Kita tertarik oleh cerita dalam film tersebut, bukan saja lantaran “sikap” nakal atau
jenakanya lakon anak-anak Belitung dalam film itu. Saya terhenyak menyaksikan
seorang Cut Mini, yang memerankan sosok guru itu, dengan cinta yang luar biasa,
mampu “mengubah” cara berpikir anak didiknya menghadapi segala rintangan yang
mereka alami. Guru masa kini, juga bukanlah sosok Umar Bakrie, yang menyita
perhatian “orang” karena belas kasihan. Ia punya peran heroik yang tidak mudah
digantikan. Ini kiranya satu hal yang pantas direnungkan ketika menyadari akan betapa
pentingnya peran guru bagi masa depan anak-anak jaman.
Peran guru era saat ini tentu saja lebih kompleks daripada barangkali yang digambarkan
dalam film tadi. Kompleksitas itu ditunjukkan, misalnya, bagaimana seorang guru mesti
merespon beragam kebutuhan anak didik yang berubah, perkembangan teknologi yang
demikian cepat merambah dan mengisi dalam dunia kerja, atau tuntutan meraih
keunggulan dari masyarakat saat ini, serta perubahan konstruksi sosial di dalam
masyarakat dan ledakan globalisasi yang menggurita.
Berada dalam tegangan antara idealisme peran yang dijalankan dan realitas empirik di
lapangan, pertanyaannya adalah sejauhmana seorang guru masih mampu menjalankan
perannya menjadi agen perubahan di dalam masyarakat?
Sejak menjatuhkan “pilihan” sebagai guru, sejatinya seorang guru terikat kontrak menjadi
seorang agen perubahan. Peran itu terjadi pada titik perjumpaan antara sang guru dengan
anak didik di sekolah. Guru memiliki andil demikian besar dalam menentukan dan
membuat perbedaan kepada anak didiknya. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa baik
atau buruk, hitam atau putihnya “gambaran” anak didik di masa depan sangat ditentukan
oleh peran masa kini sang guru di sekolah. Sekolah merupakan satu-satunya institusi
sosial yang secara khusus dan terorganisir mengembangkan anak didik memperoleh
pemahaman dan keterampilan perihal kebenaran, keindahan, dan keadilan.
Itulah tanggungjawab moral guru. Tanggung jawab moral guru itu melekat erat dalam
diri seorang guru di manapun ia berada atau bagaimanapun situasi dan kondisi yang
terjadi dengan guru itu.
Kapasitas Perubahan
Dalam perannya sebagai seorang agen perubahan, seorang guru setidaknya perlu
memiliki karakteristik dan watak dasar yang selaras dengan hal tersebut. Kemampuan itu
digambarkan secara indah oleh Fullan (1993), dalam bukunya berjudul Change Forces:
Probing the Depths of Education Reform, dengan empat kapasitas dasar yang harus
melekat dalam diri seorang guru sebagai agen perubahan.
Keempat watak atau kapasitas dasar itu meliputi pengembangan visi pribadi, inkuiri,
penguasaan, dan kolaborasi.
Pertama adalah pengembangan visi pribadi. Adalah sangat penting bagi seorang guru
memiliki visi pribadi dan berusaha menghidupi itu dalam keseharian. Seorang guru
dengan visi pribadi yang “kuat” senantiasa bertanya, dan bertanya lagi, untuk
memperjelas intensi mengapa yang bersangkutan sampai memilih profesi menjadi guru.
“Perbedaan seperti apa yang akan saya tawarkan kepada anak didik ketika saya menjadi
guru?” merupakan langkah awal yang baik ketika seorang memutuskan diri untuk
menjadi guru. Seorang guru akan mencintai perubahan atau status quo, acapkali juga
ditentukan oleh akusisi visi pribadi yang dimilikinya.
Keberadaan visi pribadi tidak lepas dari nilai-nilai yang menghidupi visi atau cita-cita
pribadi itu. Seorang guru yang mengedepankan nilai “jujur” dan “teliti”, akan sangat
menaruh perhatian, misalnya, bagaimana ia harus menjalankan pembelajaran yang fair
kepada kepada anak didiknya. Dalam arti, seberapa jauh tujuan dan pendekatan
pembelajaran yang dipilihnya menjawab kebutuhan anak didik sesuai tuntutan jaman,
atau sejauhmana sistem penilaian yang dilakukan mencerminkan kemampuan anak didik
secara personal.
Visi pribadi dan visi lembaga sama pentingnya. Meskipun visi pribadi terkesan implisit
dan personal, ia lebih memberi dorongan perubahan pada diri seorang guru. Sebaik apa
pun perubahan yang ditawarkan kepada kelompok atau lembaga yang hanya dipenuhi visi
lembaga, hanya akan berhenti di permukaan, bersifat formalitas, tidak ada ikatan kuat dan
rasa memiliki setiap pribadi dalam kelompok itu. Akibatnya adalah perubahan susah
dijalankan bahkan mungkin tidak terjadi. Kegagalan reformasi kurikulum di sekolah
selama ini (sejak 1947 sampai kini), salah satunya diakibatkan karena tak pernah
menyentuh visi pribadi masing-masing guru di sekolah. Visi pribadi seorang guru adalah
jembatan menuju visi bersama di dalam sekolah.
Kapasitas dasar kedua adalah kebiasaan inquiry. Ini adalah sebuah kebiasaan di mana
seorang guru terus mengembangkan diri dengan bertanya, mempersoalkan, dan menguji
beragam hal yang sifatnya mendasar. Belajar inkuiri hendaknya dimulai dan dilatihkan
semenjak seorang guru menginjakkan kaki menjadi guru di sekolah. Bagi Fullan, hal itu
dapat dilakukan melalui praktek reflektif, jurnal pribadi, penelitian tindakan, bekerja
dalam standar tertentu, dan kerjasama dengan rekan sejawat dan bentuk lainnya.
Aktifitas inkuiri bersifat trial and error, tidak ada rumus dan jaminan baku. Seorang guru
yang mencoba model pembelajaran baru di kelasnya, mungkin akan mendapat hasil yang
tidak pernah ia prediksi sebelumnya. Keberanianya mencoba sesuatu yang baru, akan
mengantarnya masuk “ruang kreatif” yang membuat ia menemukan cara berpikir baru
dalam pengajarannya. Kebiasaan bertanya dan melakukan suatu “terobosan” ini
dilakukan guru secara kontinyu (lifelong) sepanjang hayat dalam berbagai bidang
pembelajaran.
Anak didik perlu dikenalkan dan dibiasakan melakukan pembelajaran inkuiri di kelasnya.
Alasannya sangat jelas, perubahan yang terjadi dimasyarakat sifatnya tidak linier,
unpredictable, dan tidak ada rumus memecahkan beragam permasalahan. Seorang guru
membangun kultur inkuiri di kelasnya dengan membiarkan anak didik belajar bebas
bertanya, sesungguhnya telah mengantar mereka pada ruang eksplorasi pengetahuan
tanpa batas yang dibutuhkannya.
Ruang kolaborasi di sekolah nampak nyata misalnya melalui kesediaan diri dalam
pembelajaran kolaboratif meliputi beberapa guru lintas bidang studi. Melalui kesediaan
berbagi dalam kegiatan seperti ini, sebuah tema pembelajaran, dapat didekati dengan
perpektif dan wilayah kajian berbeda. Bagi anak didik, model ini dirasakan lebih menarik
dan lebih riil, karena mengajak mereka masuk dalam realitas hidup sesungguhnya dengan
kompleksitas dan beragam aspek di dalamnya. Dalam perspektif lebih luas guru dapat
melakukannya bersama dan dengan stakeholders lain.
Modal perubahan
Keseluruhan kapasitas dasar di atas akan menjadi modal dan melengkapi keterampilan
guru sebagai agen perubahan dalam peran pengajaran di hadapan anak didiknya. Namun
demikian, seorang guru tidak akan mampu menjalankan peran agen perubahan itu secara
optimal tanpa kendali tanggung jawab moral sebagaimana disampaikan di bagian awal
tulisan tadi. Perubahan dan pembaharuan yang dilakukan guru melalui anak didik dan
masyarakat sekitarnya akan menjadi serpihan-serpihan gagasan tanpa arah dan tidak
menyasar dalam secara tepat.
Sebaliknya, dalam kendali tanggung jawab dan cita-cita moral yang benar, kapasitas dan
kemampuan dasar perubahan tadi akan menjelma menjadi sebuah keterampilan dan nafas
kehidupan bagi setiap guru dalam menjalankan peran sebagai agen perubahan. Itu artinya
ungkapan guru sebagai agen perubahan bukanlah suatu kemustahilan, melainkan sebuah
keniscayaan.