Anda di halaman 1dari 15

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 

NOMOR : 
TENTANG
PANDUAN PELAYANAN TRANSFER PASIEN
DIREKTUR RUMAH SAKIT 

MENIMBANG :
a. Bahwa Proses transfer merupakan salah satu hal penting yang pasti terjadi pada pasien di
Rumah Sakit
b. Bahwa Transfer adalah proses perpindahan pasien dari satu tempat pelayanan ke tempat
pelayanan yang lain dengan tetap berorientasi pada mutu dan keselamatan pasien.
c. Bahwa Proses transfer dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun pasien bedara dan
mendapatkan pelayanan.
d. Bahwa Agar pelayanan transfer atau perpindahan pasien ini dapat berjalan dengan baik dan
tercapai sesuai kebutuhan pasien, maka diperlukan persamaan persepsi tentang visi, misi dan
tujuan rumah sakit dalam dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien dalam bentuk
panduan pelayanan transfer pasien.

MENGINGAT :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/ III/ 2008 tentang pelayanan rumah
sakit

MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN
PERTAMA : Keputusan Direktur Rumah Sakit Tentang Panduan Pelayanan Transfer Pasien
Rumah Sakit  sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.

KEDUA : Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan transfer pasien Rumah Sakit
dilaksanakan oleh Direktur Pelayanan Medis dan Keperawatan Rumah Sakit.

KETIGA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya

Ditetapkan di :
Tanggal :
RUMAH SAKIT

Direktur Utama

TEMBUSAN Yth :
1. Seluruh unit kerja
2. Arsip

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT


NOMOR :
TANGGAL :

PANDUAN
PELAYANAN TRANSFER PASIEN RUMAH SAKIT

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan sehari-hari adalah hak setiap orang dan
merupakan kewajiban yang harus di miliki oleh semua orang. Pemerintah dan segenap
masyarakat bertanggungjawab dalam memelihara dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Untuk menunjang sistim yang baik di perlukan sumberr daya manusia yang
trampil dan terlatih dalam menangani penderita dengan gawat darurat.
Transfer pasien dapat dilakukan apabila kondisi pasien layak untuk di transfer.
Prinsip dalam melakukan transfer pasien adalah memastikan keselamatan dan keamanan
pasien saat menjalani transfer. Pelaksanaan transfer pasien dapat dilakukan intra rumah
sakit atau antar rumah sakit.
Transfer pasien dimulai dengan melakukankoordinasi dan komunikasi pra
transportasi pasien, menentukan SDM yang akan mendampingi pasien, menyiapkan
peralatan yang disertakan saat transfer dan monitoring pasien selama transfer. Transfer
pasien hanya boleh dilakukan oleh staf medis dan staf keperawatan yang kompeten serta
petugas profesional lainnya yang sudah terlatih.
B. TUJUAN
Tujuan dari manajemen transfer pasien adalah:
- Agar pelayanan transfer pasien dilaksanakan secara profesional dan berdedikasi tinggi.
- Agar proses transfer/ pemindahan pasien berlangsung dengan aman dan lancar serta
pelaksanaannya sangat memperhatikan keselamatan pasien serta sesuai dengan prosedur
yang telah ditetapkan

C. RUANG LINGKUP
Transfer pasien didalam rumah sakit terdiri dari:
- Transfer pasien dari IGD ke IRNA, ICU, Kamar Operasi
- Transfer pasien dari IRJ ke IRNA, ICU, Kamar Operasi
- Transfer pasien dari IRNA ke ICU, Kamar Operasi
- Transfer pasien dari ICU ke IRNA, Kamar Operasi
- Transfer pasien dari Kamar Operasi ke IRNA, ICU
- Transfer pasien dari IGD, IRNA, ICU ke Ruang Radiologi.
- Transfer pasien dari Kamar Bersalin ke Ruang Rawat Gabung

Transfer pasien antar rumah sakit terdiri dari:


- Transfer pasien dari RS ke RS lain atau sebaliknya
- Transfer pasien dari RS ke rumah pasien atau sebaliknya

BAB II
DEFINISI TRANSFER PASIEN

A. DEFINISI TRANSFER PASIEN


Transfer pasien adalah memindahkan pasien dari satu ruangan keruang perawatan/ ruang
tindakan lain didalam rumah sakit (intra rumah sakit) atau memindahkan pasien dari satu
rumah sakit ke rumah sakit lain (antar rumah sakit).

B. MENENTUKAN PERLUNYA TRANSFER


Yang mutlak harus di ketahui adalah kemampuan dokter yang bertugas serta kemampuan
rumah sakit tersebut. Dengan pengetahuan ini dapat di kenal secara dini pasien mana yang
perlu di lakukan rujukan. Bila sudah di ambil keputusan untuk transfer, jangan menunda dengan
melakukan tindakan diagnostik yang tidak perlu (misalnya DPL, Ct Scan dsb).

C. FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TRANSFER


Faktor-faktor yang dijadikan pegangan untuk transfer penderita antara lain adalah kriteria
fisiologis, pola perlukaan, biomekanika trauma dan beberapa masalah khusus. Apabila
keputusan untuk transfer sudah diambil, jangan menunda transfer dengan melakukan
pemeriksaanagar lengkap. Hanya pemeriksaan fungsi hemodinamik yang dapat dilakukan,
pemeriksaan lain hanya akan menunda transfer. Ada keadaan dimana penderita tidak dapat di
lakukan transfer karena masalah hemodinamik yang belum stabil.

CARA TRANSFER
Dokter yang mengirim bertanggung jawab untuk memulai rujukan, pemilihan cara
transfer serta serta tingkat perawatan sepanjang perjalanan. Dokter yang merujuk harus
berkomunikasi dahulu dengan dokter penerima transfer, mengetahui cara transportasi yang
dipilih dan mengatur pelayanan pasien selama transportasi.
Dokter yang menstransfer bertanggung jawab bahwa pasien dalam keadaan stabil saat
berangkat. Proses merujuknya sendiri mungkin sudah dimulai saat resusitasi masih berlangsung.
Persetujuan untuk rujukan harus disiapkan karena akan memperlancar proses rujukan.
Dokter penerima rujukan harus meyakini bahwa rumah sakitnyya mampu menerima
pasien dan memang bersedia menerima. Bila dokter penerima rujukan menyatakan menolak
rujukan, maka tetap harus membantu mencari alternatif rujukan.
Kualitas pelayanan selama transportasi juga sangat penting. Hanya dengan komunikasi
yang baik antara dokter yang merujuk dengan dokter penerima rujukan, cara-cara transportasi
dan cara pelayanan selama transportasi dapat dilakukan dengan aman.

D. CARA TRANSPORTASI
Transportasi intra hospital adalah kegiatan pendukung untuk pelayanan gawat darurat
yang perlu mendapat perhatian untuk memberikan pelayanan antar unit pelayanan (UGD, ICU,
kamar bedah) di perlukan prosedur, peralatan dan SDM yang memiliki pengetahuan cukup.
Perjalanan antar rumah sakit dapat berbahaya kecuali apabila terhadap pasien telah di lakukan
stabilisasi, tenaga yang mendampingi cukup terlatih dan telah di perhitungkan kemungkinan
terjadi selama transportasi.

E. PROSEDUR TRANSFER
1. SPO transfer antar ruangan
Transfer pasien antar ruang perawatan adalah memindahkan pasien dari satu ruangan
keruang perawatan/ ruang tindakan lain didalam rumah sakit.

2. SPO transfer antar rumah sakit


Transfer pasien pindah perawatan ke rumah sakit lain adalah memindahkan pasien dari Rumah
sakit ke RS lain untuk pindah perawatan karena tidak tersedianya fasilitas
pelayanan yang dibutuhkan pasien

3. SPO transfer ke RS lain untuk tindakan medis atau pemeriksaan penunjang.


Transfer pasien ke rumah sakit lain untuk tindakan medis/ pemeriksaan penunjang adalah
memindahkan sementara pasien dari RS ke RS lain untuk dilakukan tindakan
medis/ pemeriksaan penunjang karena tidak tersedianya fasilitas pelayanan yang
dibutuhkan pasien di Rumah sakit

F. DOKUMENTASI
Yang disertakan dengan pasien pada saat transfer adalah dokumentasi mengenai
permasalahan pasien, terapi yang telah di berikan,keadaan pasien saat akan di transfer.
Pengiriman data data dapat dengan fax untuk menghindari keterlambatan.

G. PENGOBATAN SEBELUM TRANSFER


Pasien harus dilakukan resusitasi dalam usaha membuat pasien dalam keadaan se-stabil
mungkin seperti di bawah ini:
1. Airway
a. Pasang airway atau intubasi bila perlu
b. Suction di mana perlu
c. Pasang NGT untuk mencegah aspirasi

2. Breathing
a. Tentukan laju pernaafasan (respirasi rate) , berikan oksigen
b. Ventilasi mekanik bila di perlukan
c. Pasang pipa toraks (chest tube) dimana perlu.

3. Circulation
a. Kontrol perdarahan luar
b. Pasang 2 jalur infus, mulai pemberian kristaloid
c. Perbaikan kehilangan darah dengan kristaloid atau darah dan di teruskan pemberian
selama transfer
d. Pasang kateter uretra untuk monitor keluaran urin
e. Monitor kecepatan dan irama jantung

4. Susunan syaraf pusat


a. Bila pasien tidak sadar, bantuan pernafasan
b. Berikan manitol atau diuretika dimana di perlukan
c. Immobilisasi kepala, leher, thorak, dan atau vertebra lumbalis
5. Pemeriksaan diagnostik
Bila terindikasi jangan sampai menunda rujukan
a. Foto rogten servical, thorax, pelvis, ekstrimitas
b. Pemeriksaan lanjutan seperti CT scan dan agiografi biasanya tidak ada indikasi
c. Pemeriksaan HB, HT, Golongan darah dan crossmatch, analisis gas darah, tes kehamilan
semua wanita usia subur.
d. Penentuan denyut jantung dan saturasi hemoglobin (EKG & Pulse oximetry)

6. Luka
Tindakan di bawah ini tidak boleh memperlambat rujukan.
a. Setelah kontrol perdarahan, bersihkan dan perban luka
b. Berikan profilaksis tetanus
c. Antibiotika jika di perlukan

7. Fraktur : Bidai dan traksi

H. PENGELOLAAN SELAMA TRANSFER


Petugas pendamping harus yang terlatih, tergantung keadaan pasien dan masalah yang
mungkin akan timbul.
- Monitoring tanda vital dan pulse oximetry
- Bantuan kardio respirasi dimana diperlukan
- Pemberian darah bila di perlukan
- Pemberian obat sesuai instruksi dokter selama prosedur tetap
- Menjaga komunikasi dengan dokter selama transfer
- Melakukan dokumentasi selama transportasi

BAB III
RUANG LINGKUP

A. Pengaturan Transfer
1. Rumah sakit memiliki suatu tim transfer yang terdiri dari dokter senior (dr ICU), DPJP, dr
IGD/ dr ruangan, PPJP, perawat yang kompeten dalam merawat pasien kritis (perawat ICU),
petugas medis, dan petugas ambulans. Tim ini yang berwenang untuk memutuskan metode
transfer mana yang akan dipilih.

2. Berikut adalah metode transfer yang ada di RS


a. LayananAntar-Jemput Pasien: merupakan layanan / jasa umum khusus untuk pasien
rumah sakit dengan tim transfer dari petugas IGD, di mana tim tersebut akan
mengambil / menjemput pasien dari rumah/ rumah sakit jejaring untuk dibawa ke RS.
b. Tim transfer local: RS memiliki tim transfernya sendiri dan mengirimkan
sendiri pasiennya ke rumah sakit lain, tetapi bila tim transfer dan faslitas transfer di Rumah Sakit
sedang tidak siap, maka transfer dilakukan dengan menggunakan jasa tim
transfer dari ambulan gawat darurat rumah sakit lain

3. Rumah sakit mempunyai sistem resusitasi, stabilisasi, dan transfer untuk pasien-pasien
dengan sakit berat / kritis; tanpa terkecuali.

4. Dokter senior / spesialis (DPJP/ dr ICU) yang bertanggung jawab dalam tim transfer pasien
harus siap sedia 24 jam untuk mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan transfer pasien
sakit berat / kritis antar-rumah sakit.

B. Keputusan Melakukan Transfer


1. Lakukan pendekatan yang sistematis dalam proses transfer pasien.
2. Awali dengan pengambilan keputusan untuk melakukan transfer, kemudian lakukan
stabilisasi pre-transfer dan manajemen transfer.
3. Hal ini mencakup tahapan: evaluasi, komunikasi, dokumentasi / pencatatan, pemantauan,
penatalaksanaan, penyerahan pasien antar ruangan dalam rumah sakit maupun ke rumah
sakit rujukan / penerima, dan kembali ke RS.
4. Tahapan yang penting dalam menerapkan proses transfer yang aman: edukasi dan
persiapan.
5. Pengambilan keputusan untuk melakukan transfer harus dipertimbangkan dengan matang
karena transfer berpotensi mengekspos pasien dan personel rumah sakit akan risiko
bahaya tambahan, serta menambah kecemasan keluarga dan kerabat pasien.
6. Pertimbangkan risiko dan keuntungan dilakukannya transfer. Jika risikonya lebih besar,
sebaiknya jangan melakukan transfer.
7. Dalam transfer pasien, diperlukan personel yang terlatih dan kompeten, peralatan dan
kendaraan khusus.
8. Pengambil keputusan harus melibatkan DPJP/ dokter senior (biasanya seorang konsultan)
dan dokter ruangan.
9. Dokumentasi pengambilan keputusan harus mencantumkan nama dokter yang mengambil
keputusan (berikut gelar dan biodata detailnya), tanggal dan waktu diambilnya keputusan,
serta alasan yang mendasari.
10. Terdapat 3 alasan untuk melakukan transfer pasien keluar Rumah Sakit, yaitu:
a. Transfer untuk penanganan dan perawatan spesialistik lebih lanjut
- Ini merupakan situasi emergensi di mana sangat diperlukan transfer yang efisien
untuk tatalaksana pasien lebih lanjut, yang tidak dapat disediakan RS
- Pasien harus stabil dan teresusitasi dengan baik sebelum ditransfer.
- Saat menghubungi jasa ambulan, pasien dapat dikategorikan sebagai tipe transfer
‘gawat darurat’, (misalnya ruptur aneurisma aorta. juga dapat dikategorikan
sebagai tipe transfer ‘gawat’, misalnya pasien dengan kebutuhan hemodialisa.

b. Transfer antar rumah sakit untuk alasan non-medis (misalnya karena ruangan penuh,
fasilitas kurang mendukung, jumlah petugas rumah sakit tidak adekuat)
- Idealnya, pasien sebaiknya tidak ditransfer jika bukan untuk kepentingan mereka.
- Terdapat beberapa kondisi di mana permintaan / kebutuhan akan tempat tidur/
ruang rawat inap melebihi suplai sehingga diputuskanlah tindakan untuk
mentransfer pasien ke unit / rumah sakit lain.
- Pengambilan keputusan haruslah mempertimbangkan aspek etika, apakah akan
mentransfer pasien stabil yang telah berada / dirawat di unit intensif rumah sakit
atau mentransfer pasien baru yang membutuhkan perawatan intensif tetapi
kondisinya tidak stabil.
- Saat menghubungi jasa ambulan, pasien ini dapat dikategorikan sebagai tipe
transfer ‘gawat’.

c. Repatriasi / Pemulangan Kembali


- Transfer hanya boleh dilakukan jika pasien telah stabil dan kondisinya dinilai cukup
baik untuk menjalani transfer oleh DPJP/ dokter senior / konsultan yang
merawatnya.
- Pertimbangan akan risiko dan keuntungan dilakukannya transfer harus dipikirkan
dengan matang dan dicatat.
- Jika telah diputuskan untuk melakukan repatriasi, transfer pasien ini haruslah
menjadi prioritas di rumah sakit penerima dan biasanya lebih diutamakan
dibandingkan penerimaan pasien elektif ke unit ruang rawat. Hal ini juga membantu
menjaga hubungan baik antar-rumah sakit.
- Saat menghubungi jasa ambulan, pasien ini biasanya dikategorikan sebagai tipe
transfer ‘elektif’.

11. Saat keputusan transfer telah diambil, dokter yang bertanggung jawab/ dokter ruangan
akan menghubungi unit / rumah sakit yang dituju.

12. Dalam mentransfer pasien antar rumah sakit, tim transfer rumah sakit (DPJP/ PPJP/ dr
ruangan) akan menghubungi rumah sakit yang dituju dan melakukan negosiasi dengan unit
yang dituju. Jika unit tersebut setuju untuk menerima pasien rujukan, tim transfer rumah sakit
harus memastikan tersedianya peralatan medis yang memadai di rumah sakit
yang dituju.

13. Keputusan final untuk melakukan transfer ke luar RS dipegang oleh dokter
senior / DPJP/ konsultan rumah sakit yang dituju.
14. Beritahukan kepada pasien (jika kondisinya memungkinkan) dan keluarga mengenai
perlunya dilakukan transfer antar rumah sakit, dan mintalah persetujuan tindakan transfer.

15. Proses pengaturan transfer ini harus dicatat dalam status rekam medis pasien yang
meliputi: nama, jabatan, dan detail kontak personel yang membuat kesepakatan baik di
rumah sakit yang merujuk dan rumah sakit penerima; tanggal dan waktu dilakukannya
komunikasi antar-rumah sakit; serta saran-saran / hasil negosiasi kedua belah pihak.

16. Personel tim transfer harus mengikuti pelatihan transfer; memiliki kompetensi yang sesuai;
berpengalaman; mempunyai peralatan yang memadai; dapat bekerjasama dengan jasa
pelayanan ambulan, protokol dan panduan rumah sakit, serta pihak-pihak lainnya yang
terkait; dan juga memastikan proses transfer berlangsung dengan aman dan lancar tanpa
mengganggu pekerjaan lain di rumah sakit yang merujuk

17. Pusat layanan ambulan harus diberitahu sesegera mungkin jika keputusan untuk
melakukan transfer telah dibuat, bahkan bila waktu pastinya belum diputuskan. Hal ini
memungkinkan layanan ambulan untuk merencanakan pengerahan petugas dengan lebih
efisien.

C. Stabilisasi sebelum transfer


1. Meskipun berpotensi memberikan risiko tambahan terhadap pasien, transfer yang aman
dapat dilakukan bahkan pada pasien yang sakit berat / kritis (extremely ill).

2. Transfer sebaiknya tidak dilakukan bila kondisi pasien belum stabil (pasien kalau kondisi
sudah stabil)

3. Hipovolemia adalah kondisi yang sulit ditoleransi oleh pasien akibat adanya akselerasi dan
deselerasi selama transfer berlangsung, sehingga hipovolemia harus sepenuhnya dikoreksi
sebelum transfer.

4. Unit/ rumah sakit yang dituju untuk transfer harus memastikan bahwa ada prosedur /
pengaturan transfer pasien yang memadai.

5. Perlu waktu hingga beberapa jam mulai dari setelah pengambilan keputusan dibuat hingga
pasien ditransfer ke unit/ rumah sakit lain.

6. Hal yang penting untuk dilakukan sebelum transfer:


a. Amankan potensi jalan napas
Beberapa pasien mungkin membutuhkan intubasi atau trakeostomi dengan
pemantauan end-tidal carbondioxide yang adekuat.
b. Analisis gas darah harus dilakukan pada pasien yang menggunakan ventilator portabel
selama minimal 15 menit.
c. Terdapat jalur / akses vena yang adekuat (minimal 2 kanula perifer atau sentral)
d. Pengukuran tekanan darah invasif yang kontinu / terus-menerus merupakan teknik
terbaik untuk memantau tekanan darah pasien selama proses transfer berlangsung.
e. Jika terdapat pneumotoraks, selang drainase dada (Water-Sealed Drainage-WSD) harus
terpasang dan tidak boleh diklem.
f. Pasang kateter urin dan nasogastric tube (NGT), jika diperlukan
g. Pemberian terapi /tatalaksana tidak boleh ditunda saat menunggu pelaksanaan transfer

7. Unit/ rumah sakit yang dituju dapat memberikan saran mengenai penanganan segera /
resusitasi yang perlu dilakukan terhadap pasien pada situasi-situasi khusus, namun
tanggung jawab tetap pada tim transfer.

8. Tim transfer harus familiar dengan peralatan yang ada dan secara independen menilai
kondisi pasien.

9. Seluruh peralatan dan obat-obatan harus dicek ulang oleh petugas transfer.

10. Gunakanlah daftar persiapan transfer pasien (lampiran 1) untuk memastikan bahwa semua
persiapan yang diperlukan telah lengkap dan tidak ada yang terlewat.

D. Pendampingan Pasien Selama Transfer


1. Pasien dengan sakit berat / kritis harus didampingi oleh minimal 2 orang tenaga medis.
2. Kebutuhan akan jumlah tenaga medis / petugas yang mendampingi pasien bergantung
pada kondisi / situasi klinis dari tiap kasus (tingkat / derajat beratnya penyakit / kondisi
pasien).
3. Dokter senior (dr ICU/ dr Anesthesi), bertugas untuk membuat keputusan dalam
menentukan siapa saja yang harus mendampingi pasien selama transfer berlangsung.
4. Sebelum melakukan transfer, petugas yang mendampingi harus paham dan mengerti akan
kondisi pasien dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan proses transfer.
5. Berikut ini adalah pasien-pasien yang tidak memerlukan dampingan dr ICU/ dr Anestesi
selama proses transfer antar-rumah sakit berlangsung.
a. Pasien yang dapat mempertahankan potensi jalan napasnya dengan baik dan tidak
membutuhkan bantuan ventilator / oksigenasi
b. Pasien dengan perintah ‘Do Not Resuscitate’ (DNR)
c. Pasien yang ditransfer untuk tindakan manajemen definitif akut di mana intervensi
anestesi tidak akan mempengaruhi hasil.
6. Berikut adalah panduan perlu atau tidaknya dilakukan transfer berdasarkan tingkat /
level kebutuhan perawatan pasien kritis. (keputusan harus dibuat oleh dokter ICU/ DPJP)
a. Level 0:
Pasien yang dapat terpenuhi kebutuhannya dengan ruang rawat biasa di unit/ rumah
sakit yang dituju; biasanya tidak perlu didampingi oleh dokter, perawat, atau paramedis
(selama transfer).
b. Level 1:
Pasien dengan risiko perburukan kondisi, atau pasien yang sebelumnya menjalani
perawatan di High Care Unit (HCU); di mana membutuhkan perawatan di ruang rawat
biasa dengan saran dan dukungan tambahan dari tim perawatan kritis; dapat
didampingi oleh perawat, petugas ambulan, dan atau dokter (selama transfer).
c. Level 2:
Pasien yang membutuhkan observasi / intervensi lebih ketat, termasuk penanganan
kegagalan satu sistem organ atau perawatan pasca-operasi, dan pasien yang
sebelumnya dirawat di HCU; harus didampingi oleh petugas yang kompeten, terlatih,
dan berpengalaman (biasanya dokter dan perawat / paramedis lainnya).
d. Level 3:
Pasien yang membutuhkan bantuan pernapasan lanjut (advanced respiratory support)
atau bantuan pernapasan dasar (basic respiratory support) dengan dukungan / bantuan
pada minimal 2 sistem organ, termasuk pasien-pasien yang membutuhkan penanganan
kegagalan multi-organ; harus didampingi oleh petugas yang kompeten, terlatih, dan
berpengalaman (biasanya dokter anestesi dan perawat ruang intensif / IGD atau
paramedis lainnya).

7. Saat Dr ICU/ DPJP di RS tidak dapat menjamin terlaksananya bantuan /


dukungan anestesiologi yang aman selama proses transfer; pengambilan keputusan
haruslah mempertimbangkan prioritas dan risiko terkait transfer.

8. Semua petugas yang tergabung dalam tim transfer untuk pasien dengan sakit berat / kritis
harus kompeten, terlatih, dan berpengalaman.

9. Petugas yang mendampingi harus membawa telepon genggam selama transfer


berlangsung yang berisi nomor telphon RS dan rumah sakit tujuan.

10. Keselamatan adalah parameter yang penting selama proses transfer.

2. Transfer Intra-Rumah Sakit


a. Standar: pemantauan minimal, pelatihan, dan petugas yang berpengalaman;
diaplikasikan pada transfer intra- dan antar-rumah sakit
b. Sebelum transfer, lakukan analisis mengenai risiko dan keuntungannya.
c. Sediakan kapasitas cadangan oksigen dan daya baterai yang cukup untuk
mengantisipasi kejadian emergensi.
d. Peralatan listrik harus tepasang ke sumber daya (stop kontak) dan oksigen sentral
digunakan selama perawatan di unit tujuan.
e. Petugas yang mentransfer pasien ke ruang pemeriksaaan radiologi harus paham akan
bahaya potensial yang ada.
f. Semua peralatan yang digunakan pada pasien tidak boleh melebihi level pasien

F. PEMANTAUAN, OBAT-OBATAN, DAN PERALATAN SELAMA TRANSFER PASIEN


KRITIS
1. Pasien dengan kebutuhan perawatan kritis memerlukan pemantauan selama proses
transfer.
2. Standar pelayanan dan pemantauan pasien selama transfer setidaknya harus sebaik
pelayanan di RS/ RS tujuan.
3. Peralatan pemantauan harus tersedia dan berfungsi dengan baik sebelum transfer
dilakukan. Standar minimal untuk transfer pasien antara lain:
a. Kehadiran petugas yang kompeten secara kontinu selama transfer
b. EKG kontinu
c. Pemantauan tekanan darah (non-invasif)
d. Saturasi oksigen (oksimetri denyut)
e. Terpasangnya jalur intravena
f. Terkadang memerlukan akses ke vena sentral
g. Peralatan untuk memantau cardiac output
h. Pemantauan end-tidal carbon dioxide pada pasien dengan ventilator
i. Mempertahankan dan mengamankan jalan napas
j. Pemantauan temperatur pasien secara terus-menerus (untuk mencegah terjadinya
hipotermia atau hipertermia)1

4. Pengukuran tekanan darah non-invasif intermiten, sensitif terhadap gerakan dan tidak
dapat diandalkan pada mobil yang bergerak. Selain itu juga cukup menghabiskan baterai
monitor.

5. Pengukuran tekanan darah invasif yang kontinu (melalui kanula arteri) disarankan.

6. Idealnya, semua pasien derajat 3 harus dipantau pengukuran tekanan darah secara invasif
selama transfer (wajib pada pasien dengan cedera otak akut; pasien dengan tekanan darah
tidak stabil atau berpotensi menjadi tidak stabil; atau pada pasien dengan inotropik).

7. Kateterisasi vena sentral tidak wajib tetapi membantu memantau filling status (status
volume pembuluh darah) pasien sebelum transfer. Akses vena sentral diperlukan dalam
pemberian obat inotropic dan vasopressor.

8. Pemantauan tekanan intracranial mungkin diperlukan pada pasien-pasien tertentu.

9. Pada pasien dengan pemasangan ventilator, lakukan pemantauan suplai oksigen, tekanan
pernapasan (airway pressure), dan pengaturan ventilator.2

10. Tim transfer yang terlibat harus memastikan ketersediaan obat-obatan yang diperlukan,
antara lain: (sebaiknya obat-obatan ini sudah disiapkan di dalam jarum suntik)
a. Obat resusitasi dasar: epinefrin, anti-aritmia3
b. Obat sedasi
c. Analgesik
d. Relaksans otot
e. Obat inotropik

11. Hindari penggunaan tiang dengan selang infus yang terlalu banyak agar akses terhadap
pasien tidak terhalang dan stabilitas brankar terjaga dengan baik.1

12. Semua infus harus diberikan melalui syringe pumps.

13. Penggunaan tabung oksigen tambahan harus aman dan terpasang dengan baik.

14. Petugas transfer harus familiar dengan seluruh peralatan yang ada di ambulans.2

15. Pertahankan temperature pasien, lindungi telinga dan mata pasien selama transfer.

16. Seluruh peralatan harus kokoh, tahan lama, dan ringan.

17. Peralatan listrik harus dapat berfungsi dengan menggunakan baterai (saat tidak
disambungkan dengan stop kontak/listrik).

18. Baterai tambahan harus dibawa (untuk mengantisipasi terjadinya mati listrik)

19. Monitor yang portabel harus mempunyai layar yang jernih dan terang dan dapat
memperlihatkan elektrokardiogram (EKG), saturasi oksigen arteri, pengukuran tekanan
darah (non-invasif), kapnografi, dan temperatur.

20. Pengukuran tekanan darah non-invasif pada monitor portabel dapat dengan cepat
menguras baterai dan tidak dapat diandalkan saat terdapat pergerakan ekternal / vibrasi
(getaran).

21. Alarm dari alat harus terlihat jelas dan terdengar dengan cukup keras.

22. Ventilator mekanik yang portabel harus mempunyai (minimal):


a. alarm yang berbunyi jika terjadi tekanan tinggi atau terlepasnya alat dari tubuh pasien
b. mampu menyediakan tekanan akhir ekspirasi positif (positive end expiratory pressure)
dan berbagai macam konsentrasi oksigen inspirasi
c. pengukuran rasio inspirasi : ekspirasi, frekuensi pernapasan per-menit, dan volume
tidal.
d. Mampu menyediakan ventilasi tekanan terkendali (pressure-controlled ventilation) dan
pemberian tekanan positif berkelanjutan (continuous positive airway pressure)

23. Semua peralatan harus terstandarisasi sehingga terwujudnya suatu proses transfer yang
lancar dan tidak adanya penundaan dalam pemberian terapi / obat-obatan.1

24. Catatlah status pasien, tanda vital, pengukuran pada monitor, tatalaksana yang diberikan,
dan informasi klinis lainnya yang terkait. Pencatatan ini harus dilengkapi selama transfer.

25. Pasien harus dipantau secara terus-menerus selama transfer dan dicatat di lembar
pemantauan.

26. Monitor, ventilator, dan pompa harus terlihat sepanjang waktu oleh petugas dan harus
dalam posisi aman di bawah level pasien.

27. Peralatan pada transportasi udara:

28. Pasien RS dalam kondisi kritis yang memerlukan transfer melalui udara
maka:
a. Diperlukan suatu alat yang dapat membawa pasien yang terfiksasi pada lantai pesawat
terbang.
b. Penyediaan Oksigen dan peralatan yang dibutuhkan dalam pesawat (koordinasi
dengan petugas transportasi udara)
c. Tidak boleh menggunakan peralatan yang mengandung merkuri.
d. Semua peralatan yang diperlukan untuk mempertahankan jalan napas dan pemberian
cairan harus tersedia dan mudah diakses.
e. Harus tersedia alat kejut jantung (defibrillator) (koordinasi dengan petugas
transportasi udara), hanya petugas yang ahli di bidangnya yang diizinkan untuk
menggunakan alat ini di pesawat.
f. Penggunaan peralatan lainnya, seperti syringe pumps, harus sesuai dengan indikasi
dan penting untuk diingat bahwa terdapat keterbatasan area di dalam pesawat untuk
memastikan alat terpasang dengan aman.
g. Pasien dan peralatan harus dipastikan aman dan terfiksasi menggunakan sabuk
pengaman.
h. Alat yang terpasang pada pasien harus dalam posisi aman dan berada di sisi kiri
pasien.
i. Brankar pasien harus difiksasi dengan kuat di lantai pesawat sebelum keberangkatan.
j. Pastikan baterai peralatan terisi penuh dan bawa juga baterai cadangan karena tidak
ada suplai listrik tambahan di pesawat kecuali untuk ‘menyelamatkan nyawa’
(resusitasi)
k. Telepon genggam harus di-nonaktifkan saat pesawat mengudara.

Anda mungkin juga menyukai