Anda di halaman 1dari 97

MAKNA KECANTIKAN DALAM IKLAN

(Analisis Semiotika Roland Barthes Iklan Citra Pearl White UV Hand And
Body Lotion)

FADHIL MUZAKKIR

150904050

Advertising

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

Universitas Sumatera Utara


MAKNA KECANTIKAN DALAM IKLAN

(Analisis Semiotika Roland Barthes Iklan Citra Pearl White UV Hand And
Body Lotion)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program
Strata-1 (S-1) pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

FADHIL MUZAKKIR

150904050

Advertising

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk diseminarhasilkan oleh:

Nama : Fadhil Muzakkir

NIM : 150904050

Judul : Makna Kecantikan Dalam Iklan (Analisis Semiotika Roland


Barthes Iklan Citra Pearl White UV Hand And Body Lotion).

Dosen Pembimbing, Ketua Program Studi,

Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm Dra. Dewi Kurniawati, M.Si, Ph.D

NIP. 197711062005011001 NIP. 196505241989032001

Dekan,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dr. Muryanto Amin, M.Si

NIP. 197409302005011002

Universitas Sumatera Utara


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun
yang dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari
saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai
dengan hukum yang berlaku.

Nama : Fadhil Muzakkir

NIM : 150904050

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Tanda Tangan :

Tanggal : 10 Oktober 2019

ii

Universitas Sumatera Utara


HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Fadhil Muzakkir

NIM : 150904050

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Judul : Makna Kecantikan Dalam Iklan (Analisis Semiotika


Roland Barthes Iklan Citra Pearl White UV Hand And Body
Lotion).

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Komunikasi pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ( )

Penguji : Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm ( )

Penguji Utama : ( )

Ditetapkan di : Medan

Tanggal :

iii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT,


karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah peneliti dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Makna Kecantikan Dalam Iklan (Analisis Semiotika Roland Barthes
Iklan Citra Pearl White UV Hand And Body Lotion)”. Peniliti mengucapkan rasa
terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta yang telah
memenuhi kebutuhan-kebutuhan peneliti baik materil dan juga moril begitu juga
doa dan dukungan selama menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini tentu saja peneliti mengalami kendala yang
menyulitkan saat menyelesaikan skripsi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
salah satunya kurangnya pengalaman dan kemampuan peneliti yang terbatas.
Namun, semua dapat teratasi dengan baik atas izin dan kuasa-Nya serta doa dan
bantuan dari berbagai pihak yang bersedia membantu peneliti. Dengan selesainya
skripsi ini tidak tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan
dukungan moril dan masukan kepada peneliti. Untuk itu peneliti ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.si, Ph.D selaku Ketua Program Studi
Ilmu Komunikasi.
3. Ibu Emilia Ramadhani, MA selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Komunikasi.
4. Bapak Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm selaku Dosen Pembimbing
skripsi yang telah memberikan waktu dan bimbingan yang berharga
selama mengerjakan skripsi. Semoga selalu sehat dan diberikan berkah
umur yang panjang oleh Allah SWT.
5. Ibu Dra. Mazdalifah, M.si, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik
saya.
6. Seluruh dosen yang telah membimbing dan membantu peneliti selama
masa perkuliahan, seluruh staff pengajar maupun staff administrasi
terutama untuk Kak Maya dan Kak Yanti yang selalu bersedia

iv

Universitas Sumatera Utara


membantu peneliti dalam hal administrasi di Program Studi Ilmu
Komunikasi.
7. Kepada sahabat dan teman di UAD dan Garda Media sekaligus mentor
tercinta abangda Awan Kustriawan, terima kasih atas dukungan dan
doanya, terutama kebaikannya selama ini telah membantu dalam
kegiatan kampus dan organisasi.
8. Kepada teman makan, teman main, teman diskusi dan teman liburan
Fairuzziah Salma, Deby Pasaribu dan Arief Pratama Hany.
9. Geri Perdana Sugata, Dodo Prayogo, Rahma Zhaza Aulia, Bontor
Simbolon, Bilqis Efriza, teman main yang selalu menghibur peneliti
ketika sedang merasa tidak mampu melanjutkan penelitian.
10. Teman-teman sesama Ilmu Komunikasi 2015, atas perjuangan kita
selama beberapa tahun ini. Terima kasih atas pengalaman yang telah
kita jalani selama masa perkuliahan.
11. Semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu, namun
telah turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Saya menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan
segala kerendahan hati peneliti berharap pembaca dapat memberikan saran dan
kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan skripsi ini serta memperdalam
pengetahuan dan pengalaman peneliti. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.

Universitas Sumatera Utara


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
di bawah ini:

Nama : Fadhil Muzakkir


NIM : 150904050
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Sumatera Utara
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, peneliti menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non
Exclusive Royalty–Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“MAKNA KECANTIKAN DALAM IKLAN (ANALISIS SEMIOTIKA


ROLAND BARTHES IKLAN CITRA PEARL WHITE UV HAND AND
BODY LOTION)”.

Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak
menyimpan, mengalih media/formatkan, mengolah dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari
saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai Hak
Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Tanggal :10 Oktober 2019

Yang menyatakan,

(Fadhil Muzakkir)

vi

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Makna Kecantikan dalam Iklan (Analisis Semiotika Roland
Barthes Iklan Citra Pearl White UV Hand And Body Lotion). Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui makna kecantikan yang ada pada iklan Citra Pearl
White UV Hand And Body Lotion. Teori yang digunakan untuk menganalisis
penelitian ini adalah Teori Komunikasi Massa, Analisis Semiotika Dan Periklanan.
Subjek penelitian adalah iklan televisi Citra Pearl White UV Hand And Body
Lotion, yang berdurasi 30 detik yang dibagi kedalam 5 scene dan terdiri dari 10 shot
(gambar). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan menggunakan paradigma konstruktivisme. Teknik analisis yang digunakan
yaitu analisis semiotika model Roland Barthes. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa makna kecantikan dalam iklan Citra Pearl White UV Hand And Body Lotion
Dalam scene (1) seorang wanita takut memiliki kulit yang hitam. Dalam scene (2)
wanita harus mencegah kulitnya agar tidak hitam. Dalam scene (3) perempuan
kecewa dan sedih memiliki kulit yang hitam. Dalam scene (4) warna kulit ala korea
menjadi dambaan wanita Indonesia. Dalam scene (5) kebahagiaan bagi seorang
wanita adalah ketika mempunyai kulit putih cerah bersinar (glowing).

Kata Kunci: Makna cantik, Analisis iklan, Semotika.

vii

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT
The research’s title is sense of beauty from advertisement. (An Analysis of Semiotics
Roland Barthes of Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion advertisement).
The aim of this research is to knowing about sense of beauty which is occur in Citra
Pearl White UV Hand and Body Lotion advertisement. The theory used in analyzed
research is Massa communication theory, semiotics analysis and advertisement.
Subject of this research is advertisement in television which title is Citra Pearl
White UV Hand and Body Lotion. This have 30 second duration which is consist of
5 scene with 10 shot (picture). The method from this research is qualitative method
which is use paradigm constructivism. The technique of analysis is Semiotics
analysis and Roland Barthes model. The Result of research showed that sense of
beauty from Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion advertisement in scene
one (1) a ladies has been afraid of dark skin (2) a ladies should protect her skin
from darkness (3) a ladies has disappointed with dark skin. In scene (4) Korean
glow skin is a dream for every woman in Indonesia. In scene (5) the ladies
happiness is having a glowing skin.

Keywords : Sense of Beauty, Advertisement Analysis, Semiotics

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN………………………………………………………i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS………………………………...ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………… …...iii
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. iiv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN………………………………..vi
ABSTRAK………………………………………………………………………. vii
ABSTRACT…………………………………………………………................ viii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………1
1.1. Konteks Penelitian .........................................................................................1
1.2. Fokus Penelitian ............................................................................................5
1.3. Tujuan Penelitian ...........................................................................................5
1.4. Manfaat Penelitian .........................................................................................5

BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………………………..7


2.1. Paradigma Penelitian ....................................................................................7
2.1.1. Paradigma Konstruktivisme....................................................................9
2.2. Kajian Pustaka ............................................................................................. 13
2.2.1. Komunikasi Massa................................................................................13
2.2.2. Televisi.................................................................................................22
2.2.3. Iklan ......................................................................................................23
2.2.4. Makna Kecantika ..................................................................................29
2.2.5. Semiotika .............................................................................................. 34
2.2.6. Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion ......................................41
2.2.7. Analisis Visual ......................................................................................42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………….. 48
3.1. Metodologi Penelitian .................................................................................48
3.2. Subjek Penelitian .........................................................................................49
3.3. Kerangka Analisis .......................................................................................50
3.4. Teknik Pengumpulan Data ..........................................................................50
3.5. Teknik Analisis Data ...................................................................................51

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN…………………………………...53


4.1. Analisis Data Penelitian ..............................................................................53
4.2. Hasil Analisis Dan Pembahasan ..................................................................63
4.3. Konfirmasi Hasil Analisis ...........................................................................71
BAB V SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………….75

ix

Universitas Sumatera Utara


5.1. Simpulan ......................................................................................................75
5.2. Saran ............................................................................................................77

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………78

LAMPIRAN……………………………………………………………………...84

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Konteks Penelitian

Iklan merupakan komunikasi komersil dan non personal tentang sebuah


organisasi dan produk-produknya yang ditransmisikan ke suatu khalayak
sebagai target melalui media yang bersifat massal seperti televisi, radio, koran,
majalah, direct mail (pengeposan langsung), reklame luar ruang atau kendaraan
umum (Lee, 2004: 3). Dengan demikian iklan dapat didefinisikan sebagai suatu
proses komunikasi massa yang melibatkan sponsor tertentu, yakni si pemasang
iklan (pengiklan) yang membayar jasa sebuah media massa atas penyiaran
iklannya, misal seperti program siaran televisi (Suhandang, 2010:13).

Menurut Piliang (2012: 306-307), iklan menjadi sebuah produk televisi


yang menghubungkan antara pencipta iklan dengan konsumen. Iklan seperti
media massa pada umumnya, mempunyai fungsi komunikasi langsung,
sementara desain produk mempunyai fungsi komunikasi secara tidak langsung.
Aspek-aspek komunikasi di dalam iklan seperti pesan merupakan unsur utama
iklan. Ada dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan yang membedakan iklan
secara semiotis dari objek-objek desain lainnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu
berisikan unsur-unsur tanda berupa objek yang diiklankan, konteks berupa
lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan makna pada objek
serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna.

Karena iklan memiliki tujuan atau berfungsi untuk mempromosikan


suatu produk tertentu, pastinya iklan menggunakan kalimat, frase atau jargon
yang persuasif atau dengan kata lain, berupaya merayu para khalayak umum
agar membeli, mengkonsumsi, atau menggunakan produk yang diiklankan
tersebut. Iklan bukan saja menjual produk tetapi juga membawa budaya
tersendiri di dalam nya. Salah satu yang kerap kali dibawa oleh iklan adalah
ideologi budaya mengenai kecantikan.

1
Universitas Sumatera Utara
2

Begitu banyak citra kecantikan yang digambarkan melalui iklan dengan


bermacam-macam versi kecantikannya. Perasukan pesan-pesan iklan bersifat
halus, tidak terasa, tidak terlihat memaksa tetapi justru mempesona,
memberikan mimpi, memberikan fantasi dan terkesan memberikan solusi.
Parameter kecantikan perempuan yang dulu hanya halus dan bersih kini harus
putih. Hal serupa dikemukakan oleh Prabasmoro dalam penelitiannya. Indo
dengan ke-putih-annya dieksploitasi secara optimum dan dipergunakan untuk
mempresentasikan perempuan kulit putih Barat yang modern. Tren kecantikan
perempuan (langsing, berkulit putih dan sebagainya) dikonstruksi melalui iklan
(Yudhistya, 2016: 98).

Padahal sejarah peradaban dan kebudayaan manusia membuktikan


bahwa konsep tentang kecantikan merupakan suatu pencarian manusia yang tak
kenal lelah. Tuntutan dasar dari pencarian ini di setiap zaman memiliki ciri yang
berbeda, namun hakikatnya adalah apa yang tampak dan apa yang muncul dari
dalam mendorong sesuatu yang tampak itu.

Misalnya, dalam karya grafis pada abad pertengahan di Eropa, diperoleh


kesan bahwa kecantikan perempuan disimbolkan dengan bentuk tubuh yang
subur dengan perut, lengan dan wajah yang berdaging. Simbol kecantikan
identik dengan citra kesuburan dan kemakmuran. Semakin subur seorang
wanita semakin cantik ia di mata masyarakat. Bahkan, sebuah patung yang
bernama Venus of Willendorf secara tidak langsung mencitrakan bahwa Dewi
Venus yang banyak dipuja sebagai simbol kecantikan memiliki tubuh sangat
gemuk (Melliana, 2006: 63-64).

Konsep kecantikan seperti itu bertahan hingga 1950-an tepatnya setelah


Perang Dunia II berakhir. Aktris Marilyn Monroe yang memiliki berat badan
67 kg dan tinggi 163 cm menjadi simbol kecantikan yang dipuja-puja para lelaki
dan menjadi inspirasi bagi para perempuan. Sehingga, pada masa itu kaum hawa
tidak repot dengan diet dan korset, bentuk tubuh subur justru mendapat citra
positif di mata masyarakat (Melliana, 2006: 64).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


3

Namun, konsep kecantikan seperti itu nyatanya tak juga bertahan lebih
lama lagi. Beberapa tahun kemudian, sekitar periode 1960-an, tubuh kurus
justru menjadi trend dan simbol kecantikan. Citra ideal perempuan bertubuh
subur yang dulu eksis perlahan mulai tergeser. Banyak pengamat mengatakan
faktor utama pergeseran itu disebabkan berkembang pesatnya industri media
dan periklanan (Melliana, 2006: 67-68).

Di Indonesia sendiri, pada tahun 1950-an kebanyakan perempuan


Indonesia mengenal konsep cantik dari konsep yang dianut barat. Dunia
kecantikan masih saja berkiblat ke Paris dengan mode wangi-wangiannya
ataupun London, Italia, New York dan sejumlah panutan kecantikan di negeri
barat (Tilaar, 1999: 57).

Tampaknya, penjajahan belanda memberikan akibat tidak langsung


pada konsep kecantikan yang di anut masyarakat Indonesia sampai periode
tersebut. Pasalnya, dalam salah satu penelitian menyebutkan bahwa, ahli-ahli
kecantikan Belanda mengajarkan ilmu kecantikan kepada penduduk lokal
melalui pengenalan kosmetik khas Eropa yang cenderung memiliki kandungan
minyak yang banyak serta lengket pada kulit (Tranggono, 2007: 5-7).

Suatu studi terhadap 4.294 iklan televisi di Inggris menunjukkan bahwa


pernyataan mengenai kemenarikan fisik perempuan paling umum ditampilkan
melalui profil perempuan dan disuarakan oleh laki-laki. Pesan bahwa seorang
perempuan harus menarik fisiknya agar dapat diterima, disuarakan dengan
keras dan jelas dalam jaringan iklan televisi. Perempuan secara tidak sadar,
berpaling pada televisi untuk mengukuhkan norma kecantikan terkini, hanya
untuk diberi pembuktian lebih jauh mengenai kekurangan tubuh mereka sendiri.
Fitur ideal tersebut mendorong terciptanya harapan akan tubuh impian. Tubuh-
tubuh ideal biasanya ditampilkan dalam majalah, film dan dunia periklanan,
yang menggambarkan atau menyajikan sosok perempuan ideal sebagai suatu
figur perempuan yang langsing, berkaki indah, paha, pinggang dan pinggul
yang ramping, payudara cukup besar dan kulit putih mulus (Melliana, 2006: 59-
60).

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
4

Kehadiran pasar dan iklan yang memberikan janji-janji disertai berbagai


produk kecantikan, pada akhirnya membuat perempuan menjadi tidak berdaya
dan selalu ingin mengkonsumsi benda atau jasa demi sebuah kecantikan.
Berbagai jenis produk kecantikan, mulai dari harga yang paling murah sampai
dengan yang termahal, semuanya menjanjikan pembentukan dan perawatan
tubuh perempuan menjadi cantik (Ibrahim, 2004: 115). Dalam konteks ini tubuh
dijadikan sebagai sebuah arena pertarungan untuk kecantikan. Kehadiran pasar
dan iklan dengan mode yang berubah-ubah, menandakan bahwa betapa tubuh
dan kecantikan mempunyai arti penting dalam kaitan dengan perubahan sosial
budaya yang terjadi (Abdullah, 2001: 38).

Kecantikan juga merupakan bagian dari sistem budaya yang


direpresentasikan melalui simbol. Simbol dalam tubuh adalah sesuatu yang
disampaikan, sekaligus yang disembunyikan. Karena itu maka dikatakan bahwa
tubuh manusia yang awalnya adalah tubuh alami (natural body), kemudian
dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial (Abdullah, 2006: 138).

Para perempuan menjadikan model yang terdapat pada majalah atau


iklan kecantikan sebagai standar atau patokan baru untuk ukuran kecantikan.
Iklan televisi seakan-akan memberi masukan produk-produk ajaib terbaru yang
dapat menjembatani jurang antara kenyataan dan apa yang dianggap ideal. Iklan
telah disebut sebagai suatu bentuk penyampaian mitos kecantikan yang
mempengaruhi pemirsa televisi untuk menerima pesan komerisal sebagai
kebenaran dari pada sebagai konstruksi (Melliana, 2006: 59-60).

Realitas sosial, kebudayaan atau politik kini dibangun berlandaskan


model-model (peta) fantasi yang ditawarkan iklan televisi, bintang-bintang
layar perak atau tokoh-tokoh kartun dan semuanya itu menjadi model dalam
membangun citra-citra, nilai-nilai dan makna-makna dalam kehidupan sosial,
kebudayaan dan politik. Iklan sebagai representasi mengkonstruksi masyarakat
menjadi kelompok-kelompok gaya hidup, yang pola kehidupan mereka diatur
berdasarkan tema, citra dan makna simbolik tertentu (Nurnanengsi, 2016: 2).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


5

Atas dasar semua hal di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji salah satu
iklan produk kecantikan yang di indikasikan membawa ideologi budaya
terhadap konsep kecantikan. Peneliti memilih Iklan Citra Pearl White UV Hand
and Body Lotion sebagai penelitian karena peneliti ingin mengetahui makna dan
simbol yang terdapat di dalam iklan, apakah itu yang nampak maupun
tersembunyi. Untuk itu maka judul dalam penelitian ini yakni “Makna
Kecantikan dalam Iklan (Analisis Semiotika Roland Barthes Iklan Citra Pearl
White UV Hand and Body Lotion)”.

1.2. Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian konteks penelitian di atas, maka rumusan penelitian ini


yaitu:

1. Apa saja penanda dan petanda kecantikan yang ada dalam iklan Citra
Pearl White UV Hand and Body Lotion?
2. Apa makna kecantikan yang terdapat dalam Iklan Citra Pearl White UV
Hand and Body Lotion?

1.3. Tujuan Penelitian

Merujuk pada perumusan masalah maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini yaitu untuk:

1. Menganalisis apa saja penanda dan petanda kecantikan yang ada dalam
iklan Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion
2. Menganalisis makna kecantikan yang terdapat dalam Iklan Citra Pearl
White UV Hand and Body Lotion

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
terlibat dalam penelitian ini. Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Secara teoritis, diharapkan menjadi bahan kajian yang memberi


kontribusi bagi khasanah kepada ilmu komunikasi, dan juga untuk

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


6

memberikan gambaran dalam membaca makna yang terkandung dalam


sebuah iklan melalui kacamata semiotika.
2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pembaca agar lebih kritis dan dapat memahami makna dan tanda yang
disampaikan dalam sebuah iklan di televisi.
3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Program
Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan
sebagai sumber bacaan.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada
dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan bentuk cara pandangnya
terhadap dunia. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami
kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam
kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya, paradigma menunjukkan
pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat
normatif, menunjukkan kepada praktisnya apa yang harus dilakukan tanpa perlu
melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang
(Mulyana, 2004: 9).
Menurut Guba (dalam Erlina, 2011: 10). Paradigma penelitian
merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang
peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu
atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti
memahami suatu masalah, serta kriteria penelitian sebagai landasan untuk
menjawab masalah penelitian.

Penelitian yang pelaksanaannya didasarkan pada paradigma bersama


berkomitmen untuk menggunakan aturan dan standar praktek ilmiah yang sama.
Berdasarkan definisi Kuhn tersebut, Harmon (1970) mendefinisikan paradigma
sebagai cara mendasar untuk mempersepsi, berfikir, menilai dan melakukan
yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas (Moleong,
2007: 49). Menurut beberapa kamus, pengertian paradigma adalah (Leksono,
2013: 97):

1. Cara pandang terhadap sesuatu.


2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Bertolak atas model, pola
ini maka menjadi dasar pandangan dan penjelasan atas sesuatu
fenomena.

7
Universitas Sumatera Utara
8

3. Keseluruhan dalil awal (premis) teori dan metodologi untuk


menentukan suatu kajian ilmiah menjadi konkrit serta terlekat dalam
praktik ilmiah.
4. Dasar seleksi problematika serta pola pendekatan problematika
penelitian.
5. Suatu rencana berdasarkan ide-ide khusus.
Secara umum, paradigma penelitian diklasifikasikan kedalam dua
kelompok yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Paradigma
kuantitatif menekankan pada pengujian teori melalui pengukuran variabel
penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik.
Paradigma kualitatif merupakan paradigma penelitian yang menekankan pada
pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan
kondisi realitas yang holistis, kompleks dan rinci. Penelitian ini menggunakan
pendekatan induktif yang mempunyai tujuan penyusunan konstruksi teori atau
hipotesis yang didasarkan pada satu atau lebih fakta atau bukti-bukti. Paradigma
kualitatif disebut juga dengan pendekatan konstruktifis, naturalistik atau
interpretatif, atau perspektif post-modern (Erlina, 2011: 14).

Perubahan sutu paradigma ke paradigma lain pada akademis dinyatakan


oleh Kuhn (2008) sebagai “gestalt switch” (perpindahan secara keseluruhan
atau tidak sama sekali). Proses perubahan paradigma lama ke paradigma baru
yang berlawanan ini dinyatakan oleh Kuhn sebagai revolusi science.
Menurutnya, perkembangan ilmu itu tidak berlangsung secara kumulatif
evolusioner; namun secara revolusioner. Paradigma baru diyakini memiliki
kemampuan lebih menjanjikan dalam memecahkan masalah di masa depan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dapat berlangsung, karena sesuatu subject
matter dipandang menurut perspektif (sudut pandang) yang baru dan berbeda
dari sebelumnya. Paradigma baru dapat diterima sebagai pengganti paradigma
klasik jika dan hanya jika paradigma baru lebih mendekati kebenaran dan lebih
unggul dalam mengatasi science di masa depan (Leksono, 2013: 100).

Ada dua ciri paradigma yang sangat penting yaitu: (1). Paradigma terdiri
dari empat komponen yang saling berhubungan secara hierarki dan unsur

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


9

ontologi berada di puncak, sementara unsur metodologi merupakan asumsi


dasar (2). Keempat asumsi paradigmatik tersebut sekedar asumsi, tetapi para
ilmuwan percaya bahwa hakikat terhadap persoalan pokok yang dijelaskan
merupakan cara yang sesuai untuk menggambarkan dan menjelaskan
paradigma komunikasi. Bagi seorang peneliti ada 2 perspektif paradigmatis
yang bersifat umum, yaitu:

1. Pandangan monistik
2. Pandangan pluralisme

Pandangan monistik ditandai dengan adopsi terhadap paradigma


tunggal, sedangkan pandangan pluralisme memberi peluang terhadap
paradigm-paradigma alternatif. Seorang peneliti dapat memiliki satu dari dua
paradigma tersebut di atas. Kaum pluralis memilih salah satu paradigma
bukan karena paradigma tersebut benar. Namun karena pendekatan penelitian
itu sangat berguna pada waktu itu. Karl Pooper menggambarkan masyarakat
pluralistik sebagai suatu masyarakat terbuka yang didalamnya tidak ada satu
paradigma pun yang unggul.

Selain itu ada 2 pandangan perubahan paradigmatis yaitu:

1. Model revolusioner
2. Model evolusioner

Menurut Khun perubahan paradigmatis seiring dengan perubahan yang


terjadi dalam bidang sosial politik. Di sisi lain, model evolusioner
dikembangkan oleh Karl Popper, Toulmin dan lain-lainnya. Ada perbedaan
prinsip diantara keduanya. Pandangan revolusioner lebih bersifat pluralisme
model evolusioner menganggap suatu proses berlangsung secara bertahap
(Bulaeng, 2004: 2-4).

2.1.1. Paradigma Konstruktivisme


Konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk
komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-
rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu
melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


10

yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan
dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu
melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu (Morisan, 2010: 107).
Menurut Von Glasersfeld (dalam Ardianto, 2007: 154)
konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pendirian
ini merupakan kritik langsung pada perspektif positivisme yang meyakini
bahwa pengetahuan itu adalah potret atau tiruan dari kenyataan (realitas).
Pengetahuan objektif, kita tahu adalah pengetahuan yang apa adanya,
terlepas dari peran subjek sebagai pengamat. Konstruktivisme menolak
keyakinan itu, pengetahuan bukanlah gambaran dunia kenyataan yang ada.
Pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif.
Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran
suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial dan kebenaran
suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada
dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis,
yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma
konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma
positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati
oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang
biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis
diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L. Berger bersama Thomas
Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa
disebut berada diantara teori fakta sosial dan defenisi sosial (Eriyanto, 2004:
13).

Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi.


Aliran ini menolak pandangan empirisme/positivisme yang memisahkan
subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak
hanya lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objek belaka dan
yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai kenyataan.
Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam
kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, subjek

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


11

memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu


dalam setiap wacana (Bungin, 2009: 5).

Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistimologi


merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi
yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek
material. Jadi tidak ada pengetahuan yang koheren, sepenuhnya transparan
dan independen dari subjek yang mengamati. Manusia ikut berperan yang
bertugas menentukan pilihan perencanaan yang lengkap dan menuntaskan
tujuannya di dunia. Pilihan yang dibuat manusia dalam kehidupannya
sehari-hari lebih sering didasarkan pada pengalaman sebelumnya, bukan
pada prediksi secara ilmiah teoritis (Ardianto, 2007: 152).

Paradigma konstruktivisme berbasis pada pemikiran umum tentang


teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritis aliran konstruktivisme. Little
Jhon mengatakan bahwa teori-teori aliran ini berlandaskan pada ide bahwa
realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses
interaksi dalam kelompok, masyarakat dan budaya (Wibowo, 2011: 36).

Paradigma konstruktivis dapat dijelaskan melalui empat dimensi di


atas seperti diutarakan oleh Dedy N Hidayat, sebagai berikut (dalam
Wibowo, 2011: 37):

1. Ontologis: relativism, realitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran


suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial.
2. Epistemologis: transactionalist/subjectivist, pemahaman tentang suatu
realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara
peneliti dengan yang diteliti.
3. Aksiologis: nilai, etika dan moral merupakan bagian tak terpisahkan
dalam suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant,
fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.
Tujuan penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial secara
dialektis antara peneliti dengan pelaku yang diteliti.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


12

4. Metodologis: menekankan empati, dan inteaksi dialektis antara peneliti


dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui
metode kualitatif seperti participant observation. Kriteria kualitas
penelitian authenticity dan reflectivity: sejauh mana temuan merupakan
refleksi otentik dari realitas yang dihayati oleh para pelaku sosial.

Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh


pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya
adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta
pengungkapan jati diri dari sang pembicara (Eriyanto, 2001: 1).
Dilambangkan oleh Kant, konstruktivisme merupakan reaksi terhadap
epistemologi radikal empiris. Ada 5 asumsi yang mendasari epistemologi
konstruksi, yaitu (Bulaeng, 2004: 11-12):

1. Konstruktivisme menolak pandangan logika positivisme.


2. Kaum konstruktivis beranggapan bahwa dunia empiris tidak
independen, melainkan persepsi dan interpretasi peneliti akan
mempengaruhi apa yang dilihat peneliti saat meneliti.
3. Konstruktivisme menolak perspektif deduksionis yang mempercayai
bahwa pengalaman itu tidak berdiri sendiri, melainkan terpadu.
4. Kaum konstruktivis mengingkari operasionalisme yang
berpandangan bahwa konsep-konsep teoritis sangat berbeda dengan
indikator-indikator empirisnya.
5. Konstruktivisme beranggapan bahwa teori-teori komunikasi lebih
dari sekedar hubungan statistik saja, melainkan juga menjelaskan
perilaku komunikasi dengan mengacu pada alasan-alasan seseorang
berbicara dengan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


13

2.2. Kajian Pustaka


2.2.1. Komunikasi Massa

Komunikasi massa adalah proses penciptaan makna bersama antara


media massa khalayaknya (Baran, 2012: 7). Komunikasi massa menurut Tan
dan Wright, merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran
(media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal,
berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen
dan menimbulkan efek tertentu. Selain itu definisi komunikasi massa yang
lebih rinci dikemukakan oleh ahli lain yaitu Gerbner, menurutnya komunikasi
massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dari
lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam
masyarakat industri (Ardianto, 2004: 3-4).

Pada awal perkembangannya, definisi komunikasi massa sebagai


sebuah studi ilmiah terletak pada mass society sebagai audience komunikasi.
Konsep mass society ini memang istilah yang sering dipakai dalam lapangan
sosiologi yang mendeskripsikan orang-orang dan institusi mereka dalam
sebuah negara industri maju. Herbert Blumer (1939) kemudian menggunakan
konsep ini untuk menyebut mass audience (penerima pesan dalam
komunikasi massa). Yang disebut penerima dalam komunikasi massa itu
paling tidak mempunyai: (1). Heterogenitas susunan anggotanya yang berasal
dari berbagai kelompok lapisan masyarakat; (2). Berisi individu yang tidak
saling mengenal dan terpisah antara yang satu dengan yang lain (tidak
mengumpul) serta tidak berinteraksi antara yang satu dengan yang lain pula,
dan (3). Tidak mempunyai pemimpin atau organisasi formal (Nurudin, 2003:
9).

2.2.1.1.Fungsi Komunikasi Massa

Banyak pakar yang mengemukakan fungsi dari media massa,


pembahasan fungsi komunikasi telah menjadi diskusi yang cukup penting,
terutama konsekuensi komunikasi melalui media massa (Ardianto, 2004:
15-28):

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


14

1. Fungsi informasi
Memberikan informasi diartikan bahwa media massa adalah
penyebar informasi bagi pembaca, pendengar atau pemirsa. Berbagai
informasi dibutuhkan oleh khalayak media massa yang bersangkutan
sesuai dengan kepentingan khalayak. Informasi tidak hanya harus
didapatkan melalui sekolah atau tempat bekerja, melainkan juga bisa
dari media. Khalayak media massa berlangganan media massa surat
kabar, majalah, mendengarkan siaran radio atau menonton televisi
karena mereka ingin mendapatkan informasi tentang peristiwa yang
terjadi di muka bumi, gagasan atau pikiran orang lain, apa yang
dilakukan, diucapkan atau dilihat orang lain.
Fungsi informasi adalah fungsi paling penting yang terdapat dalam
komunikasi massa. Komponen paling penting untuk mengetahui fungsi
informasi ini adalah berita-berita yang disajikan. Iklan pun dalam
beberapa hal juga punya fungsi memberikan informasi di samping juga
fungsi-fungsi yang lain (Nurudin, 2003: 64).
2. Fungsi pendidikan
Media massa merupakan sarana pendidikan bagi khalayaknya.
Karena media massa banyak menyajikan hal-hal yang sifatnya
mendidik. Salah satu cara mendidik yang dilakukan media massa adalah
melalui pengajaran nilai, etika serta aturan-aturan yang berlaku pada
pemirsa atau pembaca. Media massa melakukannya melalui drama,
cerita, diskusi dan artikel.
3. Fungsi memengaruhi
Fungsi memengaruhi dari media massa secara implisit terdapat pada
tajuk/editorial, features, iklan, artikel dan sebagianya. Khalayak dapat
terpengaruh oleh iklan-iklan yang ditayangkan televisi ataupun surat
kabar. Melalui iklan yang ditampilkan pemirsa dan pembacanya akan
menimbulkan rasa ketertarikan yang menjadikan khalayaknya
mengikuti apa yang dilihatnya di media massa.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


15

4. Fungsi meyakinkan (to persuade)


Fungsi yang tidak kalah penting dari media massa adalah fungsi
meyakinkan atau persuasi. Persuasi menurut Devito dan kawan kawan
bisa datang dalam bentuk, mengukuhkan atau memperkuat sikap,
kepercayaan atau nilai seseorang; mengubah sikap, kepercayaan atau
nilai seseorang; menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu dan
memperkenalkan etika atau menawarkan sistem nilai tertentu.
5. Hiburan (entertainment)
Fungsi hiburan bagi sebuah media elektronik menduduki posisi yang
paling tinggi dibanding dengan fungsi lainnya. Maka jangan heran, jika
jam-jam prime time (jam 19.00-21.00) biasanya akan disajikan acara-
acara hiburan baik sinetron, kuis atau acara jenaka lainnya. Sangat sulit
diterima penonton seandainya, pada jam prime time itu menyiarkan
acara dialog politik (Nurudin, 2003: 183).
6. Penyebaran nilai-nilai
Media massa memperlihatkan pada khalayaknya bagaimana mereka
bertindak dan apa yang diharapkan mereka dari khalayaknya. Dengan
kata lain, media mewakili kita dengan model peran yang kita amati dan
harapan untuk menirunya. Di antara media massa, televisi sangat
berpotensi untuk terjadinya sosialisasi (penyebaran nilai-nilai) pada
anak muda terutama anak-anak yang telah melampaui usia 16 tahun
yang banyak menghabiskan waktunya menonton televisi dibandingkan
kegiatan lainnya.
7. Pengawasan (surveillance)
Fungsi pengawasan ada dua yang pertama: fungsi pengawasan
peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang
ancaman bencana alam, kondisi efek yang memprihatinkan, tayangan
inflasi atau adanya serangan militer. Kedua: fungsi pengawasan
instrumental adalah penyampaian atau penyebaran informasi yang
memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan
sehari-hari, seperti informasi saham, produk baru dan lain-lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


16

2.2.1.2.Ciri-Ciri Komunikasi Massa


Setidaknya ada 5 ciri dari komunikasi massa yang diinventarisi oleh
Onong Uchjana Efendy (dalam Fajar, 2009: 226-231):
1. Komunikasi massa berlangsung satu arah
Tidak seperti komunikasi antarpersona yang berlangsung dua arah,
komunikasi massa berlangsung satu arah (one way communication),
yang berarti tidak ada arus balik kepada komunikator. Komunikator
pada gilirannya dapat juga mengetahui tanggapan dari sejumlah
komunikannya. Sekalipun demikian tetap harus diingat bahwa
tanggapan yang berasal dari komunikan itu terjadi setelah proses
komunikasi itu sendiri berlangsung, sehingga komunikator sudah tidak
bisa lagi mengubah gaya komunikasinya seperti kalau komunikasi
tersebut terjadi seperti pada komunikasi tatap muka.
2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga
Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan
lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi, oleh karena itu,
komunikatornya melembaga (institutionalize communicator atau
organized communicator). Komunikator pada komunikasi massa
dinamakan juga komunikator kolektif, karena penyebaran pesan
komunikasi massa merupakan hasil kerja sama sejumlah kerabat kerja
yang memiliki keterampilan yang tinggai pada bidangnya masing-
masing. Sehingga pada akhirnya komunikasi sekunder sebagai
kelanjutannya dapat berjalan dengan baik.
3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum
Pesan yang disampaikan melalui media massa bersifat umum
(public) karena ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan
umum. Pesan tidak ditujukan untuk perseorangan atau kepada
sekelompok orang tertentu, hal inilah yang membedakan media massa
dengan media yang bukan massa.
4. Media massa menimbulkan keserempakan
Ciri lain dari media massa adalah kemampuannya untuk
menimbulkan keserempakan (simultaneity) pada pihak khalayak dalam

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


17

menerima pesan-pesan yang disampaikan. Hal inilah yang merupakan


ciri paling hakiki dibandikan dengan media komunikasi lainnya.
Keserempakan dalam menyampaikan pesan ini dapat dilihat dari pesan
yang disebarkan melalui papan pengumuman dan poster dengan pesan
yang disampaikan dengan radio. Jika menggunakan poster dan papan
pengumuman maka pesan yang akan disampaikan tidak secara
langsung diterima oleh semua masyarakat, melainkan pesan yang
disampaikan akan diterima secara bergantian. Sedangkan jika
menggunakan radio maka pesan akan tersampaikan secara serempak
saat radio itu disiarkan.
5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen
Komunikan atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota
masyarakat terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran
yang dituju komunikator bersifat heterogen. Keberadaan mereka
terpencar-pencar, satu sama lain tidak saling mengenal dan tidak
memiliki kontak pribadi, mereka saling berbeda dalam berbagai hal,
seperti pekerjaan, latar belakang, kebudayaan, ideologi, agama dan
lain-lainnya.

2.2.1.3.Bentuk-Bentuk Media Massa


Adapun beberapa industri massa yaitu (McQuails, 2011: 11-13):
1. Surat kabar
Surat kabar atau koran khalayaknya sangatlah heterogen, karena
semuanya hendak dijangkau kecuali anak-anak. Sekitar 98 pembaca
koran selalu membaca berita di halaman pertama, namun hanya 58
persen yang membaca artikel-artikel lainnya (Rivers, 2003: 303). Surat
kabar terbagi secara merata antara pengiriman pagi dan sore. Akan
tetapi pada saat sekarang ini penggunaan surat kabar sudah mulai
menurun. Iklan adalah pengisi hampir dua pertiga ruang cetak pada
surat kabar. Kebanyakan surat kabar mulai meluncurkan edisi online
untuk memperluas jangkauan.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


18

2. Majalah
Menurut Magazine Pubishers Of America, jumlah penerbitan
majalah sudah mulai menurun, banyak majalah yang kehilangan usaha
dibandingkan dengan munculnya majalah baru. Untuk menyiasati
kerugian majalah menaikkan harga berlangganan dan menjaga
pendapatan dari iklan. Beberapa majalah juga sudah mengeluarkan
edisi online.
3. Film
Gabungan antara beberapa studio besar dan independen
menghasilkan sekitar 400 film per tahun. Industri ini lebih banyak
mengumpulkan lebih banyak uang dikarenakan harga tiket yang lebih
tinggi. Akan tetap, semakin banyak orang menonton film di rumah
dibandingkan di bioskop, kurangnya minat orang menonton
menjadikan jumlah bioskop semakin berkurang. Karena antusias yang
semakin berkurang, bioskop pun menawarkan kenyamanan menonton
dengan adanya penerapan tempat duduk seperti stadion, yang
menjadikan setiap orang pandangannya tidak terganggu ke layar.
4. Televisi
Terdapat dua jenis televisi yaitu televisi kabel dan televisi
berlangganan. Penggunaan televisi kabel menurun sedangkan
penggunaan TV kabel semakin meningkat dan berkembang dengan
cepat. Sehingga banyak jaringan televisi ikut menginvestasikan dalam
jumlah besar dalam pengaturan program televisi berlangganan.
5. Radio
Radio adalah penyiaran informasi berupa audio. Radio terdiri dari
stasiun AM dan FM. Radio menawarkan berbagai jenis musik yang
hampir tidak terbatas, dan pilihan siaran yang beragam tanpa henti.
Karena tayangan yang tiada henti mengakibatkan pendapatan iklan
menurun dan mengakibatkan penurunan pendapatan bagi radio, selain
itu pendengar radio juga semakin sedikit.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


19

2.2.1.4.Elemen Komunikasi Massa


Dalam komunikasi massa pengirim sering disebut sebagai sumber
(source) atau komunikator sedangkan penerima pesan yang berjumlah
banyak disebut audience, komunikan, pendengar, pemirsa, penonton,
pembaca. Sementara saluran dalam komunikasi massa yang dimaksud
antara lain televisi, radio, surat kabar, buku, film, kaset/CD, internet yang
sering disebut sebagai media massa. Ada beberapa elemen dalam
komunikasi massa antara lain (Nurudin, 2003: 87):
1. Komunikator
Komunikator dalam komunikasi massa sangat berbeda dengan
komunikator dalam bentuk komunikasi yang lain. Komunikator di sini
meliputi jaringan, stasiun lokal, direktur, staf teknis yang berkaitan
dengan sebuah acara televisi. Jadi komunikator adalah gabungan dari
berbagai individu dalam sebuah lembaga media massa.
2. Isi
Masing-masing media punya kebijakan sendiri dalam isinya. Sebab,
masing-masing media itu tidak hanya melayani masyarakat yang
beragam tetapi juga menyangkut individu atau kelompok sosial. Bagi
Ray Eldon Hieber dan kawan-kawan (1985) isi media setidak-tidaknya
bisa dibagi ke dalam lima kategori yakni: 1) berita dan informasi, 2)
analisis dan interpretasi, 3) pendidikan dan sosialisasi, 4) hubungan
masyarakat dan persuasi, 5) iklan dan bentuk penjualan lain dan
hiburan.
3. Audiences
Tidak bisa dipungkiri, audience yang dimaksud dalam komunikasi
massa ini sangat beragam, dari jutaan penonton televisi, ribuan
pembaca buku atau ratusan pembaca jurnal ilmiah. Masing-masing
audience ini berbeda satu sama lain. Mereka berbeda dalam cara
berpakaian, berpikir, menanggapi pesan yang diterima, pengalaman
dan orientasi hidupnya. Tetapi masing-masing individu ini juga bisa
saling mereaksi satu sama lain terhadap pesan yang diterimanya.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


20

4. Umpan balik
Ada dua umpan balik (feedback) dalam komunikasi yakni umpan
balik langsung (immediated feedback) dan tidak langsung (delayed
feedback). Umpan balik langsung terjadi jika komunikator dan
komunikan bisa berbicara langsung. Artinya, antara komunikator dan
komunikan dalam komunikasi massa tidak terjadi kontak langsung
yang memungkinan mereka mengadakan reaksi langsung satu sama
lain. Umpan balik secara tidak langsung misalnya ditunjukkan dalam
letter to the editor/surat pembaca/pembaca penulis. Dalam rubik ini
biasanya sering kita lihat koreksi pembaca atas berita atau gambar yang
ditampilkan media cetak.
5. Gangguan
Gangguan dalam saluran komunikasi massa biasanya selalu ada. Di
dalam media cetak ganguan bisa berupa suatu kesalahan cetak, kata
yang hilang, atau paragraf yang dihilangkan. Itu juga termasuk gambar
tidak jelas di pesawat televisi.
6. Gatekeeper
Istilah gatekeeper ini pertamakali dikenalkan oleh Kurt Lewin
dalam bukunya Human Relations (1947). Kata itu merupakan istilah
yang berasal dari lapangan sosiologi tetapi kemudian digunakan pula
dalam lapangan penelitian komunikasi massa.
John R Bittner (1996) mengistilahkan gatekeeper sebagai “individu-
individu atau kelompok orang-orang yang memantau arus informasi
dalam sebuah saluran komunikasi (massa)”. Jika diperluas maknanya,
yang disebut sebagai gatekeeper adalah orang yang berperan penting
dalam media massa seperti surat kabar, majalah, televisi, radio, video
tape, compact disk dan buku.
7. Pengatur
Ada pola hubungan yang saling terkait antara media massa dengan
pihak lain. Pihak lain yang dimaksud adalah pemerintah dan
masyarakat. Hubungan ini biasanya selalu berjalan tidak harmonis.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


21

Sebab masing-masing pihak berbeda tuntutan dan saling menguasai


satu sama lain.
8. Filter
Maka yang dimaksud filter adalah kerangka berfikir melalui mana
audience menerima pesan. Filter ibarat sebuah bingkai kacamata
dimana audience bisa melihat dunia. Ini berarti dunia rill yang diterima
dalam memori sangat tergantung dari bingkai tersebut. Ada beberapa
filter antara lain, fisik, psikologis, budaya dan yang berkaitan dengan
informasi.

2.2.2. Televisi
Televisi adalah alat penangkap siaran bergambar, yang berupa audio
visual dan penyiaran videonya secara broadcasting. Istilah ini berasal dari
Bahasa yunani yaitu tele (jauh) dan vision (melihat), jadi secara harfiah
berarti “jauh melihat” kerena pemirsa berada jauh dari studio TV
(Zoebazary, 2010: 255).
Televisi adalah media pandang juga sekaligus media pendengar
(audio visual), yang dimana orang tidak hanya memandang gambar yang
ditayangkan televisi, tetapi sekaligus mendengar atau mencerna narasi
dari gambar tersebut (Badjuri, 2010: 39). Karena sifanya yang audio
visual itu membuat televisi merupakan suatu media yang unik sebagai
penyampaian pesan iklan, “Television unique and powerful advertising
medium because it contains the dements of sight, sound and motion, which
can be combined to created a variety of advertising appeal an
executions.” Televisi adalah media periklanan yang ideal, kemampuannya
untuk menggabungkan gambar-gambar visual, suara, gerakan dan warna
memberikan kesempatan pengiklan membangun daya cipta (kreatif) yang
paling hebat dan daya tarik imajinasi aktif dibandingkan media lainnya.
Menurut Skomis (1985), dibandingkan dengan media massa lainnya
(radio, surat kabar, majalah, buku dan lain sebaginya), televisi tampaknya
mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media
dengar dan gambar. Bisa bersifat informatif, hiburan, maupun pendidikan,

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


22

bahkan gabungan dari ketiga unsur tadi. Dari berbagai media kontemporer
saat ini, televisi merupakan media yang paling diminati oleh publik dan
paling memberikan pengaruh besar pada khalayak (Goonasekera, 2002:
2). Harold D Laswell (1946), televisi sebagai bagian dari komunikasi
massa mengungkapkan bahwa media massa memiliki fungsi:
1. Fungsi pengawasan sosial (social surveillance) yakni upaya
penyebaran informasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa
yang terjadi di dalam dan diluar lingkungan sosial dengan tujuan
kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
2. Fungsi korelasi sosial (social correlation) merujuk pada upaya
pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan antar
kelompok sosial atau antar pandangan dengan tujuan konsensus.
3. Fungsi sosialisasi merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai dari
satu generasi ke generasi lainnya atau dari satu kelompok ke
kelompok lainnya.

2.2.2.1.Karakteristik Televisi
Dalam buku Elvinaro (2007: 137-139) terdapat tiga macam
karakteristik televisi, yaitu:
1. Audiovisual
Televisi memiliki kelebihan dibandingkan dengan media penyiaran
lainnya, yakni dapat didengar sekaligus dilihat. Jadi apabila khalayak
radio siaran hanya mendengar kata-kata, musik dan efek suara, maka
khalayak televisi dapat melihat gambar bergerak.
2. Berfikir dalam gambar
Ada dua tahap yang dilakukan proses berfikir dalam gambar.
Pertama adalah visualisasi (visualization) yakni menerjemahkan kata-
kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar secara
individual. Kedua, penggambaran (picturization) yakni kegiatan
merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa sehingga
kontinuitasnya mengandung makna tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


23

3. Pengoperasian lebih kompleks


Dibandingkan dengan rasio siaran, pengoperasian televisi siaran
jauh lebih kompleks dan lebih banyak melibatkan orang. Peralatan
yang digunakan pun lebih rumit dan harus dilakukan oleh orang-orang
yang terampil.

2.2.2.2.Kekuatan dan kelemahan televisi


Ada empat kekuatan televisi, yaitu (Syahputra, 2006: 70):
1. Menguasai jarak dan waktu, karena teknologi televisi
menggunakan elektromagnetik, kabel-kabel dan fiber yang
dipancarkan transmisi melalui satelit.
2. Sasaran yang dicapai untuk menjangkau massa cukup besar, nilai
aktualitas terhadap suatu liputan atau pemberitaan cukup cepat.
3. Daya rangsang terhadap media televisi cukup tinggi. Hal ini
disebabkan oleh kekuatan suara dan gambarnya yang bergerak
(ekspresif).
4. Informasi atau berita-berita yang disampaikan lebih singkat, jelas
dan sistematis.

Sedangkan kelemahan televisi, yaitu (Syahputra, 2006: 70):

1. Media televisi terkait waktu tontonan.


2. Televisi tidak bisa melakukan kritik sosial dan pengawasan sosial
secara langsung dan vulgar.
3. Pengaruh televisi lebih cenderung menyentuh aspek psikologis
massa. Bersifat “transitory”, karena sifat ini membuat isi pesannya
tidak dapat di memori oleh pemirsanya. Lain halnya dengan media
cetak, informasi dapat disimpan dalam bentuk kliping.

2.2.3. Iklan
Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai “any paid form of
nonpersonal communication about an organization, product, service, or
ide by an identified sponsor” (setiap bentuk komunikasi nonpersonal

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


24

mengenai suatu organisasi, produk, servis atau ide yang dibayar oleh satu
sponsor yang diketahui). Adapun maksud “dibayar‟ pada defenisi tersebut
menunjukkan fakta bahwa ruang atau waktu bagi satu pesan iklan pada
umumnya harus dibeli. Maksud kata “nonpersonal‟ berarti suatu iklan
melibatkan media massa (TV, radio, majalah, koran) yang dapat mengirim
pesan ke sejumlah besar kelompok individu pada saat bersamaan
(Morisan, 2010: 17).
Menurut KKBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) iklan merupakan
pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual,
dipasang di dalam media massa (seperti surat kabar dan majalah) atau di
tempat umum. Istilah advertising (periklanan) berasal dari kata Latin abad
pertengahan advertere, “mengarahkan perhatian kepada”. Istilah ini
menggambarkan tipe atau bentuk pengumuman publik apa pun yang
dimaksudkan untuk mempromosikan penjualan komoditas atau jasa,
untuk menyebarkan sebuah pesan sosial atau politik (Danesi, 2010: 362).
Sedangkan definisi iklan secara sederhana yakni pesan yang menawarkan
suatu produk untuk ditujukan kepada masyarakt lewat suatu media.
Dengan demikian periklanan dapat diartikan sebagai taktik untuk memikat
audience melalui berbagai strategi, serta mengevaluasinya, sehingga
dapat menganalisis efektifitas komunikasi antara source dan decoder
(Santosa, 2009 : 1).
Iklan (advertisement) adalah produk yang dihasilkan dari kegiatan
beriklan (periklanan atau advertising). Jadi, iklan adalah produknya
(barangnya, pesannya, bendanya). Sementara itu, iklan adalah segala
bentuk pesan tentang suatu produk yang disampaikan melalui suatu
media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada
sebagian atau seluruh masyarakat. Dalam komunikasi periklanan, iklan
tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat
komunikasi lainnya seperti gambar, warna dan bunyi. iklan disampaikan
melalui dua saluran media massa, yaitu (1) media cetak (surat kabar,
majalah, brosur dan papan iklan). (2) media elektronik (radio, TV, film).
Pengiriman pesan adalah misalnya, penjualan produk sedangkan

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


25

penerimanya adalah khalayak ramai yang menjadi sasarannya (Sobur,


2003: 116).
Iklan sebagai salah satu bentuk komunikasi massa. Menurut Tilman
dan Kirkpatrick iklan merupakan komunikasi massa yang menawarkan
janji kepada konsumen melalui pesan yang informatif sekaligus persuasif,
menjanjikan tentang adanya barang dan jasa yang dapat memenuhi
kebutuhan, tempat memperolehnya dan kualitas barang dan jasa. Menurut
Wright iklan merupakan media komunikasi massa. Pembeda iklan dengan
teknik komunikasi pemasaran yang lain adalah komunikasi yang non-
personal, jadi iklan memakai media dengan menyewa ruang dan waktu.
Di samping itu peranan iklan antara lain dirancang untuk memberikan
saran pada orang agar mereka membeli suatu produk tertentu membentuk
hasrat memilikinya dengan mengkonsumsinya secara tepat. Jenis iklan di
media massa digolongkan dalam dua bagian, yaitu (Kuswandi, 1996: 81):
1. Iklan Komersial
Adalah bentuk promosi suatu barang produksi atau jasa
melalui media massa dalam bentuk tayangan gambar maupun
bahasa yang diolah melalui film maupun berita. Misal iklan
makanan, obat dan pakaian.
2. Iklan Layanan Masyarakat
Adalah bentuk tayangan gambar baik drama, film, musik
maupun bahasa yang mengarahkan pemirsa atau khalayak sasaran
agar berbuat atau bertindak seperti dianjurkan iklan tersebut.
Seperti iklan pariwisata, sumbangan bencana, membayar iuran TV,
kesehatan dan sebagainya.
Pengelolaan pemasaran suatu perusahaan beriklan dalam berbagai
tingkatan atau level. Misalnya, iklan level nasional atau lokal/retail
dengan target yaitu masyarakat, konsumen secara umum atau iklan untuk
level industri atau disebut juga dengan business to business advertising
atau professional advertising. Berikut tipe atau jenis iklan dapat diuraikan
sebagai berikut (Morisan, 2008: 20):

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


26

1. Iklan nasional
Pemasang iklan adalah perusahaan besar dengan produk
yang tersebar secara nasional atau di sebagian besar wilayah suatu
negara. Iklan nasional pada umumnya muncul pada jam tayang
utama (prime time) di TV yang memiliki jaringan siaran secara
nasional dan juga pada berbagai media besar nasional serta media-
media lainnya.
2. Iklan lokal
Pemasang iklan adalah perusahaan pengecer atau perusahaan
dagang tingkat lokal. Iklan lokal bertujuan untuk mendorong
konsumen agar berbelanja pada toko-toko tertentu atau
menggunakan jasa lokal atau mengunjungi suatu tempat atau
institusi tertentu. Promosi yang dilakukan iklan lokal sering dalam
bentuk aksi langsung (direct action advertising) yang dirancang
untuk memperoleh penjualan secara cepat.
3. Iklan primer dan seleksif
Iklan primer atau disebut juga dengan primary demand
advertising dirancang untuk mendorong permintaan terhadap suatu
jenis produk tertentu atau untuk keseluruhan industri pemasang
iklan akan lebih fokus menggunakan iklan primer apabila merek
produk jasa yang dihasilkan mendominasi pasar dan mendapat
keuntungan paling besar jika permintaan terhadap jenis produk
bersangkutan secara umum meningkat. Iklan selektif atau selective
demand advertising memusatkan perhatian untuk menciptakan
permintaan terhadap suatu merek tertentu. Kebanyakan iklan
berbagai barang dan jasa yang muncul di media adalah bertujuan
untuk mendorong permintaan secara selektif terhadap suatu merek
atau barang jasa tertentu. Iklan selektif lebih menekankan pada
alasan untuk membeli suatu merek produk tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


27

2.2.3.1.Periklanan Internet
Pada tahun 1996, America online membuka sebuah jendela
nonkomersial terakhir di ruang maya (cyberspace) dengan menggunakan
ruang-ruang chat publiknya terbuka bagi para pengiklan. Iklan –iklan
berotasi setiap menit, muncul di sudut kanan atas layar. Dalam sebuah
survei Ernst dan Young, hampir setengah jumlah pengecer yang menjadi
responden berkata bahwa mereka memperkirakan internet meningkatkan
penjualan hingga 10% pada tahun 2000. Menurut majalah fortune, semakin
banyak bisnis yang mendapati bahwa internet atau web, mulai mirip
dengan sebuah mall (Lee, 2007: 281).

A. Internet
Internet merupakan jaringan global dari komputer-komputer yang
saling terhubungkan dimana satu individu yang terhubung dengan sebuah
jaringan dapat bercakap–cakap dengan komputer mana pun dari ribuan
komputer lain seandainya jaringan tersebut juga terhubungkan dengan
berbagai jaringan. Tanpa bergantung dari sistem operasi jaringan atau
komputer pribadi.
Internet awalnya merupakan sebuah proyek Dapartemen Pertahanan
Amerika Serikat pada tahun 1960an sebagai piranti untuk menjamin
komunikasi selama serangan nuklir. Ini tumbuh menjadi sarana berbagi
informasi di kalangan universitas pada tahun 1970-an dan 1980-an untuk
proyek-proyek riset. Pada tahun 1990-an menjadi saksi kelahiran world
wide web (www), hypertext dan browser grafis telah menjadikan ruang
maya sebuah tempat yang sangat bersahabat dan mengakibatkan banyak
pihak berhamburan agar terhubung. Satu kesalah tafsiran yang umum
dijumpai, yaitu bahwa web dan internet adalah satu dan sama. Tentu saja
bukan. Istilah internet merujuk pada infrastuktur fisik dari sebuah jaringan
komputer global yang saling terhubung. Web merujuk pada satu dari banyak
mode penyimpanan dan transfer data yang umun digunakan di internet (Lee,
2007: 282).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


28

1. Periklanan Web
Ribuan pemasar telah berpaling ke internet sebagai sebuah media
prospektif untuk mempromosikan merek-merek mereka dan
mentransaksikan penjualan. Ratusan perusahaan telah berbondong-bondong
untuk pamer diri di situs web, yang dikenal juga sebagai homepage.
Kebanyakan dari meraka menawarkan iklan-iklan produk dan jasa
perusahaan. Homepage juga digunakan untuk menebarkan materi-materi
promosi seperti edaran pers, paparan latar belakang (sejarah perusahaan),
berita berkala, dan materi pendidikan konsumen. Sebagai tambahan,
perusahaan-perusahaan sekarang menggunakan internet demi tujuan
promosi produk dan insentif-insentif lain (Lee, 2007: 285).

2. Periklanan Media Massa Televisi


Televisi merupakan salah satu media massa yang cukup diminati
oleh para advertiser (pengiklan) karena salah satu keunggulan media massa
televisi adalah menciptakan daya rangsang yang kuat pada khalayak
dibanding jenis media massa lainnya. Dengan memasang iklan di televisi
juga dapat memvisualisasikan atau mendemontrasikan produk atau jasa
yang diperjualbelikan.
Pada awalnya periklanan di televisi hanya mengandalkan TVC (TV
Commercial) atau spot commercial break (jeda iklan di setiap program).
Adapun spot yang dijual bisa berdurasi 60 detik, 30 detik, 15 detik dan 10
detik. Hal ini dianggap efektif oleh para advertiser karena pada saat itu
stasiun TV di Indonesia masih terbatas serta teknologi yang ada masih
belum berkembang dengan pesat. Dengan adanya keterbatasan tersebut,
maka khalayak tidak dapat menghindari munculnya iklan pada acara yang
diselenggarakan oleh stasiun TV dan khalayak yang dijangkau lebih luas
(Wikipedia.org/wiki).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


29

2.2.3.2.Fungsi dan tujuan iklan


Lee dan Johnson (2004: 10) membagi fungsi dari periklanan
menjadi:
a. Memberikan informasi, periklanan dapat menambah nilai suatu
produk dengan memberikan informasi tentang produk, ciri-ciri dan
lokasi penjualan dan juga menginformasikan tentang produk-
produk baru kepada konsumen.
b. Persuasif atau membujuk, mempengaruhi para konsumen untuk
membeli merek-merek tertentu atau mengubah sikap mereka
terhadap produk atau perusahaan.
c. Pengingat, terus menerus mengingatkan konsumen tentang sebuah
produk sehingga mereka akan membeli produk yang diiklankan
tanpa memperdulikan merek-merek pesaing.

Tujuan periklanan berhubungan dengan tujuan dari komunikasi atau


penjualan spesifik yang perlu dicapai pada tahap sekarang dalam siklus
kehidupan merek. Iklan didesain untuk mencapai beberapa tujuan: (1).
Membuat pasar sasaran menyadari (aware), (2). Memfasilitasi pemahaman
konsumen tentang berbagai atribut dan manfaat merek yang diiklankan
dibanding merek-merek pesaing, (3). Mengingatkan sikap-sikap dan
mempengaruhi niatan untuk membeli, (4). Menarik sasaran agar mencoba
produk, (5). Mendorong perilaku pembelian ulang (Shimp, 2003: 368).

2.2.4. Makna Kecantikan


Menurut KBBI, cantik yaitu elok, molek (tentang wajah dan muka
perempuan), indah dalam bentuk dan buatannya, cantik sekali bentuk, rupa,
dan lainnya tampak serasi. Seperti diungkapkan Bungin bahwa kecantikan
direpresentasikan dalam rupa kulit whiteness (menjadi putih), rambut hitam,
tebal dan lurus, bertubuh slim, memiliki kesegaran tubuh, adanya
kebersihan, kemewahan, keanggunan dan berparas menawan. Kecantikan
adalah sebuah kata yang sangat identik pada perempuan. Kata cantik berasal
dari bahasa latin, bellus, yang pada saat itu diperuntukkan bagi para

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


30

perempuan dan anak-anak (Melliana, 2006:11). Kecantikan bagi perempuan


dikaitkan dengan kelembutan dan feminitas yang dimiliki perempuan.
Perempuan cantik dalam buku Barbie Culture adalah perempuan yang
sering diterima masyarakat, perempuan cantik pasti mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi daripada perempuan yang tidak memiliki wajah yang
cantik.
Wanita merupakan segmen pasar yang sangat potensial. Banyak
produk-produk kecantikan yang beredar di pasaran merupakan bukti bahwa
wanita adalah pasar yang potensial, oleh karena itu wanita sering dijadikan
model atau bintang dalam iklan, alasan utama dari hal tersebut karena
sebagian besar iklan ditujukan kepada kaum wanita sebagai pembeli
potensial dari produk yang diiklankan. Kulit yang halus, putih dan wangi
adalah impian setiap wanita di Indonesia, sehingga warna kulit yang putih
adalah tema yang muncul berulang-ulang untuk mendefinisikan kecantikan
dan feminitas (Rumambi, 2009: 10).
Mitos tentang kecantikan menyatakan hal: Kualitas yang disebut
dengan cantik benar-benar ada secara objektif dan universal. Kecantikan
adalah sistem pertukaran seperti halnya standar emas. Seperti semua yang
ada dalam lingkaran ekonomi, kecantikan juga ditentukan oleh sistem
politik. Pada abad moderen, di negara-negara barat, kecantikan menjadi
agama terakhir dan terbaik. Kecantikan sesungguhnya bukan hal yang
universal ataupun tidak bisa diubah, meskipun orang barat percaya bahwa
segenap kecantikan perempuan yang ideal berawal dari sosok yang Platonis
(Wolf, 2004: 28-29).
Standar kecantikan dipengaruhi oleh pandangan budaya patriarki,
sosial, ekonomi dan politik dalam jangka waktu tertentu. Hal tersebut
kemudian dilihat oleh kaum kapitalis dimana mereka ingin melanggengkan
standar kecantikan dan menciptakan produk, para kaum kapitalis
membentuk standar kecantikannya sendiri untuk mendukung produknya.
Perempuan cantik sering divisualisasikan dengan perempuan yang
berkulit putih, memiliki tubuh yang proporsional yakni langsing, perut
datar, payudara kencang dan pantat yang sintal (Melliana, 2006: 4). Konsep

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


31

kecantikan yang ada di media dikonstruksikan sebagai ideal yang berkutat


pada keindahan tubuh dan fisik
Kata “cantik” lebih identik pada syarat-syarat atau sifat-sifat fisik,
baik kecantikan wajah atau kecantikan tubuh dan keserasian anggota-
anggotanya. Sebagai contohnya, bangsa Arab sangat memuji keindahan
mata seseorang. Mereka mengumpamakan dengan mata bidadari dari segi
lebar dan kejelitaannya. Namun, tidak semua mata dengan bentuk seperti ini
dapat cocok dengan wajah pemiliknya, terkadang bentuk mata yang seperti
ini hanya cocok untuk bentuk wajah tertentu dan tidak untuk bentuk wajah
yang lainnya. Selain mata, bentuk mulut dan juga pipi seseorang dapat
dikatakan cantik pada bagian wajah seseorang, seperti misalnya bentuk bibir
yang tipis atau tebal dan juga pipi yang tembam atau tirus (Mahami, 2016:
16).
Perempuan lebih memperhatikan penampilan fisiknya dibandingkan
laki-laki, juga kerena pendapat bahwa keberhasilan dalam menyesuaikan
diri di masyarakat dipengaruhi oleh bagaimana masyarakat memandang dan
menilai penampilan fisiknya. Sejak masa kanak-kanak hingga dewasa,
perempuan diajarkan oleh lingkunganya untuk meyakini bahwa kecantikan
fisik adalah sumber daya tariknya. Daya tarik fisik perempuan menjadi hal
utama untuk mengukur kebanggan seseorang perempuan dalam
masyarakatnya (Melliana, 2006: 16). Hal tersebut dapat dikatakan,
bagaimana penampilan merupakan bentuk kontrol sosial yang
mempengaruhi perempuan melihat dirinya dan bagaimana ia dilihat oleh
masyarakat sekitarnya. Harapan perempuan tentang kecantikan fisik
tersebut telah menambah akan pentingnya nilai kecantikan itu sendiri,
sehingga perempuan menjadi semakin rapuh dan juga peka akan
penampilan mereka sendiri.
Kita tidak dapat menyalahkan para perempuan karena menjadi
makhluk yang sangat perduli dengan segala hal yang berkenaan pada
penampilan fisik. Banyak penelitian membuktikan bahwa daya tarik fisik
bukanlah semata-mata masalah selera perorangan, melainkan merupakan
stereotype fisik yang telah disetujui bersama sebagai alat pengukur

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


32

kecantikan. Jika stereotype mungkin sangat beragam antar budaya dan


kelompok etnis, sebaliknya, daya tarik fisik memiliki persamaan umum di
berbagai kelompok sosial (Melliana, 2006: 18). Lingkungan disekitar kita
sering kali menilai seseorang berdasarkan cara berpakain, cara bicara dan
cara berjalan, sikap dan juga tampilan fisiknya. Para perempuan yang
menarik secara fisik dapat dikatakan dengan keperibadian yang lebih baik,
lebih sosial dan lebih komunikatif, sedangkan perempuan yang tidak
menarik secara fisik dapat dikatakan sebaliknya. Maka bila perempuan
tersebut sudah dianggap menarik secara fisik tetapi tidak menampilkan
perilaku yang diharapkan, orang lain akan menyayangkan sikapnya yang
tidak secantik fisiknya tersebut.
Laki-laki sebagai pihak yang dianggap memiliki kuasa di masa
lampau telah menyeleksi beberapa simbol sebagai suatu dasar penting untuk
membangun citra diri (Self Image). Sebuah contoh mengetahui nilai
simbolis adalah tingkat penampilan visual tubuh tertentu yang dihargai. Ini
bisa mencakup pakaian, pewarnaan badan (termasuk pemakain kosmetik),
atau bahkan ukuran dan bentuk tubuh. Simbol-simbol hasil seleksi kaum
laki-laki inilah yang menjadi ukuran kecantikan bagi wanita (Ollenburger,
2002: 22).
Soal kulit putih, Mulyana dalam bukunya mengatakan kulit putih
dianggap berstatus lebih tinggi dari pada kulit hitam, konon didambakan
87% wanita Indonesia menurut sebuah iklan kosmetik TV swasta. Akan
halnya kecantikan, seorang wanita yang paling cantik dalam banyak budaya
adalah yang wajahnya paling menarik dan tubuhnya yang paling seksi (plus
kulitnya yang paling mulus), namun dalam budaya lain mungkin yang
rambutnya paling keriting (dan banyak kutunya), paling pucat wajahnya,
paling hitam kulitnya, atau paling lebat bulu ketiaknya. Pendek katanya
kecantikan selalu dikonstruksikan oleh masyarakat. Bagaimana perempuan
menilai tubuhnya akan sangat berkaitan dengan bagaimana lingkungan
sosial dan budaya di luar dirinya menilai tubuh perempuan. Artinya
kalangan perempuan akan terus berusaha untuk menyesuaikan bentuk tubuh
mereka dengan kata sosial dan budaya masyarakat tentang konsep

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


33

kecantikan. Namun kini media massa yang merambah berbagai budaya


telah banyak merubah citra kecantikan-kecantikan tersebut. Salah satu citra
kecantikan moderen adalah tubuh yang ramping (Mulyana, 2005: 178).
Berbagai informasi yang disampaikan oleh media massa yang
dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan norma sosial yang lebih menuntut
perempuan untuk mengusung feminitas tradisional yang diartikan dengan
selalu tampil cantik dan menarik dengan tubuh yang langsing (Amelia,
2009: 4). Iklan-iklan mereka berusaha untuk membentuk persepsi tentang
ukuran-ukuran ideal, sehingga menciptakan kebutuhan bagi perempuan
untuk mencapai penampilan yang ideal tadi. Beberapa penelitian menujukan
bahwa iklan-iklan yang terdapat dalam majalah dan media perikalanan
lainnya sering digunakan sebagai standar perbandingan sosial. Model iklan
yang dimunculkan oleh media massa dan media periklanan dianggap
memiliki daya tarik tersendiri sebagai representasi tersendiri dari standar
ideal masyarakat sehingga mereka menjadi target yang menarik untuk
dijadikan objek perbandingan (Froezt, 2002: 6).
Iklan telah membentuk suatu ideologi tentang makna atau image
kecantikan. Iklan yang disampaikan melalui media massa memiliki peran
yang sangat besar dalam memproduksi dan mengkontruksi arti kecantikan.
Dalam banyak iklan, wanita dikatakan cantik apabila dia muda, berkulit
putih, wajah mulus tanpa jerawat, berambut hitam lurus dan tidak
berketombe, dan memiliki tubuh yang langsing. Seacara tidak langung iklan
pun membentuk atau memperkuat image perempuan “cantik” (Aprilia,
2005: 41).
Pembentukan citra kecantikan yang dibuat iklan menawarkan
berbagai harapan untuk mendapatkan keidealan tersebut. Ukuran cantik
menjadi salah kaprah, yaitu tinggi, langsing dan putih dengan rambut yang
lurus dan panjang. Mereka yang mempunyai kelebihan-kelebihan itu
dianggap beruntung dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Sementara
mereka yang berkulit gelap, gemuk, pendek atau berambut ikal dan keriting
merasa kurang menarik sehingga sebagian besar perempuan berusaha
memperbaiki kekurangan-kekurangannya (Amelia, 2009: 6).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


34

Dampak akhirnya, kecantikan didefinisikan secara sempit, bahwa


kecantikan hanya soal ukuran fisik saja, karena kebanyakan model-model
perempuan yang tampil dalam iklan selalu mengedepankan kecantikan
lewat kontruksi tubuh mereka, yaitu kulit putih dan mulus, rambut panjang
dan hitam berkilau, serta tubuh yang langsing.
Jika mendefinisikan kecantikan menurut budaya atau kultur di
Indonesia adalah hal yang cukup sulit. Hal ini disebabkan karena negara
Indonesia memiliki budaya yang sangat beraneka ragam. Tetapi secara
umum kecantikan ideal wanita Indonesia dapat dinilai dari syarat yang harus
dimiliki oleh setiap perempuan yang ingin menjadi Puteri Indonesia. Syarat
cantik yang harus dimiliki antara lain: tinggi sekitar 168 cm, memiliki
wawasan luas mengenai kebudayaan Indonesia. Parameter penilaian yang
digunakan dalam pemilihan Puteri Indonesia adalah 3B, yaitu: Brain
(Kecerdasan), Beauty (Penampilan menarik), Behavior (Berperilaku baik).
Selain itu, terampil dalam berkomunikasi, dapat berpikir secara rasional,
memiliki pengetahuan umum yang luas dan memiliki kepedulian sosial
yang tinggi serta berwawasan pariwisata (Putri, 2015: 552).
Kecantikan wanita Indonesia berdasarkan literatur Jawa, yaitu
Kakawin melukiskan keindahan kecantikan perempuan berdasarkan pada
fisik perempuan. Rincian kecantikan perempuan ditemukan dalam
manuskrip yang disebut dengan Candraning Awak, menggambarkan
kecantikan perempuan dengan tangan panjang, rambut bergelombang dan
hitam sekali, gigi seperti biji mentimun, tubuhnya lansing dan kuat dan
warna kulitnya seperti kunyit (Budiardjo, 2010: 25).

2.2.5. Semiotik
2.2.5.1.Konsep semiotika
Secara Etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani
semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu
yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap
mewakili sesuatu yang lain (Morisan, 2013: 31). Secara Terminilogis,
semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


35

luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda


(Sobur, 2004: 95).
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda yang ada dalam kehidupan. Tanda-tanda adalah perangkat atau alat
yang digunakan manusia dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini.
Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memaknai hal-hal (things) yang ada dan terjadi. Memaknai (to
signify) dalam hal ini tidak dapat mencampur adukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-
objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu
hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari
tanda (Sobur, 2003: 15).
Sementara, istilah semiotika atau semiotik, yang dimunculkan pada
akhir abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders
Peirce, merujuk kepada “doktrin formal tentang tanda-tanda”. Yang
menjadi dasar semiotika adalah konsep tentang tanda, tak hanya bahasa dan
sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu
sendiri pun-sejauh terkait dengan pikiran manusia seluruhnya terdiri atas
tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin
hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda
yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda–tanda nonverbal
seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial
konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun
dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi
(Sobur, 2009: 1).
Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah “tanda“
yang diartikan sebagai a stimulus designating something other than it self
(suatu stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri).
Pesan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam komunikasi.
Menurut John Powers (1995) pesan memiliki tiga unsur yaitu 1. Tanda dan
simbol, 2. Bahasa dan, 3. Wacana (discourse). Menurutnya, tanda
merupakan dasar dari semua komunikasi. Tanda menunjuk atau mengacu

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


36

pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri, sedangkan makna atau arti adalah
hubungan antara objek ide dengan tanda. Kedua konsep tersebut menyatu
dalam berbagai teori komunikasi, khususnya teori komunikasi yang
memberikan perhatian pada simbol, bahasa serta tingkah laku non verbal.
Kelompok teori ini menjelaskan bagaimana tanda yang dihubungkan
dengan makna dan bagaimana tanda diorganisasi. Studi yang membahas
mengenai tanda ini disebut dengan semiotika (Morisan, 2013: 31).
Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial,
memahami dunia sebagai suatu sistem hubungan yang memilki unit dasar
dengan “tanda”. Maka dari itu, semiotika, Umberto Eco menyebut tanda
sebagai suatu “kebohongan” dan di dalam tanda ada sesuatu yang
tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Saat
memahami teks media, seringkali kita dihadapkan pada tanda-tanda
semacam ini, yang perlu diinterpretasikan dan dikaji ada apa di balik tanda-
tanda itu (Wibowo, 2013: 7-9).
Semiotika modern memang mempunyai dua bapak, yaitu yang satu
Charles Sanders Pierce (1857-1914), yang lain Ferdinan De Saussure (1857-
1913). Mereka tidak saling mengenal (Zoest, 1996: 1). Kenyataan bahwa
mereka tidak saling mengenal, menurut Zoest menyebabkan adanya
perbedaan-perbedaan yang penting, terutama dalam penerapan konsep-
konsep antara hasil karya para ahli semiotik yang berkiblat pada Pierce di
satu pihak dan hasil karya para pengikut Saussure di pihak lain.
Ketidaksamaan itu, kata Zoest mungkin terutama disebabkan oleh
perbedaan yang mendasar: Pierce ahli filsafat dan logika, sedangkan
Saussure adalah cikal bakal lingustik umum (Sobur, 2009 :110).
Dalam pandangan Saussure, makna sebuah tanda sangat dipengaruhi
oleh tanda yang lain. Semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang
beranjak keluar kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks
yang rumik, tersembunyi dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini
kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (connotative) dan
arti penunjukan (denotative) kaitan dan kesan yang ditimbulkan dan
diungkapkan melalui penggunaan dan kombinasi tanda. Pelaksanaan hal itu

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


37

dilakukan dengan mengakui adanya mitos yang telah ada dan sekumpulan
gagasan yang bernilai yang berasal dari kebudayaan dan disampaikan
melalui komunikasi. Hingga saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan
macam semiotik yang kita kenal sekarang. Jenis-jenis semiotik ini antara
lain (Sobur, 2006: 100-101):
1. Semiotik Analitik merupakan semiotik yang menganaisis sistem tanda.
Pierce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan
menganalisisnya menjadi ide, objek dan makna. Ide dapat dikatakan
sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam
lambang yang mengacu pada objek tertentu.
2. Semiotik Deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda
yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu
tetap seperti yang disaksikan sekarang.
3. Semiotik Faunal Zoo merupakan semiotik yang khusus memperhatikan
sistem tanda yang dihasilkan hewan.
4. Semiotik Kultural, merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat.
5. Semiotik Naratif, semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi
yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore).
6. Semiotik Natural, merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang dihasilkan oleh alam.
7. Semiotik Normatif, merupakan semiotik yang khusus membahas sistem
tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.
8. Semiotik Sosial, merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujudkan lambang, baik
lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat.
9. Semiotik Struktural, merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


38

2.2.5.2.Semiotika Model Roland Barthes


Kancah penelitian semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama
Roland Barthes (1915-1980) ahli semiotika yang mengembangkan kajian
yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks
(Wibowo, 2013: 21). Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir
strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi
Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama,
eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Barthes
berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan
asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Barthes
lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg
dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat
daya Prancis (Sobur, 2009: 63).
Roland Barthes, (dalam Purwasito, 2003: 239) memberi pelajaran
berharga tentang bagaimana menganalisis tanda-tanda komunikasi yang ia
sebut semiologi komunikasi, yaitu mementingkan hubungan antara tanda
dengan pengirim dan penerimanya. Dengan begitu, seorang peneliti
menganalisis setiap teks berdasarkan konteksnya, referensinya dan dapat
menggunakan penjelasan sintaksis (ketatabahasaan) dan analisis semantik
(makna tanda-tanda) bahkan historical events dan object, termasuk teks
tertulis (Zamroni, 2009: 92).
Meskipun semiologi Barthes menjadikan linguistik Saussure
sebagai modelnya, tetapi Barthes telah perlu mengingatkan bahwa
semiologi tidak bisa sama dan sebangun dengan linguistik. Klasifikasi
penanda linguistik misalnya, tidak bisa dikerjakan begitu saja pada petanda
semiologis. Petanda dari garmen busana misalnya, bahkan meski
diperantarai melalui tuturan (majalah), tidaklah tentu didistribusikan seperti
petanda dari bahasa selama keduanya tak memiliki panjang yang sama
(disebuah kata, disana sebuah kalimat). Petanda itu tidak memiliki material
lain kecuali penanda tipikalnya. Dalam kasus sistem isologi seperti ini,
orang kemudian tidak bisa menerimanya kecuali dengan memaksakan
padanya sebuah meta bahasa (Sobur, 2009: 63).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


39

Signifier Signified
(penanda) (petanda)

Denotative sign (tanda denotatif)

Connotative Signifier (penanda Connotative Signified (petanda


konotatif) konotatif)

Connotative sign (tanda konotatif)

Gambar Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Alex Sobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Hal.69

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri
atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes,
tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap
pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi), dan signified
(content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Itulah yang
disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign)
(Wibowo, 2011: 16-17).
Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif
yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes
yang berarti bagi penyempurna semiologi Saussure, yang berhenti pada
penandaan dan tatanan denotatif. Konotasi dan denotasi sering dijelaskan
dalam istilah tingkatan representasi atau tingkatan nama. Secara ringkas,
denotasi dan konotasi dapat dijelaskan sebagai berikut (Birowo, 2004: 57):

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


40

Denotasi adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign, dan
antara sign dengan referent (objek) dalam realitas eksternal. Konotasi
adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan perasaan atau
emosi pembaca atau pengguna dan nilai-nilai budaya mereka. Makna
menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih terbuka dalam
penafsirannya pada konotasi dari pada denotasi.
Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak
mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Maknanya disebut
makna denotatif. Makna denotatif memiliki beberapa istilah lain seperti
makna denotasional, makna refrensial, makna konseptual, atau makna
idenasional. Sedangkan konotasi adalah kata yang mengandung arti
tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar
yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna
konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif (Sumadiria, 2006: 27).
Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai
“mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran
bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada suatu periode tertentu. Di dalam
mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun
sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai
pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah
juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua (Sobur, 2004: 69).
Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak
intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan
tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana
cara menggambarkannya. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan
dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Mitos adalah bagaimana
kebudayaan menjelaskan atau memahami berbagai aspek tentang realitas
atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah
mempunyai suatu dominasi (Wibowo, 2011: 16).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


41

2.2.6. Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion


Beberapa tahun belakangan, perkembangan produk kecantikan dari
brand lokal memang sangat pesat. Hal ini pun ditandai dengan banyaknya
kemunculan brand kecantikan baru yang menawarkan berbagai produk
inovatif, mulai dari makeup, skin care, hingga body care. Namun, di tengah
kemunculan brand lokal baru yang kian menjamur, masih ada beberapa
brand kecantikan legendaris yang namanya tetap populer hingga saat ini,
salah satunya adalah Citra. Hadir sejak tahun 1984, secara konsisten Citra
senantiasa menyuguhkan produk-produk perawatan kulit yang tiap
kandungannya terinspirasi dari warisan resep kecantikan para leluhur, yang
juga terwujud dalam Citra Hand and Body Lotion. Dengan 100% natural
essence mutiara Korea yang kaya dengan mineral pencerah alami dan
mulberry yang kaya dengan Vitamin C, serta diperkaya 10X vitamin E
untuk kulit yang lebih dari cerah, namun juga halus dan bening berkilau
(https://journal.sociolla.com/beauty/kemasan-baru-citra-hand-body
lotion/).
Terinspirasi dari warisan resep kecantikan para leluhur yang berasal
dari bahan-bahan alami yang eksotis, Citra dengan rangkaian produknya
hadir untuk mewujudkan impian setiap wanita untuk memiliki kulit cerah
alami khas Indonesia. Dengan bahan-bahan alami eksotis khas Asia yang
telah dipercaya turun-temurun seperti mangir, bengkoang, beras jepang,
royal jelly korea, bubuk mutiara cina, goji berry, teh hijau jepang, wakame
dan bunga anggrek korea, Citra meracik dengan sepenuh hati untuk
menghadirkan rahasia wajah halus bersinar dan kulit cerah alami yang
sempurna.
Kesetiaan Citra pada nilai-nilai kerajinan tradisional dan
komitmennya untuk terus mengolah bahan-bahan alami dengan
keterampilan tinggi berhasil membuat Citra dipercaya oleh wanita
Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Citra terus berinovasi untuk dapat
selalu mempersembahkan yang terbaik bagi wanita Indonesia
(https://www.unilever.co.id/brand/our-brands/citra.html).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


42

2.2.7. Analisis Visual


Dalam analisis visual salah satu yang dapat menghasilkan makna
yaitu gambar. Ada dua aspek yang yang difokuskan dalam menganalisis iklan
yakni aspek visual yang berupa ekspresi tokoh atau brand ambassador serta
cara pengambilan gambar dan setting. Pengambilan gambar merupakan salah
satu elemen penting, pengambilan gambar akan menentukan bagaimana
akhirnya gambar (foto maupun film) dihasilkan. Selain itu, aspek audio yang
berupa narasi, gaya bahasa, pilihan kata, angle (sudut pandang), fokus
pengambilan gambar dan pencahayaan yang ada pada iklan juga menjadi
aspek penting lainnya. Cara pengambilan gambar dalam penelitian ini dapat
berfungsi sebagai penanda. Ada beberapa teknik untuk pengambilan gambar
atau video berdasarkan ukuran gambar. Berikut teknik-teknik yang sering
digunakan:
A. Pengambilan Gambar
1. Extreme long shot (ELS), ukuran gambar ELS merupakan kekuatan
yang ingin menetapkan suatu (peristiwa, pemandangan) yang
sangat- sangat jauh panjang dan luas berdimensi lebar (Fachruddin,
2012: 148).
2. Very long shot (VLS), gambar-gambar opening scene atau bridging
scene dimana pemirsa divisualkan adegan kolosal, kota metropolitan
dan sebagainya. Posisi kamera diletakkan beragam seperti top angle
dari helikopter dan sebagainya (Fachruddin, 2012: 148).
3. Long shot (LS), “size/frame compositions yang ditembak”.
Keseluruhan gambaran dari pokok materi dilihat dari kepala hingga
kaki. LS dikenal sebagai landscape format yang mengantarkan mata
penonton kepada keluasan suatu suasana dan objek (Fachruddin,
2012: 148).
4. Medium long shot (MLS), “ini yang ditembak memotong pokok
materi dari lutut sampai puncak kepala pokok materi.” Setelah
gambar LS ditarik gambar imajiner lalu di zoom-in sehingga lebih

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


43

padat, maka masuk ke medium long shot. Angle MLS sering dipakai
untuk memperkaya keindahan gambar (Fachruddin, 2012: 149).
5. Medium shot (MS), “gambar diambil dari pinggul pokok materi
sampai pada kepala pokok materi”. Ukuran MS, bisa digunakan
sebagai komposisi gambar terbaik untuk wawancara. Dimana
pemirsa dapat melihat dengan jelas ekspresi dan emosi secara
langsung (Fachruddin, 2012: 150).
6. Middle close up (MCU), “dari dada pokok materi sampai puncak
kepala.” MS dapat dikategorikan sebagai komposisi “potret
setengah badan” dengan keleluasaan background yang masih bisa
dinikmati. MS memperdalam gambar dengan menunjukkan profil
dari objek yang direkam (Fachruddin, 2012: 150).
7. Close up (CU), “meliputi wajah yang keseluruhan dari pokok
materi”. Objek menjadi titik perhatian utama dalam pengambilan
gambar dan latar belakang hanya terlihat sedikit. CU fokus kepada
wajah, digunakan sebagai komposisi gambar yang paling baik untuk
menggambarkan emosi atau reaksi seseorang.
8. Big close up (BCU), lebih tajam dari CU, yang mampu
mengungkapkan kedalaman pandangan mata, kebencian raut muka
dan emosional wajah. Tanpa intonasi/narasi BCU sudah bisa
mewujudkan arti reaksi spontanitas atau refleks seseorang. BCU
juga dapat digunakan untuk objek berupa benda wayang, asap rokok
ataupun makanan (Fachruddin, 2012: 150).
9. Extreme close up (ECU), “kekuatan ECU pada kedekatan dan
ketajaman yang hanya fokus pada satu objek”. Paling sering
digunakan untuk memperhebat emosi dari suatu pertunjukkan musik
atau situasi yang dramatis. Kelemahan ECU, akan sulit untuk
menciptakan depth of field, karena jarak objek dan jangkauan lensa
kamera terlalu dekat. Misalnya: ketika anda fokus pada mata maka
gambar di sekitarnya menjadi soft atau tidak fokus (Fachruddin,
2012: 151).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


44

B. Sudut Pandang (Angle) Pengambilan Gambar


1. High angle (HA), Gambar yang diambil dari atas memposisikan
khalayak atau orang berada di atas subjek. Posisi semacam ini secara
tidak langsung memposisikan orang yang ada di atas lebih powerfull
(kekuasaan) dan lebih mempunyai otoritas (Berger, 2000 dalam
Muhammad AD, 2013: 32).
2. Eye level (normal), tinggi kamera sejajar dengan garis mata objek
yang dituju. Kesan psikologis yang disajikan adalah kewajaran,
kesetaraan atau sederajat (Fachruddin, 2012: 151).
3. Low angle (LA), pengambilan gambar dengan meletakkan tinggi
kamera di bawah objek atau di bawah garis mata orang. Adapun
kesan yang psikologis yang ingin disampaikan adalah objek tampak
berwibawa (Fachruddin, 2012: 152).

C. Fokus Pengambilan Gambar


Fokus pengambilan gambar merupakan elemen lain yang perlu
diperhatikan dalam menganalisis foto/video. Fokus berhubungan dengan
tipe lensa yang dipakai ketika objek diambil gambarnya, yaitu: tele,
standart dan wide fokus. Dalam standar pengambilan fokus suatu gambar
jika memakai lensa standart akan menghasilkan suasana natural. Hal ini
karena gambar diambil dari fokus yang tidak jauh dan tidak dekat
(normal), sehingga komposisi dan perbandingan antara objek menjadi
merata. Berbeda dengan gambar yang diambil dengan menggunakan
lensa tele ataupun wide karena objek akan nampak lebih besar
dibandingkan dengan objek lainnya.
1. Selective focus: Kesan yang ditampilkan meminta perhatian
(tertuju pada satu objek).
2. Soft focus: kesan yang ditampilkan romantik serta nostalgia.
3. Deep focus: Kesan yang ditampilkan semua unsur adalah penting
(melihat dari keseluruhan objek).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


45

D. Pencahayaan
Pencahayaan gambar juga akan menciptakan suasana mood yang
berbeda. Dengan pencahayaan yang cerah dan riang tidak akan
menampilkan suasana atau mood yang sedih dan misterius.
1. High key: memberi kesan riang dan cerah.
2. Low key: memberi kesan suram dan muram.
3. High contrast: dramatikal dan teatrikal.
4. Low contrast: realistic serta terkesan seperti dokumenter.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


46

penanda (signifier) petanda (signified)

Pengambilan Gambar

Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, momen penting

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks perbedaan dengan public

Sudut Pandang (angle) Pengambilan Gambar

High Dominasi, kekuasaan dan otoritas

Eye Level Kesejajaran, kesamaan dan sederajat


Didominasi, dikuasai dan kurang
Low
otoritas

Tipe Lensa

wide angle Dramatis

Normal normalitas dan keseharian

Telephoto tidak personal, voyeuristic

Fokus

Meminta perhatian (tertuju pada suatu


Selective Focus
objek)

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


47

Soft Focus Romantis serta nostalgia

Semua unsur penting (melihat dari


Deep Focus
keseluruhan objek)

Pencahayaan

high key Ringan dan cerah

low key Suram dan muram

high contrast Dramatikal dan teatrikal

Realistik serta terkesan seperti


low contrast
documenter

Pewarnaan

warm (kuning, orange, merah


Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi
dan abu-abu)

cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan

Black and white (hitam dan


Realisme, aktualisme dan factual
putih)
(sumber: Arthur Asa Berger, Media Analisis Techniques, 2000: 33)

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif
yang dipakai untuk mengetahui dan menganalisis apa yang justru tidak terlihat,
atau dengan kata lain penelitian kualitatif justru ingin melihat komunikasi yang
tersirat. Kirk dan Miller (1986: 9) sebagaimana dikutip Moehadjir (2000),
penelitian kualitatif pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang
dipertentang dengan pengamatan kuantitatif. Lalu mereka mendefinisikan
bahwa metodologi kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam
kekhasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam
bahasanya dan dalam peristilahannya.
Wibowo (2013: 27) Semiotika adalah salah satu bagian dari bentuk
analisis isi kualitatif yang amat berbeda dengan penelitian analisis isi
kuantitatif. Apabila analisis kuantitatif lebih memfokuskan risetnya pada isi
komunikasi yang tersurat (tampak atau manifest), penelitian kualitatif justru
sebaliknya. Penelitian kualitatif justru dipakai untuk mengetahui dan
menganalisis apa yang justru tidak terlihat.

Penelitian dengan menggunakan analisis semiotika berarti teknik


penelitian dengan menganalisis pesan berdasarkan makna, tanda, lambang, serta
simbol yang terkandung dalam pesan. Karena penenelitian yang dilakukan
berkaitan dengan salah satu iklan di televisi, maka peneliti memilih analisis
semiotika sebagai acuan dalam melakukan penelitian ini.

Analisis semiotika yang peneliti gunakan dalam penelitian ini ialah


mengacu pada semiotika model Roland Barthes yaitu signifikasi dua tahap (two
order of signification). Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan
denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Lewat model ini Barthes menjelaskan
bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier
(ekspresi) dan signified (konten) di dalam sebuah tanda terhadap realitas

53
Universitas Sumatera Utara
49

eksternal. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata
dari tanda (sign). Tahap kedua yaitu konotasi yang menggambarkan interaksi
yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi. Dengan kata lain
denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap suatu objek, sedangkan
makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya.

3.2.Subjek Penelitian
Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah iklan Citra Pearl White
UV Hand and Body Lotion versi Febby Rastanty yang tampil di televisi
Indonesia. Adapun iklan ini bercerita tentang sekelompok wanita yang
bertujuan untuk pergi ke Grand Bazaar. Namun karena cuaca yang begitu panas
salah satu wanita mencoba memakai pakaian yang tertutup karena takut
kulitnya gosong karena paparan sinar matahari, sebagaimana dalam dialognya
“tunggu..tunggu…baju proteksi gosong” kemudian kamera terlihat secara close
up pada sarung tangan dan syal yang menutupi wajahnya.
Ditengah perjalanan tampak dua wanita yang sedang menggunakan
transportasi ojek. Salah satu diantaranya yaitu seorang wanita yang berpakaian
tertutup tampak takut karena panas-panasan serta debu yang membuat kulitnya
kusam dan wanita yang satunya tampak santai dan tersenyum dengan pakaian
berlengan pendek.
Pada scene selanjutnya mereka telah sampai di Grand Bazaar, namun
salah satu wanita yang tadi berpakaian tertutup tampak sedih karena kulitnya
tetap gosong atau hitam, sebagaimana dalam dialognya “udah jaketan kok
masih gosongan aku sih”, kemudian kamera close up membandingkan tangan
wanita tersebut dengan sang model.
Wanita tersebut akhirnya diberi produk Citra Pearl White UV Hand and
Body Lotion oleh sang model. Karena rahasia kecerahan kulit sang model
berasal dari produk Citra Pearl White UV. Dialog sang model “sinar UV kan
masih bisa tembus, makanya aku pake Citra Pearl white UV” kamera pun close
up ke produk Citra. Pada scene akhir dua wanita tampak bahagia dengan
memiliki kulit putih cerah setelah memakai produk Citra Pearl White UV Hand
and Body Lotion

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


50

3.3.Kerangka Analisis
Penelitian ini mengambil unit analisis berupa iklan Citra Pearl White UV
Hand and Body Lotion yang ditayangkan di beberapa TV swasta pada tahun
2019. Iklan ini berdurasi 30 detik. Iklan ini menampilkan lima scene yang terdiri
dari 10 shot atau gambar. Scene dan gambar yang terpilih akan dianalisis
berdasarkan makna denotatif dan konotatifnya berdasarkan konsep semiotika
Roland Barthes.

3.4.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian Kepustakaan
Penelitian yang dilakukan menghimpun informasi yang relevan
dengan topik yang sedang diteliti yang diperoleh dari buku-buku, karya
ilmiah, ensiklopedia, internet dan sumber-sumber lainnya.
2. Pengamatan Langsung

Penelitian dilakukan dengan pengamatan langsung pada objek yang


akan diteliti. Peneliti hanya menganalisis objek berupa visual (gambar)
tanpa adanya wawancara yang artinya pengamatan dilakukan langsung
pada objek secara nonpartisipan, sehingga peneliti dapat menganalisis
serta mendeskripsikan dengan menggunakan semiologi model Roland
Barthes. Pengamatan langsung didukung dengan data yang terbagi
menjadi 3 bagian yaitu :

1. Data primer

Data primer untuk penelitian adalah iklan Citra Pearl White


UV Hand and Body Lotion yang berdurasi 30 detik yang
didapatkan dari internet dan telah dipilah menjadi 10 shot
(gambar) yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


51

2. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari literatur dan sumber bacaan


yang mendukung data primer, seperti informasi dari buku,
majalah dan sebagainya.

3. Data dokumenter
Data dokumenter merupakan kumpulan data yang diperoleh
dari iklan Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion yang
berupa format mp4.

3.5.Teknik Analisis Data


Analisis data kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan langsung/catatan
lapangan, dokumentasi pribadi maupun resmi, gambar, foto dan sebagainya.
Setelah ditelaah, langkah selanjutnya adalah reduksi data, penyusunan satuan,
kategorisasi dan terakhir adalah penafsiran data.

Analisis data kualitatif digunakan bila data yang terkumpul dalam riset
adalah data kualitatif. Data kualitatif dapat berupa kata-kata, kalimat-kalimat
atau narasi-narasi, baik yang diperoleh dari wawancara mendalam maupun
observasi. Riset kualitatif adalah riset yang menggunakan cara berfikir induktif,
yaitu cara berfikir yang berangkat dari dari hal-hal yang khusus (fakta empiris)
menuju hal-hal yang umum (tataran konsep). Aspek yang akan digunakan
dalam iklan ini akan menggunakan pendekatan kerangka analisis Roland
Barthes, yaitu signifikasi dua tahap (two order of signification) yaitu denotasi
dan konotasi.

1. Video iklan Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion di download
dari internet.
2. Video yang berdurasi 30 detik, terdiri dari 5 scene dan 10 shot (gambar)
yang dianggap berpotensi dan mempermudah penelitian.
3. Dari gambar yang sudah dipilih akan dibentuk menjadi beberapa cerita.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


52

4. Dalam iklan Citra Pearl White UV terdapat teks yang muncul. Karena
itu penelitian ini akan dipilah dari gambar dan teks yang ada dalam iklan
menjadi aspek penting untuk diteliti.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Data Penelitian

Pada iklan Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion versi Febby
Rastanty menceritakan sekelompok wanita yang pergi ke Grand Bazaar disiang
hari dengan cuaca yang panas. Salah satu wanita takut kulitnya gosong atau hitam
karena sinar matahari, mencoba mencegahnya dengan memakai pakaian yang
tertutup selama di perjalanan, namun usahanya gagal karena kulitnya tetap hitam
meski telah dicegah. Hal ini berbanding terbalik dengan sang model yaitu Febby
Rastanty yang tetap percaya diri tanpa takut sinar matahari yang membuat kulitnya
hitam. Rahasia sang model yang membuat kulitnya tetap putih karena selalu
memakai produk Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion kemanapun. Berikut
scene dan gambar dalam iklan Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion:

1. Analisis Scene Pilihan 1


Penanda (Signifier) Petanda (Signified)

Pada gambar 1 terlihat sekelompok


wanita berada di luar yang ingin pergi
ke Grand Bazaar dan salah satu wanita
berbaju coklat tampak murung karena
cuaca terlihat panas. Tampak pada
gambar 2 dengan pengambilan gambar
secara close up seorang wanita
menutupi tubuhnya rapat-rapat karena
Gambar 1 takut terkena sinar matahari yang
membuat kulitnya gosong atau hitam.
Suara: model yang mengenakan dress
pink “yuk ke Grand Bazaar”

Gambar 2

53
Universitas Sumatera Utara
54

Suara: “tunggu-tunggu … baju


proteksi gosong”

Tanda Denotatif (Denotative Sign)

Ketakutan salah satu wanita akan kulitnya yang gosong akibat terkena sinar
matahari maka dia menutupi seluruh tubuhnya.

Penanda Konotatif (Conotative Petanda Konotatif (Conotative


Signifier) Signified)

Memiliki kulit gosong atau hitam itu Sinar matahari bisa membuat kulit
jelek dan harus dihindari menjadi gosong atau hitam sehingga
harus dihindari.

Tanda Konotatif (Conotative Sign)

Wanita takut memiliki kulit yang gosong atau hitam karena menandakan jelek
dan harus dihindari.

Dalam scene pilihan 1 menceritakan sekelompok wanita yang ingin pergi


ke Grand Bazaar bersama. Namun cuaca begitu panas membuat salah satu wanita
tampak takut akan kulitnya yang hitam akibat sinar matahari.

Makna denotasi dalam scene ini yakni ketakutan seorang wanita akan kulit
yang gosong atau hitam sehingga menutupi wajah dan tangannya agar terhindar dari
sinar matahari, sebagaimana juga dialog yang diucapkan wanita dalam scene
tersebut “tunggu-tunggu… baju proteksi gosong”. Kalimat tersebut menandakan
ketakutan wanita tersebut akan terkena sinar matahari sehingga mengibaratkan syal
dan jaketnya sebagai baju proteksi yang dapat menghindari kulitnya dari sinar
matahari agar tidak gosong.

Sedangkan makna konotasinya yakni penonjolan terhadap wanita yang


menutupi wajah dan tubuhnya agar tidak gosong atau hitam akibat terkena sinar
matahari. Pada scene ini diinterpretasikan wanita dapat dikatakan cantik jika

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


55

memiliki warna kulit putih bukan dengan kulit yang gosong atau hitam. Iklan ini
seakan menggambarkan kulit gosong atau hitam adalah momok yang menakutkan
bagi kaum hawa sehingga harus dihindari.

2. Analisis Scene Pilihan 2


Penanda (Signifier) Petanda (Signified)

Perbandingan dua wanita yang sedang


dalam perjalanan di tengah-tengah
kota. Salah satu diantaranya wanita
yang memakai baju putih menutupi
seluruh tubuh dan setengah wajahnya.
Wanita berbaju pink tampak santai
memakai pakaian berlengan pendek.

Gambar 3

Tanda Denotatif (Denotative Sign)

Seorang wanita menutupi tubuh dan wajahnya karena takut panas-panasan dan
debu saat di jalan.

Penanda Konotatif (Conotative Petanda Konotatif (Conotative


Signifier) Signified)

Kulit bisa menjadi kusam dalam Panas-panasan dan terkena debu di


perjalanan menggunakan motor di jalanan dapat membuat kulit menjadi
tengah kota dengan cuaca yang panas. kusam

Tanda Konotatif (Conotative Sign)

Kulit wanita jangan sampai kusam atau gosong karena panas-panasan dan debu
pada saat di jalan (dalam perjalanan). Maka dari itu harus menggunakan body
lotion yang tepat.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


56

Dalam scene pilihan 2 menggambarkan dua wanita yang sedang dalam


perjalanan menggunakan ojek, yang satu diantaranya wanita yang memakai baju
tertutup dan wanita yang berbaju pink tampak terlihat menggunakan baju berlengan
pendek.

Makna denotasi dalam scene ini yakni menunjukan perbandingan di antara


dua wanita yang salah satunya takut panas-panasan dan debu yang dapat membuat
kulit menjadi gosong atau hitam. Sedangkan wanita yang berbaju pink terlihat lebih
santai meski dalam perjalanan di tengah kota dengan cuaca yang panas. Makna
konotasi dalam scene ini menggambarkan dalam perjalanan di cuaca yang panas
apalagi ketika menggunakan transportasi motor dapat membuat kulit gosong atau
hitam sehingga harus ada pencegahan seperti yang dilakukan wanita yang
berpakaian tertutup. Namun bisa terlihat santai dan tak perlu takut akan debu atau
panas-panasan asal kulit sudah memakai body lotion yang tepat.

3. Analisis Scene Pilihan 3


Penanda (Signifier) Petanda (Signified)

Pada gambar 4 tampak wanita yang


kecewa akan kulitnya yang terlihat
gosong atau hitam. pada gambar 5
tampak close up perbedaan warna kulit
yang begitu kontras pada kedua wanita
tersebut. Pada gambar 6 wanita
tersebut memberitahu temannya bahwa
pakaian yang menutupi kulit masih
Gambar 4 dapat ditembus oleh sinar UV,
sehingga wanita tersebut memberi
tahukan produk yang dia pakai seperti
tampak pada gambar 7.

Gambar 5

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


57

Suara: “udah jaketan kok masih


gosongan aku sih”

Gambar 6

Suara: model “sinar UV-kan masih


bisa tembus”

Gambar 7

Suara: model “makanya aku pake


Citra Pearl White UV…”

Tanda Denotatif (Denotative Sign)

Kekecewaan salah satu wanita karena kulitnya gosong, meskipun dia telah
menutupi seluruh wajah dan tubuhnya agar tidak terkena sinar UV.

Penanda Konotatif (Conotative Petanda Konotatif (Conotative


Signifier) Signified)

Kulit yang gosong atau hitam itu jelek Model yang memiliki warna kulit putih
dan harus dirubah. menjadi contoh kepada wanita
Indonesia lainnya untuk berbondong-
bondong mengubah warna kulitnya
dalam rangka menghindari stigma
jelek dan membuat perasaan kecewa.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


58

Tanda Konotatif (Conotative Sign)

Wanita Indonesia dipaksa percaya bahwa memiliki kulit yang gosong atau hitam
identik dengan kejelekan yang harus dirubah

Dalam scene pilihan 3 menceritakan sekelompok wanita yang sudah sampai


di tempat tujuan mereka yaitu di depan Grand Bazaar. Namun salah satu wanita
yang tadi berpakaian tertutup karena takut kulitnya gosong atau hitam karena seniar
matahari tampak kecewa karena ternyata kulitnya tetap saja gosong atau hitam.

Makna denotasi dalam scene ini yakni kekecewaan dari salah satu wanita
yang kulitnya tetap gosong atau hitam meski sudah menutupi kulitnya dengan jaket
dan sarung tangan. Sedangkan makna konotasi dalam scene ini adalah meskipun
telah memakai jaket atau pakaian yang tertutup sinar UV tetap akan tembus atau
membuat kulit gosong atau hitam, maka dari itu perlu body lotion untuk
melindunginya. Hal ini juga terlihat dalam gambar 7 sang model memberikan saran
kepada sang teman untuk memakai produk Citra Pearl White UV Hand and Body
Lotion. Dari scene tersebut dapat diartikan bahwa perempuan pasti kecewa jika
memiliki kulit kusam, hitam atau gosong. Iklan ini menunjukan sang model yang
berkulit putih adalah contoh dan intepretasi untuk standar wanita yang cantik, yaitu
wanita yang berkulit putih.

Putih adalah simbol dari kebersihan, kecantikan, kesucian, kebaikan dan


derajat yang lebih tinggi. Sebaliknya warna hitam identik dengan kotor, jelek, dosa,
malam/gelap dan sedih. Stigma perempuan berkulit putih lebih terhormat dan
terdidik ternyata tidak terlepas dari peran media massa yang di dalamnya
menampilkan ras kulit putih sebagai ras yang lebih tinggi status sosialnya
dibandingkan dengan ras kulit hitam.

Adanya keterkaitan persepsi kecantikan dengan definisi putih, yaitu: putih


dianggap sebagai ras yang superior dan paling diidealkan. Putih dan ke-putih-an
adalah hal yang signifikan, bukan saja dalam kategori sebagai ras saja, melainkan
juga dalam definisi dan konstruksi kecantikan, feminitas, seksualitas dan
domestisitas perempuan (Prabasmoro, 2003: 100).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


59

4. Analisis Pilihan 4
Penanda (Signifier) Petanda (Signified)

Nampak pada gambar 8 tangan sang


model yang sedang memakai produk
Citra dan juga terlihat pada gambar 9
sang model mengelus dan memandangi
kulitnya dengan mengenakan baju
putih yang minim di balik sinar
matahari.
Gambar 8

Suara: monolog dari sang model


“dengan 100% natural Korean Pearl
Essence, Mulbery Essence juga UV
A+B Filter melindungi kulit dari
matahari sekaligus mencerahkan”

Gambar 9

Tanda Denotatif (Denotative Sign)

Produk Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion dengan 100% natural
Korean Pearl Essence, Mulbery Essence, UV A+B Filter melindungi kulit dari
sinar matahari sekaligus juga mencerahkan kulit sang model.

Penanda Konotatif (Conotative Petanda Konotatif (Conotative


Signifier) Signified)

Warna kulit putih dan flawless adalah Warna kulit putih flawless dan mulus
wujud kesempurnaan dan kecantikan mayoritas dimiliki oleh penduduk
seorang perempuan Korea dan menjadi standar kecantikan
di Korea, disebarluaskan ke Indonesia
melalui iklan ini

Tanda Konotatif (Conotative Sign)

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


60

Warna kulit wanita Korea adalah kulit yang sempurna, penduduk Indonesia
masih terperangkap dalam memaknai kecantikan pada dirinya sendiri padahal
penduduk Indonesia mayoritas mempunyai warna kulit asli yang sawo matang.

Dalam scene pilihan 4 ini menggambarkan sang model memakai produk


Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion. Makna denotasi dalam scene ini
adalah Produk Citra Pearl White UV dengan 100% natural Korean Pearl Essence,
Mulbery Essence, UV A+B Filter melindungi kulit dari sinar matahari sekaligus
juga mencerahkan kulit sang model. Sedangkan makna konotasi dalam scene ini
warna kulit wanita Korea adalah warna kulit putih flawless dan mulus sehingga
dianggap warna kulit yang sempurna.

Korea masih menjadi kiblat kecantikan bagi wanita Indonesia, kulit yang
mulus dan flawless seperti bintang-bintang Korea Selatan menjadi dambaan wanita
Indonesia. Produk kecantikan asal Negeri Ginseng ini pun menjadi favorit.
Sebanyak 46 persen responden survei ZAP Beauty Index 2018 yang melibatkan
17.889 wanita Indonesia mengatakan paling suka produk kecantikan asal Korea,
diikuti oleh produk Indonesia (34 persen), dan produk asal Jepang (21 persen)
(https://lifestyle.kompas.com/read/2018/08/20/173500420/korea-selatan-masih-
jadi-kiblat-kecantikan-wanita-indonesia).

Pergeseran makna dari kuning langsat ke putih menandai adanya


dekonstruksi warna kulit. Dulu kita yang eksotis adalah hitam manis dan sawo
matang, dan kulit aristocrat identik dengan kekuninglangsatan, sekarang itu sudah
tak bisa dipertahankan. Image dan selera perempuan sudah mulai dipenjarakan
dengan pesona barat. Perempuan dan masyarakat mulai merekonstruksi sejarah
perkulitannya. Mereka tak lagi ingin memaknai eksotis adalah hitam manis dan
sawo matang serta aristocrat adalah kuning langsat, tetapi memaknai cantik adalah
putih seperti putihnya perempuan barat (Yulianto, 2007: 12).

Bermula dari kedatangan orang Belanda, imajinasi akan citra warna kulit
bertaut erat dengan sentimen rasial pembagian masyarakat Indonesia berdasar ras
Pribumi, Timur Asing dan Eropa dengan pembatasan hak-hak politiknya masing-
masing. Putih pada masa penjajahan Belanda bukan hanya tentang ideal warna
kulit. Akan tetapi, juga tentang proses hegemoni emosional (penundukan) kelas

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


61

tertentu, berdasar gender tertentu untuk kepentingan elite penguasa kolonial.


Konsep hegemoni emosional tersebut, membantu menjelaskan sikap perempuan
Belanda yang tidak diperbolehkan memperlihatkan secara terang-terangan emosi
mereka, untuk membedakannya dengan kaum pribumi pembantu mereka.
Kolonialisme Belanda kini bisa dipahami amat bergantung pada bagaimana
perempuan Belanda berkulit putih menunjukkan prestise mereka tidak hanya lewat
penanda material dan kultural. Akan tetapi, juga laku emosional dan psikologis
yang terus membayangi kelas pribumi yang posisi rasialnya di bawah mereka
(Saraswati, 2017: 62-87).

5. Analisis Scene Pilihan 5


Penanda (Signifier) Petanda (Signified)

Pada gambar 10 tampak dua wanita


yang menunjukan ekpresi gembira
dengan kulit yang terlihat cerah di
bawah sinar matahari.

Gambar 10

Suara: monolog “kulit cerah glowing


dalam dua minggu”.

Tanda Denotatif (Denotative Sign)

Salah satu wanita yang sebelumnya terlihat murung dengan pakaian yang selalu
tertutup untuk menutupi kulitnya, kini terlihat gembira mengenakan pakaian
terbuka dengan kulit yang tampak cerah.

Penanda Konotatif (Conotative Petanda Konotatif (Conotative


Signifier) Signified)

Penonjolan terhadap ekpresi gembira Ekpresi gembira dari kedua wanita


dan warna kulit yang putih cerah. tersebut karena warna kulit yang putih
merona dan tetap cerah meski di bawah
sinar matahari.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


62

Tanda Konotatif (Conotative Sign)

Kebahagiaan yang paling menyenangkan bagi seorang perempuan adalah ketika


mempunyai kulit putih cerah merona.

Dalam scene pilihan 5 menceritakan dua wanita yang menunjukan ekpresi


gembira dengan kulit yang terlihat cerah dibawah sinar matahari. Makna denotasi
dalam scene ini adalah kegembiraan dari dua wanita yang telah mendapatkan kulit
yang cerah hal ini ditunjukkan dengan ekspresi dari wajah dua wanita tersebut.
Sedangkan makna konotasi dari scene ini adalah semua perempuan pasti bahagia
ketika memiliki kulit yang putih dan glowing (cerah). Karena syarat utama dan
standar kecantikan untuk dikatakan wanita cantik saat ini haruslah memiliki kulit
yang putih dan cerah.

Dimasa kini kebanyakan orang selalu mendambakan untuk memiliki kulit


putih, mungkin jika kulitnya putih akan tampil lebih cantik dan merasa percaya diri.
Padahal kecantikan tidak hanya sekedar apa yang terlihat pada penampilan fisik.
Padahal cantik dan sukses itu tidak harus berkulit putih. cantik bisa saja berkulit
sawo matang atau berkulit gelap sekalipun. Kulit hanya merupakan salah satu
perwakilan dan penampilan fisik. Bahkan di Jepang wanita dengan gigi gingsul atau
yang kerap disebut “yaeba” dianggap sangat manis dan menjadi standar kecantikan
(https://www.liputan6.com/citizen6/read/4080494/gigi-gingsul-hingga-tubuh-gemuk-
ini-7-standar-kecantikan-tidak-lazim-di-dunia).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


63

4.2.Hasil Analisis Dan Pembahasan

Barthes menggunakan teori Signifiant-Signifie yang kemudian


dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah Signifiant
menurut Barthes menjadi Ekpresi (E) sedangkan Signifie menjadi isi. Sejalan
dengan hal di atas yang dikatakan oleh Saussure bahwa bentuk fisik dari tanda itu
adalah penanda sedangkan konsep mental yang terkait dengannya itu adalah
petanda.

Selain penanda dan petanda yang perlu dianalisis adalah bagaimana makna
dari penanda dan petanda. Makna menurut Fiske merupakan interaksi dinamis
antara tanda, interpretan dan objek (Fiske, 2010: 118-119). Pada tatanan pertama
dikenal dengan makna denotasi yakni makna paling nyata dari sebuah penanda dan
petanda, sedangkan makna konotasi adalah tatanan kedua yaitu sebuah makna yang
sudah berhubungan dengan social culture dimana penanda, petanda itu membentuk
sebuah tanda. Saussure menjelaskan terkait makna denotasi dan konotasi. Pada
tatanan denotasi menurutnya menggambarkan antara relasi dari penanda, petanda
dalam sebuah tanda. Tanda dengan reverentnya dalam realitas eksternal, hal ini
mengacu pada anggapan umum, makna jelas tentang tanda. Barthes menyebutnya
makna denotasi. Makna konotasi dalam istilah Barthes konotasi dipakai untuk
menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja, kerja dalam tatanan pertandaan.
Konotasi menggambarkan interkasi antara tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi penggunanya dan nilai-nilai kultur.

Adapun peneliti telah mendapatkan beberapa temuan hasil analisis yang


menjelaskan mengenai penanda, petanda dan makna kecantikan yang ditampilkan
melalui iklan Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion. Berikut ini adalah
paparan hasil analisis yang telah dilakukan :

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


64

1. Penanda dan Petanda Kecantikan


A. Hasil Analisa Pada Scene 1

Analisis Ketakutan Akan Kulit Hitam

Kategori Hasil Analisis

Penanda (Signifier) Terlihat pengambilan gambar secara


medium shot empat orang wanita yang
sedang berjalan di siang hari.

Petanda (Signified) Salah satu wanita memakai baju yang


lebih tertutup untuk memperoteksi
kulitnya dari sinar matahari.

Makna Denotatif Wanita yang memakai pakaian tertutup


takut karena sinar matahari dapat
membuat kulitnya menjadi gosong atau
hitam.

Makna Konotatif Kulit yang gosong atau hitam adalah


momok yang menakutkan bagi wanita
sehingga harus dicegah atau dihindari.

Tabel 4.1

Dalam scene 1, terdapat beberapa wanita yang sedang berada diluar. Salah
satu wanita mengajak teman-temannya pergi ke Grand Bazaar, sang model berkata
“yuk ke Grand Bazaar”, namun karena cuaca yang panas salah satu wanita
memakai “baju proteksi” untuk menghindari kulitnya dari sinar matahari
sebagaimana dalam dialognya “tunggu..tunggu…baju proteksi gosong”.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


65

Penggambaran wanita tersebut mengintepretasikan akan ketakutan kulit gosong


atau hitam akibat sinar matahari, maka perlu baju tertutup untuk mencegahnya.

B. Hasil Analisa Pada Scene 2

Analisis mencegah kulit kusam

Kategori Hasil Analisis

Penanda (Signifier) Terlihat pengambilan gambar secara


medium shot dengan low angle pada
dua wanita yang sedang dalam
perjalanan menggunakan transportasi
ojek.

Petanda (Signified) Wanita berbaju pink tampak lebih


santai meski dengan pakaian berlengan
pendek. Berbeda dengan wanita yang
satunya lebih tampak tertutup bahkan
hingga ke wajah.

Makna Denotatif Wanita yang berpakaian tertutup


nampak takut karena debu dan sinar
matahari yang dapat membuat kulitnya
kusam dan gosong. Sedangkan wanita
yang berbaju pink terlihat lebih santai
tanpa menakutkan apapun.

Makna Konotatif Agar perjalanan lebih santai tanpa takut


kulit kusam dan hitam maka harus
dicegah menggunakan body lotion
yang tepat.

Tabel 4.2

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


66

Dalam scene 2 nampak dua wanita yang sedang dalam perjalanan yang
menggunakan transportasi ojek. Iklan ini menunjukan comparation (perbandingan)
antara wanita yang takut kulitnya kusam dan hitam sehingga memakai pakaian
tertutup sedangkan wanita yang satunya terlihat lebih santai meski memakai
pakaian berlengan pendek.

C. Hasil Analisa Pada Scene 3


Analisis kulit hitam haruslah dirubah

Kategori Hasil Analisis

Penanda (Signifier) Tampak empat wanita tersebut sudah


sampai di Grand Bazaar, namun salah
satu wanita yang memakai pakaian
tertutup tadi tampak kecewa karena
kulitnya tetap gosong meski telah
memakai jaket. Wanita tersebut juga
membandingkan kulitnya dengan sang
model. Terlihat pengambilan gambar
secara Close Up sehingga sangat
terlihat jelas perbedaannya.

Petanda (Signified) Wanita yang memakai pakaian tertutup


tadi tampak murung dan kecewa karena
meski sudah memakai jaket kulitnya
tetap gosong.

Makna Denotatif Kekecewan wanita karena kulitnya


yang gosong atau hitam meskipun
sudah dicegah.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


67

Makna Konotatif Kulit yang gosong atau hitam harus


diubah agar seperti sang model yang
tetap memiliki kulit putih dan mulus
meski di bawah sinar matahari .

Tabel 4.3

Dalam scene 3 memperlihatkan empat wanita yang sudah berada di Grand


Bazaar, namun salah satu wanita tampak kecewa karena kulitnya tetap gosong atau
hitam meski sudah memakai jaket atau pakaian tertutup. Kekecewaan wanita
tersebut tampak dalam dialog “udah jaketan kok masih gosongan aku sih”. Sang
model pun memberikan rahasia agar kulit tampak putih dan cerah meski di bawah
sinar matahari. Sang model mengeluarkan produk Citra “makanya aku pake Citra
Pearl White UV…”.

D. Hasil Analisa Pada Scene 4

Kecantikan kulit flawless ala Korea

Kategori Hasil Analisis

Penanda (Signifier) Terlihat sang model memakai Produk


Citra Pearl White UV Hand and Body
Lotion dibalik jendela dengan
pengambilan gambar Close Up. Sinar
matahari dibalik jendela juga
menambah kesan warm (hangat),
ditambah sang model juga tersenyum
sambil memegang kulitnya sehingga
kulit tampak flawless dan glowing.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


68

Petanda (Signified) Sang model mengelus dan


memandangi kulitnya dengan
mengenakan baju putih yang minim
dibalik sinar matahari.

Makna Denotatif Kulit sang model putih cerah dan


terlindungi dari matahari karena
memakai produk Citra Pearl White UV
dengan 100% natural Korean Pearl
Essence, Mulbery Essence, UV A+B
Filter

Makna Konotatif Warna kulit wanita korea adalah warna


kulit putih flawless sehingga dianggap
warna kulit yang sempurna dan
menjadi dambaan warna kulit wanita
Indonesia

Tabel 4.4

Dalam scene 4 terlihat pengambilan gambar sang model dengan teknik


secara close up model sedang memakai produk Citra Pearl White UV Hand and
Body Lotion dengan memakai pakaian putih yang minim dibalik jendela dan sinar
matahari. monolog dari sang model “dengan 100% natural Korean Pearl Essence,
Mulbery Essence juga UV A+B Filter melindungi kulit dari matahari sekaligus
mencerahkan”.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


69

E. Hasil Analisa Pada Scene 5

Kebahagiaan memiliki kulit cerah glowing

Kategori Hasil Analisis

Penanda (Signifier) Terlihat pengambilan gambar medium


shot dua wanita dengan ekpresi bahagia
sambil memegang bunga.

Petanda (Signified) Terlihat dua wanita yang menunjukan


ekpresi bahagia dengan kulit yang
cerah dibawah sinar matahari.

Makna Denotatif Wanita tampak bahagia karena pada


akhirnya memiliki warna kulit yang
putih glowing, terlihat sama seperti
sang model.

Makna Konotatif Wanita pasti bahagia saat memiliki


warna kulit yang putih cerah (glowing).

Tabel 4.5

Dalam scene 5 menunjukkan dua wanita tampak bahagia sambil memegang


bunga. Salah satu wanita yang tadinya memiliki kulit gosong akhirnya memiliki
kulit putih glowing terlihat sama seperti sang model.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


70

2. Makna Kecantikan

1. Dalam scene 1
Makna kecantikan pada scene 1 adalah seorang wanita takut
memiliki kulit hitam karena cantik menurut wanita Indonesia adalah
memiliki kulit yang putih.
2. Dalam scene 2
Agar kulit tidak terlihat kusam dan hitam maka wanita harus
menjaga kulitnya dan mencegahnya dari hal-hal yang membuat kulit
menjadi jelek. Seperti sinar matahari yang membuat kulit gosong atau
hitam, maka harus dicegah. Salah satunya dengan menggunakan body
lotion yang tepat.
3. Dalam scene 3
Makna dalam scene ini perempuan pasti kecewa jika memiliki kulit
yang putih pucat tak bersinar atau kusam. Bahkan kulit yang gosong
atau hitam membuat wanita tampak tidak percaya diri.
4. Dalam scene 4
Warna kulit ala Korea menjadi dambaan wanita Indonesia. Karena
warna kulit yang putih glowing dan flawless menjadi standar kecantikan
di Indoneia.
5. Dalam scene 5
Dua wanita terlihat bahagia karena telah memiliki kulit cerah
merona yang bersinar. Kebahagiaan yang paling menyenangkan dari
seorang wanita adalah ketika mempunyai kulit putih cerah bersinar
(glowing).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


71

4.3.Konfirmasi Hasil Analisis

Peneliti melakukan konfirmasi hasil penelitian ini dengan menggunakan


konsep semiotika dari Roland Barthes

Makna Denotatif dikaji pada tahap pertama (1). Signifier (2). Signified (3). Sign
(meaning), Sedangkan makna konotatif makna konotatif dikaji pada dua tahap
I.SIGNIFIER, II.SIGNIFIED, III.SIGN. Form (bentuk) pada signifier memiliki
form dan substance, bagitu pula Concept (konsep) pada signifier memiliki form dan
subtance. Mitos diuraikan dalam tiga unsur dengan menggunakan penamaan yang
sama dengan sistem semiotik tahap pertama, yaitu signifier (penanda), signified
(petanda), dan sign (tanda) itu sendiri. Namun Barthes membedakannya dalam
sistem semiotik dua tahap yaitu nama form (bentuk), concept (konsep), serta
signification (signifikasi) antara bentuk dan konsep. Penanda adalah aspek material
sedangkan petanda sendiri merupakan kesatuan dari suatu bentuk penanda.

Dari signifikasi dua tahap Roland Barthes maka penulis menyimpulkan


bahwa pemaknaan tanda melalui dua tahap pemaknaan. Tahap pertama makna
denotasi yang mengungkapkan makna paling nyata dari tanda. Lalu tahap kedua
makna konotasi terkait erat dengan tanda dan pemakaiannya. Dari makna konotasi
tersebut akan terdapat mitos, yakni saat budaya tersebut diceritakan dan diberikan
penilaian dengan melakukan pemaknaan terhadap tanda. Dengan adanya dua
tingkat tanda pada tayangan iklan, bisa memunculkan dua makna, yaitu makna
denotatif dan konotatif.

Roland Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai


kunci dari analisisnya. Roland Barthes menggunakan versi yang lebih sederhana

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


72

membahas glossematic sign (tanda-tanda glosematik). Mengabaikan dimensi dari


bentuk dan subtansi serta fokus pada makna konotasi. Konotasi sendiri merupakan
makna yang digunakan oleh Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua.
Konotasi mempunyai makna yang subyektif atau paling tidak intersubyektif.

1. Penanda dan Petanda Kecantikan

Penanda dalam sebuah iklan atau yang disebut dengan Signifier dapat
berbentuk ekspresi atau juga disebut sebagai bentuk medium yang diambil dari
sebuah tanda yang dapat berupa bunyi, gambar atau coretan yang dapat dimaknai.
Sedangkan petanda yakni Penanda dan petanda kecantikan dalam Iklan Citra Pearl
White UV Hand and Body Lotion yakni ekspresi dari model yang terdapat dalam
iklan. Yang pertama pada tabel 4.1 tentang analisis kecantikan berupa ketakutan
akan kulit yang gosong atau hitam, dengan ekspresi yang ditunjukan oleh salah satu
wanita yang menutupi tubuhnya dengan pakaian yang sangat tertutup untuk
menghindari kulitnya dari sinar matahari, sebagaimana juga dalam dialognya
“tunggu..tunggu.. baju proteksi gosong”.

Selanjutnya pada tabel 4.2 yang menjadi penanda kecantikan yakni


mencegah kulit kusam dan gosong pada saat diperjalanan. Dimana terlihat dua
wanita yang mana salah satu diantaranya menggunakan pakaian tertutup seakan
takut kulit gosong karena sinar matahari.

Kemudian pada tabel 4.3 yang menjadi penanda kecantikan dimana salah
wanita kecewa karena kulitnya yang tetap gosong atau hitam meski telah
menggunakan pakaian yang tertutup lalu membandingkan dengan kulit si model
yang lebih putih dan cerah. Kemudian pengambilan gambar secara Close Up untuk
menunjukan perbandingan kulit wanita yang hitam dengan kulit sang model yang
putih.

Selanjutnya pada tabel 4.4 yang menjadi penanda yakni ditunjukkan oleh
sang model pada saat memakai produk Citra Pearl White UV dimana kulitnya halus
dan glowing karena memakai produk Citra. Monolog sang model “dengan 100%
natural Korean Pearl Essence, Mulbery Essence juga UV A+B Filter melindungi
kulit dari matahari sekaligus mencerahkan”

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


73

Kemudian pada tabel 4.5 yang menjadi penanda yakni kebahagian dua
wanita yang memiliki warna kulit putih dan cerah. Salah satu wanita yang tadinya
memiliki kulit kusam dan hitam pada scene akhir tampak bahagia karena memiliki
kulit putih yang cerah dan halus.

a. Makna Denotasi
1. Dalam scene 1 makna denotatif yakni wanita takut terkena sinar
matahari karena dapat membuat kulit menjadi gosong atau hitam.
2. Dalam scene 2 makna denotatif yakni wanita menutupi kulitnya dengan
pakaian tertutup agar kulit tidak kusam dan gosong pada saat di
perjalanan.
3. Dalam scene 3 makna denotatif yakni kekecewaan wanita karena
memiliki kulit gosong meski sudah dicegah dan tidak terlihat putih
seperti sang model.
4. Dalam scene 4 makna denotatif yang muncul yakni kecantikan kulit
segar cerah merona yang dapat dihasilkan dengan menggunakan produk
Citra Citra Pearl White UV. Dengan 100% natural Korean Pearl
Essence, Mulbery Essence, UV A+B Filter.
5. Dalam scene 5 makna denotatif yang muncul yakni wanita tampak
bahagia karena pada akhirnya memiliki warna kulit yang putih glowing,
terlihat sama seperti sang model.

b. Makna Konotatif
1. Makna konotasi yang muncul pada scene 1 yakni Kulit yang gosong atau
hitam adalah momok yang menakutkan bagi wanita sehingga harus
dicegah atau dihindari.
2. Makna konotasi yang muncul pada scene 2 agar diperjalanan kulit tidak
kusam dan hitam maka harus dicegah dengan menggunakan body lotion
yang tepat.
3. Makna konotasi yang muncul pada scene 3 kulit yang gosong atau hitam
harus dirubah agar seperti sang model yang memiliki kulit putih dan
cerah.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


74

4. Warna kulit wanita Korea adalah warna kulit putih flawless sehingga
dianggap warna kulit yang sempurna dan menjadi dambaan warna kulit
wanita Indonesia.
5. Kebahagiaan yang paling menyenangkan dari seorang wanita adalah
ketika mempunyai kulit putih cerah merona yang bersinar.

Namun di sisi lain, dalam iklan Citra Pearl White UV Hand and Body Lotion
juga membawa ideologi utama yang terdapat didalamnya yakni hegemoni
kecantikan versi kulit putih layaknya orang korea atau jenis kulit Fair (putih sedikit
pink dari ras mongoloid) dan flawless ala wanita korea. Dimana, kecantikan yang
berasal dari warna kulit sawo matang atau warna kulit kuning langsat tidak
dianggap indikator kecantikan.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1.Simpulan
Berdasarkan penyajian data yang telah diuraikan dan hasil analisis data
yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa, makna denotasi dalam iklan yakni:
1. Dalam scene 1 makna denotatif yaitu wanita takut terkena sinar matahari
karena dapat membuat kulit menjadi gosong atau hitam.
2. Dalam scene 2 makna denotatif yakni wanita menutupi kulitnya dengan
pakaian tertutup agar kulit tidak kusam dan gosong pada saat di
perjalanan.
3. Dalam scene 3 makna denotatif yakni kekecewaan wanita karena
memiliki kulit gosong meski sudah dicegah dan tidak terlihat putih
seperti sang model.
4. Dalam scene 4 makna denotatif yang muncul yakni kecantikan kulit
segar cerah merona yang dapat dihasilkan dengan menggunakan produk
Citra Pearl White UV. Dengan 100% natural Korean Pearl Essence,
Mulbery Essence, UV A+B Filter.
5. Dalam scene 5 makna denotatif yang muncul yakni wanita tampak
bahagia karena pada akhirnya memiliki warna kulit yang putih glowing,
terlihat sama seperti sang model.

Sedangkan makna konotasi yang terdapat pada iklan yakni:

1. Kulit yang gosong atau hitam adalah momok yang menakutkan bagi
wanita sehingga harus dicegah atau dihindari.
2. Makna konotasi yang muncul pada scene 2 agar diperjalanan kulit tidak
kusam dan hitam maka harus dicegah dengan menggunakan body lotion
yang tepat.
3. Makna konotasi yang muncul pada scene 3 kulit yang gosong atau hitam
harus dirubah agar seperti sang model yang memiliki kulit putih dan
cerah.

75
Universitas Sumatera Utara
76

4. Warna kulit wanita Korea adalah warna kulit putih flawless sehingga
dianggap warna kulit yang sempurna dan menjadi dambaan warna kulit
wanita Indonesia.
5. Kebahagiaan yang paling menyenangkan dari seorang wanita adalah
ketika mempunyai kulit putih cerah merona yang bersinar.
Sedangkan penanda dan petanda yang terdapat pada iklan yakni Penanda
dalam sebuah iklan atau yang disebut dengan Signifier dapat berbentuk ekspresi
atau juga diebut sebagai bentuk medium yang diambil dari sebuah tanda yang
dapat berupa bunyi, gambar atau coretan yang dapat dimaknai. Sedangkan
penanda dan petanda kecantikan dalam Iklan Citra Pearl White UV yakni
ekspresi dari model yang terdapat dalam iklan. Pertama pada tabel 4.1 tentang
analisis kecantikan berupa ketakutan akan kulit yang gosong atau hitam, dengan
ekspresi yang ditunjukan oleh salah satu wanita yang menutupi tubuhnya
dengan pakaian yang sangat tertutup untuk menghindari kulitnya dari sinar
matahari, sebagaimana juga dalam dialognya “tunggu..tunggu.. baju proteksi
gosong”.
Selanjutnya pada tabel 4.2 yang menjadi penanda kecantikan yakni
mencegah kulit kusam dan gosong pada saat diperjalanan. Dimana terlihat dua
wanita yang mana salah satu diantaranya menggunakan pakaian tertutup seakan
takut kulit gosong karena sinar matahari.
Kemudian pada tabel 4.3 yang menjadi penanda kecantikan dimana salah
wanita kecewa karena kulitnya yang tetap gosong atau hitam meski telah
menggunakan pakaian yang tertutup lalu membandingkan dengan kulit si model
yang lebih putih dan cerah. Kemudian pengambilan gambar secara Close Up
untuk menunjukan perbandingan kulit wanita yang hitam dengan kulit sang
model yang putih.
Selanjutnya pada tabel 4.4 yang menjadi penanda yakni ditunjukkan oleh
sang model pada saat memakai produk Citra Pearl White UV dimana kulitnya
halus dan glowing karena memakai produk Citra. Monolog sang model “dengan
100% natural Korean Pearl Essence, Mulbery Essence juga UV A+B Filter
melindungi kulit dari matahari sekaligus mencerahkan”

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


77

Kemudian pada tabel 4.5 yang menjadi penanda yakni kebahagian dua
wanita yang memiliki warna kulit putih dan cerah. Salah satu wanita yang
tadinya memiliki kulit kusam dan hitam pada scene akhir tampak bahagia
karena memiliki kulit putih yang cerah dan halus.

5.2.Rekomendasi
Mengingat keterbatasan penelitian ini, ada beberapa saran yang dapat
diberikan sebagaimana mestinya dalam menanggapi dan mencerna tanda, objek
dan penafsiran tentang kecantikan dalam kajian semiotik pada iklan Citra Pearl
White UV Hand and Body Lotion, antara lain sebagai berikut:
1. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti diharapkan lebih aktif dalam
menganalisis kajian analisis teks media yang bertumpu pada aspek
semiotika iklan. seperti pada aspek poses konstruksi iklan, resepsi khalayak
terhadap iklan atau hal-hal lain yang belum dilakukan pada penelitian ini.
2. Bagi khalayak, haruslah memiliki pemahaman lebih untuk memilah
tayangan iklan yang baik dan layak ditonton. Sedangkan tidak semua iklan
yang ditampilkan oleh media merepresentasikan realitas yang sebenarnya.
3. Bagi agensi, untuk lebih bijak dalam membuat iklan. Dengan demikian
masyarakat akan tetap tampil percaya diri dengan apapun jenis warna kulit
mereka tanpa ada rasa kecemasan dan kekecewaan. Hal ini akan
memberikan makna pesan dan sasaran yang tepat untuk diterima oleh
khalayak atau masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR REFERENSI

Abdullah, Irwan, (2006). Studi Tubuh, Nalar dan Masyarakat: Perspektif


Antropologi. Yogyakarta: Tici Press.

Amelia, Lia. (2009). Mitos Cantik di Media. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press.

Ardianto, Elvinaro. (2004). Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung:


Simbiosa Rekatama Media

________________. (2007). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa


Rekatama Media.

Baran, Stanley J. (2012). Pengantar Komunikasi Massa Melek Media Dan Budaya:
PT Gelora Aksara Pratama.

Berger, Asa Arthur. (2000). Media Analysis Techniques. California: Sage


Publication

Birowo, Antonius M. (2004). Metode Penelitian Komunikasi, Teori Dan Aplikasi.


Yogyakarta: Gitanyali.

Bulaeng, Andi. (2004). Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer. Yogyakarta:


Andi Offiset.

Bungin, Burhan. (2009). Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana


Pranada Media Group.

Danesi, Marcel. (2010). Pesan, Tanda Dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai
Semiotika Dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra

Effendy, Onong Uchjana. (2003). Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana. Yogyakarta: LKIS

_______. (2004). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, Dan Politik Media.


Yogyakarta: LKIS

Erlina. (2011). Metodologi Penelitian. Medan: USU Press

78
Universitas Sumatera Utara
79

Fajar, Marhaeni. (2009). Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

Fiske, Jhon. (2010). Cultural & Commucation Sudies: Sebuah pengantar paling
komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Hidayat, Dedy Nur. (1999). Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia Vol III:
Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi. Jakarta: IKSI Dan
ROSDA

Ibrahim, Idi Subandy. (1997). Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam


Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.

__________________. (2006). Imaji Perempuan di Media: Representasi dan


Idealisasi diBalik Wacana Tubuh. Yogyakarta: Jalasutra.

Kuswandi, Wawan. (1996). Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi.


Jakarta: Rhineka Cipta

Kriyantono, Rachmat. (2006). Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Group.

Lee, Monle. (2007). Prinsip- Prinsip Pokok Periklanan Dalam Perspektif Global.
Jakarta: Prenada Media Group.

Leksono, Sony. (2013). Penelitian Kualitatif Ilmu Ekonomi. Depok: PT Raja


Grafindo Persada.

Mahami, Kamil Hasan Muhammad. (2016). Cantik Islami : Sosok Muslimah yang
Dinanti. Jakarta: Almahira.

McQuail, Denis. (2011 ). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Salemba Humanika.

Melliana, Annastasia. (2006). Menjelajah Tubuh Perempuan dan Mitos


Kecantikan. Yogyakarta: LKiS.

Moleong, Lexy J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Morisan. (2008). Managemen Media Penyiaran. Jakarta: Prenada Media Group.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


80

_______. (2010). Periklanan komunikasi dan pemasaran. Jakarta: Prenada Media


Group.

_______. (2010). Teori Komunikasi Massa, Media, Budaya, Dan Masyarakat.


Bogor: Ghalia Indonesia.

_______. (2010). Teori Komunikasi Tentang Komunikator, Pesan, Percakapan


Dan Hubungan. Bogor: Ghalia indonesia

_______. (2013). Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Prenada


Media Group.

Mulyana, Deddy. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

_____________. (2005). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.

Nurudin. (2000). Hubungan Media Konsep Dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada.

______. (2003). Komunikasi Massa. Malang: CESPUR.

Ollenburger, Jane. (2002). Sosiologi Wanita. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Rivers, William L dkk. (2003). Media Massa Dan Masyarakat Modern. Jakarta:
Prenada Media.

Rumambi, Leonid Julivan. (2009). Pemasaran Produk Kecantikan ala Indonesia


(Kisah Lux, Pond`s, Dove, Citra dan Giv). Yogyakarta: Graha Ilmu.

Saraswati, Ayu L. (2017). Putih: Warna Kulit,Ras dan Kecantikan di Indonesia


Transnasional. Serpong: Marjin Kiri.

Shimp, Terence A. (2003). Periklanan Dan Promosi. Jakarta: Erlangga.

Sigit, Santosa. (2009). Creative Advertising. Jakarta: Elex Media Kamputindo

Sobur ,Alex. (2003, 2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


81

__________. (2004). Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis


Wacana, Analisis Semiotik, Dan Analisis Framing. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.

Sumadiria, A.S Haris. (2006). Bahasa Jurnalistik: Paduan Praktis Penulis Dan
Jurnalis. Bandung: Refika Aditama

Syahputra, Iswandi. (2006). Jurnalistik Infotainment: Kancah Baru Jurnalistik


Dalam Industri Televisi. Yogyakarta: Pilar Media.

Tilaar, Martha. (1999). Kecantikan Perempuan Timur, Magelang: Indonesia Tera.

Tranggono, Iswari Retno. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.


Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Piliang, Amir Yasraf. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan
Matinya Makna. Bandung: Matahari

Prabasmoro, Aquarini. (2003). Becoming White: Representasi Ras, Kelas,


Feminitas, dan Globalisasi dalam Iklan Sabun. Yogyakarta:
Jalasutra.

Wibowo, Indiawan. (2013). Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mita Wacana Media.

Widjaja, A.N. (1993). Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta: Bumi


Aksara.

Wolf, Naomi. (2004). Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan.


Yogyakarta: Niagara.

Yulianto, Ita. (2007). Pesona Barat: Analisa Kritis Historis Tentang Kesadaran
Warna Kulit di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.

Zamroni, Mohammad. (2009). Filsafat Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Zoebazary. Ilham. (2010). Kamus Istilah Televisi Dan Film. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Zoest, Aart Van dkk. (1996). Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


82

Sumber Jurnal:

Djamereng, Asni. 2018. Analisis Semiotika Pada Iklan Di Televisi (Iklan Wardah
Dan Iklan Total Almeera).

Ayu, Yudhistya. 2016. Makna Kecantikan Pada Iklan Televisi Kosmetik studi
kasus: Mazaya Divine Beauty.

Putri, Agapheswadi. 2015. Representasi Kecantikan Wanita Dalam Iklan Wardah


Di Majalah Kartini.

Budiardjo, Hardman. 2010. Representadsi Kecantikan Pada Iklan Clear Soft Shiny
and Model.

Froezt L.M.,V dan Murnen, S.K. 2002. The Effect of Experimental Presentation of
Thin Media Image and Bady Sensatio: A Meta-Analytic Review. Internatioal
Journal of Eating Disorder.

Sumber Skripsi:

Nurnanengsi. 2016. Representasi Konsep Cantik dalam Iklan Televisi: Analisis


Semiotika dalam Iklan Pelembab Wajah Fair & Lovely versi Gita Virga.

Fardiana, Ike Orrinda. 2014. Mitos Kecantikan Perempuan Muslim : Studi


Diskursif Dalam Blog Fashion Muslim.

Aprilia, Ratna Dwi. 2005. Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas
Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan, (Analisis Semiotika Iklan Cetak WRP
Body Shape & Prolene).

Tri, Andi. 2016. Kecantikan di Kalangan mahasiswi: Studi Etnografi tentang


Perawatan Kulit untuk Kecantikan Bagi Mahasiswi Kota Makassar

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


83

Sumber Internet:

Https://www.wikipedia.org/wiki/periklanan_di_televisi_

Https://www.unilever.co.id/brands/our-brands/citra.html

Https://journal.sociolla.com/beauty/kemasan-baru-citra-hand-body-lotion/

Https://lifestyle.kompas.com/read/2018/08/20/173500420/korea-selatan-masih-
jadi-kiblat-kecantikan-wanita-indonesia

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN

84
Universitas Sumatera Utara
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Jalan Prof. A. Sofian No. 1 Kampus USU Medan 20155 Telpon / Fax : (061) 8217168
Laman : www.ilmukomunikasi.usu.ac.id

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN

NAMA : FADHIL MUZAKKIR


NIM : 150904050
PEMBIMBING : Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm

NO TGL.PERTEMUAN PEMBAHASAN

1. 13 - 05 - 2019 Diskusi Judul Skripsi

2. 24 - 07 - 2019 Acc Judul Skripsi

3. 29 – 07- 2019 Bimbingan proposal

4. 16 - 08 - 2019 Penyerahan Revisi proposal

5. 23 - 09 - 2019 ACC Proposal dan Bimbingan Skripsi Bab 4 dan 5

6. 07 - 10 - 2019 Penyerahan Revisi Skripsi Bab 4 dan 5

7. 14 - 10 - 2019 Penyerahan Surat- Surat dan Lampiran Skripsi

Diketahui,
Dosen Pembimbing

Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm

NIP. 197711062005011001

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai