Anda di halaman 1dari 14

A.

Sejarah Mu’tazilah
Golongan mutazilah disebut kelompok Ahl al-adl wa at-tauhid, dan juga disebut
qadariyyah atau adliyyah. Mereka jadikan kata qadariyyah mempunyai dua arti: kata
qadar dipergunakan untuk menamakan orang yang mengakui qadar dipergunakan untuk
kebaikan dan keburukan pada hakikatnya dari allah. Namun sebenarnya pendapat ini
hanya lahir dariorang yang buta hatinya karena nabi saw bersabda:

“Al-Qadariyyah adalah majusinya umat islam ini”

Dan yang menjadi lawannya Shifatiyyah. Sedang kata Jabariyyah dan


Qadariyyah bertolak belakang. Bagaimana kedua kata ini dapat dihimpukan. Nabi SAW
bersabda:

“Qadariyyaah adalah musuh musuh allah tentang takdir allah”

Yang dimaksud dengan musuh Allah di sini adalah musuh mengenal takdir
Allah, karena takdir Allah terdiri dari kebaikan dan kejahatan demikian juga perbuatan
manusia terdiri dari dua macam ialah baik dan buruk Yang demikian itu tidaklah
tergambar bagi orang yang bertawakal dan menyerahkan segala urusannya kepada
Allah, yang rela menerima ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. karenanya orang
Mutazilah tidak menerima yang seperti ini, karena semua macam perbuatan yang
terjadi adalah dari manusia.

Kaum Mu'tazilah mengatakan bahwa Allah itu qadim, qidam adalah sifat khusus
bagi zat-Nya. Mereka mengatakan Allah Mahamengetahui dengan zat-Nya, Allah
Mahahidup dengan zat-Nya. Allah Mahakuasa dengan zat-Nya, bukan dengan
pengetahuan. kekuasaan, dan kehidupan, karena semua ini adalah sifat sedangkan sifat
adalah sesuatu di luar zat. Karena kalau sifat berada pada zat yang qadim, sedangkan
sifat qidam adalah sifat yang lebih khusus niscaya akan terjadi dualisme yakni zat dan
sifat. Kaum Mutazilah sependapat bahwa Kalam Allah itu baharu yang ada pada zat-
Nya karena Kalam itu sendiri terdiri dari huruf, suara dan tulisan mushaf dan dapat
ditiru bunyinya. Karena itu kalau sifat Kalam sedemikian rupa ialah sesuatu yang
baharu yang ada pada zat maka Kalam yang seperti itu dapat hilang. Mereka juga
sependapat bahwa Iradah. Sama' dan Bashar bukanlah termasuk sifat ma'ani yang ada
pada zat-Nya, namun mereka tidak sependapat tentang sifat adanya dan tempat berada
sifat yang seperti itu yang insya Allah akan kami kemukakan pada uraian yang akan
datang. Mereka juga menolak kemungkinan melihat zat Allah dengan mata kepala pada
hari akhirat karena, menurutnya, apabila zat Allah dapat dilihat berarti zat-Nya sama
dengan zat yang lain padahal zat Allah tidak berada pada arah tertentu, tidak
mempunyai tempat, tidak berbentuk, tidak mempunyai rupa, tidak terdiir dari materi,
tidak menempati ruang, tidak berpindah pindah, tidak dapat dibilang, tidak berubah, dan
tidak terpengaruh. Karena menurut mereka ayat ayat yang mutasyabihat itu wajib
ditakwilkan, pendirian yang seperti itu mereka namakan tauhid.

Mereka juga berpendapat bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya sendiri,


entah perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Karena itu manusia berhak memperoleh
pahala dari apa yang diperbuatnya dan siksa di hari akhirat perbuatan baik dan buruk.
kafir dan maksiat bukan termasuk perbuatan Allah, karena kalau dikatakan Allah yang
mencipta semuanya itu berarti Allah telah berlaku zalim lantaran menciptakan dan
demikian juga keadilan la dinamakan Adil.

Mereka berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan terkecuali sesuatu yang


baik. Allah berkewajiban memelihara kepentingan hamba-Nya. Adapun yang lebih baik
apakah wajib Allah menciptakannya, dalam hal ini mereka berbeda pendapat karena
itulah inereka dinamakan keadilan.

Mereka sependapat apabila seorang mukmin meninggal dalam keadaan berbuat


taat dan bertobat ia memperoleh ganjaran pahala karena yang dimaksud dengan hari
akhirat talah hari menerima ganjaran. Dan apabila seorang yang meninggal tidak:
bertobat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya ia akan kekal di dalam neraka.
namun siksaannya lebih ringan dari siksaan orang yang kafir. Masalah ini mereka sebut
waad dan wald.

Mereka juga sependapat yang termasuk masalah ushul (akidah) tilah ma'rifah
(pengenalan), syukur terhadap nikmat, hukumnya wajib sebelum diturunkan wahyu.
Karena kebaikan dan keburukan itu dapat dikenal dengan menjauhi yang buruk. Adanya
beban tanggung jawab (taklif) merupakan cobaan dan ujian terhadap manusia yang
diturunkan kepada para rasul. Allah berfirman yang artinya:

“... yaitu agar orang yang binasa thu binasanya dengan keterangan yang nyata
dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula)." (QS. Al-
Anfal 42)

Mereka berbeda pendapat tentang masalah Imamah (kepemimpinan), Sebagiannya


berpendapat melalui nash (sudah ditetapkan berdasarkan wahyu Allah), sebagian lagi
berpendapat melalui pemilihan. Masalah ini akan kami kemukakan dalam uraian
mengenai pendapat setiap sekte. Dan dalam uralan berikut ini akan penulis kemukakan
pendapat setiap sekte dan yang menjadi ciri khasnya.1

Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad
ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal yang lahir di Madinah tahun 700 M, kemunculan ini adalah
karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan
bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan alBashri berpendapat mukmin berdosa
besar masih berstatus mukmin.

Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid
dan Guru, dan akhirnya golongan mu‟tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga
kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian
para petinggi mereka mendalami mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di
masa khalifah AlMakmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai
oleh manhaj ahli kalam yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari
Al Qur’an dan As Sunnah.

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri, Mu’tazilah, secara
etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu

1
Asy-Syahrastani, 2009, Al-Milal wa Al-Nihal buku 1, Surabaya: pt.binailmu, hlm. 37-39
kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang
imam di kalangan tabi’in. Asy-Syihristani berkata: Suatu hari datanglah seorang laki-
laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah
muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Dan dosa
tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari
agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat
toleran terhadap pelaku dosa besar, dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap
keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan
dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak
berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah
pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip
dalam beragama.

Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum


beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha‟ berkata: “Menurutku
pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada
pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia
berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan
pendapatnya tersebut kepada muridmurid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka AlHasan Al-
Bashri berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para
pengikutnya dengan sebutan Mu‟tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-
Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku
dosa besar adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena
keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq yakni
keimanannya menjadi tidak sempurna.

Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah
bin Da‟mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr
bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya
bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan
tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan
Mu’tazilah. Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan
Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al
Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya karena berpendapat bahwa orang yang
berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir
dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain).2

B. Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah


Aliran Mu’tazilah mempunyai lima pokok ajaran yang tertuang dalam usulul
khamsahatau dasar yang lima, yaitu:

a. At-Tauhid

At-Tauhid (pengEsaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari dalam


ajaran Mu’tazilah. Orang orang Mu’tazilah dikatakan ahli tauhid karena mereka
berusaha semaksimal mungkin mempertahankan prinsip ketauhidannya. Ketauhidan
golongan Mu’tazilah adalah:

1) Tuhan tidak bersifat qadim, kalau sifat Tuhan qadim berarti Allah
berbilang bilang, sebab ada dua zat yang qadim yaitu Allah dan sifat-Nya,
sedangkan Allah Maha Esa.
2) Mereka menafikan (meniadakan) sifat sifat Allah sebab jika Allah bersifat
dansifatnyaitu bermacam macam pasti Allah itu berbilang.
3) Allah bersifat Aliman, Qadiran, Hayyan, Sami’an, Basyiran dan sebagainya
adalah dengan zat-Nya, tetapi ini bukan keluar dari zat Allah yang
berdiri sendiri. Artinya Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat
sifat, menggambarkan fisik Tuhan. (Q.S.Al An’am:103) yang artinya: Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
4) Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
5) Mereka menolak aliran Mujassimah, Musyabihah, Dualisme danTrinitas.
6) Tuhan itu bukan benda dan tidak berlaku tempatpada-Nya.

2
Rohidin, Juli-Desember 2018, “Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, (El-Afkar: Vol. 7
Nomor II), hlm. 2-3
7) Alqur’an itu baru (diciptakan), Al Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan,
Alqur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya
mendahului yanglainnya.

Bagi Mu’tazilah Tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala
sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhan tidak ada satupun yang
menyamai-Nya. Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu dadalah tuhan sendiri,
Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan itu adalah Tuhan sendiri, yaitu zat
dan esensi Tuhan bukan sifat yang menempel pada zat-Nya. Bagi kaum Mu’tazilah
bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan begitu juga dengan sebaliknya
Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Segala yang mengesankan adanya
kejisiman Tuhan tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha suci
Tuhan dari menyerupai yang diciptakan-Nya. (Q. S. Asy-Syura: 42: 11)

b. Al-Adlu (Keadilan)
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adlu yang berarti Tuhan Maha
Adil. Adil merupakan hal untuk menunjukkan kesempurnaan-Nya. Karena Tuhan
maha sempurna Dia pasti mahaadil.Manusia memiliki kebebasan dalam segala
perbuatannya. Karena kebebasan itulah manusia harus mempertanggungjawabkan
segala perbuatannya, Jika perbuatan manusia itu baik maka Allah memberi kebaikan
dan kalau perbuatannya salah Tuhan akan memberi siksaan. Inilah yang dimaksud oleh
Mu’tazilah keadilan Tuhan. Mereka berpendapat:

1) Tuhan menguasai kebaikan serta tidak menghendaki keburukan.


2) Manusia bebas berbuat dan kebebasan itu karena qudrat (kekuasaan) yang
dijadikanTuhan pada diri manusia.
3) Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmahkebijaksanaan.
4) Tuhan tidak melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan tidak
menyuruh kecuali yang diperintahkan-Nya.
5) Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia itu memiliki qudrat dan
iradat, tetapi qudrat dan iradat itu hanya merupakan pinjaman belaka.
6) Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan qudrat dan iradat.

Ajaran tentang keadilan ini berkaitan dengan:

a) Perbuatan manusia, yang menurut Mu’tazilah manusia melakukan dan


menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaa Tuhan
baik secara langsung dan tidak langsung. Manusia benar benar bebas untuk
menentukan pilihan perbuatannya baik atau buruk. Sedangkan Tuhan hanya
menyuruh atau menghendaki yang baik bukan yang buruk. Adapun yang disuruh
Tuhan pastilah baik dan apa yang dilarangnya pastilah buruk. Tuhan terlepas
dari perbuatan yang buruk. Konsep ini merupakan konsekuensi logis dari
keadilan Tuhan, artinya apapun yang diterima manusia nanti di akhirat
merupakan balasan dari perbuatan manusia di dunia. Kebaikan akan dibalas
dengan kebaikan dan kejahatan akan diganjar dengan siksaan, itulah merupakan
bentuk keadilan Tuhan karena manusia berbuat atas kehendaknya sendiri bukan
kehendak Tuhan.
b) Berbuat baik dan terbaik, maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk
berbuat baik kepada manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya terhadap
manusia karena hal itu akan menimbulkan kesan bahwa Tuhan jahat dan berlaku
aniaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan.
c) Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan
alasan:
 Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu sulit terwujud kecuali
dengan mengutus Rasul kepada manusia.
 Al-Qur’an secara tegas mengatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan
belas kasih kepada manusia. Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah
dengan mengutus Rasul. (Q.S. Asy-Syu’ara:26:29).
 Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan
tersebut berhasil adalah dengan mengutus Rasul sebagai penyampai
ajaranTuhan.
c. Al-wa’du wal wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang difahamkan kaum Mu’tazilah adalah untuk
membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas
segala perbuatannya. (Q.S. Az-Zalzalah: 99: 7-8). Ajarannya adalah:

1) Orang mukmin yang berdosa besar lalu wafat sebelum tobat ia tidak akan
mendapat ampunan Tuhan.
2) Di akhirat tidak akan ada syafaat sebab syafaat berlawanan dengan wa’ad dan
wa’id (janji dan ancaman).
3) Tuhan akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan
menjatuhkan siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan. (Q.S Al
Humazah: 104: 1-9).

Ajaran ke tiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran ke dua, janji dan
ancaman menunjukkan bahwa Tuhan maha adil dan maha bijaksana, Tuhan tidak akan
melanggar janji-Nya sendiri, yaitu dengan memberi pahala surga bagi orang orang yang
berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka.
Begitu juga dengan janji Tuhan untuk mengampuni bagi orang orang yang berbuat dosa
tetapi ia bertaubat. Hal ini sesuai dengan prinsip keadilan siapapun berbuat baik
akan dibalas dengan kebaikan dan siapapun berniat jahat akan dibalas dengan siksaan
yang sangat pedih.

d) Al-Manzilah bain al-manzilatain (tempat diantara dua tempat)


Al-Manzilah bain al-manzilatain (tempat diantara dua tempat), adalah posisi
menengah bagi orang mukmin yang telah melakukan dosa besar selain dosa musyrik
maka orang tersebut ditempatkan satu tempat diantara dua tempat yaitu antara mukmin
dan kafir, ia dikatakan bukan kafir karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Rasul-
Nya tetapi bukanlah mukmin karena imannya tidak lagi sempurna. Karena ia bukan
mukmin maka ia tidak dapat masuk surga karena ia bukan kafir maka ia tidak mesti
masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan diluar surge dan diluar neraka. Inilah
sebenarnya keadilan Tuhan. Tetapi karena diakhirat tidak ada tempat selain surga dan
neraka maka pembuat dosa besar harus dimasukkan ke dalam salah satu tempat ini.
Adapun penentuan tempat itu banyak hubungannya dengan faham Mu’tazilah tentang
iman. Iman bagi mereka digambarkan bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan
lisan tetapi juga dimanifestasikan melalui perbuatan perbuatan. Dengan demikian
pembuat dosa besar tidak beriman dan oleh karena itu tidak dapat masuk surga. Tempat
satu satunya ialah neraka. Tetapi tidak adil kalau ia dalam neraka mendapat siksaan
yang sama berat dengan kafir, oleh karena itu pembuat dosa besar betul masuk
neraka tetapi mendapat siksaan yang lebih ringan.

Inilah menurut Mu’tazilah yang dimaksud dengan posisi menengah antara


mukmin dan kafir. Menurut Mu’tazilah orang mukmin yang berbuat dosa besar
digolongkan kepada orang fasik dan orang ini tidak akan keluar dari neraka yang agak
dingin dan tidak akan masuk ke surga yang penuh kenikmatan. Ajaran inilah yang mula
mula menyebabkan penamaan aliran ini dengan nama Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal
dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang
tercatat dalam sejarah bahwa kaum Khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan
musyrik. Sedangkan Murji’ah menganggap bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya
dan tempatnya diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Bisa saja dosa tersebut diampuni
atau tidak terserah kepada Tuhan. Adapun pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin
yang melakukan dosa besar dan belum tobat maka ia bukan lagi mukmin atau kafir
tetapi fasik. Pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan mukmin secara mutlak karena itu
keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan tidak cukup dengan pengakuan
dan pembenaran saja, maka berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan.
Oleh sebab itu pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih
percaya kepada Tuhan, Rasul-Nya dan dapat mengerjakan pekerjaan yang baik di lain
waktu.

e) Amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh kebaikan dan melarang keburukan)


Ajaran dasar yang ke lima adalah menyuruh kabajikan dan melarang
kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar), ajaran ini menekankan manusia untuk
berpihak kepada kebenaran dkebaikan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
keimanan seseorang, pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik
dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegah dari kejahatan.

Dasar yang kelima ini berkenaan dengan amalan lahir, sebab menurut mereka
“Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan serta
diluruskan.” Kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap muslim untuk
menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat. Mereka
berpegang kepada ayat Tuhan dalam surat al Imran: 104. yang artinya: “Dan hendaklah
ada di antara kamu segolongan ummat”. yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yangmunkar merekalah orang orang yang
beruntung.Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap ummat Islam untuk penyiaran
agama dan memberi petunjuk kepada orang orang yang sesat. Aliran Mu’tazilah
berpusat di dua tempat yaitu di Basrah dan di Baghdad. Dalam perkembangan
selanjutnya aliran Mu’tazilah berpecah belah menjadi lebih dari dua puluh aliran
diantaranya:

1) Aliran Huzail, Pengikut Abu Huzailal-Allaf.


2) Aliran Nazzam, Pengikut Ibrahiman-Nazzam.
3) Aliran Jahiz, PengikutAl-Jahiz.
4) Aliran Jubba’i, PengikutAl-Jubba’i.

Namun semua aliran ini masih berprinsip kepada lima ajaran tersebut. Hingga
sekarang aliran Mu’tazilah secara fisik telah tenggelam. Namun namanya masih
dikenang dan pemikiran pemikirannya masih menjelma pada pemikiran pemikiran
manusia yang mengedepankan akal/rasio.3

C. Tokoh Aliran Mu’tazilah


Abad Nama Tokoh Aliran Mu’tazilah
Abad ke-1 H 1. Al-Ja‘d bin Dirham
2. Ghailan ad-Dimasyqi

3
Elpianti Sahara Pakpahan, Januari-Juni 2017, “Pemikiran Mu’tazilah”, (Al-Hadi: Jurnal Kajian
Islam Multiperspektif Volume 2 Nomer 2), hlm. 416-421.
3. Ma'bad al-Juhani
Abad ke-2 H 4. Wasil bin Atha'
5. 'Amru bin 'Ubaid
6. Dhirar bin 'Amru
7. Bisyr bin al-Mu'tamir
8. Jahm bin Shafwan
9. Abu Bakr al-Asham
10. Shafwan bin Shafwan
11. Hafs al-Fard
Abad ke-3 H 12. Abu al-Hudzail al-'Allaf
13. Ibrahim bin Sayyar an-Nizham
14. Al-Jahiz
15. Abu Musa al-Murdar
16. Ja'far bin Harb
17. Ja'far bin Mubasyir
18. Tsamamah bin al-Asyras
19. Ahmad bin Abi Daud
20. Basyar bin al-Marisi
21. Abu Ali al-Jubba'i
22. Hisyam al-Futhi
23. Mu'ammar bin 'Abbad as-Silmi
24. Al-Iskafi
Abad ke-4 H 25. 25. Abu Hasyim al-Jubba'i
26. Ibnu al-'Amid
27. Ash-Shahib bin 'Abbad
28. Syarif Radhi
29. Abu Ali al-Farisi
30. Ibnu Jinni
31. Abu al-Qasim al-Ka'bi
32. Al-Khayyath al-Mu'tazili
33. Muhammad bin Bahr alAsfahani
Abad ke-5 H 34. Abu Hayyan at-Tauhidi
35. Abu Yusuf al-Qazwini
36. Abdul Jabbar al-Mu'tazili
37. Syarif al-Murtadha
Abad ke-6 H 38. Az-Zamakhsyari
Abad ke-7 H 39. Ibnu Abi al-Hadid
Abad ke-9 H 40. Ibnu al-Murtadha
Abad ke-15 H 41. Amin Naif Dziyab

Diantara biografi tokoh-tokoh mu‘tazilah yang terkenal adalah:

1. Wasil bin Atha‘

Wasil bin Atha' (700-748) adalah teolog dan filsuf muslim terkemuka pada
zaman dinasti Bani Umayyah. Pada mulanya ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah bin
Muhammad al-Hanafiyah. Selanjutnya, ia banyak menimba ilmu pengetahuan di
Mekkah dan mengenal ajaran Syi‘ah di Madinah. Ia kemudian melanjutkan perjalanan
ke Bashrah dan berguru pada Hasan al-Bashri. Pengikut madzhab ini berpendapat
bahwa sumber pengetahuan yang paling utama adalah akal. Sedangkan wahyu berfungsi
mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan antara
ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang diutamakan adalah ketetapan akal.
Adapaun ketentuan wahyu kemudian dita'wilkan sedemikian rupa supaya sesuai dengan
ketetapan akal, atas dasar inilah orang berpendapat bahwa timbulnya aliran Mu'tazilah
merupakan lahirnya aliran rasionalisme di dalam Islam. Dialah orang pertama yang
meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah yang saat ini dikenal dengan 5 ajaran
pokok yang sudah kami jelaskan di atas.

2. Abu Huzail al-Allaf

Nama lengkapnya adalah Abu Huzail Muhammad ibn al-Huzail ibn Ubaidillah
ibn Makhul al-Allaf abd alQais. Ia dinamakan Al-Allaf karena tempat kelahiranya
adalah Basrah (al-Allaf). Al-Allaf dilahirkan pada tahun 135 H, dan meninggal pada
masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil pada tahun 235 H.

3. Ishaq Ibrahim Sayyar al-Nazhzham

Nama lengkapnya adalah Ibrahim ibn Sayyar ibn Haniy dan lebih dikenal
dengan nama al-Nazhzham. Ia dilahirkan pada tahun 185 H di Basrah dan wafat pada
tahun 231 H. Ia adalah salah satu tokoh Mu‘tazilah yang paling muda usianya dalam
mengarungi dunia kemu‘tazilahan.

4. Abu Ali al-Jubba‘i

Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad ibn Abdul Wahab ibn Salam ibn
Khalid ibn Imran ibn Abban Maula Usman ibn Affan ra. Ia dilahirkan di daerah Jubbah
pada tahun 230 H dan wafat pada tahun 303 H. pada bulan Sya‘ban.

5. Al- Jahiz

Al-Jahiz, dalam tulisan-tulisannya dijumpai paham naturalism atau kepercayaan


akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain
menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh
manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.

6. Mu‘ammar bin Abbad

Mu‘ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya


tentang kepercayaan pada hukum alam sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan
bahwa Tuhan hanya menciptakan bendabenda materi. Adapun al-‘arad atau accidents
(sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya,
jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh
lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.

7. Bisyr al-Mu‘tamir

Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia.


Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat
kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu
mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah
bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.

8. Abu Musa al-Mudrar

Abu Musa al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat


ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain. Menurut Syahristani,
ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga
menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.

9. Hisyam bin Amr al-Fuwati

Hisyam bin Amr al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan
neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah
tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya
orang memasuki surga dan neraka.4

4
Jamaluddin, dkk, Januari 2020, Ilmu Kalam (Khazanah Intelektual Pemikiran dalam Islam)
cetakan ke 1, Tembilahan: PT. Indragiri Dot Com, hlm. 107-112.

Anda mungkin juga menyukai