Anda di halaman 1dari 9

Khutbah Idul Adha

Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Allah Yang Maha Rahman Rahim,
yang telah melimpahkan segala nikmat-Nya yang tak terhingga, terlebih nikmat iman
bagi setiap insan Muslim. Shalawat dan salam dihaturkan bagi Nabi Muhammad
figur teladan dan Rasul akhir zaman; serta bagi segenap keluarga, para sahabat, dan
pengikutnya yang senantiasa taat menjalankan ajaran Islam.

Pagi hari ini kaum Muslimin di seluruh tanah air dan sejumlah negeri menunaikan
shalat ‘Idul Adha 10 Dzuhlizah 1440 Hijriyah. Segenap hamba Allah yang beriman
dengan khyusuk mengumandangkan takbir, tahlil, tahmid, dan tasbih sebagai wujud
penghambaan diri kepada Allah Rabbul-‘Izzati. Marilah tunaikan shalat Idul Adha ini
dengan khusyuk dan penuh kepasrahan, agar hati dan pikiran tercerahkan, serta
setiap diri Muslim menjadi insan-insan muhsinin.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahi al-Hamd Jamaah Shalat Idul Adha
Rahimakumullah!

‘Idul Adha atau ‘Idul Qurban, artinya Hari Raya Penyembelihan. Makna “adha”
dikaitkan dengan “udhhiyah”atau “dhahiyyah” yakni “hewan sembelihan”. Secara lahir
yang disembelih itu seekor hewan kurban sesuai syariat yang dituntunkan, namun
maknanya ialah menyembelih hawa nafsu dan segala godaan syaitan, yang
bermuara pada kepasrahan dan pengabdian diri kepada Allah Yang Maha Rahman
dan Rahim. Demikian halnya, kata “qurban” artinya “sesuatu yang dekat atau
mendekatkan”, yakni dekat dan mendekatkan diri kepada Allah, sehingga setiap yang
berkurban semakin taat hidupnya kepada Allah, yang diwujudkan dengan segala
ibadah dan amal shalih atasnama-Nya.

Ibadah kurban dalam sejarah paling awal dimulai oleh kedua putra Nabi Adam, Qabil
dan Habil sebagaimana dikisahkan dalam AlQur’an sebagaimana firman Allah:

Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil)
menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka
diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang
lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil:
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orangorang yang bertakwa”  (Qs
AlMaidah [5]: 27).

Dalam Al-Qur’an secara khusus ibadah kurban dikaitkan dengan kisah penuh makna
dari dua figur terkasih Allah, yakni Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Allah berfirman
dalam Al-Qur’an yang artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersamasama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ), dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-
benar suatu ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan
yang besar.”  (Qs Ash-Shaaffaat: 102-107).

Kisah teladan Ibrahim dan Ismail dalam praktik ibadah kurban menunjukkan jiwa
tauhid yang murni dari keluarga Nabi kekasih Allah tersebut. Betapa tinggi dan
mendalam jiwa kepasrahan diri untuk berkurban kepada Allah. Bahwa hanya lewat
suatu mimpi Ibrahim diikuti Ismail dan kerelaan ibundanya Siti Hajar berani
mengurbankan nyawa demi kebaktian tertinggi kepada Dzat Rabbul Izzati. Meski
perintah berkurban itu akhirnya diganti dengan seekor hewan, tetapi ketiganya
berhasil membuktikan keimanan tingkat tertinggi selaku hamba-hamba Allah yang
imannya kokoh dan jiwa ihsannya melintasi.
Karenanya kita selaku insan beriman patut meneladaninya melalui ibadah qurban
dengan seekor hewan yang dituntunkan syariat Islam. Hanya mengorbankan seekor
hewan tentu bukanlah hal berat jika dibandingkan dengan nyawa seorang Ismail.
Namun sering godaan terbesar kita ialah kecintaan berlebih pada harta dan segala
hiasan dunia, sehingga tidak jarang untuk berkurban seekor hewan pun terasa berat.
Di sinilah pentingnya memaknai Idul Adha saat ini untuk membangkitkan jiwa ikhlas
dalam pengabdian diri kepada Allah yang dibuktikan dengan menjalankan perintah-
perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Terrmasuk kerelaan untuk
berkurban hewan dan segala bentuk amal jariyah yang membawa kebaikan hidup di
dunia dan akhirat.

Jika ditarik makna hakikinya bahwa penyembelihan hewan kurban itu bersifat
simbolik. Sembelihlah segala hawa nafsu yang tumbuh di jiwa untuk dibersihkan
dengan jiwa takwa, sehingga setiap diri kita selaku Muslim yang berkemampuan
ikhlas berkurban yang muara utamanya menjadi orang-orang yang benar-benar
bertakwa. Berkurban seekor hewan selain kemanfaatan daging untuk dikonsumsi
dan dibagikan, tidak kalah pentingnya ialah menjadikan diri setiap Muslim agar
menjadi insan bertakwa sebagaimana firman Allah:

Artinya: “Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan)


Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah
telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap
hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
berbuat baik.“ (Qs Al-Hajj [22]: 37).

Orang yang bertakwa ialah Muslim yang taat menjalankan perintah-perintah Allah,
menjauhi segala larangan-Nya, serta menjalankan amal kebaikan dalam segala
aspek kehidupan. Dengan demikian, melalui Idul Adha dan Ibadah Kurban hendaknya
setiap insan Muslim semakin bertakwa baik dalam hubungan dengan Allah
(habluminallah) maupun hubungan dengan sesama (habluminannas) yang
membuahkan segala kebaikan hidup di dunia menuju kebahagiaan hakiki di akhirat
kelak. Wujudkan segala sifat takwa dalam kehidupan pribadi, keluarga,
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan relasi kemanusiaan universal yang
berbuah rahmat bagi semesta alam.
Muslim yang beridul-adha dan berkurban dengan khusyuk harus menjadi insan yang
shalih, zuhud, dan berjiwa muraqabah atau merasa selalu diawasi Allah. Jadilah
Muslim yang senantiasa ikhlas, syukur, sabar, jujur, amanah, adil, ihsan, dan taat
kepada Allah serta menjalankan Sunnah Rasulullah. Jadilah insan yang sidiq,
amanah, tabligh, fatanah, dan segala kebajikan hidup sebagaimana uswah hasanah
Nabi utusan Allah. Sebaliknya, jadilah hamba-hamba Allah yang menjauhi segala
larangan-Nya seperti berbuat keburukan, dusta, hianat, dosa, amarah, permusuhan,
dan kemunkaran yang dimurkai Allah serta merugikan diri dan lingkungan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahi al-Hamd Jamaah Shalat Idul Adha
Rahimakumullah!

Segenap insan Muslim penting menjadikan Idul Adha dan Berkurban sebagai jalan
perubahan menebar kebaikan hidup bagi sesama. Selain menjadikan diri semakin
dekat dengan Allah (taqarrub ila Allah) yang membentuk keshalihan diri, dengan Idul
Adha dan Berkurban setiap Muslim semakin tergerak berbuat keshalihan bagi
sesama. Mari sebarluaskan semangat altruisme yakni kerelaan berkorban bagi
kehidupan bersama untuk membangun kebersamaan dalam kehidupan di
masyarakat, sesama umat Islam, dan seluruh keluarga bangsa.

Pada suatu hadits disebutkan bahwa Zaid Ibn Arqam, ia berkata atau mereka
berkata: “Wahai Rasulullah saw, apakah kurban itu?” Rasulullah menjawab: “Kurban
adalah sunahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka bertanya: “Apa keutamaan
yang kami akan peroleh dengan kurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai
rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka bertanya lagi: “Kalau bulu-bulunya?”
Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” (HR. Ahmad
dan Ibn Majah).

Pasca Idul Adha setiap Muslim perlu merayakan solidaritas sosial sebagai budaya
dan praksis sosial untuk memberdayakan saudara-saudara yang lemah, mendorong
kaum berpunya untuk mau berbagi, dan menebar segala kebajikan dengan sesama
yang bersifat melintasi. Budaya dan praksis solidaritas sosial juga disebarluaskan
guna menciptakan harmonisasi sosial yang memupuk benih-benih kepeduliaan,
keberbagian, toleransi, welas asih, damai, dan saling memajukan yang membawa
pada kebajikan hidup kolektif yang luhur dan utama.

Jika di antara muslim ikhlas dan gembira membagikan daging kurban bagi sesama,
maka sama artinya gemar membantu sesama yang kekurangan dengan riang hati
sebagaimana terkandung dalam spirit Al-Ma’un. Bersama dengan itu Islam juga
mengajarkan agar sesama insan ciptaan Allah mesti bersedia saling membantu dan
bekerjasama yang dikenal dengan “ta’awun” sebagaimana firman Allah dalam Al-
Qur’an:
Artinya “Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.” (Qs Al-Maidah: 2).

Ibnu Katsir mengaitkan ayat Al-Qur’an tersebut dengan hadits Nabi: “unshur akhaka
dhaliman aw madhluman”, artinya “Tolonglah sadaramu yang menganiaya dan yang
dianiaya” [HR Imam Ahmad (11538) dari Anas bin Malik]. Ketika Nabi ditanya kenapa
harus menolong orang yang menganiaya? Rasul menjawab, yang artinya “Engkau
larang dia agar tidak berbuat aniaya, begitulah cara kamu menolongnya”. Betapa
tegas tapi moderat cara Rasulullah mengajarkan Islam, bahwa dalam menghadapi
pihak musuh sekalipun harus senantiasa dimiliki jiwa dan sikap dasar kebajikan.
Perbedaan agama, ras, suku bangsa, golongan, pilihan politik, dan keragaman
apapun tidak semestinya membuat hubungan antar sesama saling bermusuhan dan
terputus silaturahmi.

Dalam hal “ta’awun” dapat dikembangkan sikap lebih positif yaitu membangun


kehidupan bersama yang bersifat adil dan ihsan dengan sesama umat manusia.
Pada frasa sebelumnya dari Surat Al-Maidah ayat ke-2 itu, disebutkan “wa laa
yajrimannakum syanaanu qaumin an shodduukum ‘anil masjidil haraam an ta’taduu”,
artinya “Jangan sampai kebencian (mu) kepada suatu kaum karena mereka
menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat aniaya atau
melampaui batas (kepada mereka)” (Qs Al-Maidah: 2). Frasa ini mengajarkan sikap
adil meskipun kepada pihak yang memusuhi kita, itulah suatu ajaran “ta’awun” yang
sangat luhur sebagai landasan ruhani dan moral dalam berhabluminannas dengan
sesama.

Jiwa ta’awun dalam Islam paralel dengan ajaran ihsan, yakni kebaikan yang utama.
Bahwa karena dekatnya seorang Muslim dengan Allah Yang Maha Rahman dan
Rahim maka dirinya menjadi sosok yang shalih dan welas asih secara melintasi
untuk berbuat segala kebaikan kepada siapapun tanpa pandang bulu. Salah satu
sifat ihsan ialah menghubungkan silaturahim dan tidak memutuskannya. Dalam
salah satu hadits Nabi bersabda yang artinya, “Tidak halal bagi seorang Muslim
untuk memboikot saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu namun yang
satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik di antara mereka
berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Melalui ajaran “ta’awun” sebagaimana juga ibadah kurban, hendaknya semakin
menanamkan kepedulian terhadap sesama. Mereka yang memiliki rizki dan segala
kelebihan dapat membantu dan berbagi terhadap sesama, tidak rakus dan memupuk
kekayaan berlebih yang menimbulkan kesenjangan, serta mau memberdayakan
mereka yang nasibnya tidak beruntung. Bahwa bumi dan seluruh alam raya ini
diperuntukkan untuk seluruh umat manusia dan makhluk ciptaanNya secara merata,
tidak untuk satu orang atau golongan saja yang menyebabkan hilangnya keadilan
dan kemakmuran bersama.

Islam juga mengajarkan “ta’aruf” yakni saling mengenal antar anak cucu Adam


dalam suasana kemajemukan. Bahwa diciptakannya manusia baik laki-laki maupun
perempuan, bersuku-suku bangsa, dan bergolongan semuanya untuk saling
mengenal satu sama lain, dan mereka yang bertakwalah yang paling mulia di sisi
Allah (Qs AlHujarat: 13). Esensi ta’awun dan ta’aruf ialah merajut persaudaraan dan
kebersamaan dalam suasana damai, toleran, kasih sayang, dan saling memajukan
meskipun dalam suasana perbedaan. Sebaliknya menjauhkan diri dari pertikaian,
kebencian, permusuhan, serta segala hal yang merusak dan merugikan dalam
hubungan antarsesama.

Pasca Idul Adha dan berkurban setiap Muslim secara individu dan kolektif niscaya
menjadi suri teladan dalam merekat persaudaraan, saling membantu, tolong
menolong, kebersamaan, dan keutuhan hidup bersama sesama umat manusia di
manapun berada. Perbedaan agama, golongan, suku bangsa, kedaerahan, pilihan
politik, dan keragaman latarbelakang lainnya jangan merusak jalinan solidaritas
sosial yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Inilah
bentuk uswah hasanah Muslim dan umat Islam hasil dari Idul Adha dan ibadah
kurban.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahi al-Hamd Jamaah Shalat Idul Adha
Rahimakumullah!

Bersamaan dengan ibadah Idul Adha saat ini kaum Muslimin dari berbagai negara
termasuk dari Indonesia tengah menunaikan ibadah haji. Kita do’akan agar saudara-
saudara seiman itu dapat menyelesaikan prosesi haji dengan paripurna, diberi
kemudahan dan keberkahan, serta kembali ke tanah air dengan selamat dan meraih
haji mabrur. Kita mendambakan semakin banyak yang telah menunaikan haji, shalat,
puasa, dan ibadah-ibadah lainnya yang dituntunkan Islam kian terwujud keshalihan
dan kebaikan dalam kehidupan umat Islam, sehingga umat Islam menjadi umat
terbaik atau khaira ummah serta mewujudkan rahmatan lil-‘alamin.

Kita juga mendo’akan agar saudara-saudara di tempat manapun yang kini tengah
sakit dan musibah diberi kesembuhan dan jalan kemudahan oleh Allah Yang Maha
Rahman dan Maha Rahim. Semoga kita yang menunaikan shalat Idul Adha hari ini
menjadi insan Muslim yang semakin istiqamah dalam menjalani kehidupan dengan
fondasi iman yang kokoh, ibadah yang khusyuk dan bermakna, ilmu yang luas dan
mencerahkan, serta amal shalih yang yang menebar kebajikan dan rahmat bagi
semesta alam.

Marilah di akhir khutbah Idul Adha ini kita bermunajat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan khusyuk dan penuh pengharapan, agar ibadah kita diterima Allah
Subhanahu wa Ta’ala, serta hidup kita meraih kebaikan hakiki di dunia dan akhirat
dalam rengkuhan ridha dan karunia-Nya.

Anda mungkin juga menyukai