NOMOR :
TENTANG
PANDUAN PELAYANAN TRANSFER PASIEN
DIREKTUR RUMAH SAKIT
MENIMBANG :
a. Bahwa Proses transfer merupakan salah satu hal penting yang pasti terjadi pada pasien di
Rumah Sakit
b. Bahwa Transfer adalah proses perpindahan pasien dari satu tempat pelayanan ke tempat
pelayanan yang lain dengan tetap berorientasi pada mutu dan keselamatan pasien.
c. Bahwa Proses transfer dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun pasien bedara dan
mendapatkan pelayanan.
d. Bahwa Agar pelayanan transfer atau perpindahan pasien ini dapat berjalan dengan baik dan
tercapai sesuai kebutuhan pasien, maka diperlukan persamaan persepsi tentang visi, misi dan
tujuan rumah sakit dalam dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien dalam bentuk
panduan pelayanan transfer pasien.
MENGINGAT :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/ III/ 2008 tentang pelayanan rumah
sakit
MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN
PERTAMA : Keputusan Direktur Rumah Sakit Tentang Panduan Pelayanan Transfer Pasien
Rumah Sakit sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
KEDUA : Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan transfer pasien Rumah Sakit
dilaksanakan oleh Direktur Pelayanan Medis dan Keperawatan Rumah Sakit.
KETIGA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya
Ditetapkan di :
Tanggal :
RUMAH SAKIT
Direktur Utama
TEMBUSAN Yth :
1. Seluruh unit kerja
2. Arsip
PANDUAN
PELAYANAN TRANSFER PASIEN RUMAH SAKIT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan sehari-hari adalah hak setiap orang dan
merupakan kewajiban yang harus di miliki oleh semua orang. Pemerintah dan segenap
masyarakat bertanggungjawab dalam memelihara dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Untuk menunjang sistim yang baik di perlukan sumberr daya manusia yang
trampil dan terlatih dalam menangani penderita dengan gawat darurat.
Transfer pasien dapat dilakukan apabila kondisi pasien layak untuk di transfer.
Prinsip dalam melakukan transfer pasien adalah memastikan keselamatan dan keamanan
pasien saat menjalani transfer. Pelaksanaan transfer pasien dapat dilakukan intra rumah
sakit atau antar rumah sakit.
Transfer pasien dimulai dengan melakukankoordinasi dan komunikasi pra
transportasi pasien, menentukan SDM yang akan mendampingi pasien, menyiapkan
peralatan yang disertakan saat transfer dan monitoring pasien selama transfer. Transfer
pasien hanya boleh dilakukan oleh staf medis dan staf keperawatan yang kompeten serta
petugas profesional lainnya yang sudah terlatih.
B. TUJUAN
Tujuan dari manajemen transfer pasien adalah:
- Agar pelayanan transfer pasien dilaksanakan secara profesional dan berdedikasi tinggi.
- Agar proses transfer/ pemindahan pasien berlangsung dengan aman dan lancar serta
pelaksanaannya sangat memperhatikan keselamatan pasien serta sesuai dengan prosedur
yang telah ditetapkan
C. RUANG LINGKUP
Transfer pasien didalam rumah sakit terdiri dari:
- Transfer pasien dari IGD ke IRNA, ICU, Kamar Operasi
- Transfer pasien dari IRJ ke IRNA, ICU, Kamar Operasi
- Transfer pasien dari IRNA ke ICU, Kamar Operasi
- Transfer pasien dari ICU ke IRNA, Kamar Operasi
- Transfer pasien dari Kamar Operasi ke IRNA, ICU
- Transfer pasien dari IGD, IRNA, ICU ke Ruang Radiologi.
- Transfer pasien dari Kamar Bersalin ke Ruang Rawat Gabung
BAB II
DEFINISI TRANSFER PASIEN
CARA TRANSFER
Dokter yang mengirim bertanggung jawab untuk memulai rujukan, pemilihan cara
transfer serta serta tingkat perawatan sepanjang perjalanan. Dokter yang merujuk harus
berkomunikasi dahulu dengan dokter penerima transfer, mengetahui cara transportasi yang
dipilih dan mengatur pelayanan pasien selama transportasi.
Dokter yang menstransfer bertanggung jawab bahwa pasien dalam keadaan stabil saat
berangkat. Proses merujuknya sendiri mungkin sudah dimulai saat resusitasi masih berlangsung.
Persetujuan untuk rujukan harus disiapkan karena akan memperlancar proses rujukan.
Dokter penerima rujukan harus meyakini bahwa rumah sakitnyya mampu menerima
pasien dan memang bersedia menerima. Bila dokter penerima rujukan menyatakan menolak
rujukan, maka tetap harus membantu mencari alternatif rujukan.
Kualitas pelayanan selama transportasi juga sangat penting. Hanya dengan komunikasi
yang baik antara dokter yang merujuk dengan dokter penerima rujukan, cara-cara transportasi
dan cara pelayanan selama transportasi dapat dilakukan dengan aman.
D. CARA TRANSPORTASI
Transportasi intra hospital adalah kegiatan pendukung untuk pelayanan gawat darurat
yang perlu mendapat perhatian untuk memberikan pelayanan antar unit pelayanan (UGD, ICU,
kamar bedah) di perlukan prosedur, peralatan dan SDM yang memiliki pengetahuan cukup.
Perjalanan antar rumah sakit dapat berbahaya kecuali apabila terhadap pasien telah di lakukan
stabilisasi, tenaga yang mendampingi cukup terlatih dan telah di perhitungkan kemungkinan
terjadi selama transportasi.
E. PROSEDUR TRANSFER
1. SPO transfer antar ruangan
Transfer pasien antar ruang perawatan adalah memindahkan pasien dari satu ruangan
keruang perawatan/ ruang tindakan lain didalam rumah sakit.
F. DOKUMENTASI
Yang disertakan dengan pasien pada saat transfer adalah dokumentasi mengenai
permasalahan pasien, terapi yang telah di berikan,keadaan pasien saat akan di transfer.
Pengiriman data data dapat dengan fax untuk menghindari keterlambatan.
2. Breathing
a. Tentukan laju pernaafasan (respirasi rate) , berikan oksigen
b. Ventilasi mekanik bila di perlukan
c. Pasang pipa toraks (chest tube) dimana perlu.
3. Circulation
a. Kontrol perdarahan luar
b. Pasang 2 jalur infus, mulai pemberian kristaloid
c. Perbaikan kehilangan darah dengan kristaloid atau darah dan di teruskan pemberian
selama transfer
d. Pasang kateter uretra untuk monitor keluaran urin
e. Monitor kecepatan dan irama jantung
6. Luka
Tindakan di bawah ini tidak boleh memperlambat rujukan.
a. Setelah kontrol perdarahan, bersihkan dan perban luka
b. Berikan profilaksis tetanus
c. Antibiotika jika di perlukan
BAB III
RUANG LINGKUP
A. Pengaturan Transfer
1. Rumah sakit memiliki suatu tim transfer yang terdiri dari dokter senior (dr ICU), DPJP, dr
IGD/ dr ruangan, PPJP, perawat yang kompeten dalam merawat pasien kritis (perawat ICU),
petugas medis, dan petugas ambulans. Tim ini yang berwenang untuk memutuskan metode
transfer mana yang akan dipilih.
3. Rumah sakit mempunyai sistem resusitasi, stabilisasi, dan transfer untuk pasien-pasien
dengan sakit berat / kritis; tanpa terkecuali.
4. Dokter senior / spesialis (DPJP/ dr ICU) yang bertanggung jawab dalam tim transfer pasien
harus siap sedia 24 jam untuk mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan transfer pasien
sakit berat / kritis antar-rumah sakit.
b. Transfer antar rumah sakit untuk alasan non-medis (misalnya karena ruangan penuh,
fasilitas kurang mendukung, jumlah petugas rumah sakit tidak adekuat)
- Idealnya, pasien sebaiknya tidak ditransfer jika bukan untuk kepentingan mereka.
- Terdapat beberapa kondisi di mana permintaan / kebutuhan akan tempat tidur/
ruang rawat inap melebihi suplai sehingga diputuskanlah tindakan untuk
mentransfer pasien ke unit / rumah sakit lain.
- Pengambilan keputusan haruslah mempertimbangkan aspek etika, apakah akan
mentransfer pasien stabil yang telah berada / dirawat di unit intensif rumah sakit
atau mentransfer pasien baru yang membutuhkan perawatan intensif tetapi
kondisinya tidak stabil.
- Saat menghubungi jasa ambulan, pasien ini dapat dikategorikan sebagai tipe
transfer ‘gawat’.
11. Saat keputusan transfer telah diambil, dokter yang bertanggung jawab/ dokter ruangan
akan menghubungi unit / rumah sakit yang dituju.
12. Dalam mentransfer pasien antar rumah sakit, tim transfer rumah sakit (DPJP/ PPJP/ dr
ruangan) akan menghubungi rumah sakit yang dituju dan melakukan negosiasi dengan unit
yang dituju. Jika unit tersebut setuju untuk menerima pasien rujukan, tim transfer rumah sakit
harus memastikan tersedianya peralatan medis yang memadai di rumah sakit
yang dituju.
13. Keputusan final untuk melakukan transfer ke luar RS dipegang oleh dokter
senior / DPJP/ konsultan rumah sakit yang dituju.
14. Beritahukan kepada pasien (jika kondisinya memungkinkan) dan keluarga mengenai
perlunya dilakukan transfer antar rumah sakit, dan mintalah persetujuan tindakan transfer.
15. Proses pengaturan transfer ini harus dicatat dalam status rekam medis pasien yang
meliputi: nama, jabatan, dan detail kontak personel yang membuat kesepakatan baik di
rumah sakit yang merujuk dan rumah sakit penerima; tanggal dan waktu dilakukannya
komunikasi antar-rumah sakit; serta saran-saran / hasil negosiasi kedua belah pihak.
16. Personel tim transfer harus mengikuti pelatihan transfer; memiliki kompetensi yang sesuai;
berpengalaman; mempunyai peralatan yang memadai; dapat bekerjasama dengan jasa
pelayanan ambulan, protokol dan panduan rumah sakit, serta pihak-pihak lainnya yang
terkait; dan juga memastikan proses transfer berlangsung dengan aman dan lancar tanpa
mengganggu pekerjaan lain di rumah sakit yang merujuk
17. Pusat layanan ambulan harus diberitahu sesegera mungkin jika keputusan untuk
melakukan transfer telah dibuat, bahkan bila waktu pastinya belum diputuskan. Hal ini
memungkinkan layanan ambulan untuk merencanakan pengerahan petugas dengan lebih
efisien.
2. Transfer sebaiknya tidak dilakukan bila kondisi pasien belum stabil (pasien kalau kondisi
sudah stabil)
3. Hipovolemia adalah kondisi yang sulit ditoleransi oleh pasien akibat adanya akselerasi dan
deselerasi selama transfer berlangsung, sehingga hipovolemia harus sepenuhnya dikoreksi
sebelum transfer.
4. Unit/ rumah sakit yang dituju untuk transfer harus memastikan bahwa ada prosedur /
pengaturan transfer pasien yang memadai.
5. Perlu waktu hingga beberapa jam mulai dari setelah pengambilan keputusan dibuat hingga
pasien ditransfer ke unit/ rumah sakit lain.
7. Unit/ rumah sakit yang dituju dapat memberikan saran mengenai penanganan segera /
resusitasi yang perlu dilakukan terhadap pasien pada situasi-situasi khusus, namun
tanggung jawab tetap pada tim transfer.
8. Tim transfer harus familiar dengan peralatan yang ada dan secara independen menilai
kondisi pasien.
9. Seluruh peralatan dan obat-obatan harus dicek ulang oleh petugas transfer.
10. Gunakanlah daftar persiapan transfer pasien (lampiran 1) untuk memastikan bahwa semua
persiapan yang diperlukan telah lengkap dan tidak ada yang terlewat.
8. Semua petugas yang tergabung dalam tim transfer untuk pasien dengan sakit berat / kritis
harus kompeten, terlatih, dan berpengalaman.
4. Pengukuran tekanan darah non-invasif intermiten, sensitif terhadap gerakan dan tidak
dapat diandalkan pada mobil yang bergerak. Selain itu juga cukup menghabiskan baterai
monitor.
5. Pengukuran tekanan darah invasif yang kontinu (melalui kanula arteri) disarankan.
6. Idealnya, semua pasien derajat 3 harus dipantau pengukuran tekanan darah secara invasif
selama transfer (wajib pada pasien dengan cedera otak akut; pasien dengan tekanan darah
tidak stabil atau berpotensi menjadi tidak stabil; atau pada pasien dengan inotropik).
7. Kateterisasi vena sentral tidak wajib tetapi membantu memantau filling status (status
volume pembuluh darah) pasien sebelum transfer. Akses vena sentral diperlukan dalam
pemberian obat inotropic dan vasopressor.
9. Pada pasien dengan pemasangan ventilator, lakukan pemantauan suplai oksigen, tekanan
pernapasan (airway pressure), dan pengaturan ventilator.2
10. Tim transfer yang terlibat harus memastikan ketersediaan obat-obatan yang diperlukan,
antara lain: (sebaiknya obat-obatan ini sudah disiapkan di dalam jarum suntik)
a. Obat resusitasi dasar: epinefrin, anti-aritmia3
b. Obat sedasi
c. Analgesik
d. Relaksans otot
e. Obat inotropik
11. Hindari penggunaan tiang dengan selang infus yang terlalu banyak agar akses terhadap
pasien tidak terhalang dan stabilitas brankar terjaga dengan baik.1
13. Penggunaan tabung oksigen tambahan harus aman dan terpasang dengan baik.
14. Petugas transfer harus familiar dengan seluruh peralatan yang ada di ambulans.2
15. Pertahankan temperature pasien, lindungi telinga dan mata pasien selama transfer.
17. Peralatan listrik harus dapat berfungsi dengan menggunakan baterai (saat tidak
disambungkan dengan stop kontak/listrik).
18. Baterai tambahan harus dibawa (untuk mengantisipasi terjadinya mati listrik)
19. Monitor yang portabel harus mempunyai layar yang jernih dan terang dan dapat
memperlihatkan elektrokardiogram (EKG), saturasi oksigen arteri, pengukuran tekanan
darah (non-invasif), kapnografi, dan temperatur.
20. Pengukuran tekanan darah non-invasif pada monitor portabel dapat dengan cepat
menguras baterai dan tidak dapat diandalkan saat terdapat pergerakan ekternal / vibrasi
(getaran).
21. Alarm dari alat harus terlihat jelas dan terdengar dengan cukup keras.
23. Semua peralatan harus terstandarisasi sehingga terwujudnya suatu proses transfer yang
lancar dan tidak adanya penundaan dalam pemberian terapi / obat-obatan.1
24. Catatlah status pasien, tanda vital, pengukuran pada monitor, tatalaksana yang diberikan,
dan informasi klinis lainnya yang terkait. Pencatatan ini harus dilengkapi selama transfer.
25. Pasien harus dipantau secara terus-menerus selama transfer dan dicatat di lembar
pemantauan.
26. Monitor, ventilator, dan pompa harus terlihat sepanjang waktu oleh petugas dan harus
dalam posisi aman di bawah level pasien.
28. Pasien RS dalam kondisi kritis yang memerlukan transfer melalui udara
maka:
a. Diperlukan suatu alat yang dapat membawa pasien yang terfiksasi pada lantai pesawat
terbang.
b. Penyediaan Oksigen dan peralatan yang dibutuhkan dalam pesawat (koordinasi
dengan petugas transportasi udara)
c. Tidak boleh menggunakan peralatan yang mengandung merkuri.
d. Semua peralatan yang diperlukan untuk mempertahankan jalan napas dan pemberian
cairan harus tersedia dan mudah diakses.
e. Harus tersedia alat kejut jantung (defibrillator) (koordinasi dengan petugas
transportasi udara), hanya petugas yang ahli di bidangnya yang diizinkan untuk
menggunakan alat ini di pesawat.
f. Penggunaan peralatan lainnya, seperti syringe pumps, harus sesuai dengan indikasi
dan penting untuk diingat bahwa terdapat keterbatasan area di dalam pesawat untuk
memastikan alat terpasang dengan aman.
g. Pasien dan peralatan harus dipastikan aman dan terfiksasi menggunakan sabuk
pengaman.
h. Alat yang terpasang pada pasien harus dalam posisi aman dan berada di sisi kiri
pasien.
i. Brankar pasien harus difiksasi dengan kuat di lantai pesawat sebelum keberangkatan.
j. Pastikan baterai peralatan terisi penuh dan bawa juga baterai cadangan karena tidak
ada suplai listrik tambahan di pesawat kecuali untuk ‘menyelamatkan nyawa’
(resusitasi)
k. Telepon genggam harus di-nonaktifkan saat pesawat mengudara.