Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”.
Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk
tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850) Bila pemaknaan
tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan
didambakan oleh masyarakat manusia

Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada
ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama
dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu,
memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama,
serta cinta-kasih. Kerukunan antarumat beragama bermakna rukun dan damainya
dinamika kehidupan umat beragama dalam segala aspek kehidupan, seperti aspek ibadah,
toleransi, dan kerja sama antarumat beragama.

Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan
interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia memerlukan
kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan
material maupun spiritual.

Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun)
dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
1.2 Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui Kerukunan Antar Umat Beragama
2. Untuk Mnegetahui apa itu Agama.
3. Untuk Mengetahui Kebersamaan dalam Pluralitas Beragama.

1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah semakin
bertambahnya wawasan tentang Kerukunan antar Umat Beragama di kalangan mahasiswa
dan sekitarnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agama Merupakan Rahmat Tuhan Kepada Manusia

Setiap Rasul membawa rahmat bagi umat manusia. Wahyu yang diterima dari Allah SWT
yang mengutus Rasul-Rasul sejak awal hingga Muhammad SAW membawa manusia ke
rahmat Allah. Nabi Muhammad membawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Tidak semata
di zaman dia diutus, atau semasa hidupnya semata. Rahmat yang dibawanya berlaku selalu
sepanjang masa Bahkan untuk berabad-abad mendatang, hingga datangnya kiamat. Ajaran
yang dibawanya, yakni Dinul Islam, tidak terbatas hanya di lingkungan tanah kelahirannya
saja. Ajaran Islam yang dibawanya melingkupi seluruh sudut bumi, dan berlaku universal
untuk segala tempat dan bangsa serta berlaku abadi sepanjang masa. Agama diturunkan untuk
membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia guna mencapai kesejahteraan hidupnya
di dunia dan akhirat.

2.1.1 Definisi

Islam secara etimologis, berasal dari bahasa Arab salima, yang berarti “selamat sentosa”.
Kemudian kata itu dibentuk menjadi aslama, yang artinya “memelihara dalam keadaan
selamat sentosa” dan berarti juga “menyerahkan diri, tunduk, damai, selamat, taat, dan
patuh”.

Islam secara terminologis, berarti agama islam yang berisi ajaran yang memberi

petunjuk kepada umat manusia untuk melaksanakan tugas kehidupan menurut syariat, jalan
kehidupan yang benar, yang memberikan kemaslahatan bagi semua makhluk Allah. Agama
islam sama sekali tidak mempunyai tujuan untuk mendatangkan dan membuat bencana atau
kerusakan dimuka bumi. Inilah yang disebut islam sebagai rahmatan lil ngalamin (rahmat
bagi seluruh alam).

2.1.2 Memahami Rahmat Islam

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa
rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan
jin, jin maupun manusia, Muslim maupun kafir, benda hidup maupun mati, apalagi sesama
manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al Anbiya:107
107. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam”.

Ayat di atas sering dijadikan hujjah bahwa Islam adalah agama rahmat. Itu benar. Rahmat
Islam itu luas, seluas dan seluwes ajaran Islam itu sendiri. Itu pun juga pemahaman yang
benar.

Sedangkan bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran Islam itu adalah

1. Islam menunjukan Manusia jalan hidup yang benar.

2. Islam menghormati dan menghargai semua manusia sebagai hamba Allah, baik mereka
muslim maupaun non muslim.

3. Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan professional.

4. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan potensi yang diberikan
oleh Allah secara tanggung jawab dan lain-lain.

Agama islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, namun banyak orang
menyimpangkan pernyataan ini pada pemahaman – pemahaman yang salah kaprah.sehingga
menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama, bahkan dalam hal yang sangat
fundamental yaitu dalam masalah toleransi.

Fungsi islam sebagai rahmatan lil ‘alamin tidak bergantung pada penerimaan atau
penilaian manusia. Fungsi tersebut akan dapat terwujud dan dapat dirasakan oleh manusia itu
sendiri ataupun makhluk lain apabila mannusia telah mentaati dan menjalankan ajaran islam
dengan benar.

Nabi muhammad saw diutus dengan membawa ajaran islam dengan dasar rahmatan lil
‘alamin. Sedangkan rahmat itu sendiri dalam lisanul arab berarti kelembutan yang berpadu
dengan rasa iba atau bisa diartikan sebagai kasih sayang. Jadi, diutusnya nabi Muhammad
saw adalah bentuk kasih sayang Allah kepada semua makhluk, terutama manusia.

2.1.3 Mencari Rahmat Islam

Allah SWT berfirman, dalam QS. Al-Baqarah: 208


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya. Dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan
itu musuh yang nyata bagimu,” (QS al-Baqarah: 208)

Ada banyak dimensi dari universalitas ajaran Islam. Di antaranya adalah, dimensi
rahmat. Rahmat Allah yang bernama Islam meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia.
Allah telah mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat bagi seluruh manusia agar mereka
mengambil petunjuk Allah. Dan tidak akan mendapatkan petunjuk-Nya, kecuali mereka yang
bersungguh-sungguh mencari keridhaan-Nya.

Artinya :“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik,” (QS al-‘Ankabuut: 69).

2.1.4 Bentuk-bentuk Rahmat Islam

Ketika seseorang telah mendapat petunjuk Allah, maka ia benar-benar mendapat rahmat

dengan arti yang seluas-luasnya. Dalam tataran praktis, ia mempunyai banyak bentuk.

1 Pertama, manhaj (ajaran).

Di antara rahmat Allah yang luas adalah manhaj atau ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah saw berupa manhaj yang menjawab kebahagiaan seluruh umat manusia, jauh dari
kesusahan dan menuntunnya ke puncak kesempurnaan yang hakiki. Allah SWT berfirman,

Artinya : “Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi
sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (QS. Thahaa: 2-3).

Di ayat lain, Dia berfirman,

“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu…,” (QS Al-Maidah: 3).

2.Kedua, al-Qur`an.

Al-Qur`an telah meletakkan dasar-dasar atau pokok-pokok ajaran yang abadi dan
permanen bagi kehidupan manusia yang selalu dinamis. Kitab suci terakhir ini memberikan
kesempatan bagi manusia untuk beristimbath (mengambil kesimpulan) terhadap hukum-
hukum yang bersifat furu’iyah. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari tuntutan
dinamika kehidupannya. Begitu juga kesempatan untuk menemukan inovasi dalam hal sarana
pelaksanaannya sesuai dengan tuntutan zaman dan kondisi kehidupan, yang semuanya itu
tidak boleh bertentangan dengan ushul atau pokok-pokok ajaran yang permanen. Dari sini
bisa kita pahami bahwa al-Qur`an itu benar-benar sempurna dalam ajarannya. Tidak ada satu
pun masalah dalam kehidupan ini kecuali al-Qur`an telah memberikan petunjuk dan solusi.
Allah berfirman :

Artinya :“Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dikumpulkan,” (QS al-An’aam: 38).

Dalam ayat lain berbunyi, “...Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri,” (QS an-Nahl: 89).

3 Ketiga, penyempurna kehidupan manusia

Di antara rahmat Islam adalah keberadaannya sebagai penyempurna kebutuhan


manusia dalam tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Rahmat Islam adalah
meningkatkan dan melengkapi kebutuhan manusia agar menjadi lebih sempurna, bukan
membatasi potensi manusia. Islam tidak pernah mematikan potensi manusia, Islam juga tidak
pernah mengharamkan manusia untuk menikmati hasil karyanya dalam bentuk kebaikan-
kebaikan dunia.

Artinya :“Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hambahamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki
yang baik?...” (QS al-A`raf: 32).

Islam memberi petunjuk mana yang baik dan mana yang buruk, sedang manusia sering tidak
mengetahuinya.

Artinya :“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui,” (QS al-Baqarah: 216).

4.Keempat, jalan untuk kebaikan.

Rahmat dalam Islam juga bisa berupa ajarannya yang berisi jalan/cara mencapai
kehidupan yang lebih baik, dunia dan akhirat. Hanya kebanyakan manusia memandang jalan
Islam tersebut memiliki beban yang berat, seperti kewajiban sholat dan zakat, kewajiban
amar ma’ruf nahi munkar, kewajiban memakai jilbab bagi wanita dewasa, dan sebagainya.
Padahal Allah SWT telah berfirman,

3 Pada dasarnya, kewajiban tersebut hanyalah untuk kebaikan manusia itu sendiri.

Artinya :“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri.” (QS al-
Isra’: 7).

Artinya :“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya,...”


(QS al-Baqarah: 286).

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ajaran Islam itu adalah rahmat
dalam artian yang luas, bukan rahmat yang dipahami oleh sebagian orang menurut seleranya
sendiri. Rahmat dalam Islam adalah rahmat yang sesuai dengan kehendak Allah dan ajaran-
Nya, baik berupa perintah atau larangan. Memerangi kemaksiatan dengan mengingatkan
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar itu adalah rahmat, sekalipun sebagian
orang tidak setuju dengan tindakan tersebut. Allah berfirman :

Artinya : “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu
benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui,” (QS al-Baqarah: 216).

Hendaknya kita jujur dalam mengungkapkan sebuah istilah. Jangan sampai kita
menggunakan ungkapan seperti sejuk, damai, toleransi, rahmat, dan sebagainya, kemudian
dikaitkan dengan kata ‘Islam’. Sementara ada tujuan lain yang justru bertentangan dengan
Islam itu sendiri.

2.2 Kebersamaan dalam Pluralitas Beragama


2.2.1 Manusia sebagai Makhluk Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah dapat hidup sendirian, ia membutuhkan
hubungan dengan orang lain. Dalam masyarakat pluralis seperti di Indonesia hubungan antar
kelompok masyarakat yang berbeda adat maupun agama tidak bisa dihindarkan. Oleh sebab
itu, ajaran Islam yang pluralis sangat penting sebagai landasan dalam kehidupan
bermsayarakat.
Agama sebagai sesuatu yang mendasar dalam kehidupan seseorang seringkali menjadi
kendala dalam hubungan antar masyarakat yang berlainan agama, sehingga terjadi konflik
antar pengikut suatu agama dengan agama lain. Untuk itu, agama Islam memberikan tuntunan
internal sesama umat Islam dan tuntunan eksternal dalam bersikap dengan penganut agama
lain.

Sayyid Sabiq menulis :

“Toleransi dan lapang dada merupakan ciri khas masyarakat Islam. Masing-masing
individu tidak ada yang merasa tinggi diri, sombong, congkak dan seterusnya. Kesombongan,
kecongkakan, egois, tinggi hati merupakan sifat-sifat yang cenderung pada perbuatan
syaithan, sebab sifat-sifat itu mengakibatkan tumbuhnya perpecahan dalam masyarakat dan
permusuhan sesama manusia.”

2.2.2 Hubungan antar Umat Beragama

a. Hubungan Internal Umat Islam

Persaudaraan dan ukhuwah merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian penting
dalam Islam. Ukhuwah pada mulanya berarti “persamaaan dan kesesarian dalam hak”.
Karenanya persamaan dalam iman mengakibatkan persaudaraan. Alquran menyebutkan kata
yang mengandung arti persaudaraan sebanyak 52 kali yang menyangkut berbabagai
persamaan, baik persamaan keturunan, keluarga, masyarakat, bangsa dan agama.

Masyarakat Muslim mengenal istilah Ukhuwah Islamiyah. Istilah ini perlu didudukkan
maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami keracunan. Untuk itu lebih
dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiyah.
Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna “Persaudaraan yag dijalin sesama
Muslim”, atau dengan kata lain “Islamiyah” dijadikan pelaku ukhuwah itu. Kata Islamiyah
yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah bisa dipahami sebagai adjektifa (kata sifat) sehingga
ukhuwah Islamiyah berarti “Persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan Islam”.

Ukhuwah Islami dapat dibagi kedalam empat macam yaitu :

1. Ukhuwah ‘ubudiyyah atau saudara kesemakhlukan dan kesentudukan kepada Allah.

2. Ukhuwah insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara,
karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu yang sama, yaitu Adan dan Hawa.
3. Ukhuwah wathaniyah wa an-nasab yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.

4. Ukhuwah fi din al-islam yaitu persaudaraan antar sesama Muslim.

Oleh karena itu, faktor penting lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah
persamaan. Semakin banyak persamaan semakin kokoh persaudaraan. Persamaan rasa dan
cinta merupakan faktor dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki. Nabi SAW
menggambarkan eratnya hubungan Muslim dengan Muslim sebagaimana anggota tubuh
dengan anggota tubuh lainnya. Jika salah satu anggota tubuh terluka, maka anggota tubuh
lainnya merasakan sakit. Perumpamaan tersebut mengisyaratkan hubungan yang erat antar
sesama muslim, karena itu persengketaan antar Muslim berarti mencederai wasiat Rasul
SAW.

Dalam hal agama, di kalangan umat Islam misalnya seringkali terjadi perbedaan
pendapat dan penafsiran mengenai suatu hukum yang kemudian melahirkan berbagai
pandangan. Perbedaan pendapat atau penafsiran pada dasarnya merupakan fenomena yang
biasa dan manusiawi, karena itu menyikapi perbedaan pendapat itu adalah memahami
berbagai penafsiran. Untuk menghindari perpecahan di kalangan umat Islam dan
memantapkan ukhuwah Islamiyah para ahli menetapkan tiga konsep :

1. Konsep tanawwu’ al-‘ibadah (keragaman cara beribadah) yang mengantar kepada


pengakuan akan adanya keberagaman yang dipraktekkan Nabi SAW dalam bidang furu’
sehingga semua diakui kebenarannya, dengan catatan sesuai dengan Sunnah Rasulullah
SAW.

2. Konsep al-mukhti’fi al-ijtihad lahu ajr (yang salah dalam ber-ijtihad pun mendapat
ganjaran satu pahala). Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti
pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah,
walaupun hasil ijtihad yang diamalkan itu keliru. Kendatipun demikian, pelu pula
diperhatikan bahwa yang mengemukan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti,
haruslah orang yang memiliki otoritas kelimuan. Perbedaan-perbedaan dalam produk ijtihad
yang dilakukan ahlinya adalah sesuatu yang wajar, karena itu perbedaan yang ada hendaknya
tidak mengorbankan ukhuwah Islamiyah yang terbina di atas landasan keimanan yang sama.

3. Konsep la hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid (Allah belum menetapakan suatu hukum
sebelum upaya ijtihad dilakukan seorang mujathid). Konsep ini dapat kita pahami bahwa
persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam Alquran
maupun Sunnah Rasul, maka Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat
Islam, khususnya pada mujtahid, dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari
ijtihad yang dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun
hasil ijtihad itu berbeda-beda.

Ketiga konsep diatas memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam mentolerir adanya
perbedaan dalam pemahaman maupun pengalaman. Zat yang mutlak itu hanyalah Allah,
sedangkan interpretasi terhadap firman-firman itu bersifat relatif, karena itu sangat
dimungkinkan untuk terjadi perpecahan.

b. Hubungan antar Umat Beragama

Dalam masyarakat hubungan antar pemeluk agama yang berbeda-beda tidak bisa
dihindarkan dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Bagi umat Islam
hubungan ini tidak menjadi halangan. Sepanjang dalam kaitan sosial kemanusiaaan atau
muamalah. Bahkan, dalam berhubungan dengan mereka umat Islam dituntut untuk
menampilkan perilaku yang baik, sehingga dapat menarik mereka untuk mengetahui lebih
banyak tentang ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Dalam sejarah Rasul kita dapat menemukan bahwa banyak orang kafir masuk ke dalam
agama Islam disebabkan kesantunan perilaku pemeluknya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari misi Islam yang disebut da’wah bi al-hal (mengajak dengan tingkah laku).

Dalam hubungan dengan umat agama lain yang harus diperhatikan adalah hendaknya
seorang Muslim tetap menjada keyakinan (‘aqidah) yakni menyakini bahwa hanya agama
Islamlah yanh diridhai Allah dan agama yan bertauhid murni. Ini berarti bahwa hubungannya
dengan pihak lain tidak sampai membenarkan keyakinan mereka atau saling tukar keyakinan.
Tetapi tetap menghormati dan menghargai keyakinan masing-masng sebagaimana yang
disebutkan di dalam Alquran pada surah al-Kafirun :

109:1, 109:2, 109:3, 109:4, 109:5, 109:6.

Artinya : Katakanlah :”Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah2, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah4, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Tuhan yan aku sembah, untukmu agamamu dan untukku agamaku6.”
Penghormatan terhadap orang lain yang berbeda pada dasarnya merupakan wujud dari
sikap proposional. Pada dasarnya ini merupakan prinsip dasar dari ajaran Islam yang
mendorong umatnya agar terus menerus mengembangkan dan menebarkan rahmat keseluruh
manusia bahkan kepada alam secara keseluruhan.

2.2.3 Kebersamaan dalam Pluralitas Beragama

Pluralitas merupakan keragaman yang terdiri dari parsial-parsial yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Karena itu, pluralitas tidak dapat berwujud atau terbayangkan
eksistensinya kecuali sebagai anti tesa atau komparasi dari keseragaman dan kesatuan yang
merangkum seluruh dimensinya. Pluralitas tidak pula dapat dipahami sebagai sesuatu yang
“cerai-berai” dan “permusuhan” tanpa mempunyai tali persaudaraan yang mengikat dan
merangkum semua bagian.

Jika keragaman dari sistem kehidupan manusia terpulang kepada satu naungan
kesatuan, maka manusia sebagai salah satu makhluk dari berbagai makhluk yang ada kembali
kepada satu rangkuman yaitu bukti keesaan Tuhan. Manusia, malaikat, jin, ‘Arasy, bintang
dan kosmos adalah makhluk-makhluk yang berbeda yang menyatu sebagai ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa. Beranjak dari deskripsi di atas, maka secara teoligis pluralitas dapat diyakini
sebagai Sunatullah. Artinya adanya suatu keniscayaan bersifat natural yang telah ditetapkan
(ditakdirkan) dan digariskan oleh Allah SWT untuk senantiasa berlaku dalam perputaran
kosmos (dunia). Ketika pluralitas dipahami sebagai sunatullah maka pengingkaran terhadap
pluralitas adalah kejahilan terhadap sunnatullah sendiri.

Dalam Islam, ketunggalam diyakini hanya ada pada zat Allah, selain diri-Nya adalah
nisbi dan relatif. Dia adalah sumber kejamakan, keragaman, dan parsialitas. Meyakini adanya
hakikat ketunggalan pada zat selain Zat-Nya merupakan kemusyrikan. Dengan demikian,
keyakinan adanya pluralitas bagi makhluk adalah bagian dari iman kaum Muslim.
Berdasarkan hal ini, maka dapat dipastikan bahwa meyakini adanya pluralitas memiliki dasar
teologis dalam Islam. Kerangka pluralitas dalam pandangan Islam, dipahami sebagai satu
ayat (tanda kekuasaan) dari ayat Allah yang tidak tergantikan. Ayat-ayat tersebut berdiri
diatas kekuasaan Allah untuk kemaslahatan dan kemanusiaan. Dengan kata lain, eksistensi
manusia yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut merupakan faktor penyatu, dan perbedaan
adalah kemajemukan dalam rangka kesatuan ini (ayat Tuhan). Tidak ada satu dimensi pun
dipandang maslahat kecuali dengan adanya dimensi yang lainnya. Tidak ada artinya dakwah
kalau umat ini satu dengan keyakinan dan satu dalam semua keadaan. Dengan keragaman itu,
maka terjadi interaksi dan saling kenal, dialog, dan dakwah yang terus berlaku diantara
kelompok umat yang berbeda dalam kehadiran yang meligkupinya. Dalam kaitan ini Allah
berfirman dalam surah ar-Rum ayat 22 : 30

Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui.”

Pluralitas itu juga tercipta agar setiap individu, suku, bangsa, lebih mudah melakukan
ikatan sosial dan pengenalan antara satu dengan yang lain. Dalam relevansi ini Alquran
menyatakan dalam surah al-Hujarat ayat 13 : 49:13

Artinya :”Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.”

Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan, keragaman atau pluralitas sosiologis


antropologis, yang digambarkan dengan penciptaan manusia dari jenis laki-laki dan wanita,
suku dan bangsa, dijadikan untuk saling kenal-mengenal diantara sesama manusia. Alquran
menjadikan “kenal mengenal” sebagai logikal awal pluralitas manusia di bumi ini. Dari sini
terbangunlah filsafat kemanusiaan yang universal yakni interaksi yang baik, yang wujudnya
untuk saling mengenal sesama mereka. Secara fisiologis, kenal-mengenal tersebut tidaklah
dipahami hanya sebatas literalitas, namun lebih dari itu, untuk saling mehamami karakter,
budaya, sikap, tingkah laku antar sesama manusia. Pemahaman yang demikian menjadikan
hubungan antar manusia, budaya, peradaban, pemeluk agama saling pengertian.

Dalam masayarakat Indonesia ditemukan perbedaan kepercayaan dan agama yang


dianut penduduknya seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu yang masing-masing pemeluknya
mengakui kebeneran agamanya. Perbedaan ini adalah bagian dari konsekuensi pluralitas
agama yang terkait dengan sejarah masyarakat Indonesia dalam relevansinya dengan
masyarakat dunia. Keragaman agama, sebagaimana keragaman etnisitas suku dan bangsa,
juga dipahami dalam satu perspektif kemanusiaan yang hidup berdampingan dengan
kekhasannya membangun kehidupan bersama. Indonesia menjadi lebih unut dengan
keunikan-keunikan agama yang dianut oleh penduduknya tersebut, keunikan-keunikan ini
bukanlah ancaman terhadap pemeluk agama yang satu bagi eksistensi agama yang lainnya,
tetapi akan lebih memperjelas keunikan tersendiri bagi masing-masing pemeluknya. Dengan
demikian, agama yang dianut oleh seorang pemeluknya menjadi indentitas pribadinya
sekaligus cerminan ajaran agamanya. Dalam hal ini, maka diperlukan dinamisasi dalam
perlombaan menjadikan masing-masing pribadi dan kelompok menjadi yang terbaik tanpa
mereduksi ajaran agamanya.

Anda mungkin juga menyukai