Anda di halaman 1dari 17

Kritik Sastra

A.    PENGERTIAN KRITIK SASTRA           

            Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ”hakim”.
Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti ”dasar penghakiman”
dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek
studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap
teks sastra sebagai karya seni.

   Menurut Graham Hough (1966: 3) bahwa kritik sastra itu bukan hanya terbatas pada
penyuntingan dan penetapan teks, interpretasi , dan pertimbangan nilai, melainkan kritik
sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan itu, untuk apa, dan
bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.

Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra
merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan
penilaian karya sastra.

   Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga
bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan
yang erat dan saling mengait. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi
sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks
sastra.

B. Analisis Karya Sastra Sebagian bagian dari Kritik Sastra


Analisis karya sastra merupakan bagian dari Kritik sastra. Tujuan analisis karya sastra
antara lain meningkatkan pemahaman terhadap karya sastra itu sendiri. Dengan melakukan
kegiatan analisis, pembelajarn sastra diharapkan dapat mencapai tujuan apresiatif.

Model pengkajian sastra dianggap relatif baru adalah analisis isi. Kebaruannya dapat dilihat
dari tujuan yang ingin diungkap. Jika seorang peneliti ingin mengungkap, memahami, dan
menangkap pesan dari suatu karya sastra, maka model analisis isi tepat digunakan. Analisis
isi dalam bidang sastra tergolong sebagai upaya pemahaman karya dari aspek ekstrinsik.
Aspek-aspek diluar estetika struktur sastra tersebut, dibuka, dihayati, dan dibahas dengan
tuntas dan mendalam. Unsur ekstrinsik sastra yang menarik perhatian analisis isi banyak
sekali, antara lain: pesan moral/etika, nilai pendidikan (didaktis), filosofi, religius,
kesejarahan, dan sebagainya. Dengan kata lain, peneliti memanfaatkan pengkajian analisis
isi apabila hendak mengungkap kandungan nilai tertentu dalam karya sastra. Meskipun
analisis isi bergerak pada nilai, tak berarti aspek-aspek sastra harus diabaikan. Analisis isi
tetap memperlakukan karya sastra sebagai seni. Kendati penelitian harus melakukan
kutipan-kutipan yang memuat nilai-nilai tertentu, kutipan tersebut tetap dilakukan sebagai
bagian tak terpisahkan dengan keseluruhan karya. Oleh karena itu, ketika pengarang
menyemaikan pesan dalam karyanya, tentu ia memiliki alasan dalam kaitannya dengan
konteks cerita secara menyeluruh. Hal penting dari analisis isi karya sastra adalah bagaimana
hasil analisis tersebut dapat diimplikasikan kepada siapa saja. Oleh karena yang akan
terungkap adalah isi atau makna karya sastra, peneliti wajib memprediksikan siapa saja yang
mungkin dapat memanfaatkan hasil kajiannya. Pesan-pesan karya sastra tersebut dapat
disosialisasikan kepada siapa saja. Tanpa tujuan yang jelas, maka kajian analisis isi menjadi
kurang bermanfaat. Manfaat yang diprediksikan perlu disertai dengan langkah-langkah yang
jelas pula, sehingga bukan hanya sekedar basa-basi.

Penelitian analisis karya sastra berangkat dari suatu pernyataan bahwa penulis ingin
menyampaikan pesan tersirat kepada pembaca. Pesan tersebut merupakan isi yang harus
dicari kebenarannya. Penelitian ini merupakan cara strategis untuk mengungkap dan
memahami fenomena sastra, terutama untuk mengungkap tirai sastra yang berupa simbol.
Hal ini beralasan sekali, karena setiap pemanfaatan bahasa oleh sastrawan sejatinya adalah
membuat simbol-simbol dan makna.
Analisis karya sastra merpakan hal penting yang mendasari tiga asumsi dari karya
sastra. Ketiga asumsi itu adalah objektivitas, sistematis, dan generalisasi. Objektivitas
ditempuh lewat bangunan teoritik berupa konstruk analisis yang handal. Sistematis, karena
memanfaatkan langkah-langkah yang jelas. Generalisasi berdasarkan konteks karya sastra
secara menyeluruh untuk memperoleh inferensi.

Analisis karya sastra dapat memanfaatkan sajian data kuantitatif maupun kualitatif.
Oleh karena itu, komponen penting dalam analisis karya sastra adalah masalah-masalah
yang akan dikonsultasikan melalui teori. Itulah sebabnya, karya sastra yang hendak dikupas
harus memuat nilai-nilai dan pesan yang jelas. Semisal, memuat pesan pendidikan budi
pekerti, kesantunan budaya dan lain-lain. Langkah-langkah analisis isi dalam bidang sastra
hendaknya memenuhi syarat tertentu. Setidaknya sebelum dianalisis teks sastra perlu
diproses secara sistematis, dicari unit-unit analisis dan dikategorikan sebagai acuan teori.
Proses analisis harus mampu menyumbangkan ke pemahaman yang mendalam suatu teori,
proses analisis hendaknya mendasarkan pada deskripsi.

Prosedur Pengadaan Data analisis isi

1. Penentuan Unit Analisis

Perolehan data karya sastra dilakukan dengan cara pembacaan secara cermat.
Pembacaan yang berulang-ulang akan membantu dan memudahkan peneliti mengadakan
data. Dari semua bacaan tersebut harus dipilah-pilah ke dalam unit kecil. Hal itu
dimaksudkan agar mudah dianalisis. Unit-unit ini bérikutnya ditulis kembali ke dalam kartu
data dan disertai terjemahannya. Penerjemahan ini akan sangat membantu bagi peneliti
dalam mengklasifikasi.

2. Perekaman/Pencatatan Data

Analisis isi adalah berupa data simbolik yang tak terstruktur. Oleh karea itu,
pencatatan menjadi masalah pokok. Terdapat beberapa petunjuk pencatatan yang perlu
dilakukan dalam penelitian sastra. Misal, seorang peneliti agar dapat mencatat data secara
cermat maka terlebih dahulu perlu latihan clan persiapan. Catatlah hal-hal yang
menggambarkan pesan dan makna slmbolik. dan data-data yang dicatat disertai pula kata-
kata yang dianggap sukar dan demikian pula kemungkinan makna semantisnya.

3. Proses lnferensi dan Analisis

a . lnferensi

Perbedaan dengan penelitian lain, dalam analisis isi, inferensi harus dilakukan
terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan analisis. Dalam melakukan inferensi, peneliti
harus sensitif terhadap data. ltulah sebabnya, inferensi selalu bertumpu pada makna
simbolik teks sastra. Inferensi adalah penarikan simpulan yang bersifat abstrak. Tampilan
inferensi biasanya menggunakan model linguistik, berupa abstraksi tematis karya sastra.
Abstraksi tersebut hendaknya mewakili sekian fenomena.

b. Analisis

Analisis antara lain adalah penyajian data, dan pembahasannya dilakukan secara
kualitatif konseptual. Perlu diingat bahwa analisis data harus selalu dihubungkan dengan
konteks dan konstruk analisis. Konteks berkaitan dengan struktur karya sastra, sedangkan
konstruk berupa bangunan konsep analisis. Konstruk tersebut menjadi bingkai analisis.

4. Validitas dan Reliabilitas (Ketelitian)

Secara umum penelitian sastra banyak menggunakan validitas semantis, yakni


mengukur tingkat kesensitifan makna simbolik yang bergayut dengan konteks. Pengukuran
makna, simbolik dikaitkan dengan konteks karya sastra dan konsep atau konstruk analisis.
Menurut Kriffendorf (1980:50-52) terdapat tujuh jenis validitas, yaitu (1) validitas data, (2)
validitas semantis, (3) validitas penentuan sampel, [4) validitas pragmatis, (5) validitas
korelasional, (6) validitas isi dan, (7) validitas proses.

5. Wilayah Kajian
Yang menjadi sasaran analisis 1’31’ adalah dapat mengukap makna karya sastra.
Makna tersebut diharapkan memiliki pula makna bagi kehidupan manusia. Di antara fungsi
suatu makna karya sastra adalah meningkatkan harkat dan martabat manusia. Itulah
sebabnyaasumsi yang mengelilingi studi analisis isi adalah .mengungkap aspek-aspek
moral/budi pekerti yang terdapat dalam karya sastra.

C. Pendekatan Dalam Analisis Karya Sastra

Pendekatan diartikan sebagai proses membuat atau cara mendekati, diartikan pula
sebagai usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan objek
yang diteliti atau metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian.
Sedangkan mengapresiasi adalah memberikan pengertian, pemahaman, dan penghargaan.
Jadi mengapresiasi sastra adalah seluruhkegiatan yang berusaha memberikan penilain
makna yang diemban pengarang. Dalam mengapresiasi sastra 4 tipe pendekatan
berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra, alam (universe) pembaca, pengarang (artist),
dan karya sastra, yaitu pendekatan mimetik, pendekatan ekspresif, pendekatan pragmatik,
dan pendekatan objektif.

Pendekatan dalam Karya Sastra

1. Pendekatan Mimetik

Pendekatan mimetik ialah pendekatan yang menganggap karya sastra itu merupakan tiruan,
cerminan, ataupun resperentasi alam maupun kehidupan atau dunia ide. Kriteria yang
dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” representasi objek-objek yang
digambarkan ataupun yang hendak digambarkan.

Pandangan tentang mimetic pertama kali diungkapkan oleh filsuf terkenal yaitu Plato yang
kemudian diungkapkan lagi oleh muridnya yaitu Aristoteles. Plato berpendapat bahwa seni
hanyalah tiruan alam yang nilainya jauh di bawah kenyataan dan ide. Menurutnya lagi, seni
adalah sesuatu yang rendah, yang hanya menyajikan suatu ilusi tentang kenyataan dan tetap
jauh dari kenyataan.

Berbeda dengan Plato, Aristoteles menyatakan bahwa tiruan itu justru membedakannya dari
segala sesuatu yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivita smanusia. Dalam
sebuah penciptaan sastrawan tidak semata-mata meniru kenyataan melainkan sekaligus
menciptakan.

Istilah mimetik berasal dari bahasa Yunani ‘mimesis’ yang berarti ‘meniru’,‘tiruan' atau
‘perwujudan’. Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimetic diartikan sebagai sebuah
pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya
sastra dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi
sangat menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang
menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan (Ravertz dalam Qutbi, 2013).

Secara umum, mimetik dapat diartikan sebagai suatu pendekatan yang memandang karya
sastra sebagai tiruan atau pembayangan dari dunia kehidupan nyata. Mimetik juga dapat
diartikan sebagai suatu teori yang dalam metodenya membentuk suatu karya sastra dengan
didasarkan pada kenyataan kehidupan sosial yang dialami dan kemudian dikembangkan
menjadi suatu karya sastra dengan penambahan skenario yang timbul dari daya imajinasi
dan kreatifitas pengarang dalam kehidupan nyata tersebut.

Berikut beberapa pengertian mimetik menurut para ahli:

1. Plato mengungkapkan bahwa sastra atau seni hanya merupakan peniruan (mimesis) atau
pencerminan dari kenyataan.

2. Aritoteles berpendapat bahwa mimetik bukan hanya sekedar tiruan, bukan sekedar potret
dan realitas, melainkan telah melalui kesadaran personal batin pengarangnya.

3. Raverzt berpendapat bahwa mimetik dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan yang
mengkaji karya sastra yang berupay auntuk mengaitkan karya sastra dengan realita satau
kenyataan.

4. Abrams mengungkapkan pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang


menitik beratkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya
sastra.
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam
teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan
dari abad ke abad sangat memengaruh iteori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van
Luxemburg dalam Qutbi, 2013).

2. Pendekatan Ekspresif

Pendekatan ekspresif ialah pendekatan yang menganggap karya sastra itu sebagai ekspresi,
luapan, pikiran, ucapan perasaan segai hasil imajinasi pengarang. Orientasi ini cenderung
menimbang karya saatra dengan keasliannya, kesejatiannya, atau kecocokan dengan visium
atau keadaan pikiran dengan kejiwaan pengarang.

Pendekatan ekspresif adalah teori yang memberi perhatian utamanya pada proses kreatif
pengarang dalam menciptakan karya sastra. Penyebab utama terciptanya karya sastra
adalah penciptanya sendiri. Itulah sebabnya penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan
pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra (Wellek, 1989: hal
89).

Adapun analisis pendekatan ekspresif Abrams terhadap karya sastra membutuhkan langkah-
langkah sebagai berikut:

a. Pengenalan dan pemahaman terhadap obyek yang dianalisis dengan cara membaca
dengan cermat karya sastra yang akan dianalisis untuk menemukan masalah-masalah yang
penting dalam karya tersebut.

b. Pengumpulan kepustakaan yang mungkin bisa menunjang proses analisis karya sastra
agar lebih akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.

c. Pemahaman secara mendalam dan detail mengenai pengarang berdasarkan data-data


yang diperlukan, misalnya menelusuri biografi secara lengkap dari dini hingga tumbuh
dewasa dan latar belakang kehidupan pengarang supaya bisa menemukan sikap dan ideologi
pengarang. Selanjutnya mencari-tahu pengalaman-pengalaman penting yang dialaminya dan
membaca karya-karya lain dari si pengarang agar bisa menemukan karakter,
psikologis/kejiwaan, pandangan dan pedoman hidup dari si pengarang. Misalnya
menemukan ekspresi ketabahan, keteguhan, keimanan, serta kebiasaan pengarang dalam
karya sastra yang disampaikan melalui kisah antar
tokoh. Pendekatan ekspresif meyakini jika suatu karya sastra memiliki pencipta yang sangat
berpengaruh dalam pemaknaan cerita dan hanya menfokuskan diri terhadap pengarang,
baik latar belakang kehidupan, psikologis atau kejiwaan maupun sikap dan pandangan hidup
si pengarang.

Pendekatan kritik ekspresif ini menekankan kepada penyair dalam mengungkapkan atau
mencurahkan segala pikiran, perasaan, dan pengalaman pengarang ketika melakukan proses
penciptaan karya sastra. Pengarang menciptakannya berdasarkan subjektifitasnya saja,
bahkan ada yang beranggapan arbitrer. Padahal, ekspresif yang dimaksud berkenaan dengan
daya kontemplasi pengarang dalam proses kreatifnya, sehingga menghasilkan sebuah karya
yang baik dan sarat makna.

Para kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan
unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang
dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cenderung menimba karya sastra berdasarkan
kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin pengarang/keadaan pikiranya.

Langkah-langkah dalam menerapkan pendekatan ekspresif adalah sebagai berikut:

• Seorang kritikus harus mengenal biografi pengarang karya sastra yang akan dikaji.

• Melakukan penafsiran pemahan terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra,
seperti tema, gaya bahasa/ diksi, citraan, dan sebagainya. Menurut Todorov dalam
menafsirkan unsur-unsur karya sastra bisa dengan cara berspekulasi, sambil juga meraba-
raba, tetapi sepenuhnya memiliki kesadaran diri, dari pada merasa memiliki pemahaman
tetapi masih buta. Artinya, seorang kritikus boleh bebas melakukan penfasiran pemahaman
terhadap unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra.

• Mengaitkan hasil penafsiran dengan berdasarkan tinjauan psikologis kejiwaan pengarang.


Asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh anggapan bahwa karya
sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada
situasi setengah sadar (subconcius) setelah jelas baru dituangkan kedalam bentuk secara
sadar (conscius). Dan kekuatan karya sastra dapat dilihat dari seberapa jauh pengarang
mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.

3. Pendekatan Pragmatik

Pendekatan pragmatik ialah pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai sarana
untuk mencapai tujuan tertentu kepada (bagi) pembaca (tujuan keindahan, jenis emosi, atau
pendidikan). Secara umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin
memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra dalam zaman
ataupun sepanjang.

Berdasarkan beberapa literatur yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik, ada pula yang
menekankan kepada struktur bahasa, aspek makna tertentu, dan hakikat ketergantungan
dengan konteks sebagai berikut.

1. Pragmatik adalah studi tentang hubungan-hubungan antarbahasa dengan konteks yang


gramatikalisasi atau dikodekan dalam struktur suatu bahasa.

2. Pragmatik adalah studi tentang semua aspek makna yang tidak terliput dalam teori
semantik.

3. Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dengan konteks yang merupakan
dasar untuk uraian pemahaman bahasa.

4. Pragmatik adalah studi tentang kemampuan pemakaian bahasa untuk memadankan


kaliamat dengan kontek yang tepat.

5. Pragmatik adalah studi tentang dieksis, implikasi, prasuposisi, tidak ujar, dan aspek
struktur wacana.

Menurut para ahli, pendekatan pragmatik dapat didefinisikan sebagai berikut:

• Menurut Teeuw (1994), teori pendekatan pragmatik adalah salah satu bagian ilmu sastra
yang merupakan pragmatik kajian sastra yang menitik beratkan dimensi pembaca sebagai
penangkap dan pemberi makna terhadap karya satra.

• Relix Vedika (Polandia), pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang tak ubahnya
artefak (benda mati) pembacanyalah yang menghidupkan sebagai proses konkritasi.

• Dawse (1960), pendekatan pragmatik merupakan interpensi pembaca terhadap karya


sastra ditentukan oleh apa yang disebut “horizon penerimaan” yang mempengaruhi kesan
tanggapan dan penerimaan karya sastra.

Pendekatan ini menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang dapat memberi
kesenangan dan kaidah bagi pembacanya dengan begitu pendekatan ini menggabungkan
unsure pelipur lara dan unsure dedaktif. Pemanfaatan pendekatan ini harus berhadapan
dengan realitifitas konsep keindahan dan konsep nilai dedaktif. Setiap genersai, setiap kurun
tertentu di haruskan menceritakan nilai keindahan hal itu tidak berarti bahwa interprestasi
hanya subjektif belaka.
4. Pendekatan Objektif

Pendekatan objektif menganggap karya sastra itu sebagai sesuatu yang mandiri, otonom,
bebas dari pengarang, pembaca dan bunia sekelilingnya. Orientasi ini cenderung
menerangkan karya sastra atas kompleksitas, koherensi keseimbangan integritas, dan saling
hubungan antar unsur yang membentuk karya sastra.

Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra
sebagai struktur yang otonom, karena itu tulisan ini mengarah pada analisis karya sastra
secara strukturalisme. Sehingga pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan
objektif. Semi (1993: 67) menyebutkan bahwa pendekatan struktural dinamakan juga
pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik. Strukturalisme
berpandangan bahwa untuk menanggapi karya sastra secara objektif haruslah berdasarkan
pemahaman terhadap teks karya sastra itu sendiri. Proses menganalisis diarahkan pada
pemahaman terhadap bagian-bagian karya sastra dalam menyangga keseluruhan, dan
sebaliknya bahwa keseluruhan itu sendiri dari bagian-bagian.

Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dianalisis berdasarkan
strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan
lepas pula dari efeknya pada pembaca. Mengacu istilah Teeuw (1984: 134), yang penting
hanya close reading, yaitu cara membaca yang bertitik tolak dari pendapat bahwa setiap
bagian teks harus menduduki tempat di dalam seluruh struktur sehingga kait-mengait secara
masuk akal (Pradotokusumo, 2005: 66).

Jeans Peaget menjelaskan bahwa di dalam pengertian struktur terkandung tiga gagasan,
Pertama, gagasan keseluruhan (whoneles), dalam arti bahwa bagian-bagian menyesuaikan
diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur
maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), yaitu struktur itu
menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan
bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri (Self Regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal
dari luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya. Sekaitan dengan itu
Aristoteles dalam Djojosuroto (2006: 34) menyebutkan adanya empat sifat struktur, yaitu:
order (urutan teratur), amplitude (keluasan yang memadai), complexity (masalah yang
komplek), dan unit (kesatuan yang saling terjalin).

Sejalan dengan konsep dasar di atas, memahami sastra strukturalisme berarti memahami
karya sastra dengan menolak campur tangan dari luar. Jadi memahami karya sastra berarti
memahami unsur-unsur yang membangun struktur. Dengan demikian analisis struktur
bermaksud memaparkan dengan cermat kaitan unusr-unsur dalam sastra sehingga
menghasilkan makna secara menyeluruh. Rene Wellek (1989: 24) menyatakan bahwa
analisis sastra harus mementingkan segi intrinsik. Senada dengan pendapat tersebut Culler
memandang bahwa karya sastra bersifat otonom yang maknanya tidak ditentukan oleh hal
di luar karya sastra itu. Istilah lainnya anti kausal dan anti tinjauan historis (Djojosuroto,
2006: 35).

Pendekatan Strukturalisme

Pendekatan strukturalisme berasal dari bahasa latin struere yang berarti membangun dan kata
structura yang berarti bentuk bangunan. Ajaran pokok strukturalisme adalah semua masyarakat dan
kebudayaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap. Strukturalisme, sebagaimana tersirat
dalam istilahnya, berkaitan dengan penyingkapan struktur sebagai pemikiran dan tingkah laku
manusia. Hakikat dari pendekatan strukturalis adalah bahwa ia tidak menyoroti mekanisme sebab-
akibat dari suatu fenomena, melainkan tertarik pada konsep bahwa satu totalitas yang kompleks
dapat dipahami sebagai suatu rangkaian unsur-unsur yang saling berkaitan (Zaprulkhan, 2016).
Strukturalisme tidak hanya terpaku pada keberadaan unsur-unsur tertentu, tetapi melihat
bagaimana unsur-unsur tersebut berelasi.

Dalam sosiologi, antropologi dan linguistik, strukturalisme adalah metodologi yang melihat unsur
budaya manusia dengan sistem secara menyeluruh atau umum yang disebut struktur. Ia bekerja
untuk mengungkap struktur yang mendasari semua hal yang dilakukan, dipikirkan, dirasakan, dan
bagaimana manusia merasa. Atau, seperti yang dirangkum oleh filsuf Simon Blackburn,
strukturalisme adalah keyakinan bahwa fenomena kehidupan manusia yang tidak dimengerti kecuali
melalui keterkaitan antara mereka. Hubungan ini merupakan struktur, dan belakang variasi lokal
dalam fenomena yang muncul di permukaan ada hukum konstan dari budaya abstrak.

Selain itu, aliran Strukturalis atau Strukturalisme dilihat suatu pendekatan ilmu humanis yang
mencoba untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem kompleks yang
saling berhubungan. Ferdinand de Saussure (1857-1913) dianggap sebagai salah satu tokoh
penggagas aliran ini, meskipun masih banyak intelektual Perancis lainnya yang dianggap memberi
pengaruh lebih luas. Aliran ini kemudian diterapkan pula pada bidang lain, seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, psikoanalisis , teori sastra dan arsitektur. Ini menjadikan strukturalisme tidak
hanya sebagai sebuah metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang datang untuk mengambil
alas eksistensialisme di Perancis tahun 1960-an.

Strukturalisme muncul sekitar paruh kedua abad ke-20 dan berkembang menjadi salah satu
pendekatan yang paling populer di bidang akademik berkaitan dengan analisis bahasa, budaya, dan
masyarakat. Aktivitas Ferdinand de Saussure yang menggeluti bidang linguistik inilah yang dianggap
sebagai titik awal dari strukturalisme. Istilah Strukturalisme itu sendiri muncul dalam karya-karya
antropolog Perancis Claude Lévi-Strauss, yang menyebabkan gerakan strukturalis di Perancis. Hal ini
pula yang mendorong para pemikir seperti Louis Althusser, psikoanalis Jacques Lacan, serta Nicos
Poulantzas untuk mengembangkannya sebagai Marxisme struktural. Sebagian besar anggota aliran
strukturalisme ini tidak menggambarkan diri sebagai bagian dari setiap gerakan tersebut.
Strukturalisme berkaitan erat dengan semiotika. Tidak lama kemudian, aliran baru post
strukturalisme muncul dan mencoba untuk membedakan diri dari aliran struktural. Dengan cara
memunculkan hal-hal yang kontradiktif (dekonstruksi), para pengikut aliran ini berusaha untuk
menjauhkan diri dari pikiran stukturalis. Beberapa kaum intelektual seperti Julia Kristeva,
mengambil strukturalisme (dan formalisme Rusia) untuk titik awal kiprahnya yang kemudian
menjadikannya menonjol sebagai salah satu tokoh post strukturalis. Strukturalisme memiliki
berbagai tingkat pengaruh dalam ilmu sosial, dan pengaruh sangat kuat dapat terlihat di bidang
sosiologi.

Aliran Strukturalis menyatakan bahwa budaya manusia harus dipahami sebagai sistem tanda
(system of signs). Robert Scholes mendefinisikannya sebagai reaksi terhadap keterasingan modernis
dan keputusasaan. Para kaum strukturalis berusaha mengembangkan semiologi (sistem tanda).
Ferdinand de Saussure adalah penggagas strukturalisme abad ke-20, dan bukti tentang hal ini dapat
ditemukan dalam Course in General Linguistics, yang ditulis oleh rekan-rekan Saussure setelah
kematiannya dan berdasarkan catatan para muridnya. Saussure tidak memfokuskan diri pada
penggunaan bahasa (parole, atau ucapan), melainkan pada sistem yang mendasari bahasa (langue).
Teori ini lalu muncul dan disebut semiologi. Namun, penemuan sistem ini harus terlebih dahulu
melalui serangkaian pemeriksaan parole (ucapan). Dengan demikian, Linguistik Struktural
sebenarnya bentuk awal dari linguistik korpus (kuantifikasi). Pendekatan ini berfokus pada
bagaimana sesungguhnya kita dapat mempelajari unsur-unsur bahasa yang terkait satu sama lain
sinkronis daripada diakronis. Akhirnya, dia menegaskan bahwa tanda-tanda linguistik terdiri atas dua
bagian, sebuah penanda (pola suara dari sebuah kata, baik dalam proyeksi mental – seperti pada
saat kita membaca puisi untuk diri kita sendiri dalam hati – atau sebenarnya, realisasi fisik sebagai
bagian dari tindak tutur) dan signified (konsep atau arti kata). Ini sangat berbeda dari pendekatan
sebelumnya yang berfokus pada hubungan antara kata dan hal-hal di dunia dengan referensinya
(Roy Harris dan Talbot Taylor, [1989], hal 178-179).

Pemikiran Saussure ternyata mempengaruhi banyak linguis pada kurun waktu terjadinya Perang
Dunia I dan Perang Dunia II. Di Amerika Serikat, misalnya, Leonard Bloomfield mengembangkan
linguistik structural versinya sendiri. Selain itu, ada pula linguis lainnya seperti Louis Hjlemslev dari
Denmark dan Alf Sommerfelt dari Norwegia. Di Perancis, Antoine Meillet dan Émile Benveniste
melanjutkan pemikiran Saussure ini. Tapi yang paling penting dan masih tetap relevan hingga saat
ini adalah Mahzab Praha dengan tokoh sentralnya seperti Roman Jakobson dan Nikolai Trubetzkoy,
melalui penelitian yang telah dilakukannya.

Karakteristik Pendekatan Strukturalisme

Ciri-ciri strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan,
penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait dengan suatu hal melalui pendidikan. Ciri-ciri itu bisa
dilihat dari beberapa hal; hirarki, komponen atau unsur-unsur, terdapat metode, model teoritis yang
jelas dan distingsi yang jelas. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual
obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan
penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan.
Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hierarkinya, kaitan
timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040).

Para ahli strukturalisme menentang eksistensialisme dan fenomenologi yang mereka anggap
terlalu individualistis dan kurang ilmiah. Salah satu yang terkenal adalah pandangan Maurice
Meleau-Ponty menekankan bahwa hal yang fundamental dalam identitas manusia adalah bahwa
kita adalah objek-objek fisik yang masing-masing memiliki kedudukan yang berbeda-beda dan unik
dalam ruang dan waktu.
Zaprulkhan (2016) dalam bukunya berjudul Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer memaparkan
sebuah unsur hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan rangkaian secara total. Jadi, apa yang
ditekankan dalam strukturalisme bukanlah hakikat dari unsur itu sendiri, melainkan relasi di antara
unsur-unsur. Dengan kata lain, makna dari unsur pada situasi tertentu tidak dapat diungkapkan di
dalam unsur itu sendiri, melainkan melalui hubungan antara unsur tersebut dengan unsur-unsur
lain.

Untuk itu, ada beberapa kesimpulan tentang pemikiran strukturalisme (Piliang Yasraf dalam
Zaprulkhan, 2016: 173): 1). Strukturalisme tidak menganggap penting individu sebagai subjek
pencipta, dan melihatnya lebih sebagai kode yang tersedia; 2). Strukturalisme memberikan
perhatian yang sedikit pada sebab-akibat, dan memusatkan dirinya pada kajian tentang struktur; 3).
Strukturalisme tidak menganggap penting pertanyaan tentang sejarah dan perubahan, dan lebih
berkonsentrasi pada kajian hubungan antara seperangkat unsur-unsur di dalam suatu sistem pada
waktu tertentu.

Pemikiran strukturalisme merupakan jawaban lain untuk menganalisis kasus yang terjadi
dalam dunia perpolitikan. Selama ini, masalah-masalah sosial yang terjadi selalu dianalisis dengan
pendekatan individual atau behavioralisme yang selalu permuara pada kerusakan moral dan
kurangnya iman, sikap rakus dan serakah dari pelaku, dan lain-lain. strukturalisme menyatakan ada
pengaruh struktur yang ada, sehingga terjadinya sebuah masalah atau kejahatan sosial.

Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik merupakan teori di bawah payung sosiologi sastra. Strukturalisme genetik
lahir dari seorang sosiolog Perancis, Lucien Goldmann. Kemunculannya disebabkan, adanya
ketidakpuasan terhadap pendekatan strukturalisme, yang kajiannya hanya menitikberatkan pada
unsur-unsur instrinsik tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra, sehingga karya
sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya.

Strukturalisme genetik mencoba untuk memperbaiki kelemahan pendekatan Strukturalisme, yaitu


dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahami karya sastra. Strukturalisme Genetik sering
juga disebut strukturalisme historis, yang menganggap karya sastra khas dianalisis dari segi historis.
Goldmann bermaksud menjembatani jurang pemisah antara pendekatan strukturalisme (intrinsik)
dan pendekatan sosiologi (ekstrinsik).

Dari sudut pandang sosiologi sastra, strukturalisme genetik memiliki arti penting, karena
menempatkan karya sastra sebagai data dasar penelitian, memandangnya sebagai suatu sistem
makna yang berlapis-lapis yang merupakan suatu totalitas yang tak dapat dipisah-pisahkan
(Damono, 1979:42). Hakikatnya karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang
turut mengkondisikan penciptaan karya sastra, walaupun tidak sepenuhnya di bawah pengaruh
faktor luar tersebut. Menurut Goldmann, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan
merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi
yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan (Faruk, 1999b:12).
Goldmann percaya pada adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat
sebab keduanya merupakan produk di aktivitas strukturasi yang sama (Faruk, 1999b:15).
Pada perkembangannya strukturalisme genetik juga dipengaruhi oleh ilmu seorang marxis, yaitu
George Lukacs. Menurut Goldmann strukturalisme genetik memandang struktur karya sastra sebagi
produk dari struktur kategoris dari pemikiran kelompok sosial tertentu (Faruk, 1999a:12). Kelompok
sosial itu mula-mula diartikan sebagai kelompok sosial dalam pengertian marxis (Faruk, 1999a:13-
14).

Konsep Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia, baik yang verbal maupun
fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan (Faruk, 1999b:12). Aktivitas atau perilaku
manusia harus menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan sekitar. Individu-individu berkumpul
membentuk suatu kelompok masyarakat. Dengan kelompok masyarakat manusia dapat memenuhi
kebutuhan untuk beradabtasi dengan lingkungan.

Dengan meminjam teori psikologi Pioget, Goldmann (dalam Faruk, 1999b:13), menganggab bahwa
manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal balik yang saling
bertentangan tetapi yang sekaligus saling isi-mengisi. Oleh karena itu, fakta kemanusiaan
merupakan struktur yang bermakna. Menurut Endraswara (2003:55) semua aktivitas manusia
merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi
untuk memodofikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasi, sehingga dalam hal ini manusia
memiliki kecenderungan untuk berperilaku alami karena harus menyesuaikan dengan alam semesta
dan lingkungannya. Oleh karenanya, fakta kemanusiaan dapat bersifat individu atau sosial.

Damono (1979:43) berpendapat, untuk menelaah fakta-fakta kemanusiaan baik dalam strukturnya
yang esensial maupun dalam kenyataannya yang kongkrit membutuhkan sutau metode yang
serentak bersifat sosiologis dan historis. Dengan fakta kemanusiaan dapat diketahui bahwa sastra
merupakan cermin dari pelbagai segi struktur sosial maupun hubungan kekeluargaan.

Konsep Subjek Kolektif

Subjek kolektif merupakan bagian dari fakta kemanusiaan selain subjek individual. Fakta
kemanusiaan muncul karena aktivitas manusia sebagai subjek. Pengarang adalah subjek yang hidup
di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya di dalam masyarakat terdapat fakta kemanusiaan.

Karya sastra diciptakan oleh pengarang. Dengan demikian karya sastra lebih merupakan duplikasi
fakta kemanusiaan yang telah diramu oleh pengarang. Semua gagasan pengarang dapat dikatakan
sebagai perwakilan dari kelompok sosial. Oleh sebab itu pengkajian terhadap karya sastra tidak
dapat dipisahkan dengan pengarang untuk mendapat makna yang menyeluruh. Menurut Juhl (dalam
Iswanto, 2001:60) bahwa penafsiran terhadap karya sastra yang mengabaikan pengarang sebagai
pemberi makna akan sangat berbahaya, karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas,
kepribadian, cita-cita, juga norma-norma yang dipegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur
sosial tertentu.
Subjek kolektif adalah kumpulan individu-individu yang membentuk satu kesatuan beserta
aktivitasnya. Goldmann (dalam Faruk, 1999:15) menspesifikasikannya sebagai kelas sosial dalam
pengertian marxis, sebab baginya kelompok itulah yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok
yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan
yang telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia.

Konsep Pandangan Dunia

Goldmann juga mengembangkan konsep mengenai pandangan dunia yang dapat terwujud dalam
karya sastra dan filsafat. Menurutnya, struktur kategoris yang merupakan kompleks menyeluruh
gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-
sama anggota-anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok
sosial yang lain disebut pandangan dunia (Faruk, 1999a:12).

Pemahaman terhadap karya sastra adalah usaha memahami perpaduan unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka
membangun totalitas bentuk atau totalitas kemaknaan. Setiap karya sastra yang penting mempunyai
struktur kemaknaan (Strukture Significative), karena menurut Goldmann, struktur kemaknaan itu
merupakan struktur global yang bermakna dan mewakili pandangan dunia (vision du monde, world
vision). Penulis tidak sebagai individu, tetapi mewakili golongan (kelas) masyarakat (Satoto,
1986:175).

Pada gilirannya pandangan dunia itulah yang menghubungkan karya sastra dengan kehidupan
masyarakat. Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat turut mengkondisikan terciptanya
karya sastra baik dari segi isi atau segi bentuk dan strukturnya. Hal ini desebabkan oleh kenyataan
bahwa pandangan dunia itu sendiri oleh Strukturalisme Genetik dipandang sebagai produk dari
hubungan antara kelompok sosial yang memilikinya dengan situasi sosial dan ekonomi pada saat
tertentu (Goldmann dalam Faruk, 1999a:13). Oleh karena itu, sastra pada dasarnya juga merupakan
kegiatan kebudayaan atau peradaban dari setiap situasi, masa atau zaman saat sastra itu dihasilkan.
Dengan situasi inilah, tidak dapat dipungkiri bahwa sastra adalah pemapar unsur-unsur sosiokultural
demi memberi pemahaman nilai-nilai budaya dari setiap zaman atau perkembangan zaman itu
sendiri. Goldmann berpandangan bahwa kegiatan kultural tidak bisa dipahami di luar totalitas
kehidupan dalam masyarakat yang telah melahirkan kegiatan itu; seperti halnya kata tidak bisa
dipahami di luar ujaran (Damono, 1979:43). Jadi, pada dasarnya sastra juga mengandung nilai-nilai
historis, sosiologis, dan kultural.

Goldmann (dalam Satoto, 1986:176) menyatakan bahwa pandangan dunia ini disebut sebagai suatu
bentuk kesadaran kelompok kolektif yang menyatukan individu-individu menjadi suatu kelompok
yang memiliki identitas kolektif. Menurut Goldmann, karya sastra, namun demikian, bukan refleksi
dari suatu kesadaran kolektif yang nyata dan ada, melainkan puncak dalam suatu level koherensi
yang amat tinggi dari kecenderungan-kecenderungan khusus bagi kelompok tertentu, suatu
kesadaran yang harus dipahami sebagai suatu realitas dinamik yang diarahkan ke satu bentuk
keseimbangan tertentu (Faruk, 1999b:33). Pandangan dunia bukan merupakan fakta empiris yang
langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat menyatukan
suatu kelompok sosial masyarakat.

Konsep “Pemahaman-Penjelasan”

Goldmann menjelaskan tentang metodenya itu: untuk bisa realistis, sosiologi harus bersifat historis;
demikian juga sebaliknya, untuk bisa ilmiah dan realistis, penelitian sejarah harus sosiologis
(Damono, 1979:43). Dengan demikian, strukturalisme genetik merupakan teori alternatif untuk
menganalisis karya sastra yang antara historis dan sosiologis dapat dilakukan secara berkaitan.

Karya sastra harus memiliki kepaduan antara struktur yang satu dengan yang lain. Unsur luar
maupun unsur dalam sama-sama memiliki arti penting di dalam membangun karya sastra. Kepaduan
dari kedua unsur tersebut memberi kelengkapan, bahwa karya sastra tidak hanya dapat dilihat dari
dalam (teks) sastra, melainkan unsur pembentuk dari luar. Karya sastra berusaha mengungkap
persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Persoalan-persoalan itu sebagian ada yang
terpecahkan dan sebagian tidak ditemukan jalan keluarnya.

Karena itu, Goldmann mencoba mengembangkan metode dialektik. Prinsip dasar dari metode
dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi di atas adalah pengetahuannya
mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat kongkret dengan
mengintegrasikan ke dalam keseluruhan (Goldmann dalam Faruk, 1999b:19-20).

Metode dialektik mengembangkan dua konsep, yaitu “Pemahaman-penjelasan” dan “Keseluruhan-


bagian.” Pemahaman adalah pendeskripsian struktur objek yang dipelajari, sedangkan penjelasan
adalah usaha menggabungkan ke dalam struktur yang lebih besar (Goldmann dalam Faruk,
1999b:21). Pada dasarnya pengertian konsep “Pemahaman-penjelasan” sangat berkait dengan
konsep “Keseluruhan-bagian.”

Pada penjelasan konsep fakta kemanusiaan telah dikemukakan bahwa terdapat dua fakta, yaitu
fakta individual dan fakta sosial. Fakta individual baru memiliki arti penting jika di tempatkan dalam
keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan mempunyai arti karena merupakan respon-respon dari
bagian-bagian yang membangunnya. Konsep “Keseluruhan-bagian” memilki keterkaitan untuk saling
melengkapi dalam memberi arti dari “keseluruhan” dan “bagian” itu sendiri.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka strukturalisme genetik memandang karya sastra


tidak hanya sebagai yang memilki struktur yang lepas-lepas, melainkan adanya campur tangan
faktor-faktor lain (faktor sosial) dalam proses penciptaannya. Karya sastra dipahami sebagai totalitas
perpaduan struktur dalam dan struktur luar.
Apabila dirumuskan dalam bentuk definisi, strukturalisme genetik pada prinsipnya adalah teori
sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur yang
statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategoris pikiran
subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu
dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu (Faruk, 1999:13).

Anda mungkin juga menyukai