ABK. 6 Pendidikan - Inklusif
ABK. 6 Pendidikan - Inklusif
Menurut Budianto (2006), sistem segregasi tidak mampu lagi mengemban misi
utama pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Sistem segregasi cenderung
diskriminatif, esklusif, mahal, tidak efesien, serta outputnyapun belum menjanjikan
sesuatu yang positif. Disebut pula oleh Reynolds dan birch (1988), bahwa model
segregasi tidak menjamin kesempatan anak berkenalinan berkembang potensi secara
optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Hal
itu secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk
kelak dapat berinteraksi dengan masyarakat normal, tetapi faktanya mereka
dipisahkan dari masyarakat normal.
1
sehingga potensi anak dapat berkembang secara optimal. Semangat pendidikan
inkuusif akan memberi akses yang luas-luasnya kepada semua anak, termasuk anak
berebutuhan khusus, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan memberikan
layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhanya.
Definisi inklusif disampaikan oleh Dianne dan Brandy Reese (2002) bahwa :
“inclusion can be defined as the act of being present at reguler education clesses with
the support and service needed to successfully achieve education goals. Inclusion in the
scholastic enviroment benefits both the disabled student and the non-disabled student
in obtaining life skills. by including all student as much possible in general or reguler
education all classes all students can learn to work cooperatively, learn to work with
different kinds of people in taks “
2
Menurut Sharon rustemer (2002), yang dilaporkan pada center of study in
inclusive education (CSIE) , pendidikan inklusif didefinisikan sebgai berikut “ inclusive
education learning together in ordinary pre-school provision, schools, colleges and
universities with appropriate network of support”. Dengan demikian, pendidikan
inklusif dapat diikuti oleh semua orang dengan tanpa keterbatasan dan dapat
berlangsung di setiap jenjang pendiidkan, mulai dari TK sampai perguruaan tinggi
3
Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model mainstreaming.
Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming
memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan.
Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang
paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga
dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment),
artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling
tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat kelainannya.
5
dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke
sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
1. Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem
terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
2. Biaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah
regular.
3. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat
bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau.
4. SLB (terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang memisahkan anak
dari kehidupan sosial yang nyata. Sedangkan sekolah inklusif lebih ‘menyatukan’
anak dengan kehidupan nyata.
5. Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak berkebutuhan khusus yang tidak
mendapatkan layanan yang sesuai.
6. Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak ‘cacat’ yang dapat
menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua tidak mau ke SLB.
7
7. Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses edukasi kepada masyarakat
agar menghargai adanya perbedaan.
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan inklusif, maka
dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat. Pendidikan inklusif yang
moderat dimaksud adalah:
1. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh
2. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming
Model pendidikan mainstreamingmerupakan model yang memadukan antara
pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan
pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas
reguler hanya untuk beberapa waktu saja.
4. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak
berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhannya.
8
G. Manfaat Pendidikan Inklusif
Layanan pendidikan inklunsif membantu untuk memastikan bahwa anak-anak
dengan dan tanpa mengalami hambatan dapat tumbuh hidup dan tumbuh bersama.
Semua anak, keluarga, dan masyarakatmendukung penyelnggaraan pendidikan
inklunsif. Praktek-praktek inklunsif membantu menciptakan suasana di mana anak-
anak akan lebih mampu ntuk menerima dan memahami perbedaan di anara mereka
sendiri. Anak-anak mulai menyadari dan menerima bahwa beberapa orang harus
menggunakan rusi roda, beberapa orang harus menggunakan alat bantu dengar , dan
beberapa menggunakan tangan dan kaki mereka dengan cara yang berbeda.
9
e) Guru berusaha meningkatkan kredibilitas mereka sebagai seorang profesional
yang berkualitas.
f) Guru senantiasa mengembangkan kreativitas dalam mengelola pembelajaran di
kelas maupun di luar kelas.
g) Guru tertantang untuk terus belajar melalui perbedaan yang di hadapi di kelas.
h) Guru terlatih dan terbiasa untuk memiliki budaya kerja yang positif , kreatif,
inovatif, fleksibel, dan akomodatif terhadap semua anak didiknya dengan semua
perbedaan.
10
- Pendidikan inklunsif membantu anak berkebutuhan khusus untuk menjadi
lebih siap untuk tanggung jawab dan hak-hak kehidupan masyarakat.
- Meningkatkan tanggung jawab terhadap pendidikan anak di sekolah dan di
masyarakat
- Ikut menjadi sumber dan semakin terbuka dan ramah bermitra dengan sekolah
&&&&&MG&&&&&
11