sulawesi Tengah terdapat 54 jenis seni
tari yang dibedakan dalam 2 macam yaitu 31 jenis seni tari tradisi
dan 23 jenis seni tari kreasi.
- Kesenian, Seni Tari Tradisi
Tari Peulu Cinde, tari Pamonte, tari Nobai Kaluku, tari Raego,
tari Rato, tari Nombalove, tari narobe, tari Pajoge Maradika, tari
Pontanu, tari Totilaa, tari Lendean Saluan, tari Putri Balantak, tari
Momputiti Cengkeh, tari Moninggolu, tari Pogogul, tari Dopalak, tari
Manja, tari Pogodul Adat, tari Haruas atau Biabat, tari Poweba, tari
Pamonte, tari Luminda, tari Lumense, tari Dero, tari Popoinaya, tari

39
Torompio, tari Motaru, tari Torompio, tari Ende, tari Dingkula dan
tari Jepeng.
- Kesenian, Seni Tari Kreasi
Tari Maleo, tari Pampotuwe, tari Pangasa, tari Angga, tari
Lenggang, tari Pogambo, tari Mangore, tari Taro Ri, tari Labo
Mandongi, tari Dole Gaya, tari Randa, tari Mpolibu, tari Ue Lino, tari
Dolidi Ndawa, tari Limbayo, tari Pepainaga, tari Laseo, tari Petomu,
tari Mopia Ri Lobu, tari Walugai, tari Ntomanuru, dan Tari Balia.
b) Kesenian, Seni Teater/Drama
Terdapat 9 jenis seni teater, yaitu: Sandiwara, Deklamasi,
Dadendate, Ei-ei, Tonji Renjo, dotolan, Seni Mongunom, Seni
Gugobian, dan Seni Unogon.
c) Upacara Adat
Terdapat 5 jenis upacara adat di sulawesi tengah, yaitu No-
Rano, No- Raego, No- Vaino, No- Vunja, dan No- Balia.
2) Aksesibilitas (accesibility)
Pada skala makro aktivitas kepariwisataan banyak tergantung
pada transportasi dan komunikasi, karena faktor jarak dan waktu sangat
mempengaruhi keinginan seseorang untuk melakukan perjalanan
wisata. Maksudnya yaitu frekuensi penggunaan dan kecepatan yang
dimiliki dapat menjadikan jarak relatif lebih dekat.
Lokasi perancangan Museum Etnologi, harus
mempertimbangkan keadaan atau kondisi prasarana dan sarana publik
yang menunjang. diantaranya tersedia beberapa fasilitas penunjang
sebagai berikut :
a) Bandara udara
b) Pelabuhan laut
c) Tersedia angkutan kota yang memadai ; Bus, taxi, ojek dan lain-
lain.

40
Pada skala mikro aksesibilitas pada Museum Etnologi sangat
tergantung pada pembagian ruang in-dor dan out-dor. Dimana pada
ruang in-dor, aksesibilitas akan lebih ditentukan pada pembagian
koridor/selasar penghubung sesuai zonasi fungsi ruang. Jalur sirkulasi
pada ruang dalam bangunan diatur sesuai kedekatan jenis dan fungsi
ruang yang selanjutnya akan dibagi dalam beberapa sifat ruang seperti,
ruang publik, ruang semi publik, ruang privat dan ruang servis, namun
pada ruang out-dor pembagian sirkulasi ke bangunan dibedakan atas
jalur keluar- masuk pejalan kaki (pendestrian) dan jalur keluar- masuk
kendaran (roda empat/roda dua)
3) Akomodasi/Fasilitas (amenities)
Pada skala makro fasilitas pariwisata tidak akan terpisah dengan
akomodasi, fasilitas wisata merupakan hal-hal penunjang terciptanya
kenyamanan wisatawan untuk dapat mengunjungi suatu daerah tujuan
wisata. Lokasi perancangan Museum Etnologi tidak lepas dari kondisi
akomodasi/fasilitas yang menunjang diantaranya tersedia beberapa
fasilitas penginapan dari kelas melati hingga hotel berbintang. Pada skala
mikro Akomodasi/Fasilitas pada Museum Etnologi dibedakan atas ruang
in-dor dan out-dor dimana fasilitas pada ruang in-dor meliputi; ruang
publik (ruang pameran, ruang edukasi, auditorium, perpustakaan,dll)
serta cafe dan toilet sebagai penunjang ruang servis, sedangkan fasilitas
pada ruang out-dor terdiri atas taman dan parking area (roda dua dan
roda empat).
b. Pendidikan dan penelitian
Pendidikan dan penelitian secara praktis tidak dapat dipisahkan
dengan nilai-nilai budaya. Dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan
sendiri, secara proses mantransfernya yang paling efektif dengan cara
pendidikan dan penelitian. Sejalan dengan hal tersebut, museum

41
mempunyai fungsi sebagai tempat mengadakan, melengkapi, dan
mengembangkan tersedianya obyek pengetahuan ilmiah bagi siapapun.
Fenomena masyarakat yang mulai lupa dengan budaya daerah,
utamanya dalam bidang pendidikan dan kebudayan salah satu masalahnya
adalah hilangnya identitas dan budaya bangsa. Untuk menjaga eksistensi
budaya tetap kukuh, maka diperlukan sebuah wadah pendidikan dan strategi
akan ketahanan budaya. Pemerintah daerah melakukan berbagai upaya
diantaranya melalui visi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi
Sulawesi Tengah : “Ketahanan budaya sejuta wisatawan tahun 2020 dalam
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi kreatif”, salah satu misinya
yaitu : “Peningkatan upaya pelestarian, pembinaan dan pemanfaatan serta
penghargaan karya – karya budaya untuk meningkatkan persatuan dan
kesatuan serta jati diri bangsa”.
Menurut Direktorat Museum (2008), Idealnya museum sebagai sarana
pendidikan, mampu menjadi sebuah lembaga yang melayani masyarakat,
terbuka untuk umum, yang memperoleh, merawat, menghubungkan dan
memamerkan untuk tujuan studi (pendidikan) dan kesenangan, benda -
benda pembuktian manusia dan lingkungannya. Adapun fungsinya sebagai
berikut :
1) Memperkenalkan dan menyebarluaskan hasil penelitian koleksi benda
yang mempunyai nilai budaya dan ilmiah
2) Melakukan bimbingan edukatif cultural dan penyajian rekreatif benda
yang mempunyai nilai budaya dan ilmiah, sebagai pusat dokumentasi
dan penelitian, pusat penyaluran ilmu pengetahuan (lingkup
antropologi), pusat perkenalan kebudayaan antar daerah dan antar
bangsa, media pembinaan pendidikan kesenian dan ilmu pengetahuan,
suaka budaya, serta cermin sejarah manusia dan kebudayaan.
Untuk menghasilkan ruang- ruang yang sesuai dengan kebutuhan
pendidikan dan penelitian pada museum, Perencanaan aktivitas dalam

42
pembuatan museum diharapkan mampu memenuhi beberapa konsep
sebagai berikut :
a) Diorama (alur cerita)
Diaroma atau alur cerita yaitu proses yang akan menyajikan awal
mula terjadinya sebuah hasil kebudayaan sampai pada proses menjadi
sebuah benda bukti materil dari kebudayaan itu sendiri, yang akan
dibentuk dalam beberapa ruang dan ditata dengan model sirkulasi
tertentu sehingga mampu mengantarkan pengunjung melihat
bagaimana proses terjadinya sebuah hasil kebudayaan serta mampu
memberikan pemahaman edukasi tentang apa dan bagaimana
kebudayaan itu, yang kemudian akan di terapkan pada penataan ruang
dan interior bangunan.
b) Study centre
fasilitas study centre harus disediakan dalam sebuah museum,
dimana benda hasil kebudayaan harus mampu menjadi bahan atau
obyek penelitian ilmiah. Sehingga dibutuhkan baik ruang penelitian,
pengelolaan, maupun ruangan yang dapat digunakan sebagai ruang
pertemuan antara pengelola dan pengunjung dalam special case,
dimana orang dapat mengekplorasi ide-ide dan sensasi yang
distimulasikan oleh koleksi koleksi tersebut. Desain dari study centre itu
sendiri harus menjadi bahan pertimbangan karena adanya perbedaan
kebutuhan pada pemakainya seperti pengunujung dewasa, remaja,
anak-anak, ataupun yang berkeluarga.

4.1.3. Koleksi Benda Museum Etnologi


Menurut Direktorat Museum (2008), Pengadaan koleksi merupakan
suatu kegiatan pengumpulan (collecting) berbagai benda yang akan dijadikan
koleksi museum, baik berupa benda asli (realia) ataupun tidak asli (replika).
Pengadaan koleksi dapat dilakukan dengan cara: 1) Hibah (hadiah atau
sumbangan); 2) Titipan; 3) Pinjaman; 4) Tukar menukar dengan museum lain;

43
5) Hasil temuan (dari hasil survei, ekskavasi, atau sitaan); dan 6) Imbalan jasa
(pembelian dari hasil penemuan atau warisan).
Sulawesi Tengah memiliki beragam jenis benda koleksi hasil
kebudayaan, hal ini dapat dilihat dari jumlah koleksi benda yang ada, untuk
koleksi benda etnologi sendiri berjumlah 5621 jenis, yang berasal dari
berbagai macam suku/etnis asli Sulawesi Tengah (Unit Pelaksana Teknis
Daerah, Museum Negeri Sulawesi Tengah, 2015)
Berikut tabel benda koleksi Etnologi Sulawesi Tengah di bedakan
meneurut fungsinya.

Tabel 4.2. Data Benda Koleksi

No Koleksi Etnologi Jumlah (jenis)


1 Alat pengangkutan 22
2 Peralatan menangkap ikan 34
3 Peralatan berburu 49
4 Peralatan perdagangan 13
5 Peralatan beternak 5
6 Peralatan rumah tangga termasuk alat dapur 1214
7 Peralatan industri rumah tangga 17
8 Benda atribut kelas umur, pelapisan masyarakat 15
9 Peralatan seni musik 44
Benda kerajinan kulit (termasuk wayang kulit dan
10 10
peralatanya)
11 Benda kerajinan anyaman dan peralatanya 167
12 Tembikar dan peralatanya 88
13 Benda kerajinan, tanduk, tulang dan peralatanya 99
14 Alat permainan 15
15 Benda kerajinan logam 4
16 Perkembangan teknologi industri 5
17 Lukisan dan gambar 20
18 Pakaian termasuk tutup kepala 1819

44
19 Wadah 791
20 Senjata 312
Tekstil (termasuk batik, sulaman, renda (kain kulit
21 85
kayu dan peralatanya)
Benda kerajinan manik- manik / termasuk biji-bijian,
22 75
lokon, mika, dan peralatanya
24 Peralatan pertanian ladang 22
25 Peralatan pertanian sawah 51
26 Peralatan meramu 33
27 Peralatan upacara daur hidup 186
28 Religi dan magis 2
29 Arsitektur 8
31 Seni rupa kontemporer 16
32 patung 21
33 Alat menyalakan api / meniup api 2
34 Alat produksi 17
Jumlah 5621
(Sumber : Unit Pelaksana Teknis Daerah, Museum Negeri Sulawesi Tengah, 2015)

45
a. Contoh Gambar Koleksi

a) Alat pengangkut b) Alat penangkap ikan

c) Alat berburu d) Peralatan dagang

e) Peralatan beternak f) Peralatan rumah tangga

g) Industri rumah tangga h) Benda atribut

Gambar 4.2. Contoh Benda Koleksi


(Sumber : Unit Pelaksana Teknis Daerah, Museum Negeri Sulawesi Tengah, 2015)

46
a) Peralatan seni musik b) Kerajinan kulit kayu

c) kerajianan anyaman d) Tembikar

e) Kerajinan tanduk dan tulang f) Alat permainan

g) Kerajinan logam h) Teknologi industri

Gambar 4.3. Contoh Benda Koleksi


(Sumber : Unit Pelaksana Teknis Daerah, Museum Negeri Sulawesi Tengah,2015)

47
a) Lukisan dan gambar b) Pakain dan tutup kepala

c) Wadah d) Senjata

e) Tekstil f) Kerajinan manik-manik

g) Alat pertanian ladang dan sawah h) Peralatan meramu

Gambar 4.4. Contoh Benda Koleksi


(Sumber : Unit Pelaksana Teknis Daerah, Museum Negeri Sulawesi Tengah, 2015)

48
a) Peralatan upacara b) Benda religi & magis

c) Arsitektur d) Seni rupa kontemporer

Gambar 4.5. Contoh Benda Koleksi


(Sumber : Unit Pelaksana Teknis Daerah, Museum Negeri Sulawesi Tengah, 2015)

4.1.4. Sistem Pengelolaan Museum


a. Struktur Organisasi Museum
Salah satu faktor yang mendukung keberhasilan museum adalah
faktor organisasi. Setiap museum sebaiknya mempunyai struktur organisasi
yang mencerminkan tugas dan fungsi museum, adapun struktur organisasi
yang umum dimiliki oleh sebuah museum, (Direktorat Museum ,2008),
antara lain:
1) Kepala/Direktur Museum (Memimpin pelaksanaan tugas dan fungsi
museum)
2) Kepala Bagian Tata Usaha Museum (Memimpin penyelenggaraan
urusan tata usaha, urusan rumah tangga dan ketertiban museum)
3) Kepala Bagian Kuratorial (Memimpin penyelenggaraan pengumpulan,
penelitian dan pembinaan koleksi)

49
4) Kepala Bagian Konservasi dan Preparasi (Memimpin penyelenggaraan
konservasi, restorasi dan reproduksi koleksi serta preparasi tata
pameran)
5) Kepala Bagian Bimbingan dan Publikasi (Memimpin penyelenggaraan
kegiatan bimbingan dengan metode dan sistem edukatif kultural dalam
rangka menanamkan daya apresiasi dan penghayatan nilai warisan
budaya dan ilmu pengetahuan serta menyelenggarakan publikasi
tentang koleksi museum)
6) Kepala Bagian Registrasi dan Dokumentasi (Memimpin
penyelenggaraan registrasi dan dokumentasi seluruh koleksi)
7) Perpustakaan (Menyelenggarakan perpustakaan, dan menyimpan hasil
penelitian dan penerbitan museum)

Kepala / Direktur
Museum

Kabag Tata
Usaha

Kabag Kabag Kabag Kabag Kepala


Kuratorial Konservasi & Bimbingan & Registrasi & Perpustakaan
Preparasi Publikasi Dokumentasi

Kelompok
Fungsional

Gambar 4.6. Struktur Organisasi Museum


(Sumber : Direktorat Museum, 2008)

50
b. Penyajian Koleksi
Koleksi-koleksi yang dimiliki oleh sebuah museum perlu dipamerkan
untuk diinformasikan kepada umum, agar pameran dapat menarik perhatian
pengunjung, perlu dilakukan penataan yang baik. Koleksi yang tidak
dipamerkan harus disimpan dengan baik di ruangan penyimpanan (storage),
Agar tidak terjadi kebosanan terhadap pengunjung perlu diadakan
pergantian koleksi yang dipamerkan dengan yang disimpan. Koleksi yang
berada baik di ruang pamer maupun di ruang simpan harus cukup terlindung
dari api, coretan dan bencana alam serta perlu ditetapkan prosedur
penanganan dalam keadaan darurat.
Ada beberapa macam pameran di museum yaitu:
1) Pameran tetap; pameran yang menyajikan koleksi museum secara
periodik dan diselenggarakan oleh museum itu sendiri. Waktu
penyelenggaran pameran tetap berlansung 1 kali dalam setahun.
2) Pameran temporer; pameran yang menyajikan koleksi- koleksi museum
dalam jangka waktu tertentu yang diselenggarakan oleh museum atau
kerja sama dengan pihak lain. Waktu pelaksanaan pameran temporer
berlansung minimal selama 10 hari, maksimal berlansung selama 30
hari.
3) Pameran di ruang terbuka; pameran yang menyajikan koleksi- koleksi
dan dipamerkan pada ruang terbuka secara tetap maupun temporer.
Menurut Direktorat Museum (2008), dalam penataan pameran yang
perlu diperhatikan adalah persyaratan teknis, adapun syaratnya adalah :
1) Tata pameran, meliputi segala penataan yang dimulai dengan
menempatkan koleksi di dalam gedung. Untuk pameran terdapat
beberapa sistematika, di antaranya:
a) Sistem periode; lebih menekankan pada penyajian koleksi secara
kronologi dari waktu ke waktu dengan menempatkan benda koleksi

51
dan informasi pendukungnya secara berurut dan linear dari fase awal
hingga akhir.
b) Sistem disiplin ilmu; lebih menekankan pada penyajian koleksi yang
mengelompokan benda- benda koleksi berdasarkan rumpun ilmu.
c) Sistem regional; lebih menekankan pada penyajian koleksi yang
mengelompokan benda- benda koleksi berdasarkan tempat/ daerah
dimana benda koleksi berasal.
d) Sistem benda sejenis; lebih menekankan pada penyajian koleksi yang
memiliki kesamaan jenis serta berdasarkan kualitas, kegunaan, gaya,
periode, dan pembuat.
2) Cahaya (lighting), baik cahaya alam ataupun buatan harus memenuhi
persyaratan ideal dari segi koleksi, keindahan, dan penerangan;
Pengaturan tata cahaya tidak boleh mengganggu koleksi atau
menyilaukan pengunjung. Usahakan cahaya lampu tersebut
tersembunyi sehingga tidak langsung mengenai mata pengunjung dan
kemudian mengganggu penglihatan pengunjung terhadap koleksi yang
dipamerkan, berikut beberapa benda yang membutuhkan pencahayaan
khusus:
a) Benda koleksi anorganik, Misalnya batu, keramik, benda benda dari
kaca, tembikar, dan baja putih bebas dari ukuran cahaya.
b) Benda koleksi organik, Misalnya benda benda dari kayu, kulit bambu
dapat digunakan hingga 150 LUX.
c) Benda peka terhadap cahaya Misalnya lukisan, barang barang tekstil
maksimal 50 Lux dan jarak lampu TL yang digunakan minimal 40cm
dari benda koleksi.
3) Label, harus padat, ringkas dan dapat dimengerti. Dilihat dari bentuk
atau tempatnya harus indah dan jelas bagi seluruh kalangan
masyarakat, seperti;

52
a) Teks dinding (introductory label)
memuat informasi awal / pengenalan mengenai pameran yang
diselenggarakan, tema dan subtema pameran kelompok koleksi.
b) Label individu
berisi nama dan keterangan singkat mengenai koleksi yang
dipamerkan. Informasi yang disampaikan berisi keterangan yang
bersifat deskriptif, dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan
alur cerita.
4) Kondisi udara, sirkulasi udara di dalam ruangan pameran harus
memenuhi persyaratan yang baik, baik bagi koleksi maupun bagi
pengunjung, untuk museum dengan koleksi utama kelembaban yang
disarankan adalah 50% dengan suhu 210C – 260C, museum yang baik
sebaiknya tetap menerapkan penghawaan alami. Perwujudannya bisa
melalui perletakkan jendela yang tinggi pada satu sisi dan rendah pada
sisi lainnya (Cross Ventilation). Sedangkan untuk tujuan pemeliharaan
objek benda pameran, sebaiknya menggunakan AC karena dapat
mengatur temperature dan kelembaban yang diinginkan. Hal ini
tentunya tergantung oleh bahan objek pameran tersebut, apakah peka
terhadap kelembaban atau tidak.
5) Peralatan audiovisual, untuk memperjelas dapat digunakan micro sound
system sehingga tidak membutuhkan ruang yang besar dan film untuk
penyajian atraksi budaya non bendawi.
6) Lukisan dan diorama, digunakan untuk menerangkan peristiwa sejarah
atau hasil kebudayaan yang sifatnya non bendawi.
7) Keamanan, keamanan museum harus mendapatkan perhatian yang
serius, diupayakan koleksi yang peka dihindarkan dari sentuhan
pengunjung, dan bantuan dari bagian keamanan sangat diperlukan.
Faktor yang perlu diperhatikan adalah:
a) Pemantauan terhadap kelembaban dan suhu udara.

53
b) Pemantauan dari bahaya serangga yang dapat menyerang koleksi
maupun media penyimpanan koleksi.
c) Memberi batas agar koleksi tidak tersentuh oleh tangan manusia.
d) Penggunaan bahan/ material yang bebas dari zat asam (acid free)
sebagai media untuk menempatkan atau menempelkan koleksi.
e) Kedudukan koleksi harus selalu dalam keadaan terjaga terhadap
getaran maupun benturan.
8) Lalu lintas pengunjung, sangat diperlukan kedisiplinan dan pengaturan
sirkulasi pengunjung. Perhatian pengunjung akan berkurang bila
suasananya berdesak- desakan, selain itu bahaya pencurian dalan
kondisi seperti itu sangat besar.

4.2. Pembahasan : Pendekatan Konsep Perancangan


Pendekatan konsep merupakan gagasan yang memadukan unsur
perancangan yang mengemukakan cara khusus bahwa syarat- syarat suatu
rencana dan kebutuhan dapat digabungkan bersama, sebuah gagasan hasil
rancangan harus mengandung kelayakan dan memperhatikan karakteristik
serta keterbatasan yang khas pada setiap rancangan. Museum sebagai sarana
untuk mengembangkan dan memperkenalkan warisan budaya harus mampu
memenuhi standar ideal sebuah museum sebagai media yang universal untuk
pelestarian warisan budaya, wahana pembelajaran masyarakat, serta objek
wisata (rekreasi) yang edukatif sebab pada umumnya kondisi museum di
Indonesia masih digunakan dan dipersepsikan oleh masyarakat sebagai
tempat menyimpan dan menyajikan benda sejarah dan budaya saja, terbih
lagi melihat museum sebagai gudang tempat penyimpanan benda- benda
kuno. Berdasarkan hal diatas, konsep perancangan Museum Etnologi
Sulawesi Tengah di Palu didasarkan pada pendekatan konsep perancangan
fungsi museum yaitu : Wisata (rekreasi), pendidikan dan penelitian.

54
a. Wisata (Rekreasi)
Berhasilnya suatu tempat wisata sangat tergantung pada 3A (Oka Yeti,
1997), yaitu atraksi (attraction), mudah dicapai Aksesibilatas (accessibility),
dan akomodasi / fasilitas (amenities).
1) Aksesibilatas (Accessibility)
Dalam skala makro salah satu hal penting dalam perancangan
sebuah tempat wisata yaitu pencapaian ke lokasi. Dalam hal ini, lokasi
perancanagan Museum Etnologi berada di Kota Palu. Berdasarkan
peraturan daerah Kota Palu no 16 tahun 2011 tentang RTRW Kota Palu
2010- 2030, rencana pengembangan system pusat pelayanan kota dan
pengembangan system sub pusat pelayanan kota dengan fungsi struktur
ruang kawasan budidaya yang di peruntukkan bagi kebutuhan pariwisata
dan pelayanan umum tersebar pada 4 (empat) kecamatan, yaitu :
Kecamatan Palu Utara, Kecamatan Palu Timur, Kecamatan Mantikulore,
Kecamatan Palu Selatan, dan Kecamatan Palu Barat. Adapun akses yang
harus diperhatikan sebagai berikut :
a) Akses dari luar tapak
b) Akses dari dalam tapak
c) Akses dalam bangunan
2) Atraksi (Attraction)
Demi tercapainya tempat wisata budaya pada Museum Etnologi,
dibutuhkan sebuah atrkasi atau kegiatan-kegiatan yang akan berlangsung
di dalam sebuah museum. Dengan melihat potensi wisata budaya
Sulawesi Tengah, kegiatan yang akan diwadahi pada perancangan
Museum Etnologi yaitu menyajikan hasil kebudayaan bendawi (benda)
maupun non bendawi (tradisi; tarian, upacara adat, cara bertahan hidup,
dll) secara visual 2 dimensi, 3 dimensi, dan audio visual dalam sebuah
media, yang berikutnya akan ditampilkan dalam sebuah ruang.

55
3) Akomodasi / fasilitas (amenities)
Akomodasi merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam
pengembangan dan perancangan tempat wisata, akomodasi yang
dimaksud yaitu fasilitas-fasilitas servis yang ada pada tempat wisata
maupun luar tempat wisata seperti, penginapan yang menunjang aktivitas
yang berlaku di daerah sekitar tempat wisata. Kota Palu sebagai lokasi
perancangan Museum Etnologi tentunya tidak lepas dari keaadaan atau
kondisi fasilitas prasarana dan sarana public yang menunjang. Hal ini
dapat dilihat dengan tersediaanya beberapa fasilitas penunjang seperti
adanya Bandara skala nasional, Pelabuhan international dan tersedianya
penginapan dan hotel dari skala melati sampai bintang 4 serta
transportasi angkutan kota yang memadai ; Bus, taxi, ojek dan lain- lain.
b. Pendidikan dan Penelitin
Idelanya sebuah perancangan Museum Etnologi, harus mampu
menjadi pusat dokumentasi dan penelitian, pusat penyaluran ilmu
pengetahuan (lingkup antropologi), pusat perkenalan kebudayaan antar
daerah dan antar bangsa, media pembinaan pendidikan kesenian dan ilmu
pengetahuan, suaka budaya, serta cermin sejarah manusia dan kebudayaan.
Jenis kegiatan tersebut akan diwadahi dalam sebuah solusi
arsitektural yang selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan dan aktivitas
pengguna ruang pada Museum Etnologi.

4.2.1. Pendekatan Konsep Tapak


Tujuan pendekatan konsep tapak yaitu menganalisa wilayah kota Palu untuk
mendapatkan tapak yang strategis, sesuai dengan fungsi dan peruntukan museum
Dasar pertimbangan :
a. Kebijakan pemerintah mengenai RTRW 2010-2030 Kota Palu
b. Akses pencapaian dari atau ke tempat-tempat penting yang memiliki
keterkaitan dengan Museum Etnologi.

56
c. Tersedianya jaringan utilitas kota (jaringan listrik, air, telepon, dan riol
kota)
Kriteria yang selaras dengan fungsi Museum Etnologi :
a. Lokasi sehat, diartikan lokasi tidak terletak di daerah industri (banyak
pengotoran udara),
b. Bukan daerah yang berawa,
c. Elemen iklim dan kelembaban udara lokasi terkontrol mencapai netral,
yaitu 55 – 65 %.
Berdasarkan pertimbangan diatas, maka dihasilkan 3 alternatif tapak sebagai
berikut:
Keterangan :

Alternatif 3: Tapak
terletak di Kel. Tondo,
Kec. Mantikulore

Alternatif 1 : Tapak Alternatif 2 : Tapak terletak di Kel.


terletak di Kel. Lere, Talise, Kec. Mantikulore
Kec. Palu Barat

Gambar 4.7. Peta Administrasi Kota Palu


(Sumber : Dinas Tata Ruang Kota Palu, 2014)

57
a. Alternatif 1
Tapak terletak di wilayah Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat.

Gambar 4.8. Lokasi Alternatif 1


(Sumber : Google maps ,2016 (digambar kembali Jalaluddin,2016))

Uraian Tapak :
Batas batas sebagai berikut.
Sebelah utara : jalan cumi- cumi
Sebelah selatan : jalan selar
Sebelah timur : jalan rono
Sebelah barat : mercure hotel
Aksesibilatas / pencapaian pada tapak berada pada tiga jalur utama
menuju tapak, sebelah utara berada pada jalan kolektor sekunder dengan
lebar jalan 14 meter (jalan cumi- cumi), sebelah selatan berada pada jalan
sekunder satu dengan lebar jalan 7 meter (jalan selar), dan sebelah timur juga
berada pada jalan sekunder satu dengan lebar jalan 7 meter (jalan rono).
Selain tapak termasuk kategori titik pusat kota, tapak mempunyai
beberapa kelebihan dan juga beberapa permasalahan, berikut adalah
penjelasan potensi, masalah dan kondisi eksisting pada tapak tersebut.

58
1) Potensi pada tapak :
a) Termasuk dalam titik pusat kota serta keramaian dikawasan Palu
Barat, yaitu kawasan pengembangan wisata budaya.
b) Sirkulasi utama pada tapak yaitu jalan cumi- cumi merupakan jalan
dua arah dengan dua jalur terpisah, jalan rono merupakan jalan dua
arah dengan satu jalur, dan jalan selar merupakan jalan dua arah
dengan satu jalur menjadikan pencapaian ke tapak lebih mudah dan
teratur.
c) Penunjang sekitar tapak seperti; pantai teluk palu, taman budaya
golni, kampus IAIN palu, universitas alkhairat, hotel mercure, duta
hotel, taman ria, palu grand mall, kompleks pertokoan di ponegoro
dan pertamina.
2) Masalah pada tapak :
a) Banyak kendaraan yang menggunakan badan jalan dan aktivitas
disekitaran tapak yang cukup tinggi, serta lokasi tapak yang
berhadapan lansung dengan pantai teluk palu sehingga
menyebabkan bunyi bising arus lalu lintas, aktivitas manusia sekitar
tapak dan gelombang air laut cukup mengganggu aktivitas yang akan
diwadahi oleh Museum Etnologi.
b) Beberapa fasilitas kota terlihat sudah tidak berfungsi dengan baik,
seperti lampu jalan dan saluran air kotor.
3) Utilitas pada tapak :
Kelengkapan utilitas menjadi hal yang sangat penting. Beberapa
sarana utilitas telah terpasang dan masih dalam keadaan baik, seperti
jaringan listrik, telepon, dan air bersih. Sistem drainase pada tapak
lansung menuju ke saluran air hujan perkotaan (riol kota).

59
b. Alternatif 2
Tapak terletak di wilayah Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore.

Gambar 4.9. Lokasi Alternatif 2


(Sumber : Google maps ,2016 (digambar kembali Jalaluddin,2016))

Uraian Tapak :
Batas batas sebagai berikut
Sebelah utara : polsek palu timur
Sebelah selatan : pemukiman penduduk
Sebelah timur : jalan trans sulawesi
Sebelah barat : jalan kampong nelayan dan teluk palu
Aksesibilatas / pencapaian pada tapak berada pada dua jalan utama
menuju tapak yaitu sebelah timur berada pada jalan arteri sekunder dengan
lebar jalan 10 meter (jalan trans sulawesi), sebelah barat berada pada jalan
sekunder 1 dengan lebar jalan 7 meter (jalan kampong nelayan).
Tapak termasuk dalam kawasan perkotaan, tapak mempunyai
beberapa kelebihan dan juga beberapa permasalahan, berikut adalah
penjelasan potensi, masalah dan kondisi eksisting pada tapak tersebut.

60
1) Potensi pada tapak :
a) Termasuk dalam kawasan perkotaan serta keramaian dikawasan Palu
Timur dan masuk dalam kawasan pengembangan wisata budaya.
b) Sirkulasi utama pada tapak yaitu jalan trans sulawesi merupakan
jalan dua arah dengan satu jalur dan merupakan kelas jalan arteri
sekunder (jalan provinsi), serta jalan kampoeng nelayan merupakan
jalan dua arah dengan satu jalur, menjadikan pencapaian ke tapak
lebih mudah dan teratur.
c) Penunjang sekitar tapak seperti; pantai teluk palu, lapangan golf palu,
universitas muhamadiyah, sd/smp/sma terpadu madani, mapolsek
palu timur, gedung KNPI, pantai wisata kampoeng nelayan, restoran
(kampoeng nelayan dan heny putri kaili), pertamina, show room
(kalla group, ford, dan hino) serta RSUD undata palu.
2) Masalah pada tapak :
a) Banyaknya kendaraan yang menggunakan badan jalan dan lokasi
tapak yang berhadapan lansung dengan pantai teluk palu sehingga
menyebabkan bunyi bising arus lalu lintas dan gelombang air laut
cukup menggangu aktivitas yang akan diwadahi oleh Museum
Etnologi.
b) Beberapa fasilitas kota terlihat sudah tidak berfungsi dengan baik,
seperti lampu jalan dan saluran air kotor.
3) Utilitas pada tapak :
Kelengkapan utilitas menjadi hal yang sangat penting. Beberapa
sarana utilitas telah terpasang dan masih dalam keadaan baik, seperti
jaringan listrik, telepon, dan air bersih. Sistem drainase pada tapak
lansung menuju ke saluran air hujan perkotaan (riol kota).

61
c. Alternatif 3
Tapak terletak di wilayah Kelurahan tondo, Kecamatan Mantikulore.

Gambar 4.10. Lokasi Alternatif 3


(Sumber : Google maps ,2016 (digambar kembali Jalaluddin,2016))

Uraian Tapak :
Batas batas sebagai berikut.
Sebelah utara : pergudangan
Sebelah selatan : jalan lingkungan
Sebelah timur : jalan soekarno- hatta
Sebelah barat : jalan lingkungan
Aksesibilatas / pencapaian pada tapak berada pada tiga jalan utama
menuju tapak dan yaitu sebelah selatan berada pada jalan lingkungan dengan
lebar jalan 2,5 meter , sebelah timur berada pada jalan kolektor sekunder
(jalan soekarno- hatta) dengan lebar jalan 14 meter, sebelah barat berada
pada jalan lingkungan dengan lebar jalan 2,5 meter.
Tapak termasuk dalam kawasan perkotaan, tapak mempunyai
beberapa kelebihan dan juga beberapa permasalahan, berikut adalah
penjelasan potensi, masalah dan kondisi eksisting pada tapak tersebut.

62
1. Potensi pada tapak :
a) Termasuk dalam kawasan perkotaan serta keramaian dikawasan
mantikulore dan masuk dalam kawasan pengembangan pendidikan
dan peruntukan lainnya.
b) Sirkulasi utama pada tapak yaitu jalan soekarno- hatta merupakan
jalan dua arah dengan dua jalur yang menjadikan pencapaian ke
tapak cukup baik.
c) Penunjang sekitar tapak seperti; universitas tadulako, kampus stikes
widya nusantara, kampus politeknik palu, smk 5 palu, smpn tondo,
dan pergudangan.
2. Masalah pada tapak :
a) Banyaknya kendaraan yang menggunakan badan jalan, sehingga
menyebabkan bunyi bising arus lalu lintas.
b) Beberapa fasilitas kota terlihat sudah tidak berfungsi dengan baik,
seperti lampu jalan dan saluran air kotor.
3. Utilitas pada tapak :
Kelengkapan utilitas menjadi hal yang sangat penting. Beberapa
sarana utilitas telah terpasang dan masih dalam keadaan baik, seperti
jaringan listrik, telepon, dan air bersih. Sistem drainase pada tapak
lansung menuju ke saluran air hujan perkotaan (riol kota).

4.2.2. Pendekatan Konsep Sirkulasi


Sistem sirkulasi dalam dan luar tapak memudahkan pengguna gedung
untuk dapat mengakses fasilitas-fasilitas, baik yang menggunakan kendaraan
maupun yang berjalan kaki. Pada umumnya perencanaan jaringan sirkulasi
ditujukan untuk memenuhi kriteria kemudahan, keamanan, dan juga
kenyamanan. Oleh karena itu perancangan gedung didasari oleh konsep
sirkulasi ideal yang dapat memberikan kenyamanan serta kesenangan bagi
pengguna gedung. Untuk itu suatu kawasan perlu mempertimbangkan
beberapa faktor, diantaranya :

63
a. Jarak atau rute yang praktis, semua obyek dan elemen sepanjang rute
terfasilitasi serta mempunyai pengaruh yang baik terhadap ruang guna
tercapainya keharmonisan dan terintegrasi antara satu ruang dengan
yang lainnya.
b. Kondisi lingkungan, merupakan obyek dalam pergerakan harus sesuai
dengan persepsi pengunjung.
c. Rangkaian unsur-unsur dengan ruang harus tertata dengan baik.
Dalam menganalisis sirkulasi pada tapak, terdapat beberapa
pertimbangan seperti, aksesbilitas, kondisi di dalam dan luar tapak, keamanan
serta fungsi kontrol. Perencanaan sirkulasi makro merupakan perencanaan
sistem pencapaian luar tapak untuk masuk kedalam tapak, dalam skala
tersebut terdapat satu jalan masuk utama ke dalam tapak yang dibagi dalam
dua fungsi yaitu main entrance dan sub entrance, main entrance digunakan
sebagai akses utama bagi pengguna gedung (menggunakan kendaraan) untuk
masuk kedalam tapak sedangkan sub entrance diperuntukan bagi pejalan kaki
yang ingin masuk ke dalam tapak. Agar tidak terjadi penumpukan kendaraan
pada satu sisi dan untuk menghindari terjadinya kemacetan, maka akses keluar
dan masuk kendaraan pada tapak dibuat terpisah. Demikian pula pada
perencanaan sirkulasi secara mikro sirkulasi di dalam ruangan atau gedung
harus didasarkan pada kebutuhan ruang dan kedekatan fungsi yang saling
mendukung satu sama lain sehingga aktivitas pengguna gedung terintegrasi
antara satu ruang dengan yang lainnya.

4.2.3. Pendekatan Konsep Parkir


Untuk melaksanakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan parkir,
terlebih dahulu dipikirkan perbandingan luas lahan terbangun dan tidak
terbangun serta intensitas pengunjung yang datang baik pengguna kendaraan
roda dua maupun roda empat, jika lahan tidak terbangun cukup luas maka
lahan parkir akan menggunakan ruang terbuka yang ada, serta luasannya akan
di analisis sesuai dengan jumlah kendaraan pelaku aktivitas pada Museum

64
Etnologi. Akan tetapi jika lahan tidak terbangun sempit, maka alternatif lahan
parkir yang akan digunakan adalah model parkir dalam bangunan dengan
menggunakan system basement atau menggunakan sitem parkir di atas
bangunan (plat atap) dan luasannya juga akan di analisis sesuai dengan jumlah
kendaraan pelaku aktivitas pada Museum Etnologi. Namun lahan parkir yang
digunakan tidak akan maksimal jika tidak menggunakan pola parkir yang baik,
pola parkir tersebut baik jika digunakan sesuai kondisi yang ada. Berikut
beberapa standar fasilitas yang digunakan untuk menentukan jenis pola parkir
yang akan dipakai, yaitu:

Tabel 4.3. Jenis pola parkir

No Jenis Pola Parkir Standar Penggunaan


1 Parkir Kendaraan Satu Sisi

Pola parkir ini iterapkan


apabila ketersediaan ruang
Parkir sudut 30ᵒ, 45ᵒ, 60ᵒ.
sempit.

Parkir sudut 90ᵒ.

2 Parkir Kendaraan Dua Sisi


Pola parkir ini diterapkan
apabila ke tersediaan ruang
cukup memadai.

Parkir sudut 30ᵒ, 45ᵒ, 60ᵒ.

65
Parkir sudut 90ᵒ.
3
Pola Parkir Pulau

Pola parkir ini diterapkan


Membentuk sudut 90ᵒ apabila ketersediaan ruang
cukup luas.

Membentuk sudut 45ᵒ

(Sumber : Neufert E, 2002)

4.2.4. Pendekatan Konsep Iklim (Matahari & Angin)


Cahaya matahari dapat dimanfaatkan sebagai pencahayaan alami,
terutama pada siang hari, sedangkan angin menghasilkan udara segar yang
dimanfaatkan sebagai penghawaan alami pada bangunan. Orientasi matahari
sangat mempengaruhi suhu dalam bangunan, pada daerah tropis seperti
indonesia, intensitas sinar matahari yang tinggi sangat potensial untuk
pencahayaan alami bangunan. Matahari bergerak dari arah timur pada pagi
hari pukul 06:00 Wita menuju kearah barat hingga pukul 18:00, intensitas
matahari tertinggi ialah pukul 10:00 Wita hingga pukul 15:00 Wita. Namun
demikian radiasi panas berlebihan yang ditimbulkan kurang baik untuk
bangunan fungsi museum, oleh karena itu orientasi matahari pada tapak
mempengaruhi letak dan bentuk bangunan pada tapak, begitu pula dengan
pemanfaatan penghawaan alami (angin), dapat mengurangi pemakaian

66
penghawaan buatan pada bangunan serta mampu mengurangi hawa panas
dalam bangunan.
Beberapa pertimbangan yang harus di penuhi dalam merencanakan
sistem pencahayaan alami dan penghawaan pada Museum Etnologi, antara
lain :
a. Lama waktu penyinaran
b. Orientasi matahari pada tapak
c. Arah angin pada tapak
d. Kelembaban udara harus mencapai netral, berkisar antara 55-65%
e. Perletakan dan penataan vegetasi
Adapun tanggapan terhadap matahari dan angin seperti pada
gambar 4.11. berikut.

Ditanami Dibuat
vegetasi bukaan
Menggunakan
Overstek

Gambar 4.11. Tanggapan Terhadap Matahari Dan Angin


(Sumber : Analisis penulis berdasarkan data lapangan, 2016)

4.2.5. Pendekatan Konsep Noice (Kebisingan)


Bising merupakan suara atau bunyi yang dapat menggangu aktivitas
pengunjung museum. Bising dapat menyebabkan berbagai gangguan
diantaranya, gangguan psikologis, berupa rasa tidak nyaman dan kurang
konsentrasi.
Pada umumnya sumber kebisingan pada tapak, berasal dari banyaknya
kendaraan yang menggunakan badan jalan dan aktivitas disekitaran tapak
yang cukup tinggi, selain itu, letak tapak sebagai bagian dari fungsi pelayanan

67
kota seperti, pariwisata, pusat pendidikan, perdagangan jasa dan pelayanan
sosial serta perumahan yang tersebar di sekitar tapak, menjadikan tingkat
kebisingan pada tapak dari pagi hingga malam hari cukup tinggi.
Untuk meminimalisir tingkat kebisingan, beberapa pertimbangan yang
harus diperhatikan, antara lain:
a. Jarak bangunan dan sumber bunyi
b. Zona- zona pada bangunan yang harus terhindar dari kebisingan tinggi
c. Jenis bahan dan material yang digunakan
d. perletakan dan penataan vegetasi pada tapak terutama pada area yang
memiliki tingkat kebisingan tinggi, selain itu diberikan pengaturan yang
baik terhadap jarak bangunan dengan jalan utama sehingga dapat
meminimalisir tingkat kebisingan.
Adapun gambaran alternatif yang digunakan untuk meminimalisir
kebesingan seperti pada gambar 4.12. berikut.

Gambar 4.12. Tanggapan Terhadap kebisingan


(Sumber : Analisis penulis berdasarkan data lapangan, 2016)

4.2.6. Pendekatan Konsep Ruang Luar


Dalam memaksimalkan kebutuhan dan fungsi ruang luar pada tapak
maka diperlukan konsep ruang luar, artinya ruang luar tersebut dapat

68
memenuhi standar aman dan nyaman. Ada dua elemen pembentuk ruang luar
yaitu :
a. Soft Material
Komponen yang termasuk soft material yaitu air dan vegetasi, ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan fungsi komponen
pada soft material diantaranya dengan cara memilih jenis vegetasi yang tidak
membahayakan kondisi fisik dan kesehatan serta jenis vegetasi yang
digunakan dapat mendukung aktifitas yang berlansung pada tapak. Untuk
memenuhi fungsi pendidikan dan rekreasi pada Museum Etnologi, beberapa
jenis vegetasi yang digunakan adalah vegetasi lokal / endemik Sulawesi
Tengah yaitu, vegetasi yang digunakan untuk fungsi peneduh, pengarah,
pembatas fisik tapak, serta vegetasi dengan fungsi penutup tanah (ground
cover). Seperti pada tabel 4.4. berikut.
Tabel 4.4. Jenis Vegetasi yang digunakan
No Nama Vegetasi Ciri- ciri Fungsi

Palem Sulawesi Berfungsi sebagai


Latin : “Pigafeta tumbuhan pengarah
elata becc / pada tapak, selain itu
Arecaceae” - daun lebat berwarna hijau gelap tumbuhan ini juga
1
(dalam bahasa berbulu melengkung indah. mempunyai fungsi
lokal disebut - batang tunggal ( tidak memiliki estetika dan edukasi
“Silahoa”) percabangan) flora endemik di
- Sensitif pada cuaca dingin dan Sulawesi Tengah.
tumbuh bagus pada kondisi cukup
cahaya serta hangat.
- habitat asli di Taman Nasional Lore
Lindu (TNLL) Sulawesi Tengah

69
Berfungsi sebagai
tumbuhan peneduh
pada tapak, serta
Ketapang memiliki nilai/fungsi
Latin : edukasi flora di
“Terminalia” Sulawesi Tengah.
2 (dalam bahasa selain itu tumbuhan
lokal disebut ini juga cocok dengan
“Talise”) -daun lebat dengan ukuran daun kondisi topografi
yang relatif besar tapak yang berada di
-mempunyai percabangan bertingkat pesisir pantai teluk
dan tajuk yang melebar palu.
- Habitat di pesisir pantai Sulawesi
Tengah

Berfungsi sebagai
tumbuhan peneduh
Kayu Hitam pada tapak, selain itu
Latin : diospyros tumbuhan ini juga
celebica mempunyai nilai /
3 (dalam bahasa fungsi estetika serta
lokal disebut edukasi flora
“Eboni/Dodas”) endemik di Sulawesi
-daun lebat berwarna hijau tua, Tengah.
dengan ukuran daun relatif kecil
- batang pohon berwarna hitam
-mempunyai percabangan dengan
tajuk yang melebar
-Habitat asli di hutan konservasi
Sulawesi Tengah
Bonsai Asoka Berfungsi sebagai
Latin : Saraca tumbuhan pembatas
Asoca fisik antar ruang
4 (dalam bahasa pada tapak, selain itu
lokal disebut tumbuhan ini juga
“Batang macis/ mempunyai fungsi
Bunga asoka”) estetika dan edukasi

70
-daun berwarna hijau tua, ukuran flora di Sulawesi
daun kecil Tengah.
-mepunyai percabangan yang kecil
-berbunga warna merah, berbentuk
seperti batang macis
-Habitat: persebaran di hutan
Sulawesi Tengah
Rumput Gajah
Mini
Berfungsi sebagai
Latin :
tumbuhan penutup
pennisetum
tanah (ground
purperium
cover), selain itu
schamach
5 tumbuhan ini juga
(dalam bahasa
mempunyai fungsi
lokal disebut -daun berwarna hijau tua, ukuran estetika dan edukasi
“Rumput Gajah daun kecil
flora di Sulawesi
Mini /rumput -tidak mempunyai batang (termasuk
tumbuhan tingkat rendah) Tengah.
sapi ”)
-tidak memiliki bunga.

(Sumber : Analisis penulis berdasarkan data lapangan, 2016)

b. Hard Material
Komponen yang termasuk hard material adalah perkerasan dan
furniture, pada Museum Etnologi Sulawesi Tengah perkerasan dan furniture di
aplikasikan dalam jalur sirkulasi, area parkir, serta pendestrian. Material dan
furniture yang digunakan harus memenuhi standar aman serta memiliki
ketahanan yang baik terhadap kondisi iklim pada tapak. Seperti pada tabel 4.5.
berikut.
Tabel 4.5. Jenis Perkerasan dan Furniture yang digunakan
No Nama Bentuk Fungsi

Tempat duduk untuk


istrahat, bersantai
dan berbincang pada
1 Bangku Taman
taman (ruang luar)

71
Sebagai tempat
pembuangan sampah
sementara, yang
2 Tong Sampah dibedakan atas tiga
bagian yaitu, sampah
organik, non organik
dan logam.

Berfungsi sebagai
furniture penerangan
3 Lampu Taman
dimalam hari pada
tapak

Berfungsi sebagai
material penutup
tanah (ground cover)
4 Paving Blok
untuk kebutuhan
jalan pendestrian
maupun area parkir

(Sumber : Analisis penulis berdasarkan data lapangan,2016)

4.2.7. Pendekatan Konsep Aktivitas Pelaku


Pemakai museum dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok
Pengelola museum dan Pengunjung museum. dua kategori pengguna
tersebut yaitu :
a. Pengelola
Pengelola museum adalah petugas yang berada dan
melaksanakan tugas museum dan dipimpin oleh seorang kepala museum.
Kepala museum membawahi dua bagian, bagian administrasi dan bagian
teknis.

72
1) Bagian administrasi
Petugas administrasi mengelola ketenagaan, keuangan, surat-
menyurat, kerumah tanggaan, pengamanan, dan registrasi koleksi.
2) Bagian teknis
Bagian teknis terdiri dari tenaga pengelola koleksi, tenaga konservasi,
tenaga preparasi, tenaga bimbingan dan humas. Adapun tugas-
tugasnya sebagai berikut :
a) Tenaga pengelola koleksi bertugas melakukan inventarisasi dan
kajian setiap koleksi museum.
b) Tenaga konservasi bertugas melakukan pemeliharaan dan
perawatan koleksi.
c) Tenaga preparasi bertugas menyiapkan sarana dan prasarana
serta menata pameran.
d) Tenaga bimbingan dan humas bertugas memberikan informasi
dan mempublikasikan koleksi untuk dimanfaatkan oleh
masyarakat.
b. Pengunjung
Berdasarkan intensitas kunjungannya dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu:
1) Kelompok orang yang secara rutin berhubungan dengan museum
seperti kolektor, seniman, desainer, ilmuwan, mahasiswa, dan pelajar.
2) Kelompok orang yang baru mengunjungi museum Berdasarkan
tujuanya, pengunjung dibedakan atas :
a) Pengunjung pelaku studi
b) Pengunjung bertujuan tertentu
c) Pengunjung pelaku rekreasi
Adapun jumlah pelaku aktivitas pada Museum Etnologi Sulawesi
Tengah di Palu, diproyeksikan untuk 10 tahun ke depan. Penentuan jumlah

73
pelaku aktivitas dihitung berdasarkan persentase perkembangan jumlah
penduduk dengan hitungan tahun dasar 2010 – 2015.

Tabel 4.6. Jumlah Penduduk Kota Palu dan pariwisata dalam 5 Tahun
Tahun Jumlah Penduduk Jumlah Pariwisata
2010/2011 336.532 JIwa 4.929 Jiwa
2011/2012 342.754 Jiwa 5.021 Jiwa
2012/2013 347.856 Jiwa 5.938 Jiwa
2013/2014 356.279 Jiwa 6.038 Jiwa
2014/2015 367.342 Jiwa 6.730 Jiwa
(Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Palu, 2014)

Menghitung rata- rata pertumbuhan penduduk kota Palu dalam 5 (lima) tahun
terakhir dengan rumus eksponensial :
1 𝑃𝑡
𝑟= 𝐼𝑛 ( )
𝑡 𝑃𝑜
Keterangan :
r = laju pertumbuhan penduduk 5 (lima tahun) terakhir
n = selisih tahun Po dan Pt
Pt = jumlah penduduk pada tahun akhir
Po = jumlah penduduk pada tahun dasar
Diketahui:
Po = 336.532
Pt = 367.342
n = 2015 – 2010 = 5
Penyelesaian :
1 367.342
𝑟= 𝐼𝑛 ( )
5 336.342
1
𝑟 = 𝐼𝑛 (1,0921356198)
5
𝑟 = 0,2184 𝑎𝑡𝑎𝑢 21,84%

74
sehingga rata- rata pertumbuhan penduduk kota Palu pertahunnya
adalah 0,2184 : 5 = 0,0436 atau 4,36% kemudian untuk mengetahui jumlah
penduduk Kota Palu pada tahun 2026 (10 tahun kedepan), menggunakan
rumus Proyeksi eksponensial, sebagai berikut :

𝑃𝑡 = 𝑃𝑜 (1 + 𝑐)𝑛
Keterangan :
c = rata- rata pertumbuhan penduduk
n = Selisih tahun Pt dan Po
Pt = jumlah penduduk pada tahun akhir
Po = jumlah penduduk pada tahun dasar
Diketahui:
Po = 367.342
n = 2026 – 2015 = 10
c = 0,0436 persen atau 4,36%
Penyelesaian :
𝑃𝑡 = 367.342 (1 + 4,36%)
4,36
𝑃𝑡 = 367.342 (1 + ) 10
100
𝑃𝑡 = 367.342 (1 + 0,047)10
𝑃𝑡 = 367.342 (1,047)10
𝑃𝑡 = 367.342 𝑥 10,47
𝑃𝑡 = 3.846.071 𝐽𝑖𝑤𝑎
Jadi prediksi jumlah penduduk kota palu yang dirumuskan untuk 10
(sepuluh) tahun kedepan (tahun 2026) adalah 3.846.071 jiwa. Selanjutnya
untuk mengetahui Jumlah pelaku aktivitas museum etnologi Sulawesi tengah
dipalu 10 tahun kedepan dihitung berdasarkan presentasenya dengan
menggunakan rumus :
𝑎
𝑏 𝑥 100%

75
Keterangan :
a = Jumlah wisatawan terbanyak yang berkunjung ke Kota Palu
b = Jumlah penduduk pada tahun dasar
Diketahui:
a = 6.730
b = 367.342
Penyelesaian :
6.730
367.342 𝑥 100%
= 1, 83%
Jadi Jumlah pelaku aktivitas pada Museum Etnologi Sulawesi Tengah di Palu
tahun 2026 (10 tahun mendatang) adalah = (Jumlah prediksi penduduk tahun
2026 x persentase jumlah pengunjung tahun 2026)
3.846.071 jiwa x 1,83% = 70.383 jiwa/tahun
= 5.865 jiwa/bulan
= 195 jiwa/hari
Jadi jumlah pengunjung pada Museum Etnologi adalah 195 Jiwa/ hari
ditambah dengan jumlah pengelola sebanyak 25% seperti pada hitungan
berikut.
Diketahui :
pengunjung = 195 jiwa
pengelola 25% (195) = 48,75 dibulatkan 49 jiwa
Sehingga jumlah pelaku aktifitas pada Museum Etnologi adalah jumlah
pengunjung (195 jiwa) + jumlah pengelola (49 jiwa) = 244 Jiwa
Pembagian 244 jiwa tersebut dibagi sesuai bidang atau jenis aktifitas
yang berlansung pada Museum Etnologi, yaitu :
a) 60% adalah pengunjung / penikmat pameran
b) 10% adalah pengunjung / pengguna fasilitas pendidikan
c) 5% adalah pengunjung / kolektor
d) 25% adalah pengelola

76
4.2.8. Pendekatan Konsep Kebutuhan Ruang
Tujuan pendekatan konsep kebutuhan ruang yaitu untuk merumuskan
kebutuhan ruang guna memperoleh ruang- ruang yang dibutuhkan. Setelah
mengetahui pelaku aktivitas yang ada pada Museum Etnologi maka akan
muncul kebutuhan ruang pada museum. Secara umum kebutuhan ruang pada
bangunan museum terbagi atas empat zona/area berdasarkan kehadiran
publik dan keberadaan koleksi/pajangan. Zona-zona tersebut antara lain :
a. Zona publik - dengan koleksi yaitu ruang pada museum yang diperuntukan
bagi masyarakat umum / pengunjung dan pengelola yang di dalamnya
terdapat pajangan koleksi benda.
b. Zona publik - tanpa koleksi yaitu ruang pada museum yang diperuntukan
bagi masyarakat umum / pengunjung dan pengelola yang di dalamnya
tidak terdapat pajangan koleksi benda.
c. Zona non publik – dengan koleksi yaitu ruang pada museum yang
diperuntukan bagi pengelola yang di dalamnya terdapat pajangan koleksi
benda.
d. Zona non publik – tanpa koleksi yaitu ruang pada museum yang
diperuntukan bagi pengelola yang di dalamnya tidak terdapat pajangan
koleksi benda.
Berdasarkan pada pembagian zona publik dan zona non- publik, ruang-
ruang pada bangunan museum dapat dikelompokan seperti pada tabel 4.7.
berikut :
Tabel 4.7. Kebutuhan Ruang
Kelompok Kelompok Unit
No Zona Kebutuhan Ruang
Ruang kegiatan Bangunan
Ruang pameran tetap
Ruang pameran Bangunan
Unit sementara utama
1 Publik Koleksi pelayanan Ruang edukasi Museum
umum Ruang perpustakaan Etnologi
Ruang / Sovenir shop

77
Entrance
Lobby :
Resepsionis dan hall Bangunan
Unit Ruang audio visual utama
Non Museum
pelayanan Ruang seminar /
koleksi Etnologi
umum auditorium
Food service / cafe
Ruang sholat
Toilet umum
Publik Entrance Bangunan
Lobby : lesehan
Unit
Resepsionis dan hall /etnis dari 15
Koleksi pelayanan
suku di
umum
Ruang pamer etnis Sulawesi
Tengah
Unit Stage/ Panggung
Non Bangunan
pelayanan
koleksi Tribun Ampiteater
umum
Unit Ruang konservasi dan
pelayanan preprasi (bengkel)
Koleksi
service dan
Gudang
teknis
Pantry Bangunan
Ruang cleaning pengelola
Unit service (unit service
pelayanan Toilet dan teknis)
Non service dan Ruang mechanical dan
koleksi teknis electrical
Non Ruang genset
2
Publik Ruang control
Unit Pos jaga Bangunan
pelayanan pengelola
Ruang istrahat
kemanan (pos jaga)
Ruang kepala
Unit museum Bangunan
Non pelayanan Ruang sekretaris pengelola
koleksi administrasi Ruang bagian tata (unit
usaha administrasi)
Ruang bagian
kurotorial

78
Ruang bagian
konservasi dan
preparasi
Ruang bagian Bangunan
Unit bimbingan dan pengelola
Non Non pelayanan publikasi (unit
Publik koleksi administrasi Ruang bagian administrasi)
registrasi dan
dokumentasi
Ruang rapat
Toilet Umum
Wc/Km
(Sumber : Analisis penulis berdasarkan data lapangan, 2016)

Dari hasil analisis di atas maka ruang- ruang pada Museum Etnologi
dapat dikelompokan dalam 6 unit pelayanan yaitu, 1) unit pelayanan umum/
gedung utama Museum Etnologi 2) unit pelayanan umum /lesehan etnis
(terdiri dari 15 massa bangunan), dibedakan menurut jumlah etnis di Sulawesi
Tengah 3) unit pelayanan umum /ampiteater 4) unit pelayanan administrasi
/gedung pengelola 5) unit pelayanan servis dan teknis /gedung pengelola 6)
unit pelayanan keamanan /pos jaga, namun fungsi pada unit pelayanan
umum /gedung utama Museum Etnologi dikusukan untuk memamerkan
koleksi utama pada museum (bendawi maupun non- bendawi) dari 15 etnis
di Sulawesi Tengah yang disajikan sesuai diorama pada masing-masing koleksi
diantaranya, ritual no-balia pada etnik kaili, pembuatan baju kulit kayu pada
etnik kulawi, ritual padungku pada etnik pamona, ritual adat tumpe
(mengantar telur pertama burung maleo di keraton) pada etnik saluan, seni
rupa anyaman pada etnik bungku, penangkapan ikan metode tradisional pada
etnik banggai, kebiasaan berburu pada etnik bare’e, seni musik bamboo
tradisional pada etnik toli-toli, serta seni menyulam dan membuat tembikar
pada etnik buol. Adapun koleksi benda etnik pendukung lainnya akan
menyesuaikan dengan kebutuhan ruang yang ada dan akan ditampilkan pada
ruang pamer temporer / sementara yang koleksinya pada periode tertentu

79
akan dilakukan pembaruan pameran dengan koleksi baru yang ada pada
ruang penyimpanan, sedangakan fungsi unit pelayanan umum/ lesehan etnis
yaitu sebagai tempat untuk memamerkan jenis pakaian adat dan rumah
tradisional dri masing- masing etnis yang ada di Sulawesi Tengah (15 etnis)

4.2.9. Pendekatan Konsep Bentuk


Untuk menerapkan fungsi estetika dan citra pada suatu bangunan
maka diperlukan suatu bentuk atau tampilan bangunan yang sesuai dengan
kondisi tapak dan fungsi bangunan sebagai Museum Etnologi.
Studi tentang arsitektur di Sulawesi Tengah, merupakan sebuah topik
yang menarik. Secara geografis Sulawesi Tengah terletak di daerah
katulistiwa yang merupakan daerah tropis dan berupa gugusan pegunungan,
lembah dan lautan, yang menjadikan Sulawesi Tengah sebagai mutiara
katulistiwa dan poros maritim Indinesia. Letak Sulawesi Tengah yang strategis
dan kaya akan warisan budaya, akan memberikan satu ciri yang tentunya
berbeda dengan tempat lainnya. Bertitik tolak dari kondisi tersebut kemudian
muncul sebuah usaha untuk memunculkan identitas atau ciri kedaerahan
yang kemudian disebut Regionalisme.
Beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam menerapkan
konsep bentuk Regionalisme Arsitektur pada bangunan.
a. Pendekatan kepada ekspresi daerah atau regional dengan mencontoh
kehebatannya, bagian-bagiannya atau seluruh bangunan di daerah
tersebut.
b. Responsive dari iklim, didasarkan pada pendekatan klimatologi (iklim)
muncul bangunan/elemen yang spesifik untuk mengoptimalkan
bangunan yang responsive terhadap iklim.
c. Bangunan tersebut akan dapat diterima dalam bentuknya yang baru
dengan memperhatikan nilai-nilai yang melekat pada bentuk aslinya dan
tetap mempertahankan kenyamanan pada bangunan baru ditunjang oleh
kualitas bangunan lama.

80
d. Pola pola budaya/perilaku, sebagai penentu tata ruang, hirarki, sifat ruang
yang dipakai untuk membangun kawasan agar sesuai dengan keadaan
sosial budaya masyarakat tersebut.
e. Ikenografik (simbol-simbol), memunculkan bangunan-bangunan modern
yang baru tapi menimbulkan representasi (simbol masyarakat) makna-
makna yang sesuai/khas.
Berikut beberapa alternatif bentuk bangunan yang menjadi ciri
kedaerahan Sulawesi tengah.
1) Rumah Saoraja / Banua Oge
Merupakan rumah adat etnik kaili tempat tinggal para raja dan
keluarga, selain itu rumah adat tersebut juga difungsikan sebagai pusat
pemerintahan pada abad 19 masehi atas prakarsa raja Yodjokodi,
bangunan souraja adalah bangunan panggung yang memakai konstruksi
dari kayu, dengan tiang pada bangunan induk berjumlah 28 buah dan
bagian dapur berjumlah 8 buah. Atapnya berbentuk perimida segitiga,
bagian depan dan belakang atapnya ditutup dengan papan yang dihiasi
dengan ukiran seperti pada gambar 4.13. berikut.

Gambar 4.13. Rumah Adat Saoraja / Banua Oge


(Sumber : Wikipedia Indonesia, ensiklopedia, 2013)
2) Rumah Lobo
Merupakan rumah adat yang berada pada dataran tinggi Ngata
Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi yang dalam khasanah arsitektur
kepercayaan masyarakat adat kulawi berfungsi sebagai rumah pemujaan

81
(tempat untuk meminta, memohon restu dan behubungan lansung
terhadap alam gaib/ roh) namun dalam perkembanganya fungsi lobo
berkembang sebagai ruang publik untuk menampung segala aktivitas
yang menyangkut kepentingan masyarakat, seperti, musyawarah,
perumusan, dan pengambilan keputusan terkait kepentingan adat, lebih
khusunya bagi para pimpinan (bangsawan, dewan adat dan tokoh
masyarakat). lobo adalah bangunan panggung dengan konstruksi susunan
kayu bundar yang bertumpu pada batu alam sebagai pondasinya, kayu
tersebut disusun melintang dan saling menindih satu dengan yang lainya
serta penutup atapnya berbentuk perisai dengan kemiringan >40°. Seperti
pada gambar 4.14. berikut.

Gambar 4.14. Rumah Lobo


(Sumber : Wikipedia Indonesia, ensiklopedia, 2013)
3) Rumah Tambi
Merupakan rumah tradisional pada dataran tinggi Lore, Kabupaten
Poso, yang digunakan oleh seluruh kalangan/ golongan masyarakat etnik
Lore dengan fungsi utama sebagai rumah tinggal. Bentuk bangunan
persegi panjang dengan ukuran rata- rata 7x5 m², tambi adalah bangunan
panggung dengan konstruksi menggunakan kayu bundar yang bertupuk
dan disusun sebagai alas yang bertumpu pada batu alam sebagai
pondasinya. Atapnya berbentuk pelana dengan kemiringan mencapai 45
- 60°. Seperti pada gambar 4.15. berikut.

82
Gambar 4.15. Rumah Tambi
(Sumber : Wikipedia Indonesia, ensiklopedia , 2013)

4) Rumah Bantaya
Merupakan rumah tempat berkumpul masyarakat etnik kaili bagian
pesisir yang berbentuk persegi panjang, sama halnya dengan lobo
bangunan ini juga berfungsi sebagai ruang publik namun lebih kepada
tempat untuk menampung segala aktivitas yang menyangkut kepentingan
masyarakat, seperti, musyawarah, perumusan, dan pengambilan
keputusan terkait kepentingan umum (khusunya masayarakat etnik kaili),
Bantaya adalah bangunan panggung dengan konstruksi susunan kayu
bundar yang bertumpu pada tiang dan umpak, kayu tersebut disusun
melintang dan saling menindih satu dengan yang lainya serta penutup
atapnya berbentuk perisai dengan kemiringan >45°. Seperti pada gambar
4.16. berikut.

Gambar 4.16. Rumah Bantaya


(Sumber : Wikipedia Indonesia, ensiklopedia, 2013)

83
Adapun Pendekatan Bentuk Regionalisme Arsitektur yang
digunakan adalah bentuk rumah adat yang sejalan dengan fungsi
bangunan dan karakteristik tapak dimana Museum Etnologi
direncanakan. Seperti pada tabel 4.8. berikut.

Tabel 4.8. Perbandingan Pemilihan Pendekatan Bentuk Museum Etnologi


Kesesuaian Fungsi dan Rumah Adat
No
Karakteristik Bangunan Souraja Lobo Tambi Bantaya
Merupakan bangunan
1 masyarakat etnik sulawesi 2 2 2 2
tengah
Bentuk bangunan
2 mengadaptasi lingkungan 2 2 2 2
tropis
1
(Fungsi
Merupakan bangunan khusus
3 0 0 2
dengan fungsi publik “ritual adat
dan
persembahan
Jumlah 4 5 4 6
(Sumber : Analisis penulis berdasarkan data lapangan, 2016)

0= Tidak tepat, 1= Kurang tepat, 2= Sangat tepat

Berdasarkan tabel 4.8 diatas terdapat empat bangunan etnik yang


dijadikan sebagai alternatif pendekatan bentuk Regionalisme Arsitektur,
namun bangunan etnik yang akan digunakan adalah rumah adat bantaya
karena terdapat kesesuaian fungsi, karakteristik dan kondisi lingkungan atau
lokasi tapak terhadap Museum Etnologi yang direncanakan seperti, 1)
bantaya sebagai bangunan asli masyarakat etnik Sulawesi Tengah 2) bentuk
bantaya yang mengadaptasi pada lingkungan tropis 3) fungsi bantaya
sebagai bangunan publik (tempat untuk menampung segala aktivitas yang
menyangkut kepentingan masyarakat), sama halnya dengan rumah lobo
namun fungsi lobo lebih kepada fungsi persembahan / ritual adat.

84
4.2.10. Pendekatan Konsep Struktur
a. Sub structure
Sub structure yaitu struktur yang menyalurkan beban diatasnya ke
tanah. Sub structure ini biasa disebut pondasi. Dasar pertimbangan
pemilihan sub structure seperti daya dukung tanah dan kedalaman tanah
keras, kondisi topografi tapak, ketinggian bangunan yang direncanakan,
kemudahan dalam pelaksanaan, serta karakteristik kegiatan yang diwadahi.
Beberapa alternatif jenis pondasi yang biasa digunakan, seperti pada tabel
4.9. berikut.
Tabel 4.9. Jenis-jenis pondasi

No Jenis Pondasi Standar Penggunaan


1. Mendukung untuk bangunan
berlantai Rendah

1 2. Cocok untuk jenis tanah keras yang


tidak terlalu dalam
Poor plat 3. Mudah dikerjakan
1. Pondasi yang tepat untuk bangunan
berlantai banyak
2 2. Cocok untuk tanah keras yang dalam
3. Sulit dikerjakan
Tiang pancang

1. Pondasi digunakan untuk bangunan


berlantai rendah

3 2. Cocok untuk beban bangunan yang


tidak terlalu besar.
Pondasi garis 3. Mudah dikerjakan
(Sumber : Analisis penulis berdasarkan data lapangan,2016)

85
b. Upper Structure (kolom dan balok)
Upper structure yaitu struktur badan bangunan (kolom dan balok).
Dasar pertimbangan pemilihan upper structure seperti mampu menahan
beban horizontal dan gaya lateral. Beberapa alternatif jenis sistem struktur
yang biasa digunakan, seperti pada tabel 4.10. berikut.

Tabel 4.10. Jenis-jenis Upper Structure (kolom dan balok)

No Jenis Upper Structure Standar Penggunaan

1. Memungkinkan sistem struktur


lebih ringan.
2. Struktur lebih fleksibel
1
3. Mudah dikerjakan.

Struktur Rangka Baja

1. Bersifat kaku/rigid sehingga


mampu menahan gaya lateral.
2. Pentahapan bangunan secara
2
vertikal dan horizontal bisa
dilakukan.
3. Mudah dikerjakan.
Struktur Rangka Beton
(Sumber : Analisis penulis berdasarkan data lapangan, 2016)

c. Upper structure (penutup atap)


Upper structure yaitu struktur atap pada bangunan. Dasar
pertimbangan pemilihan upper structure seperti stabilitas, kekuatan,
kegunaan, estetika, menunjang penampilan bangunan, serta menjamin

86
kemudahan perawatan dan pelaksanaan. Beberapa alternatif jenis upper
structure yang biasa digunakan seperti pada tabel 4.11. berikut.

Tabel 4.11. Jenis-jenis Upper Structure (penutup atap)

No Jenis Upper Structure Standar Penggunaan


1. Digunakan untuk menutup ruang yang
besar dan luas tanpa penggunaan
kolom

1 2. Pemakian bahan relatif sedikit


3. Ringan dalam meminimalisir beban
sendiri
Struktur Cangkang
(Shell) 4. Mempunyai nilai estetik yang tinggi.

1. Digunakan untuk menutup ruang yang


besar dan luas tanpa penggunaan
kolom
2 2. Ringan dalam meminimalisir beban
sendiri.
Struktur
3. Keamanan terhadap api lebih baik.
Kuda- kuda baja

1. Merupakan solusi untuk kebutuhan


ruang pada atap.
2. Pemasangan relatif cepat dan mudah
3 pengerjaan
3. Dapat menopang beban yang berat.

Struktur
Plat beton
(Sumber : Analisis penulis berdasarkan data lapangan, 2016)

4.2.11. Pendekatan konsep Utilitas


a. Jaringan air bersih
Sumber pasokan air di kota Palu yang digunakan adalah kombinasi
sumber air PDAM dan sumber air sumur suntik. Untuk sistem distribusi air

87
bersih pada Museum Etnologi, sistem yang digunakan adalah sistem down-
feed.
b. Jaringan air kotor
1) Disposal padat
Disposal padat adalah air limbah pada bangunan yang berasal dari
WC (closet).
2) Disposal cair
Disposal cair adalah air limbah pada bangunan yang berasal dari
greace trech (penangkap lemak), urinoir, dan air hujan. Untuk
limbah tersebut baik yang berasal dari bangunan maupun dari site
dialirkan menuju rioll kota.
c. Jaringan Listrik
Sumber pasokan energi listrik yang digunakan pada musem
etnologi terdiri dari dua sumber, yakni PLN dan genset. Suplai energi listrik
utama disuplai oleh listrik PLN. Jika terjadi keadaan
pemadaman/pemutusan listrik dari PLN, maka sumber listrik dari genset
akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik.
d. Sistem Persampahan
Sampah organik dan sampah non organic yang dikumpulkan dari
dari tempat-tempat sampah yang di letakkan pada titik-titik tertentu
dalam bangunan maupun diluar bangunan di buang ke TPS/bak sampah
kemudian diangkut melalui mobil pengangkut sampah ke TPA.
e. Fire Protection
Pelestarian dan pengelolaan koleksi museum dari bahaya api
memerlukan sistem deteksi kebakaran dan sistem penekanan yang
memanfaatkan alat deteksi peringatan dini untuk perlindungan maksimal.
Perlindungan dan pelestarian tersebut sangat penting untuk misi museum,
sistem ini harus diintegrasikan dengan sistem keamanan. Perlindungan
paling efektif adalah menggunakan proteksi kebakaran otomatis

88
(sprinkler) yang digunakan pada semua ruang. Namun, beberapa museum
tidak menggunakan sistem ini, karena ada resiko kerusakan yang
ditimbulkan terhadap koleksi seperti, kebocoran pada system perpipaan
sehingga koleksi mengalami penurunan kualitas akibat tersiram air.
f. plumbing/perpipaan
Letak perpipaan sprinker, toilet, dan pendingin ruang, harus
menghindari kerusakan koleksi yang disebabkan oleh kebocoran dan
penguapan. Semua sistem perpipaan harus diarahkan naik dan mengalir
melalui koridor layanan serta tidak boleh ada pipa saluran air atau drainase
perpipaan di setiap tempat penyimpanan koleksi.

4.3. Konsep Perancangan


Konsep perancangan arsitektur adalah hasil yang didapatkan dari
pembahasan sebelumnya dimana keterkaitan antara hasil yang didapatkan
dilapangan dengan pendekatan konsep yang akan digunakan pada rancangan
Museum Etnologi agar tercapainya suatu rancangan yang diharapkan mampu
memenuhi konsep perancangan fungsi museum yaitu fungsi wisata (rekreasi),
pendidikan dan penelitian. Adapun hasil dari konsep tersebut antara lain :

4.3.1. Konsep Tapak


Merupakan analisis untuk mendapatkan tapak yang sesuai dengan
peruntukan dan fungsi Museum Etnologi, dengan pertimbangan kebijakan
kota, sarana dan prasarana serta kriteria yang selaras dengan peruntukan
Museum Etnologi. Seperti pada konsep tapak berikut.

89
90
4.3.2. Konsep Sirkulasi dan Parkir
Merupakan analisis aksesibilitas dan penentuan area parkir yang
digunakan untuk mengetahui akses keluar masuk dalam tapak maupun diluar
tapak, serta menemukan gagasan model parkir yang baik pada Museum
Etnologi. Seperti pada konsep sirkulasi dan parkir berikut.

91
92
93
94
4.3.3. Konsep Pengendalian Iklim
Merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui letak suatu
bangunan yang disesuaikan dengan lintasan matahari dan arah angin serta
menemukan gagasan- gagasan pengendalian iklim yang diselesaikan dalam
solusi arsitektural. Seperti pada konsep pengendalian iklim berikut.

95
96
4.3.4. Konsep Noice (Kebisingan)
Merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui seberapa
besar bunyi bising yang dibolehkan untuk bangunan Museum Etnologi serta
menemukan solusi untuk mememinimalisir bunyi yang berlebihan. Seperti
pada konsep noice berikut.

97
98
4.3.5. Konsep Ruang Luar
Merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui kondisi dan
potensi tapak guna merencanakan ruang luar Museum Etnologi, serta
menemukan gagasan- gagasan yang sesuai dengan peruntukanya. Seperti
pada konsep ruang luar berikut.

99
100
101
4.3.6. Konsep Penzoningan Tapak
Merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui zona- zona
peruntukan pada tapak yang dibedakan dalam tiga sifat ruang, public, semi
public, privat, dan satu ruang service. Seperti pada konsep penzoningan
tapak berikut.

102
103
4.3.7. Konsep Aktivitas dan Kebutuhan Ruang
Merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui aktivitas dan
kebutuhan ruang pada Museum Etnologi yang dibedakan dalam empat
bangunan utama yaitu.
a. Aktivitas pelaku dan kebutuhan ruang bangunan A (museum etnologi)
b. Aktivitas pelaku dan kebutuhan ruang bangunan B (unit pelayanan
administarasi / gedung pengelola)
d. Aktivitas pelaku dan kebutuhan ruang bangunan C (unit pelayanan service
dan teknis / gedung pengelola)
e. Aktivitas pelaku dan kebutuhan ruang bangunan D (unit pelayanan
keamanan / pos jaga)
Adapun konsep aktivitas dan kebutuhan ruang Seperti pada konsep berikut.

104
105
106
4.3.8. Konsep Hubungan Ruang
Merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan
ruang pada Museum Etnologi yang dibedakan dalam tiga hubungan ruang,
erat, kurang erat, tidak erat. Seperti pada konsep hubungan ruang berikut.

107
108
109
4.3.9. Konsep Besaran Ruang
Merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui besaran ruang
pada Museum Etnologi yang disesuaikan dengan pelaku aktivitas. Seperti
pada konsep besaran ruang berikut.

110
111
112
4.3.10. Konsep Zoning Ruang
Merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui zona- zona
peruntukan ruang yang dibedakan dalam tiga sifat ruang, public, semi public,
privat, dan satu ruang service. Seperti pada konsep zoning ruang berikut.

113
114
115
116
117
118
119
120
4.3.11. Konsep Bentuk
Merupakan analisis yang digunakan untuk mendapatkan bentuk
bangunan berdasarkan pendekatan arsitektur regionalis yang sesuai dengan
bentuk dan fungsi bangunan Museum Etnologi. Seperti pada konsep bentuk
berikut.

121
122
123
4.3.12. Konsep Struktur
Merupakan analisis yang digunakan untuk mendapatkan struktur yang
tepat bagi Museum Etnologi yang sesuai dengan bentuk dan fungsi bangunan
Museum Etnologi. Seperti pada konsep struktur berikut.

124
125
126
127
4.3.13. Konsep Utilitas
Merupakan analisis yang digunakan untuk mendapatkan system
utilitas yang tepat bagi Museum Etnologi yang sesuai peruntukanya. system
utilitas yang digunakan yaitu.
a. Sistem air bersih dan air kotor
b. Sistem jaringan listrik
c. Sistem persampahan
d. Sistem pengendalian kebakaran
e. Sistem pencahayaan buatan
Adapun konsep utilitas museum etnologi Seperti pada konsep berikut.

128
129
130
131
132
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan pada bab- bab
sebelumnya maka, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Zona pada Museum Etnologi Sulawesi Tengah di Palu, secara makro
dibedakan dalam 3 sifat ruang (publik, semi publik, dan privat) dan dibagi
menjadi dua area parkir serta enam unit pelayanan pada Museum Etnologi
sesuai dengan fungsinya sebagai berikut :
a. Parkir pengunjung, merupakan area parkir yang diperuntukan bagi
pengunjung dan terdiri dari parkir roda dua dan roda empat
b. Parkir pengelola, merupakan area parkir yang diperuntukan bagi
pengelola dan terdiri dari parkir roda dua dan roda empat
c. Unit pelayanan umum/ Museum Etnologi, merupakan gedung utama
pada Museum Etnologi untuk fungsi ruang pamer yang terdiri atas dua
lantai, lantai satu adalah ruang pamer dengan tema “manusia dan
lingkungan” lantai dua ruang pamer dengan tema “seni dan kriya” yang
di dalamnya terdapat ruang pameran tetap dan ruang pameran
sementara serta fasilitas pendukung lainnya.
d. Unit pelayanan umum/ lesehan etnis, merupakan bangunan dengan
fungsi ruang pamer etnis yang di khususkan untuk koleksi pakaian adat
dan koleksi arsitektur (rumah adat) dan terdiri dari 15 massa bangunan
(dibedakan menurut jumlah etnis yang ada di Sulawesi Tengah) guna
memaksimalkan fungsi pendidikan dan rekreasi pada Museum Etnologi
e. Unit pelayanan umum/ ampiteater, merupakan bangunan untuk fungsi
kegiatan pertunjukan pada ruang terbuka, guna mendukung
kebutuhan out-dor Museum Etnologi

133
f. Unit pelayanan administrasi/ pengelola, merupakan bangunan dengan
fungsi pelayanan administrasi dan mengatur kebijakan pada Museum
Etnologi
g. Unit pelayanan service dan teknis/ pengelola, merupakan bangunan
dengan fungsi pelayanan pemeliharaan fisik koleksi museum dan
fasilitas lainnya pada Museum Etnologi
h. Unit pelayanan keamanan/ pos jaga, merupakan bangunan dengan
fungsi pemeliharaan keamanan pada Museum Etnologi
2. Pendekatan bentuk yang digunakan ialah pendekatan Regionalisme
Arsitektur yang mengacu pada identitas tradisi secara khusus berdasarkan
tempat / daerah dan iklim untuk memperlihatkan identitas secara formal
maupun simbolik ke dalam bentuk baru yang disesuaikan dengan
kebutahan era modern serta tetap mengacu pada fungsi utama museum
yaitu fungsi wisata (rekreasi), pendidikan dan penelitian.

5.2. Saran
Perencanaan dan rancangan Museum Etnologi dalam penelitian ini
diharapkan dapat menjadi salah satu masukan rencana program fisik
terhadap pemerintah daerah dalam upaya mendorong sejuta wisatawan
tahun 2020 untuk percepatan pertumbuhan ekonomi kreatif dan peningkatan
pelestarian, pembinaan, pemanfaatan serta penghargaan karya – karya
budaya yang menjadi visi utama pemerintah Sulawesi Tengah pada bidang
kerja kebudayaan, pariwisata dan ekonomi kreatif.
Rancangan Museum Etnologi juga dapat menjadi acuan bagi
pengembangan struktur ruang kota kawasan budidaya dimana areal Museum
Etnologi merupakan kawasan pengembangan wisata budaya pada RTRW Kota
Palu 2010 – 2030, namun belum tertata dengan optimal dan efisien dalam
menunjang kebutuhan rekreasi dan pendidikan khusunya pada
pengembangan budaya.

134
5.3. Rekomendasi Desain
5.3.1. Jalur Pelayanan Museum Etnologi

IN
Entrance

Pos Jaga

Parkir

Unit Pelayanan Umum :


1) Museum Etnologi Out
/Gedung utama, 2) Lesehan Entrance
etnis, 3) Ampiteter

Pengelola (Unit
Pelayanan
Administrasi)

Pengelola
(unit Service
&Teknis)

Gambar 5.1. Alur Pelayanan Museum Etnologi


(Sumber : Analisis penulis berdasrkan data lapangan, 2016)

135
5.3.2. Site Plan

136
5.3.3. Sirkulasi Tapak
Sirkulasi dalam tapak menggunakan system sirkulasi linear berputar
satu arah, penggunaan sirkulasi dalam bentuk ini bertujuan untuk
mempermudah arus lalu lintas dalam tapak sehingga dapat memaksimalkan
fungsi parkir dan pencapaian terhadap bangunan sesuai dengan kondisi
lingkungan seperti, sirkulasi luar tapak dan luasan tapak yang ada), agar mudah
dicapai oleh pelaku aktivitas. Seperti pada gambar 5.2. berikut.

Gambar 5.2. Sirkulasi Tapak


(Sumber : Analisis penulis berdasrkan data lapangan, 2016)

5.3.4. Zona
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, zona pada tapak secara umum
didalamnya terdapat dua area parkir, tiga bangunan unit pelayanan umum
(gedung utama Museum Etnologi, lesehan etnis /15 suku di Sulawesi Tengah,
ampiteater), satu bangunan unit pelayanan administrasi, satu bangunan unit

137
pelayanan servis dan teknis serta satu bangunan unit pelayanan keamanan
(pos jaga) yang dibedakan sesuai dengan fungsinya sebagai berikut :
a. Area parkir pada Museum Etnologi dibedakan atas parkir pengunjung dan
pengelola, untuk menjaga keamanan dan kelancaran sirkulasi lalu lintas
pada tapak terutama pada area parkir pengunjung dan pengelola maka
konsep pengelolaan parkir Museum Etnologi direncanakan yaitu :
1) Merencanakan parkir kendaraan roda dua dan roda empat untuk
pengelola dan pengunjung
2) Pemisahan parkir antara kendaraan roda dua dan roda empat dengan
menggunakan model parkir kendaraan satu sisi (kendaraan roda dua
menggunakan parkir sudut 90° dan kendaraan roda empat
menggunakan parkir sudut 45°) seperti pada gambar 5.3 berikut.

a) Parkir kendaraan roda dua dengan sudut 90°

b) Parkir kendaraan roda empat dengan sudut 45°

Gambar 5.3. Model Pola Parkir


(Sumber : Neufer E, 2002)

Adapun daya tampung kendaraan pada parkir pengunjung, roda dua


sebanyak 59 unit (diambil 30% dari jumlah estimasi pengunjung pada
Museum Etnologi) dan kendaraan roda empat sebanyak 39 unit (diambil
20% dari jumlah estimasi pengunjung pada museum etnologi). Sedangkan
pada parkir pengelola, daya tampung kendaraan roda dua sebanyak 15 unit
(diambil 30% dari jumlah estimasi pengelola pada Museum Etnologi) dan
kendaraan roda empat sebanyak 10 unit (diambil 20% dari jumlah estimasi

138
pengelola pada museum etnologi). Adapun luasan yang dibutuhkan seperti
pada tabel berikut :

Tabel 5.1. Total Perhitungan Luasan Area Parkir


Luasan
No Nama Jenis Kapasitas
(m²)
Parkir motor 59 88,5
Parkir pengunjung
Parkir mobil 39 487,5
1 Jumlah 576
Flow sirkulasi 30% 172,8
Total 748,8
Parkir motor 15 22,5
Parkir pengelola
Parkir mobil 10 125
2 Jumlah 147,5
Flow Sirkulasi 30% 44,25
Total 191,75
Jadi luasan keseluruhan pada area parkir pengunjung dan area parkir pengelola,
membutuhkan luasan area sebesar (748,8 + 191,75) = 940,55 m²
(Sumber : Analisis penulis, 2016)

b. Unit pelayanan umum/gedung utama (Museum Etnologi), dibagi dalam dua


lantai. Lantai satu terdiri dari, 1) Entrance 2) Ruang tunggu (lobby) 3) Ruang
pameran tetap 4) Ruang edukasi 5) Ruang audio visual 6) Sovenir shop 7)
Food service/ café 8) Perpustakaan 9) Toilet 10) Core/tangga. Lantai dua
terdiri dari 1) Ruang pameran sementara 2) Ruang seminar/auditorium 3)
Mushollah/ ruang sholat 4) Toilet.
Skematik denah rencana pada Unit pelayanan umum/gedung
utama (Museum Etnologi) dapat dilihat pada gambar 5.4. berikut.

139
a) Rencana Denah Lantai 1

b) Rencana Denah Lantai 2


Gambar 5.4. Skematik Denah bangunan Unit Pelayanan Umum (Gedung Utama)
(Sumber : Analisis penulis, 2016)

Perhitungan luas lantai pada bangunan unit pelayanan


umum/gedung utama dapat dilihat pada tabel 5.2. berikut.
Tabel 5.2. Total Perhitungan Luas Lantai Bangunan Utama
Kapasitas Luasan
No Nama Nama Ruang
(Org) (M²)
Entrance 20 23
Lobby 33 41
1 Lantai 1
Ruang pameran tetap 137 358
Perpustakaan 42 117

140
Ruang edukasi 20 46
Ruang audio visual 20 45
Ruang Sovenir Shop 14 24
Food service/ cafe 23 50
Toilet 5 18
Jumlah 722
Flow Sirkulasi 30 % 216,6
Total 938,6
Ruang pameran
137 358
sementara
Ruang seminar/
102 166
2 Lantai 2 auditorium
Mushollah/ ruang
15 24
sholat
Toilet 5 18
Jumlah 566
Flow Sirkulasi 30 % 169,8
Total 735,8
Jadi luas lantai keseluruhan pada bangunan unit pelayanan umum/gedung
utama adalah luas lantai satu (938,6) + luas lantai dua (735,8) 1674,4 m²
(Sumber : Analisis penulis, 2016)

c. Unit pelayanan umum/ lesehan etnis akan direncanakan sebanyak 15 unit


yang dibedakan menurut suku/etnis di Sulawesi Tengah, namun dengan
bentuk dan luasan yang sama (prototipe), yang terdiri atas ruang- ruang,
1) Entrance, 2) Lobby/ ruang tunggu, 3) Ruang pamer.
Skematik denah rencana pada bangunan unit pelayanan umum/
lesehan etnis dapat dilihat pada gambar 5.5. berikut :

141
Gambar 5.5. Skematik Denah bangunan Unit Pelayanan Umum (Lesehan Etnis)
(Sumber : Analisis penulis, 2016)

Perhitungan luas lantai pada bangunan unit pelayanan umum/


lesehan etnis dapat dilihat pada tabel 5.3. berikut.

Tabel 5.3. Total Perhitungan Luas Lantai Lesehan Etnis


Kapasitas Luasan
No Nama Ruang
(Org) (m²)
1 Entrance 5 6
2 Lobby 4 6,5
3 Ruang Pamer 10 25,5
Jumlah 38
Flow Sirkulasi 30% 11,4
Total 49,4
Jadi luas lantai keseluruhan pada bangunan unit pelayanan umum/ lesehan
etnis 49,4 m² x 15 Unit = 741 m²
(Sumber : Analisis penulis, 2016)

d. Unit pelayanan umum/ ampiteater, merupakan bangunan yang di


peruntukan untuk fungsi out-dor, yang terdiri atas ruang- ruang, 1) Stage/
panggung pertunjukan, 2) tribun penonton.
Skematik denah rencana pada bangunan unit pelayanan umum/
ampiteater dapat dilihat pada gambar 5.6. berikut.

142
Gambar 5.6. Skematik Denah bangunan Unit Pelayanan Umum (Ampiteater)
(Sumber : Analisis penulis, 2016)

Perhitungan luas lantai pada bangunan unit pelayanan umum/


ampiteater dapat dilihat pada tabel 5.4. berikut.

Tabel 5.4. Total Perhitungan Luas Lantai Ampiteter


Kapasitas Luasan
No Nama Ruang
(Org) (m²)
1 Panggung / stage pertunjukan 15 18
2 Tribun penonton 50 57
Jumlah 75
Flow Sirkulasi 30% 22,5
Total 97,5
Jadi luas lantai keseluruhan pada bangunan unit pelayanan umum/ ampiteater
adalah 97,5 m²
(Sumber : Analisis penulis, 2016)

e. Unit pelayanan administrasi / gedung pengelola pada Museum Etnologi


terdiri atas ruang- ruang, 1) Entrance 2) Lobby/ ruang tunggu 3) Ruang
kepala museum 4) Ruang sekretaris 5) Ruang bagian tata usaha 6) Ruang
bagian kurotorial 7) Ruang bagian publikasi dan bimbingan 8) Ruang
registrasi dan dokumentasi 9) Ruang bagian konservasi dan preparasi 10)
Ruang rapat 11) Dapur/ pantry 12) Toilet 13) Wc/Km. Skematik denah

143
rencana pada bangunan unit pelayanan administrasi / gedung pengelola
dapat dilihat pada gambar 5.7. berikut.

Gambar 5.7. Skematik Denah Bangunan Unit Pelayanan Administrasi (Pengelola)


(Sumber : Analisis penulis, 2016)

Perhitungan luas lantai pada bangunan unit pelayanan


administrasi/ gedung pengelola dapat dilihat pada tabel 5.3. berikut.

Tabel 5.5. Total Perhitungan Luas Lantai Unit Pelayanan Administrasi


Kapasitas Luasan
No Nama Ruang
(Org) (m²)
1 Entrance 11 12
2 Lobby 10 14
3 Ruang kepala museum 5 14
4 Ruang sekretaris 3 9
5 Ruang tata usaha 10 25
6 Ruang kurotorial 3 9
7 Ruang bag. Publikasi & bimbingan 3 9
8 Ruang bag. Registrasi & dokumentasi 3 9
9 Ruang bag. Konservasi & preparasi 3 9
10 Ruang rapat 15 39
11 Pantry 3 6
12 Toilet 5 9
13 Wc/ km 1 3
Jumlah 167
Flow Sirkulasi 30% 50,1

144
Jadi luas lantai keseluruhan pada bangunan unit pelayanan administrasi adalah
167 + 50,1 =217,1 m²
(Sumber : Analisis penulis, 2016)

f. Unit pelayanan servis dan teknis/ gedung pengelola pada Museum Etnologi
terdiri atas ruang- ruang, 1) Entrance 2) Lobby/ ruang tunggu 3) Ruang
konservasi dan preparasi / bengkel 4) Ruang mekanikal dan elektrikal 5)
Gudang 6) Ruang Genset 7) Ruang Cleaning service 8) Dapur/ Pantry 9)
Toilet. Skematik denah rencana pada bangunan unit pelayanan
administrasi/ gedung pengelola dapat dilihat pada gambar 5.8. berikut.

Rg.
Genset

Gambar 5.8. Skematik Denah Bangunan Unit Pelayanan Service dan Teknis
(Sumber : Analisis penulis, 2016)

Perhitungan luas lantai pada bangunan unit pelayanan servis dan


teknis/ gedung pengelola dapat dilihat pada tabel 5.4. berikut.

Tabel 5.6. Total Perhitungan Luas Lantai Unit Pelayanan Servis dan Teknis
Kapasitas Luasan
No Nama Ruang
(Org) (m²)
1 Entrance 10 12
2 Lobby 11 14
3 Ruang konservasi & preparasi /
10 47
bengkel
4 Ruang mekanikal & elektrikal 3 6
5 Gudang 3 46

145
6 Ruang genset 2 10
7 Ruang cleaning service 3 6
8 Pantry 3 6
9 Toilet 5 9
Jumlah 156
Flow sirkulasi 30% 46,8
Jadi luas lantai keseluruhan pada bangunan unit pelayanan servis dan teknis
adalah 46,8 + 156= 202,8m²
(Sumber : Analisis penulis, 2016)

g. Unit pelayanan Keamanan/ pos jaga pada Museum Etnologi, terdiri atas
ruang- ruang, 1) Ruang jaga 2) Ruang istrahat. Skematik denah rencana
pada bangunan unit pelayanan Keamanan/ pos jaga dapat dilihat pada
gambar 5.9. berikut :

Gambar 5.9. Skematik Denah bangunan Unit Pelayanan Keamanan


(Sumber : Analisis penulis, 2016)
Perhitungan luas lantai pada bangunan unit pelayanan Keamanan/
pos jaga dapat dilihat pada tabel 5.7. berikut.

Tabel 5.7. Total Perhitungan Luas Lantai Unit Pelayanan Keamanan


Kapasitas Luasan
No Nama Ruang
(Org) (m²)
1 Ruang Jaga 2 6
2 Ruang Istrahat 1 5
Jumlah 11
Flow sirkulasi 30% 3,3
Jumlah 14,3
Jadi luas lantai keseluruhan pada bangunan unit pelayanan keamanan / pos
jaga adalah 14,3 m²
(Sumber : Analisis penulis, 2016)

146
h. Rekapitulasi perhitungan luas lantai terbangun

Tabel 5.8. Rekapitulasi Perhitungan Luas lantai terbangun


Luasan
No Zona
(m²)
Parkir pengunjung dan parkir
1 940,55 m²
pengelola
Bangunan unit pelayanan umum
2 1674,4 m²
/ gedung utama
Bangunan unit pelayanan
3 741 m²
umum/ lesehan etnis
Bangunan unit pelayanan
4 97,5 m²
umum/ ampiteater
Bangunan unit pelayanan
5 217,1 m²
administrasi/ pengelola
Bangunan unit pelayanan
6 202,8 m²
service dan teknis/ pengelola
Bangunan unit pelayanan
7 14,3 m²
keamanan/ pos jaga
Total Luas 3887,65 m²
Jadi total luas lantai terbangun adalah 3887,65 m²
(Sumber : Analisis penulis, 2016)

Jadi total luas lantai terbangun adalah 3887,65 m², sehingga rasio
perbandingan daerah terbangun dan tidak terbangun/ koefisien dasar
bangunan (KDB 40 : 60) pada Museum Etnologi yaitu dihitung dengan
rumus :
1) Mencari rasio daerah terbangun dalam persen

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐿𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛 − 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝐿𝑡 2 𝑔𝑒𝑑𝑢𝑛𝑔 𝑢𝑡𝑎𝑚𝑎


𝑅𝑡 =
60 %
Keterangan :
Rt : Ruang terbuka
60% : KDB
Diketahui :
60% = Rasio daerah Tak terbangun
Luas lantai terbangun = 3887,65 m²

147
Luas lantai 2 gedung utama = 735,8 m²
Penyelesaian :
3887,65 𝑚𝟐 − 735,8 𝑚𝟐
𝑅𝑡 =
60%
3151,85
𝑅𝑡 = x 60
100
𝐽𝑎𝑑𝑖 𝑅𝑡 = 1891,11 𝑚²

Maka dari perhitungan diatas dapat disimpulkan luasan tapak yang


digunakan secara keseluruhan adalah luas lantai terbangun – luas lantai
dua + Luas ruang terbuka dengan hitungan berikut.

Diketahui :
Luas lantai terbangun = 3887,65 m²
Luas lantai dua = 735,8 m²
Luas ruang terbuka = 1891,11 m²
Penyelesaian :

Luas tapak = 3887,65 m² - 735,8 m² = 3151,85 m²


= 3151,85 m² + 1891,11 m²
Luas tapak = 5042,96 m²

5.3.5. Orientasi Matahari dan Angin


Berdasarkan keadaan pada tapak, arah angin dan matahari yang
berlebihan ada pada zona tertentu. Salah satu zona yang paling banyak
mendapatkan cahaya matahari yaitu pada zona C dan D dimana zona matahari
jatuh pada pukul 09.00-12.00 siang. Maka orientasi bangunan direncanakan
berorientasi ke utara dan selatan demi menghindari cahaya berlebihan yang
masuk ke dalam bangunan.
Untuk memaksimalkan penghawaan alami pada bangunan, bukaan
diletakkan pada bagian utara dan selatan. Jika terdapat bukaan pada bagian
barat dan timur maka di sekitar bangunan ditanami vegetasi sebagai peneduh.

148
Selain itu penggunaan overstek atap, gorden dan tirai juga dapat mereduksi
masuknya sinar matahari yang berlebihan ke dalam bangunan.

5.3.6. View
View pantai teluk palu akan dimanfaatkan sebagai orientasi bangunan
utama pada Museum Etnologi. sehingga pada kawasan Museum Etnologi
tercipta suasana alam yang mendukung terciptanya suasana yang membuat
nyaman para pengunjung yang datang serta menjadi potensi yang menjual
kawasan Museum Etnologi.

5.3.7. Kebisingan (Noice)


Sumber kebisingan pada tapak, berasal dari banyaknya kendaraan yang
menggunakan badan jalan dan aktivitas disekitaran tapak yang cukup tinggi.
Kebisingan tinggi berasal dari arah utara, disebabkan oleh banyaknya
kendaraan yang melintas di jalan cumi- cumi dan bunyi ombak pantai teluk
palu. Kebisingan sedang berasal dari arah timur dan selatan, disebabkan oleh
bunyi kendaraan yang melewati jalan selar dan aktivitas di permukiman sekitar
tapak. Kebisingan rendah berasal dari sebelah barat yang disebabkan oleh
aktivitas hotel yang bebatasan lansung dengan tapak. Berdasarkan analisis
tersebut, ruang ruang yang berdekatan dengan sumber bunyi akan
menggunakan material khusus (kedap suara) dan akan di tambahkan vegetasi
pada ruang luar untuk meminimalisir bunyi bising yang berlebihan, seperti
pada gambar 5.10. berikut.

149
Gambar 5.10. Material Kedap Suara dan vegetasi Untuk meminimalisir bunyi berlebihan
(Sumber : Analisis penulis berdasarkan data lapangan, 2016)

5.3.8. Ruang Luar (Landscape)


Ruang luar biasanya di indentikkan bagian dari halaman, pekarangan
atau sisa lahan tak terbagun, namun sesungguhnya ruang luar dapat kita
hadirkan dengan menarik kesan ruang dalam ke luar ruangan atau sebaliknya.
Mengelola ruang luar dengan baik dan efesien sangat mendukung
kenyamanan di dalam ruangan. Adapun konsep ruang luar pada museum
etnologi di dasarkan pada karakter elemen dan material pelingkup/pembatas
pada ruang luar. Kedua karakter elemen tersebut terdiri atas :
a. Hard Material (material keras), yaitu unsur pembatas ruang yang tegas.
Material keras dapat dibagi dalam 5 kelompok, yaitu :
1) Material keras alami (berasal dari bahan alami berupa kayu);
2) Material keras alami dari potensi geologi (berupa batu-batuan, pasir,
dan batu bata);
3) Material keras buatan bahan metal (berupa aluminium, besi, perunggu,
tembaga dan baja);
4) Material keras buatan sintetis/tiruan (berupa plastik dan fiberglas); dan
Material keras buatan kombinasi (berupa beton dan plywood);
Berdasarkan ciri dan konsep Regionalisme Arsitektur, digunakan
material keras buatan dan material keras alami dari potensi geologi
sebagai hard material pada ruang luar. Hal ini diharapkan dapat

150
memberikan kesan natural dan kedaerahan pada perancangan Museum
Etnologi.
b. Soft Material atau material lunak (diperuntukan bagi taman/park,
kebun/garden, dan jalur-jalur hijau/greeways). Pemilihan vegetasi
menghindari tanaman yang beracun, tanaman yang bergetah, tanaman
yang berduri dan beranting tajam, tanaman yang sering diserang hama
serta tanaman yang beraroma keras, karena dapat mencelakakan
pengunjung. Jenis tanaman disesuaikan dengan fungsinya yaitu sebagai
pengarah, peneduh, penutup tanah, penghias.

5.3.9. Bentuk / Tampilan Bangunan


Berdasrkan ciri dari konsep Regionalisme Arsitektur, bentuk bangunan
Museum Etnologi diharapkan mampu memberikan kesan modern namun
tidak menghilangkan keterwakilan daerah dan budaya serta mampu
menyesuaikan dengan iklim suatu daerah dimana bangunan itu berada.
Sehingga pada perancangan ini, transformasi bentuk antara rumah adat
bantaya dan citra teluk palu dianggap mampu memenuhi kebutuhan pelaku
aktifitas dan syarat dari konsep Regionalisme Arsitektur itu sendiri.
Rekomendasi bentuk bangunan Museum Etnologi dapat dilihat pada
gambar 5.11. berikut.

151
a) Tampilan Bentuk Bagian Depan

b) Tampilan bentuk samping kiri

Gambar 5.11. Bentuk Bangunan Museum Etnologi


(Sumber : Analisis penulis, 2016)

5.3.10. Struktur
Berdasarkan konsep struktur yang ada pada perancangan Museum
Etnologi, struktur yang digunakan dibagi atas 3 bagian sebagai berikut :
a. Sub struktur; menggunakan pondasi garis pada bangunan yang berlantai
satu dan menggunakan poorplat pada bangunan yang berlantai dua.
b. Upper struktur (balok dan kolom); menggunakan sistem struktur rangka
beton dengan model grid.

152
c. Upper struktur (penutup atap); menggunakan struktur atap rangka batang
(kuda- kuda baja) dan struktur plat beton yang disesuaikan dengan bentuk
bangunan.

5.3.11. Utilitas
Berdasarkan konsep utilitas yang ada kebutuhan utilitas pada Museum
Etnologi disesuaikan dengan fungsi dan bentuk bangunan, beberapa system
utilitas yang ada memanfaatkan potensi sarana dan prasarana kota yang ada
disekitaran tapak seperti.
a. Sumber pasokan air bersih yang digunakan adalah kombinasi sumber air
PDAM dan sumber air sumur suntik. Untuk sistem distribusi air bersih
pada Museum Etnologi menggunakan system down-feed.
b. Disposal padat dialirkan ke septik teng dan disposal cair, yang berasal
dari bangunan maupun dari site dialirkan menuju rioll kota.
c. Sumber pasokan listrik yang digunakan terdiri atas dua, yaitu dari PLN dan
genset
d. System persampahan, sampah organik dan sampah non organic yang
dikumpulkan dari tempat-tempat sampah akan dibuang ke TPS dan
diangkut oleh mobil sampah ke tempat pembuangan akhir.
e. Pengendalian bahaya kebakaran, sistem yang digunakan adalah
menggunakan proteksi kebakaran otomatis (sprinkler) dan alarm pada
semua ruang.
f. plumbing/perpipaan, Semua sistem perpipaan harus diarahkan naik dan
mengalir melalui koridor layanan serta tidak boleh ada pipa saluran air
atau drainase perpipaan di setiap tempat penyimpanan koleksi, sebab
akan terjadi keruskan terhadap koleksi jika terjadi kebocoran atau
penguapan.

153
DAFTAR PUSTAKA

Asrul,. 2010. Suku dan Etnis Asli di Sulawesi Tengah. Palu: Quanta Press.
Badan Pusat Statistik Kota Palu. 2104. Kota Palu Dalam Angka. Palu: Badan Pusat
Statistik Kota Palu.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah,. 2014. Sulawesi Tengah dalam
Angka. Palu: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah.
Buchanan, Peter,. 1983. The Architectural Review. New York: Peter 1st edition, The
Architectural League.
Curtis, William,. 1985. "Regionalism In Architecture" dalam Regionalism In
Architecture, editor Powel Robert. Singapore: Concept Media.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah,. 2004. Buku Data
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah. Palu: Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah.
Dinas Tata Ruang Kota Palu. 2014. Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 - 2030. Palu:
Dinas Tata Ruang Kota Palu.
Direktorat Museum,. 2009. Ayo Kita Mengenal Museum. Jakarta: Direktorat
Museum, Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata.
—. 2008. Pedoman Museum Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Sejarah dan
Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Frampton, Kenneth,. 1982. Modern Architecture and the Critical Present. London:
Thames and Hudson.
Neufert, E,. 2002. Data Arsitek Jilid 2 Edisi 33. Jakarta: Terjemahan Sunarto
Tjahjadi, PT. Erlangga.
Oskan, Suha. 1985. "Regionalism Within Modernism" dalam Regionalism In
Architecture, editor Robert Powel. Singapore: Concept Media.

154
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun. 1995. "Pemeliharaan dan Pemanfaatan
Benda Cagar Budaya di Museum." Direktorat Jendral Sejarah dan
Purbakala. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Susuli Tedjo,. 1999. Buku pedoman Pendirian Museum. Jakarta: Departemen
Penddikan Nasional Dirjend Kebudayaan Proyek.
Sutaarga,. 1990. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tan, Hock,. 1994. Tropical Architecture and Interiors : Tradition-Based design of
Indonesia-Malaysia-Singapore-Thailand. Mishawaka, USA: Better World
Books.
Unit Pelaksana Teknis Daerah, Museum Negeri Sulawesi Tengah,. 2015. Data
Koleksi. Palu: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah.
wikipedia Indonesia, ensiklopedia. 2013. wikipedia.org. Maret 20. Accessed
Oktober 27, 2016. https://id.wikipedia.org/wiki/rumah_tradisional.
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia,. 2016. wikipedia. org. Februari 10. Accessed
Maret 12, 2016. https://id.wikipedia.org/wiki/Museum.
—. 2013. Wikipedia. org. April 7. Accessed Maret 8, 2016.
https://id.wikipedia.org/wiki/Etnologi.
—. 2013. Wikipedia. org. April 6. Accessed Mei 20, 2016.
https://id.wikipedia.org/wiki/Sintesis.
—. 2016. Wikipedia.org. Maret 15. Accessed April 17, 2016.
http://id.wikipedia.org/wiki/Museum Nasional Japan /Museum
Indonesia/ Museum Etnologi Vietnam.

155

Anda mungkin juga menyukai