Anda di halaman 1dari 12

Nama : Muhammad Rafly

NIM : 03011281823068
Kelas : B Indralaya
Mata Kuliah : Teknologi Beton Mutakhir
Dosen Pengampu : Dr. Saloma, S.T., M.T.

RESUME SELF COMPACTING CONCRETE

A. Definisi
Menurut EFNARC, The Europe Guidelines for Self Compacting Concrete (2005), Self
Compacting Concrete (SCC) adalah sebuah inovasi beton yang tidak memerlukan getaran
untuk mengisi ruang dan memadat. Beton SCC mampu mengalir dengan beratnya sendiri
untuk memenuhi bekisting (cetakan) secara utuh dan mencapai kepadatan sempurna, bahkan
konstruksi dengan desain tulangan yang rapat. Beton SCC dapat mengalir sendiri dengan lebih
cepat sehingga dapat mempercepat pekerjaan pengecoran.
Beton SCC (Self Compacting Concrete) memiliki workabilitas dan flowabilitas yang
tinggi, homogenitas yang baik, serta dapat mengurangi permeabilitas dan mempunyai tingkat
durabilitas yang tinggi. Agregat yang digunakan pada pembuatan beton SCC relatif lebih
kecil sehingga mampu mengalir dengan sendirinya melewati tulangan yang rapat. Proses
pembuatan beton SCC memerlukan admixture berupa superplasticizier yang berfungsi untuk
mereduksi air dan meningkatkan flowability. Penggunaan superplasticizier memungkinkan
penurunan rasio air-semen hingga nila w/c = 0,3 atau lebih kecil (Juvas,2004).
Beton SCC memiliki porsi komponen halus yang lebih banyak serta ukuran agregat
kasar yang lebih kecil dengan porsi yang lebih sedikit dibandingkan dengan beton
konvensional. Komponen halus ini akan mengurangi segregasi dan meningkatkan kohesivitas
campuran. Perbandingan proporsi campuran antara beton konvensional dan SCC dapat dilihat
pada gambar dibawah ini:

Gambar 1. Perbandingan Proporsi Campuran SCC dengan Beton Konvensional


(Sumber: Okamura dan Ouchi, 2003)
B. Kelebihan
Kelebihan dari beton SCC diantaranya :
a) Sangat encer, bahkan dengan bahan aditif tertentu bisa menahan slump
tinggi dalam jangka waktu lama (slump keeping admixture).
b) Tidak memerlukan pemadatan manual.
c) Lebih homogen dan stabil.
d) Kuat tekan beton bisa dibuat untuk mutu tinggi atau sangat tinggi.
e) Lebih kedap, porositas lebih kecil.
f) Susut lebih rendah.
g) Dalam jangka panjang struktur lebih awet (durable).
h) Tampilan permukaan beton lebih baik dan halus karena agregatnya biasanya
berukuran kecil sehingga nilai estetis bangunan menjadi lebih tinggi.
i) Karena tidak menggunakan penggetaran manual, lebih rendah polusi suara
saat pelaksanaan pengecoran.
j) Tenaga kerja yang dibutuhkan juga lebih sedikit karena beton dapat mengalir dengan
sendirinya sehingga dapat menghemat biaya sekitar 50% dari upah buruh.

C. Kriteria
Menurut EFNARC, Specification and Guidelines for Self – Compacting Concrete
(2005), beton dapat dikatakan sebagai SCC apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Sifat Beton Segar SCC
a. Filling Ability (Kemampuan mengisi ruangan)
Filling ability merupakan ukuran dari tingkat kemampuan adukan beton untuk
mengisi ruangan. Perbandingan bahan dan juga sifat bahan mempengaruhi kemampuan
beton segar mengisi ruangan.
b. Passing Ability (Kemampuan melewati tulangan)
Passing ability adalah kemampuan beton untuk mengalir dengan sendirinya melalui
celah antar tulangan atau celah yang sempit tanpa mengalami segregasi.
c. Segregation Resistance (Ketahanan terhadap segregasi)
Segregasi merupakan kecenderungan butir-butir kerikil untuk memisahkan diri dari
campuran adukan beton. Campuran beton yang kelebihan air dapat memicu terjadinya
segregasi, dimana material yang berat mengendap ke dasar beton segar dan material yang
ringan akan menuju permukaan.
d. Viscosity (Viskositas)
Viskositas dinilai dengan pengujian T-500 selama pengujian slump flow.
Pengujian T-500 merupakan waktu yang diperlukan beton untuk dapat mengalir menyentuh
garis batas diameter lingkaran (500mm) yang terdapat pada papan slump. Nilai yang didapat
dari pengujian T-500 tidak menggambarkan tingkat viskositas beton tersebut, melainkan
menggambarkan laju aliran beton segar. Beton dengan viskositas rendah akan memiliki aliran
awal yang sangat cepat dan kemudian berhenti. Beton dengan viskositas tinggi dapat terus
mengalir dalam waktu yang lama.
2. Sifat Beton Padat SCC
a. Strength (Kekuatan)
Kekuatan pada beton meliputi kekuatan tekan dan tarik. Rasio air-semen (w/c ratio)
mempengaruhi kekuatan pada beton. Nilai w/c-ratio yang semakin kecil digunakan, maka
semakin tinggi kuat tekan beton. Kekuatan beton akan bertambah akibat proses hidrasi
semen yang ada dalam adukan beton yang terus berjalan walaupun lambat.
b. Shrinkage (Susut)
Beton SCC memiliki tingkat susut yang rendah dikarenakan pada adukan beton segar
faktor air semen sangat rendah sehingga pada saat mengeras, ruangan- ruangan dari
penguapan air lebih kecil, dengan demikian beton dapat lebih kuat menahan susut.
c. Modulus Elastisitas
Kemampuan bahan untuk menahan beban yang didukungnya dan perubahan bentuk
yang terjadi pada bahan itu amat tergantung pada sifat tegangan dan regangan tersebut.
Perbandingan antara tegangan dan regangan dinamakan modulus elastisitas.
d. Durabilitas (durability)
Durabilitas beton diartikan sebagai ketahanan beton dalam menerima pengaruh-
pengaruh lain dari luar. Beton dengan pemilihan material dan komposisi yang sesuai
menentukan seberapa homogen berton tersebut. Homogenitas pada beton berpengaruh
terhadap ketahanan dan kuat tekan beton tersebut. Homogenitas yang baik akan
menghasilkan beton yang memiliki durabilitas yang baik pula
D. Konsep dasar proses produksi
Adapun konsep dasar yang diterapkan dalam proses produksi beton SCC, seperti gambar
berikut:

Gambar 2. Konsep Dasar Proses Produksi Beton SCC


(Sumber: Okamura dan Ouchi, 2003)

E. Sifat mekanis
Pada tahun 2003, Ouchi mencoba merangkum sifat-sifat mekanis dari sejumlah
penelitian beton SCC yang telah dilakukan seperti tercantum pada tabel berikut:
Keterangan Sifat SCC
Faktor air semen (%) 25 – 40
Rongga Udara (%) 4,5 - 6,0
Kuat tekan (28 hari ) 40 – 80
Kuat tekan (91 hari) 55 – 100
Kuat tarik (28 hari) 2,4 - 4,8
Modulus Elastisitas (Gpa) 30 – 36
Susut Regangan (x 10-6) 600 – 800
Tabel 1. Sifat Mekanis SCC
(Sumber: Okamura dan Ouchi, 2003)
• Metode pengujian
Berdasarkan EFNARC, Specification and Guidelines for Self – Compacting Concrete
(2005), berikut adalah metode pengujian untuk mengetahui sifat SCC pada beton:
1. Slump-Flow Test
Pengujian slump flow digunakan untuk mengukur nilai slump beton, yaitu kemampuan
alir beton pada permukaan bebas. Bersamaan dengan proses pengujian slump flow juga
dilakukan pengujian T500.

Gambar 3. Alat Uji Slump Flow Beton SCC


(Sumber: EFNARC, 2005)

Slump flow = ½ (d max + d perpendicular) dengan,


d max = jarak diameter terbesar lingkaran slump flow d
perpendicular = jarak diameter yang tegak lurus dari d max

Nilai slump flow yang semakin tinggi, maka semakin besar pula kemampuan beton
untuk mengisi cetakan. Menurut EFNARC (2005), nilai slump flow yang diperlukan untuk
SCC antara 650-800 mm. T500 adalah waktu yang dibutuhkan beton dapat mengalir untuk
mecapai diameter 500mm. Kemampuan beton untuk mengalir akan semakin besar jika waktu
pada pengujian T500 semakin sedikit.
Meja sebar (T50) dilakukan untuk menentukan flowability dan stabilitas Self-
Compacting Concrete (SCC). Langkah-langkah pengujian meja sebar (T50) adalah sebagai
berikut:
a. Kerucut Abrams diletakkan di atas plat baja pada permukaan yang datar.
b. Kerucut Abrams diletakkan pada posisi terbalik (diameter 10 cm dibagian bawah dan
diameter 20 cm diatas) diatas plat baja dan diletakkan pada posisi tengah papan aliran.
c. Kerucut Abrams diisi sampai penuh, karena Self-Compacting Concrete tanpa
dilakukan proses pemadatan.
d. Alat uji kerucut slump diangkat secara perlahan dan tegak lurus keatas dengan papan
aliran, sehingga campuran SCC akan turun mengalir membentuk lingkaran.
e. Waktu yang di perlukan adukan beton segar untuk mencapai diameter maksimum 500
mm di catat dan mengukur diameter sebaran maksimum beton segar.
2. L-Shape Box
L-Shape Box dipakai untuk mengetahui kriteria passing ability dari beton SCC.
Pengujian L-Shape Box dapat mengetahui kemungkinan adanya blocking beton segar saat
mengalir serta dapat dilihat viskositas beton segar yang bersangkutan. Pengujian L-Shape-
Box akan didapat nilai blocking ratio yaitu nilai yang didapat dari perbandingan antara
H2/H1. Nilai blocking ratio yang semakin besar maka semakin baik pula beton segar
mengalir dengan viskositas tertentu. Menurut The European Guidelines for Self-Compacting
Concrete (2005) untuk test ini kriteria yang umum dipakai disarankan mencapai nilai passing
ability 0,8 – 1,0.

Gambar 4. L-Shape Box test


(Sumber: EFNARC, 2005)

L-Box test dilakukan untuk mengetahui kemampuan beton segar Self-Compacting


Concrete (SCC) melewati tulangan. Langkah-langkah pengujian L-Box test adalah sebagai
berikut:
a. Alat dan bahan yang dibutuhkan disiapkan seperti: beton segar Self-Compacting
Concrete (SCC), L-Box, Penggaris dan stopwatch.
b. Setelah alat dan bahan telah dipersiapkan, tutup terlebih dahulu penutup L-Box bagian
bawah.
c. Beton segar Self-Compacting Concrete (SCC) dituang kedalam L-Box hingga terisi
penuh.
d. Apabila L-Box telah terisi penuh, penutup bagian bawah dibuka dan dihitung durasi
penurunan aliran beton segar Self-Compacting Concrete (SCC) hingga menyentuh
ujung L-Box dengan menggunakan stopwatch dan hitung ketinggian beton segar Self-
Compacting Concrete (SCC) bagian depan (hulu) dan bagian belakang (hilir) pada L-
Box.
e. Self-Compacting Concrete (SCC) berdasarkan rasio ketinggian akhir (H2/H1) yaitu ≥8.
3. V-Funnel Test
V-funnel dipakai untuk mengukur viskositas beton SCC dan sekaligus mengetahui
segregation resistance. Kemampuan beton segar untuk segera mengalir melalui mulut di
ujung bawah alat ukur V-funnel diukur dengan besaran waktu antara 6 detik sampai maksimal
12 detik (The European Guidelines for Self-Compacting Concrete, 2005). Waktu yang
ditunjukkan dari hasil pengujian V-Funnel menunjukkan tingkat kemampuan beton dalam
mengalir. Pengujian V- funnel dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 5. V-funnel test


(Sumber: EFNARC, 2005)

V-Funnel test dilakukan untuk mengukur waktu yang dibutuhkan beton segar Self-
Compacting Concrete (SCC) mengalir. Langkah-langkah pengujian V-Funnel test sebagai
berikut ini.
a. Alat dan bahan yang dibutuhkan disiapkan seperti beton segar Self-Compacting
Concrete (SCC), V-Funnel, stopwatch dan wadah.
b. Setelah alat dan bahan dipersiapkan, tutup terlebih dahulu penutup V-Funnel pada
bagian bawah. 53
c. Beton segar Self-Compacting Concrete (SCC) dituang kedalam V-Funnel hingga terisi
penuh, kemudian tunggu hingga satu menit.
d. Apabila telah satu menit, penutup bagian bawah V-Funnel dibuka dan dihitung dengan
menggunakan stopwatch durasi penurunan aliran beton segar Self-Compacting
Concrete (SCC) hingga isi beton segar Self-Compacting Concrete (SCC) didalam V-
Funnel habis.
e. Durasi waktu penurunan aliran (pengaliran) beton segar Self-Compacting Concrete
(SCC) yang disyaratkan yaitu 6-12 detik.
4. J-Ring Test
J-Ring Test dilakukan untuk mengukur luas aliran melewati hambatan. Langkah-
langkah pengujian J-Ring adalah sebagai berikut ini:
a. Alat dan bahan yang dibutuhkan disiapkan seperti: beton segar Self-Compacting
Concrete (SCC), stopwatch, J-Ring, kerucut Abram, plat baja datar berukuran 1,5 m x
1,5 m dan penggaris.
b. Setelah alat dan bahan telah dipersiapkan, letakkan J-Ring dan kerucut abram diatas
plat baja yang telah diberi ukuran berdiameter 500 mm kemudian kerucut Abram
diletakkan terbalik (bagian atas diletakkan dibagian bawah) tepat berada ditengah J-
Ring.
c. Kemudian beton segar Self-Compacting Concerete (SCC) dituang kedalam kerucut
Abram hingga terisi penuh.
d. Kerucut Abram diangkat perlahan hingga terangkat keseluruhan. Pada saat kerucut
Abram diangkat, maka penghitungan durasi waktu menggunakan stopwatch dimulai.
e. Waktu dihentikan pada saat aliran beton segar segar Self-Compacting Concerete (SCC)
sampai menyentuh garis diameter 500 mm tersebut.
f. Luas diameter aliran agar memenuhi persyaratan segar Self-Compacting Concerete
(SCC) yaitu 500 mm dalam rentang waktu 2-5 detik sementara diameter akhir pada
pengujian J-Ring ± 10 mm diukur dari garis lingkaran diameter 500 mm.
• Material penyusun beton SCC
Dalam adukan beton SCC terdapat berbagai agregat penyusun dan bahan tambah,
antara lain:
1. Agregat
Agregat merupakan salah satu material yang dipakai bersama-sama dengan suatu
media pengikat untuk pembentuk beton dengan jumlah berkisar 75% dari volume beton.
Berdasarkan ukuran butirnya, Agregat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu agregat halus dan
agregat kasar.
a) Agregat Halus
Agregat halus adalah pasir alam sebagai hasil desintegerasi alami batuan atau pun pasir
yang dihasilkan oleh pemecah batu dan mempunyai ukuran butir lebih kecil dari 3/16 inci
atau 5 mm ( lolos saringan no. 4).
b) Agregat Kasar
Agregat kasar adalah kerikil sebagai hasil desintegerasi alami batuan atau pun kerikil
yang dihasilkan oleh pemecah batu dan mempunyai ukuran butir lebih kecil dari 5 - 40 mm
( tertahan pada saringan no. 4)
2. Semen Portland
Semen portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menghaluskan
klingker terutama yang terdiri dari silikat-silikat kalsium yang bersifat hidrolis dengan gips
sebagai bahan tambahan (PUBI,1982). Fungsi semen 16 adalah untuk merekatkan butir-butir
agregat agar terjadi massa yang kompak atau padat dan juga berfungsi mengisi rongga-
rongga pada beton sebesar 10% dari volume beton.
3. Air
Air merupakan bahan dasar pembuat beton yang penting. Air diperlukan untuk bereaksi
dengan semen serta sebagai bahan pelumas antara butir-butir agregat agar dapat mudah
dikerjakan dan dipadatkan
4. Fly Ash
fly ash diperoleh dari hasil residu PLTU. Material ini berupa butiran halus ringan,
bundar, tidak porous, mempunyai kadar bahan semen yang tinggi dan mempunyai sifat
pozzolanik, yaitu dapat bereaksi dengan kapur bebas yang dilepaskan semen saat proses
hidrasi dan membentuk senyawa yang bersifat mengikat pada temperatur normal dengan
adanya air. Menurut ACI Manual of Concrete Practice (1993), fly ash dapat dibedakan
menjadi 3 jenis, yaitu :
a) Kelas C
Fly ash yang mengandung CaO di atas 10% yang dihasilkan dari pembakaran lignite
atau sub-bitumen batubara (batubara muda). 1. Kadar (SiO2 + Al2O3 + Fe2O3) > 50%. 2.
Kadar CaO mencapai 10%. Dalam campuran beton digunakan sebanyak 15% - 35% dari
berat binder.
b) Kelas F
Fly ash yang mengandung CaO lebih kecil dari 10% yang dihasilkan dari pembakaran
anthracite atau bitumen batubara. a. Kadar (SiO2 + Al2O3 + Fe2O3) > 70%. b. Kadar CaO <
5%. Dalam campuran beton digunakan sebanyak 15% - 25% dari berat binder.
c) Kelas N.
Pozzolan alam atau hasil pembakaran yang dapat digolongkan antara lain tanah
diatomic, opaline chertz, shales, tuff dan abu vulkanik, yang mana biasa diproses melalui
pembakaran atau tidak melalui proses pembakaran. Selain itu juga mempunyai sifat pozzolan
yang baik (Kusumo, 2013).
5. Superplasticizer Ligno P-100
Ligno P-100 merupakan cairan kimia garam polymer bebas klorin yang berfungsi
sebagai aditif untuk beton, dan diformulasikan secara khusus untuk mengurangi air dalam
jumlah besar dan menghasilkan beton mutu tinggi, sesuai dengan ASTM C 494M, (2004)
type F.

• Penerapan beton SCC di Indonesia


Pengembangan SCC di Indonesia masih terbatas pada metode uji coba mix design.
Berbeda dari beton normal pada umumnya, komposisi semen yang dibutuhkan pada mix
design SCC lebih banyak jika dibandingkan dengan komposisi semen pada beton normal
(Okamura dan Ouchi 2003).
Namun, biaya pembuatan beton SCC yang cukup mahal dibandingkan beton
konvensional menjadi salah satu penyebab belum maksimalnya penggunaan beton SCC di
Indonesia. Selain terbatas pada metode uji coba mix design, SCC di Indonesia masih
digunakan hanya pada konstruksi dengan kondisi-kondisi khusus seperti pembangunan
basement yang membutuhkan beton dengan permeabilitas rendah.
Selain basement, SCC pernah juga diaplikasikan untuk pile cap jembatan yaitu pile cap
Jembatan Pulau Balang yang akan menghubungkan Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam
Paser Utara memiliki panjang sekitar 1.750 meter. Jembatan yang membentang diatas teluk
Balikpapan tersebut akan dibangun dengan jenis konstruksi cable stayed dan pelengkung
beton prategang. SCC juga telah diaplikasikan pada jembatan Grand Wisata (Cable Stayed)
di Bekasi, Jawa Barat pada tahun 2007 dengan menggunakan beton mutu 60 MPa, dengan
pertimbangan kesulitan pemadatan manual pada posisi menara yang tinggi dan miring.
DAFTAR PUSTAKA

Okamura H, Ouchi M. 2003. Self Compacting Concrete. Journal of Advanced Concrete


Technology. Vol. 1 No. 1. Japan.
EFNARC, 2002. The Europe Guidelines for Self Compacting Concrete. UK: SCC Technical
Committee.
Grdić Z., I. Despotović, G.T. Ćurčić. 2008. Properties of Self Compacting Concrete with
Different Types of Additives. Journal of Archiecture and civil Engineering, vol. 6. Facta
Universitatis, Serbia.
Mulyono T. 2004. Teknologi Beton. Andi Offset Yogyakarta.
Hadi. 2019. “Apa Itu Beton SCC (Self Compacting Concrete), Apa Saja Pengujian dan
Penerapannya?”,https://www.ilmubeton.com/2019/09/BetonSccSelfCompactingConcre
te.html, diakses pada 26 Oktober 2021 pukul 14:00.

Anda mungkin juga menyukai