Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sandal jepit murah tak lagi sekedar alas kaki. Tapi sebuah simbol keprihatinan atas
ketidakadilan hukum di negeri ini , di tengah nelangsa atas minimnya hukuman dan
perlakuan istimewa pada para koruptor. 
itu berawal dari kasus yang menimpa AAL pelajar sebuah sekolah menengah kejuruan
negeri. Iseng ia mencuri sepasang sandal jepit milik oknum anggota polisi. Akibatnya
tak main-main selain diinterogasi bahkan dipukuli dengan tangan dan benda tumpul ia
juga terancam lima tahun bui. Kini kasusnya sedang diproses di pengadilan , simpati
publik pun menyeruak. Berbagai elemen masyarakat didukung oleh sejumlah Lembaga
Swadaya Masyarakat, beramai-ramai mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) di sejumlah daerah berdiri posko pengumpulan sandal jepit, untuk diberikan
pada oknum polisi, Briptu AR, supaya dia tidak perlu beli sandal seumur hidup.
Kasus AAL tak hanya menjadi perhatian publik nasional. Dunia pun memberitakan
skandal sandal jepit ini.
Sejumlah media internasional memberitakan kasus ini. Misalnya situs the news zaeland
herald hari ini memuat berita berjudul Indonesia new symbol for justice atau simbol
ketidak adilan di Indonesia
Berita senada juga dimuat media lainnya yakni Washington post , Boston Globe ,
Hindustan Time , dan CTV Mereka juga menyoroti soal diskriminasi hukum yang
terjadi di Indonesia.
Hari ini Rabu 4 Januari 2011 AAL akan kembali disidang secara tertutup dengan
agenda mendengarkan keterangan saksi. Orang tuanya berharap agar proses hukum
yang menjerat AAL berakhir. Saya berharap banyak agar majelis hakim menghentikan
proses hukum yang sedang berlangsung kata Ebert Nicholas Lagaronda orangtua AAL.
Sebelumnya, pemerhati anak Seto Mulyadi mengatakan, pemidanaan AAL adalah salah
satu contoh tindakan yang kejam terhadap anak.
Menurut pria yang akrab dipanggil kak Seto itu pada prinsipnya penjara bukanlah
tempat untuk mendidik anak. Karena kalau tidak, kita tanpa sadar justru hanya akan
mendidik anak-anak kita sendiri jadi pelaku-pelaku kriminal yang sejati. Sejumlah
lembaga swadaya masyarakat juga mengecam peradilan sandal jepit ini dan melakukan
aksi solidaritas. Bahkan Pegawai Negeri Sipil di Sulteng juga. melakukan aksi dengan
mengumpulkan sandal jepit. Sejumlah lembaga dan komunitas membuka posko untuk
menampung bantuan sandal jepit dari masyarakat.

Sejumlah pejabat mulai dari Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola, Wakil
Ketua DPRD Sulteng Hendri Kawulur, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulteng Ansyari, dan
pejabat lain, ikut prihatin. Kalau masih bisa diselesaikan dengan kekeluargaan,
seharusnya kasus ini tidak perlu masuk ke sampai pengadilan, apalagi melibatkan anak
sekolah yang masih dibawah umur. Seharusnya cukup dilakukan pembinaan dengan
melibatkan keluarga dan sekolah, tidak harus sampai diadili. Kasus sandal jepit ini
bermula Mei lalu saat Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng,
mengaku kehilangan sandal merek Eiger di rumah kostnya di jalan Zebra. Saat itu,
Briptu Rusdi menuduh AAL yang kebetulan lewat saat dia mencari sandalnya. AAL
ketika itu masih pelajar SMP. Atas tuduhan ini, AAL mengelak, tapi Briptu Rusdi tetap
menuduh bahkan memanggil rekannya di bagian Reserse Kriminal Khusus Polda
Sulteng Briptu Simson J Sipayang untuk ikut mengionterogasi. Karena AAL terus
mengelak, keduanya lalu memukul AAL. Tak tahan dipukuli AAL kemudian mengaku
pernah menemukan sandal jepit merek Ando sekitar 25 km dari kamar kos Briptu
Rusdi. Entah mengapa sandal jepit ini yang kemudian digunakan Briptu Rusdi untuk
menyeret AAL ke pengadilan.

Di pengadilan pun terjadi dialog agak aneh saat hakim maupun pengacara menanya
Briptu Rusdi dari mana dia yakin bahwa sandal jepit tersebut miliknya. Saat itu Briptu
Rusdi menjawab ada kontak batin. Saat hakim meminta Briptu Rusdi mencoba sandal
tersebut, tampak jelas sandal itu kekecilan untuk kaki Briptu Rusdi yang besar. Atas
kejadian pemukulan anaknya , Ebert Nicolas Lagaronda ayah AAL kemudian
melaporkan Briptu Rusdi dan Briptu Simson ke Divisi Propam Polda Sulteng. Briptu
Rusdi sempat meminta laporan ini dicabut, tapi orang tua AAL tetap meneruskan
laporannya, berikut bukti visum.Untuk kasus penganiayaan ini, Briptu Simson telah
dijatuhi hukuman kurungan 21 hari dan penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun
dalam sidang Kode Etik dan Disiplin yang digelar Divisi Propam Polda Sulteng Adapun
Briptu Rusdi masih menjalani sidang disiplin.
BAB II

PEMBAHASAN

Apabila kita melihat pemikiran kalangan yang menghendaki agar menghentikan


proses persidangan terhadap AAL, maka penulis termasuk kalangan setuju. Dari
konteks ini, penulis berpendapat, bahwa proses persidangan terhadap AAL tidak
memenuhi prinsip dari hukum pidana tersebut. Prinsip dari hukum pidana yaitu
menciptakan rasa adil ditengah masyarakat, proses ini juga menimbulkan effek jera
kepada pelaku dan masyarakat umum terhadap perbuatan yang dilarang tersebut.
Namun berpijak kepada kasus AAL, dua fundamental ini tidak terpenuhi.

Selain menimbulkan kontroversial ditengah masyarakat, AAL sebagai terdakwa


dalam perkara ini tentunya merasakan ketidakadilan. AAL  justru tidak mengalami masa
masa indah dan bergaul dengan teman-teman sebayanya. AAL mengalami dunia yang
aneh dan cenderung asing dengan berbagai lapisan diluar usianya. AAL “dipaksa”
menjadi dewasa dan mandiri untuk bertahan hidup. Seluruh perasaan ingin dibelai dan
butuh perhatian kasih sayang dari orang yang menyayangi tidak diterimanya lagi.AAL
memang dituduh mencuri sandal jepit oleh Jaksa Penuntut Umum didalam persidangan.
Namun kelakuannya tersebut tidak pantas kemudian disidangkan dimuka persidangan.
Sehingga AAL mengalami “hukuman” yang melebihi kesalahannya. AAL tidak pantas
mengalami proses dan hukuman sosial melebih kesalahannya dan tentu saja disinilah
rasa “ketidakadilan” yang dirasakan oleh AAL dan menggelitik penulis juga termasuk
barisan yang menyatakan ketidakadilan terhadap proses terhadap AAL.

Selain itu juga bahwa peristiwa terhadap AAL tentunya tidak menimbulkan effek
jera kepada masyarakat umum. Sehingga dua fundamental dari hukum pidana tidak
tercapai dengan diterapkan proses persidangan terhadap AAL , Namun mengharapkan
agar persidangan ”dihentikan” sebagaimana disampaikan sebagian kalangan akan
berbenturan dengan paradigma aliran positivisme yang dianut sebagian besar penegak
hukum di Indonesia.

ALIRAN POSITIVISME
Sebagaimana kita ketahui hakim menjatuhkan putusan berpatokan kepada alat
bukti sebagaimana diatur didalam pasal 184 KUHAP. Suatu perbuatan tindak pidana
yang harus dilakukan kepada para pelaku harus juga memperhatikan teori
pertanggungjawaban pidana seperti teorkenbaarheid, criminal responbility, criminal
liability yaitu teori untuk menentukan apakah seorang tersangka/terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Artinya perbuatan
pidana tersebut dilakukan bersifat melawan hukum. Menurut Pompe hubungan petindak
dengna tindakannya ditinjaui dari sudut kehendak (de will), kesalahan petindak adalah
merupakan bagian dari kehendak tersebut.
Maka asas yang timbul adalah tiada pidana tanpa kesalahan. Nyatalah bahwa jika
seseorang melakukan tindakan yang tidak bersifat melawan hukum tersebut dihapuskan
oleh suatu keadaan tertentu berdasarkan undang-undang maka terhadap petindak itu
sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana terhadapnya. dalam berbagai wacana
diskusi, penulis termasuk barisan yang konsisten menyatakan bahwa hakim di Indonesia
harus berpandangan positivisme dimana ajaran in merupakan ajaran umum dalam
hukum Indonesia.
Ajaran ini merupakan terjemahan langsung dari pengembangan ajaran legalisme. Ajaran
legalisme menyatakan bahwa yang dinamakan hukum adalah Undang-undang.
Sedangkan ajaran positivisme merupakan ajaran yang menyatakan bahwa selain UU
juga adanya yurisprudensi. dari titik masuk ini, maka hakim di Indonesia harus
berpandangan positivisme.
Dalam berbagai literatur yang menjadi sorotan penulis bahwa sebagaimana diatur
didalam Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang
menyatakan hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang
berlaku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-
undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan
dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dari segala tuduhan
menurut penulis melambangkan alam berfikir hakim didalam memutuskan perkara.
Dari ranah ini, Berdasarkan teori pertanggungjawaban inilah, penulis menyatakan
bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa tidak terpenuhi dan terdakwa
tidak dapat diminta pertanggungjawaban sebagaimana diatur didalam pasal 5 ayat (2)
UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak. Pasal 5 “(1) Dalam hal anak belum
mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana,
maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.(2) Apabila
menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya,
Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua
asuhnya.
Bahwa mendasarkan kepada pemikiran yang telah disampaikan oleh Bagir Manan,
bahwa yang paling penting didalam melakukan putusan terhadap suatu perkara haruslah
memperhatikan kepentingan publik (public interest), kepentingan sosial (social interest)
dan para pihak yang berperkara (privat interest) yang dalam hal ini adalah terdakwa
Raju. Apabila tidak dimungkinkan adanya keseimbangan dari kepentingan tersebut,
maka haruslah diutamakan kepada public interest yang mendasarkan kepada kepastian
hukum.
Apabila kita membedah persidangan terhadap AAL, maka terhadap AA tidak ditemukan
dasar untuk dihentikan pemeriksaan persidangan sebagaimana diatur didalam KUHAP.
KUHAP hanya membuka ruang diskusi untuk menghentikan pemeriksaan persidangan
dengan alasan bahwa terdakwa sakit sebagaimana persidangan terhadap Soeharto dan
terdakwa meninggal dunia sebagaimana diatur didalam pasal 77 KUHP.
Selain daripada dua ketentuan tersebut, maka terdakwa haruslah tetap diperiksa dan
tidak dapat dihentikan pemeriksaan terhadapnya. Sedangkan apabila melihat daripada
alasan pembenar maupun pemaaf perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dari pasal 44
sampai dengan pasal 51 ayat (2) dapat dilakukan dalam pemeriksaan namun, pasal ini
juga tidak mengatur untuk dihentikan pemeriksaan. Sedangkan dari UU No. 3 Tahun
1997 tentang Peradilan Anak tidak juga ditemukan dasar untuk menghentikan
pemeriksaan terhadap proses persidangan. Secara yuridis-formil, hakim harus
memeriksa dan mengadili perkara ini dan tentu saja tidak dihentikan karena tidak
ditemukan alasan pembenar maupun pemaaf sebagaimana diatur didalam KUHP.
Pemikiran ini adalah positivisme yang senantiasa harus dilakukan oleh Hakim. Dari
seluruh ketentuan normatif tersebut, maka dapat dimengerti bahwa hakim tidak dapat
menghentikan pemeriksaan tersebut dengan alasan apapun yang dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu berdasarkan kepada ajaran positivisme, maka
persidangan tidak dapat dihentikan. Pertimbangan itulah yang membuat penulis
memahami argumentasi aliran positivisme dalam polemik terhadap persidangan AAL.
Namun wacana persidangan terhadap AAL apabila kita dalilkan dengan ajaran
positivisme dan rasa keadilan ditengah masyarakat dan tidak terpenuhinya prinsip dari
hukum pidana yaitu mencari kebenaran yang sebenar-benarnya tidak akan terpenuhi dan
akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Terhadap dua perbandingan tersebut,
maka dapat kita tarik benang merah sehingga untuk kedepan tidak terulang peristiwa
tersebut.

Apabila kita lihat proses persidangan terhadap AAL,  maka kita harus membongkar
rangkaian perjalanan perkara ini hingga diperiksa dimuka persidangan. Pihak kepolisian
haruslah diusut tuntas dengan pertimbangan, Mengapa perkara ini tetap dilanjutkan ?
Apakah sudah dilakukan upaya perdamaian sehingga perkara ini tidak dilanjutkan.
Apakah tidak dimungkinkan adanya pembinaan dari orang tua AAL dalam perkara ini ?
apakah sudah terlalu berbahaya perbuatan AAL sehingga upaya diluar proses hukum
tidak berjalan ? Apakah tidak dilakukan cara-cara lain untuk menyelesaikan perkara ini.
Pertanyaan ini sengaja menggelitik penulis untuk dapat berfikir jernih didalam melihat
perkara ini.
Pertanyaan sama juga ditujukan kepada Jaksa penuntut umum yang berdasarkan
kewenangannya kemudian menerima berkas dan membuat dakwaan dan membawa
AAL dimuka persidangan. Apakah pertimbangan itu juga menjadi bahan Jaksa Penuntut
Umum sebelum membuat dakwaan terhadap AAL  Seluruh rangkaian perkara ini
hingga dimuka persidangan mengakibatkan perkara ini tidak dapat dihentikan. Karena
hakim tidak boleh menolak perkara sebagaimana diatur didalam berbagai peraturan
yang berkaitan dengna kedudukan hakim dan peraturan lainnya. oleh karena itu
sebenarnya titik taut kesalahan perkara ini muncul karena proses di tingkat kepolisian
dan Kejaksaan yang tidak sesuai dengan normatif UU peradilan Anak.
Dari deskripsi sederhana ini, banyak pelajaran yang menarik untuk kita tarik.
Pertama. Bahwa adanya pemahaman di tingkat penyidik dan Kejaksaan tentang
Peradilan Anak dan berbagai ketentuan normatif yang memberikan perlindungan anak.
Kedua. Perlunya revisi terhadap UU Peradilan Anak dan Kejahatan Anak yang
memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk dapat mempunyai
kewenangan menghentikan pemeriksaan terhadap anak dibawah umur  terhadap
kejahatan yang nilai kerugiannya kecil. Ketiga. Bahwa peradilan haruslah steril dari
“intervensi” diluar persidangan agar proses persidangan fair. Apabila kita mau sejenak
untuk menghentikan perdebatan aliran positivisme dan makna keadilan disisi lain, maka
kita akan bertindak bijaksana dan tidak meminta kepada Dewi Themis, Sang Dewi
Keadilan dalam Mitologi Yunani agar tidak salah mengayunkan pedangnya.

Anda mungkin juga menyukai