Pergerakan Na Sional Pemud A Islam (Studi Te Ntang J Ong Islamie Te N Bo ND 192 5-19 42)
Pergerakan Na Sional Pemud A Islam (Studi Te Ntang J Ong Islamie Te N Bo ND 192 5-19 42)
SKRIPSI
Ole h:
Agustina Dwi Pramuji Astuti
K 4406002
Ole h:
Agustina Dwi Pramuji Astuti
K 4406002
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat me ndapatkan ge lar Sarjana
Program Studi Pendidik an Sejarah Jurusan Pe ndidikan
Ilmu Pengetahuan Sos ial
ii
iii
iv
ABSTRAK
v
ABSTRACT
vi
MOTTO
Pelajaran d alam hid up itu ad alah hik mah, belajar dari sejarah.
"Sesuatu yang hilan g dari kaum muslim in adalah hikm ah,
ambillah d i mana pun ia berada"
(Sabda Rasulullah)
Kalau pemimpin -pem impin kita jatuh, kita tidak bo leh berdiam diri
berpan gku tangan . Kita harus meneruskan pekerjaan mereka.
Hanya satu o bat saja y ang dapat menyenangkan hati pem impin-pemimpin
yang menjadi korban pergerakan, yaitu melihat kawan-kawannya terus b ergerak
(Aktivis Pergerakan Nasional)
Setiap apa yang kita lakukan (baik/ buruk) pasti ada balasan nya..
Allah yang paling berhak m emberi balasannya. Dan terkadan g balasann ya
lebih d ari apa yang kita lakukan sekarang. Serahkan semuanya kepada Allah
karena D ia -lah yang Maha Adil d an Maha Bijaksana.
Balasan -N ya itu pasti d atan g; cepat/ lambat, di dunia/akherat.
Dan kesabaran, keikhlasan, ketawakkalan serta keistiqomahanlah y ang menjadi
kun ci terbaik un tuk menghad api suatu ujia n hidup dari-Nya
(Teen’S)
vii
PERSEMBAHAN
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat
diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana
pendidikan.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk
bantuannya, disampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
ijin penyusunan skripsi.
2. Drs. Saiful Bachri, M. P d., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu P engetahuan
Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah menyetujui permohonan ijin penyusunan skripsi.
3. Drs. Djono, M.P d., Ketua P rogram P endidikan Sejarah Jurusan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin demi kelancaran
penyusunan skripsi.
4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah
memberikan motivasi, bimbingan dan saran yang membangun kepada penulis.
5. Drs. Djono, M.P d., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan
motivasi, bimbingan dan saran yang membangun kepada penulis.
6. Bapak dan Ibu Dosen P rogram P endidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis
selama ini.
7. Teman-teman di P rodi Sejarah Angkatan 2006, keluarga besar; P erpus
09
Sejarah, P PL Diponegoro’ , P erbuner’S serta semua sahabat-sahabatku di
Solo, terima kasih atas semua bantuan, doa dan dukungannya.
ix
8. Keluarga besar di Ngawi dan teman-teman; Mayapada khususnya angkatan V,
Armadha, Leorsa, Winny, Mbak Lina serta semua sahabat-sahabatku di
Ngawi, terima kasih atas semua doa dan dukungannya selama ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas amal baik semua pihak yang telah
membantu di dalam penyelesaian skrispsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan, tetapi diharapkan penulisan
skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan mahasiswa
Program Pendidikan Sejarah, khususnya.
x
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL .................…………………………………………………........... i
PENGAJUAN SKRIPSI ..…………………………………………........... ii
PERSETUJUAN .....................………………………………………….... iii
PENGESAHAN ….....................………………………………………..... iv
ABSTRAK …….....................……………………………………………. v
MOTTO .....................…………………………………………………….. vii
PERSEMBAHA N ....................…………………………………………... viii
KATA PENGANTAR ………………………………………………….... ix
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. xi
DAFTAR LAMPIRA N ………………………………………………….. xiii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………... 1
B. Perumusan Masalah ………………………………….. 16
C. Tujuan Penelitian …………………………………….. 16
D. Manfaat Penelitian …………………………………… 17
BAB II KAJIAN TEORI …………………………………………. 18
A. Tinjauan P ustaka ……………………………………... 18
1. Kolonialisme ……………………………………... 18
2. Politik Islam Hindia-Belanda …………………….. 21
3. Elite Modern ............................................................ 25
4. Pergerakan Nasional ................................................ 30
B. Kerangka Berpikir ……………………………………. 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………………………….. 40
A. Tempat dan Waktu P enelitian ………………………... 40
B. Metode Penelitian …………………………………….. 40
C. Sumber Data ………………………………………….. 42
D. Teknik Pengumpulan Data …………………………… 43
E. Teknik Analisis Data …………………………………. 45
xi
F. Prosedur P enelitian …………………………………… 46
BAB IV HASIL P ENELITIAN ……………………………………. 52
A. Latar Belakang Berdirinya Jong Islamieten Bond ……. 52
1. Politik Islam Hindia Belanda .................................... 52
2. Munculnya Kaum Intelektual Islam .......................... 65
3. Peranan Raden Sjamsoeridjal Dalam Kelahiran
Jong Islamieten Bond ............................................... 76
B. Pekembangan Jong Islamieten Bond .............................. 81
1. Masa Awal Pergerakan Jong Islamieten Bond ......... 81
2. Masa P erkembangan Pergerakan Jong Islamieten
Bond .......................................................................... 95
3. Masa Akhir Pergerakan Jong Islamieten Bond ........ 99
C. Peranan Jong Islamieten Bond sebagai Bagian dari
Organisasi Pemuda Islam Di Kancah Pergerakan
Nasional Indonesia Tahun 1925-1942 .……………….. 104
1. Menggagas Nasionalisme Indonesia ........................ 104
2. Nationale Indones ische Padvinderij (NATIP IJ) ...... 107
3. Meningkatkan Derajat P endidikan ........................... 110
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN ………………….. 112
A. Kesimpulan …………………………………………… 112
B. Implikasi ………………………………………………. 114
C. Saran ………………………………………………….. 117
DAFTAR P USTAKA …………………………………………………….. 119
LAMPIRAN ………………………………………………………………. 125
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Pelaksanaan sistem ini hanya menguntungkan pihak kolonial Belanda dan rakyat
Indonesia hanya mendapatkan kesengsaraannya (Tim Museum Sumpah Pemuda.
2006: 6-8).
Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan cultuur stelsel
tidak terlalu memberatkan rakyat bahkan Van den Bosch sendiri mengatakan
apabila seseorang mau menggantikan kewajiban pembayaran pajaknya dengan
bekerja selama 66 hari dalam setahun, maka kewajiban membayar pajak dianggap
lunas. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem tersebut mengandung banyak
penyimpangan yang sangat memberatkan rakyat. Di antara penyimpangan-
penyimpangan itu misalnya luas tanah yang telah ditentukan dalam peraturan
yaitu seperlima dapat dilebihkan hingga sepertiga, seperdua, bahkan tidak jarang
seluruh desa tanahnya digunakan untuk menanam tanaman ekspor. Kegagalan
panen juga sering dibebankan kepada rakyat. Kelebihan hasil panen yang
seharusnya dibayarkan kembali kepada rakyat, ternyata bohong belaka. P ekerjaan
di pabrik-pabrik gula ternyata jauh lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan di
sawah. Banyak penduduk desa yang dikerahkan untuk kerja paksa di pabrik-
pabrik, jalan-jalan raya, pembangunan jembatan, tanpa bayaran sedikit pun.
Akibat langsung dari pelaksanaan cultuur stelsel ini antara lain kemiskinan dan
kelaparan yang melanda beberapa daerah di pulau Jawa, seperti Cirebon, Demak,
dan Grobogan. Di daerah-daerah ini ribuan orang mati karena kelaparan (Nico
Thamiend R dan M. P . B. Manus. 2004: 31).
Pada masa pemerintahan Letnan Gubernur Jendral Raffles, Indonesia
mengalami sistem politik liberal untuk pertama kalinya. Raffles memperkenalkan
sistem pemerintahan liberal yang mengusahakan adanya kepastian hukum dan
kebebasan di bidang ekonomi serta berusaha menghilangkan rodi dan mengganti
penyerahan wajib hasil bumi dengan sistem sewa tanah (lan d-rent). Di samping
itu Raffles juga berusaha untuk mengganti sistem pemerintahan tidak langsung
dengan sistem pemerintahan langsung agar pemerintah Eropa dapat langsung
memerintah rakyat pribumi (Suhartoyo Hardjosatoto. 1980: 87-88).
Kaum liberal menentang dengan keras eksploitasi yang dijalankan oleh
pemerintah Belanda dan ingin menggantinya dengan inisiatif swasta. Untuk itu
3
pihak Belanda. Selain itu penduduk pribumi juga dipekerjakan sebagai buruh di
perusahaan-perusahaan swasta asing. Segi positif dari adanya pilitik etis bagi
rakyat Indonesia adalah dapat mendorong perubahan dan pertumbuhan sosial di
kalangan penduduk pribumi. Hal tersebut terjadi karena banyak penduduk pribumi
yang kemudian mengenyam pendidikan Barat yang pada akhirnya dapat
mengubah pola pemikiran yang masih tradisional menuju pola pemikiran yang
lebih modern agar dapat memasuki dunia birokrasi baru dalam tatanan masyarakat
Hindia-Belanda (Robert Van Niel. 1994: 22). P ada sekitar tahun 1900-1925,
pemerintah kolonial Belanda banyak membangun kantor-kantor dinas, seperti
dinas pertanian, perikanan, kerajinan, kesehatan dan peternakan. Selain itu,
dibangun pula bank, pasar, dan sejenisnya. Sehingga banyak lulusan bumi putera
yang di tempatkan Belanda pada instansi-instansi tersebut sebagai pegawai
rendahan.
Politik Etis secara resmi diproklamirkan sebagai politik kolonial baru,
dalam pidato kenegaraan Ratu Willhemnina pada bulan September 1901.
Dikatakannya bahwa politik etis perlu diterapkan di Hindia-Belanda, karena
Nederland mempunyai kewajiban moral yang harus dipenuhi. Dalam usaha
memenuhi tuntutan politik etis, pemerintah mulai membangun sejumlah sekolah
disertai dengan pengadaan tenaga-tenaga guru. Sistem yang diterapkan
disesuaikan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara Barat.
Hal ini dimaksudkan memberi kesempatan bagi siswa-siswa yang mampu untuk
dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, bahkan dapat
melanjutkan ke negeri Belanda. Tingkat pendidikan saat itu terbagi atas dua
kategori, yaitu Lag er Onderwijs (pendidikan rendah) dan Midd elba r On derwijs
(pendidikan menengah) (Nico Thamiend R dan M. P. B. Manus. 2004: 98-99).
Sistem pendidikan diarahkan untuk menciptakan tenaga kerja yang siap
pakai, sebagai tenaga kerja rendahan dalam sistem pemerintahan Belanda. Fungsi
pendidikan tidak lebih dari suatu pabrik pegawai dengan kurikulum yang tidak
sesuai dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga tidak dapat dielakkan
lagi jika ada jurang antara sekolah dengan masyarakat. Tujuan pokok masuk
sekolah hanya terbatas mendapatkan ijasah yang bisa membukakan jalan menuju
6
dan pengukuhan agama Islam. Rasa puas yang semakin besar dapat dicapai, jika
pemerintah dapat memutuskan untuk meniadakan sama sekali peraturan-peraturan
yang oleh kaum Muslim dirasakan sebagai penghambat mengenai kebebasan
pelaksanaan beribadah (G. F. Pijper. 1987: 252-253).
Di kalangan umat Islam Indonesia timbul pula kesadaran untuk
berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan umat Islam mulai terpupuk hingga
melahirkan suatu pergerakan yang sangat penting artinya bagi nasionalisme
Indonesia. Di jaman VOC ulama sangat keras melawan Belanda dan pemerintah
Belanda juga bertindak keras karena pengaruh Islam pada waktu itu dirasa sangat
mengkhawatirkan pemerintah jajahan. Tetapi sebaliknya bagi bangsa Indonesia,
pengaruh agama Islam yang besar itu telah menciptakan nasonalisme di kalangan
rakyat Indonesia (C. S. T. Kansil dan Julianto. 1983: 24-25).
Suatu faktor penting yang menimbulkan nasionalisme yang kental
adalah persamaan agama, yakni 90 % penduduk Indonesia beragama Islam.
Apabila gerakan nasionalisme yang berawal di Jawa itu meluas ke daerah-daerah
di luar Jawa, maka akan memudarkan semangat-semangat kedaerahan yang
sempit yang dimiliki oleh penduduk di tiap-tiap daerah itu karena kemudian
muncul suatu perpaduan yang ditimbulkan oleh semangat agama yang sama yaitu
Islam. Dalam hal ini agama Islam tidak hanya sebagai rantai pengikat dari
semangat patriotisme kedaerahan ke dalam nasionalisme Indonesia, tetapi
sesungguhnya juga menjadi semacam lambang persaudaraan terhadap suatu
pengacau asing dan penindas sebuah agama asing. Menurut Wertheim yang
dikutip oleh Cahyo Budi Utomo (1995: 46),
Hal itu sangat aneh karena perkembangan agama Islam di Indonesia
justru disebabkan oleh bangsa-bangsa Barat. Kedatangan bangsa
Portugis di kawasan Indonesia telah mendorong semakin banyaknya
para penguasa pribumi memeluk agama Islam sebagai satu gerakan
politik untuk melawan masuknya agama Nasrani. Kehadiran kekuasaan
Belanda di Indonesia semakin mempercepat proses islamisasi itu.
tiga masalah ini dikenal dengan nama Politik Islam Hindia-Belanda (Darmansyah,
dkk. 2006: 2).
Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda dari
jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan pelajaran agama
Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. Akibat dari adanya sistem
pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak mempunyai kesempatan belajar
sendiri di luar sekolah menjadi kurang pemahamannya terhadap agama Islam.
Padahal agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat
Hindia-Belanda pada masa itu, suatu masyarakat yang kelak akan menjadikan
kaum intelektualnya sebegai pemimpin. Dalam organiasi ini, semua suku
diperlakukan sama (Darmansyah, dkk. 2006: 31). Keanggotaan JIB terbuka untuk
pemuda Islam yang berumur 14-30 tahun dan yang berumur lebih dari 18 tahun
boleh berpolitik. JIB pada tanggal 29 Desember 1925 mengadakan kongres I dan
menetapkan anggaran dasarnya (Drs. Sutarto. 2005: 53).
Generasi intelektual Muslim Indonesia pada umumnya pernah
mengenyam pendidikan Barat dan sekaligus mendalami Islam secara khusus
seperti halnya para pendiri JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 3). Kelahirannya juga
merupakan reaksi sekelompok pelajar terhadap kalangan pelajar Muslim lainnya
yang bersikap acuh tak acuh terhadap agama Islam. Atas dasar keinginan untuk
mengembalikan Islam sebagai ajarannya, sebagian pelajar Muslim yang tidak
ingin terhanyut dalam pola kehidupan Barat akhirnya mendirikan JIB
(http://ah madfathulbari.multiply.com diakses tanggal 7 Agustus 2009).
JIB didirikan oleh Sjam bekas ketua Jong Java yang keluar pada tahun
1924. Sjam menjadi ketua JIB dan H. Agus Salim diangkat sebagai penasehat.
Pendirian JIB ternyata mendapat dukungan yang sangat luas dari masyarakat
pemuda Islam dan sangat penting artinya dalam pergerakan pemuda Indonesia
pada waktu itu (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 35). Sebagai sebuah
organisasi pemuda pelajar Islam, JIB berusaha menghimpun seluruh pemuda
pelajar Islam dalam organisasinya. Dalam usahanya tersebut JIB mengalami
proses dari organisasi pelajar yang kecil menjadi organisasi pelajar yang besar
(Darmansyah, dkk. 2006: 67). Organisasi ini semakin berkembang pesat sehingga
15
diakhir tahun 1925 JIB memiliki sekitar 1000 orang anggota ditujuh cabang, yaitu
di Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Bandung, Magelang dan Surabaya.
Sejalan dengan perkembangannya tersebut JIB juga telah ikut
berperanserta dalam Kongres P emuda P ertama yang diselenggarakan tanggal 30
April-2 Mei 1926. Selain itu, JIB juga turut mengikuti kongres lanjutannya
(Kongres P emuda Kedua) yang menghasilkan Sumpah Pemuda sebagai wujud
munculnya nasionalisme di kalangan para pemuda Indonesia. JIB juga berperan
dalam meningkatkan derajat pendidikan, menggagas nasionalisme Indonesia dan
sebagainya yang sangat berpengaruh positif terhadap pergerakan nasional pemuda
Indonesia dalam menghadapi kolonialisme bangsa Belanda (Darmansyah, dkk.
2006: 38).
Di Indonesia memang peran pemuda Islam selalu menonjol, misalnya
JIB dalam pergerakan nasional mempunyai cabang-cabang yang tersebar di
seluruh Indonesia (http://tarbiyahislam.wordpress.com diakses tanggal 4 Agustus
2009). JIB didirikan dengan keyakinan bahwa hanya Islam yang mampu menjadi
dasar untuk bersatu dalam mengusir Belanda. Selama masa penjajahan Belanda,
umat Islam terus melakukan perlawanan baik dalam skala besar seperti Sultan
Ageng Tirtayasa, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol dan lainnya
maupun skala kecil-kecilan seperti Perlawanan P etani Banten 1988, perlawanan di
Cimareme dan lainnya (Darmansyah, dkk. 2006: x).
Dalam konteks kaderisasi, JIB dapat dilihat sebagai tempat persemaian
para pemimpin Islam berpendidikan modern Belanda. Dapat disebutkan beberapa
nama tokoh nasional yang menjadi alumni JIB yaitu Agus Salim, Sjamsoeridjal,
Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Mohammad Natsir. Mereka kemudian
memegang peranan penting setelah Indonesia merdeka (Darmansyah, dkk. 2006:
x-xi). Namun di balik kemajuan dari JIB tersebut, menjelang masa surutnya
ternyata banyak menyimpan benih-benih konflik. Hal tersebut terjadi karena
munculnya pemikiran baru dari sebagian kalangan di JIB bahwa agama tidak
dapat dijadikan sebagai sandaran untuk mencapai cita-cita (politik kemerdekaan)
dan adanya persaingan memperebutkan kedudukan dalam organisasi
(Darmansyah, dkk. 2006: 72). Dengan demikian sampai tahun 1930 pergerakan
16
B . Pe rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan
beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond?
2. Bagaimanakah perkembangan Jong Islamieten Bond?
3. Bagaimanakah peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi
pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942?
C. Tujuan Pe ne litian
Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai dari
penulisa n ini adalah:
1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond.
2. Untuk mengetahui perkembangan Jong Islamieten Bond.
3. Untuk mengetahui peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari
organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-
1942.
17
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat:
a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan
ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah.
b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya mengenai
sejarah pergerakan nasional Indonesia, khususnya mengenai Jong Islamieten
Bond sebagai bagian dari pergerakan nasional pemuda Islam tahun 1925-
1942.
c. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan literatur
dalam bidang sejarah pertumbuhan dan perkembangan organisasi Islam,
terutama Jong Islamieten Bond yang berkembang pada masa pergerakan
nasional Indones ia tahun 1925-1942.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat:
a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan
Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Dapat memberikan dorongan dan acuan bagi penelitian selanjutnya mengenai
pergerakan nasional Indonesia, khususnya tentang pergerakan Jong Islamieten
Bond.
c. Menambah bahan bacaan di Perpustakaan P rogram Studi Pendidikan Sejarah
maupun di Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Kolonialisme
Menjelang akhir abad XIX masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
kolonial yang serba terbelakang. Tanah jajahan merupakan obyek eksploitasi
untuk diambil keuntungan sebesar-besarnya bagi penjajah. Berbagai cara telah
ditempuh untuk megusir kaum penjajah sejak awal, tetapi tidak juga membawa
hasil yang menggembirakan. Salah satu sebabnya karena bangsa Indonesia belum
memiliki rasa persatuan dan kesatuan.
Kolonialisme secara etimologis berasal dari kata koloni yang artinya
daerah jajahan, berarti daerah menempatkan penduduk atau kelompok orang yang
bermukim di daerah baru yang merupakan daerah asing dan sering jauh dari tanah
air, yang tetap mempertahankan ikatan dengan tanah air atau daerah asal (W. J. S.
Poerwadharminto. 1976: 516).
Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 77) mengemukakan bahwa kolonialisme
merupakan nafsu untuk menguasai sistem penguasaan wilayah bangsa atau negara
lain. Hal tersebut dapat diartikan sebagai nafsu untuk menguasai daerah atau
bangsa lain beserta perangkat sistem yang digunakan untuk mengatur wilayah
yang dikuasai. Sedangkan C. S. T. Kansil dan Julianto (1983: 7) mengemukakan
bahwa kolonialisme merupakan rangkaian nafsu suatu bangsa untuk
menakhlukkan bangsa lain di bidang politik, sosial ekonomi, dan kebudayaan
dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan.
Kolonialisme berasal dari kata koloni yang artinya ialah menanam sebagian
masyarakat di luar batas atau lingkungan daerahnya. Namun usaha lainnya yaitu
para kolonis yang memiliki beberapa koloni di daerah lain berusaha menyatukan
koloninya menjadi satu sistem penguasaan, maka usaha ke arah itu disebut
sebagai imperialisme.
18
19
desa bertambah kekuasaannya. Namun di mata rakyat telah berubah menjadi agen
penguasa kolonial (Sartono Kartodirdjo, Mawarti Djoened Poesponegoro,
Nugroho Notosusanto. 1975: 310).
Pemerintah Belanda memerlukan inlandsch politiek sebagai kolonialis,
yakni kebijaksanaan mengenai pribumi, untuk memahami dan menguasai pribumi.
Karena mayoritas penduduk Hindia-Belanda adalah beragama Islam maka bangsa
kolonial mulai menerapkan politik Islamnya, Snouck Hurgronje sebagai arsitek
politik Islam telah berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk
yang sebagian besar Muslim itu (Aqib Suminto. 1985: 11). Pemahaman Snouck
tentang hakekat Islam Indonesia sangat besar nilainya untuk mengarahkan politik
Belanda terhadap Islam menuju suatu arah yang berhasil. Prestasi utamanya
adalah peranan yang dimainkan dalam reorientasi politik, yang bersama dengan
taktik-taktik militer yang telah disempurnakan berhasil mengakhiri Perang Aceh
(H. J. Benda. 1980: 40).
Di Indonesia, Belanda dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian
penduduk yang dijajahnya adalah beragama Islam. Timbulnya aneka perlawanan
seperti perang P aderi (1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh
(1873-1903) dan lainnya, perlawanan tersebut tidak terlepas dari kekuatan umat
Islam dalam menghadapi kekuasaan bangsa kolonial. Karena kurangnya
pengetahuan yang tepat mengenai Islam, pada mulanya Belanda tidak berani
mencampuri agama Islam secara langsung. Sikap Belanda ini dibentuk oleh
kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Di satu
pihak Belanda sangat khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam
fanatik sedangkan di pihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan
kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan. Dalam hal ini Islam
sangat ditakuti, karena dianggap mirip dengan Katholik. Namun kebijakan untuk
mencampuri agama Islam nampak tidak konsisten, karena tidak adanya garis yang
jelas. Dalam masalah hají misalnya ternyata pemerintah kolonial tidak bisa
menahan diri untuk tidak ikut campur tangan, justru para haji sering dicurigai dan
dianggap fanatik, tukang memberontak (Aqib Suminto. 1985: 9-10).
23
kenyataan pandangannya adalah cermin dari suatu era baru di dalam kebijakan
kolonial Belanda, yang disebut Politik Etis, yang secara resmi bermula pada tahun
1901 (H. J. Benda. 1980: 47-49).
Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dari jenjang terendah
sampai jenjang tertinggi tidak memberikan pelajaran agama Islam kepada pelajar-
pelajar yang beragama Islam. Pelaksanaan pendidikan tersebut mengupayakan
sekularisasi di dunia pendidikan dengan menyingkirkan pelajaran keagamaan dari
dunia sekolah. Akibat sistem pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak
mempunyai kesempatan belajar sendiri di luar sekolah menjadi kurang
pemahamannya dari agama Islam. Bahkan seorang Agus Salim pernah berkata
bahwa dirinya hampir kehilangan iman selepas dari Hoogere Burgere schoo l
(HBS/Sekolah Tinggi Warga Masyarakat) (Darmansyah, dkk. 2006: 2).
Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian yaitu ibadah,
sosial-kemasyarakatan dan politik. Masing-masing bidang menuntut alternatif
pemecahan yang berbeda-beda. Konsep pembagian itulah yang kemudian dikenal
sebagai kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam menangani masalah Islam.
Pemerintah memberikan kebebasan dalam masalah ibadah dan sosial
kemasyarakatan, tetapi tidak dalam hal politik. Pemerintah mencegah setiap usaha
yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan Pan Islam. Kebijakan Pemerintah
Hindia-Belanda dalam menghadapi tiga masalah inilah yang kemudian dikenal
dengan nama Politik Islam Hindia-Belan da (Darmansyah, dkk. 2006: 2).
Keadaan pada masa itu memang memungkinkan Snouck Hurgronje
untuk melaksanakan gagasan politik Islamnya, karena pada tahun 1899 Snouck
ditugaskan sebagai penasehat urusan pribumi dan Arab. P engalamannya dalam
penelitian lapangan di negeri Arab (1885), Jawa (1889-1890) dan Aceh (sejak
tahun 1891) serta pengalamannya selama menjabat penasehat urusan bahasa-
bahasa Timur dan hukum Islam sejak tahun 1891 itu juga, cukup membekali
dalam usaha menemukan seni memahami dan mengusai penduduk Muslim
tersebut. Meskipun tidak seluruhnya, namun garis politik Snouck Hurgronje itu
mampu bertahan hingga akhir masa penjajahan Belanda di Indonesia (E. Gobee
dan dan C. Adriaanse. 1990: 12).
25
3. Elit Modern
Politik Etis dicetuskan oleh Van Deventer. Politik tersebut mencakup
bidang irigasi, emigrasi dan pendidikan (eduk asi) (Slamet Mulyono. 1968: 38).
Munculnya politik Etis dalam bidang pendidikan di Indonesia berakibat pada
semakin banyaknya pendirian sekolah-sekolah formal oleh pemerintah Belanda.
Hal tersebut dipengaruhi karena adanya kebutuhan pihak Belanda akan tenaga
terampil dalam bidang administrasi maupun berbagai bidang teknik dan kejuruan.
Dengan adanya pembukaan sekolah-sekolah tersebut maka pendidikan bagi rakyat
Indonesia mulai sedikit berkembang sehingga pada akhirnya mulai muncul
golongan terpelajar atau elit modern sebagai golongan baru dalam stratifikasi
masyarakat Indonesia pada penjajahan bangsa masa kolonial. Dan golongan inilah
yang menjadi motor penggerak golongan terdidik untuk memenuhi kebutuhan
sosial masyarakat Indonesia akan kemerdekaan.
Dalam pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak
Belanda juga terdapat diskriminasi, anak-anak bumiputera memiliki kesempatan
yang sangat terbatas untuk mengenyam pendidikan. Pemerintah kolonial Belanda
tidak ingin melihat bangsa Indonesia menjadi pintar dan maju. Selain itu juga
munculnya anggapan di kalangan kaum kolonial bahwa bangsa yang bodoh lebih
mudah untuk diatur dan dikendalikan (Nico Thamiend R dan M. P . B. Manus.
2004: 100). Sekolah yang lebih baik, yang seluruhnya menggunakan sistem dan
tingkat pelajaran yang tak kalah dari negeri Belanda lebih kecil jumlahnya. Dari
jumlah yang kecil ini hanya secuil saja tempat yang tersedia bagi anak-anak
pribumi (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened P oesponegoro, Nugroho
Notosusanto. 1975: 129). Selain itu sekolah-sekolah yang didirikan bukan untuk
mencerdaskan bangsa Indonesia, tetapi untuk mendapatkan tenaga terdidik dengan
upah yang murah. Pendidikan rakyat tidak boleh melebihi kebutuhan akan tenaga.
Pendidikan yang baik hanya akan membahayakan kedudukan penjajah.
Perluasan pendidikan kepada bumiputera resmi merupakan produk dari
politik etis. P endidikan ini tidak hanya untuk mendapatkan tenaga kerja yang
murah bagi pemerintah dan kegiatan bisnis swasta Belanda, tetapi juga menjadi
alat utama untuk mengangkat derajat dan menuntun rakyat bumiputera menuju
26
usul status) dengan berbagai atribut kebesaran orang tuanya. Yang termasuk
kelompok elite tradisional adalah raja-raja bersama keluarganya, yaitu para
bangsawan yang mempunyai kekuasaan politik, sosial, kultural dan sebagainya.
Kau elite tradisional benar-benar menguasai hidup dan matinya rakyat yang ada
dalam lingkungan wilayah kekuasaannya. Sedangkan kelompok elite baru adalah
kelompok tersendiri yang mendapatkan status bukan karena keturunan, akan tetapi
status tersebut diperoleh sendiri atas usaha yang dilakukan dan biasanya dari
jenjang pendidikan (Sartono Kartodirdjo. 1999: 72). Para elite baru tersebut biasa
disebut sebagai kelompok terpelajar dan memegang jabatan-jabatan dalam
pemerintahan (William H. Frederick. 1989: 45).
Kekuasaan Belanda semakin bertambah luasnya sehingga kebutuhan
akan birokrasi Indonesia yang berpendidikan Barat juga semakin bertambah besar.
Bila sebelumnya kedudukan-kedudukan tinggi dalam hirarki kepegawaian
Indonesia diberikan atas dasar asal keturunan, politik kolonial yang baru membuat
pendidikan sebagai syarat pendukung pada asal keturunan. Dalam ukuran waktu
dan keadaan tertentu pendidikan dijadikan sebagai ukuran utama. Hal ini pada
gilirannya membuahkan beragamnya elite Indonesia yaitu munculnya golongan
priyayi lama yang terdiri dari para bangsawan dan administrator serta priyayi baru
yang bertambah dengan sejumlah pegawai pemerintahan, teknisi pemerintahan,
cendekiawan yang sama-sama memerankan peran elite (Robert Van Niel. 1984:
75).
Munculnya elite baru atau elite modern merupakan sebagian dari
perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan secara wajar dapat dipandang
sebagai unsur integral dari masyarakat yang bersangkutan dalam proses perubahan
yang berlangsung cepat (J. D. Legge. 1993: 44). Kelompok elite baru sebagian
besar berasal dari bangsawan rendah dan rakyat biasa. Dalam masyarakat,
kelompok elite baru tersebut berusaha menunjukkan kelasnya yang lebih maju
yang nantinya membawa atau dapat mempengaruhi haluan politik pemerintah.
Elite baru muncul sebagai akibat dari adanya ambivalansi dalam kebijaksanaan
kolonial pada abad XIX mengenai perlunya kekuasaan tradisional. Para elite baru
tersebut memperoleh gelar serta bentuk kemegahan yang ada kaitannya dengan
29
statusnya, seperti menjadi guru sekolah pemerintah dengan diberi pangkat mantri
guru dan hak untuk tampil di depan umum. Menjelang abad XX, pendidikan dan
pengajaran secara Barat mempunyai andil yang penting dalam kehidupan.
Pendidikan dengan bahasa Belanda diadakan, waktu pendidikan yang sebelumnya
hanya sampai dua tahun diperpanjang hingga lima sampai enam tahun. Sebagai
hasilnya kelompok elite baru menjadi profesional hingga meluas dalam dinas-
dinas pengairan, kehutanan, kereta api dan dinas lainnya (M. C. Ricklefs. 1990:
52).
Adanya modernisasi pendidikan menyebabkan cakrawala berpikir
pelajar Jawa semakin luas. P ara pelajar di Jawa tidak hanya berpikir pada
pelajaran yang sedang tekuni, tetapi mulai memikirkan keadaan masyarakat
bumiputera yang terbelakang akibat kebijaksanaan pemerintah kolonial. Dan
itulah yang kemudian disebut sebagai elite terpelajar (Sartono Kartodirdjo. 1992:
14).
Golongan elite modern merupakan pemimpin pergerakan yang
menyadari bahwa bidang pendidikan adalah sarana efektif bagi penanaman jiwa
dan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Sehingga perkembangan pengajaran
dengan sistim sekolahnya mau tidak mau harus disesuaikan dengan sifat dualistis
masyarakat Indonesia, baik mengenai bahasa pengantarnya maupun sistim
pelajarannya. Maka dari itu terdapat empat kategori sekolah, yaitu 1) sekolah
Eropa yang sepenuhnya memakai model sekolah negeri Belanda, 2) sekolah bagi
pribumi yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, 3) sekolah bagi
pribumi yang memakai bahasa daerah sebagai bahasa daerah/pribumi dan 4)
sekolah yang memakai sistem pribumi (Sartono Kartodirdjo. 1999: 23).
Seiring dengan tingkat perkembangan dalam bidang pengajaran yang
merupakan hasil dari politik etis maka golongan elite intelektual dikalangan
rakyat Indonesia juga semakin tumbuh. Elite baru ini menyadari keadaan yang
terbelakang dari masyarakatnya akibat praktek kolonialisme. Kaum elite baru
inilah yang kemudian bercita-cita melenyapkan segala bentuk diskriminasi ras,
perbedaan sosial-ekonomi dan politik. Kesadaran itu telah mendorong para elite
baru untuk mendirikan organisasi secara modern sebagai alat perjuangannya
30
(Darsiti Soeratman. 1970: 44). Walaupun hanya sebagian kecil rakyat Indonesia
yang mendapatkan pendidikan sistem Barat, ternyata pendidikan tersebut telah
menghasilkan kaum elite intelektual. Kaum elite intelektual inilah yang banyak
memiliki kesadaran nasional, harga diri dan wawasan luas. Inilah benih-benih
penggerak perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka. Dari tahun ke tahun
kaum elite intelektual itu semakin bertambah banyak, sehingga menimbulkan
pergerakan nasional yang lebih mantap.
4. P ergerakan Nasional
Pergerakan kebangsaan yang muncul di Indonesia merupakan suatu
fenomena baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam hal tertentu pergerakan
kebangsaan itu dapat dianggap sebagai lanjutan perjuangan yang masih bersifat
pra-nasional dalam menentang praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme
Belanda pada masa-masa sebelumnya (Cahyo Budi Utomo. 1995: 22). Pergerakan
nasional menentang penjajahan berhasil membangun Republik Indonesia sebagai
suatu negara yang merdeka dan berdaulat (G. Moedjanto. 1988: 27). Dalam
konteksnya dengan sejarah pergerakan nasional Indonesia, Suhartoyo
Hardjosatoto (1985: 32-33) berpendapat bahwa kata pergerakan mengandung dua
pengertian. Pengertian pertama mengacu pada perubahan menuju suatu keadaan
tertentu yang diinginkan, sedangkan pengertian lainnya yaitu menunjuk pada fakta
atau fakta-fakta proses perubahan termaksud. Untuk lebih jelasnya dapat
diterangkan sebagai berikut:
1) Dalam pengertiannya yang pertama, pergerakan ini merupakan suatu proses
yang dinamis yakni berupa suatu ilustrasi mengenai terjadinya semacam
proses perjuangan menuju suatu kadaan tertentu yang diinginkan. Dalam
hubungannya dengan pergerakan nasional maka pengertiannya mengacu pada
suatu deskripsi mengenai dinamika proses perjuangan yang terjadi untuk
mengubah suatu keadaan tertentu, khususnya sistem politik dari sesuatu
bangsa (nation), secara konkritnya yakni dari suatu sistim politik kolonial,
menuju suatu sistim politik yang diinginkan yakni sistim politik nasional, jadi
tercapainya kemerdekaan nasional terutama di bidang politik. Dengan
31
3) Suara beracun pers Belanda serta sikap angkuh dari masyarakat Belanda di
Indonesia, dan
4) Adanya gerakan orang-orang Cina dengan didirikannya perguruan bagi
masyarakat mereka sendiri yakni Tionghoa Hwee Kw an tahun 1901.
G. Moedjanto (1988: 26) mengungkapkan bahwa lahirnya pergerakan
nasional dipengaruhi oleh faktor ekstern (luar negeri) dan faktor intern (dalam
negeri). Adapun faktor atau sebab-sebab dalam negeri adalah:
1) Penderitaan akibat penjajahan, dalam hal ini bangsa Indonesia merasa senasib
sepenanggungan, sama-sama dijajah Belanda. Jadi hal ini merupakan reaksi
terhadap penjajahan.
2) Kesatuan Indonesia di bawah Pax Neerlandica memberi jalan ke arah
kesatuan bangsa.
3) Pembangunan komunikasi antar pulau menyebabkan semakin mudahnya dan
semakin sering bertemunya rakyat dari berbagai kepulauan.
4) Pembatasan penggunaan atau penyebaran bahasa Belanda di kalangan pribumi
di satu pihak dan penggunaan bahasa Melayu yang dipopulerkan di lain pihak
menyebabkan bahasa yang berasal dari sekitar selat Malaka ini menjadi
bahasa Indonesia; bahasa ini kemudian menjadi tali pengikat kesatuan bangsa
yang ampuh.
5) Undang-undang desentralisasi 1903, yang di antaranya mengatur masalah
pembentukan kota praja (g emeente atau haminte) dan dewan-dewan kotapraja
memperkenalkan rakyat Indonesia akan tata cara demokrasi yang modern.
6) Pergerakan kebangsaan di Indonesia dapat juga disebut sebagai reaksi
terhadap semangat kedaerahan yang tidak menguntungkan bagi perjuangan
kemerdekaan (semangat kedaerahan membuat bangsa Indonesia terpecah-
belah dan lemah).
7) Inspirasi kejayaan Majapahit dan Sriwijaya (pengetahuan bangsa Indonesia
tentang kejayaan kedua kerajaan tersebut diperoleh dari banyak sarjana Barat
juga).
34
Kolonialisme Belanda
Elit Modern
Pergerakan Nasional
Peranan
Jong Islamieten Bond
dalam Pergerakan Nasional
Ke terangan:
Adanya tekanan penindasan dari bangsa Belanda (praktek-praktek
kolonialisme) yang telah berpuluh-puluh tahun memunculkan rasa senasib
sepenanggungan sehingga mendorong semakin kuatnya nasionalisme di kalangan
rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa untuk menggalang
persatuan melawan kaum penjajah untuk mewujudkan negara merdeka yang
terbebas dari ancaman penjajahan bangsa mana pun di dunia. Munculnya
nasionalisme sebagai dampak dari semakin berkembangnya kolonialisme tersebut
37
sebagai musuh yang ditakuti. Ketakutan ini telah mendorong Belanda untuk
merumuskan sebuah politik aliansi dengan elemen di dalam tubuh masyarakat
Indonesa terutama para pangeran dan priyayi Jawa. Raja-raja dan kepala adat di
luar pulau Jawa yang karena alasan politiknya sendiri terkenal sebagai penganut
Islam yang tidak telalu fanatik atau bahkan musuh terang-terangan Islam (H. J.
Benda. 1980: 38-39).
Sejalan dengan kebijakan itu, maka pendidikan yang diselenggarakan
pemerintah dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan
pelajaran agama Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. P elaksanaan
sistem pendidikan ini mengupayakan sekularisasi di dunia pendidikan dengan
menyingkirkan pelajaran keagamaan dari dunia sekolah. Akibat dari sistem
pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak mempunyai kesempatan belajar
sendiri di luar sekolah menjadi kurang pemahamannya dari agama Islam. Seorang
Agus Salim bahkan pernah merasa hampir kehilangan iman selepas HBS
(Darmansyah, dkk. 2006: 2).
Para pemimpin umat Islam menyadari bahwa reaksi terhadap peristiwa
dan perlakuan tidak adil dari penjajah tidak cukup dilawan dengan kritik-kritik
saja. Ancaman terhadap eksistensi Islam secara mendasar memerlukan reorientasi
organisasi. Tujuannya agar kepentingan umat Islam dapat dijaga lebih tepat dari
masa-masa yang lalu (H. J. Benda. 1980: 119). Di kalangan umat Islam Indonesia
kemudian timbul pula kesadaran untuk berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan
umat Islam mulai terpupuk hingga melahirkan suatu pergerakan yang sangat
penting artinya bagi nasionalisme Indonesia. Wujud dari usaha para elite modern
dalam penanaman pengaruhnya kepada para pemuda untuk mempunyai jiwa
nasionalis tersebut terlihat dalam pergerakan-pergerakan kaum intelektual dengan
jalan pembentukan organisasi modern sebagai alat perjuanganya, antara lain
dengan dibentuknya Jong Islamieten Bond (JIB) sebagai wadah bagi pergerakan
pemuda Muslim di Indonesia pada tahun 1925-1942.
Elit modern alumni JIB yang memperoleh pendidikan modern Belanda
secara tidak langsung antara lain Agus Salim, Sjamsoeridjal, Kasman
Singodimedjo, Mohammad Roem dan Mohammad Natsir. P ara elite modern
39
1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data
melalui studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai tempat
mencari data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2) Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
3) Perpustakaan P rogram Studi P endidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
4) Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
5) Perpustakaan Monumen P ers Surakarta.
6) Perpustakaan Daerah Surakarta.
7) Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta.
8) Perpustakaan St. Kolose Ignasius Yogyakarta.
9) Buku-buku koleksi penulis.
2. Waktu P enelitian
Waktu yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai dari
disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Januari 2010 sampai dengan selesainya
penulisa n skripsi ini yaitu pada bulan Juli 2010.
B. Metode pe ne litian
Menurut Koentjaraningrat (1977: 16) bahwa kata metode berasal dari
bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan karya
40
41
ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk
memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Sedangkan
menurut Helius Syamsudin (1994: 2), ”Metode ada hubungannya dengan suatu
prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin
ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek (bahan-bahan) yang diteliti”.
Metode yang digunakan oleh seorang peneliti dalam melakukan
penelitiannya harus sesuai dengan rancangan penelitian yang akan dilaksanakan.
Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini, maka metode
yang digunakan adalah metode historis. Metode ini sebagai perangkat asas atau
kaidah yang sistematis yang digubah secara efektif untuk mengumpulkan data
sejarah, menilainya secara kritis dan menyatakan suatu sintesa yang dicapai
melalui historiografi (Ibrahim Alfian. 1987: 18). Sedangkan menurut Louis
Gottschalk (1975: 32), ”Metode historis adalah suatu kegiatan mengumpulkan,
menguji dan menganalisa data yang diperoleh dari peninggalan-peninggalan masa
lampau kemudian merekonstruksikan berdasarkan data-data yang diperoleh
hingga menghasilkan kisah sejarah”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat rekonstruksi masa
lampau secara obyektif dan sistematis dengan mengumpulkan, mengevaluasikan,
menjelaskan dan mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan menarik
kesimpulan secara tepat (Muh. Nazir. 1988: 55-56).
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode
penelitian historis merupakan kegiatan mengumpulkan sumber-sumber sejarah
yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji, yaitu yang berkaitan dengan
Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional pemuda Islam di Indonesia
pada tahun 1925-1942. Dengan metode sejarah tersebut penulis juga mencoba
merekonstruksi kembali, menguji dan menganalisa secara kritis suatu peristiwa
yang telah terjadi di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi
sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, obyektif
dan menarik.
42
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sejarah, yaitu segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai bahan penelitian atau
merekonstruksikan kembali peristiwa sejarah. Menurut Dudung Abdurrachman
(1999: 30), ”Data sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan pengolahan,
penyeleksian dan pengkategorian”.
Dalam usaha untuk mengunpulkan data-data yang diperlukan, penulis
menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis menurut Hadari Nawawi (1998: 80)
dibagi menjadi dua: (1) data primer, yaitu data autentik atau data langsung dari
tangan pertama tentang masalah yang diungkapkan, (2) data sekunder, yaitu data
yang mengutip dari sumber lain sehingga tidak bersifat autenik karena sudah
diperoleh dari tangan kedua. Data ini disebut sebagai data tidak asli.
Louis Gottschalk (1975: 35) mengemukakan bahwa sumber tertulis
primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri. Sumber
tertulis primer juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan dari masa yang
sejaman dan berasal dari orang yang sejaman. Sedangkan sumber tertulis sekunder
merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari
seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis
sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak
sejaman dengan peristiwa yang dikisahkannya. Sumadi Suryabrata (1997: 16-17)
mengungkapkan tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekontruksi
masa lampau secara sistematis dan obyekif dengan cara mengumpulkan,
mengevaluasi, memverifikasi serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan
fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.
Dalam penelitian ini penulis tidak menemukan sumber primer sebagai
sumber data, maka penulis menggunakan sumber data sekunder dan sumber data
pendukung yang berupa buku, majalah dan literatur lain yang relevan serta
memuat informasi tentang Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional
pemuda Islam di Indonesia pada tahun 1925-1942. Adapun sumber data sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berupa buku-buku yang
mendukung, seperti ”Jong Islamieten Bond: Pergerakan Pemud a Islam 1925 -
43
194 2”, karangan Darmansyah, dkk; ”Cendek iawan Islam Zaman Beland a: Studi
Pergerak an Intelek tua l JIB & SIS (’25-’42)” karangan Ridwan Saidi; ”Politik
Islam Hind ia-Beland a” karangan Aqib Suminto; ”Gerak an Modern Islam Di
Indo nesia 1900-1942”, karangan Deliar Noer; ”Jala n Ke Pengasing an .
Pergerak an Nasiona lis Indon esia Tahun 1927-1934”, karangan John Ingleson;
”Bulan Sa bit dan Matahari Terbit”, karangan H. J. Benda; ”Munculnya Elit
Mod ern Indonesia” karangan Robert van Niel; ”Dinamika Pergerak an
Keban gsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Indonesia Merdek a” karangan
Cahyo Budi Utomo; ”Sejarah Pergerak an Rak yat Indonesia”, karangan A. K.
Pringgodigdo dan lainnya.
historiografi dan pada hakekatnya fakta merupakan hasil analisis dari pemikiran
sejarawan, sehingga fakta dalam historiografi tersebut mengandung subyektifitas
dari penulis.
Dalam proses menganalisa karya sejarah maka diperlukan kritik intern
dan kritik ekstern. Kritik intern merupakan kritik yang berkenaan dengan isi
pertanyaan yang diucapkan manusia pada masa lampau. Kritik ekstern merupakan
kritik tentang keadaan sumber yang berkenaan dengan keautentikan sumber
sejarah (Sartono Kartodirdjo. 1982: 32).
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah tata urutan yang harus dilaksanakan dalam
proses penelitian agar peneliti mendapatkan hasil yang optimal. Langkah-langkah
penelitian awal yaitu persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil
penelitian. Setiap penelitian mempunyai prosedur penelitian yang berbeda-beda.
Hal tersebut disesuaikan dengan disiplin ilmu dan tujuan yang akan dicapai oleh
peneliti. Karena penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat
tahap yang harus dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik,
interpretasi dan historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
Keterangan:
1. Heuristik
Heuristik berasal dari bahasa Yunani yaitu heurisk in yang berarti to find
yang artinya mencari dahulu baru menemukan. Dalam penelitian sejarah, heuristik
berarti langkah-langkah untuk mencari dan mengumpulkan berbagai sumber
sejarah atau merupakan suatu teknik yang membantu kita untuk mencari jejak-
jejak sejarah. Untuk mendapatkan sumber tersebut dapat dilakukan dengan cara
mencari dokumen, mengunjungi situs sejarah, mengujungi museum dan
perpustakaan, wawancara dengan pelaku atau saksi sejarah. Sidi Gazalba (1966:
15) mengemukakan bahwa heuristik adalah kegiatan mencari bahan atau
menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil penelitian. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Helius Syamsudin (1994: 15) yang menyatakan bahwa
heuristik adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah, pada tahap ini peneliti
menemukan sumber data yang sesuai dengan tema penelitian.
Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-
sumber tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang berkaitan
dengan Jong Islamieten Bond (JIB) dalam kancah pergerakan nasional pemuda
Islam Indonesia pada tahun 1925-1942. Sumber-sumber tertulis tersebut diperoleh
dari beberapa perpustakaan, diantaranya Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas
Maret, P erpustakaan Jurusan Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan Universitas
Sebelas Maret, Perpustakaan P rogram Studi Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta,
Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta dan P erpustakaan St. Kolose Ignasius
Yogyakarta.
2. Kritik
Tugas penyelidik dalam penelitian historik ini adalah mengadakan
rekonstruksi mengenai masa lampau. Tetapi di dalam mengadakan rekonstruksi
itu, tidak semua peristiwa yang sudah silam dapat diulangi terjadinya, sehingga
penyelidik harus banyak mendasarkan diri pada fakta-fakta sejarah dan
48
3. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut dengan analisis
sejarah. Analisis berarti menguraikan, secara terminologi berbeda dengan sintesis
yang berarti menyatukan. Namun keduanya, analisis dan sintesis dipandang
sebagai metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo. 2001: 100).
Berbagai fakta sejarah yang telah didapatkan kemudian dirangkai sehingga
mempunyai bentuk dan struktur untuk direkronstruksi. Dalam proses inilah
diperlukan interpretasi, yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah. Dalam
menafsirkan suatu fakta mutlak diperlukan landasan interpretasi agar tidak terjadi
penafsiran yang tanpa dasar. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam menafsirkan suatu fakta di antaranya karena adanya beberapa
perbedaan seperti idiologi, kepentingan, tujuan, penulisan dan sudut pandang.
Untuk memeriksa suatu fenomena historis seorang sejarawan harus
selalu berhubungan dengan fakta-fakta sejarah. Suatu interpretasi yang tertentu
tidak dapat dihindari oleh sejarawan. Sejarawan harus melepaskan pikiran, bahwa
sejarawan dapat menghadapi data historis dengan pikiran yang bersih dan
menangkap fakta dalam keadaan yang sebenarnya (Sartono Kartodirdjo. 1982: 63-
64).
Interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan atau mengaitkan
antara sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lainnya, sehingga dapat
diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang menjadi
obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna dan
50
ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut sesuai
dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan kritik sumber dan interpretasi
tersebut dihasilkan fakta sejarah atau sintesis sejarah.
4. Historiografi
Historiografi adalah kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi suatu
kisah. Historiografi merupakan langkah terakhir dari prosedur penelitian dalam
metode sejarah yaitu proses penulisan dan penyusunan kisah masa lampau yang
direkrontruksi berdasarkan pada fakta yang telah diberi penafsiran atau
merupakan suatu kegiatan penyusunan fakta sejarah menjadi kisah sejarah yang
disajikan dalam bentuk tulisan. Peristiwa sejarah yang dikisahkan melalui
historiografi akan sangat dipengaruhi oleh subyektifitas si Penulis dalam
merekontruksinya.
Historiografi menurut Dudung Abdurahman (1999: 67) merupakan cara
penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah. Sedangkan menurut
Helius Sjamsudin (1992: 153), historiografi merupakan kegiatan menyampaikan
hasil sintesa fakta-fakta yang diperoleh dalam bentuk kisah sejarah. Dalam
historiografi seorang penulis tidak hanya menggunakan ketrampilan teknis,
penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan tetapi penulis juga dituntut untuk
menggunakan pikiran kritis dan analisis. Interpretasi yang dilakukan terhadap
fakta sejarah dapat menghasilkan suatu cerita atau kisah sejarah. Serangkaian
kisah sejarah tersebut disajikan dalam suatu penulisan atau historiografi.
Penulisan sejarah mempunyai unsur yang sama dengan penulisan sastra
yaitu sama-sama menyajikan suatu kisah, bedanya dalam sejarah. Sehingga dalam
penulisan sejarah perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasanya agar orang
tertarik untuk membacanya. Selain itu, imajinasi juga sangat diperlukan untuk
merangkaikan antara fakta yang satu dengan fakta lainnya, sehingga
menghasilkan suatu kisah sejarah yang menarik untuk dibaca dan dapat dipercaya
kebenarannya.
51
52
53
Benda. 1980: 29). Meskipun Islam telah memperkuat dirinya dalam tempo yang
cukup singkat dan secara keseluruhan dengan damai di sebagian besar kepulauan
ini, tidaklah berarti bahwa hal ini dilakukan seragam atau dalam tingkat intensitas
yang sama. Hanya di daerah-daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan
Hindu di abad-abad yang lalu, seperti Aceh dan Minangkabau di Sumatra Utara
serta Banten di Jawa Barat agama Islam sejak awal secara mendalam
mempengaruhi kesadaran agama, sosial dan politik para penganutnya. Dengan
demikian di daerah-daerah tersebutlah agama yang baru ini telah menunjukkan
diri dalam bentuk yang lebih murni, kurang toleran dan bahkan kadang-kadang
menjadi agresif. Dengan adanya sinkretisme antara Islam dengan tradisi Hindu-
Budha di daerah setempat, Islam di Jawa untuk jangka waktu yang cukup panjang
lebih penting dalam arti politik daripada religius. Walaupun Islam memberikan
rasa kesatuan dan rasa identitas, sekurang-kurangnya pada mulanya Islam tidak
menimbulkan perubahan yang radikal dalam kehidupan agama dan sosial di pulau
Jawa (H. J. Benda. 1980: 30).
Islam bukan hanya datang untuk menetap dan menyebarkan
pengaruhnya, karena sudah sejak masa-masa yang sangat awal Islam telah
memainkan peranan politik dan ideologis yang luar biasa pentingnya. Selama
empat abad lamanya, perlawanan terhadap pemerintahan Belanda, baik yang
dipimpin oleh mereka yang fanatik agamanya atau tidak terlalu sering akan tetapi
lebih ditakuti yaitu perlawanan yang dipimpin oleh pangeran-pangeran Indonesia
yang mengibarkan panji-panji bulan sabit, hampir dengan sendirinya ada
hubungannya dengan agama Islam. Ketaatan kepada agama Islam di tingkat
pedesaan yang menyebabkan orang-orang merasa tidak mungkin menerima
pemerintahan kolonial sebagai bentuk pemerintahan yang sah dan langgeng di
dalam pikirannya, termasuk penduduk desa yang paling tidak terdidik sekalipun.
Pentingnya arti politik Islam Indonesia, termasuk Islam Jawa, sebagian besar
berakar pada kenyataan bahwa di dalam Islam batas antara agama dan politik
sangatlah tipis. Islam adalah suatu way of life dan agama, walaupun proses
pengislaman di Indonesia dari dulu senantiasa merupakan suatu proses setahap
54
demi setahap, kandungan politik yang ada di dalamnya sudah terasa sejak awal
perkembangannya (H. J. Benda. 1980: 32).
Pemerintah Hindia-Belanda yang berkuasa di Indonesia dihadapkan pada
kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajahnya adalah beragama
Islam. Timbulnya aneka perlawanan seperti perang P aderi (1821-1827), perang
Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lainnya, tidak terlepas
dari kaitannya dengan agama Islam. Namun karena kurangnya pengetahuan yang
tepat mengenai Islam, pada mulanya pemerintah Hindia-Belanda tidak berani
mencampuri agama Islam secara langsung (Darmansyah, dkk. 2006: 1). Sikap
Belanda dalam masalah ini dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut
dan harapan yang berlebihan. Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan
timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Sementara di pihak lain
Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera
menyelesaikan persoalaan (Aqib Suminto. 1985: 9). Semua ini membuat
pemerintah Hindia-Belanda kalang kabut dan terpaksa mengambil sikap lebih
hati-hati dalam kebijaksanaannya terhadap Islam. Kurangnya informasi tentang
Islam membuat posisi mereka semakin sulit (Jan S. Aritonang. 2005: 134).
Politik pemerintah Belanda terhadap Islam memang didasarkan pada
perasaan takut dan sikap tidak mau mencampuri, sebelum Snouck Hurgonje
berkuasa di Hindia-Belanda. Hasrat untuk menjauhkan diri dari campur tangan
terhadap Islam, misalnya menyangkut masalah pembangunan masjid-masjid.
Untuk pembangunan masjid-masjid tidak atau jarang sekali diberikan bantuan
keuangan oleh pihak pemerintah. P emerintah menyatakan, ”Negara, dengan
sendirinya, tidak semestinya campur tangan dengan pembangunan atau dengan
perbaikan bangunan-bangunan suci agama Islam” (G. F. P ijper. 1987: 239).
Tetapi kebijakan untuk tidak mencampuri Islam nampaknya tidak konsisten
karena tidak adanya garis yang tegas. Dalam masalah haji, P emerintah Hindia-
Belanda ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut campur tangan. P ara
haji sering dicurigai, dianggap fanatik dan tukang memberontak. Bahkan pada
tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dibenarkan mencampuri masalah
agama bahkan bila perlu demi kepentingan negara, para ulama harus diawasi
55
(Aqib Suminto. 1985: 10). Tindakan ini kemudian diteruskan dengan membuka
konsulat di Jeddah pada tahun 1972 untuk mengawasi ribuam kaum Muslim yang
berasal dari Indonesia di Arab, baik jemaah haji maupun pemukim (Jan S.
Aritonang. 2005: 135).
Pemerintah kolonial berusaha untuk memberikan batasan-batasan kepada
orang-orang Islam di Indonesia, terutama dalam hal naik haji ke Mekkah. Snouck
Hurgronje meyakinkan para pejabat bahwa mereka tidak perlu mengkhawatirkan
pengaruh para haji. Satu-satunya cara yang paling tepat adalah menghambatnya
secara halus dan tidak langsung, yakni dengan cara mengalirkan semangat
pribumi ke arah lain. Snouck Hurgronje beranggapan bahwa setiap langkah
pribumi yang menuju ke arah kebudayaan Belanda (Barat) berarti menjauhkannya
dari keinginan naik haji (Jan S. Aritonang. 2005: 140). Namun hasil tindakan-
tindakan pembatasan ini sama sekali negatif. Meskipun di Jawa pemberontakan
besar-besaran di bawah panji Islam telah berhenti setelah perang Diponegoro,
frekuensi pemberontakan petani-petani di bawah pimpinan Islam setempat
meningkat. Di Sumatra, Belanda terlibat dalam perang berkepanjangan melawan
orang-orang Aceh yang fanatik. Arah politik baru tentang masalah Islam dengan
demikian menjadi keharusan bagi masa depan pemerintahan Belanda di Indonesia
(H. J. Benda. 1980: 39-40).
Politik Islam pemerintah Hindia-Belanda berubah setelah kedatangan
Snouck Hurgronje pada tahun 1889, politik terhadap Islam atas nasehatnya mulai
didasarkan pada fakta-fakta dan tidak atas rasa takut saja. Snouck Hurgronje
memperingatkan agar Islam sebagai kekuatan politik dan religius jangan
dipandang rendah. Apabila ideologi Islam disebarkan sebagai doktrin politik yang
digunakan untuk membuat perlawanan terhadap pemerintahan asing sebagai
pemerintahan kaum kafir sehingga orang meragukan atau mengingkari legalitas
pemerintah Belanda, maka di sini ada bahaya bahwa fanatisme agama akan
menggerakkan rakyat untuk menghapus orde kolonial (Sartono Kartodirdjo,
Mawarti Djoened P oesponegoro, Nugrohonotosusanto. 1975: 75).
Pemahaman Snouck Hurgronje tentang hakekat Islam di Indonesia,
sangat besar nilainya untuk mengarahkan politik Belanda terhadap Islam menuju
56
abangan dalam kalangan petani Indonesia. Di dalam persaingan ini, para penghulu
hampir selalu menjadi pihak yang kalah, sebagian karena hubungannya seringkali
memang berupa hubungan darah dengan elite priyayi dan sebagian karena dia
akhirnya turut terseret oleh proses kemunduran kekuasaan para pangeran yang
menjadi tuannya. Kemerosotan ini pada gilirannya merupakan akibat yang tidak
dapat dihindarkan dari kekuasaan Belanda di Indonesia, yang di dalam perjalanan
waktu dalam kenyataannya menyebabkan semua raja-raja Indonesia mau tidak
mau menjadi alat kekuasaan kaum Kristen (H. J. Benda. 1980: 34-35).
Sejak pertengahan abad ke-19 dan seterusnya, agama Islam Indonesia
secara bertahap mulai menanggalkan sifat-sifatnya yang sinkretik. Terjadi
perubahan bukan hanya di dalam lingkungan agama Islam Indonesia, akan tetapi
juga di dalam semakin meluasnya kebudayaan santri dalam arti yang sebenarnya
dalam masyarakat Indonesia. Ortodoksi Islam perlahan-lahan mengambil alih
pengaruh mistisisme Islam baik di Jawa maupun di Sumatra. Sekolah-sekolah
dusun tradisional sebagian besar memperhatikan orientasi sinkretiknya, maka kyai
ortodoks yang mendapat latihan di Mekkah membangun pesantren yang semakin
menarik siswa-siswanya dalam jumlah besar. Pusat-pusat kebudayaan santri
Indonesia ini yang semakin berkembang dalam arti sebenarnya (H. J. Benda.
1980: 37).
Dalam menghadapi Islam, penguasa kolonial menurut tradisi dapat
mengharapkan dukungan dari kaum adat meskipun golongan ini tidak dapat
menahan pengaruh, baik dari perkembangan Islam maupun dari perubahan-
perubahan kearah modernisasi, maka dari itu tidak mungkin politik ini dijalankan
untuk mencapai tujuan pemerintahan kolonial dalam jangka panjang (Sartono
Kartodirdjo, Mawarti Djoened P oesponegoro, Nugrohonotosusanto. 1975: 75).
Menurut pengertian orang Belanda tentang Islam, Islam dibayangkan
sebagai sebuah agama yang diorganisir secara ketat, di dalam banyak hal yang
diatur oleh hukum Islam serta persekutuannya dengan para sultan Islam di luar
negeri dan pengaruhnya terhadap kehidupan penduduk asli. Dengan demikian
Islam dianggap sebagai musuh yang ditakuti. Ketakutan ini kemudian mendorong
bangsa Belanda untuk merumuskan sebuah politik aliansi dengan elemen-elemen
62
di dalam masyarakat Indonesia, terutama para pangeran dan priyayi di Jawa dan
sultan-sultan, raja-raja serta kepala-kepala adat di luar Jawa yang karena alasan-
alasan politiknya sendiri terkenal sebagai Islam yang tidak terlalu fanatik atau
bahkan musuh terang-terangan Islam fanatik (H. J. Benda. 1980: 38-39).
Kebijaksanaan politik pemerintah Hindia-Belanda selalu mendapat
masukkan dari para penasehatnya seperti Snouck Hurgronje, antara lain agar
pemerintah harus bertindak netral terhadap Islam sebagai agama, tetapi tegas
terhadap politiknya, pemerintah supaya membantu menghidupkan golongan
pemangku adat agar senantiasa timbul pertentangan-pertentangan di dalam
masyarakat, pemerintah harus menyempitkan ruang gerak dan pengaruh Islam
dengan jalan menjalin kerjasama dalam rangka kebudayaan Indonesia dan
Belanda. Artinya, dengan jalan mendidik golongan priyayi dengan pendidikan
Barat. Usaha-usaha tersebut ternyata menunjukkan hasilnya. Banyak orang dari
kalangan pemuda pelajar Islam sempat menjadi sinis dan acuh tak acuh terhadap
ajaran agama Islam. Bahkan sampai-sampai muncul anggapan bahwa agama
Islam adalah agama yang kolot, menghambat kemajuan bangsa. Ada pula
sebagian yang menanggalkan agamanya dan mengambil pola kehidupan yang
berdasar kebudayaan Barat dan lainnya (Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun
Haji Agus Salim. 1984: 66-67). Dalam hal ini peradaban Belanda haruslah
menggantikan peradaban tradisional priyayi dan di atas semuanya, peradaban
santri. Snouck Hurgronje memusatkan perhatiannya kepada para bangsawan Jawa
dan kepada para elite priyayi pada umumnya, sebagai suatu kelas sosial yang
pertama dan yang paling jelas untuk ditarik ke arah Westernisasi. Tingkat
kebudayaan aristokrasi yang lebih tinggi, dekatnya dengan pengaruh-pengaruh
Barat berkat kontaknya dengan pemerintah Eropa dan akhirnya keterpisahannya
dari Islam, secara logis menjadi skema asimilasionis Snouck. Kaum bangsawan
Indonesia yang telah kehilangan ikatan kultural dan politik sebagai akibat
penakhlukan Belanda, menurut Snouck, menuntut partisipasi di dalam
kebudayaan Belanda (H. J. Benda. 1980: 47).
Di bawah pengaruh kekuasaan Barat dan pendidikan Barat, rakyat
Hindia-Belanda terutama golongan intelektual tercekam di bawah sugesti
63
superioritas Barat, juga dalam gerakan perlawanannya dan usaha melepaskan diri
dari dominasi Barat, golongan intelektual tersebut bergerak menurut garis yang
diberikan orang Barat dan di bawah pimpinan langsung atau tidak langsung orang
Barat, seolah-olah orang Barat yang memegang pimpinan (Panitia Buku
Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim. 1984: 188). Dalam hal ini maka
pendidikan Barat haruslah diberikan kepada orang-orang Indonesia yang
jumlahnya semakin besar. P endidikan Barat adalah alat yang paling pasti untuk
mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia (H. J. Benda.
1980: 48). Pendidikan umum yang tidak diisi dengan pelajaran agama sebagai
cara untuk memajukan masyarakat dan sekaligus mengikis fanatisme Islam
tersebut (Jan S. Aritonang. 2005: 136).
Sejalan dengan kebijakan itu, maka pendidikan yang diselenggarakan
pemerintah dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan
pelajaran agama Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. Rezim ini
mengupayakan sekularisasi di dunia pendidikan dengan menyingkirkan pelajaran
keagamaan dari dunia sekolah. Akibat sistem pendidikan ini maka pelajar Islam
yang tidak mempunyai kesempatan belajar sendiri di luar sekolah menjadi kurang
pemahamannya dari agama Islam. Seorang Agus Salim bahkan sampai berkata
bahwa ia hampir kehilangan iman selepas dari Ho og ere Burgere schoo l
(HBS/Sekolah Tinggi Warga Masyarakat) (Darmansyah, dkk. 2006: 2). HBS
merupakan sekolah lanjutan Europesche Legere Scho ol (ELS/Sekolah Rendah
Eropa) yang diperuntukkan bagi golongan Eropa, bangsawan pribumi atau tokoh
terkemuka (Darmansyah, dkk. 2006: 87). Dengan demikian pendidikan Barat
mulai meraih kemenangan dalam perlombaan melawan saingannya yang Islam.
Pandangan-pandangan Snouck Hurgronje dalam kenyataannya merupakan
cerminan dari suatu era baru di dalam kebijaksanaan kolonial Belanda yang
disebut Politik Etis yang secara resmi bermula pada tahun 1901 (H. J. Benda.
1980: 49).
Penguasa kolonial tidak dapat mengabaikan Islam sebagai faktor politik
atau kekuatan sosial. Selaras dengan fakta itu organisasi yang netral lebih disukai
daripada organisasi yang pergerakannya berasaskan agama. Dalam hal ini politik
64
masa itu adalah irigasi, migrasi, dan edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah
Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya Barat untuk kalangan pribumi. Akan
tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah sarana
pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda hanya
sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis. Setelah lulus
dari sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah untuk
kantor-kantor Belanda di Indonesia. Dengan demikian pendidikan pada masa
kolonial tersebut bertujuan untuk mengisi kekosongan pegawai rendahan di
kantor-kantor Belanda (http://pik ok ola.files.wo rdpress.com diakses tanggal 1
Maret 2010). Sehingga pemerintah Belanda mendapatkan tenaga keraja terdidik
untuk birokrasinya dengan gaji yang murah, karena apabila mendatangkan pekerja
dari kalangan orang Eropa tentunya akan sangat mahal biayanya (http://www.roll-
kon g.blogspo t.com diakses tanggal 1 Maret 2010).
Penerapan P olitik Etis oleh pemerintah kolonial Belanda telah memberi
peluang kepada anak-anak bumiputra untuk memasuki lembaga-lembaga
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial. Kesempatan untuk
mengenyam pendidikan tersebut tidak terbuka luas, hanya mereka yang berasal
dari prangreh-praja atau mereka yang berdarah biru (kaum bangsawan) yang
dapat mengenyam pendidikan (Ridwan Saidi. 1990: 9). Hal tersebut disebabkan
karena adanya berbagai faktor yang menyangkut masalah kebijakan, fasilitas dan
sarana sehingga sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah Belanda sangat
terbatas, tidak seimbang dengan populasi penduduk Indonesia dan tingkat
penghasilan ekonomi masyarakat Indonesia yang masih rendah. Sebagai
alternatifnya yaitu mulai muncul pendidikan yang lebih merakyat, pendidikan di
pesantren menjadi pilihan bagi masyarakat Indonesia sehingga masyarakat
Muslim pada waktu itu banyak yang memasukkan anak-anak mereka ke lembaga
pendidikan tersebut (H. Haidar Putra Daulay. 2007: 30-31).
Tak banyak pembagian sosial yang mutlak antara priyayi baru dan
priyayi lama, yaitu antara kaum cendekiawan dan pejabat-pejabat pribumi.
Banyak orang dari keturunan rendah yang berkat kedudukan teknis atau
profesinya menjadi priyayi baru. Mereka tidak menginginkan lebih daripada
67
penerimaan sosial oleh elite yang telah mapan tersebut dan untuk itu mereka
berusaha menyesuaikan tingkah-lakunya. Karena keturunan merupakan masalah
penting untuk memperoleh pendidikan, maka banyak di antara kaum cendekiawan
yang berasal dari keluarga-keluarga pangreh-praja atau anak-anak pegawai
pemerintah mempunyai hubungan dengan priyayi. Lebih daripada itu, kaum
cendekiawan baru tersebut bukanlah marmer putih polos tempat menuliskan
gagasan-gagasan Barat. Sebaliknya, mereka merupakan produk dari tradisi politik
Jawa yang maju dan tinggi tingkatannya. Mereka berusaha mendapatkan dasar
ideologi mereka dengan mengkombinasikan nilai-nilai pribumi dan nilai-nilai
Eropa (Heather Sutherland. 1983: 115-116). Dengan demikian politik etis telah
menghasilkan sejumlah elite baru di kalangan pribumi, baik yang menjadi birokrat
maupun intelektual dan di antara elite baru tersebut banyak yang tampil menjadi
tokoh pergerakan anti penjajahan, termasuk dari kalangan Islam (Robert van Niel.
1984: 12). P olitik etis itulah yang kemudian menguak dimensi baru bagi
pergerakan nasional bangsa Indonesia.
Pada masa ini pendidikan-pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah-
sekolah rakyat seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan
berkembang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa tersebut terdapat tiga
tipe jalur pendidikan yang berbeda. Jalur pertama, sistem pendidikan dari masa
Islam yang diwakili dengan berkembangnya pondok pesantren; jalur kedua,
pendidikan bergaya Barat yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda
dan jalur ketiga, pendidikan swasta pro-pribumi seperti Taman Siswa,
Muhammadiyah dan lainnya (http://pik ok ola.files.wordpress.com diakses tanggal
1 Maret 2010).
Pengajaran asli di Indonesia pada mulanya terdiri dari pendidikan yang
diadakan di langgar, surau dan pesantren. Di tempat tersebut dilatih mengaji Al-
Qur’an, mempelajari kepercayaan dan syariat agama Islam. Sampai pada akhirnya
kebutuhan akan pengajaran dibutuhkan oleh pemerintah, pembaharuan datang dari
luar sebagai usaha balas budi dan mengurangi jumlah penduduk buta huruf.
Perluasan bidang pemerintahan dan administrasinya mendorong timbulnya
kebutuhan akan tenaga kerja. Untuk memenuhi itu pemerintah kolonial mulai
68
dimiliki dan gerakan pemuda yang hidup terkurung dalam ide kedaerahan,
kepulauan masing-masing (St. Sularto. 2004: 125-126). Agus Salim mempunyai
banyak murid dan pengikut yang belajar di sekolah-sekolah Belanda, termasuk di
dalamnya anggota dan pemimpin Jong Islamieten Bond. Banyak di antara
pemimpin JIB ini yang menjadi pewaris kepemimpinan umat Islam dalam bidang
politik sesudah Indonesia merdeka (Deliar Noer. 1987: 13). Dalam berorganisasi,
Agus Salim menyatakan bagaimana seharusnya sebuah organisasi yang kuat itu
berdiri, diantaranya yaitu:
1) Adanya kepercayaan serta prinsip-prinsip yang diakui sebagai milik bersama,
2) Adanya toleransi yang berarti menghargai pendapat dan keyakinan orang lain,
3) Adanya permusyawaratan dalam mengambil keputusan-keputusan yang
berhubungan dengan rakyat bersama yang dimaksud adalah menguatkan
persatuan hati, kehendak dan mendidk serta pengertian keterikatan dalam
persatuan (http://ahmadfathulbari.multiply.com/jou rnal/item/10 diakses
tanggal 7 Agustus 2009).
Pada waktu ide pembentukan cendekiawan Islam dalam tahap
pengembangan, Sjam sebagai ketua Jong Java mengutarakan gagasan agar Jong
Java menyelenggarakan kursus-kursus agama Islam bagi para anggotanya. Sjam
mencetuskan gagasan itu didorong karena adanya kesadaran ideologi dalam
kerangka kesatuan organis Jong Java, kesadaran tersebut bangkit karena adanya
fakta bahwa pelajar-pelajar Islam sebagai calon-calon cendekiawan yang tengah
menuntut ilmu pada sekolah-sekolah umum dihimpit pada posisi keharusan
pelestarian nilai-nilai Islam bagi kehidupan para pelajar, karena kelestarian Islam
sebagai ajaran terancam dengan adanya kurikulum dan sistem pengajaran yang
berlaku pada dunia pendidikan resmi pada waktu itu. Sementara kompetisi
intelektual dengan pelajar yang beragama lain berlangsung secara kurang fair
dalam pengertian bahwa untuk pelajar yang secara ideologis dan kultural berasal
dari lingkungan bukan Islam dirangsang oleh lembaga swasta untuk
meningkatkan kemampuan intelektualnya melalui pembinaan tertentu, misalnya
pemberian beasiswa (Ridwan Saidi. 1990: 18-19). Tetapi ide Sjam untuk
melaksanakan kursus-kursus agama Islam ditentang oleh anggota-anggota Jong
75
Agus Salim. 1984: 67). Dengan berdiriya JIB tersebut maka telah memberikan
kesempatan bagi Mohammad Roem untuk ikut dalam organisasi yang berasaskan
Islam tersebut. Mohammad Roem masuk menjadi anggota JIB pada tahun 1925,
keanggotaanya dalam Jong Java tidak dilepasnya. Tetapi jika dibandingkan denga
Jong Java, Mohammad Roem lebih aktif di dalam JIB, suatu organisasi yang
dikhususkan bagi pemuda atau pelajar Islam yang keanggotaannya bersifat
terbuka bagi pemuda atau pelajar dari berbagai daerah (Iin Nur Insaniwati. 2002:
17).
Pandangan keindonesiaan dikembangkan Sjam dan kawan-kawan
melalui wadah Islam, JIB. Islam dan kebangsaan Indonesia tidak pernah
diletakkan sebagai komponen yang terpisah apalagi berhadap-hadapan,
sebagaimana yang yang banyak dituduhkan. Organisasi kepanduan NATIPIJ
dengan tokoh-tokohnya Kasman Singodimejo dan Mohammad Roem
mengembangkan pelajaran-pelajaran kewiraan, yang kelak pelajaran tersebut
mempunyai manfaat yang besar bagi pertahanan tanah air. Kasman mendapat
kepercayaan untuk menjadi Daida nco (Komandan Batalion) Pembela Tana h Air
(P ETA) Jakarta berkat pengalamannya dalam NATIPIJ (Ridwan Saidi. 1990: 21).
Aturan ini akan menambah fungsi Jong Java sebagai tempat latihan mental
nasional (A. K. Pringgodigdo. 1994: 114-115).
c. Diadakan kursus agama Islam bagi anggota Jong Java mengingat agama Islam
adalah agama yang dipeluk oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Selain itu,
banyak kaum terpelajar yang tidak paham dengan agamanya (Tim Yayasan
Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 221).
Hal ini sebagai respon terhadap kuliah-kuliah tentang agama Kristen di Jong
Java, para pelajar Muslim yang lebih ortodoks juga meminta agar diadakan
pula kuliah-kuliah mengenai agama Islam (Yudi Latif. 2005: 306).
Usulan Sjam ini mendapat dukungan dari Raden Kasman Singodimedjo,
Supinah (kemudian menjadi Nyonya Kasman Singodimedjo), Moeso Al-
Machfoeld (Gus Muso, bukan Muso tokoh P KI), Soehodo (Sekpri Sri Paku Alam
VIII). Mereka berpendapat bahwa agama Islam yang akan membantu
mempersatukan para pemuda. Selama ini dalam pergaulan antar suku kaku sekali
laksana minyak dengan air. Islam adalah agama rakyat umum di Nusantara. P ara
anggota Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Bataks, Jong Sumatranen, sama dan
serupa dengan anggota Jong Java, Sekar Rukun, dan lain-lain, semua itu putra-
putri rakyat Nusantara. Maka Islam adalah agama yang telah mempersatukan
mereka. Jong Java harus berani memelopori memakai Islam sebagai dasar untuk
selanjutnya disampaikan kepada sesama anggota organisasi pemuda (Tim
Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 221). Tetapi ada pula kalangan yang
menentangnya dengan alasan karena Jong Java bukanlah perkumpulan agama atau
karena pertimbangan untuk menghindari perpecahan, sedangkan yang
didambakan adalah persatuan. Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa usul
itu tidak diperlukan karena agama tidak perlu. Bukankah ketika itu zaman
kemajuan, sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan agama menunjukkan
pada keterbelakangan, kekolotan dan sebagainya (Ridwan Saidi. 1990: 12).
Gagasan Sjam tersebut tidak didukung oleh suara mayoritas. Alasan
penolakan terhadap gagasan Sjam adalah Sjam bermain politik. Serekat Islam juga
dituduh sedang menyusup ke dalam tubuh Jong Java (Tim Yayasan Gedung-
Gedung Bersejarah. 1974: 34). Setelah diadakan pemungutan suara sebanyak dua
79
kali, hasilnya tetap seimbang. Sjam, sebagai ketua sidang, menurut aturan yang
berlaku, berhak menentukan apakah usulan diterima atau ditolak. Sjam
memutuskan usulan ditolak dan tidak mau memutuskan agar peserta kongres
menerima usulannya karena khawatir dituduh tidak demokratis dan pada akhirnya
akan menimbulkan perpecahan di dalam Jong Java (Sidi Mawardi. 2000: 50-51).
Demi menjaga persatuan dalam perhimpunan Jong Java, Sjam
menyatakan mundur dari Jong Java dan akan mendirikan perhimpunan baru untuk
memperjuangkan aspirasi keislamannya. Sjam mendapat dukungan dari Agus
Salim, H. O. S. Tjokroaminoto, A. M. Sangaji (Sarekat Islam) dan K. H. Achmad
Dahlan (Muhammadiyah). Tokoh pemuda yang mendukung gagasan Sjam adalah
Mohammad Roem, Mohammad Natsir, P rawoto, Jusuf. Mereka menyatakan siap
membantu merealisasikan gagasan Sjam dan siap bekerjasama (Moh. Roem.
1977: 247).
Agus Salim yang mengikuti rapat itu dan telah lama menyadari akan
pentingnya membentuk kader-kader inteligensia Islam juga menyarankan agar
mereka mendirikan sebuah organisasi pelajar yang baru, yang kemudian bernama
Jong Islamieten Bond . Karena pengalaman traumatisnya, pendirian JIB
diorientasikan untuk mengislamkan kaum terpelajar. Kepedulian utama dari
organisasi ini adalah bagaimana menjadikan orang-orang Indonesia yang
berpendidikan Barat menjadi lebih dekat dengan umat Islam atau paling tidak
membujuk mereka untuk tidak sepenuhnya menjadi anggota fanatik dari
organisasi-organisasi sekuler. Cara pandang terhadap Islam sekarang (dalam JIB)
berbeda dengan yang sebelumnya dibayangkan di Jong Java. Sementara ide untuk
memberikan pengajaran Islam dalam konteks Jong Java didasarkan pada alasan-
alasan pragmatis, yaitu demi persatuan dan kepemimpinan nasional, ide yang
sama sekarang diletakkan dalam idealisasi pembentukan sebuah identitas kolektif
tertentu dan sebagai sebuah ideologi tersendiri. Solidaritas Islam sekarang
dianggap sebagai satu-satunya solusi bagi masalah-masalah sosial (Yudi Latif.
2005: 307).
Rapat-rapat pendahuluan dilaksanakan di sebuah sekolah
Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta. Rapat tersebut menyepakati nama
80
organisasi adalah Jong Islamieten Bond (JIB, Sarekat P emuda Islam). Hal itu
terjadi pada akhir 1924. Walaupun secara de facto JIB berdiri di Yogyakarta, pada
31 Desember 1924, tetapi secara de jure JIB dinyatakan berdiri di Jakarta pada 1
Januari 1925 (Darmansyah, dkk. 2006: 9). P ada waktu itu H. O. S. Tjokroaminoto
juga ikut menghadiri pendirian JIB di Yogyakarta yang berlangsung dalam sebuah
ruangan deterangi cahaya lampu teplok. P endirian JIB ini mendapat restu dari H.
Agus Salim, K. H. Achmad Dahlan (Moh. Roem. 1977: 71). Keanggotaan JIB
tidak membatasi diri pada kedaerahan. Kesempatan mempelajari agama Islam
dibuka dalam organisasi ini karena menurut Sjam agama Islam adalah agama
mayoritas yang dianut oleh rakyat Indonesia pada masa itu (Mohamad Roem dan
Kustiniyati Mochtar. 1989: 98 dan 128).
Tokoh-tokoh Islam lain yang peranannya juga besar dalam mendorong
berdirinya JIB adalah Achmad Soerkati yang merupakan sahabat K. H. Achmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Sejumlah tokoh pemuda pergerakan nasional
seperti Agus Salim dan Kasman Singodimedjo juga kerap berdialog dengan
Achmad Soerkati mengenai berbagai masalah. Syekh Achmad juga menjadi guru
spiritual JIB, dimana para aktivisnya seperti Mohammad Natsir (mantan perdana
menteri), Mohammad Roem, dan lainnya sering belajar kepada beliau. Achmad
Soerkati sangat membenci penjajahan dan tidak mau umat Islam Indonesia
diperbudak oleh orang-orang Belanda serta berupaya mengubah kondisi itu
dengan menanamkan kesadaran pada segenap umat akan bahayanya penjajahan.
Sikap anti penjajahan diperlihatkan dengan memperjuangkan persamaan derajat
sesama manusia. P emerintah kolonial Belanda membedakan manusia berdasarkan
ras dan golongan. Menurut Achmad Soerkati, ”Mencapai kebebasan dari
penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah”. Ditegaskan bahwa setiap
manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan merdeka. Belanda bukan hanya
menjajah fisik namun juga menindas harkat dan jiwa bangsa Indonesia. Melalui
perhimpunan Al-Irsyad Achmad Soerkati memberikan kesempatan kepada
pemuda-pemuda pergerakan nasional untuk menggunakan fasilitas pendidikannya.
Mereka secara berkala mengikuti ceramah dan kursus agama yang diadakan di
gedung Al-Irsyad. Selain itu, Achmad Soerkati juga sering kali mengisi ceramah-
81
4. Sjamsoeddin
5. Soetan Pelindih
6. Kasman Singodimedjo
7. Mohammad Kusban
8. Soegeng
9. H. Hasim (Ridwan Saidi. 1990: 25).
Kampanye-kampanye perluasan organisasi kembali diadakan setelah
kepengurusan pusat terbentuk dengan jalan menugaskan beberapa pengurus untuk
memperluas pengaruh dan memberikan ceramah pada cabang-cabang yang baru
berdiri. Untusan-utusan tersebut terdiri dari Sjahboeddin Latief ke Yogyakarta dan
Madiun, Mohammad Koesban ke Solo, Kasman Singodimedjo ke P oerworedjo
dan Kutoredjo. Sementara itu Sjam bersama penasehat JIB, H. Agus Salim ke
Bandung untuk membentuk JIB di kota tersebut. Kampanye dan perluasan
tersebut berlangsung sampai dengan bulan Juni 1925. Sedangkan cabang
Surabaya dan Magelang berdiri pada bulan November 1925 atas inisiatif pelajar-
pelajar setempat yang selama ini melakukan kegiatan yang sejalan dengan tujuan
JIB (Ridwan Saidi. 1990: 25-26).
Pada tanggal 15 November 1925 di Gedung Lux Orientis dilangsungkan
pertemuan tokoh-tokoh organisasi pemuda untuk membentuk pengurus Kongres
Pemuda Pertama, pada saat itu JIB sedang melakukan konsolidasi dan belum
mempunyai pengurus yang difinitif. Yang menjadi penggagas pertemuan tersebut
adalah Mohammmad Tabrani, anggota Jong Java cabang Jakarta yang bekerja
sebagai wartawan Hindia Baro e pimpinan H. Agus Salim, penasehat JIB.
Pertemuan itu dihadiri oleh Mohammad Tabrani, Soemarto dan Soewarso (Jong
Java). Jong Sumatranen Bond diwakili oleh Bahder Djohan, Djamaluddin dan
Sanoesi Pane. JIB sangat antusias untuk mengikuti kegiatan tersebut, sayangnya
saat itu JIB belum mempunyai pengurus yang definitif pilihan kongres sehingga
tidak dapat mengirimkan wakilnya. Pertemuan di Gedung Lux Orientis tersebut
menghasilkan keputusan tentang waktu, tempat dan ketua kongres. Sebagai ketua
kongres pemuda pertama adalah Mohammad Tabrani. Untuk mensukseskan
kegiatan kongres, Tabrani mendatangi semua organisasi pemuda termasuk JI.
85
Tabrani menemui Wiwoho P urbohadidjojo, wakil ketua JIB dan mengundang JIB
untuk turut serta dalam pertemuan antar organisasi pemuda tersebut. Dimana
dalam pertemuan tersebut diharapkan dapat dibentuk wadah baru sebagai tempat
perkumpulan seluruh pemuda Indonesia. Bagi JIB ajakan tersebut tidak
memberatkan sama sekali (Darmansyah, dkk. 2006: 16).
Perkembangan JIB pada periode ini juga semakin pesat. Hal tersebut
dapat dilihat dari penyelenggaraan kongres dari tahun ke tahun secara teratur yang
diselenggarakan oleh JIB. Salah satu usaha konsolidasi organisasi adalah
penyempurnaan Anggaran Dasar/Anggaran dan Rumah Tangga (AD/ART)
melalui kongres yang diadakan berturut-turut di Yogyakarta (1925), Solo (1926),
Yogyakarta (1927), dan Bandung (1928). Keputusan kongres di Bandung
mengenai AD/ART dipertahankan sampai bubarnya JIB ketika tentara Jepang
masuk. Aktivitas JIB sendiri dari tahun ke tahun dapat diikuti melalui laporan
kongres yang telah dilaksanakan (Ridwan Saidi. 1990: 22).
Sebulan setelah pertemuan di Gedung Lux Orientis, JIB
menyelenggarakan kongres pertama. Berdasarkan keputusan rapat, kongres
dilaksanakan pada tanggal 25-27 Desember 1925 bertempat di Jayengprakosan,
Yogyakarta. Kongres dihadiri undangan yang mencapai 47 macam organisasi
pergerakan di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 17). Pada kongres pertama
tersebut JIB telah mempunyai anggota 1000 orang yang dibagi atas 7 cabang.
Cabang Jakarta dan Bandung mempunyai bagian gadis (A. K. Pringgodigdo.
1994: 121). Kongres juga dihadiri oleh H. O. S. Tjokroaminoto, Agus Salim dan
Surjopranoto dari Sarekat Islam turut menghadirinya. Selain itu juga hadir
Dwidjosewojo dari Budi Utomo dan Suwardi Suryaningrat, pendiri Taman Siswa.
Sementara itu, organisasi Muhammadiyah diwakili oleh H. Fachrudin (Cahyo
Budi Utomo. 1995: 125).
Pengurus pusat kemudian dipindahkan ke Yogyakarta setelah cabang
Bandung dibentuk pada bulan Juni 1925. Akibatnya banyak anggota pengurus
pusat yang tidak bisa ikut pindah, sehingga pengurus pusat mengalami perubahan
sebagai berikut:
86
Ketua : R. Sjamsoeridjal
Wakil Ketua : Wiwoho P urbohadidjojo
Sekretaris : dirangkap oleh tim ketua
Bendahara : P. Hadisuwignjo
Seksi Usaha : Muhammad Koesban
Anggota : 1. Sjahboeddin Latief
2. R. Kasman Singodimedjo
3. Soegeng
4. H. Hasjim
5. Puspo Soekardjo
6. Mohammad Sapari
Dengan berdirinya pengurus pusat di Yogyakarta, maka cabang Jakarta berdiri
dengan ketua Soetiono, mantan bendahara pengurus pusat sebelum pindah ke
Yogyakarta. Sampai saat itu cabang Jakarta adalah cabang terbesar dari segi
jumlah anggota, cabang ini senantiasa mendapat bimbingan dari H. Agus Salim
(Ridwan Saidi. 1990: 26).
Dalam kongres pertama tersebut juga disepakati tujuan dari organisasi
JIB sebagai berikut:
a. Mempelajari dan mendorong hidupnya kembali agama Islam;
b. Memupuk dan menumbuhkan simpati terhadap pemeluk agama Islam dan
pengikutnya di samping toleransi terhadap golongan lain;
c. Menyelenggarakan kursus-kursus agama Islam, darmawisata, olah raga dan
seni dengan menggunakan agama Islam sebagai alatnya;
d. Meningkatkan kemajuan jasmani dan rohani anggotanya dengan jalan
menahan diri dan sabar (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 35).
Sebagai organisasi yang memiliki tujuan-tujuan seperti di atas maka melalui
kongresnya yang pertama tersebut JIB lebih menekankan kegiatan-kegiatannya
pada studi Islam sebagai langkah utama untuk menaati peraturan-peraturan dan
ajaran-ajaran Islam (Iin Nur Insaniwati. 2002: 18).
87
pemuda yang mempunyai latar belakang Islam yang menempuh pendidikan Barat.
Kedua, JIB juga menjadi sebuah tempat yang mengajarkan nilai-nilai demokrasi
(Lukman Hakiem. 2008: 124).
Tujuan JIB didirikan adalah untuk memajukan pengetahuan tentang
Islam, hidup secara Islam dan persaudaraan secara Islam (Jan S. Aritonang. 2005:
181). Selain itu, pendirian JIB juga bertujuan untuk memperkuat persatuan di
kalangan pemuda muslimin. Keanggotaannya terbuka bagi para pemuda Islam
yang berumur antara 14-30 tahun. Walaupun ada pembatasan umur, organisasi
yang dibentuk itu tidak hanya terbatas bagi para pelajar saja, tetapi juga bagi
mereka yang sudah menyelesaikan sekolah. Secara formal organisasi ini tidak
bergerak dalam bidang politik, tetapi anggotanya yang telah berumur 18 tahun ke
atas diperbolehkan mengikuti kegiatan-kegiatan politik (Cahyo Budi Utomo.
1995: 124). Sedangkan tujuan JIB yang menyangkut masalah wanita yaitu JIB
harus memperhatikan pembinaan remaja putri dan kaum wanita umumnya di
lingkungan kaum intelek. JIB sangat menaruh perhatian pada persamaan hak dan
kewajiban di antara kaum laki-laki dengan wanita, sesuai dengan ajaran Islam.
Pandangan tentang wanita sangat ditekankan mengingat kondisi kaum wanita
pada saat itu (tahun duapuluhan) sangat direndahkan. Dikemudian hari aktivitas
JIB bagian putri dititik beratkan pada yang terakhir ini, melalui usaha-usaha
penyadaran dengan jalan kursus dan tablig. Sasaran utama mereka adalah
pencegahan pernikahan di bawah usia 14 tahun. Dikemukakan oleh Sjam bahwa
JIB akan mengebangkan organisasi putri sejalan dengan aktivitas anggota pria
(Ridwan Saidi. 1990: 22-23).
Disela-sela aktivitas JIB yang demikian pesatnya, di luar sedang
bergelora semangat kebangsaan dan suasana pergerakan politik ketika itu
mengarah pada persatuan bangsa. Sumbangan JIB dalam mendorong organisasi
pemuda agar bersatu, tidaklah sedikit. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya
bahwa lahirnya JIB telah menimbulkan kegelisahan di kalangan organisasi
pemuda kedaerahan, karena JIB mampu mempersatukan berbagai pemuda dari
semua lapisan dan asal kesukuan serta cabang-cabangnya telah dibuka di luar
Jawa, seperti Sumatra, Sulawesi dan kepulauan lainnya (Ridwan Saidi. 1990: 28).
91
Jong Ambo n, Jong Islamieten Bond dan PPP I mengemukakan beberapa pendapat.
Fusi ternyata lebih dikehendaki daripada badan kotak seperti yang diputuskan
dalam rapat 15 Agustus 1926. Badan kontak hanya akan mendekatkan para
pemimpin perkumpulan pemuda dan tidak organisasi secara keseluruhan
(Darmansyah, dkk. 2006: 21). Dengan diputuskannya cita-cita persatuan
Indonesia sebagai cita-cita bersama dan kemerdekaan Indonesia maka banyak
perkumpulan yang menentang JIB ikut serta dalam badan kontak karena JIB
dalam pergerakannya hanya dianggap berdasarkan agama.
Untuk memasyarakatkan gagasan persatuan di kalangan JIB maka pada
Kongres ke-3 JIB yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 23-27
Desember 1927, gagasan persatuan dibahas secara khusus. Dalam kongres JIB
menyatakan sikap akan tetap konsisten dalam perjuangan bangsa, tetapi JIB tetap
tidak akan fusi dengan organisasi pemuda lain yang tidak seasas (Islam) (Tim
Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 231).
JIB merupakan pendukung cita-cita persatuan Indonesia sehingga tidak
mengherankan jika JIB ikut mengirim utusan ke dalam panitia Kongres Pemuda II
di Jakarta pada Agustus 1928 (Ridwan Saidi. 1990: 5). Karena disadari betapa
pentingnya pelaksanaan Kongres Pemuda II, peserta pertemuan sepakat bahwa
pelaksanaan kongres akan diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928
(Darmansyah, dkk. 2006: 24). Johan Mohammad Tjaja sebagai wakil dari JIB
ikut menandatangani naskah Sumpah Pemuda yang dirumuskan pada tanggal 28
Oktober 1928. Di sinilah kelebihan JIB, karena JIB mampu memadukan
pemikiran Islam dan nasionalisme dalam satu bentuk yang sangat dinamis. Selain
melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan yang diadakan oleh
kelompok nasionalis, JIB juga aktif dalam berbagai wadah keislaman (Ridwan
Saidi. 1990: 5). Dalam kesempatan Kongres P emuda II tersebut Ma’mun Ar-
Rasjid dari JIB menyampaikan pidato pembukaan yang menyatakan akan
berusaha mempersatukan dan menumbuhkan cinta tanah air. Wakil JIB lainnya,
Emma P uradiredja menyatakan simpatinya terhadap kongres dan menganjurkan
kepada kaum wanita untuk turut aktif dalam pergerakan, tidak hanya bicara, tetapi
harus dengan perbuatan (Darmansyah, dkk. 2006: 28-29).
93
Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda dan organisasi pelajar yang lebih kuat,
PPP I di Hindia-Belanda. Para tokoh organisasi-oganisasi pemuda nasionalis
antara lain tokoh P NI, Mr. Sartono dan Sunario. Tokoh-tokoh organisasi tersebut
hanya berpandangan nasionalis Indonesia dan secara resmi netral terhadap Islam
atau bahkan memusuhi seperti para tokoh nasionalis P NI. Pemuda Indonesia pada
saat itu masih didominasi oleh orang Jawa dalam kepemimpinannya. Ideologi
yang menjadi landasan aksinya sangat khas Jawa (Darmansyah, dkk. 2006: 38).
Pergerakan JIB didasarkan atas unsur Muslim dan nasionalis Indonesia
namun atas dasar Islam. Dasar pandangan agama telah memberi kepastian prinsip
seperti P emuda Indonesia dengan ideologi nasionalisnya yang kuat. Karenanya
mereka sangat bertentangan dengan semboyan pada masa itu. Kenyataan bahwa
organisasi ini telah mempunyai pengurus untuk 5 tahun yang sama juga sangat
berguna bagi kepastian prinsip mereka. Meskipun kepemimpinan arah dikuasai
oleh orang Jawa (Wiwoho sebagai ketua, Sugeng sebagai sekretaris, Sjamsoeridjal
sebagai bendahara), suku lain (Minangkabau, Bengkulu) juga memainkan peranan
yang jauh lebih besar dalam organisasi JIB daripada yang terjadi dengan Pemuda
Indonesia. Adanya ikatan agama dalam JIB mengakibatkan ikatan persaudaraan
yang jauh lebih luas daripada perjuangan kesatuan nasional. Mungkin hal ini juga
pengaruh dari tokoh Minangkabau, Agus Salim, yang tampil sebagai penasihat
ikut membantu dalam hal ini (Darmansyah, dkk. 2006: 39).
Sikap JIB terhadap Indonesia Muda disesuaikan dengan pasal 2
Anggaran Dasar JIB pasal 2 b tentang maksud JIB,
Berdaya upaya, menerbitkan, mendidik dan memajukan perasaan
keislaman di antara anggota-anggotanya dan mengadakan dan
mengekalkan perasaan persaudaraan dengan pemeluknya, sambil
bersikap sabar, menurut faham Islam terhadap orang-orang yang
berkeyakinan lain (Het Licht. No. 1. Maret 1930: 3 dalam Darmansyah,
dkk. 2006: 39).
JIB hanya mendukung fusi atas dasar Islam, jiwa yang lunak dan setia
pada kongres serikat ini yang berhasil nampak di sini adalah pernyataan suka
dibandingkan sikap benci dari kaum nasionalis ekstrim. P enolakan dari kubu
nasionalis P NI dan setiap usaha JIB digunakan sebagai pembiakan bibit bagi
95
Sulawesi dan Bali. Kasman juga berhasil menetapkan status JIB Dames Afdeling
(JIBDA) yaitu JIB bagian wanita (Darmansyah, dkk. 2006: 68).
Tahun tiga puluhan JIB tetap menjauhkan diri dari panggung politik.
Berbeda dengan Indonesia Muda yang membiarkan dirinya terilhami politik
seperti PNI Baru dan Partindo (Darmansyah, dkk. 2006: 41). Meskipun demikian
JIB tetap bercita-cita untuk mencapai Indonesia merdeka dan memiliki jiwa
kebangsaan, terbukti dalam pidato yang diberikan dalam kongres ke-6 pada
tanggal 24-28 Desember 1930 di Jakarta yang berisikan tentang cinta tanah air
dan bangsa dalam Islam. Ceramah-ceramah lain dalam kongres tersebut adalah
tentang Islam dan kemajuan agama oleh H. Agus Salim. Usaha yang dipentingkan
adalah agar kaum intelek tetap memeluk agama Islam. Di dalam gerakan pemuda
Islam JIB sering menjadi organisasi penggerak (Tim Museum Sumpah Pemuda.
2006: 97).
Melihat kinerja Kasman yang berhasil meluaskan keanggotaan JIB,
maka pada kongres ke-7 di Madiun bulan Desember 1931, Kasman terpilih
kembali sebagai ketua JIB. Selama satu tahun kepengurusannya berbagai kegiatan
telah dilaksanakan sesuai dengan keputusan kongres, salah satunya adalah
pendirian sekolah-sekolah HIS di cabang-cabang JIB (Darmansyah, dkk. 2006:
69). Pada bulan Oktober 1931 JIB membangun sekolah HIS yang bertempat di
Tegal dan di bulan November tahun itu juga dibuka lagi sekolah HIS di Tanah
Tinggi, Batavia. JIB bahkan merencanakan membangun percetakan (Ridwan
Saidi. 1990: 31). Namun pada kongres tersebut Central Bestuu r (CB) NATIPIJ
berkeinginan untuk melepaskan diri dari JIB. NATIPIJ yang pada waktu itu
dipimpin oleh Mohammad Roem dan Azran sebagai sekretaris, mulai menyadari
bahwa JIB tidak lagi menaruh perhatian pada kegiatan pelajar, sehingga para
tokoh NATIP IJ tersebut berpendapat bahwa organisasi kepanduan sebaiknya
berdiri sendiri, lepas kaitannya dengan organisasi apapun (Ridwan Saidi. 1990:
33).
Pada tahun 1932 JIB memasuki masa keemasannya dengan jumlah
anggota mencapai 4.000 orang yang tersebar di 55 cabang. Hampir di seluruh
kepulauan yang tersebar di Indonesia bendera JIB berkibar, mulai dari Aceh
97
sampai Ambon. Dari segi jumlah anggota dan cabang JIB berhasil mengalahkan
Indo nesia Muda (IM). Indonesia Muda adalah organisasi yang dibentuk apada
tahun 1930, hasil dari peleburan organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Java,
Pemuda Sumatra, Pemuda Indonesia, Jong Celebes dan Sekar Rukun. Pada tahun
1932 Indonesia Muda mempunyai 25 cabang dan 17 cabang keputrian serta
jumlah anggota sebanyak 2.393 orang. Hal tersebut menunjukkan bahwa betapa
besar dan kuatnya pengaruh Jong Islamieten Bond di kalangan pemuda pelajar
Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 69-70).
Di balik kemajuan pesat yang dialami JIB, ternyata di dalam tubuh JIB
itu menyimpan bara api konflik. Tedapat pemikiran baru bagi sebagian kalangan
di JIB yang menganggap bahwa agama tidak dapat dijadikan sebagai sandaran
dalam mencapai cita-cita (politik, kemerdekaan). Selain itu juga munculnya rasa
ketidakpuasan karena JIB dianggap tidak tegas dan tidak menjalankan AD dan
ART. Hal yang semakin memperuncing permasalahan adalah hilangnya rasa
kebersamaan karena adanya persaingan yang tajam antara pengurus JIB dan
pengurus bawahannya untuk memperebutkan kedudukan dalam organisasi
(Darmansyah, dkk. 2006: 70).
Bibit-bibit perseteruan pun juga mulai muncul antara NATIPIJ dan JIB.
Dalam NATIPIJ, Mohammad Roem berperan sebagai salah satu pemimpinnya.
Kendati hubungan antara NATIP IJ dan JIB sangat erat, tetapi seiring dengan
berjalannya waktu, di antara keduanya terjadi perbedaan pendapat. JIB
menghendaki agar NATIP IJ tunduk terhadap JIB sebab NATIPIJ adalah bagian
dari JIB. Sementara itu, pada kongres ke-7 JIB di Malang, NATIPIJ berkeinginan
memisahkkan diri dari JIB. Mohammad Roem (ketua NATIP IJ) dan Azran
(Sekretaris NATIPIJ) memandang JIB sudah tidak mampu lagi membina
NATIP IJ, karena kepemimpinannya sudah mulai lemah (Iin Nur Insaniwati. 2002:
18-19). Mereka mulai menyadari bahwa JIB tidak lagi menaruh perhatian pada
kegiatan pelajar sehingga mereka berpendapat bahwa organisasi kepanduan
seyogyanya independent, terlepas kaitannya dari organisasi apapun (Ridwan
Saidi. 1990: 33). JIB mengemukakan alasannya dengan bersumber pada Anggaran
Dasar Jong Islamieten Bond (AD JIB) yang mengatakan bahwa NATIPIJ adalah
98
organisasi di bawah koordinasi dari JIB sehingga NATIPIJ harus tunduk kepada
segala aturan dari JIB. P ersoalan tuntutan NATIPIJ itu diselesaikan di dalam
kongres ke-7 JIB di Madiun (Darmansyah, dkk. 2006: 72).
Kongres ke-7 JIB menghasilkan keputusan NATIP IJ tidak boleh lepas
dari JIB. P eserta kongres menyatakan, ”Langkah-langkah yang ditempuh
pengurus NATIPIJ dalam menggalang dukungan dari cabang-cabangnya agar
NATIP IJ melepaskan diri dari JIB adalah tindakan tidak baik dan dapat memecah
belah organisasi”. Sebagian dari anggota kongres menuntut agar pengurus
NATIP IJ dipecat dari jabatannya. Namun, berdasarkan pertimbangan kebaikan
organisasi dan pengurus NATIPIJ adalah kader-kader JIB juga, maka kongres
akhirnya memutuskan untuk mema’afkan pengurus NATIP IJ dengan catatan tidak
akan mengadakan lagi kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi cabang-cabang
NATIP IJ agar lepas dari JIB. Namun di Jakarta, Mohammad Roem masih
mengadakan aksi mempengaruhi cabang-cabang NATIP IJ. Ternyata kegiatan
serupa dilakukan juga oleh pengurus NATIP IJ lainnya pada cabang-cabang yang
berada di bawah pengaruh masing-masing tokoh NATIP IJ tersebut (Darmansyah,
dkk. 2006: 72-73). P emikiran tersebut tidak dapat diterima oleh pemimpin JIB
yang pada waktu itu dipegang oleh Kasman Singodimedjo dan karena pimpinan
NATIP IJ bepegang keras pada pendirianya, maka pada tahun 1932 pimpinan JIB
memecat pengurus NATIP IJ, salah satunya Mohammad Roem (Iin Nur
Insaniwati. 2002: 19).
Konflik dalam tubuh JIB mengakibatkan pada kongres ke-8 bulan Juni
1933, Kasman secara formal menyangkal tuduhan terhadap Pengurus Besar JIB
yang dianggap tidak menjalankan AD dan ART organisasi. Sebagai wujud nyata
dari pembelaan itu, maka pada kongres terebut diputuskan untuk menghidupkan
Badan Studi Organisasi. Di dalam kongres itu pula para peserta dengan tegas
mendukung kebijaksanaan Kasman. Kepercayaan para peserta kongres itu
menempatkan Kasman kembali memimpin organisasi JIB untuk periode satu
tahun berikutnya (Darmansyah, dkk. 2006: 71). Setelah masalah NATIPIJ
dianggap selesai, bukan berarti konflik dalam tubuh JIB mereda. Kenyataannya,
Pengurus Besar JIB tetap kewalahan menangkal terpaan isu dan tuduhan serta
99
kritik apalagi setelah kongres ke-8 di Tegal, timbul rasa ketidakpuasan dari pihak-
pihak yang kalah dalam persaingan di kongres (Darmansyah. 2006: 73).
Keputusan untuk membentuk Badan Studi Organisasi bukan berarti
segala rongrongan dan tindakan oposisi terhadap kepemimpinan Kasman berakhir.
Namun figur seorang Kasman tetap dipercaya dan diterima di dalam organisasi.
Sehingga pada kongres ke-9 di Semarang bulan Oktober 1934, Kasman kembali
terpilih menjadi ketua umum JIB dan baru tergantikan pada kongres JIB ke-10
yang diselenggarakan di Malang, tahun 1935. Figur ketua umum JIB pengganti
Kasman adalah Nur Arifaini (Darmansyah, dkk. 2006: 71). Kasman Singodimedjo
yang terpilih pada Kongres ke-5 JIB pada tahun 1929 menggantikan Wiwoho
purbohadidjojo, menduduki jabatan ketua sampai kongres JIB ke-10 di Malang
pada tahun 1935 (Ridwan Saidi. 1990: 32).
Di tengah konflik dalam tubuh JIB yang masih membara muncul
tantangan dari luar organisasi dengan munculnya organisasi-organisasi saingan
JIB, seperti Studenten Islam Studieclub (SIS) yang berdiri pada bulan Desember
1934. SIS dipelopori oleh Jusuf Wibisono dan Mohammad Roem mantan tokoh
JIB yang dipecat. Adanya serangan yang bertubi-tubi membuat JIB tidak bisa
mencegah proses kemundurannya secara pelan-pelan. Apalagi setelah kedudukan
Pengurus Besar JIB dipindahkan ke Semarang, kota yang jauh dari pusat aktivitas
kalangan pergerakan pemuda pelajar. Dengan demikian, sejak tahun 1935 itulah
secara drastis organisasi JIB mulai menapaki masa surutnya (Darmansyah, dkk.
2006: 74).
secara fisik banyak di antara para anggota JIB yang sudah tidak dapat lagi
dikatakan sebagai pemuda dalam arti yang sebenarnya. Seperti diketahui bahwa
JIB adalah oganisasi pemuda yang beranggotakan pelajar sekolah menengah dan
mahasiswa. Klasifikasi keanggotaan yang demikian, menyulitkan pembatasan
umur secara kongrit. Di samping itu jumlah anggota JIB yang berasal dari
mahasiswa semakin surut dan JIB tidak lagi mengarahkan perhatiannya pada
kegiatan membina intelektual. JIB lebih terpengaruh pada semangat kebangsaan
yang sedang berkobar ditahun 30-an (Ridwan Saidi. 1990: 30-31). Selain itu
adanya kepemimpinan yang dipimpin oleh orang yang sama selama beberapa
periode kepemimpinan, lamanya pimpinan dalam satu tangan tidak saja
melemahkan sistem pengkaderan organisasi, tetapi juga menyebabkan pemikiran
pimpinan semakin mandeg. P ada tahun-tahun berikutnya perkembangan JIB
mengalami kemunduran yang ditandai dengan munculnya berbagai konflik intern
dengan NATIPIJ dari JIB, kemudian menyusul lahirya Studenten Islam Stu dieclub
(SIS).
Menyangkut masalah keanggotaan JIB, tidaklah mengherankan jika JIB
mendapat kritik dari berbagai kalangan yang menaruh perhatian pada pembinaan
pelajar dan mahasiswa. Kritik yang keras datang dari pencetus JIB itu sendiri
yakni Sjam dan kawan-kawannya, melalui majalah MUSTIKA yang terbit pada
tahun 1931. Sjam menulis artikel yang mengecam keras kepengurusan Kasman
Singodimedjo yang menurut pengamatannya menjadi sebab kemunduran JIB.
Kasman Singodimedjo yang terpilih pada Kongres ke-5 JIB pada tahun 1929
menggantikan Wiwoho purbohadidjojo, menduduki jabatan ketua sampai kongres
JIB ke-10 di Malang pada tahun 1935. Kasman yang lahir pada tanggal 25
Februari 1904, ketika meninggalkan kursi ketua pengurus pusat JIB telah berusia
31 tahun. Suatu usia yang cukup tua untuk memimpin organisasi pemuda pada
waktu itu, karena tokoh-tokoh organisasi pemuda pada saat itu rata-rata berumur
di bawah 30 tahun. Sebenarnya usia tersebut belum terlalu tua untuk ukuran
organisasi seperti HMI maupun PMII (Ridwan Saidi. 1990: 32). Kritik lainnya
datang dari pengurus NATIP IJ yang menganggap kebijakan Kasman dalam
pendirian sekolah HIS telah keluar dari rel organisasi. Atas nama pengurus
101
NATIP IJ, M. Azran dan Mohammad Roem berpendapat bahwa NATIPIJ sebagai
wadah bagi pelajar-pelajar yang belum dewasa merasa tidak cocok dengan sikap
JIB tersebut sehingga akan melepaskan diri dari organisasi JIB (Darmansyah, dkk.
2006 72).
Keterpurukan kondisi organisasi JIB yang telah terjadi pada masa
kepemimpinan Kasman Singodimedjo mendorong JIB harus segera mengadakan
pembenahan di segala bidangnya. Setelah tahun 1935, JIB berusaha bangkit
kembali. Pada saat kongres JIB ke-11 di Yogyakarta tahun 1938, Soenardjo
Mangoenpoespito ketua JIB pada saat itu melaporkan adanya penambahan jumlah
cabang, yang pada tahun 1935 tinggal 12 buah. P ada tahun 1941 menjadi tahun
terakhir keberadaan JIB, jumlah cabang JIB meningkat menjadi 20 cabang, 14
cabang National Islamitische Pad vind erij (NATIP IJ/Pandu Islam Nasional) dan 2
cabang Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (JIBDA/JIB bagian Keputrian).
Walaupun belum menyamai banyaknya cabang seperti pada masa keemasannya,
yaitu mencapai 55 cabang (Darmansyah, dkk. 2006: 74).
Untuk melakukan koreksi ke dalam, P engurus Besar JIB mengingatkan
kepada pengurus dan anggota JIB semua untuk melaksanakan keputusan kongres
ke-12 di P ekalongan pada bulan Oktober 1939. Keputusan kongres menurut
Pengurus Besar JIB, ”Ucapan kita sendiri yang harus dilakukan dengan baik”.
Berbagai usaha untuk mengembangkan kembali organisasi JIB dilakukan oleh
pengurus JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 76).
Figur kepemimpinan Kasman digantikan oleh M. Arifaini dan dalam
periode Arif, tempat kedudukan pengurus pusat yang pada periode Kasman
berkedudukan di Jakarta, dipindahkan ke Semarang dan terus di sana sampai
dengan masuknya tentara pendudukan Jepang di tahun 1942. P emindahan tempat
kedudukan pengurus pusat JIB dari Jakarta ke Semarang semakin memperlemah
posisi JIB (Ridwan Saidi. 1990: 32).
Di dalam sebuah konferensi tahunan yang diselenggarakan di Kediri
pada tahun 1940, ketua JIB Soenarjo Mangoenpoespito menggambarkan JIB
sedang giat kembali untuk memperbaiki dirinya dari kerusakan. Soenarjo
Mangoenpoespito menyatakan bahwa tahun depan merupakan tahun harapan bagi
102
Jong Islamieten Bond untuk meningkatkan kinerja organisasi yang lebih baik lagi
sehingga pada kongres JIB ke-13 yang rencananya akan diselenggarakan di
Bandung pada akhir tahun 1941 merupakan saat yang dinantikan terutama untuk
mengukur keberadaan organisasi Jong Islamieten Bond. Akan tetapi, di luar
dugaan pada akhir tahun 1941 di Hindia-Belanda memasuki masa perang
melawan Jepang. Tidak banyak keterangan yang dapat diperoleh tentang kegiatan
JIB pada masa perang itu. Majalah Het Licht hanya beredar sampai edisi bulan
Mei 1941 dan kongres ke-13 batal dilaksanakan, karena kondisi Hindia-Belanda
pada saat itu sangat gawat (Deliar Noer. 1990: 262).
Pada saat Belanda jatuh ke tangan Jerman, P emerintah Hindia-Belanda
pun terus bersikeras untuk tidak memberikan konsesi politik kepada tokoh-tokoh
nasionalis Indonesia. Hal itu berdampak ketika Jepang menyerbu Indonesia dalam
rangka usahanya untuk membangun imperium di Asia Timur dan Tenggara, pihak
nasionalis tidak bergerak untuk membantu pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Akibatnya pemerintah Hindia-Belanda berjuang untuk mempertahankan
pemerintahannya tanpa bantuan dari rakyat Indonesia. Dalam hitungan tiga bulan,
dimulai dari awal tahun 1942 hingga Maret 1942, seluruh wilayah Hindia-Belanda
secara resmi jatuh ke tangan Jepang. Tepatnya pada tanggal 8 Maret 1942
ditandatangani penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jenderal H. Ter Poorten,
Panglima Angkatan P erang Hindia-Belanda atas nama Angkatan P erang Serikat di
Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal
Hitoshi Immamura, maka berakhirlah pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia
(Darmansyah, dkk. 2006: 82).
Pendudukan Jepang yang dimulai pada bulan Januari 1942 merupakan
momen penempaan bagi penguatan nasionalisme Indonesia. Kemenangan mudah
Jepang terhadap Belanda menciptakan kesan yang luar biasa bagi orang-orang
Indonesia. Belanda telah kehilangan prestisenya dimata banyak orang Indonesia.
Jepang sendiri datang ke Indonesia dengan mencitrakan diri sebagai saudara tua
Asia dan pada awalnya, Jepang membangkitkan perasaan umum bahwa mereka
datang sebagai pembebas. Karena itulah, kedatangan mereka disambut secara
antusias. Kesan demikian diperkuat ketika Jepang dengan segera memperbolehkan
103
pengibaran bendera Merah-P utih dan dinyanyikannya lagu Indonesia Raya, yang
sebelumnya dilarang Belanda. Pihak Jepang juga menaikkan status bahasa
Indonesia untuk menggantikan bahasa Belanda dalam semua fungsinya (Yudi
Latif. 2005: 319).
Pihak Jepang dengan segera memenjarakan semua orang Belanda serta
banyak orang Indo maupun orang-orang Indonesia yang beragama Kristen yang
dianggap bersimpati pro-Belanda. Sementara untuk mengisi posisi-posisi
administratif dan teknisi level menengah dan atas yang telah ditinggalkan oleh
orang-orang Belanda dan Indo, pihak Jepang sangat bergantung pada intelegensia
fungsional Indonesia. Dengan tiba-tiba, hampir semua personel Indonesia
diberikan promosi dengan dinaikkan pangkatnya setidaknya satu bahkan dua atau
tiga tingkat dalam hierarki di tempat mereka bekerja. Sebagai hasilnya, para elite
fungsional Indonesia tersebut mengalami kenaikkan yang tinggi dalam status
sosial-ekonominya (Yudi Latif. 2005: 319-320).
Banyak pemimpin Islam di masa-masa setelah runtuhnya Hindia-
Belanda, terutama tokoh-tokoh Masyumi, merupakan hasil pembinaan JIB dan
mereka memberi sumbangan yang penting di dalam perjuangan bangsa dan
negerinya, seperti Muhammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem,
Burhanuddin Harahap dan lain-lain (Jan S. Aritonang. 2005: 182).
Bermaksud hendak menarik semua kekuatan utama anti-Belanda ke
pihak mereka, Jepang merasa bahwa usaha untuk memastikan dukungan dari
kalangan Muslim jauh lebih mendesak ketimbang harus memuaskan tuntutan-
tuntutan elite nasionalis. Di mata pemerintah pendudukan Jepang, baik golongan
priyayi maupun elite fungsional lainnya, tidak mudah terbebas dari stigma pernah
loyal kepada pemerintah kolonial sebelumnya. Lagi pula, berbeda dengan para
pemimpin nasionalis, yang pengaruh politiknya masih terbatas pada beberapa
pusat kota besar, keunggulan politik dari para pemimpin Muslim dari sudut
pandang Jepang sangatlah besar karena yang terakhir ini memiliki ratusan ribu,
bahkan jutaan pengikut. Selain itu, pihak Jepang mungkin telah memilih para
pemimpin Muslim sebagai elemen Timur yang barangkali paling bisa diandalkan
dari komunitas politik Indones ia (H. J. Benda. 1980: 108-110).
104
bangsa Indonesia untuk menghadapi kaum penjajah. Pada masa sekarang jangan
berharap akan mendapatkan bantuan dari negara-negara besar, Barat dan Timur,
karena mereka juga sama haus akan jajahan sendiri. Untuk Indonesia dasarnya
adalah Islam yang bisa dikumpulkan menjadi satu kekuatan besar. Setiap negeri
yang mempunyai koloni, seperti Inggris, Prancis, Spanyol, sangat takut terhadap
persatuan di bawah Al-Qur’an (Darmansyah, dkk. 2006: 54).
Pemikiran Salim tentang perjuangan untuk mencapai pemerintahan
sendiri atau memperoleh kemerdekaan. Menurutnya, kemerdekaan itu tergantung
kepada usaha rakyat Bumi P utra. Salim menolak pendapat yang statis yaitu
menunggu saja kemerdekaan yang akan diberikan oleh bangsa kolonial Belanda.
Bangsa yang hendak mencapai kemerdekaannya yang hendak menurut
kekuatan dan kecakapan akan berdiri sendiri, tak harus senantiasa
menadahkan tangan menantikan pemberian orang saja, melainkan harus
menggerakkan segala tenaganya dan berusaha dengan sekuat-kuatnya.
Sebelum kita membuktikan bahwa kita kuat dan pandai mengichtiarkan
segala keperluan kita sendiri, tidaklah layak kita beroleh kemerdekaan
akan berdiri sebagai bangsa sendiri (http://ahmadfath ulba ri.multiply.com
diakses tanggal 7 Agustus 2009).
diutamakan bagi pelajar-pelajar Islam yang lebih dewasa. Bagi Kasman organisasi
kepanduan itu diharapkan dapat menimbulkan perasaan persatuan di dalam diri
bangsa yang bersama-sama memeluk agama Islam dan sekaligus membangun
cinta kepada Allah dan agama-Nya (Darmansyah, dkk. 2006: 55).
Pada saat JIB membentuk kepanduan (NATIPIJ) yang menjadi ketua
umum pertamanya adalah Mohammad Roem. Rapat umum perdana NATIPIJ
diadakan pada tanggal 24 Desember 1929. Tuan Sjuaib, guru agama pada HIS di
Batavia memulai dengan membacakan Al-Qur’an dan membahas NATIPIJ.
Harapannya terhadap keberadaan NATIPIJ adalah:
a. Mendidik anggota sebagai Muslim yang taat sehingga bisa membawa
warganya menuju kesejahteraan yang lebih tinggi;
b. Memperbaiki kondisi sosial dan kesatuan antar-klas. Perkembangan bisa
berlangsung semakin jauh dari rakyat dan kita tidak bisa melangkah lebih jauh
tanpa kerjasama antara kelompok cendekiawan dengan rakyat. Ketakutan dari
kaum cendekiawan bahwa Islam akan berarti penolakan terhadap pendidikan,
dianggap tidak berdasar oleh pembicara. Sebaliknya, Islam mengajarkan
kemandirian;
c. Cintailah Islam dengan penuh penghormatan kepada agama lain seperti yang
dituntut oleh Islam. Pembaca berkata tidak bisa dibantahkan bahwa kita
apabila diserang harus menolak serangan itu juga harus membalasnya;
d. Lakukan sembahyang, puasa, dan lainnya juga oleh kalangan intelektual kita;
e. Perbaiki hubungan dengan kelompok lain di Indonesia atas dasar Islam
(Darmansyah, dkk. 2006: 56).
Berdasarkan pergerakan NATIPIJ di atas dapat disimpulkan bahwa
pergerakan NATIP IJ bukan hanya menggunakan Anggaran Dasar dan Rumah
Tangga (AD/ART) namun juga menggunakan Al-Qur’an sebagai pedomannya.
Dalam kesempatan kongres ini pula Mohammad Roem, ketua NATIPIJ
mengisahkan tentang tujuannya menuju kebaikan, mengajukan laporan tentang
NATIP IJ dan juga mengisahkan tentang banyaknya kebaikan dan kesulitan
keuangan yang besar dialami oleh NATPIJ. Sedangkan Tjaja berbicara tentang
Komisi Informasi Belajar. Bagi orangtua yang tidak terdidik secara Barat, sangat
109
sulit untuk menilai tentang pendidikan Barat bagi anak-anaknya yang telah
banyak menjauh. Namun ada kemungkinan untuk mendidik rakyat tanpa
membedakan orangtua. Komisi ini memberikan informasi tentang:
a. Pendidikan Barat di Hindia
b. Pendidikan Barat di Belanda
c. Pendidikan Timur di Hindia
d. Pendidikan agama, yakni berupa sekolah calon guru Muhammadiyah
e. Pendidikan Timur di luar Hindia
f. Biaya dan tempat tinggal (Darmansyah, dkk. 2006: 56).
Dalam perjalanannya, terbukti bahwa komisi ini belum banyak
melakukan tugasnya. Surowijono mengatakan bahwa hanya iman yang mampu
memberikan kekuatan batin. Kepanduan harus memberikan kesibukkan kepada
anak-anak yang sering nampak berkeliaran di jalanan kota”. Sedangkan Kasman
menyatakan, ”P enggunaan bahasa Belanda dalam JIB bertujuan untuk
menjangkau dan menarik kaum intelektual agar dekat dengan Islam, cara terbaik
menuju kesatuan Indonesia”. Organisasi kepanduan ini menjadi sarana penting
untuk mendidik para pemuda agar menjadi manusia yang mandiri dan bersifat
nasionalis dengan perasaan bagi persaudaraan internasional serta tidak bisa
bersifat nasionalis dengan kebencian namun harus dengan menghargai bangsa
lain. (Darmansyah, dkk. 2006: 58).
Dalam rapat tanggal 25 Desember 1928, pengurus pusat menyampaikan
bahwa NATIPIJ harus dirombak: harus ada kantor pedagogi, kantor tehnik,
redaksi dan tempat latihan. Komisi bagi urusan wanita akan membuka cabangnya
(Darmansyah, dkk. 2006: 59).
Hasrat bersatu bagi seluruh organisasi kepanduan Indonesia waktu itu
tampak mulai dengan terbentuknya Persauda raan Antara Pandu Indo nesia
(P API) yang merupakan federasi dari P andu Kebangsaan, INP O, SIAP, NATIPIJ,
dan PPS pada tanggal 23 Mei 1928. Namun federasi ini tidak bertahan lama,
karena pada tahun 1930 berdiri Kepan duan Bang sa Indon esia (KBI) yang dirintis
oleh para tokoh dari Jong Java Padvinders/Pandu Kebangsa an (JJP/PK), INPO
dan PP S (Jong Java Pavinderij/JJP); Pan du Kebangsaan (P K). Sementara itu
110
untuk menggalang umat dan mendidik mereka sejalan dengan tuntutan masa
dengan memasukkan berbagai mata pelajaran bukan agama ke dalam kurikulum.
Mereka berusaha menghapuskan segala macam tambahan yang melekat pada
ajaran Islam yang menurut mereka tidak sesuai dengan ajaran itu yang mereka
dasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Mereka mengimbau agar kembali kepada
ajaran-ajaran pokok dari Islam (Deliar Noer. 1987: 10).
Melihat kinerja Kasman yang berhasil meluaskan keanggotaan JIB,
maka pada kongres ke-7 di Madiun bulan Desember 1931, Kasman terpilih
kembali sebagai ketua JIB. Selama satu tahun kepengurusannya berbagai kegiatan
telah dilaksanakan sesuai dengan keputusan kongres, salah satunya adalah
pendirian sekolah-sekolah HIS di cabang-cabang JIB (Darmansyah, dkk. 2006:
69). Pada bulan Oktober 1931 JIB membangun sekolah HIS yang bertempat di
Tegal dan di bulan November tahun itu juga dibuka lagi sekolah HIS di Tanah
Tinggi, Batavia. JIB bahkan merencanakan membangun percetakan (Ridwan
Saidi. 1990: 31).
JIB juga mempunyai bagian penerangan pendidikan yang bernama
Centraal Commissie Studie Informatie Commissie (CCSIC) pada setiap
cabangnya. CCSIC ini bertugas memberikan penerangan tentang bidang
pendidikan dan pemondokan; memberikan bimbingan kepada orangtua dalam hal
memilih sekolah, menaksir biaya pendidikan, dan memberikan semacam
bimbingan karir. Selain terdapat ditiap-tiap cabang, CCSIC mempunyai
sekretariat pusat di Jalan Sabangan I No. 33, Weltevreden. Ketua CCSIC dijabat
oleh Johan Mohammad Tjaya (Darmansyah, dkk. 2006: 64).
BAB V
PENUTUP
A. Ke simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Mayoritas penduduk Hindia-Belanda beragama Islam. Karena kurangnya
pengetahuan yang tepat mengenai Islam, pemerintah Hindia-Belanda pada
mulanya tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung. Tetapi
kebijakan untuk tidak mencampuri Islam tidak konsisten karena tidak adanya
garis yang tegas. Tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dibenarkan
mencampuri masalah agama bahkan bila perlu demi kepentingan negara, para
ulama harus diawasi. Politik Islam pemerintah Hindia-Belanda berubah
setelah kedatangan Snouck Hurgronje tahun 1889. Pemerintah memberi
kebebasan dalam ibadah dan sosial kemasyarakatan selama tidak mengganggu
kekuasaan pemerintah Belanda. Tetapi dalam politik, pemerintah mencegah
setiap usaha yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan Pan Islam.
Pendidikan Barat digunakan untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan
pengaruh Islam di Indonesia, mengupayakan sekularisasi pendidikan dengan
menyingkirkan pelajaran agama di sekolah. Namun dipenghujung abad ke-19
generasi intelektual Muslim Indonesia lahir. Generasi intelektual Muslim
Indonesia tersebut umumnya pernah mengenyam pendidikan Barat sekaligus
mendalami agama Islam secara khusus dan kemudian mendirikan sekolah-
sekolah dengan meniru sistem dan cara dari sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah Belanda, tetapi semangat dan isi ajaran Islam tetap dipertahankan.
Dengan demikian kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda
menyangkut pendidikan menyebabkan tokoh-tokoh pribumi Islam
berpendidikan Barat semakin sadar akan kebangsaan dan keislamannya serta
bersemangat menentang penjajahan. Hal tersebutlah yang mendorong
didirikannya Jong Islamieten Bo nd (JIB).
112
113
3. Peranan Jong Islamieten Bond (JIB) sebagai bagian dari organisasi pemuda
Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942 antara lain:
a. Menggagas nasionalisme Indonesia. Islam dan kebangsaan atau cinta tanah
air harus berjalan bersama dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Yang menjadi harapan JIB adalah JIB dapat menjadi organisasi
yang mampu menjadi wadah persatuan pemuda Nusantara karena dasarnya
memberikan kemungkinan yang lebih luas dibandingkan dengan dasar
organisasi kedaerahan lainnya.
b. Nationale Indon esische Pad vind erij (NATIP IJ). Selain organisasi pemuda,
pilar penting dalam pergerakan pemuda adalah kepanduan. Para anggota
NATIP IJ aktif dalam setiap aktivitas yang berkaitan dengan pergerakan
pemuda. Dengan pendirian organisasi kepanduan tersebut diharapkan
dapat menimbulkan perasaan persatuan di dalam diri bangsa yang
bersama-sama memeluk agama Islam dan sekaligus membangun cinta
114
B. Implikasi
1. Teoritis
Adanya penerapan politik kolonial Belanda di Indonesia telah
menyebabkan rakyat Indonesia mengalami berbagai kemunduran dan
kesengsaraan di segala aspek kehidupan sehingga menggugah rakyat untuk
melakukan perlawanan agar dapat melepaskan diri dan merdeka dari belenggu
penjajahan bangsa Belanda. Karena mayoritas penduduk Hindia-Belanda pada
masa itu adalah beragama Islam maka bangsa kolonial mulai menerapkan
politiknya terhadap daerah jajahannya tersebut dengan berbagai kebijakan yang
dikenal dengan Politik Islam Hindia-Belanda yang dicetuskan oleh Snouck
Hurgronje pada tahun 1889. Hurgonje menilai bahwa musuh pemerintah Hindia-
Belanda bukanlah Islam sebagai agama tetapi Islam sebagai doktrin politik yang
berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan Belanda di Indonesia. Sehubungan
dengan politik tersebut, Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian,
yaitu ibadah, sosial dan kemasyarakatan dan politik. Dengan demikian pendidikan
Barat haruslah diberikan kepada orang-orang Indonesia yang jumlahnya semakin
besar. Pendidikan Barat adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan
115
2. Praktis
Penanaman semangat dan jiwa nasionalisme yang mengutamakan nilai-
nilai religius (dalam hal ini ajaran Islam) berusaha untuk mewujudkan persatuan
dan kesatuan serta menyebarkan sikap toleransi beragama untuk mewujudkan
kerukunan bersama di kalangan umat beragama. Hal tersebut seharusnya menjadi
usaha pada masa sekarang untuk mengembalikan dan menjaga kelestarian
kebangkitan nasional yang telah tumbuh dan semakin berkembang sejak
dicanangkannya politik etis oleh pemerintah Hindia-Belanda hingga terwujudnya
kemerdekaan Indonesia. Setelah masa pencapaian kemerdekaannya hingga
sekarang, Indonesia mengalami berbagai konflik diberbagai bidang kehidupan.
Adanya sikap primordialisme yang kemudian memunculkan keinginan untuk
melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia menandakan bahwa jiwa
dan semangat nasionalisme telah mengalami degradasi. Untuk merubahnya perlu
diambil langkah menghidupkan dan memperkokoh kembali kesepakatan bersama
dengan membangun kepekaan terhadap realitas sejarah dan merefleksikannya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai pertanggungjawaban pada
masa sekarang.
Implikasi secara praktis dari hasil penelitian ini dalam dunia pendidikan
adalah dapat membantu siswa untuk memahami tentang kehidupan pergerakan
para pemuda Indonesia di kancah pergerakan nasional bangsa Indonesia, pada
umumnya dan keikutsertaannya Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan
nasional pemuda Muslim Indonesia pada tahun 1925-1942 pada khususnya.
Dengan demikian siswa dapat memahami tentang keberadaan dan peranan para
pemuda Muslim, terutama yang tergabung dalam JIB yang sekarang
keberadaannya hanya tinggal simbol-simbolnya saja meskipun pergerakannya
sudah dimunculkan kembali lewat karangan-karangan historis yang dibukukan
oleh beberapa penulis yang berkompeten di dalamnya, baik para penulis yang
berasal dari bangsa Indonesia sendiri maupun dari luar negeri. Hal tersebut
117
C. Saran
Berdasarkan pembahasan dalam hasil penelitian di atas, maka saran yang
dapat diberikan oleh peneliti sebagai berikut:
1. Bagi Para Pembaca
Bagi para pembaca, terutama pendidik dan pelajar, penelitian ini
diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai keberadaan Jong Islamieten
Bon d (JIB) dalam pergerakan nasional pemuda Muslim Indonesia pada tahun
1925-1942. Selain itu, dalam perkembangan pendidikan sejarah, belum banyak
118
materi yang membahas tentang keberadaan JIB secara khusus sehingga dari
penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif materi pelajaran yang
disampaikan kepada siswa.
2. Bagi Para Peneliti
Bagi para peneliti, diharapkan ada yang tertarik untuk meneliti lebih jauh
mengenai keberadaan Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional
pemuda Muslim Indonesia pada tahun 1925-1942 dari berbagai sudut pandang
yang berbeda. Mengingat bahwa penelitian yang membahas mengenai pergerakan
JIB ini masih sedikit. Pada umumnya yang sering dibahas tentang keberadaan
organisasi-organisasi pergerakan nasional yang bukan berasaskan agama terutama
Islam sebagai dasar pergerakannya dan bidang-bidang pergerakan nasional
lainnya. Maka kepada para peneliti diharapkan untuk mengadakan penelitian
lanjutan agar ditemukan hal-hal yang lebih mendalam atau mendasar mengenai
keberadaan pergerakan JIB melalui suatu pendekatan yang sesuai dengan ilmu
pengetahuan yang ditekuni atau dikuasai oleh masing-masing peneliti, seperti
penelitian yang menyangkut JIB bagian wanita yaitu Jong Islamieten Bond Dames
Afdeeling (JIBDA), peranan JIB dalam menggagas kesetaraan antara wanita dan
pria, kiprah para tokoh-tokoh JIB setelah bubarnya JIB dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sumbe r Buku:
Al-Chaidar. 1999. Pemikiran Politik Prok lamator Negara Islam Indonesia S. M.
Kartosoewirjo : Fakta dan Da ta Sejarah Darul Islam. Jakarta: Darul
Falah.
Benda, H. J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Islam Di In don esia Masa
Pendud uk an Jepang. Bandung: Pustaka Jaya.
Cahyo Budi Utomo. 1995. Dina mika Pergerakan Keban gsaa n Indo nesia dari
Kebangk itan hing ga Indonesia Merdek a. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Darmansyah, dkk. 2006. Jong Islamieten Bon d. Perg erak an Pemuda Islam 1925 -
19 42 . Jakarta: Museum Sumpah Pemuda.
Deliar Noer. 1987. Partai Islam Di Pentas Nasion al. Jakarta: P T. P ustaka Utama
Grafiti.
119
120
Iin Nur Insaniwati. 2002. Moh ammad Roem: Karier Politik d an Perjuan gannya
(1924-1968). Magelang: Indonesia Tera.
Legge, J. D. 1993. Kaum Intelek tual dan Perjua nga n Kemerdek aa n. Jakarta:
Graffiti.
Moedjanto, G. 1988. Indo nesia Abad Ke-20 dari Keban gk itan Nasion al sampa i
Linggajati Jilid 1 . Yogyakarta: Kanisius.
Mohammad Natsir. 1980. Islam dan Kristen Di Indo nesia. Jakarta: Media
Dakwah.
Mohammad Roem. 1977. Bunga Rampai dari Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.
Mukayat. 1985. Ha ji Agu s Salim The Grand Old Man of Indon esia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim. 1984. Seratus Tahun
Ha ji Agus Salim. Jakarta: Sinar Harapan.
Ridwan Saidi. 1990. Cendek iawa n Islam Zaman Beland a: Studi Pergerak an
Intelek tua l JIB dan SIS (1925-1942). Jakarta: Yayasan P iranti Ilmu.
Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemik ira n dan Perk emban gan Historiografi
Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Sidi Gazalba. 1966. Pengantar Seja rah sebag ai IImu. Jakarta: Bhatara.
Sidi Mawardi. 2000. Bibit Perseteruan Nasionalis Islam vs Nasion alis Sekuler:
Pengalaman Jong Islamieten Bond 1 925-194 2. Yogyakarta: Sandi Kota.
123
Sills, David L. 1972. Internation al Encyclop edia of The Social Sciences Vo lume:
3. New York: The Macmillan Company And The Free Press.
Sularto, St. 2004. Haji Agu s Salim (188 4-19 54): Perang, Jihad dan Pluralisme.
Jakarta: Gramedia P ustaka Utama.
Van Dijk, C. 1995. Da rul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta: P ustaka Utama
Grafiti.
124
Van Niel, Robert . 1984. Munculnya Elit Modern Indo nesia. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Winarno Surakhmad. 1985. Penga ntar Penelitian Ilmiah: Da sar, Metode dan
Teknik . Bandung: Tarsito.
Yudi Latif. 2005. Inteligensia M uslim dan Kuasa: Genealogi Iteligensia Muslim
Indonesia Aba d Ke-20. Bandung: Mizan Media Utama.
Sumbe r Jurnal:
Ahmad Fathul Bari. 2007. ”Agus Salim”.
http://ahmadfathulbari.multiply.com/journa l/item/10 diakses tanggal 7
Agustus 2009.
Sumbe r Artikel:
http://id.wik ipedia.org/wiki/Sejarah _Gerakan_ Pramuka_Ind on esia diakses
tanggal 2 Januari 2010.
http://smansagaranten.sch.id/index.php?option=com_content&view=a rticle&id=
16 2&catid=93&Itemid=1 41 diakses tanggal 4 Agustus 2009.
http://www.radityaiswara.co.cc/2007/09/agus-salim-begawan-multi-talenta.html
diakses tanggal 7 Agustus 2009.
Sumbe r Majalah:
Deliar Noer. 1979. Agustus. ”Islam dan Politik Di Indo nesia”. Prisma No. 8
Tahun VIII. 3-7.
127
Lampiran 1:
128
129
Sumber: Het Licth. No. 9. November 1931: 287-291 dalam Darmansyah, dkk.
2006: 89-91.
130
Lampiran 2:
131
132
133
134
Sumber: Het Licth. No. 9. November 1931: 287-291 dalam Darmansyah, dkk.
2006: 92-96.
135
Lampiran 3:
Pidato Propaganda Pe rtama Sjamsoeridjal
te ntang ” Sikap, Keyakinan dan cita-cita JIB ” Di Weltevreden (Ja karta)
136
137
138
139
140
141
Sumber: Het Licht. No.1. Maret 1925 dalam Ridwan Saidi. 1990: 77-83
142
Lampiran 4:
143
144
145
146
Sumber: Tim Yayasan Gedung-gedung Bersejarah. 1974: 354-357 dan Het Licht.
Februari 1926 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 100-105.
147
Lampiran 5:
Su sunan Pengurus Be sa r JIB Tahun 193 1
Sumber: Het Licht. No. 1. Maret 1931: 32 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 113.
148
Lapiran 6:
Da ftar Ketua Umum Jong Isla miete n Bond
Lampiran 7:
Ga mbar/Foto Tokoh-to koh Jong Isla mieten Bond
Kasman Sin godimedjo, Ketua Umum Moh. Roe m, Ketua Umum NA TIPIJ
JIB (1929-1935) Sumber:
Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?q
http://www.google.co.id/imglanding?q =Moh _roem2 diakses tanggal 31 Mei
=Mr-KASMAN-SINGODIMEDJO 2010
diakses tanggal 31 Mei 2010
150
Lampiran 8:
Gamba r/Foto Pe rgeraka n Jo ng Islamieten Bond
Sumber: Sumber:
Ridwan Saidi. 1990: 4. Darmansyah, dkk. 2006: 60.
Sumber: Sumber:
Darmansyah, dkk. 2006: 19. Darmansyah, dkk. 2006: 25.
Sumber: Sumber:
Darmansyah, dkk. 2006: 22. Darmansyah, dkk. 2006: 44.
151
Lampiran 9:
Conto h Ma jalah Het Licht/Al-Nur Jo ng Islamieten Bond
Abstrak : politik etis sebagai suatu kebijakan baru yang diperjuangakan oleh
golongan liberal dan sosiol demokrat yang menginginkan adanya suatau keadilan
yang di peruntukan bagi Hindia-Belanda yang telah begitu banyak membantu dan
meningkatkan defisa dan kemakmuran bagi pemerintahan Belanda. Awal politik
etis di mulai ketika Ratu Wilhemina I diangkat sebagai ratu baru di Negeri
Belanda pada tahun 1898, di mana dalam pernyataannya ia mengungkapkan
bahwa pemerintahan Belanda berhutang moril kepada Hindia-Belanda dan akan
segera dilakukan policy mengenai kesejahteraan di Hindia-Belanda, yang
kemudian di buat tim penelitian untuk keadaan di Hindia-Belanda. Pernyataan
itulah yang kemudian di kenal dengan istilah politik etis.<!--[if
!supportFootnote s]-->[1]<!--[endif]-->meskipun makna dan sejarah istilah
tersebut tidak hanya sebatas atas kejadian tersebut, dan diantara tokoh-tokoh
pencetus politik etis adalah van Devebter, van Kol, dan yang paling terkenal
adalah Abendanon sebagai representasi dari politik etis.
Politik etis sebagai sebuah polltik balas budi atau politik kehormanatan<!--[if
!supportFootnote s]-->[2]<!--[endif]-->, namun juga tak lepas dari intirk-intrik
politik dan tujuan di dalamnya, hal yang awalnya balas budi atau politik
kehormatan ternyata tidak sejalan dengan apa yang di buat pada tujuan awal
politik tersebut. Terbukti dengan masih adanya suatu keinginan dan kepentingan
implisit dalam realisasinya, sebagai contoh adalah emigrasi (transmigrasi) yang di
buat sebagai pemerataan penduduk Jawa dan Madura untuk di pindahkan ke
daerah Sumatra Utara dan Selatan ternyata masih ada keinginan untuk mencari
keuntungan besar dari kebijakan tersebut seperti di bukanya perkebunan-
perkebunan baru yang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengelolanya
dan pengurangan jumlah kemiskinan di Jawa dan Madura, ini adalah sebagai
contoh dari realisasi politk etis tersebut.
Namun meskipun ada hal sifatnya keuntungan nemun tetap saja poltik etis
tersebut adalah fajar budi atau dalam bahasa Jerman adalah Aufklarung
(penceraahan) bagi bangsa Indonesia dimana fajar budi itu muncul terlihat sinar-
sinarnya dengan di buatnya sekolah-sekolah untuk penduduk pribumi, meskipun
sebagian besar adalah untuk kelas bangsawan saja namun untuk penduduk kelas
bawah pun terdapat pendidik meskipun sistem dan fasilitasnya kelas II. Namun
bukan masalah yang begitu pelik dalam hal ini karena dampak yang di timbulkan
do kemudian hari adalah politik boomerang bagi pemerintahan Belanda, karena
membuka pendidikan adalah mempersenjatai para penduduk pribumi yang lebih
berbahaya dan lebih mematika dari pistol ataupun meriam. Munculnya golongan
terdidik dan terpelajar di kemudian hari menjadi ancaman bagi pemerintahan
153
Belanda, lahirnya Budi Utomo, Sarikat Islam hingga penbentukan Volk sk raad
adalah respon dari stimulus yang diberikan oleh poltik etis ini dengan memajukan
pendidikan (Edukasi). Selain juga dua ranah lain yang di perbaharui yaitu
pengairan dan infrastruktur (Irigasi) dan transmigras i (Emigrasi).
Hal yang begitu menarik ketika membahas masalah politik etis ini mengingat
dampak yang timbulkanya dikemudian hari bagi bangsa Indonesia, terutama
dalam bidang kesejahteraan dan pendidikan dimana pembahasan mengenai
perkembangan masalah pendidikan akan dibahas dalam bab tersendiri dalam
makalah ini. Namun titik tolaknya tetap di mulai dari era politik konservatif
(1800-1848), kemudian berlanjut ke pada era culturstelsel (1830-1870), kemudian
ke era politik liberal (1850-1870) dan masuk pada era transisi dari politik liberal
masuk ke politik etis (1870-1900) dan terakhir adalah masa dimana politik etis itu
berlangsung kurang lebih 1900.<!--[if !supportFootnotes]-->[3 ]<!--[e ndif]-->
Pada awal sebelum dilakukannya politik etis keadaan sosial dan ekonomi di
Indonesia begitu buruk dan jauh dari kata sejahtera terutama untuk penduduk
pribumi yang buka dari kalangan bangsawan. P ergantian penguasaan dan
kebijakan bukan menjadikan bangsa Indonesia semakin membaik justru
sebaliknya setelah keluatnya VOC dari Indonesia 1799 dengan politik
ekspliotasinya hal itu berganti ke tangan Inggris di bawah Raffles yang semakin
tidak memperhatikan kesejahteraan bangsa Indonesia, ke beralih ke Deandles
dengan poltik kerja paksanya semakin membuat penduduk menderita, jumlah
penduduk yang melek huruf hanya 1% dari seluruh jumlah penduduk yang ada.
Pendidikan bukan menjadi semakin baik justru sebaliknya. Karena kesejahretaan
dapat di laksakan apabila jumlah orang yang melek hurif semakin banyak. Dari
bidang ekonomi tanah-tanah yang luas masih dikuasi oleh para tuan tanah yang
dimana rakyat biasa hanya sebagai penyewa dan pekerja saja. Karena politik yang
digunakan pada saat itu adalah politik konservatif dimana merkantilisme dan
eksploitasi merupakan hal yang begitu di pentingkan oleh pemerintah kolonial,
timbah pembayaran pajak dan sewa yang begitu besar yang semakin memberatkan
kehidupan masyarakat Indonesia. Namun setelah di berlakukanya politik liberal
1870 pola kesejahteraan berubah terutama untuk pemerintah Belanda di pasar
bebas dan politik pintu terbuka dilaksanakan yang berakibat pada surplus produksi
perkebunan seperti gula 2 kali lipat, seperti tahun 1870 produksi mencapai
152.595 ton dan pada tahun 1885 di Jawa saja produksi gula mencapai 380.346
155
ton, selain gula produksi tembakau dan teh pun mancapai surplus, namun hal ini
hanya untuk keuntungan pemerintah kolonial.
Suatu istilah dan konsep yang dipakai untuk mensejahterakan Bangsa jajahan
adalah politik etis, istilah ini awalnya hanya sebuah kritikan-kritikan dari para
kalangan liberal dan Sosial Demokrat terhadap politik kolonial yang di rasa tidak
adil dan menghilangkan unsur-unsur humanistik, golongan Sosial Demokrat yang
saat di wakili oleh van Kol, van Deventer dan Brooshooft adalah orang-orang
yang ingin memberadabkan bangsa Indonesia. Yang menjadi stimulus dari politik
etis adalah kritikan yang di buat oleh van Deventer dalam majalah De Gies yang
intinya mengkritik pemerintahan kolonial dan menyarankan agar dilakukan politik
kehormatan (hutang kekayaan) atas segala kekayaan yang telah diberikan oleh
bangsa Indonesia terhadap negera Belanda yang keuntungan menjadi 5 kali lipat
dari hutang yang mereka anggap di buat oleh bangsa Indonesia. Yang kemudian di
respon oleh Ratu Wilhemina dalam pengangkatanya sebagai Ratu baru Belanda
pada tahun 1898 dan mengeluarkan pernyataan bhawa Bangsa Belanda
mempunyai hutang moril dan perlu diberikan kesejahteraan bagi bangsa
Indoensia. <!--[if !supportFoo tnotes]-->[8]<!--[e ndif]--> selain dua faktor ini
juga terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan politik etis semakin genjar
dilakukan yaitu perubahan politik di Belanda yaitu dengan berkuasanya kalangan
liberal yang menginginkan dilakukanya sistem ekonomi bebas dan kapitalisme
dan mengusahakan agar pendidikan mulai di tingkatkan di Indonesia. Adanya
doktrin dari dua golongan yang berbeda semakin membuat kebijakan politik etis
ini agar segera dilaksnakan yiatu :
Itulah dua doktrin yang berkembang pada saat itu karena bagi mereka tujuan
terakhir politik kolonial seharusnya ialah meningkatkan kesejahteraan dan
perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi bukan eksploitasi
kolonial melainkan pertanggujawaban moral.<!--[if !supportFoo tnotes]-->[9]<!--
[e ndif]-->
Politik etis itu sendiri memiliki arti politik balas jasa, politik balas budi, politik
kehormatan ataupun hutang kekayaan mungkin intinya sama secara harfiah,
setelah tadi dijelaskan bahwa politik etis ini di kumandangkan oleh golongan
156
Sosial Demokrat yang didalangi oleh van Deventer yang menginginkan adanya
balas budi untuk bangsa Indonesia. Politik etis bertendensi pada desentralisasi
politik, kesejahteraan rakyat dan efisiensi. <!--[if !supportFootnote s]-->[10]<!--
[e ndif]-->Karena pada saat diberlakukanya politik etis tahun 1900 keadaan
politik, sosial dan ekonomi kacau balau, bidang ekonomi di guncang oleh
berjangkitnya hama pada tanaman terutama tebu, penyakit yang berkembang
kolera dan pes maka tak mengherankan Bangsa Eropa enggan datang ke Jawa
karena berkembangnya penyakit menular itu, sanitasi yang begitu buruk. Dalam
bidang sosial adalah jumlah masyarakat yang melek huruf hanya 1 % dari 99 %
penduduk yang ada di Indonesia dan adalah masalah, karena kekurangan tenaga
kerja yang perofesional dalam berbagai bidang dan birokrasi karena para pegawai
yang didatangkan dari Belanda enggan datang karena isu penyakit menular yang
ada di jawa, selain itu juga masalah kepadatan penduduk yang yang menjadi
masalah di Jawa dan Madura, dan ini perlu dilakukan penyelesaianya secara
segera. Bidang politik masalah yang berkembang saat itu adalah sentralisasi
politik yang kuat sehingga tidak ada pemisahan kekuasaan dan keungan antara
pemerintahan kolonial dan Bangsa Indonesia yang berdampak pada
ketidaksejahteraan pribumi.
Maka tak mengherankan jargon dan program yang dikumandangkan dalam politik
etis adalah dalam tiga bidang yaitu Irigate (pengairan dan infrastruktur) , Educate
(pendidikan) ,Emigrate (Transmigrasi) yang kesemuanya adalah program utama
mereka, namun dalam makalah ini yang akan lebih banyak di bahas adalah
menegai pendidikan karena hal tersebut merupakan suatu msalah yang menarik
karena akan menjadi politik boomerang dan era pencerahan bagi bangsa
Indonesia. Dan secara real memang bidang pendidikanlah yang begitu besar
perhatianya terbukti dengan munculnya tokoh, Snock Hurgronje, Abendanon, van
Heutz.
Merupakan program peningkatan mutu SDM dan pengurangan jumlah buta huruf
yang implikasi baiknya untuk pemerintah Belanda juga yiatu mendapatkan tenaga
keraja terdidik untuk birikrasinya namun dengan gaji yang murah, karena apabila
mendatangkan pekerja dari Eropa tentunya akan sangat mahal biayanya dengan
157
gaji yang mahal dan pemberian sarana dan prasarana, yang dikemdian akan di
buat sekolah dengan dua tingkatan yaitu sekolah kelas I untuk golongan
bangsawan dan tuan tanah dan sekolah kelas II untuk pribumi kelas menegah dan
biasa dengan mata pelajaran membaca, menulis, ilmu bumi, berhitung, sejarah dan
menggambar.
Merupakan program pemerataan penduduk Jawa dan Madura yang telah padat
dengan jumlah sekitar 14 juta jiwa tahun 1900, selain padat jumlah perkebunan
pun sudah begitu luas maka kawasan untuk pemukiman semakin sempit, maka hal
itu di buat dengan dibuatnya pemukiman di Sumatra Utara dan Selatan dimana di
buka perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak sekali pengelola
dan pegawainya. Untuk pemukiman Lampung adalah salah satu daerah yang
ditetapkan sebagai pusat transmigrasi dari Jawa dan Madura.<!--[if
!supportFootnote s]-->[11]<!--[e ndif]-->
Itulah program utama yang dilakukan dalam politik etis terlepas dari berhasil atau
tidak dan ada kepentingan lain atau tidak, namun dari ketiga program itu
pendidikan merupakan program prioritas karena kedua program lainya akan
berhasil dan di tunjang oleh pendidikan. Selanjutnya akan di jelaskan mengenai
damapk yang di timbulkan oleh politik etiis dengan 3 program utamanya.
Dampak yang di timbulkan oleh politik etis tentunyaa ada yang negatif dan positif
namun yang perlu kita ketahui adalah bahwa hampir semua program dan tujuan
awal dari politik etis banyak yang tak terlaksana dan mendapat hambatan. Namun
satu program yang berdampak positif dengan sifat jangka panjang bagi bangsa
Indonesia adalah bidang pendidikan yang akan mendatangkan golongan terpelajar
dan terdidik yang dikemudian hari akan membuat pemerintahan Belanda menjadi
terancam dengan munculnya Budi Utomu, Sarikat Islam dan berdirinya
Volk sraad. Adapun dampak-dampak yang terlihat nyata adalah dalam tiga bidang
:
Seperti yang telah di terangkan sebelumnya bahwa politik etis berdampak besar
pada bidang pendidikan, dimana pendidikan yang berkembang pada saat itu hanya
pendidikan yang siaftanya masih lokal dan konservatif (surau, langgra dan
pesantren) dimana mata pelajaran yang ajarkan adalah ilmu-ilmu agama saja dan
tidak mengajarkan pelajaran-pelajaran yang sifatnya umum.<!--[if
!supportFootnote s]-->[12]<!--[e ndif]--> Namun meskipun pendidikan adalah
bidang yang diutamakan namun tetap saja terdapat masalah dalam hal paradigma
pelaksanaanya hal itu terbukti dengan adanya dua sistem yang berbeda pada saat
itu :
Tujuan dari pendidikan yang bergaya elitis adalah menghasilkan pimpinan bagi
zaman pencerahan baru Belanda-Indonesia, sedangkan tujuan pendidikan bergaya
merakyat (grass root) adalah membrikan sumbangan langsung bagi kesejahteraan
rakyat.<!--[if !supportFootnote s]-->[13]<!--[e ndif]--> Namun permasalahan
yang di hadapai oleh kedua sistem ini adalah ketidakcukupan dana yang memdai
dan tidak menghasilkan sesuatu yang diinginkan dari tujuan awalnya.
Seperti yang telah di paparkan sebelumnya politik etis yang dijalankan oleh
pemerintah Belanda yang oleh Van Deventer dikonsepsikan dalam wujud irigasi,
edukasi dan emigrasi ini berdampak pada perubahan pola pikir masyarakat
pribumi. Salah satu yang terpenting adalah pada bidang pendidikan yang didirikan
oleh pemerintah Belanda, dimana dalam bidang ini yang awalnya pemerintah
Belanda bertujuan untuk membentuk masyarakat pribumi sebagai pegawai
pemerintah rendah yang memiliki loyalitas tinggi terhadap pemerintah ternyata
semakin lama malah bisa dibilang menjadi bumerang terhadap pemerintahan
belanda itu sendiri.
Sebelum politk etis di bentuk, yakni pada masa VOC memegang kendali atas
pemerintahan di Indonesia ternyata telah dikenal sistem pendidikan. Namun,
ternyata jauh sebelumnya yakni pada masa sebelum politik, di Indonesia telah
mengenal sistem pendidikan. Untuk itu sebelum kita masuk pada pembahasan
mengenai pendidikan masa penjajahan Belanda, kita perlu mengetahui pendidikan
sebelum masuknya penjajahan Belanda, yakni pada masa pemerintahan VOC.
Pada tahun 1602 Belanda mendirikan VOC badan usaha ini merupakan
persekutuan dagang Belanda yang merebut penjajahan Portugis di Nusantara
160
Timur dan menetap di tempat itu. Kemudian, di dalam rapat kapal – kapal
perdagangan VOC atau kompeni membawa pendeta – pendeta yang akan
menyebarkan agama Kristen P rotestan. Dengan kegiatan penyebaran agama ini,
selanjutnya berdirilah sekolah – sekolah. Adapun tujuan didirikannya sekolah -
sekolah tersebut yaitu sebagai upaya penyebaran Agama Kristen P rotestan. Materi
yang diajarkan, yaitu membaca alkitab, agama kristen, menyanyi, menulis dan
menghitung.
Sehubungan dengan VOC, Maluku yang merupakan pusat rempah – rempah dan
merupakan persekutuan dagang dengan Belanda maka mereka mendirikan sekolah
– sekolah dan gereja di Maluku dan Ambon. Namun, di Pulau Jawa tidak terdapat
sekolah – sekolah dan gereja dalam jumlah yang sangat banyak seperti yang
terdapat di Maluku. Pada tahun 1617, barulah didirikan sekolah yang pertama di
Jawa tepatnya di Batavia dengan nama De Batraviasche School. Sekolah ini
memiliki tujuan agar dapat menghasilkan tenaga – tenaga yang cakap dan kelak
dapat di pekerjakan pada pemerintahan, administrasi dan gereja<!--[if
!supportFootnote s]-->[15]<!--[e ndif]-->. P ara tenaga pengajarnya pun di
datangkan dari negeri Belanda dan siswanya terdiri dari anak – anak Belanda
Indo. Sekolah ini pun tidak di perbolehkan bagi orang bumi putera dan orang –
orang asing lain seperti orang Cina.
DAFTAR PUSTAKA
<!--[if !supportFootnotes]-->
<!--[endif]-->
<!--[if !supportFootnotes]-->[14]<!--[endif]-->
http://nurdayat.wordpress.com/2008/02/12/politik-etis-dan-kondisi-umum-
indonesia-pada-awal-abad-ke-20/ (hal.2)
AGUS SALIM
A. Latar Belakang
dan dia juga menyatakan bahwa Al-Quran harus dibaca berulang-ulang untuk
dapat mengerti isinya. Agus Salim mengungkapkan suatu pemahaman Islam
yang salah yang terjadi di Indonedia pada 1953 yang pada waktu itu sebagian
besar penduduknya hidup dalam sektor pertanian, saat itu sektor agama sangat
dikuasai oleh guru pengajar Islam di pondok-pondok pesantren dan surau yang
terpaku pada fikih, yang tidak mengalami perubahan berarti dan karena itu
tidak menampung perkembangan dinamika dunia. Menurut Salim dari situlah
muncul kecenderungan konservatif yang sulit menerima inovasi untuk
dipertautkan dengan pikiran keagamaan, yang akibatnya untuk dapat
membedakan apa yang dapat diterima atau tidak adalah dengan menolak semua
hal yang dibawa oleh pemikiran asing dan nir-islami.[3]
Agus Salim juga mengungkapkan pemikirannya mengenai ibadat, menurutnya
ibadat itu harus dilaksanakan dengan dorongan niat dan pelaksanaan yang
ikhlas, inilah yang terutama dipegang dalam melaksanakan ajaran Islam.
Pemikirannya yang menunjukkan perspektif yang progresif terlihat dari
perkataannya bahwa teks dari Al-Quran harus dimaknai secara kontekstual, dan
kita dapat melihat contohnya pada pemikiran Salim mengenai masalah jilbab
atau kerudung yang terdapat pada surat Al-Ahzab ayat (59), di sini Agus Salim
mengisyaratkan pemahaman yang lebih kontekstual dengan memperhitungkan
sebab turunnya (Azbabul-nuzul) ayat tersebut. Menurutnya anjuran pemakaian
jilbab bagi perempuan Muslim tersebut dalam konteks waktu itu dimaksudkan
untuk menugaskan identitas kulturalnya. Pandangan Islamnya juga muncul
dalam pidatonya yang keras tentang harem dan cadar, dia mengatakan saat itu
bahwa salah satu kecondongan adalah memisahkan laki-laki dan perempuan
dalam setiap rapat JIB. Kaum perempuan disembunyikan di belakang sebuah
tabir, yang menurutnya kebiasaan ini adalah kebiasaan bangsa Arab dan tidak
berasal dari perintah Islam. Karena itu juga Agus Salim menolak asosiasi tabir
dengan syahwat seperti yang diklaim oleh kalangan konservatif dan
fundamentalis. Salim berpendapat bahwa persoalan tabir itu mencerminkan
kepatutan sosial ketika berhubungan dengan para istri yang dipandang sebagai
ibu dari kaum Muslim. Inilah yang menyebabkan Salim berani membongkar
tabir dalam suatu rapat JIB.[4]
P andangan Agus Salim mengenai hubungan Islam dan negara belum dapat
ditemukan jawabannya dengan tuntas, namun tentang surat yang dikirimkan
kepada M. Roem tertanggal 13 Februari 1982, terdapat hipotesis tentang Salim
yang dituliskan oleh Syafi’i Maarif, yaitu :
1. Pertama, Salim dengan ketajaman intelektualnya telah mampu melihat
bahwa penciptaan suatu negara Islam di tengah-tengah rakyat yang lebih dari
90 persen mesih buta huruf tidak bakal berjalan baik. pondasi yang kukuh,
religio-intelektual, mutlak diperlukan untuk bangunan sebuah negara Islam
modern.
2. Kedua, barangkali Salim juga dalam satu segi dapat mengikuti jalan
pikiran pihak nasionalis bahwa sebuah deklarasi negara Islam pada saat-saat
kritis masa itu dapat memperlambat pencapaian kemerdekaan dan sebagian
kelompok minoritas yang dominan di bagian-bagian yang cukup strategis di
Tanah Air akan menarik diri dari negara yang bakal lahir.
169
1. Sarekat Islam
Memberi nuansa Islam yang k ental terhadap organisasi Sare kat Islam
Usahanya dimulai dengan merumuskan keterangan asas yang
merupakan arah dan tujuan dari organisasi SI pada kongres tahun 1919 yang
kemidian disyahkan pada kongres tahun 1921. Hal yang dilakukan salim
merupakan penegasan kembali terhadap keterangan asas yang telah lebih
dahula ada yang dibuat tahun 1917.
Menurutnya penegasan kembali terhadap keterangan asa pada organisasi SI
perlu sebab islam merupaakan alternative utama bagi masyarakat Hindia
Belanda untuk melakukan perubahan.
Sebab keterangan asas sebelumnya kurang menjelaskan posisi islam
yang lebih luas. Sebab pada keterangan asas terdahulu mengisyarata kan bahwa
sebaiknya pemerintahan atau Negara tidak dicampuri oleh masalah agama.
muslim yang tidak ingin terhanyut dalam pola kehidupan Barat akhirnya
mendirikan JIB.
Peran Agus Salim dalam Jong Islamieten Bond adalah dengan
memeberikan gagasan-gagasan tentang modernisasi Islam dan politik. Pengaruh
Salim sebagai seorang modernis dapat terlihat dalam beberapa tulisannya di
majalah Het Licht/An-nur (cahaya) yang diterbitkan oleh JIB. Kemudian JIB
muncul sebagai “pabrik” dengan intelek-intelek mudanya seperti: Mohammad
Roem, Mohammad Natsir, Kasman Singadimedjo dan AR Baswedan.
Agus Salim yang seorang nasionalis sejati, menyatakan pendapatnya
tentang organisasi ini dalam majalah Het Licht: didirikannya JIB merupakan
titik balik terhadap segala kehidupan itu, kita di sini dihadapkan dengan tekad
untuk berorientasi kepada sesuatu yang asli dari bangsa kita, dengan hasrat
mengagunggkan sesuatuyang asli dalam pandangan kita sendiri; tidak
mengagungkan segala apa yang berasal dari asing.
Pemikiran dan tindakan Hadji Agus Salim yang tegas dalam Jong
Islamieten Bond terlihat pada kongres JIB di Solo pada 1927. salim dengan
tegas “tidak ragu-ragu bertindak secara demonstratif dan menonjol,
membongkar hijab atau tabir yang memisahkan para hadirin wanita dari para
hadirin pria”. Menurutnya, pemisahan dengan menggunakan tabir adalah
pengucialn terhadap kaum wanita.
Daftar Pustaka
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam
dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:LP3ES, 1985
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, (cetakan ke 8)
1996, Jakarta;LP3ES
Drs. Suradi, HA Salim dan Konflik politik dalam Sarekat Islam, 1997, Jakarta:
Sinar Harapan
Taufik Abdullah, aswab mahasin, Daniel Dhakidae, manusia dalam Kemelut
Sejarah, jakarta:LP3ES, 1978
Solihin Salam, HA Salim, Hidup dan P erjuangannya, Jakarta, 1976
Depdikbud, Tokoh-Tokoh Pemik ir Pah am Kebangsaan : haji Agus Salim dan
Muhammad Husni Thamrin, Jakarta, 1995
Pnitia Buku P eringatan, Seratus tahun Haji Agus Salim, Jakarta: Sinar Harapan,
1996.
[1] DEPD IKBUD, Tokoh-tokoh pemikir paham k ebangsaan: Ha ji Agus Salim d an
Muh ammad Husni Tha mrin, Jakarta. 1995, hal 18
[2] Kompas.
[3] ibid
[4] ibid
[5] Islam dan masalah kenegaraan
[6] M r Mohammad Roem., 1954, Djedjak Langkah Hadji Agus Salim: Pikiran Karangan, Utjapan
dan Pendapat Beliau dari Dulu sampai Sekarang, Jakarta: Tinta Mas, hlm 18
[7] Ibid, hlm 35
[8] Suradi., 1997, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, hlm 68
by Anton Ploeg
Tussen Orientalisme en Wetenschap. Het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-
en Volkenkunde in Historisch Verband 1851-2001 [Between Orientalism and
Science. The Royal Institute of Linguistics and Anthropology in its Historic
Context 1851-2001]
By MAARTEN KUITENBROUWER
Leiden: KITLV P ress, 2001. P p. xi, 362. P hotos, Notes, Appendices, Index.
The Koninklijk Instituut or KITLV was founded in 1851 on the initiative of J. C.
Baud, then a former minister for colonies. Baud was a 'conservative' who wanted
colonial rule to directly benefit the state rather than private entrepreneurs. He
conceived of the KITLV as a way to promote scholarly inquiry about the
colonies with the aim of a 'just, enlightened, and benevolent government' (p. 31).
Accordingly, the KITLV was to become not an independent research institute,
but an integral part of the colonial establishment.
From the start the KITLV published a journal, Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde [Contributions to the Linguistics , Geography and Ethnology (of
the colonies)] -- BKI for short -- and occasional publications entitled Werken
[Works]. The BKI commemorated its 150th volume in 1994 -- volumes have not
always coincided with calendar years -- and the Werken have proliferated into a
number of series and, recently, occasional publications once again, such as the
one under review. Of the three disciplines mentioned in the Dutch name of the
institute, geography has received the least attention, due to the establishment of
the Royal Dutch Geographical Society in 1873. An impressive amount of work
was done in linguistics by both taalambtenare n, linguists employed by the
colonial administration, and missionaries. In addition, the KITLV has furthered
the study of disciplines such as archaeology, history and law.
An institute as influential for our understanding of Indonesia as the KITLV
deserves an analytical history, and this has been provided in this book marking
the 150th anniversary of the institution. Marteen Kuitenbrouwer, whose previous
work has focused on Dutch imperialism and the expansion of Dutch colonial
rule in the late nineteenth and early twentieth centuries, and with what he has
called 'The Discovery of the Third World' in the second half of the twentieth
century, is knowledgeable about the context in which the KITLV operated.
According to Kuitenbrouwer's account, the KITLV remained part of the colonial
establishment until 1942. From at least 1870 to 1966 it was housed in The
Hague, the centre of government. Its collections -- books, documents and
photographs -- grew in size and importance, thus facilitating research while also
providing an outlet for publication. Among the board members were prominent
politicians, colonial and metropolitan administrators and businessmen. For
180