Anda di halaman 1dari 18

KAJIAN TERHADAP ASPEK AJARAN ISLAM

Dosen Mata Kuliah : Awaluddin Tahir, S.Pd.I.,

OLEH KELOMPOK 2 :

NUR WAQIATUL QADRI 622022021038

SULFIANTI 622022021035

ANJASMARA 622022021052

DEPARTEMEN AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE

2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam bukan hanya agama yang membicarakan tentang ketuhanan,
alam semesta, hubungan antara makhluk dengan pencipta, akan tetapi juga
membahas tentang hubungan antara sesama makhluk dengan begitu
sempurna. Muhammad Al Thoumy Al Syaibani yang menyatakan bahwa
agama Islam pada hakikatnya merupakan konsep hidup insani dalam
hubungannya dengan Tuhan, jagat, raya, pribadi dan kelompok
masyarakat, juga merupakan pendidikan yang paling baik terhadap hati
nurani insani, juga untuk mendidik akhlak, perasaan dan emosi dalam
menyelesaikan masalah.
Islam merupakan agama pertama yang diwahyukan kepada Nabi
Nuh kemudian dilanjutkan oleh nabi setelahnya. Saat melihat banyak hal
yang berbeda dari apa yang diajarkan Islam, maka sesungguhnya hal
tersebut telah menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan di dalam Islam.
Segala sesuatu dilakukan dengan menuruti hawa nafsu semata-mata.
Penyimpangan inilah yang terjadi pada masyarakat sekarang ini yang tidak
mengenal siapa dan di mana asalkan keinginan hawa nafsu jahat itu
terpenuhi.

Sebagai suatu ajaran yang mempunyai pedoman, Islam menjadikan


AlQuran sebagai petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam aspek
kehidupannya dan tidak ditujukan hanya untuk kelompok tertentu saja
akan tetapi untuk seluruh umat manusia. Al-Quran merupakan mukjizat
Islam yang kekal dan selalu diperkuat oleh perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang. Nabi
Muhammad telah menyampaikan isi kandungan Al-Quran kepada para
sahabat dan jika pada saat itu mereka menemukan keraguan dan ketidak
jelasan di dalam memahami suatu ayat maka mereka dapat menanyakan
langsung kepada Nabi Muhammad.
Untuk mewujudkan insan yang beriman dan taat pada ajaran
agama, maka perlu dibangun landasan keagamaannya, titik awal untuk
membangunnya adalah dengan melakukan pembinaan terhadap pendidikan
aqidahnya. Ajaran Islam dibagi kedalam tiga aspek pokok, yaitu aqidah.
Syariat dan akhlak.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana aspek aqidah / tauhid dalam ajaran islam ?
2. Bagaimana aspek syariah dalam ajaran islam ?
3. Bagaiman aspek akhlaq dalam ajaran islam ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui aspek aqidah / tauhid dalam ajaran islam.
2. Untuk mengetahui aspek syariah dalam ajaran islam.
3. Untuk mengetahui aspek akhlaq dalam ajaran islam.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Aspek Aqidah / Tauhid

Tauhid adalah isim masdar dari kata “wahhada”. “wahhada” adalah bentuk tsulatsi
mazid dari kata “wahada”. “wahada” mengikuti wazan fa”ala menjadi “wahhada”.
“wahhada” di-tashrif ke wazan taf’iilun jadinya “tawhiidun”. “wahada” artinya satu.
“wahhada” artinya menjadikan satu, menyatukan, mengesakan. “tawhiidun” atau
“tauhid” adalah bentuk kata benda dari kata kerja “mengesakan” sama seperti
“penyatuan” adalah bentuk kata kerja “mengesakan”. lebih sering kita dengar “tauhid”
artinya “mengesakan”. terjemah ini tidak salah. kata “tauhid” kemudian berubah
menjadi istilah khusus aqidah Islam yaitu “mengesakan Allah”. kata “mengesakan” di sini
memiliki banyak arti dari beberapa aspek. meskipun banyak tapi arti-arti ini saling
berhubungan dan berdekatan sehingga saling melengkapi. macam-macam arti itu dibagi
dalam beberapa aspek sebagai berikut:
a). Aspek Aqidah
Aspek aqidah adalah aspek keyakinan. dalam keyakinan tauhid berarti:
meyakini bahwa hanya Allah pencipta alam semesta, kehidupan dan manusia.
meyakini bahwa hanya Allah pemelihara alam semesta, kehidupan dan manusia.
meyakini bahwa hanya Allah yang menghidupkan segala makhluk.
meyakini bahwa hanya Allah yang mematikan segala makhluk.
meyeakini bahwa hanya Allah yang membagikan rizki.
meyakini bahwa hanya Allah yang memberikan penyakit.
meyakini bahwa hanya Allah yang memberikan kesembuhan.
meyakini bahwa hanya Allah yang memberikan kesuksesan.
meyakini bahwa hanya Allah yang memberikan kegagalan.
meyakini bahwa hanya Allah yang mampu melindungi dari segala mara bahaya.
meyakini bahwa hanya Allah yang mamu menolong.
meyakini bahwa hanya Allah yang mampu mengabulkan doa.
meyakini bahwa hanya Allah yang mampu mendatangkan musibah serta menolaknya.
masih ada banyak lagi keyakinan tentang Allah dalam tauhid, tapi pada intinya yaitu
mengenai Allah satu-satunya.
Tauhid ini berkaitan dengan sifat Allah yang termasuk dalam 20 sifat
wajib, yaitu wahdaniyah. tauhid ini juga berkaitan dengan salah satu asmaul husna
Allah yakni Al-wahid. artinya Allah maha tunggal. jadi di sini meyakini Allah
satu-satunya yang mampu melakukan segala sesuatu di atas. tidak ada Tuhan
selain-Nya. tidak ada yang setara dengan-Nya. tidak ada pula yang membantu-
Nya dalam mengurusi alam semesta. para malaikat hanya pelaksana perintah-Nya,
bukan rekan kerja sama mengurus alam semesta.

b). Aspek Ibadah


Aspek ibadah adalah aspek penyembahan. tauhid dalam aspek
penyembahan berarti:
beribadah hanya kepada Allah. tidak boleh beribadah kepada selain Allah.
beribadah hanya boleh berniat menjalankan perintah Allah, bukan karena ingin
mencari pujian orang lain, takut celaan orang lain. sikap seperti itu dihukumi
riya’. riya’ termasuk syirik kecil.
taat hanya kepada Allah. taat kepada orang lain boleh kalau masih dalam hal yang
diperbolehkan oleh Allah. tapi kalau dalam maksiat tidak boleh taat.
berdoa hanya kepada Allah. tidak boleh berdoa kepada danyang, roh, jin, setan,
iblis dll.
berharap hanya kepada Allah.
berlindung hanya kepada Allah. berharap perlindungan dan berusaha mencari
perlindungan dalam syariat Allah. dilarang mencari perlindungan dengan cara
yang tidak Allah ridlai, misalnya ilmu kanuragan, kesaktian, jampi-jampi, sihir
dll.
meminta tolong hanya kepada Allah. sama seperti berdoa.
bergantung kepada Allah. bergantung di sini berarti hatinya tenang dan condong
kepada Allah. hatinya tenang jika bersama Allah. caranya dengan selalu bertaqwa
kepada Allah. berangsiapa tenang kepada selain Allah maka dia dianggap
bergantung kepadanya. misalnya merasa tenang karena ada uang, pekerjaan,
kedudukan, wanita yang dicintai, kecerdasan yang dimiliki. maka dia sama saja
bergantung pada semua itu karena tanpa semua itu dia tidak tenang. itu tanda cinta
semua itu dan termasuk cinta dunia. seorang muslim mestinya bergantung kepada
Allah saja dan tenang bila bersama Allah dan ridla-Nya saja. tidak lebih dan tidak
kurang.
c). Aspek Syariah
Aspek syariah adalah aspek hukum dan aturan-aturan kehidupan. tauhid
dalam aspek syariah berarti:
meyakini bahwa Allah satu-satunya yang berhak membuat hukum.
meyakini bahwa hukum Allah adalah satu-satunya yang terbaik. tak ada yang
setara atau lebih baik darinya.
selalu taat pada hukum syara’.
mengatur hidupnya agar selalu sesuai dengan hukum syara’.
menjalani hidupnya sesuai dengan syariat Allah.
Tauhid dalam aspek aqidah selanjutnya dibagi menjadi 3:

a). Tauhid Rububiyah

Tauhid rububiyah adalah tauhid yang berkaitan dengan pemeliharaan dan


kasih sayang Allah terhadap sekalian alam. dalam tauhid ini setiap muslim wajib
meyakini bahwa Allah satu-satunya pencipta alam semesta beserta seluruh isinya,
pemeliharanya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang memberikan rizki,
yang memberikan penyakit, yang memberikan kesembuhan, yang memberikan
manfaat, yang menolak mudharat, yang menjaga alam semesta, yang melindungi
setiap makhluk, yang mengasihi dan menyayangi.

b). Tauhid Uluhiyah

Tauhid uluhiyah adalah tauhid yang berkaitan dengan penyembahan.


dalam tauhid uluhiyah setiap muslim wajib meyakini bahwa hanya Allah yang
layak untuk disembah. jadi setiap muslim wajib beribadah hanya kepada Allah
saja. tidak boleh beribadah kepada selain Allah. tidak boleh juga berdoa,
berharap, meminta tolong, meminta perlindungan kepada selain Allah. setiap
muslim diharamkan mengadakan sesembahan dan penyembahan selain Allah,
mengadakan sekutu bagi Allah dan memadukan agama Islam yang diridloi Allah
satu-satunya dengan agama-agama selain Islam. jadi dalam Islam tidak boleh ada
sinkretisme. pluralisme dan iklusivisme agama juga tidak boleh.

c). Tauhid Asma Wa Sifat


Tauhid asma wa sifat yaitu meyakini bahwa rabb dan ilah kita, Tuhan
yang hakiki, pencipta dan pemelihara seluruh alam semesta namanya adalah
Allah, bukan Yesus, Buddha, para dewa-dewa dari berbagai mitologi dan
kebudayaan dunia. namanya juga bukan Tuhan, God, Got, Deus dan semacamnya.
nama-nama Tuhan dalam agama-agama dan mitologi itu adalah buatan para
pendahulu mereka sedangkan kata-kata seperti Tuhan, God dan sebagainya hanya
kata untuk menunjukkan objek, yaitu sang pencipta.

Nama sang pencipta yang sejati adalah Allah dan tidak bisa diganti dengan
nama Tuhan agama yang lain, nama-nama dewa dan yang lain.

Allah pun memiliki sifat-sifat yang khusus baginya. sifat-sifat Allah


adalah sifat-sifat kesucian, kemuliaan, kesempurnaan, kebaikan dan segala sifat
yang sesuai untuk sang khaliq. mustahil Allah memiliki sifat makhluk yang cacat,
serba kekurangan. Allah maha suci dari sifat-sifat makhluk yang lemah, cacat dan
kekurangan tersebut.

2. Aspek Syariah

Syari’ah sebagai Sistem Hidup


Syariah merupakan seperangkat aturan ataupun sistem hukum yang mengatur pola
kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya, dengan sesama
manusia maupun dengan alam sekitarnya.
Urgensi syariah dalam kehidupan manusia adalah dalam rangka
terciptanya kemaslahatan manusia dalam menata kehidupannya dan
meminimalisir apa yang mungkin menjadi mudlaratnya. Dalam skala global
syariah diarahkan pada jalb al mashalih dan dar’ al mafasid. Dan dalam
pengertiannya yang lebih luas syariah mencakup seluruh kegiatan manusia dalam
hidup di dunia ini, termasuk kegiatan duniawi sehari-hari, jika kegiatan ini
dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada
Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral.
Menurut Syaltut, syariah dan akidah merupakan satu sistim yang tidak
dapat dipisahkan. Akidah merupakan dasar yang mendorong manusia untuk
menjalankan syariah Tuhan, dan syariah adalah refleksi panggilan hati manusia
yang berakidah. Karena itu menurut Syaltut manusia yang berakidah tanpa
menjalankan syariah Tuhan, ataupun manusia
yang menjalankan syariah Tuhan tetapi tanpa memiliki akidah tidak dianggap
seorang Muslim, dan juga tidak dihukumi Islam.
Syaltut juga menilai bahwa tujuan manusia melaksanakan perintah-
perintah syariah bukan sebatas melaksanakan kewajiban Tuhan, tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana manusia bisa membersihkan dirinya dengan selalu
mengarahkan hidupnya dalam konteks ibadah dan menca ri ridla Allah Swt.
Dalam masalah ibadah menurut Syaltut, ibadah yang kita laksanakan bukanlah
hanya menyangkut aspek ritualitas saja ataupun formalitas kewajiban, tetapi
memiliki kandungan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta menyentuh
aspek tarbiyah ruhaniyah diri manusia, dan juga bahkan menyentuh aspek-aspek
sosial keidupan manusia. Dan semua itu diarahkan juga dalam membentuk
integritas diri manusia sebagai makhluk yang bermoral.
Dalam masalah shalat misalnya, Syaltut berusaha mencari nilai- nilai yang
terkandung di dalamnya. shalat merupakan bentuk rutinitas hubungan yang
berkesinam bungan dari manusia kepada Tuhannya, yang akan memben tuk
integritas kepribadian muslim sejati yang akan membias dalam aspek-aspek
prilaku kehidupannya. Karena itu, de ngan shalat keimanan seseorang akan dapat
diukur. Shalat juga menurut Syaltut bentuk Rihlah Ilahiyah manusia dalam rangka
penghambaan kepadanya dan mencari ridlaNya. Ibadah shalat juga bukanlah
merupakan ibadah syhaksiyah murni antara manusia dengan Tuhannya tetapi juga
mengan dung nilai-nilai sosial kemanusian manusia kepada yang lainnya. Karena
itu, disyariatkan kepada kita shalat jum’at dan shalat jamaah. Dan walaupun shalat
dianggap ibadah yang paling berat, namun menurutnya kalau manusia mam pu
memahaminya secara proporsianal serta dapat menem patkan pada tempatnya,
mana yang azimah dan mana yang rukhsoh, niscaya tidak ada kata berat dalam
melaksanakan ibadah shalat tersebut.
Zakat, puasa, dan haji menurut Syaltut merupakan ibadah yang banyak
menyentuh nilai- nilai kemanusiaan yang menyangkut refleksi sosial manusia
sebagai makhluk Tuhan. Ibadah-ibadah ini punya fungsi dan peran yang besar
dalam membentuk tatanan kehidupam masyarakat yang kontsruktif dan dalam
membentuk sistim kehidupan masya rakat yang ideal dalam rangka menuju
keadilan dan kemak muran masyarakat.
Kewajiban yang dibebankan manusia untuk melaksanakan ibadah-ibadah
yang disyariahkan kepadanya kalau dilaksanakan berangkat dari semangat
kemanusiaan dan semangat ketaatan dan pengabdian kepada sang Khaliq, maka
manusia akan mampu menemukan nilai-nilai kebenaran dan identitas
kemanusiannya sesuai yang diridlai Tuhan.
3. Aspek Akhlaq
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “khuluq”, jamaknya “akhlâq” yang
berarti tabiat atau budi pekerti. Prof. Ahmad Amin, dikutif Hamzah Yaqub,
mendefinisikan akhlak adalah “suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada
lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.”
Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu akhlak ilmu yang menentukan batas
antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau
perbuatan manusia lahir dan batin. Senada dengan pengertian ini ulama lain
menjelaskan bahwa ilmu akhlak adalah “ilmu pengetahuan yang memberikan
pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pegaulan manusia dan
menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan
mereka.” Kata akhlak di dalam al-Quran disebutkan pada surat al-Qalam (68): 4,
sedangkan di dalam haditsdijelaskan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari
imam Ahmad.
TOLOK UKUR DALAM BERAKHLAK
Al-Quran menetapkan bahwa akhlak itu tidak terlepas dari aqidah dan
syariah, ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini
dapat dilihat dari surat al-Baqarah (2): 177, yang berarti: Bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan akan tetapi sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)
dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya,
mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan,
dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa iman kepada Allah Swt. adalah
merupakan dasar dari kebajikan. Kenyataan ini tidak akan pernah terbukti, kecuali
jika iman tersebut telah meresap di dalam jiwa dan ke seluruh pembuluh nadi
yang disertai dengan sikap khusyuʾ, tenang, taat, patuh, dan hatinya tidak akan
meledak-ledak lantaran mendapatkan kenikmatan, dan tidak putus asa ketika
ditimpa musibah. Orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah Swt.
hanya mau tunduk dan taat kepada Allah Swt. dan syariat-syariat-Nya.

Selanjutnya iman kepada hari akhir mengingatkan manusia bahwa ternyata


terdapat alam lain yang gaib, kelak di akhirat yang akan dihuni. Oleh sebab itu,
hendaklah usahanya itu jangan hanya dipusatkan untuk memenuhi kepentingan
jasmani atau cita-cita meraih kelezatan duniawi saja atau memuaskan hawa nafsu.
Demikian juga iman kepada para Malaikat adalah titik tolak iman kepada wahyu,
kenabian, dan hari akhir. Siapapun yang menolak keimanan terhadap Malaikat,
berarti mengingkari seluruhnya. Hal ini disebabkan di antara para Malaikat itu ada
yang bertugas sebagai penyampai wahyu kepada para Nabi. Sedangkan iman
kepada kitab-kitab samawi yang dibawa oleh para Nabi mendorong seseorang
untuk mengamalkan kandungan kitab yang berupa perintah maupun larangan.
Sebab orang yang yakin bahwa sesuatu itu benar, maka hatinya akan terdorong
untuk mengamalkannya. Dan jika ia yakin bahwa sesuatu itu akan membahayakan
dirinya, tentu akan menjauhinya dan tidak mengamalkannya. Sedangkan Iman
kepada para nabi, akan mendorong untuk mengikuti ajarannya.

Ayat al-Quran tersebut, kemudian menentukan tentang syariah, yakni


memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-
orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan salat, dan
menunaikan zakat. Kemudian ayat ini mengatur tentang akhlak, yatu orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.
Islam mengatur tolok ukur berakhlak adalah berdasarkan ketentuan Allah
dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apa yang dipandang baik oleh Allah dan Rasul-
Nya, pasti baik dalam esensinya. Begitu pula sebaliknya, tidak mungkin Dia
menilai kepalsuan sebagai kelakuan baik, karena kepalsuan esensinya pasti buruk.
Selain itu Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki sifat yang
terpuji, seperti al-Quran surat Thaha (20): 8 menjelaskan: “(Dialah) Allah, tiada
Tuhan selain Dia, Dia mempunyai sifat-sifat yang terpuji (al-Asmȃˋ al-Husnȃ).”
Demikian juga Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad meriwayatkan
Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah Saw., beliau menjawab: “Akhlak
Nabi Saw. adalah al-Quran.”

Semua sifat Allah Swt. disebutkan dalam al-Quran yang jumlahnya


disebutkan di dalam hadits. Sifat-sifat Allah ini merupakan satu kesatuan. Dia Esa
di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Oleh karena itu, tidak wajar jika sifat-sifat
itu dinilai saling bertentangan. Maksudnya semua sifat memiliki tempatnya
masing-masing. Ada tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, ada tempat
untuk kasih sayang dan kelemahlembutan-Nya. Ketika seorang muslim
meneladani sifat al-Kibriyâ (Keangkuhan Allah), ia harus ingat bahwa sifat itu
tidak akan disandang oleh Allah Swt., kecuali dalam konteks ancaman terhadap
para pembangkang atau terhadap orang yang merasa dirinya superior. Ketika
Rasulullah Saw. melihat seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan
perang, beliau bersabda: “itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali
dalam kondisi semacam ini.” Seseorang yang berusaha meneladani sifat al-
Kibriyâ tidak akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang
angkuh. Berkaitan dengan hal ini ada riwayat yang menyebutkan: “Bersikap
angkuh terhadap orang-orang yang angkuh adalah sedekah.”

Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan kebesaran


Ilahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia terdiri dari jasad dan ruh, sehingga
keduanya harus sama-sama kuat. Kekuatan dan kebesaran ini harus diarahkan
untuk membantu yang lemah, dan tidak boleh digunakan untuk mendukung
kejahatan atau kesewenang-wenangan. Karena ketika al-Quran mengulang-
ngulang kebesaran Allah, al-Quran juga menegaskan bahwa: “Sesungguhnya
Allah tidak suka kepada orang yang angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman
[31]: 18).

MACAM – MACAM AKHLAK

Para ahli membagi akhlak ini menjadi dua macam:

1. Akhlak Mahmudah atau akhlak yang terpuji. Ini termasuk budi pekerti yang
baik. Menurut Hasan rahimahullah bahwa budi pekerti yang baik adalah
menunjukkan wajah yang berseri-seri, memberikan bantuan sebagai tanda
kedermawanan dan menahan diri dari perbuatanyang menyakiti. Selanjutnya
Hasan menambahkan budi pekerti yang baik ialah membuat kerelaan seluruh
makhluk, baik dalam kesukaan (karena murah rezeki) atau dalam kedukaan
(keadaan kekurangan). Jadi budi pekerti ini hakikatnya adalah suatu bentuk dari
sesuatu jiwa yang benar-benar telah meresap dan dari situlah timbulnya berbagai
perbuatan dengan cara spontan dan mudah, tanpa dibuat-buat dan tanpa
membutuhkan pemikiran atau angan-angan. Contoh akhlak terpuji di dalam al-
Quran surat Ali-imran (3): 159, yang artinya: “Maka disebabkan rahmat Allah-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya.Contoh akhlak mulia di dalam hadits riwayat
Muslim yang diterima dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda: “Hak seorang Muslim atas seorang Muslim ada enam perkara: apabila
engkau bertemu dia hendaklah engkau beri salam kepadanya, apabila ia
mengundangmu, hendaklah engkau memenuhinya, apabila ia meminta nasihat,
hendaklah engkau menasihatinya, apabila ia bersin kemudian ia berkata
“alhamdulillah” hendaklah engkau doakan dia, jika ia sakit hendaklah engkau
mengunjunginya, dan apabila ia meninggal dunia hendaklah engkau mengikuti
janazahnya.”
2. Akhlak Madzmumah atau akhlak yang tercela. Al-Quran menjelaskan akhlak
tercela ini di dalam surat al-Hujurȃt (49): 12, Yang artinya: Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.Contoh akhlak tercela ini di dalam hadits Bukhari
dan Muslim, Rasulullah Saw. telah bersabda: “Ada empat perkara, barangsiapa
yang memiliki semuanya itu dalam dirinya, maka ia adalah seorang munafik,
sedang barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat-sifat itu di dalam dirinya,
maka ia memiliki salah satu sifat kemunafikan, sehingga ia meninggalkan sifat
tadi. Empat perkara itu adalah jika berbicara dusta, jika berjanji menyalahi,
apabila menjanjikan sesuatu cidera, dan jika bermusuhan berlaku curang.”
Termasuk juga akhlak yang tercela adalah ghibah, yang didalam hadits Muslim,
Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa ghibah adalah jika engkau menyebutkan
perihal saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukai olehnya. Hal-hal yang
menyebabkan ghibah di antaranya: ingin melenyapkan kemarahan, dorongan
kemegahan diri, kedengkian, penghinaan, dan lain-lain.Contoh akhlak tercela di
dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Ibn Masud r.a. bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: “apabila kamu bertiga, maka janganlah dua orang
berbisik-bisik dengan meninggalkan yang lain, tetapi hendaklah kamu bercampur
dengan sesama manusia, karena sikap yang demikian akan menjadikan dia
kecewa.” Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan doa agar dihindarkan dari hal-hal
yang jelek, termasuk salah satunya dari akhlak yang tercela. Doa Rasulullah
tersebut berbunyi: “Ya Allah jauhkanlah aku dari akhlak, amal, kemauan, dan
penyakit yang jelek.”

SASARAN AKHLAK

Akhlak mempunyai makna yang luas, yang dapat mencakup sifat lahiriyah
maupun batiniah. Akhlak menurut pandangan Islam mencakup berbagai aspek,
dapat mencakup akhlak terhadap Allah dan terhadap sesama makhluk seperti
manusia dan lingkungan.

1. Akhlak terhadap Allah Swt.

Landasan umum berakhlak terhadap Allah Swt. adalah pengakuan bahwa tiada
Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu yang semua
makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan
keterpujian Allah swt. Oleh karena itu, mereka sebelum memuji-Nya, bertasbih terlebih
dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jadi jangan sampai pujian yang mereka ucapkan
tidak sesuai dengan kebesaran-Nya, sebagaimana al-Quran surat ash-Shaffat (37): 159-
160, yang artinya: “Mahasuci Allah dari segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya,
kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang terpilih.” Demikian juga al-Quran surat asy-Syura
(42): 5 menetapkan: “Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan mereka.”
Begitu juga al-Quran surat ar-Raʻad (13): 13 menjelaskan: “Guntur menyucikan (Tuhan)
sambil memuji-Nya.” Selanjutnya al-Quran surat al-Isra (17): 44, menetapkan : “Dan
tidak ada sesuatupun kecuali bertasbih (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya.”

Bertitik tolak dari uraian tentang kesempurnaan Allah Swt. tersebut, maka
al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala
yang bersumber dari Allah adalah baik, benar, indah, dan sempurna. Berkaitan
dengan hal ini, sebagian ayat al-Quran memerintahkan manusia untuk menjadikan
Allah sebagai “wakil”, seperti al-Quran surat al-Muzzammil (73): 9,
menerangkan: “(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia,
maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung).” Kata “wakil”dapat
diterjemahkan sebagai pelindung. Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain
(untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai
dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut, sehingga sang wakil
melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan
kepadanya. Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah
Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan semua Maha yang
mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal.
Oleh karena itu, maka perwakilan-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia.
Jadi jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil, sejak semula ia menyadari
keterbatasan dirinya dan menyadari Kemahamutlakan Allah Swt. Dan ia akan
menerimanya dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu
perbuatan Tuhan. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Allah mengetahui dan kamu
sekalian tidak mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 216), dan lihat (QS al-Ahzab [33]:
36).

2. Akhlak terhadap sesama manusia.

Al-Quran menjelaskan perlakuan sesama manusia, baik berupa larangan,


seperti membunuh, menyakiti badan atau harta tanpa alasan yang benar, juga
termasuk larangan menyakiti hati, walaupun disertai dengan memberi. Lihat (QS
al-Baqarah [2]: 263). Selain itu, al-Quran menekankan bahwa setiap orang
hendaknya didudukkan secara wajar, termasuk Nabi Muhammad Saw. dinyatakan
pula sebagai manusia biasa, namun dinyatakan pula beliau adalah Rasul yang
memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar ini beliau berhak memperoleh
penghormatan melebihi manusia lain, seperti dalam al-Quran (QS al-Hujurat [49]:
2; QS an-Nur [24]: 63). Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan
atau kebebasan pribadi), (QS an-Nur [24]: 27 dan 58); salam yang diucapkan
wajib dijawab dengan salam yang serupa, dan dianjurkan agar dijawab dengan
salam yang lebih baik (QS an-Nisa [4]: 86); Setiap ucapan harus ucapan yang baik
(QS al-Baqarah [2]: 83 dan QS al-Ahzab [33]: 70) Seseorang tidak boleh
mengolok-olokkan orang lain atau kelompok lain dan tidak boleh memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk. Demikian juga seseorang tidak boleh
berprasangka buruk, mencari kesalahan orang lain, dan menggunjing orang lain.
Al-Quran menjelaskan juga di antara ciri-ciri orang yang bertakwa (QS Ali Imran
[3]: 134-135). Selain itu, al-Quran menetapkan harus mendahulukan kepentingan
orang lain daripada kepentingan diri sendiri (QS al-Hasyr [59]: 9).

3. Akhlak terhadap lingkungan.

Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang


berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-
benda tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap
lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan ini
menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia
terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, dan
pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam
pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum
matang, atau memetik bunga sebelum matang, karena hal ini berarti tidak
memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini
berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang
berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Hal ini mengantarkan
manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan terhadap
lingkungan di sekitarnya. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa
semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua
memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini meyakinkan setiap muslim
untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan
secara wajar dan baik.

Berkaitan dengan hal ini, al-Quran surat al-Anʻam (6): 38 menegaskan


bahwa binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya merupakan umat-umat juga seperti manusia, sehingga
semuanya tidak boleh diperlakuka secara aniaya, baik dalam masa damai maupun
ketika terjadi peperangan. Termasuk mencabut atau menebang pepohonan pun
terlarang, kecuali jika terpaksa, tetapi inipun harus seizin Allah, dalam arti harus
sejalan dengan tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan (QS al-Hasyr [59]: 5).
Dengan pengakuan semua milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran
bahwa apapun yang berada dalam genggaman-Nya, tidak lain kecuali amanat
yang harus dipertanggungjawabkan (QS at-Takatsur (102): 8. Manusia dituntut
untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah Swt.
menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.

Pernyataan Allah dalam al-Quran surat al-Ahqaf (46): 3, mengundang


seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri,
kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, tetapi juga harus berpikir dan bersikap
demi kemaslahatan semua pihak. Manusia tidak boleh bersikap sebagai penakluk
alam. Yang menundukkan alam menurut al-Quran adalah Allah. Mereka tidak
sedikitpun mempunyai kemampuan, kecuali berkat kemampuan yang
dianugrahkan Tuhan kepadanya (QS az-Zukhruf [43]: 13). Oleh karena itu
manusia harus mengusahakan keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada
Allah, sehingga mereka harus bersahabat. Al-Quran mengharuskan setiap orang
mukmin untuk meneladani Nabi Muhammad Saw. yang diutus membawa rahmat
bagi seluruh alam. Selain itu, Rasulullah Saw. diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia, sebagaimana hadits riwayat at-Timidzi dari Abu Dardaˋ yang
menjelaskan bahwa beliau bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam
timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang
luhur.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pokok-pokok ajaran islam terdiri dari 3 hal, yaitu: Aqidah, Syariah
danAkhlak. 3 pokok ajaran islam tersebut adalah 3 hal dasar yang wajib
kita pegang teguh dan kita tanam dalam diri kita sebagai umat islam. Kita
sebagaiumat islam yang bukan islam KTP harus benar-benar paham dan
mengertidengan 3 hal dasar tersebut. Umat islam yang dikatakan paham
dan mengertidengan 3 pokok ajaran islam tersebut apabila bisa langsung
mengamalkan apayang ada dalam 3 hal pokok tersebut.
Apabila 3 pokok ajaran islam itu sudah benar-benar tertanam
dalamdiri kita sebagai umat manusia, maka ketika kita bertemu dengan
paham- paham yang begitu banyak dengan membawa-bawa nama islam,
kita tidakgampang goyah, karena kita sudah menjadi umat islam yang
bukan islamKTP. Kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa mana
pahamyang benar(sesuai dengan ajaran islam) dan mana paham yang salah
(tidak sesuai denganajaran islam).
B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat
memberikanmanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca
umumnya. Penyusunmenyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu kamimengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah kami.

Anda mungkin juga menyukai