Indonesia berhasil swasembada beras dengan angka produksi sebanyak 25,8 ton
pada tahun 1984. Keberhasilan ini mendapatkan penghargaan dari Direktur Jenderal
FAO Dr. Eduard Saoma serta mengundang secara khusus Presiden Soeharto ke
Konferensi ke-23 FAO di Kota Roma tahun 1985.
Namun, pada tahun1995 Indonesia terpaksa kembali mengimpor beras hingga 3 juta
ton
Pada tahun 2021 Duta Besar RI untuk PBB Darmansjah Djumala mewakili
Organisasi Riset Tenaga Nuklir (BRIN) menerima pernghargaan IAE dan FAO yang
disampaikan Dirjen IAEA Rafael Mariano Grossi pada persidangan IAEA General
Conference ke-65 di Wina, Austria. Dikutip dari menpan.go.id penghargaan ini
diberikan atas capaian riset dan pemanfaatan teknologi nuklir di Indonesia melalui
Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) di bidang pemuliaan tanaman pangan.
Proyek ini telah menghasilkan 32 varietas padi, 12 varietas kedelai, 3 varietas
sorgum, 1 varietas gandum, 1 varietas kacang tanah, dan 1 varietas pisang.
Melihat arah kebijakan dalam bidang pertanian ini, memperlihatkan tidak terarah
pesan presiden dan kebijakan Kementan RI. Ada dua alur pemikiran berbeda
dimana Presiden menginkan pembangunan model Food Estate (Lumbung Pangan),
sedangkan Kementan membuat buat kebijakan pembangunan dibidang hortikultura.
Timbulah isu pada bulan Agustus 2021, dimana Indonesia terancam krisis pangan.
Dikutip dari cnbcindonesia.com Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam
Arifin Rudiyanto mengatakan bahwa “disini yang penting kami kembangkan adalah
petani tergabung di korporasi supaya lebih produktif dari sisi lahan, tenaga kerja,
dan hilirisasinya. Jadi kita bekerja bersama menghadapi ancaman krisis pangan
setelah pandemi ini”. Bagaimana dengan kebijakan kampung hortikultura dan UMKM
Hortikultura?
Tidak terpenuhnya persyaratan ini maka petani hanya mengandalkan faktor produksi
seadanya. Akibatnya penurunan hasil oleh petani dirasakan sangat berdapak pada
ekonomi rumah tangga. Untuk mengatasi masalah ini maka budidaya pertanian
skala kecil padat tenaga kerja jauh lebih tinggi poduksinya daripada produksi unit
pertanian dengan teknologi tinggi menurut penelitian. Solusi krisis pangan ini,
sebaiknya pemerintah mendorong peningkatkan produksi pertanian dan memberikan
bantuan langsung tunai kepada petani, jauh lebih meguntungkan dibanding
mengudang dan membuat korporasi pangan. Akibatnya saat ini petani susah
mendapatkan faktor produksi karena terjepit kebijakan yang gagap dan yang di
rasakan seperti hidup pada tahun 1998.
Selain itu, kiris kepercayaan pada pemerintah serta membengkaknya pinjaman luar
negeri oleh perusahaan swasta yang menembuas 138 Miliar Dolar yang jatuh tempo
pembayaraanya pada tahun 1998 menjadi faktor penyebab selanjutnya. IMF saat itu
alih-alih menjadi menawarkan bantuan pemulihan Ekonomi Indonesia pada sektor
perbankan namun karena informasi yang kurang lengkap malah membuat Indonesia
semakin terpuruk. Kondisi ini menyebabkan nasabah menarik kembali uangnya dan
dialihkan ke luar negeri dalam bentuk tunai karena kebijakan likuidasi 16 bank.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) era 1998
Boediono menyebut bank sentral saat itu mulai dilema.
Pustaka
Baca artikel CNN Indonesia "Indonesia jadi Pasien Malpraktik IMF" selengkapnya di
sini: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180502043045-532-
294986/indonesia-jadi-pasien-malpraktik-imf.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tahun Depan, Kementan Bakal
Bangun Kampung Hortikultura ", Klik untuk
baca: https://money.kompas.com/read/2021/09/08/132809926/tahun-depan-
kementan-bakal-bangun-kampung-hortikultura
1985, barangkali menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia kala itu.
Direktur Jenderal FAO Dr. Eduard Saoma mengundang khusus Presiden Soeharto
untuk menyampaikan pidato di forum tersebut.