OLEH KELOMPOK 2 :
SULFIANTI 622022021035
ANJASMARA 622022021052
2021
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam bukan hanya agama yang membicarakan tentang ketuhanan,
alam semesta, hubungan antara makhluk dengan pencipta, akan tetapi juga
membahas tentang hubungan antara sesama makhluk dengan begitu
sempurna. Muhammad Al Thoumy Al Syaibani yang menyatakan bahwa
agama Islam pada hakikatnya merupakan konsep hidup insani dalam
hubungannya dengan Tuhan, jagat, raya, pribadi dan kelompok
masyarakat, juga merupakan pendidikan yang paling baik terhadap hati
nurani insani, juga untuk mendidik akhlak, perasaan dan emosi dalam
menyelesaikan masalah.
Islam merupakan agama pertama yang diwahyukan kepada Nabi
Nuh kemudian dilanjutkan oleh nabi setelahnya. Saat melihat banyak hal
yang berbeda dari apa yang diajarkan Islam, maka sesungguhnya hal
tersebut telah menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan di dalam Islam.
Segala sesuatu dilakukan dengan menuruti hawa nafsu semata-mata.
Penyimpangan inilah yang terjadi pada masyarakat sekarang ini yang tidak
mengenal siapa dan di mana asalkan keinginan hawa nafsu jahat itu
terpenuhi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana aspek aqidah / tauhid dalam ajaran islam ?
2. Bagaimana aspek syariah dalam ajaran islam ?
3. Bagaiman aspek akhlaq dalam ajaran islam ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui aspek aqidah / tauhid dalam ajaran islam.
2. Untuk mengetahui aspek syariah dalam ajaran islam.
3. Untuk mengetahui aspek akhlaq dalam ajaran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Tauhid adalah isim masdar dari kata “wahhada”. “wahhada” adalah bentuk tsulatsi
mazid dari kata “wahada”. “wahada” mengikuti wazan fa”ala menjadi “wahhada”.
“wahhada” di-tashrif ke wazan taf’iilun jadinya “tawhiidun”. “wahada” artinya satu.
“wahhada” artinya menjadikan satu, menyatukan, mengesakan. “tawhiidun” atau
“tauhid” adalah bentuk kata benda dari kata kerja “mengesakan” sama seperti
“penyatuan” adalah bentuk kata kerja “mengesakan”. lebih sering kita dengar “tauhid”
artinya “mengesakan”. terjemah ini tidak salah. kata “tauhid” kemudian berubah
menjadi istilah khusus aqidah Islam yaitu “mengesakan Allah”. kata “mengesakan” di sini
memiliki banyak arti dari beberapa aspek. meskipun banyak tapi arti-arti ini saling
berhubungan dan berdekatan sehingga saling melengkapi. macam-macam arti itu dibagi
dalam beberapa aspek sebagai berikut:
a). Aspek Aqidah
Aspek aqidah adalah aspek keyakinan. dalam keyakinan tauhid berarti:
meyakini bahwa hanya Allah pencipta alam semesta, kehidupan dan manusia.
meyakini bahwa hanya Allah pemelihara alam semesta, kehidupan dan manusia.
meyakini bahwa hanya Allah yang menghidupkan segala makhluk.
meyakini bahwa hanya Allah yang mematikan segala makhluk.
meyeakini bahwa hanya Allah yang membagikan rizki.
meyakini bahwa hanya Allah yang memberikan penyakit.
meyakini bahwa hanya Allah yang memberikan kesembuhan.
meyakini bahwa hanya Allah yang memberikan kesuksesan.
meyakini bahwa hanya Allah yang memberikan kegagalan.
meyakini bahwa hanya Allah yang mampu melindungi dari segala mara bahaya.
meyakini bahwa hanya Allah yang mamu menolong.
meyakini bahwa hanya Allah yang mampu mengabulkan doa.
meyakini bahwa hanya Allah yang mampu mendatangkan musibah serta menolaknya.
masih ada banyak lagi keyakinan tentang Allah dalam tauhid, tapi pada intinya yaitu
mengenai Allah satu-satunya.
Tauhid ini berkaitan dengan sifat Allah yang termasuk dalam 20 sifat
wajib, yaitu wahdaniyah. tauhid ini juga berkaitan dengan salah satu asmaul husna
Allah yakni Al-wahid. artinya Allah maha tunggal. jadi di sini meyakini Allah
satu-satunya yang mampu melakukan segala sesuatu di atas. tidak ada Tuhan
selain-Nya. tidak ada yang setara dengan-Nya. tidak ada pula yang membantu-
Nya dalam mengurusi alam semesta. para malaikat hanya pelaksana perintah-Nya,
bukan rekan kerja sama mengurus alam semesta.
Nama sang pencipta yang sejati adalah Allah dan tidak bisa diganti dengan
nama Tuhan agama yang lain, nama-nama dewa dan yang lain.
2. Aspek Syariah
Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa iman kepada Allah Swt. adalah
merupakan dasar dari kebajikan. Kenyataan ini tidak akan pernah terbukti, kecuali
jika iman tersebut telah meresap di dalam jiwa dan ke seluruh pembuluh nadi
yang disertai dengan sikap khusyuʾ, tenang, taat, patuh, dan hatinya tidak akan
meledak-ledak lantaran mendapatkan kenikmatan, dan tidak putus asa ketika
ditimpa musibah. Orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah Swt.
hanya mau tunduk dan taat kepada Allah Swt. dan syariat-syariat-Nya.
1. Akhlak Mahmudah atau akhlak yang terpuji. Ini termasuk budi pekerti yang
baik. Menurut Hasan rahimahullah bahwa budi pekerti yang baik adalah
menunjukkan wajah yang berseri-seri, memberikan bantuan sebagai tanda
kedermawanan dan menahan diri dari perbuatanyang menyakiti. Selanjutnya
Hasan menambahkan budi pekerti yang baik ialah membuat kerelaan seluruh
makhluk, baik dalam kesukaan (karena murah rezeki) atau dalam kedukaan
(keadaan kekurangan). Jadi budi pekerti ini hakikatnya adalah suatu bentuk dari
sesuatu jiwa yang benar-benar telah meresap dan dari situlah timbulnya berbagai
perbuatan dengan cara spontan dan mudah, tanpa dibuat-buat dan tanpa
membutuhkan pemikiran atau angan-angan. Contoh akhlak terpuji di dalam al-
Quran surat Ali-imran (3): 159, yang artinya: “Maka disebabkan rahmat Allah-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya.Contoh akhlak mulia di dalam hadits riwayat
Muslim yang diterima dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda: “Hak seorang Muslim atas seorang Muslim ada enam perkara: apabila
engkau bertemu dia hendaklah engkau beri salam kepadanya, apabila ia
mengundangmu, hendaklah engkau memenuhinya, apabila ia meminta nasihat,
hendaklah engkau menasihatinya, apabila ia bersin kemudian ia berkata
“alhamdulillah” hendaklah engkau doakan dia, jika ia sakit hendaklah engkau
mengunjunginya, dan apabila ia meninggal dunia hendaklah engkau mengikuti
janazahnya.”
2. Akhlak Madzmumah atau akhlak yang tercela. Al-Quran menjelaskan akhlak
tercela ini di dalam surat al-Hujurȃt (49): 12, Yang artinya: Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.Contoh akhlak tercela ini di dalam hadits Bukhari
dan Muslim, Rasulullah Saw. telah bersabda: “Ada empat perkara, barangsiapa
yang memiliki semuanya itu dalam dirinya, maka ia adalah seorang munafik,
sedang barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat-sifat itu di dalam dirinya,
maka ia memiliki salah satu sifat kemunafikan, sehingga ia meninggalkan sifat
tadi. Empat perkara itu adalah jika berbicara dusta, jika berjanji menyalahi,
apabila menjanjikan sesuatu cidera, dan jika bermusuhan berlaku curang.”
Termasuk juga akhlak yang tercela adalah ghibah, yang didalam hadits Muslim,
Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa ghibah adalah jika engkau menyebutkan
perihal saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukai olehnya. Hal-hal yang
menyebabkan ghibah di antaranya: ingin melenyapkan kemarahan, dorongan
kemegahan diri, kedengkian, penghinaan, dan lain-lain.Contoh akhlak tercela di
dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Ibn Masud r.a. bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: “apabila kamu bertiga, maka janganlah dua orang
berbisik-bisik dengan meninggalkan yang lain, tetapi hendaklah kamu bercampur
dengan sesama manusia, karena sikap yang demikian akan menjadikan dia
kecewa.” Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan doa agar dihindarkan dari hal-hal
yang jelek, termasuk salah satunya dari akhlak yang tercela. Doa Rasulullah
tersebut berbunyi: “Ya Allah jauhkanlah aku dari akhlak, amal, kemauan, dan
penyakit yang jelek.”
SASARAN AKHLAK
Akhlak mempunyai makna yang luas, yang dapat mencakup sifat lahiriyah
maupun batiniah. Akhlak menurut pandangan Islam mencakup berbagai aspek,
dapat mencakup akhlak terhadap Allah dan terhadap sesama makhluk seperti
manusia dan lingkungan.
Landasan umum berakhlak terhadap Allah Swt. adalah pengakuan bahwa tiada
Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu yang semua
makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan
keterpujian Allah swt. Oleh karena itu, mereka sebelum memuji-Nya, bertasbih terlebih
dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jadi jangan sampai pujian yang mereka ucapkan
tidak sesuai dengan kebesaran-Nya, sebagaimana al-Quran surat ash-Shaffat (37): 159-
160, yang artinya: “Mahasuci Allah dari segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya,
kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang terpilih.” Demikian juga al-Quran surat asy-Syura
(42): 5 menetapkan: “Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan mereka.”
Begitu juga al-Quran surat ar-Raʻad (13): 13 menjelaskan: “Guntur menyucikan (Tuhan)
sambil memuji-Nya.” Selanjutnya al-Quran surat al-Isra (17): 44, menetapkan : “Dan
tidak ada sesuatupun kecuali bertasbih (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya.”
Bertitik tolak dari uraian tentang kesempurnaan Allah Swt. tersebut, maka
al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala
yang bersumber dari Allah adalah baik, benar, indah, dan sempurna. Berkaitan
dengan hal ini, sebagian ayat al-Quran memerintahkan manusia untuk menjadikan
Allah sebagai “wakil”, seperti al-Quran surat al-Muzzammil (73): 9,
menerangkan: “(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia,
maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung).” Kata “wakil”dapat
diterjemahkan sebagai pelindung. Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain
(untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai
dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut, sehingga sang wakil
melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan
kepadanya. Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah
Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan semua Maha yang
mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal.
Oleh karena itu, maka perwakilan-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia.
Jadi jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil, sejak semula ia menyadari
keterbatasan dirinya dan menyadari Kemahamutlakan Allah Swt. Dan ia akan
menerimanya dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu
perbuatan Tuhan. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Allah mengetahui dan kamu
sekalian tidak mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 216), dan lihat (QS al-Ahzab [33]:
36).