Anda di halaman 1dari 4

Guru = Agen Perubahan, Masihkah?

Tak Berkategori  Tagged agen perubahan, guru Mei 17th, 2009


Oleh thomas wibowo - 17 Mei 2009 -
Ada yang abadi atas peran seorang guru masa lalu, kini, dan masa mendatang. Peran itu
adalah memberi “warna” setiap generasi pada jamannya. Melalui film “Laskar Pelangi”,
yang saya lihat di Youtube, beberapa hari lalu, ada perasaan tergelitik yang saya rasakan,
yakni betapa kesederhanaan dan sikap seorang guru sejatinya mampu menggetarkan
sosok-sosok lugu anak pedalaman itu.

Kita tertarik oleh cerita dalam film tersebut, bukan saja lantaran “sikap” nakal atau
jenakanya lakon anak-anak Belitung dalam film itu. Saya terhenyak menyaksikan
seorang Cut Mini, yang memerankan sosok guru itu, dengan cinta yang luar biasa,
mampu “mengubah” cara berpikir anak didiknya menghadapi segala rintangan yang
mereka alami. Guru masa kini, juga bukanlah sosok Umar Bakrie, yang menyita
perhatian “orang” karena belas kasihan. Ia punya peran heroik yang tidak mudah
digantikan. Ini kiranya satu hal yang pantas direnungkan ketika menyadari akan betapa
pentingnya peran guru bagi masa depan anak-anak jaman.

Peran guru era saat ini tentu saja lebih kompleks daripada barangkali yang digambarkan
dalam film tadi. Kompleksitas itu ditunjukkan, misalnya, bagaimana seorang guru mesti
merespon beragam kebutuhan anak didik yang berubah, perkembangan teknologi yang
demikian cepat merambah dan mengisi dalam dunia kerja, atau tuntutan meraih
keunggulan dari masyarakat saat ini, serta perubahan konstruksi sosial di dalam
masyarakat dan ledakan globalisasi yang menggurita.

Celakanya, citra guru masih bergerak di tempat. Masyarakat acapkali mengidentikkan


guru dengan kelas pekerja bergaji rendah dan kompetensi mengajar yang kurang
memadai. Itulah mengapa program sertifikasi guru “laris manis” dalam wacana guru saat
ini. Satu sisi ia membidik profesionalitas, pada sisi lain diharapkan mampu mengangkat
“derajat” guru melalui insentif tambahan yang diterimanya. Meski demikian, harus diakui
program itu secara linier tidak akan mengatasi masalah rendahnya kompetensi guru,
seperti ditunjukkan oleh rendahnya angka prosentase hasil uji kelayakan mengajar baik
untuk guru negeri maupun swasta.

Berada dalam tegangan antara idealisme peran yang dijalankan dan realitas empirik di
lapangan, pertanyaannya adalah sejauhmana seorang guru masih mampu menjalankan
perannya menjadi agen perubahan di dalam masyarakat?

Tanggung Jawab Moral

Sejak menjatuhkan “pilihan” sebagai guru, sejatinya seorang guru terikat kontrak menjadi
seorang agen perubahan. Peran itu terjadi pada titik perjumpaan antara sang guru dengan
anak didik di sekolah. Guru memiliki andil demikian besar dalam menentukan dan
membuat perbedaan kepada anak didiknya. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa baik
atau buruk, hitam atau putihnya “gambaran” anak didik di masa depan sangat ditentukan
oleh peran masa kini sang guru di sekolah. Sekolah merupakan satu-satunya institusi
sosial yang secara khusus dan terorganisir mengembangkan anak didik memperoleh
pemahaman dan keterampilan perihal kebenaran, keindahan, dan keadilan.

Itulah mengapa, sekolah dan guru di dalamnya diharapkan mengembangkan dan


memperbaharui diri terus menerus agar mampu mengimbangi gerak cepat perubahan
dalam diri anak didik dan kebutuhan masyarakat. Seorang guru yang memilih status quo,
akan kehilangan peran momentumnya sebagai agen perubahan. Ia akan menjadi “korban”
perubahan kurikulum yang tak kunjung henti di sekolah, sementara ia tak akan pernah
memahami esensi pengajaran yang dijalankan.

Guru diharapkan mampu memainkan peran membawa perubahan-perubahan positif bagi


anak didik dan sekolahnya. Peran itu setidaknya dijalankan dalam konteks kurikulum, di
mana guru menjalankan kurikulum dan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum dalam
interaksi bersama anak didik di kelas. Lebih luas dari itu, seorang guru juga diteladani
oleh anak didiknya dalam kaitan dengan kebiasaan pribadi yang dilakukannya.

Itulah tanggungjawab moral guru. Tanggung jawab moral guru itu melekat erat dalam
diri seorang guru di manapun ia berada atau bagaimanapun situasi dan kondisi yang
terjadi dengan guru itu.

Kapasitas Perubahan

Dalam perannya sebagai seorang agen perubahan, seorang guru setidaknya perlu
memiliki karakteristik dan watak dasar yang selaras dengan hal tersebut. Kemampuan itu
digambarkan secara indah oleh Fullan (1993), dalam bukunya berjudul Change Forces:
Probing the Depths of Education Reform, dengan empat kapasitas dasar yang harus
melekat dalam diri seorang guru sebagai agen perubahan.

Keempat watak atau kapasitas dasar itu meliputi pengembangan visi pribadi, inkuiri,
penguasaan, dan kolaborasi.

Pertama adalah pengembangan visi pribadi. Adalah sangat penting bagi seorang guru
memiliki visi pribadi dan berusaha menghidupi itu dalam keseharian. Seorang guru
dengan visi pribadi yang “kuat” senantiasa bertanya, dan bertanya lagi, untuk
memperjelas intensi mengapa yang bersangkutan sampai memilih profesi menjadi guru.
“Perbedaan seperti apa yang akan saya tawarkan kepada anak didik ketika saya menjadi
guru?” merupakan langkah awal yang baik ketika seorang memutuskan diri untuk
menjadi guru. Seorang guru akan mencintai perubahan atau status quo, acapkali juga
ditentukan oleh akusisi visi pribadi yang dimilikinya.

Keberadaan visi pribadi tidak lepas dari nilai-nilai yang menghidupi visi atau cita-cita
pribadi itu. Seorang guru yang mengedepankan nilai “jujur” dan “teliti”, akan sangat
menaruh perhatian, misalnya, bagaimana ia harus menjalankan pembelajaran yang fair
kepada kepada anak didiknya. Dalam arti, seberapa jauh tujuan dan pendekatan
pembelajaran yang dipilihnya menjawab kebutuhan anak didik sesuai tuntutan jaman,
atau sejauhmana sistem penilaian yang dilakukan mencerminkan kemampuan anak didik
secara personal.

Visi pribadi dan visi lembaga sama pentingnya. Meskipun visi pribadi terkesan implisit
dan personal, ia lebih memberi dorongan perubahan pada diri seorang guru. Sebaik apa
pun perubahan yang ditawarkan kepada kelompok atau lembaga yang hanya dipenuhi visi
lembaga, hanya akan berhenti di permukaan, bersifat formalitas, tidak ada ikatan kuat dan
rasa memiliki setiap pribadi dalam kelompok itu. Akibatnya adalah perubahan susah
dijalankan bahkan mungkin tidak terjadi. Kegagalan reformasi kurikulum di sekolah
selama ini (sejak 1947 sampai kini), salah satunya diakibatkan karena tak pernah
menyentuh visi pribadi masing-masing guru di sekolah. Visi pribadi seorang guru adalah
jembatan menuju visi bersama di dalam sekolah.

Kapasitas dasar kedua adalah kebiasaan inquiry. Ini adalah sebuah kebiasaan di mana
seorang guru terus mengembangkan diri dengan bertanya, mempersoalkan, dan menguji
beragam hal yang sifatnya mendasar. Belajar inkuiri hendaknya dimulai dan dilatihkan
semenjak seorang guru menginjakkan kaki menjadi guru di sekolah. Bagi Fullan, hal itu
dapat dilakukan melalui praktek reflektif, jurnal pribadi, penelitian tindakan, bekerja
dalam standar tertentu, dan kerjasama dengan rekan sejawat dan bentuk lainnya.

Aktifitas inkuiri bersifat trial and error, tidak ada rumus dan jaminan baku. Seorang guru
yang mencoba model pembelajaran baru di kelasnya, mungkin akan mendapat hasil yang
tidak pernah ia prediksi sebelumnya. Keberanianya mencoba sesuatu yang baru, akan
mengantarnya masuk “ruang kreatif” yang membuat ia menemukan cara berpikir baru
dalam pengajarannya. Kebiasaan bertanya dan melakukan suatu “terobosan” ini
dilakukan guru secara kontinyu (lifelong) sepanjang hayat dalam berbagai bidang
pembelajaran.

Anak didik perlu dikenalkan dan dibiasakan melakukan pembelajaran inkuiri di kelasnya.
Alasannya sangat jelas, perubahan yang terjadi dimasyarakat sifatnya tidak linier,
unpredictable, dan tidak ada rumus memecahkan beragam permasalahan. Seorang guru
membangun kultur inkuiri di kelasnya dengan membiarkan anak didik belajar bebas
bertanya, sesungguhnya telah mengantar mereka pada ruang eksplorasi pengetahuan
tanpa batas yang dibutuhkannya.

Ketiga adalah pentingnya penguasaan. “Penguasaan” dimaksudkan bahwa guru tidak


boleh berhenti dalam tataran berpikir saja, melainkan harus beraksi dan berperilaku
dalam gagasan dan keterampilan baru. Penguasaan berarti mendekati setiap pengalaman
hidup secara kreatif, menjalani hidup dengan kreatif dan bukan reaktif.
Tatkala penguasaan pribadi telah menjadi disiplin atau terintegrasi dalam hidup pribadi
guru itu, menurut Senge (1990), maka akan memberikan setidaknya dua manfaat berikut.
Ia akan terus mempertanyakan mana yang sesungguhnya penting atau prinsip sejalan visi
pribadinya, dan selanjutnya memungkinkannya belajar memandang realitas dengan lebih
jernih. Maka yang terpenting dalam belajar bukan seberapa banyak informasi yang
diperoleh, melainkan sejauhmana itu membawa hasil nyata sesuai yang dikehendakinya
(visi dan cita-cita pribadi).
Keempat adalah kolaborasi. Belajar secara bersama atau kemampuan untuk bekerja sama
amat dibutuhkan. Selain untuk mengatasi kelemahan belajar secara pribadi, yang
biasanya terbentur dalam keterbatasan dalam diri, bekerja dalam kelompok juga menjadi
ciri perkembangan modern belakangan ini.

Kolaborasi yang efektif biasanya diimbangi dengan keterampilan pribadi dalam


berinkuiri secara terus-menerus. Tanpa dimbangi dengan hal tersebut, kolaborasi hanya
jatuh dalam bentuk fisik, tidak mendalam, dan formalitas belaka. Kolaborasi hanya jatuh
pada indahnya bentuk, namun kehilangan esensi.

Ruang kolaborasi di sekolah nampak nyata misalnya melalui kesediaan diri dalam
pembelajaran kolaboratif meliputi beberapa guru lintas bidang studi. Melalui kesediaan
berbagi dalam kegiatan seperti ini, sebuah tema pembelajaran, dapat didekati dengan
perpektif dan wilayah kajian berbeda. Bagi anak didik, model ini dirasakan lebih menarik
dan lebih riil, karena mengajak mereka masuk dalam realitas hidup sesungguhnya dengan
kompleksitas dan beragam aspek di dalamnya. Dalam perspektif lebih luas guru dapat
melakukannya bersama dan dengan stakeholders lain.

Modal perubahan

Keseluruhan kapasitas dasar di atas akan menjadi modal dan melengkapi keterampilan
guru sebagai agen perubahan dalam peran pengajaran di hadapan anak didiknya. Namun
demikian, seorang guru tidak akan mampu menjalankan peran agen perubahan itu secara
optimal tanpa kendali tanggung jawab moral sebagaimana disampaikan di bagian awal
tulisan tadi. Perubahan dan pembaharuan yang dilakukan guru melalui anak didik dan
masyarakat sekitarnya akan menjadi serpihan-serpihan gagasan tanpa arah dan tidak
menyasar dalam secara tepat.

Sebaliknya, dalam kendali tanggung jawab dan cita-cita moral yang benar, kapasitas dan
kemampuan dasar perubahan tadi akan menjelma menjadi sebuah keterampilan dan nafas
kehidupan bagi setiap guru dalam menjalankan peran sebagai agen perubahan. Itu artinya
ungkapan guru sebagai agen perubahan bukanlah suatu kemustahilan, melainkan sebuah
keniscayaan.

Anda mungkin juga menyukai