Anda di halaman 1dari 197

PERGERAKAN NA SIONAL PEMUDA ISLAM

(Studi tentang Jong Islamie te n Bond 192 5-19 42 )

SKRIPSI

Ole h:
Agustina Dwi Pramuji Astuti
K 4406002

FAKULTAS KEGURUAN DA N ILMU PEND IDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURA KARTA
201 0
PERGERAKAN NASIONAL PEMUDA ISLAM
(Studi tentang Jong Islamie te n Bond 192 5-19 42 )

Ole h:
Agustina Dwi Pramuji Astuti
K 4406002

Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat me ndapatkan ge lar Sarjana
Program Studi Pendidik an Sejarah Jurusan Pe ndidikan
Ilmu Pengetahuan Sos ial

FAKULTAS KEGURUAN DA N ILMU PEND IDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURA KARTA
201 0

ii
iii
iv
ABSTRAK

Agustina Dwi P ramuji Astuti. K4 406002. PERGERAKAN


NASIONAL PEMUDA ISLAM (STUDI TENTANG JONG ISLAMIETEN
BOND 19 25-1942). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui latar belakang
berdirinya Jong Islamieten Bond, (2) Untuk mengetahui perkembangan Jong
Islamieten Bond dan (3) Untuk mengetahui peranan Jong Islamieten Bond sebagai
bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia
tahun 1925-1942.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode historis dengan
langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa sumber sekunder. Teknik pengumpulan
data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik
analisis historis dengan melakukan kritik ekstern dan intern.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Latar belakang
berdirinya Jong Islamieten Bon d (JIB) adalah adanya politik Islam Hindia-
Belanda, diskriminasi dan sekularisasi dalam bidang pendidikan terhadap
golongan Islam. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Hindia-
Belanda menyangkut masalah pendidikan telah menyebabkan tokoh-tokoh
pribumi Islam yang menikmati pendidikan Barat justru semakin sadar akan
kebangsaannya sekaligus keislamannya dan semakin bersemangat pula untuk
menentang penjajahan. Hal tersebut mendorong munculnya kaum intelektual
Muslim yang kemudian membentuk organisasi yang berasaskan Islam untuk
mewadahi pergerakannya, yaitu dengan mendirikan Jong Islamieten Bond. (2)
Jong Islamieten Bond didirikan pada tanggal 1 Januari 1925 atas prakarsa
Sjamsoeridjal dan didukung H. Agus Salim. P ergerakan Jong Islamieten Bond
didasarkan pada Islam dan nasionalisme Indonesia. Jong Islamieten Bond
berkembang menjadi suatu wadah untuk mendidik kaum muda Islam hingga
menjadi kader-kader yang mempunyai dasar keislaman yang kokoh dan Jong
Islamieten Bond menjadi suatu organisasi yang secara politik sangat penting
dalam pergerakan pemuda Islam dalam usaha untuk menumbangkan kekuasaan
bangsa Belanda di Indonesia. (3) P eranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian
dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun
1925-1942 antara lain (a) menggagas nasionalisme Indonesia, (b) mendirikan
Nationale Indonesische Padvinderij (NATIP IJ) dan (c) meningkatkan derajat
pendidikan.

v
ABSTRACT

Agustina Dwi Pramuji Astuti. K4 406002. THE NATIONAL


MOVEMENT OF ISLAM YOUTH (A STUDY AB OUT JONG
ISLAMIETEN B OND 1925-1942). Skripsi. Surakarta: Faculty of Teacher
Training and Education. Sebelas Maret University. July 2010.
The aims of this research are: (1) To identify the background of Jong
Islamieten Bond establishment, (2) To identify the development of Jong
Islamieten Bond and (3) To identify the role of Jong Islamieten Bond as the part
of Islamic youth organization in the field of national movement in 1925 to 1942.
This research was conducted by using the historical method through
heuristic, critical, interpretation and historiography steps. The source of data used
in this research was the secondary data. The technique of collecting data was done
by library study, while, the technique of analyzing data used in this research was
the historical analysis technique by doing internal and external critics.
Based on the result of this research, it can be concluded that: (1) The
background of Jong Islamieten Bond (JIB) establishment was signified by the
existence of Dutch East Indies Islamic politics, discrimination, and secularization
towards Muslim community in the education field. The policies taken by the
administrative capital of Du tch East Indies related to education matters had
caused many indigenous Muslim figures that enjoyed studying Western education,
in fact became more realized upon their religion and nationality as well and they
also became more enthusiastic to war against imperialism. That case encouraged
the emergence of intellectual Muslim groups that finally developed the Islamic
based organization to facilitate their movement through establishing Jong
Islamieten Bond (JIB). (2) Jong Islamieten Bond was established on 1st January
1925, initiated by Sjamsoeridjal and supported by H. Agus Salim. The movement
of Jong Islamieten Bond was based on Islam and Indonesian nationalism. Jong
Islamieten Bond developed into a place specialized for educating the young
Muslim generation to be the cadres of Islam that had strong basic of Islam. Jong
Islamieten Bond also became an organization which was politically very
important to the Islam youth movement in the efforts of falling down the
domination of Dutch in Indonesia. (3) The role of Jong Islamieten Bond as the
part of Islam youth organization in the field of movement in Indonesia from 1925
to 1942 are (a) initiating the Indonesian nationalism, (b) establishing the
Nationale Indonesische Padvinderij (NATIPIJ) and (c) increasing the quality of
education in Indonesia.

vi
MOTTO

Pelajaran d alam hid up itu ad alah hik mah, belajar dari sejarah.
"Sesuatu yang hilan g dari kaum muslim in adalah hikm ah,
ambillah d i mana pun ia berada"
(Sabda Rasulullah)

Agama Islam mendidik akal d an hati supay a jangan bergantun g kepada


keduniaan. Akan tetapi tidak dengan jalan m enjauhkan diri daripada ik htia r
dan usaha.. Agama Islam adalah pedoman dan pandu (penunjuk jalan) yang
sempurna bagi manusia un tuk kehidupann ya di dunia, supaya sia p ia
pada tia p-tiap waktu untuk menjalani jalan akhiratn ya
(Haji Agus Salim)

Kalau pemimpin -pem impin kita jatuh, kita tidak bo leh berdiam diri
berpan gku tangan . Kita harus meneruskan pekerjaan mereka.
Hanya satu o bat saja y ang dapat menyenangkan hati pem impin-pemimpin
yang menjadi korban pergerakan, yaitu melihat kawan-kawannya terus b ergerak
(Aktivis Pergerakan Nasional)

Setiap apa yang kita lakukan (baik/ buruk) pasti ada balasan nya..
Allah yang paling berhak m emberi balasannya. Dan terkadan g balasann ya
lebih d ari apa yang kita lakukan sekarang. Serahkan semuanya kepada Allah
karena D ia -lah yang Maha Adil d an Maha Bijaksana.
Balasan -N ya itu pasti d atan g; cepat/ lambat, di dunia/akherat.
Dan kesabaran, keikhlasan, ketawakkalan serta keistiqomahanlah y ang menjadi
kun ci terbaik un tuk menghad api suatu ujia n hidup dari-Nya
(Teen’S)

vii
PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur atas rahmat ALLAH SWT,


karya ini penulis persembahka n kepada:
Bapak dan Ib u tercinta atas semua do ’a, perhatian, kasih-sayang, bimbingan
da n dukungannya selama ini
Mbak Novita dan Mas Wir: Dedek Azzam
Sa habat-sahabatku
Seseorang yang kelak menjadi ”Imam”-ku (baik dunia-akherat menurut-Nya
untuk ku. Amin)
Almamater

viii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat
diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana
pendidikan.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk
bantuannya, disampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
ijin penyusunan skripsi.
2. Drs. Saiful Bachri, M. P d., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu P engetahuan
Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah menyetujui permohonan ijin penyusunan skripsi.
3. Drs. Djono, M.P d., Ketua P rogram P endidikan Sejarah Jurusan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin demi kelancaran
penyusunan skripsi.
4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah
memberikan motivasi, bimbingan dan saran yang membangun kepada penulis.
5. Drs. Djono, M.P d., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan
motivasi, bimbingan dan saran yang membangun kepada penulis.
6. Bapak dan Ibu Dosen P rogram P endidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis
selama ini.
7. Teman-teman di P rodi Sejarah Angkatan 2006, keluarga besar; P erpus
09
Sejarah, P PL Diponegoro’ , P erbuner’S serta semua sahabat-sahabatku di
Solo, terima kasih atas semua bantuan, doa dan dukungannya.

ix
8. Keluarga besar di Ngawi dan teman-teman; Mayapada khususnya angkatan V,
Armadha, Leorsa, Winny, Mbak Lina serta semua sahabat-sahabatku di
Ngawi, terima kasih atas semua doa dan dukungannya selama ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas amal baik semua pihak yang telah
membantu di dalam penyelesaian skrispsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan, tetapi diharapkan penulisan
skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan mahasiswa
Program Pendidikan Sejarah, khususnya.

Surakarta, Juli 2010

Agustina Dwi Pramuji Astuti

x
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL .................…………………………………………………........... i
PENGAJUAN SKRIPSI ..…………………………………………........... ii
PERSETUJUAN .....................………………………………………….... iii
PENGESAHAN ….....................………………………………………..... iv
ABSTRAK …….....................……………………………………………. v
MOTTO .....................…………………………………………………….. vii
PERSEMBAHA N ....................…………………………………………... viii
KATA PENGANTAR ………………………………………………….... ix
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. xi
DAFTAR LAMPIRA N ………………………………………………….. xiii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………... 1
B. Perumusan Masalah ………………………………….. 16
C. Tujuan Penelitian …………………………………….. 16
D. Manfaat Penelitian …………………………………… 17
BAB II KAJIAN TEORI …………………………………………. 18
A. Tinjauan P ustaka ……………………………………... 18
1. Kolonialisme ……………………………………... 18
2. Politik Islam Hindia-Belanda …………………….. 21
3. Elite Modern ............................................................ 25
4. Pergerakan Nasional ................................................ 30
B. Kerangka Berpikir ……………………………………. 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………………………….. 40
A. Tempat dan Waktu P enelitian ………………………... 40
B. Metode Penelitian …………………………………….. 40
C. Sumber Data ………………………………………….. 42
D. Teknik Pengumpulan Data …………………………… 43
E. Teknik Analisis Data …………………………………. 45

xi
F. Prosedur P enelitian …………………………………… 46
BAB IV HASIL P ENELITIAN ……………………………………. 52
A. Latar Belakang Berdirinya Jong Islamieten Bond ……. 52
1. Politik Islam Hindia Belanda .................................... 52
2. Munculnya Kaum Intelektual Islam .......................... 65
3. Peranan Raden Sjamsoeridjal Dalam Kelahiran
Jong Islamieten Bond ............................................... 76
B. Pekembangan Jong Islamieten Bond .............................. 81
1. Masa Awal Pergerakan Jong Islamieten Bond ......... 81
2. Masa P erkembangan Pergerakan Jong Islamieten
Bond .......................................................................... 95
3. Masa Akhir Pergerakan Jong Islamieten Bond ........ 99
C. Peranan Jong Islamieten Bond sebagai Bagian dari
Organisasi Pemuda Islam Di Kancah Pergerakan
Nasional Indonesia Tahun 1925-1942 .……………….. 104
1. Menggagas Nasionalisme Indonesia ........................ 104
2. Nationale Indones ische Padvinderij (NATIP IJ) ...... 107
3. Meningkatkan Derajat P endidikan ........................... 110
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN ………………….. 112
A. Kesimpulan …………………………………………… 112
B. Implikasi ………………………………………………. 114
C. Saran ………………………………………………….. 117
DAFTAR P USTAKA …………………………………………………….. 119
LAMPIRAN ………………………………………………………………. 125

xii
DAFTAR LAMPIRAN

1. Anggaran Dasar Jong Islamieten Bond ……………………………… 127


2. Anggaran Rumah Tangga Jong Islamieten Bond ................................. 130
3. Pidato P ropaganda P ertama Sjamsoeridjal tentang ”Sik ap,
Keyak inan d an cita-cita JIB” Di Weltevreden (Jakarta) ....………….. 135
4. Pidato Sjamsoeridjal Pada Kongres Pertama Jong Islamieten Bond
Tanggal 25 Desember 1925 Di Yogyakarta ………………………… 142
5. Susunan P engurus Besar JIB Tahun 1931 ............................................ 147
6. Daftar Ketua Umum Jong Islamieten Bond ......................................... 148
7. Gambar/Foto Tokoh-tokoh Jong Islamieten Bond ............................... 159
8. Gambar/Foto Pergerakan Jong Islamieten Bond .................................. 150
9. Contoh Majalah Het Licht/Al-Nur ........................................................ 151
10. Jurnal..................................................................................................... 152
11. Surat Keputusan Dekan FKIP .............................................................. 183
12. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ........................................... 184

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Be lak ang Masalah


Kelemahan kerajaan-kerajaan di Indonesia menyebabkan tertanamnya
kekuasaan asing VOC. Keruntuhan VOC dan kekalutan di bidang keuangan
mendorong dilaksanakannya cultuur stelsel. Sistem ini di satu pihak
mendatangkan kesengsaraan bagi bangsa Indonesia tetapi di lain pihak membawa
keuntungan besar bagi Belanda, sehingga kelas menengah Belanda bisa bangkit
kembali. Hal ini menyebabkan liberalisme unggul di Nederland. Cultuur stelsel
dihapuskan dan diganti dengan usaha bebas (corporate system). Modal swasta
mengalir, banyak perusahaan perkebunan, pertambangan dan transport serta bank-
bank berdiri. Untuk menjamin kelangsungan perusahaan-perusahaan, daerah-
daerah perlu disatukan dan diamankan (G. Moedjanto. 1988: 27).
Keputusan pemerintah Belanda kembali menerapkan sistem perkebunan
dengan tanam paksa (cultuu r stelsel) bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
yang lebih banyak guna menutupi biaya perang yang luar biasa di Jawa dan
perang dengan Belgia. Sistem ini mengenakan pajak pada tanaman tertentu dan
sebagian dari hasilnya diolah oleh orang Indonesia di bawah pengawasan-
pengawasan administratur-administratur Belanda sendiri dan di bawah penilikan
yang sangat ketat dari pegawai-pegawai Eropa. Hasil bumi dari sistem yang
diawasi ini harus diserahkan kepada pemerintah sebagai ganti pajak dalam bentuk
uang (Robert Van Niel. 1994: 17). Cultuur stelsel yang diperkenalkan oleh Van
den Bosch pada dasarnya memaksa rakyat untuk membayar pajak dengan hasil
tanaman kepada pemerintah Belanda (Nico Thamiend R dan M. P . B. Manus.
2004: 30). Sistem perkebunan yang dilaksanakan di pulau Jawa, Menado dan
Sumatra Barat dalam prakteknya telah menyengsarakan rakyat pribumi. Selain itu,
adanya sistem rodi (kerja paksa tanpa dibayar) ditambah korupsi pegawai
kumpeni pada waktu itu yang turut menghisap rakyat, pajak tanah dan pemerasan-
pemerasan lain terhadap rakyat Indonesia maka mulai muncul kelaparan di
berbagai daerah dan rakyat yang sudah miskin menjadi lebih miskin lagi.

1
2

Pelaksanaan sistem ini hanya menguntungkan pihak kolonial Belanda dan rakyat
Indonesia hanya mendapatkan kesengsaraannya (Tim Museum Sumpah Pemuda.
2006: 6-8).
Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan cultuur stelsel
tidak terlalu memberatkan rakyat bahkan Van den Bosch sendiri mengatakan
apabila seseorang mau menggantikan kewajiban pembayaran pajaknya dengan
bekerja selama 66 hari dalam setahun, maka kewajiban membayar pajak dianggap
lunas. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem tersebut mengandung banyak
penyimpangan yang sangat memberatkan rakyat. Di antara penyimpangan-
penyimpangan itu misalnya luas tanah yang telah ditentukan dalam peraturan
yaitu seperlima dapat dilebihkan hingga sepertiga, seperdua, bahkan tidak jarang
seluruh desa tanahnya digunakan untuk menanam tanaman ekspor. Kegagalan
panen juga sering dibebankan kepada rakyat. Kelebihan hasil panen yang
seharusnya dibayarkan kembali kepada rakyat, ternyata bohong belaka. P ekerjaan
di pabrik-pabrik gula ternyata jauh lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan di
sawah. Banyak penduduk desa yang dikerahkan untuk kerja paksa di pabrik-
pabrik, jalan-jalan raya, pembangunan jembatan, tanpa bayaran sedikit pun.
Akibat langsung dari pelaksanaan cultuur stelsel ini antara lain kemiskinan dan
kelaparan yang melanda beberapa daerah di pulau Jawa, seperti Cirebon, Demak,
dan Grobogan. Di daerah-daerah ini ribuan orang mati karena kelaparan (Nico
Thamiend R dan M. P . B. Manus. 2004: 31).
Pada masa pemerintahan Letnan Gubernur Jendral Raffles, Indonesia
mengalami sistem politik liberal untuk pertama kalinya. Raffles memperkenalkan
sistem pemerintahan liberal yang mengusahakan adanya kepastian hukum dan
kebebasan di bidang ekonomi serta berusaha menghilangkan rodi dan mengganti
penyerahan wajib hasil bumi dengan sistem sewa tanah (lan d-rent). Di samping
itu Raffles juga berusaha untuk mengganti sistem pemerintahan tidak langsung
dengan sistem pemerintahan langsung agar pemerintah Eropa dapat langsung
memerintah rakyat pribumi (Suhartoyo Hardjosatoto. 1980: 87-88).
Kaum liberal menentang dengan keras eksploitasi yang dijalankan oleh
pemerintah Belanda dan ingin menggantinya dengan inisiatif swasta. Untuk itu
3

kondisi ekonomi perlu diciptakan, yaitu dengan memberikan kebebasan bekerja


dan menggunakan tanah. Dengan dibukanya daerah jajahan sesudah tahun 1870
untuk perusahaan swasta, maka semakin banyak modal yang ditanam dan
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada kaum modal, baik untuk
berusaha maupun berdagang. Kaum borjuis liberal menjadi tulang punggung
kapitalisme kolonial dan berpegang teguh pada sistem kebebasan berusaha tanpa
campur tangan pihak pemerintah (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened
Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1975: 17). Sehingga sejak tahun 1870-an
sampai tahun 1900-an pengusaha swasta mulai mengadu keuntungan di pulau
Jawa untuk mendapatkan kemakmuran yang besar dari usahanya tersebut.
Kebanyakan perusahaan di pulau Jawa tersebut dimiliki atau diurus oleh kesatuan
korporasi dan bank-bank di Eropa (Robert Van Niel. 1994: 18). Tetapi kondisi
tersebut semakin memperburuk tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Karena
kemakmuran dari keuntungan tersebut telah dikuasai para pengusaha kolonial dan
rakyat Indonesia hanya dieksploitas i tanpa diperhatikan kesejahteraannya.
Keprihatinan pun muncul atas menurunnya tingkat kesejahteraan orang
Jawa, baik di kalangan orang-orang yang menekankan kemanusiaan maupun demi
kepentingan keuangan. Keprihatinan itu muncul disebabkan oleh ketidak
sanggupan untuk memperbaiki ketidakadilan sosial-ekonomi dan yang terakhir,
karena semakin bertambahnya kepentingan akan barang-barang konsumtif yang
dihasilkan. Dengan ini dimulailah serangkaian tulisan yang menentang ekonomi
liberal dan kekuasaan kolonial yang sedang berjalan dan mencapai titik
puncaknya dengan munculnya tulisan C. T. van Deventer yang terkenal dengan
“Hutang-Budi”. Tulisan ini menghimbau pemerintah Belanda untuk membuat
perhitungan keuangan bagi tanah jajahan yang berkekurangan itu sebagai bagian
ganti rugi akan laba yang sudah dikeruk dari Jawa melalui sistem tanam paksa itu.
Sejak tahun 1974 negarawan konservatif (Partai Anti-Revolusioner), A. Kuyper,
berbicara tentang kapitalisme yang berperikemanusiaan di Staten General yang
ingin membayar hutang-budi kepada penduduk Hindia-Timur. Dorongan akan
orientasi baru yang sedang tumbuh dalam politik tidak hanya di tanah air, tetapi
juga di kalangan orang Eropa dalam masyarakat Hindia-Timur (Robert Van Niel.
4

1994: 19-21). Dengan demikian liberalisme menghendaki dihapuskannya cultuure


stelsel. Bagi kaum liberal ini adalah suatu prinsip. Selain golongan liberal terdapat
juga golongan humanis yang juga menghendaki dihapuskannya cultuur stelsel.
Para golongan liberal dan humanis tersebut melihat betapa menyedihkannya
kehidupan rakyat Indonesia akibat diterapkannya cultur stelsel, di antaranya
Baron van Hoevel, yang membela rakyat Indonesia dengan pidato-pidatonya di
depan DPR Nederland. Berkat perjuangan golongan liberal dan golongan
humanis, sedikit demi sedikit cultuur stelsel dihapuskan (G. Moedjanto: 19).
Dalam perkembangan selanjutnya muncul reaksi terhadap pelaksanaan
sistem tanam paksa, baik dilakukan di dalam parlemen maupun di luar parlemen
dalam bentuk berbagai tulisan. Di antara para pengecam tersebut adalah de Wall,
van Dedem, van Kol, van den Berg, Schaepman, Bool, van Nunen, van Deventer
dan Douwes Dekker. Penentang sistem tanam paksa sebenarnya tidak hanya
terdiri dari golongan pemilik modal saja, tetapi juga dilakukan oleh siapa saja
yang mengetahui dan mendengar penderitaan petani Indonesia sehingga merasa
iba. Golongan yang terakhir ini antara lain ialah Vitales, Bosch, dan van Hoevell
(Suhartoyo Hardjosatoto. 1980: 90-91).
Politik Etis atau balas budi merupakan sebuah haluan politik yang di
jalankan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1900-1942. Politik itu
didasarkan pada pertimbangan bahwa negara Belanda telah banyak berhutang
budi kepada rakyat Indonesia (pribumi) selama berabad-abad. Hal itu disebabkan
sejak zaman VOC hingga masa kolonial liberal sebagian besar kekayaan bangsa
Indonesia dikeruk dan dibawa ke negara Belanda. Dengan demikian, yang banyak
menikmati keuntungan hasil bumi dan jerih payah bangsa Indonesia adalah
bangsa Belanda. Untuk itu bangsa Belanda mempunyai kewajiban untuk
membalas budi pada bangsa Indonesia dengan cara memikirkan nasib dan
kesejahteraan rakyat Indonesia (pribumi) (Cahyo Budi Utomo. 1995: 41). Tetapi
dalam prakteknya politik tersebut lebih cenderung untuk menguntungkan pihak
Belanda. Bidang pendidikan (edukasi) yang bertujuan untuk mengangkat harkat
dan martabat penduduk pribumi dari kebodohan ternyata dalam prakteknya
banyak ditujukan untuk mencetak tenaga administrasi dan tenaga birokrasi bagi
5

pihak Belanda. Selain itu penduduk pribumi juga dipekerjakan sebagai buruh di
perusahaan-perusahaan swasta asing. Segi positif dari adanya pilitik etis bagi
rakyat Indonesia adalah dapat mendorong perubahan dan pertumbuhan sosial di
kalangan penduduk pribumi. Hal tersebut terjadi karena banyak penduduk pribumi
yang kemudian mengenyam pendidikan Barat yang pada akhirnya dapat
mengubah pola pemikiran yang masih tradisional menuju pola pemikiran yang
lebih modern agar dapat memasuki dunia birokrasi baru dalam tatanan masyarakat
Hindia-Belanda (Robert Van Niel. 1994: 22). P ada sekitar tahun 1900-1925,
pemerintah kolonial Belanda banyak membangun kantor-kantor dinas, seperti
dinas pertanian, perikanan, kerajinan, kesehatan dan peternakan. Selain itu,
dibangun pula bank, pasar, dan sejenisnya. Sehingga banyak lulusan bumi putera
yang di tempatkan Belanda pada instansi-instansi tersebut sebagai pegawai
rendahan.
Politik Etis secara resmi diproklamirkan sebagai politik kolonial baru,
dalam pidato kenegaraan Ratu Willhemnina pada bulan September 1901.
Dikatakannya bahwa politik etis perlu diterapkan di Hindia-Belanda, karena
Nederland mempunyai kewajiban moral yang harus dipenuhi. Dalam usaha
memenuhi tuntutan politik etis, pemerintah mulai membangun sejumlah sekolah
disertai dengan pengadaan tenaga-tenaga guru. Sistem yang diterapkan
disesuaikan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara Barat.
Hal ini dimaksudkan memberi kesempatan bagi siswa-siswa yang mampu untuk
dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, bahkan dapat
melanjutkan ke negeri Belanda. Tingkat pendidikan saat itu terbagi atas dua
kategori, yaitu Lag er Onderwijs (pendidikan rendah) dan Midd elba r On derwijs
(pendidikan menengah) (Nico Thamiend R dan M. P. B. Manus. 2004: 98-99).
Sistem pendidikan diarahkan untuk menciptakan tenaga kerja yang siap
pakai, sebagai tenaga kerja rendahan dalam sistem pemerintahan Belanda. Fungsi
pendidikan tidak lebih dari suatu pabrik pegawai dengan kurikulum yang tidak
sesuai dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga tidak dapat dielakkan
lagi jika ada jurang antara sekolah dengan masyarakat. Tujuan pokok masuk
sekolah hanya terbatas mendapatkan ijasah yang bisa membukakan jalan menuju
6

pekerjaan-pekerjaan di bidang pemerintahan (Selo Sumardjan. 1986: 43). Namun


di pihak lain, sebagian penduduk bumi putera telah sadar bahwa pendidikan
merupakan alat yang utama untuk mencapai kemajuan bangsa. Hal ini tampak
pada hasrat penduduk bumi putera untuk menuntut pendidikan yang lebih tinggi,
tidak hanya di sekolah menengah yang sudah diadakan pemerintah, namun ada
juga di antaranya yang meneruskan pelajarannya di negeri Belanda. Kecerdasan
mereka untuk mengidentifikasikan situasi kolonial memainkan peranan yang
terarah pada masa depan. Diperkenalkannya berbagai macam ilmu di sekolah dan
paham-paham baru memungkinkan mereka untuk mengkaji semua aspek dalam
masyarakat dan membandingkan pengaruhnya antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Kesimpulannya menunjukkan bahwa adanya persamaan nasib yang buruk
dari daerah-daerah itu akibat penjajahan dan adanya tekad bersama untuk
memperbaikinya (Ricklefs. 1991: 24).
Keturunan bangsawan atau kerabat raja yang memerintah suatu daerah
pada umumnya terbagi lagi dalam beberapa tingkatan dengan gelar yang berbeda-
beda sesuai dengan tingkat hubungannya dengan raja. Boleh dikatakan, sifatnya
yang turun-menurun itu tidak pernah berubah sampai akhir abad ke-19. Karena itu
para keturan atau kerabat raja tersebut sebagai elite, biasa disebut elite tradisional
atau elite daerah. Yang disebut elite adalah suatu kelompok yang berpengaruh
dalam sesuatu lingkungan atau masyarakat (Nugroho Notosusanto dan Yusmar
Basri. 1987: 23). Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan terjadinya
perubahan struktur sosial dalam masyarakat.
Semakin luasnya daerah kekuasaan Belanda maka tidak memungkinkan
bagi pihak Belanda untuk mengelola sendiri daerah-daerah kekuasaannya tersebut
terutama dalam bidang pengelolaan administrasi pemerintahan. Rakyat daerah
jajahan yang telah mendapatkan pendidikan Barat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan Belanda akan tenaga administrasi sehingga pegawai pemerintah mulai
dipenuhi oleh penduduk pribumi yang berpendidikan. Kondisi itulah yang dapat
mendorong terjadinya perubahan dan pertumbuhan sosial di kalangan penduduk
pribumi. Rakyat pribumi tersebut ditempatkan dalam birokrasi pemerintahan
Belanda di daerah jajahan karena dianggap lebih memahami seluk-beluk daerah
7

jajahan Belanda dibandingkan dengan pemerintah Belanda sendiri sehingga


memudahkan pihak Belanda untuk mengatur daerah jajahannya selain pemerintah
kolonial tersebut dapat menggaji para pegawai pribumi dengan gaji yang murah.
Ternyata penerapan politik etis Belanda menjadi bumerang bagi bangsa Belanda
sendiri. Politik etis mampu menumbuhkan kesadaran baru bagi rakyat yang
sebelumnya terisolasi dari ilmu pengetahuan dan akhirnya mampu memahami
kondisi yang tertindas.
Fakta akan adanya dominasi dan kesenjangan kelas semakin kentara dan
tidak bisa ditutup-tutupi. Hal inilah yang menjadi latar belakang utama
kemunculan gerakan-gerakan pembebasan yang pada akhirnya menjadi tonggak
munculnya pergerakan nasional di Indonesia. Gerakan-gerakan ini banyak
didominasi oleh kelompok muda intelektual atau elit modern yaitu mahasiswa
sebagai akibat dari adanya politik etis yang diterapkan oleh bangsa kolonial di
tanah jajahannya. Kelompok muda intelektual tersebut kemudian membentuk
organisasi-organisasi pemuda sebagai wadah pergerakan nasional untuk mencapai
cita-cita yang diinginkan (http://pmiity08.wordpress.com diakses tanggal 4
Agustus 2009).
Praktek-praktek kolonialisme telah mengakibatkan bangsa Indonesia
kehilangan kemerdekaan politiknya karena adanya dominasi politik asing, dalam
lapangan sosial ekonomi timbul pengkotak-kotakan masyarakat, kemelaratan dan
kesengsaraan (Cahyo Budi Utomo. 1995: 32). Proses pencarian bentuk dari
pergerakan nasional Indonesia, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kondisi
yang lahir akibat politik kolonial, yaitu dengan ditetapkannya politik etis.
Pelaksanaan politik itu secara tidak langsung telah mendorong munculnya elit
baru berpendidikan Barat yang sadar akan nasib bangsanya akibat adanya praktek-
praktek kolonialisme (M. C. Ricklefs. 1991: 25). Elite baru adalah pribadi labil
dan ditandai oleh kesanggupannya yang tinggi untuk mengidentifikasikan dirinya
dengan aspek baru dari lingkungannya yang kemudian mencita-citakan lenyapnya
segala bentuk diskriminasi ras, perbedaan sosial, ekonomi, dan politik. Kesadaran
itu telah mendorong elite baru untuk mendirikan organisasi sebagai alat
8

perjuangannya. Organisasi yang teratur dan modern diperlukan untuk


mewujudkan ide nasionalisme itu (Cahyo Budi Utomo. 1995: 14).
Bentuk kerjasama dalam perkumpulan organisasi modern itulah yang
mengantarkan bangsa Indonesia dalam suatu ikatan persatuan dan kesatuan. Hal
ini telah menimbulkan rasa khawatir, takut dan curiga dari pemerintah kolonial.
Belanda menyadari akibat tidak langsung dari pelaksanaan politik etis yakni
semakin mengkristalnya rasa dendam bangsa Indonesia terhadap penguasa.
Sebagai langkah lebih jauh, Belanda menerapkan pengawasan ketat terhadap
semua organisasi yang ada pada masa itu.
Di Indonesia gerakan mahasiswa mendapat suatu legitimasi sejarah atas
keturutsertaannya terlibat dalam gerakan kemerdekaan dan semenjak berdirinya
negara menjadi bagian yang diakui dari sistem politik. Jika ditelusuri, misalnya
perjuangan kemerdekaan nasional yang didorong oleh Soekarno lewat kelompok-
kelompok studinya, Hatta lewat Perhimpunan Indonesia-nya, ternyata efektif dan
mampu secara luas membangkitkan perasaan untuk sesegera mungkin lepas dari
belenggu kolonialisme. Kelompok yang dulunya disebut ”pemuda pelajar” ini
menjadi semacam ”martil kelompok terdidik” yang membawa angin perubahan
untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat akan kemerdekaan
(http://pmiity08.wo rdpress.com diakses tanggal 4 Agustus 2009).
Peran pemuda dalam kehidupan bangsa sudah sangat jelas kiranya,
apabila kita lihat dari perspektif historis. Bahwa pemuda merupakan elemen
strategis dalam perjuangan mencapai maupun mengisi kemerdekaan. Pemuda,
dalam konteks ini biasanya terwadahi dalam organisasi-organisasi sosial-
kemasyakatan pemuda, maupun partai-partai politik. P ada masa pergerakan
nasional yang dimulai sejak tahun 1908, para pemuda terpelajar mengawalinya
dengan pendekatan organisatoris tersebut, ditandai dengan hadirnya Boedi
Oetomo. Sejak itu, pada masa-masa selanjutnya, organisasi kepemudaan hadir dan
mewarnai dinamika pergerakan nasional antara lain SD I/SI, PNI, IP, Indische
Vereeniging , Jong Java, Jong Borneo, Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Ambon,
Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Perhimpuna n Indo nesia dan sebagainya
(http://smansaga ranten.sch.id diakses tanggal 4 Agustus 2009).
9

Kelahiran organisasi pergerakan kebangsaan tersebut merupakan reaksi


terhadap kondisi yang telah diciptakan penjajah. Akibat penerapan-penerapan
sistem politik sejak VOC sampai diterapkannya cultuure stelsel, dilanjutkan
sistem liberal dengan masuknya modal-modal swasta asing secara bebas, telah
berakibat negatif terhadap perekonomian rakyat Indonesia pada masa itu. Rakyat
hidup miskin, tidak dapat menikmati kesempatan pendidikan dan tidak
mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki nasibnya, baik dalam bidang
material maupun spiritual. Tumbuh dan berkembangnya pergerakan kebangsaan
Indonesia sangat dipengaruhi oleh suasana kesengsaraan dan kemelaratan rakyat
serta kebodohan rakyat. Tetapi justru kemiskinan lahir batin yang luar biasa itulah
yang menjadi jiwa dan pendorong para pelajar pada waktu itu untuk segera
mendirikan suatu organisasi pergerakan kebangsaan (Cahyo Budi Utomo. 1995:
44-45).
Organisasi-organisasi yang muncul dalam pergerakan kebangsaan
Indonesia dengan demikian mempunyai fungsi lebih jelas yang dapat dijadikan
sebagai suatu alat untuk menciptakan kekuatan sosial dengan tujuan akhirnya
untuk menumbangkan atau menghapus strata sosial yang tidak menguntungkan
yang diciptakan oleh pemerintah penjajah. Organisasi pergerakan telah berfungsi
sebagai media penyalur rasa ketidakpuasan sosial masyarakat (Cahyo Budi
Utomo. 1995: 34). Selain organisasi-organisasi yang mendasarkan diri pada ikatan
teritorial, kultural dan etnisitas, pada awal abad ke-20 di Hindia-Belanda juga
muncul organisasi pemuda yang bernafaskan keagamaan. Yang paling besar
adalah Jong Islamieten Bo nd (JIB) (Cahyo Budi Utomo. 1995: 123).
Perkembangan pendidikan Islam pada abad XIII sejalan dengan
perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang bertujuan untuk menyebarkan agama
Islam. P erkembangan pendidikan Islam di Indonesia berkaitan erat dengan
perkembangan perdagangan internasional. Para pedagang Arab, P ersia, dan
Gujarat selain berdagang juga mengembangkan ajaran Islam. Kegiatan ini
kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh di Nusantara dengan menyebarluaskan
ajaran Islam di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan di
tempat-tempat lain. Sejak saat itu mulai berdirilah pesantren, madrasah, masjid,
10

partai-partai Islam serta sarana lain yang bertujuan menyebarkan Islam. Di


samping elite tradisional yang berdasarkan keturunan itu muncul juga ulama
kharismatik. Di sini kedudukan para ulama kharismatik yang berada di lapisan
atas sukar untuk diturunkan pada anak cucunya. Hal ini dapat jumpai pada
pemuka-pemuka agama, sebagai pemimpin rohani, seperti ulama-ulama dan kyai
yang sangat berpengaruh tidak hanya di daerahnya tetapi jauh melampaui batas-
batas daerahnya. Keadaan ini menyebabkan kadang-kadang pengaruh dan
peranannya melebihi pengaruh raja atau golongan bangsawan. P erlawanan-
perlawanan daerah, terutama yang terjadi pada abad yang lalu, baik yang
ditujukan kepada kolonialis dan kapitalis asing maupun kepada elite tradisional,
dipimpin oleh elite agama. Pengaruhnya tidak diikat melalui lembaga
pemerintahan (kerajaan), melainkan melalui perguruan yang didirikannya baik
berupa pesantren maupun surau (Nugroho Notosusanto dan Yusmar Basri. 1987:
23-24).
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kehidupan pesantren berpusat
pada kyainya. Tidak jarang terjadi bahwa sebuah pesantren yang tersohor
mengalami kemunduran dalam pergerakannya karena meninggalnya kyai yang
bersangkutan. Hal ini terutama terjadi apabila pengganti kyai itu tidak sama
keahlian dan kepopulerannya dengan kyai yang digantikan. Pengaruh kyai atau
guru mengaji pada masa itu tidaklah terbatas hanya dalam pesantren atau suraunya
saja, tetapi juga terasa ke seluruh desa. Kyai yang bersangkutan dimuliakan oleh
segenap penduduk desa sehingga biasanya para kyai tersebut tidak ditinggalkan
orang sekampung dalam hal-hal penting yang terjadi atau yang dibicarakan di
kampung itu. Dalam soal sehari-hari pun pendapat dan nasihatnya sering diminta
dan dijadikan sebagai panutan oleh orang-orang di kampungnya (Deliar Noer.
1990: 18).
Pemikiran kolonial Belanda tehadap Islam Indonesia, pada awalnya
dilandasi oleh pandangan yang keliru. Islam dibayangkan sebagai sebuah agama
yang diorganisasikan secara ketat. P andangan tersebut berdasarkan pada
hubungan antara umat Islam Indonesia dengan para Sultan Islam di luar negeri,
hubungan tersebut dipandang seperti hubungan antara umat Katholik dengan P aus
11

di Roma. Menurut Belanda, Islam dalam kehidupannya sudah diatur dengan


hukum Islam secara menyeluruh termasuk dalam hubungan internasionalnya,
Islam dengan demikian dianggap sebagai musuh yang ditakuti. Ketakutan ini telah
mendorong Belanda untuk merumuskan sebuah politik aliansi dengan elemen di
dalam tubuh masyarakat Indonesa terutama para pangeran dan priyayi Jawa. Raja-
raja dan kepala adat di luar pulau Jawa yang karena alasan politiknya sendiri
terkenal sebagai penganut Islam yang tidak telalu fanatik atau bahkan musuh
terang-terangan Islam (H. J. Benda. 1980: 38-39).
Pemerintah Hindia-Belanda yang berkuasa di Indonesia pada masa itu
dihadapkan dengan kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajah
adalah beragama Islam. Kurangnya pengetahuan tentang Islam membuat
pemerintah Hindia-Belanda tidak berani mencampuri agama Islam secara
langsung (Darmansyah, dkk. 2006: 1). Sebelum Snouck Hurgonje, politik
pemerintah Belanda terhadap Islam memang didasarkan pada perasaan takut dan
sikap tidak mau mencampuri. Hasrat untuk menjauhkan diri dari campur tangan
terhadap Islam, misalnya menyangkut masalah pembangunan masjid-masjid.
Untuk pembangunan masjid-masjid tidak atau jarang sekali diberikan bantuan
keuangan oleh pihak pemerintah. P emerintah menyatakan, ”Negara, dengan
sendirinya, tidak semestinya campur tangan dengan pembangunan atau dengan
perbaikan bangunan-bangunan suci agama Islam” (G. F. P ijper. 1987: 239).
Tetapi, kebijakan untuk tidak mencampuri Islam dianggap tidak konsisten karena
tidak adanya garis yang tegas. Hal tersebut terbukti dalam penanganan masalah
haji, pemerintah Hindia-Belanda ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak
campur tangan, justru para haji sering dicurigai, dianggap fanatik dan
pemberontak. Bahkan pada tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda
dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan bila perlu demi kepentingan
negara setiap gerak-gerik para ulama harus diawasi (Aqib Suminto. 1985: 11).
Bangkitnya kesadaran agama Islam tanpa dapat dibantah disebabkan
sebagian besar oleh tersedianya kebudayaan Barat yang semakin meningkat.
Dasar-dasar kebijaksanaan pemerintah, pemeliharaan kebebasan beragama dan
menjauhkan diri dari campur tangan urusan agama, telah menyebabkan perluasan
12

dan pengukuhan agama Islam. Rasa puas yang semakin besar dapat dicapai, jika
pemerintah dapat memutuskan untuk meniadakan sama sekali peraturan-peraturan
yang oleh kaum Muslim dirasakan sebagai penghambat mengenai kebebasan
pelaksanaan beribadah (G. F. Pijper. 1987: 252-253).
Di kalangan umat Islam Indonesia timbul pula kesadaran untuk
berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan umat Islam mulai terpupuk hingga
melahirkan suatu pergerakan yang sangat penting artinya bagi nasionalisme
Indonesia. Di jaman VOC ulama sangat keras melawan Belanda dan pemerintah
Belanda juga bertindak keras karena pengaruh Islam pada waktu itu dirasa sangat
mengkhawatirkan pemerintah jajahan. Tetapi sebaliknya bagi bangsa Indonesia,
pengaruh agama Islam yang besar itu telah menciptakan nasonalisme di kalangan
rakyat Indonesia (C. S. T. Kansil dan Julianto. 1983: 24-25).
Suatu faktor penting yang menimbulkan nasionalisme yang kental
adalah persamaan agama, yakni 90 % penduduk Indonesia beragama Islam.
Apabila gerakan nasionalisme yang berawal di Jawa itu meluas ke daerah-daerah
di luar Jawa, maka akan memudarkan semangat-semangat kedaerahan yang
sempit yang dimiliki oleh penduduk di tiap-tiap daerah itu karena kemudian
muncul suatu perpaduan yang ditimbulkan oleh semangat agama yang sama yaitu
Islam. Dalam hal ini agama Islam tidak hanya sebagai rantai pengikat dari
semangat patriotisme kedaerahan ke dalam nasionalisme Indonesia, tetapi
sesungguhnya juga menjadi semacam lambang persaudaraan terhadap suatu
pengacau asing dan penindas sebuah agama asing. Menurut Wertheim yang
dikutip oleh Cahyo Budi Utomo (1995: 46),
Hal itu sangat aneh karena perkembangan agama Islam di Indonesia
justru disebabkan oleh bangsa-bangsa Barat. Kedatangan bangsa
Portugis di kawasan Indonesia telah mendorong semakin banyaknya
para penguasa pribumi memeluk agama Islam sebagai satu gerakan
politik untuk melawan masuknya agama Nasrani. Kehadiran kekuasaan
Belanda di Indonesia semakin mempercepat proses islamisasi itu.

Lahirnya JIB sangat berkaitan dengan pergerakan organisasi Jong Java.


Hal itu disebabkan karena pada kongres Jong Java yang dilaksanakan pada tahun
1922 diputuskan bahwa Jong Java tidak bergerak dalam bidang politik dan
13

anggotanya dilarang masuk partai politik. Dengan masuknya H. Agus Salim


(tokoh SI) maka Jong Java mulai bergerak dalam bidang politik sehingga
menimbulkan pro-kontra di tubuh Jong Java. Golongan yang setuju bergerak
dalam bidang politik, mereka mendirikan JIB dengan agama Islam sebagai dasar
pergerakan dan menerbitkan majalah Al-Noer atau disebut juga Het Licht. JIB
dipelopori oleh Sjamsuridjal. Dalam organisasi intern, JIB mempelajari politik
praktis dan berusaha agar anggota-anggotanya memahami politik, terutama dari
sudut Islam (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 36). Berdasarkan atas
pernyataan Sjam, JIB sendiri tidak akan ikut aksi politik, anggota-anggota JIB
tidak akan terjun dalam politik atas nama organisasi tetapi JIB tidak melarang
para anggotanya yang secara sah dapat ikut dalam gelanggang politik (Ridwan
Saidi. 1990: 17).
Ajaran agama Islam oleh JIB dijadikan sebagai sumber pengikat
persatuan di kalangan pemuda-pemuda di Indonesia. Sebenarnya JIB sudah
melangkah ke arah perjuangan politik, karena anggota-anggotanya sudah lebih
dewasa dan bertujuan untuk persatuan berdasarkan Islam seperti yang
diperjuangkan oleh P artai Sarekat Islam. Kemunculannya di tengah kancah
pergerakan nasional sebagai wujud keprihatinannya terhadap kondisi para pemuda
yang masih bersifat kedaerahan serta kurangnya pemahaman pemuda pelajar
Islam terhadap agamanya sendiri akibat dari adanya Politik Islam Hindia-Belanda.
Politik Islam pemerintah Hindia-Belanda berubah setelah kedatangan Snouck
Hurgronje. Hurgonje menilai bahwa musuh pemerintah Hindia-Belanda bukanlah
Islam sebagai agama tetapi Islam sebagai doktrin politik yang berbahaya bagi
kelangsungan kekuasaan Belanda di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 27).
Dalam kenyataannya Islam memang berfungsi sebagai titik pusat
identitas yang melambangkan perlawanan terhadap penjajah (Aqib Suminto.
1986: 16). Sehubungan dengan politik tersebut, Snouck Hurgronje membagi Islam
menjadi tiga bagian, yaitu ibadah, sosial-kemasyarakatan dan politik. Pemerintah
memberikan kebebasan dalam masalah ibadah dan sosial-kemasyarakatan, tetapi
tidak dalam hal politik. Kebijakan P emerintah Hindia-Belanda dalam menghadapi
14

tiga masalah ini dikenal dengan nama Politik Islam Hindia-Belanda (Darmansyah,
dkk. 2006: 2).
Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda dari
jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan pelajaran agama
Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. Akibat dari adanya sistem
pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak mempunyai kesempatan belajar
sendiri di luar sekolah menjadi kurang pemahamannya terhadap agama Islam.
Padahal agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat
Hindia-Belanda pada masa itu, suatu masyarakat yang kelak akan menjadikan
kaum intelektualnya sebegai pemimpin. Dalam organiasi ini, semua suku
diperlakukan sama (Darmansyah, dkk. 2006: 31). Keanggotaan JIB terbuka untuk
pemuda Islam yang berumur 14-30 tahun dan yang berumur lebih dari 18 tahun
boleh berpolitik. JIB pada tanggal 29 Desember 1925 mengadakan kongres I dan
menetapkan anggaran dasarnya (Drs. Sutarto. 2005: 53).
Generasi intelektual Muslim Indonesia pada umumnya pernah
mengenyam pendidikan Barat dan sekaligus mendalami Islam secara khusus
seperti halnya para pendiri JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 3). Kelahirannya juga
merupakan reaksi sekelompok pelajar terhadap kalangan pelajar Muslim lainnya
yang bersikap acuh tak acuh terhadap agama Islam. Atas dasar keinginan untuk
mengembalikan Islam sebagai ajarannya, sebagian pelajar Muslim yang tidak
ingin terhanyut dalam pola kehidupan Barat akhirnya mendirikan JIB
(http://ah madfathulbari.multiply.com diakses tanggal 7 Agustus 2009).
JIB didirikan oleh Sjam bekas ketua Jong Java yang keluar pada tahun
1924. Sjam menjadi ketua JIB dan H. Agus Salim diangkat sebagai penasehat.
Pendirian JIB ternyata mendapat dukungan yang sangat luas dari masyarakat
pemuda Islam dan sangat penting artinya dalam pergerakan pemuda Indonesia
pada waktu itu (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 35). Sebagai sebuah
organisasi pemuda pelajar Islam, JIB berusaha menghimpun seluruh pemuda
pelajar Islam dalam organisasinya. Dalam usahanya tersebut JIB mengalami
proses dari organisasi pelajar yang kecil menjadi organisasi pelajar yang besar
(Darmansyah, dkk. 2006: 67). Organisasi ini semakin berkembang pesat sehingga
15

diakhir tahun 1925 JIB memiliki sekitar 1000 orang anggota ditujuh cabang, yaitu
di Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Bandung, Magelang dan Surabaya.
Sejalan dengan perkembangannya tersebut JIB juga telah ikut
berperanserta dalam Kongres P emuda P ertama yang diselenggarakan tanggal 30
April-2 Mei 1926. Selain itu, JIB juga turut mengikuti kongres lanjutannya
(Kongres P emuda Kedua) yang menghasilkan Sumpah Pemuda sebagai wujud
munculnya nasionalisme di kalangan para pemuda Indonesia. JIB juga berperan
dalam meningkatkan derajat pendidikan, menggagas nasionalisme Indonesia dan
sebagainya yang sangat berpengaruh positif terhadap pergerakan nasional pemuda
Indonesia dalam menghadapi kolonialisme bangsa Belanda (Darmansyah, dkk.
2006: 38).
Di Indonesia memang peran pemuda Islam selalu menonjol, misalnya
JIB dalam pergerakan nasional mempunyai cabang-cabang yang tersebar di
seluruh Indonesia (http://tarbiyahislam.wordpress.com diakses tanggal 4 Agustus
2009). JIB didirikan dengan keyakinan bahwa hanya Islam yang mampu menjadi
dasar untuk bersatu dalam mengusir Belanda. Selama masa penjajahan Belanda,
umat Islam terus melakukan perlawanan baik dalam skala besar seperti Sultan
Ageng Tirtayasa, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol dan lainnya
maupun skala kecil-kecilan seperti Perlawanan P etani Banten 1988, perlawanan di
Cimareme dan lainnya (Darmansyah, dkk. 2006: x).
Dalam konteks kaderisasi, JIB dapat dilihat sebagai tempat persemaian
para pemimpin Islam berpendidikan modern Belanda. Dapat disebutkan beberapa
nama tokoh nasional yang menjadi alumni JIB yaitu Agus Salim, Sjamsoeridjal,
Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Mohammad Natsir. Mereka kemudian
memegang peranan penting setelah Indonesia merdeka (Darmansyah, dkk. 2006:
x-xi). Namun di balik kemajuan dari JIB tersebut, menjelang masa surutnya
ternyata banyak menyimpan benih-benih konflik. Hal tersebut terjadi karena
munculnya pemikiran baru dari sebagian kalangan di JIB bahwa agama tidak
dapat dijadikan sebagai sandaran untuk mencapai cita-cita (politik kemerdekaan)
dan adanya persaingan memperebutkan kedudukan dalam organisasi
(Darmansyah, dkk. 2006: 72). Dengan demikian sampai tahun 1930 pergerakan
16

nasional Indonesia praktis didominasi (kalau tidak mau disebut dimonopoli)


aktivis-aktivis Islam. P erjuangan tahun 1930-an sampai 1940-an terdiri dari
pergerakan Islam dan golongan nasionalis sekuler atau ”kalangan kebangsaan
yang netral agama”, istilahnya Deliar Noer (http://tarbiyahislam.wo rdpress.com
diakses tanggal 4 Agustus 2009).
Mengingat perkembangan dan peran besar JIB dalam sejarah pergerakan
nasional pemuda Islam Indonesia, maka penulis mengangkat judul ”Pergerakan
Nasional Pemuda Islam (Studi tentang Jong Islamieten Bond 1925-1942)”
sebagai obyek penelitian.

B . Pe rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan
beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond?
2. Bagaimanakah perkembangan Jong Islamieten Bond?
3. Bagaimanakah peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi
pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942?

C. Tujuan Pe ne litian
Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai dari
penulisa n ini adalah:
1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond.
2. Untuk mengetahui perkembangan Jong Islamieten Bond.
3. Untuk mengetahui peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari
organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-
1942.
17

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat:
a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan
ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah.
b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya mengenai
sejarah pergerakan nasional Indonesia, khususnya mengenai Jong Islamieten
Bond sebagai bagian dari pergerakan nasional pemuda Islam tahun 1925-
1942.
c. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan literatur
dalam bidang sejarah pertumbuhan dan perkembangan organisasi Islam,
terutama Jong Islamieten Bond yang berkembang pada masa pergerakan
nasional Indones ia tahun 1925-1942.

2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat:
a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan
Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Dapat memberikan dorongan dan acuan bagi penelitian selanjutnya mengenai
pergerakan nasional Indonesia, khususnya tentang pergerakan Jong Islamieten
Bond.
c. Menambah bahan bacaan di Perpustakaan P rogram Studi Pendidikan Sejarah
maupun di Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kolonialisme
Menjelang akhir abad XIX masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
kolonial yang serba terbelakang. Tanah jajahan merupakan obyek eksploitasi
untuk diambil keuntungan sebesar-besarnya bagi penjajah. Berbagai cara telah
ditempuh untuk megusir kaum penjajah sejak awal, tetapi tidak juga membawa
hasil yang menggembirakan. Salah satu sebabnya karena bangsa Indonesia belum
memiliki rasa persatuan dan kesatuan.
Kolonialisme secara etimologis berasal dari kata koloni yang artinya
daerah jajahan, berarti daerah menempatkan penduduk atau kelompok orang yang
bermukim di daerah baru yang merupakan daerah asing dan sering jauh dari tanah
air, yang tetap mempertahankan ikatan dengan tanah air atau daerah asal (W. J. S.
Poerwadharminto. 1976: 516).
Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 77) mengemukakan bahwa kolonialisme
merupakan nafsu untuk menguasai sistem penguasaan wilayah bangsa atau negara
lain. Hal tersebut dapat diartikan sebagai nafsu untuk menguasai daerah atau
bangsa lain beserta perangkat sistem yang digunakan untuk mengatur wilayah
yang dikuasai. Sedangkan C. S. T. Kansil dan Julianto (1983: 7) mengemukakan
bahwa kolonialisme merupakan rangkaian nafsu suatu bangsa untuk
menakhlukkan bangsa lain di bidang politik, sosial ekonomi, dan kebudayaan
dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan.
Kolonialisme berasal dari kata koloni yang artinya ialah menanam sebagian
masyarakat di luar batas atau lingkungan daerahnya. Namun usaha lainnya yaitu
para kolonis yang memiliki beberapa koloni di daerah lain berusaha menyatukan
koloninya menjadi satu sistem penguasaan, maka usaha ke arah itu disebut
sebagai imperialisme.

18
19

Berdasarkan pendapat di atas, disimpulkan bahwa kolonialisme


merupakan rangkaian nafsu bangsa penjajah untuk menakhlukkan daerah
koloninya (dalam hal ini Indonesia) baik dalam bidang politik, sosial-ekonomi,
dan kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi
kebudayaan. Hal tersebut semakin memperkuat konflik yang ada sehingga
menimbulkan reaksi rakyat jajahan untuk berusaha mempertahan dan melepaskan
diri dari belenggu kesengsaraan.
Dipandang dari segi politik, kolonialisme atau penjajahan merupakan
penguasaan dalam jangka waktu yang lama yang mengutamakan kepentingan
orang-orang asing. Menurut Balandier dalam David L. Sills (1972: 1), ciri-ciri
penjajahan antara lain:
1) Adanya dominasi kekuasaan dari minoritas orang-orang asing, lebih
mengungulkan rasial dan budaya orang-orang asing tersebut daripada budaya
milik orang-orang pribumi/penduduk asli;
2) Adanya hubungan antara peradaban yang berorientasi pada mesin atau alat-
alat industri dengan Nasrani, perekonomian yang kuat, dan kemajuan hidup
yang pesat. Di sisi lain peradaban orang-orang non-Nasrani ditandai dengan
miskinnya mesin atau alat-alat industri, tertingalnya ekonomi serta kemajuan
yang lambat.
Sedangkan menurut C. S. T. Kansil dan Julianto (1983: 23) kolonialisme Belanda
di Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Membeda-bedakan warna kulit,
2) Menjadikan tanah jajahan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi negara induk,
3) Perbaikan ekonomi sosialnya sedikit, dan
4) Jarak sosial yang jauh antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah.
Tujuan Belanda melakukan penjajahan ke dunia Timur menurut G.
Moedjanto (1988: 44) adalah dalam rangka memperluas pengaruh dan kekuasaan
pemerintah Belanda yang ditempuh dengan cara menyatukan seluruh kekuasaan
daerah jajahan di bawah penjajahan Belanda atau Pax Neerlandica (perdamaian
Nerlandika) yang mengandung arti penyatuan dan penentraman. Pax Neerlandica
20

ini diciptakan oleh Gubernur Jendral J. B. van Heutsz (1904-1909), penakhluk


Aceh.
Kolonialisme kenyataannya telah mengakibatkan merosotnya keadaan
sosial ekonomi penduduk hampir tak tertanggung lagi. Ini semua dirasakan
sebagai akibat dari sistim penjajahan asing sehingga sedikit demi sedikit
mendorong timbulnya kesadaran untuk mencarikan jalan keluar dan
mengakhirinya (Suhartoyo Hardjosatoto. 1985: 26). Pelaksanaan kolonialisme
bagaimanapun juga telah membawa penderitaan bagi masyarakat pribumi.
Kemiskinan dan kemelaratan terjadi di mana-mana sehingga semakin
memperbesar kesenjangan antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Dalam
kehidupan sehari-hari terdapat diskriminasi yang cukup mencolok. Situasi yang
demikian merupakan tantangan bagi rakyat tanah jajahan untuk berusaha
mempertahankan diri dan mengubah situasi yang ada (C. S. T. Kansil dan
Julianto. 1983: 11). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Raymond Kennedy
yang dikutip oleh G. Moedjanto (1988: 20-21) yang mengemukakan bahwa ciri-
ciri masyarakat kolonial adalah:
1) Diskriminasi terhadap bangsa berwarna yang dianggapnya inferior (lebih
rendah),
2) Subordinasi (ketaatan) politik dari bangsa pribumi terhadap kekuasaan negara
jajahan
3) Ekonomi yang tergantung kepada penjajah,
4) Kurangnya kontak sosial antara golongan penguasa dan rakyat, serta
5) Kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan sosial.
Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 37) menyatakan bahwa dalam
pelaksanaan kolonialisme tergantung pada kondisi negara penjajah, baik dilihat
dari perbedaan mengenai kekayaan alam, kemajuan teknologi maupun sistem
produksi barang yang merupakan faktor obyektif dari negara penjajah. Sehingga
corak penjajah menentukan sifat dan perlakuan terhadap tanah air maupun bangsa
yang dijajahnya. Oleh karena itu praktek kolonialisme sangat berlainan antara
daerah satu dengan daerah lainnya.
21

Kolonialisme pada dasarnya bergerak pada bidang ekonomi, politik,


kebudayaan dan sosial. Melalui bidang-bidang tersebut, kepribadian penduduk
pribumi dihancurkan. Di bidang politik, penjajah melakukan dominasi politik,
dalam arti kekuasaan pemerintah berada di tangan kaum penjajah yang dapat
memerintah dengan sekehendak hatinya. Di bidang ekonomi, penjajah melakukan
eksploitasi ekonomi yang mengambil dan mengangkut jauh lebih banyak
kekayaan dari bumi Indonesia ke negeri penjajah untuk kemakmuran para kaum
kolonial dibandingkan dengan apa yang telah diberikan kepada negeri jajahannya.
Di bidang kebudayaan, penjajah melakukan penetrasi kebudayaan dengan
berbagai cara, baik halus maupun paksaan, sehingga sangat merugikan kehidupan
budaya bangsa setempat. Di bidang sosial, penjajah menciptakan diskriminasi
sosial yang menempatkan bangsa penjajah pada kedudukan yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan bangsa terjajah yang dianggap bangsa kelas rendah (Cahyo
Budi Utomo. 1995: 21).
Dalam pergaulan sehari-hari tidak ada kontak sosial dan adanya kontak
fisik yang mencolok antara orang-orang Belanda dan penduduk pribumi.
Kalangan pribumi dilarang keras untuk mengikuti berbagai perkumpulan maupun
memasuki daerah tempat tinggal khusus orang-orang Belanda. Dengan adanya
diskriminasi tersebut maka menggugah rakyat untuk melakukan perlawanan untuk
dapat lepas dan merdeka dari belenggu penjajahan bangsa Belanda.

2. Politik Islam Hindia-Belanda


Politik kolonial Belanda di Hindia-Belanda menggunakan politik
konservatif atau sitem pemerintahan tidak langsung yaitu sistem pemerintahan
melalui kepala-kepala pribumi. Kepala-kepala pribumi diserahi tugas untuk
mengurus masalah-masalah penduduk sedangkan agen-agen Belanda dibebani
pekerjaan untuk mengadakan pengawasan terhadap daerah jajahannya. Hal yang
tampak paradoksal dalam politik kolonial Belanda ialah pengaruh penetrasi
kekuasaan pemerintah Belanda yang mendorong ke arah perubahan sosial
termasuk individualisasi kebebasan, namun pemakaian kekuasaan kepala desa
menambah kekuasaan tradisional. Dengan dukungan penguasa Belanda, kepala
22

desa bertambah kekuasaannya. Namun di mata rakyat telah berubah menjadi agen
penguasa kolonial (Sartono Kartodirdjo, Mawarti Djoened Poesponegoro,
Nugroho Notosusanto. 1975: 310).
Pemerintah Belanda memerlukan inlandsch politiek sebagai kolonialis,
yakni kebijaksanaan mengenai pribumi, untuk memahami dan menguasai pribumi.
Karena mayoritas penduduk Hindia-Belanda adalah beragama Islam maka bangsa
kolonial mulai menerapkan politik Islamnya, Snouck Hurgronje sebagai arsitek
politik Islam telah berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk
yang sebagian besar Muslim itu (Aqib Suminto. 1985: 11). Pemahaman Snouck
tentang hakekat Islam Indonesia sangat besar nilainya untuk mengarahkan politik
Belanda terhadap Islam menuju suatu arah yang berhasil. Prestasi utamanya
adalah peranan yang dimainkan dalam reorientasi politik, yang bersama dengan
taktik-taktik militer yang telah disempurnakan berhasil mengakhiri Perang Aceh
(H. J. Benda. 1980: 40).
Di Indonesia, Belanda dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian
penduduk yang dijajahnya adalah beragama Islam. Timbulnya aneka perlawanan
seperti perang P aderi (1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh
(1873-1903) dan lainnya, perlawanan tersebut tidak terlepas dari kekuatan umat
Islam dalam menghadapi kekuasaan bangsa kolonial. Karena kurangnya
pengetahuan yang tepat mengenai Islam, pada mulanya Belanda tidak berani
mencampuri agama Islam secara langsung. Sikap Belanda ini dibentuk oleh
kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Di satu
pihak Belanda sangat khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam
fanatik sedangkan di pihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan
kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan. Dalam hal ini Islam
sangat ditakuti, karena dianggap mirip dengan Katholik. Namun kebijakan untuk
mencampuri agama Islam nampak tidak konsisten, karena tidak adanya garis yang
jelas. Dalam masalah hají misalnya ternyata pemerintah kolonial tidak bisa
menahan diri untuk tidak ikut campur tangan, justru para haji sering dicurigai dan
dianggap fanatik, tukang memberontak (Aqib Suminto. 1985: 9-10).
23

Pada tahun 1889 setelah kedatangan Snouck Hurgronje, pemerintah


Hindia-Belanda baru mempunyai kebijaksanaan yang jelas mengenai masalah
Islam, Snouck Hurgronje berusaha melawan ketakutan Belanda selama ini
terhadap Islam. Snouck menegaskan bahwa pada hakekatnya orang Islam di
Indonesia itu penuh damai, tetapi Snouck pun tidak buta terhadap kemampuan
politik fanatisme Islam. Bagi Snouck Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah
Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik (H. J. Benda. 1980:
45). Snouck Hurgronje tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa Islam
seringkali menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Walaupun Islam di
Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, namun
Snouck pun tahu bahwa orang Islam di negeri ini pada waktu itu memandang
agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dari orang lain
(Deliar Noer. 1990: 59). Dalam kenyataannya memang Islam di Indonesia
berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap
pemerintah Kristen dan asing.
Di pihak lain, terutama pada abad ke-19, banyak orang Belanda, baik di
negerinya sendiri maupun di Hindia-Belanda, sangat beharap untuk
menghilangkan pengaruh Islam dengan proses kristenisasi secara cepat pada
sebagian besar orang Indonesia (H. J. Benda. 1980: 39). Snouck Hurgronje juga
memusatkan perhatiannya kepada para bangsawan Jawa dan kepada para elite
priayi pada umumnya, sebagai suatu kelas sosial yang pertama dan paling jelas
yang harus ditarik ke arah westernisasi. Tingkat kebudayaan aristrokrasi yang
lebih tinggi, dekatnya dengan pengaruh-pengaruh Barat berkat kontaknya dengan
pemerintah Eropa dan akhirnya keterpisahannya dari Islam secara logis menjadi
ahli waris skema asimilasionis Snouck. Kaum bangsawan Indonesia yang telah
kehilangan ikatan kultural dan politik sebagai akibat penakhlukkan Belanda,
menuntut partisipasi di dalam kebudayaan Belanda. Maka pendidikan Barat
haruslah diberikan kepada orang-orang Indonesia yang jumlahnya semakin besar.
Pendidikan Barat adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya
mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Dengan demikian, bukan hanya
pandangan-pandangan Snouck Hurgonje mengakar pada watak jamannya, dalam
24

kenyataan pandangannya adalah cermin dari suatu era baru di dalam kebijakan
kolonial Belanda, yang disebut Politik Etis, yang secara resmi bermula pada tahun
1901 (H. J. Benda. 1980: 47-49).
Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dari jenjang terendah
sampai jenjang tertinggi tidak memberikan pelajaran agama Islam kepada pelajar-
pelajar yang beragama Islam. Pelaksanaan pendidikan tersebut mengupayakan
sekularisasi di dunia pendidikan dengan menyingkirkan pelajaran keagamaan dari
dunia sekolah. Akibat sistem pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak
mempunyai kesempatan belajar sendiri di luar sekolah menjadi kurang
pemahamannya dari agama Islam. Bahkan seorang Agus Salim pernah berkata
bahwa dirinya hampir kehilangan iman selepas dari Hoogere Burgere schoo l
(HBS/Sekolah Tinggi Warga Masyarakat) (Darmansyah, dkk. 2006: 2).
Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian yaitu ibadah,
sosial-kemasyarakatan dan politik. Masing-masing bidang menuntut alternatif
pemecahan yang berbeda-beda. Konsep pembagian itulah yang kemudian dikenal
sebagai kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam menangani masalah Islam.
Pemerintah memberikan kebebasan dalam masalah ibadah dan sosial
kemasyarakatan, tetapi tidak dalam hal politik. Pemerintah mencegah setiap usaha
yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan Pan Islam. Kebijakan Pemerintah
Hindia-Belanda dalam menghadapi tiga masalah inilah yang kemudian dikenal
dengan nama Politik Islam Hindia-Belan da (Darmansyah, dkk. 2006: 2).
Keadaan pada masa itu memang memungkinkan Snouck Hurgronje
untuk melaksanakan gagasan politik Islamnya, karena pada tahun 1899 Snouck
ditugaskan sebagai penasehat urusan pribumi dan Arab. P engalamannya dalam
penelitian lapangan di negeri Arab (1885), Jawa (1889-1890) dan Aceh (sejak
tahun 1891) serta pengalamannya selama menjabat penasehat urusan bahasa-
bahasa Timur dan hukum Islam sejak tahun 1891 itu juga, cukup membekali
dalam usaha menemukan seni memahami dan mengusai penduduk Muslim
tersebut. Meskipun tidak seluruhnya, namun garis politik Snouck Hurgronje itu
mampu bertahan hingga akhir masa penjajahan Belanda di Indonesia (E. Gobee
dan dan C. Adriaanse. 1990: 12).
25

3. Elit Modern
Politik Etis dicetuskan oleh Van Deventer. Politik tersebut mencakup
bidang irigasi, emigrasi dan pendidikan (eduk asi) (Slamet Mulyono. 1968: 38).
Munculnya politik Etis dalam bidang pendidikan di Indonesia berakibat pada
semakin banyaknya pendirian sekolah-sekolah formal oleh pemerintah Belanda.
Hal tersebut dipengaruhi karena adanya kebutuhan pihak Belanda akan tenaga
terampil dalam bidang administrasi maupun berbagai bidang teknik dan kejuruan.
Dengan adanya pembukaan sekolah-sekolah tersebut maka pendidikan bagi rakyat
Indonesia mulai sedikit berkembang sehingga pada akhirnya mulai muncul
golongan terpelajar atau elit modern sebagai golongan baru dalam stratifikasi
masyarakat Indonesia pada penjajahan bangsa masa kolonial. Dan golongan inilah
yang menjadi motor penggerak golongan terdidik untuk memenuhi kebutuhan
sosial masyarakat Indonesia akan kemerdekaan.
Dalam pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak
Belanda juga terdapat diskriminasi, anak-anak bumiputera memiliki kesempatan
yang sangat terbatas untuk mengenyam pendidikan. Pemerintah kolonial Belanda
tidak ingin melihat bangsa Indonesia menjadi pintar dan maju. Selain itu juga
munculnya anggapan di kalangan kaum kolonial bahwa bangsa yang bodoh lebih
mudah untuk diatur dan dikendalikan (Nico Thamiend R dan M. P . B. Manus.
2004: 100). Sekolah yang lebih baik, yang seluruhnya menggunakan sistem dan
tingkat pelajaran yang tak kalah dari negeri Belanda lebih kecil jumlahnya. Dari
jumlah yang kecil ini hanya secuil saja tempat yang tersedia bagi anak-anak
pribumi (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened P oesponegoro, Nugroho
Notosusanto. 1975: 129). Selain itu sekolah-sekolah yang didirikan bukan untuk
mencerdaskan bangsa Indonesia, tetapi untuk mendapatkan tenaga terdidik dengan
upah yang murah. Pendidikan rakyat tidak boleh melebihi kebutuhan akan tenaga.
Pendidikan yang baik hanya akan membahayakan kedudukan penjajah.
Perluasan pendidikan kepada bumiputera resmi merupakan produk dari
politik etis. P endidikan ini tidak hanya untuk mendapatkan tenaga kerja yang
murah bagi pemerintah dan kegiatan bisnis swasta Belanda, tetapi juga menjadi
alat utama untuk mengangkat derajat dan menuntun rakyat bumiputera menuju
26

modernisasi (http://www.lomboktimur.go.id diakses tanggal 7 Agustus 2009).


Selain itu pelaksanaan politik etis juga bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Dengan
diterapkannya politik etis tersebut maka rakyat Indoesia menjadi semakin kenal
akan berbagai ide Barat, seperti liberalisme, demokrasi, hak-hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan sipil pada umumnya. Dengan demikian golongan
intelektual atau kaum terpelajar Indonesia semakin berkembang pesat (G.
Moedjanto. 1988: 24). Karena pendidikan Barat mulai meluas sesuai dengan
kepentingan kolonial yang semakin meningkat pada akhir abad ke-19 dan
permulaan abad ke-20, maka mulai muncul golongan priyayi yang dapat
dibedakan menjadi golongan priyayi birokrasi, yaitu golongan priyayi yang
menduduki jabatan-jabatan pangreh-praja dan meneruskan tradisi priyayi lama.
Jabatan-jabatan ini pada umumnya juga diduduki oleh anak keturunan golongan
priyayi lama yang sudah berpendidikan modern. Sedangkan golongan priyayi
profesional adalah golongan priyayi yang menduduki jabatan-jabatan
pemerintahan yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan tertentu, karena
jabatan-jabatan itu mengurusi kepentingan-kepentingan yang ada hubungan erat
dengan eksploitasi kolonial seperti kesehatan, peternakan, pertanian, irigasi,
perindustrian dan sebagainya (Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, Suhardjo
Hatmosuprobo. 1993: 8).
Sebenarnya pihak pemerintah Hindia-Belanda sejak awal telah
memperhitungkan dampak dari penerapan pendidikan sistem Barat di negeri
jajahan. Dengan cara hati-hati, diskriminasi dan sangat selektif pendidikan itu
diberikan kepada rakyat Indonesia. Hanya anak golongan bangsawan dan Belanda
keturunan serta anak-anak keturunan Timur Asing (Cina dan Arab) yang
mendapatkan pendidikan sistem Barat.
Berbeda dengan harapan pemerintah Belanda sehubungan dengan
pelaksanaan politik etis, tidak semua dari kaum intelektual tersebut yang pernah
mengenyam pendidikan dan kebudayaan Barat berhasil dijinakkan untuk diperalat
mempertahankan kekuasaan kolonial. Sebagian dari mereka baik yang berada di
Hindia-Belanda maupun di negeri Belanda muncul sebagai perintis dan
pembangkit kesadaran nasional yang memihak pada kepentingan masyarakat.
27

Kaum intelektual Indonesia bukannya berterima kasih kepada pihak Belanda,


tetapi berbalik menjadi bumerang bagi pemerintah Belanda sendiri (C. S. T.
Kansil dan Yulianto. 1983: 62). Yang dianggap sebagai kaum etis adalah sebagai
pendorong; suatu golongan masyarakat yang ingin berpacu dengan
perkembangan, berusaha untuk merangsang, diilhami sifat dinamis, digerakkan
oleh sifat optimis dan kepercayaan pada diri sendiri (Robert Van Niel. 1984: 60).
Kelompok elit dapat diartikan sebagai suatu kelompok yang mempunyai
kedudukan dalam masyarakat pada puncak struktur sosial, misalnya kedudukan
yang tinggi dalam pemrintahan, politik, ekonomi maupun agama. Orang Indonesia
pada tahun 1900 dan sampai sekarang mengakui adanya dua tingkatan di dalam
masyarakat. Kelompok yang besar dari petani dan orang desa dinamakan rakyat
jelata. Administrator, pegawai pemerintahan, dan orang-orang Indonesia yang
berpendidikan berada di posisi yang lebih dikenal sebagai elit atau priyayi. Jadi
yang disebut elit adalah siapa saja yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari
rakyat jelata yang dalam beberapa hal orang-orang tersebut memimpin, memberi
pengaruh, menuntun, mengatur masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dan yang
termasuk di dalamnya adalah priyayi dan bangsawan (Robert Van Niel. 1984: 67).
Dalam kenyataannya selalu terdapat kontak antara priyayi dan orang-
orang Belanda di Hindia-Belanda pada abad ke-19. Senantiasa terdapat orang-
orang Eropa yang bertindak sebagai penghubung dan beberapa di antaranya
memungkinkan sekelompok orang pribumi memperoleh pendidikan formal dan
dengan demikian masuk ke dalam batas-batas lingkungan Eropa. Sehingga
peranan priyayi tersebut sangat menentukan dalam membentuk karir pribadi
pribumi dan di samping itu memperkuat momentum yang menghendaki
diberlakukannya pendidikan Barat (Heather Sutherland. 1983: 98-99). Hal itulah
yang kemudian mendorong munculnya priyayi profesional, yang lewat jenjang
pendidikan dapat menduduki tingkat sosial yang lebih tinggi daripada tingkat
asalnya (Sartono Kartodirdjo. 1999: 89).
Dalam sejarah dikenal dua kelompok elite, yaitu kelompok elite
tradisional dan kelompok elite baru. Kelompok elite tradisional berdasarkan pada
keturunan. P ara elite tradisional memperoleh kedudukan karena kelahiran (asal-
28

usul status) dengan berbagai atribut kebesaran orang tuanya. Yang termasuk
kelompok elite tradisional adalah raja-raja bersama keluarganya, yaitu para
bangsawan yang mempunyai kekuasaan politik, sosial, kultural dan sebagainya.
Kau elite tradisional benar-benar menguasai hidup dan matinya rakyat yang ada
dalam lingkungan wilayah kekuasaannya. Sedangkan kelompok elite baru adalah
kelompok tersendiri yang mendapatkan status bukan karena keturunan, akan tetapi
status tersebut diperoleh sendiri atas usaha yang dilakukan dan biasanya dari
jenjang pendidikan (Sartono Kartodirdjo. 1999: 72). Para elite baru tersebut biasa
disebut sebagai kelompok terpelajar dan memegang jabatan-jabatan dalam
pemerintahan (William H. Frederick. 1989: 45).
Kekuasaan Belanda semakin bertambah luasnya sehingga kebutuhan
akan birokrasi Indonesia yang berpendidikan Barat juga semakin bertambah besar.
Bila sebelumnya kedudukan-kedudukan tinggi dalam hirarki kepegawaian
Indonesia diberikan atas dasar asal keturunan, politik kolonial yang baru membuat
pendidikan sebagai syarat pendukung pada asal keturunan. Dalam ukuran waktu
dan keadaan tertentu pendidikan dijadikan sebagai ukuran utama. Hal ini pada
gilirannya membuahkan beragamnya elite Indonesia yaitu munculnya golongan
priyayi lama yang terdiri dari para bangsawan dan administrator serta priyayi baru
yang bertambah dengan sejumlah pegawai pemerintahan, teknisi pemerintahan,
cendekiawan yang sama-sama memerankan peran elite (Robert Van Niel. 1984:
75).
Munculnya elite baru atau elite modern merupakan sebagian dari
perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan secara wajar dapat dipandang
sebagai unsur integral dari masyarakat yang bersangkutan dalam proses perubahan
yang berlangsung cepat (J. D. Legge. 1993: 44). Kelompok elite baru sebagian
besar berasal dari bangsawan rendah dan rakyat biasa. Dalam masyarakat,
kelompok elite baru tersebut berusaha menunjukkan kelasnya yang lebih maju
yang nantinya membawa atau dapat mempengaruhi haluan politik pemerintah.
Elite baru muncul sebagai akibat dari adanya ambivalansi dalam kebijaksanaan
kolonial pada abad XIX mengenai perlunya kekuasaan tradisional. Para elite baru
tersebut memperoleh gelar serta bentuk kemegahan yang ada kaitannya dengan
29

statusnya, seperti menjadi guru sekolah pemerintah dengan diberi pangkat mantri
guru dan hak untuk tampil di depan umum. Menjelang abad XX, pendidikan dan
pengajaran secara Barat mempunyai andil yang penting dalam kehidupan.
Pendidikan dengan bahasa Belanda diadakan, waktu pendidikan yang sebelumnya
hanya sampai dua tahun diperpanjang hingga lima sampai enam tahun. Sebagai
hasilnya kelompok elite baru menjadi profesional hingga meluas dalam dinas-
dinas pengairan, kehutanan, kereta api dan dinas lainnya (M. C. Ricklefs. 1990:
52).
Adanya modernisasi pendidikan menyebabkan cakrawala berpikir
pelajar Jawa semakin luas. P ara pelajar di Jawa tidak hanya berpikir pada
pelajaran yang sedang tekuni, tetapi mulai memikirkan keadaan masyarakat
bumiputera yang terbelakang akibat kebijaksanaan pemerintah kolonial. Dan
itulah yang kemudian disebut sebagai elite terpelajar (Sartono Kartodirdjo. 1992:
14).
Golongan elite modern merupakan pemimpin pergerakan yang
menyadari bahwa bidang pendidikan adalah sarana efektif bagi penanaman jiwa
dan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Sehingga perkembangan pengajaran
dengan sistim sekolahnya mau tidak mau harus disesuaikan dengan sifat dualistis
masyarakat Indonesia, baik mengenai bahasa pengantarnya maupun sistim
pelajarannya. Maka dari itu terdapat empat kategori sekolah, yaitu 1) sekolah
Eropa yang sepenuhnya memakai model sekolah negeri Belanda, 2) sekolah bagi
pribumi yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, 3) sekolah bagi
pribumi yang memakai bahasa daerah sebagai bahasa daerah/pribumi dan 4)
sekolah yang memakai sistem pribumi (Sartono Kartodirdjo. 1999: 23).
Seiring dengan tingkat perkembangan dalam bidang pengajaran yang
merupakan hasil dari politik etis maka golongan elite intelektual dikalangan
rakyat Indonesia juga semakin tumbuh. Elite baru ini menyadari keadaan yang
terbelakang dari masyarakatnya akibat praktek kolonialisme. Kaum elite baru
inilah yang kemudian bercita-cita melenyapkan segala bentuk diskriminasi ras,
perbedaan sosial-ekonomi dan politik. Kesadaran itu telah mendorong para elite
baru untuk mendirikan organisasi secara modern sebagai alat perjuangannya
30

(Darsiti Soeratman. 1970: 44). Walaupun hanya sebagian kecil rakyat Indonesia
yang mendapatkan pendidikan sistem Barat, ternyata pendidikan tersebut telah
menghasilkan kaum elite intelektual. Kaum elite intelektual inilah yang banyak
memiliki kesadaran nasional, harga diri dan wawasan luas. Inilah benih-benih
penggerak perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka. Dari tahun ke tahun
kaum elite intelektual itu semakin bertambah banyak, sehingga menimbulkan
pergerakan nasional yang lebih mantap.

4. P ergerakan Nasional
Pergerakan kebangsaan yang muncul di Indonesia merupakan suatu
fenomena baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam hal tertentu pergerakan
kebangsaan itu dapat dianggap sebagai lanjutan perjuangan yang masih bersifat
pra-nasional dalam menentang praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme
Belanda pada masa-masa sebelumnya (Cahyo Budi Utomo. 1995: 22). Pergerakan
nasional menentang penjajahan berhasil membangun Republik Indonesia sebagai
suatu negara yang merdeka dan berdaulat (G. Moedjanto. 1988: 27). Dalam
konteksnya dengan sejarah pergerakan nasional Indonesia, Suhartoyo
Hardjosatoto (1985: 32-33) berpendapat bahwa kata pergerakan mengandung dua
pengertian. Pengertian pertama mengacu pada perubahan menuju suatu keadaan
tertentu yang diinginkan, sedangkan pengertian lainnya yaitu menunjuk pada fakta
atau fakta-fakta proses perubahan termaksud. Untuk lebih jelasnya dapat
diterangkan sebagai berikut:
1) Dalam pengertiannya yang pertama, pergerakan ini merupakan suatu proses
yang dinamis yakni berupa suatu ilustrasi mengenai terjadinya semacam
proses perjuangan menuju suatu kadaan tertentu yang diinginkan. Dalam
hubungannya dengan pergerakan nasional maka pengertiannya mengacu pada
suatu deskripsi mengenai dinamika proses perjuangan yang terjadi untuk
mengubah suatu keadaan tertentu, khususnya sistem politik dari sesuatu
bangsa (nation), secara konkritnya yakni dari suatu sistim politik kolonial,
menuju suatu sistim politik yang diinginkan yakni sistim politik nasional, jadi
tercapainya kemerdekaan nasional terutama di bidang politik. Dengan
31

demikian proses perjuangan ini terjadi antara unsur-unsur kekuatan


kebangsaan yang berbenturan dengan unsur-unsur kekuatan kolonial. Proses
perjuangan dan perbenturan kekuatan ini terjadi di dalam sistim kolonial itu
sendiri dan ini ingin diubah menjadi suatu keadaan baru atau sistim baru yang
diinginkan tersebut.
2) Pengertian kedua mengacu pada fakta atau fakta-fakta yang menunjukkan
adanya proses perubahan seperti yang dimaksudkan pada angka 1) di atas.
Fakta-fakta ini merupakan bentuk konkrit daripada adanya proses perjuangan
antara unsur kekuatan kebangsaan menentang unsur kekuatan kolonial yang
pernah terjadi. Jadi mengacu pada berbagai fakta mengenai organisasi-
organisasi yang ingin mewujudkan tujuan nasional khususnya organisasi
politik dalam segala aspeknya. Berbagai aspek yang menyangkut organisasi
ini antara lain mengenai terjadinya, tujuannya, bentuk-bentuk perjuangannya,
bentuk-bentuk kerjasama yang dilakukan untuk mencapai tujuannya, kesulitan
yang dialami.
Analisa mengenai pengertian pergerakan di atas dapat disintesakan
menjadi satu pengertian. Dengan demikian sejarah pergerakan nasional Indonesia
ini menunjuk pada ilmu sejarah yang mempelajari proses perubahan dan fakta-
fakta mengenai proses perubahan menuju keadaan yang diinginkan yakni
kemerdekaan nasional di Indonesia.
Susanto Tirtoprodjo (1970: 35) mengemukakan bahwa pergerakan
adalah perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, untuk mengakhiri penjajahan
yang sifat perjuangannya sudah berbentuk organisasi yang teratur. Sedangkan
menurut C. S. T. Kansil dan Julianto (1983: 15) istilah pergerakan mengandung
pengertian sebagai perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dengan
menggunakan organisasi yang teratur. Dan istilah nasional dimaksudkan sebagai
pergerakan-pergerakan yang bercita-cita nasional yaitu cita-cita mencapai
kemerdekaan bangsa. Berdasarkan pendapat tersebut maka pergerakan nasional
dapat diartikan sebagai pergerakan bercita-cita nasional yang muncul dari
masyarakat senasib untuk mengakhiri penjajahan dan sifat perjuangannya sudah
berbentuk organisasi yang teratur untuk mencapai kemerdekaan.
32

Kahin (1995: 26) mengungkapkan bahwa nasionalisme adalah kesetiaan


tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada negara. Karena hal tersebut sangat
penting bagi kehidupan suatu negara. Nasionalisme terbentuk oleh faktor masa
lampau, agama dan bahasa. Sehingga dengan adanya nasionalisme akan
menyebabkan munculnya kesadaran nasional di kalangan rakyat.
Lahirnya pergerakan nasional Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
adanya kesadaran nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia dan nasionalisme itu
sendiri merupakan hasil yang paling penting dari pengaruh kekuasaan bangsa
Barat di negara-negara terjajah. Nasionalisme merupakan suatu gejala historis
yang telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi dan
sosial yang ditimbulkan oleh kondisi kolonial. Nasionalisme dan kolonialisme itu
tidak dapat terlepas satu sama lain dan terasa sekali adanya pengaruh timbal-balik
antara nasionalisme yang sedang berkembang dan politik kolonial dengan
ideologinya. Di satu pihak kekuasaan kolonial memaksakan peraturan-peraturan
yang keras untuk menindas nasionalisme, sedangkan di pihak lain, kaum
nasionalis melancarkan serangan terhadap pemerintah kolonial (Sartono
Kartodirdjo. 1999: 33).
Pergerakan nasional Indonesia meliputi semua macam aksi yang
dilakukan dengan menggunakan organisasi modern ke arah perbaikan hidup untuk
bangsa Indonesia, karena tidak puas dengan keadaan masyarakat yang sudah ada
(A. K P ringgodigdo. 1991: VI). Tujuan nasionalisme Indonesia merupakan tujuan
dari pergerakan nasional Indonesia sendiri. Walaupun terdapat perbedaan corak
dan sifat dari organisasi-organisasi pergerakan, namun tujuannya dapat dikatakan
sama yaitu mencapai kemerdekaan dan melenyapkan sistem kolonialisme (C. S.
T. Kasil dan Julianto. 1983: 12).
C. S. T. Kansil dan Julianto (1983: 17) berpendapat bahwa pergerakan
nasional Indonesia tumbuh dan berkembang sebagai reaksi terhadap kebijakan-
kebijakan kolonial yang sangat merugikan rakyat Indonesia dan kelahirannya
dipercepat oleh beberapa kejadian antara lain:
1) Tersia-sianya rakyat Indonesia dalam bidang pengajaran dan pendidikan,
2) P erlakuan pemerintah kolonial yang sangat melukai hati rakyat,
33

3) Suara beracun pers Belanda serta sikap angkuh dari masyarakat Belanda di
Indonesia, dan
4) Adanya gerakan orang-orang Cina dengan didirikannya perguruan bagi
masyarakat mereka sendiri yakni Tionghoa Hwee Kw an tahun 1901.
G. Moedjanto (1988: 26) mengungkapkan bahwa lahirnya pergerakan
nasional dipengaruhi oleh faktor ekstern (luar negeri) dan faktor intern (dalam
negeri). Adapun faktor atau sebab-sebab dalam negeri adalah:
1) Penderitaan akibat penjajahan, dalam hal ini bangsa Indonesia merasa senasib
sepenanggungan, sama-sama dijajah Belanda. Jadi hal ini merupakan reaksi
terhadap penjajahan.
2) Kesatuan Indonesia di bawah Pax Neerlandica memberi jalan ke arah
kesatuan bangsa.
3) Pembangunan komunikasi antar pulau menyebabkan semakin mudahnya dan
semakin sering bertemunya rakyat dari berbagai kepulauan.
4) Pembatasan penggunaan atau penyebaran bahasa Belanda di kalangan pribumi
di satu pihak dan penggunaan bahasa Melayu yang dipopulerkan di lain pihak
menyebabkan bahasa yang berasal dari sekitar selat Malaka ini menjadi
bahasa Indonesia; bahasa ini kemudian menjadi tali pengikat kesatuan bangsa
yang ampuh.
5) Undang-undang desentralisasi 1903, yang di antaranya mengatur masalah
pembentukan kota praja (g emeente atau haminte) dan dewan-dewan kotapraja
memperkenalkan rakyat Indonesia akan tata cara demokrasi yang modern.
6) Pergerakan kebangsaan di Indonesia dapat juga disebut sebagai reaksi
terhadap semangat kedaerahan yang tidak menguntungkan bagi perjuangan
kemerdekaan (semangat kedaerahan membuat bangsa Indonesia terpecah-
belah dan lemah).
7) Inspirasi kejayaan Majapahit dan Sriwijaya (pengetahuan bangsa Indonesia
tentang kejayaan kedua kerajaan tersebut diperoleh dari banyak sarjana Barat
juga).
34

Sedangkan faktor-faktor luar negeri yang menjadi sebab dari perkembangan


pergerakan nasional adalah:
1) Ide-ide Barat yang masuk lewat pendidikan Barat yang modern, menggantikan
pendidikan tradisional (pondok, pesantren, wihara-wihara).
2) Kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 mengembalikan kepercayaan
bangsa Indonesia akan kemampuan diri sendiri.
3) Pergerakan dan perjuangan bangsa lain menentang penjajahan; India, Turki,
Irlandia dan lain-lain.
Gerakan nasional rakyat Indonesia terhadap kekuasaan Belanda pada
periode 1900-1942 merupakan bentuk reaksi modern yang bersifat rasional serta
menggunakan sistem organisasi modern. Ideologi yang mendasari ialah
nasionalisme dan kepemimpinannya berotoritas legal-rasional, sesuatu yang
sungguh-sungguh baru di bumi Indonesia. Kepemimpinan yang berotoritas legal-
rasional merupakan dampak modernisasi sistem pendidikan pada abad ke-20,
yaitu munculnya kaum intelektual sebagai elite baru (modern) pada stratifikasi
sosial masyarakat Indonesia (Sartono Kartodirdjo. 1999: 47). Selain itu para
pemimpin pergerakan nasional juga banyak yang berasal dari kalangan priyayi
dan ningrat atau dengan singkat mempunyai hubungan-hubungan erat dengan
raja-raja (Onghokham. 1987: 105). Dan puncak dari adanya pergerakan nasional
Indonesia adalah proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan pada
tanggal 17 Agustus 1945 sebagai wujud dari pencapaian cita-cita kemerdekaan
dan pengakuan kedaulata n bangsa Indonesia.
Perkembangan-perkembangan ke arah kesatuan dalam pergerakan tentu
sangat dikhawatirkan oleh pihak Belanda yang melihat di dalamnya ancaman
yang serius terhadap kekuasaannya yang mungkin lebih mengkhawatirkan
daripada perkembangan-perkembangan lainnya (Onghokham. 1987: 111).
Lahirnya organisasi pergerakan nasional Indonesia merupakan reaksi logis dan
realistis sebagai antitesis (reaktif) terhadap eksistensi kolonialisme dengan segala
manifestasinya. Sebagai bentuk antitesis (reaktif), maka konsep-konsep dan
perjuangan pergerakan nasional Indonesia akan sejajar dengan praktek-praktek
kolonialisme dalam bebagai dimensinya. Artinya, jika kolonialisme bergerak
35

dalam tiga lapangan, yakni di lapangan politik (dominasi politik), di lapangan


sosial-ekonomi (eksploitasi ekonomi) dan di lapangan kultural (penetrasi kultural)
(Roeslan Abdulgani. 1957: 9), maka pergerakan nasional Indonesia juga akan
bergerak dalam tiga lapangan yang sama, yakni di lapangan politik (ingin
menumbangkan dominasi politik), di lapangan sosial-ekonomi (ingin
menghentikan ekspoitasi ekonomi) dan di lapangan kultural (ingin menumbuhkan,
memperkuat dan mengembangkan budaya sendiri).
Bedasarkan pengertian tentang pergerakan nasional di atas maka dapat
disimpulkan bahwa pergerakan nasional merupakan suatu perjuangan untuk
menumbuhkan kesadaran rakyat Indonesia karena mempunyai kesamaan latar
belakang, nasib dan tujuan hidup yang merupakan satu kesatuan anggota
masyarakat yang bebas untuk mengatur dan menentukan nasib bangsa Indonesia
sendiri yaitu pencapaian kemerdekaan secara utuh melalui kekuatan politik
dengan membentuk organisasi-organisasi modern serta mengadakan rekruitmen
pendukungnya berdasarkan kesadaran politik (nasional) yang tidak terpisahkan
dari perkembangan ideologi modern yaitu nasionalisme.
36

B. KERAN GKA BERPIKIR

Kolonialisme Belanda

P olitik Kolonial Belanda

P olitik Etis P olitik Islam


Hindia-Belanda

Irigasi Edukasi Emigrasi

Elit Modern

Pergerakan Nasional

Peranan
Jong Islamieten Bond
dalam Pergerakan Nasional

Ke terangan:
Adanya tekanan penindasan dari bangsa Belanda (praktek-praktek
kolonialisme) yang telah berpuluh-puluh tahun memunculkan rasa senasib
sepenanggungan sehingga mendorong semakin kuatnya nasionalisme di kalangan
rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa untuk menggalang
persatuan melawan kaum penjajah untuk mewujudkan negara merdeka yang
terbebas dari ancaman penjajahan bangsa mana pun di dunia. Munculnya
nasionalisme sebagai dampak dari semakin berkembangnya kolonialisme tersebut
37

mendorong golongan-golongan pelajar untuk melakukan pergerakan melawan


penjajahan Belanda melalui jalan pembentukan organisasi-organisasi pergerakan
yang memperjuangkan nasib rakyat Indonesia pada umumnya pada abad ke-20.
Kemunculan politik etis meski di satu sisi tetap menjadi pola kebijakan
baru Belanda dalam mengelola tanah jajahan namun di sisi lain membawa
pengaruh yang positif terhadap dunia pergerakan di Hindia-Belanda. Karena
dengan adanya pendidikan untuk kaum P ribumi pada akhirnya melahirkan
golongan baru, yakni golongan priyayi akademik atau disebut juga sebagai elite
modern yang menjadi ujung tombak perlawanan terhadap kekuasaan Belanda.
Para elite modern itulah yang kemudian mencita-citakan lenyapnya segala bentuk
diskriminasi ras, perbedaan sosial-ekonomi dan politik (John Ingleson. 1988: 22).
Nasionalisme merupakan sebuah paham, sehingga membawa
konsekuensi dapat memberikan manfaat dan hasil yang konkrit. Untuk itu perlu
adanya seperangkat alat bantu yang dapat mendukung dan memperjuangkan apa
yang menjadi ide-ide dari paham tersebut. Elite baru adalah pribadi yang labil dan
ditandai oleh kesanggupannya yang tinggi untuk mengidentifikasikan dirinya
dengan aspek baru dari lingkungannya. Dan kaum elite baru itulah yang kemudian
mencita-citakan lenyapnya segala bentuk diskriminasi ras, perbedaan sosial-
ekonomi dan politik. Kesadaran itu telah mendorong elite baru untuk mendirikan
organisasi sebagai alat perjuangannya dalam pergerakan nasional. Organisasi yang
teratur dan modern diperlukan untuk mewujudkan ide nasionalisme itu (Cahyo
Budi Utomo. 1995: 52).
Pemerintah kolonial Belanda pada saat itu dihadapkan pada kenyataan
bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam. P emikiran
kolonial Belanda tehadap Islam Indonesia pada awalnya dilandasi oleh pandangan
yang keliru. Islam dibayangkan sebagai sebuah agama yang diorganisasikan
secara ketat. P andangan tersebut berdasarkan hubungan antara umat Islam
Indonesia dengan para Sultan Islam di luar negeri, hubungan tersebut dipandang
seperti hubungan antara umat Katolik dengan P aus di Roma. Menurut Belanda,
Islam dalam kehidupannya sudah diatur dengan hukum Islam secara menyeluruh
termasuk dalam hubungan internasionalnya. Islam dengan demikian dianggap
38

sebagai musuh yang ditakuti. Ketakutan ini telah mendorong Belanda untuk
merumuskan sebuah politik aliansi dengan elemen di dalam tubuh masyarakat
Indonesa terutama para pangeran dan priyayi Jawa. Raja-raja dan kepala adat di
luar pulau Jawa yang karena alasan politiknya sendiri terkenal sebagai penganut
Islam yang tidak telalu fanatik atau bahkan musuh terang-terangan Islam (H. J.
Benda. 1980: 38-39).
Sejalan dengan kebijakan itu, maka pendidikan yang diselenggarakan
pemerintah dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan
pelajaran agama Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. P elaksanaan
sistem pendidikan ini mengupayakan sekularisasi di dunia pendidikan dengan
menyingkirkan pelajaran keagamaan dari dunia sekolah. Akibat dari sistem
pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak mempunyai kesempatan belajar
sendiri di luar sekolah menjadi kurang pemahamannya dari agama Islam. Seorang
Agus Salim bahkan pernah merasa hampir kehilangan iman selepas HBS
(Darmansyah, dkk. 2006: 2).
Para pemimpin umat Islam menyadari bahwa reaksi terhadap peristiwa
dan perlakuan tidak adil dari penjajah tidak cukup dilawan dengan kritik-kritik
saja. Ancaman terhadap eksistensi Islam secara mendasar memerlukan reorientasi
organisasi. Tujuannya agar kepentingan umat Islam dapat dijaga lebih tepat dari
masa-masa yang lalu (H. J. Benda. 1980: 119). Di kalangan umat Islam Indonesia
kemudian timbul pula kesadaran untuk berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan
umat Islam mulai terpupuk hingga melahirkan suatu pergerakan yang sangat
penting artinya bagi nasionalisme Indonesia. Wujud dari usaha para elite modern
dalam penanaman pengaruhnya kepada para pemuda untuk mempunyai jiwa
nasionalis tersebut terlihat dalam pergerakan-pergerakan kaum intelektual dengan
jalan pembentukan organisasi modern sebagai alat perjuanganya, antara lain
dengan dibentuknya Jong Islamieten Bond (JIB) sebagai wadah bagi pergerakan
pemuda Muslim di Indonesia pada tahun 1925-1942.
Elit modern alumni JIB yang memperoleh pendidikan modern Belanda
secara tidak langsung antara lain Agus Salim, Sjamsoeridjal, Kasman
Singodimedjo, Mohammad Roem dan Mohammad Natsir. P ara elite modern
39

tersebut kemudian memegang peranan penting setelah Indonesia merdeka.


Dengan demikian JIB memegang peranan besar dalam perjuangan para pemuda
Muslim Indonesia di tengah kancah pergerakan nasional tahun 1925-1942 dan
kemunculan JIB merupakan wujud keprihatinannya terhadap kondisi para pemuda
yang masih bersifat kedaerahan serta kurangnya pemahaman pemuda pelajar
Islam terhadap agamanya sendiri. P adahal agama Islam merupakan agama
mayoritas yang dianut oleh masyarakat Hindia-Belanda pada masa itu, suatu
masyarakat yang nantinya para kaum intelektual menjadi pemimpin dalam
masyarakat tersebut. Sehigga JIB yang dimotori oleh para pemuda intelektual
Muslim berkeyakinan bahwa hanya Islam yang mampu menjadi dasar untuk
bersatu dalam mengusir Belanda dan pada akhirnya dapat mewujudkan Indonesia
merdeka lepas dari belenggu penjajahan bangsa Belanda.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Te mpat dan Wak tu Penelitian

1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data
melalui studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai tempat
mencari data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2) Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
3) Perpustakaan P rogram Studi P endidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
4) Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
5) Perpustakaan Monumen P ers Surakarta.
6) Perpustakaan Daerah Surakarta.
7) Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta.
8) Perpustakaan St. Kolose Ignasius Yogyakarta.
9) Buku-buku koleksi penulis.

2. Waktu P enelitian
Waktu yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai dari
disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Januari 2010 sampai dengan selesainya
penulisa n skripsi ini yaitu pada bulan Juli 2010.

B. Metode pe ne litian
Menurut Koentjaraningrat (1977: 16) bahwa kata metode berasal dari
bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan karya

40
41

ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk
memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Sedangkan
menurut Helius Syamsudin (1994: 2), ”Metode ada hubungannya dengan suatu
prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin
ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek (bahan-bahan) yang diteliti”.
Metode yang digunakan oleh seorang peneliti dalam melakukan
penelitiannya harus sesuai dengan rancangan penelitian yang akan dilaksanakan.
Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini, maka metode
yang digunakan adalah metode historis. Metode ini sebagai perangkat asas atau
kaidah yang sistematis yang digubah secara efektif untuk mengumpulkan data
sejarah, menilainya secara kritis dan menyatakan suatu sintesa yang dicapai
melalui historiografi (Ibrahim Alfian. 1987: 18). Sedangkan menurut Louis
Gottschalk (1975: 32), ”Metode historis adalah suatu kegiatan mengumpulkan,
menguji dan menganalisa data yang diperoleh dari peninggalan-peninggalan masa
lampau kemudian merekonstruksikan berdasarkan data-data yang diperoleh
hingga menghasilkan kisah sejarah”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat rekonstruksi masa
lampau secara obyektif dan sistematis dengan mengumpulkan, mengevaluasikan,
menjelaskan dan mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan menarik
kesimpulan secara tepat (Muh. Nazir. 1988: 55-56).
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode
penelitian historis merupakan kegiatan mengumpulkan sumber-sumber sejarah
yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji, yaitu yang berkaitan dengan
Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional pemuda Islam di Indonesia
pada tahun 1925-1942. Dengan metode sejarah tersebut penulis juga mencoba
merekonstruksi kembali, menguji dan menganalisa secara kritis suatu peristiwa
yang telah terjadi di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi
sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, obyektif
dan menarik.
42

C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sejarah, yaitu segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai bahan penelitian atau
merekonstruksikan kembali peristiwa sejarah. Menurut Dudung Abdurrachman
(1999: 30), ”Data sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan pengolahan,
penyeleksian dan pengkategorian”.
Dalam usaha untuk mengunpulkan data-data yang diperlukan, penulis
menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis menurut Hadari Nawawi (1998: 80)
dibagi menjadi dua: (1) data primer, yaitu data autentik atau data langsung dari
tangan pertama tentang masalah yang diungkapkan, (2) data sekunder, yaitu data
yang mengutip dari sumber lain sehingga tidak bersifat autenik karena sudah
diperoleh dari tangan kedua. Data ini disebut sebagai data tidak asli.
Louis Gottschalk (1975: 35) mengemukakan bahwa sumber tertulis
primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri. Sumber
tertulis primer juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan dari masa yang
sejaman dan berasal dari orang yang sejaman. Sedangkan sumber tertulis sekunder
merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari
seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis
sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak
sejaman dengan peristiwa yang dikisahkannya. Sumadi Suryabrata (1997: 16-17)
mengungkapkan tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekontruksi
masa lampau secara sistematis dan obyekif dengan cara mengumpulkan,
mengevaluasi, memverifikasi serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan
fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.
Dalam penelitian ini penulis tidak menemukan sumber primer sebagai
sumber data, maka penulis menggunakan sumber data sekunder dan sumber data
pendukung yang berupa buku, majalah dan literatur lain yang relevan serta
memuat informasi tentang Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional
pemuda Islam di Indonesia pada tahun 1925-1942. Adapun sumber data sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berupa buku-buku yang
mendukung, seperti ”Jong Islamieten Bond: Pergerakan Pemud a Islam 1925 -
43

194 2”, karangan Darmansyah, dkk; ”Cendek iawan Islam Zaman Beland a: Studi
Pergerak an Intelek tua l JIB & SIS (’25-’42)” karangan Ridwan Saidi; ”Politik
Islam Hind ia-Beland a” karangan Aqib Suminto; ”Gerak an Modern Islam Di
Indo nesia 1900-1942”, karangan Deliar Noer; ”Jala n Ke Pengasing an .
Pergerak an Nasiona lis Indon esia Tahun 1927-1934”, karangan John Ingleson;
”Bulan Sa bit dan Matahari Terbit”, karangan H. J. Benda; ”Munculnya Elit
Mod ern Indonesia” karangan Robert van Niel; ”Dinamika Pergerak an
Keban gsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Indonesia Merdek a” karangan
Cahyo Budi Utomo; ”Sejarah Pergerak an Rak yat Indonesia”, karangan A. K.
Pringgodigdo dan lainnya.

D. Tek nik Pe ngumpulan Data


Teknik pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode
pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Masalah
memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data. Banyak masalah
yang dirumuskan tidak akan bisa terpecahkan karena metode untuk memperoleh
data yang digunakan tidak memungkinkan ataupun metode yang ada tidak dapat
menghasilkan data seperti yang diinginkan. Jika hal demikian terjadi, maka tidak
ada jalan lain lagi selain peneliti menukar masalah yang ingin dipecahkan (Muh.
Nazir. 1988: 211).
Berdasarkan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka
dalam melakukan teknik pengumpulan data digunakan teknik kepustakaan atau
studi pustaka yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dengan membaca buku-
buku literatur, majalah-majalah, surat kabar dan bentuk pustaka lainnya. Dengan
penggunaan teknik studi pustaka ini maka akan diperoleh teori, konsep serta data-
data yang dibutuhkan dalam menjawab permasalaan yang sedang dikaji dalam
penelitian sehingga dapat dijadikan sebagai bahan menyusun cerita sejarah dengan
mudah, efektif dan dapat dipertanggungjawa bkan kebenarannya.
Studi pustaka ini perlu dilakukan untuk menggali teori-teori yang telah
ada agar memperoleh orientasi yang lebih luas dalam permasalahan yang dipilih
44

serta menghindarkan terjadinya duplikasi yang tidak diinginkan. Studi pustaka


diperlukan untuk mendapatkan sumber data yang mendukung penelitian serta
mengetahui sejauh mana pengetahuan mengenai hal yang berhubungan dengan
penelitian yang telah dilakukan (Moh. Nazir. 1988: 111). Koentjaraningrat (1977:
3) mengungkapkan bahwa teknik studi pustaka dapat diartikan sebagai suatu
metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau
fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau
arsip, surat kabar atau brosur yang tersimpan di dalam perpustakaan.
Teknik studi pustaka dapat dilakukan dengan menggunakan sistem
katalog. Hal ini sejalan dengan pendapat Louis Gottschalk (1975: 45) bahwa
tempat penelitian yang lazim bagi seorang sejarawan adalah perpustakaan dan alat
yang paling bermanfaat bagi seorang sejarawan adalah katalogus. Mengenai
katalogus perpustakaan, biasanya terkandung keterangan mengenai suatu masalah
yang mencantumkan nama pengarang, judul buku, subyek yang dicatat dan
sumber pada halaman. Karena itu perlu mengingat beberapa kata kunci (key
words) yang terdapat di dalam subyek yang dibahasnya, sehingga dapat
menemukan buku dan artikel yang dimasukkan ke dalam katalogus di bawah salah
satu di antara kata-kata kunci. Tiap subyek sejarah mengandung beberapa indikasi
mengenai orang, tempat, periode dan jenis jabatan manusia yang bersangkutan.
Dengan demikian maka peneliti dapat menghitung empat perangkat judul yang
dapat dipergunakan untuk mencari judul buku maupun pengarang yang relevan di
dalam katalog.
Langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti yaitu dengan pencatatan
menggunakan buku. Dalam kegiatan ini dilakukan dengan mengumpulkan buku-
buku dan literature yang sesuai dengan tema penelitian, kemudian diklasifikasikan
menurut data yang diperlukan sampai terkumpul menjadi bahan analisa penelitian
yang disajikan dalam historiografi (Dudung Abdurrahaman. 1999: 56).
Pengumpulan data dalam penelitian ini merupakan hal yang terpenting.
Melalui pengumpulan data dengan sistem kepustakaan ini akan memperoleh
keuntungan pengetahuan ilmiah yang dekat dengan gejala yang dipelajari,
memberikan pengertian dalam menyusun persoalan secara tepat, ketajaman
45

interprestasi, analisa maupun kesempatan memperoleh pengalaman alamiah.


Dengan penggunaan teknik studi pustaka ini maka peneliti mengadakan
kunjungan ke perpustakaan-perpustakan baik yang ada di wilayah Surakarta
maupun di luar wilayah Surakarta untuk mendapatkan data-data yang berkaitan
dengan penulisan skripsi ini, baik berupa buku-buku literatur, majalah maupun
bentuk pustaka lainnya yang tersimpan di dalam perpustakaan. Adapun
perpustakaan-perpustakan yang peneliti kunjungi antara lain P erpustakaan Pusat
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, P erpustakaan P rogram Studi
Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, P erpustakaan Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan
Monumen Pers Surakarta, P erpustakaan Daerah Surakarta, Perpustakaan Radya
Pustaka Surakarta dan P erpustakaan St. Kolose Ignasius Yogyakarta.

E. Te knik Analisis Data


Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan pokok yaitu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang dapat pengungkap tentang Jong Islamieten Bond
(JIB) dalam kancah pergerakan nasional pemuda Islam pada tahun 1925-1942.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan analisis data agar mendapatkan
hasil penulisan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta
dapat dijadikan sebagai acuan dalam penulisan selanjutnya yang berkaitan dengan
topik masalah yang telah dikaji.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis historis yaitu
teknik analisis yang menggunakan ketajaman dalam melakukan intrepretasi data
sejarah. Pengkajian fakta-fakta sejarah oleh sejarawan tidak terlepas dari unsur-
unsur subyektifitas sehingga diperlukan konsep-konsep dan teori-teori sebagai
cerita penyeleksi dengan pengklasifikasian (Sartono Kartodirjo. 1992: 85).
Sedangkan menurut Helius Syamsuddin (1994: 89) teknik analisis data historis
adalah teknis analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai
metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah.
Fakta merupakan bahan utama yang disajikan sejarawan untuk menyusun
46

historiografi dan pada hakekatnya fakta merupakan hasil analisis dari pemikiran
sejarawan, sehingga fakta dalam historiografi tersebut mengandung subyektifitas
dari penulis.
Dalam proses menganalisa karya sejarah maka diperlukan kritik intern
dan kritik ekstern. Kritik intern merupakan kritik yang berkenaan dengan isi
pertanyaan yang diucapkan manusia pada masa lampau. Kritik ekstern merupakan
kritik tentang keadaan sumber yang berkenaan dengan keautentikan sumber
sejarah (Sartono Kartodirdjo. 1982: 32).

F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah tata urutan yang harus dilaksanakan dalam
proses penelitian agar peneliti mendapatkan hasil yang optimal. Langkah-langkah
penelitian awal yaitu persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil
penelitian. Setiap penelitian mempunyai prosedur penelitian yang berbeda-beda.
Hal tersebut disesuaikan dengan disiplin ilmu dan tujuan yang akan dicapai oleh
peneliti. Karena penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat
tahap yang harus dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik,
interpretasi dan historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:

He uristik Kritik Interpretasi Historiografi

Fakta Se jarah Ce rita Se jarah


47

Keterangan:
1. Heuristik
Heuristik berasal dari bahasa Yunani yaitu heurisk in yang berarti to find
yang artinya mencari dahulu baru menemukan. Dalam penelitian sejarah, heuristik
berarti langkah-langkah untuk mencari dan mengumpulkan berbagai sumber
sejarah atau merupakan suatu teknik yang membantu kita untuk mencari jejak-
jejak sejarah. Untuk mendapatkan sumber tersebut dapat dilakukan dengan cara
mencari dokumen, mengunjungi situs sejarah, mengujungi museum dan
perpustakaan, wawancara dengan pelaku atau saksi sejarah. Sidi Gazalba (1966:
15) mengemukakan bahwa heuristik adalah kegiatan mencari bahan atau
menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil penelitian. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Helius Syamsudin (1994: 15) yang menyatakan bahwa
heuristik adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah, pada tahap ini peneliti
menemukan sumber data yang sesuai dengan tema penelitian.
Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-
sumber tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang berkaitan
dengan Jong Islamieten Bond (JIB) dalam kancah pergerakan nasional pemuda
Islam Indonesia pada tahun 1925-1942. Sumber-sumber tertulis tersebut diperoleh
dari beberapa perpustakaan, diantaranya Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas
Maret, P erpustakaan Jurusan Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan Universitas
Sebelas Maret, Perpustakaan P rogram Studi Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta,
Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta dan P erpustakaan St. Kolose Ignasius
Yogyakarta.

2. Kritik
Tugas penyelidik dalam penelitian historik ini adalah mengadakan
rekonstruksi mengenai masa lampau. Tetapi di dalam mengadakan rekonstruksi
itu, tidak semua peristiwa yang sudah silam dapat diulangi terjadinya, sehingga
penyelidik harus banyak mendasarkan diri pada fakta-fakta sejarah dan
48

membangun pemecahan persoalannya atas fakta itu. Fakta tersebut, yang


diterimanya dari berbagai sumber, banyak bergantung pada orang-orang yang
terdahulu hidup dan menjadi pelaku atau pembuat sejarah yang kini diselidikinya.
Karena itu, penyelidik harus mempunyai cara-cara untuk meneliti apakah fakta itu
benar-benar asli dan dapat dipercayai ataukah tidak. Cara-cara meneliti data
serupa itulah yang dimaksud dengan kritik historik . Kritik historik yang lazim
dipakai dibagi dalam dua fase, yaitu 1) k ritik ek stern meneliti keaslian data,
apakah sumber data itu merupakan sumber yang asli ataukah palsu atau tiruan.
Sehingga peneliti harus menempuh berbagai cara yang disesuaikan dengan
kebutuhannya untuk mendapatkan data yang valid dan 2) kritik intern adalah
kelanjutan dari kritik ekstern, bertujuan untuk meneliti kebenaran isi (data)
sumber itu. Apabila telah diketahui bahwa sumber itu benar sebagai sumber asli
(kritik ekstern), maka penelitian perlu dilanjutkan dengan menganalisis isi sumber
tersebut agar dapat dipercayai kebenaran dan ketelitiannya (Winarno Surakhmad.
1985: 134-135).
Menurut Helius Sjamsudin (1994: 103) bahwa keabsahan sumber dicari
melalui pengujian mengenai kebenaran atau ketetapan sumber. Kritik terhadap
sumber data dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern.
Kritik ekstern pada sumber tertulis dilihat dari pengarangnya. Kritik ekstern
adalah kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang berkenaan dengan segi-
segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti bahan (kertas atau tinta) yang
digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya dan segi penampilan yang lain.
Sedangkan kritik intern merupakan kritik yang berhubungan dengan kredibilitas
dari sumber sejarah yang berkaitan dengan isi, fakta dan ceritanya agar nantinya
dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka kritik ekstern dilakukan
dengan cara melihat pada sumber tertulis dilihat dari pengarangnya. Beberapa
anggota dari Jong Islamieten Bond (JIB) dikemudian hari ada yang menuliskan
pengalaman yang telah dialaminya dalam pergerakan JIB pada tahun 1925-1942,
baik berupa artikel maupun buku, seperti Mohammad Roem. Sedangkan pada
tahap kritik intern dilakukan dengan cara memperhatikan dan memastikan
49

kebenaran isi sumber dengan membaca buku-buku karangan Darmansyah, dkk;


Ridwan Saidi; Yudi Latif dan lainnya. Langkah berikutnya adalah
membandingkan kesaksian yang diperoleh dari berbagai sumber dan
mencocokkan sumber data yang satu dengan sumber data lainnya, baik sumber
data yang berupa buku dan artikel satu dengan buku dan artikel lainnya. Dengan
melakukan cara tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa isi tulisan dapat
dipercaya serta dari kritik intern dan kritik ekstern tersebut juga diperoleh sumber
data yang valid.

3. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut dengan analisis
sejarah. Analisis berarti menguraikan, secara terminologi berbeda dengan sintesis
yang berarti menyatukan. Namun keduanya, analisis dan sintesis dipandang
sebagai metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo. 2001: 100).
Berbagai fakta sejarah yang telah didapatkan kemudian dirangkai sehingga
mempunyai bentuk dan struktur untuk direkronstruksi. Dalam proses inilah
diperlukan interpretasi, yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah. Dalam
menafsirkan suatu fakta mutlak diperlukan landasan interpretasi agar tidak terjadi
penafsiran yang tanpa dasar. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam menafsirkan suatu fakta di antaranya karena adanya beberapa
perbedaan seperti idiologi, kepentingan, tujuan, penulisan dan sudut pandang.
Untuk memeriksa suatu fenomena historis seorang sejarawan harus
selalu berhubungan dengan fakta-fakta sejarah. Suatu interpretasi yang tertentu
tidak dapat dihindari oleh sejarawan. Sejarawan harus melepaskan pikiran, bahwa
sejarawan dapat menghadapi data historis dengan pikiran yang bersih dan
menangkap fakta dalam keadaan yang sebenarnya (Sartono Kartodirdjo. 1982: 63-
64).
Interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan atau mengaitkan
antara sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lainnya, sehingga dapat
diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang menjadi
obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna dan
50

ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut sesuai
dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan kritik sumber dan interpretasi
tersebut dihasilkan fakta sejarah atau sintesis sejarah.

4. Historiografi
Historiografi adalah kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi suatu
kisah. Historiografi merupakan langkah terakhir dari prosedur penelitian dalam
metode sejarah yaitu proses penulisan dan penyusunan kisah masa lampau yang
direkrontruksi berdasarkan pada fakta yang telah diberi penafsiran atau
merupakan suatu kegiatan penyusunan fakta sejarah menjadi kisah sejarah yang
disajikan dalam bentuk tulisan. Peristiwa sejarah yang dikisahkan melalui
historiografi akan sangat dipengaruhi oleh subyektifitas si Penulis dalam
merekontruksinya.
Historiografi menurut Dudung Abdurahman (1999: 67) merupakan cara
penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah. Sedangkan menurut
Helius Sjamsudin (1992: 153), historiografi merupakan kegiatan menyampaikan
hasil sintesa fakta-fakta yang diperoleh dalam bentuk kisah sejarah. Dalam
historiografi seorang penulis tidak hanya menggunakan ketrampilan teknis,
penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan tetapi penulis juga dituntut untuk
menggunakan pikiran kritis dan analisis. Interpretasi yang dilakukan terhadap
fakta sejarah dapat menghasilkan suatu cerita atau kisah sejarah. Serangkaian
kisah sejarah tersebut disajikan dalam suatu penulisan atau historiografi.
Penulisan sejarah mempunyai unsur yang sama dengan penulisan sastra
yaitu sama-sama menyajikan suatu kisah, bedanya dalam sejarah. Sehingga dalam
penulisan sejarah perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasanya agar orang
tertarik untuk membacanya. Selain itu, imajinasi juga sangat diperlukan untuk
merangkaikan antara fakta yang satu dengan fakta lainnya, sehingga
menghasilkan suatu kisah sejarah yang menarik untuk dibaca dan dapat dipercaya
kebenarannya.
51

Tahap historiografi ini merupakan langkah terakhir dalam metodologi


atau prosedur penelitian historis. Dari data-data sejarah yang berhasil
dikumpulkan oleh peneliti, maka peneliti berusaha memaparkan hasil penelitian
yang telah dilaksanakan dengan menggunakan bahasa yang ilmiah beserta
argumentasi secara sistematis. Selain itu, peneliti juga berusaha agar penelitian ini
menarik, logis, obyektif dan dapat dipercaya. Dalam penelitian ini, historiografi
diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul “Pergerakan
Nasional Pemuda Islam (Studi tentang Jong Islamieten Bond 1925-1942)”
sebagai obyek penelitian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Latar B elak ang Be rdirinya J ong Islamie te n Bond

1. Politik Islam Hindia-Belanda


Penyebaran agama Islam di kepulauan Indonesia dirintis oleh para
pedagang Arab dengan penuh damai. Sebaliknya agama Kristen mulai
diperkenalkan Portugis dengan kekerasan yang berlandaskan jiwa pemberontakan
dan permusuhan terhadap Islam. Orang-orang P ortugis menjelang abad ke-16
segaja datang ke berbagai pelosok dunia antara lain untuk memerangi Islam dan
menggantikannya dengan agama Kristen. Tetapi penakhlukkan yang dibarengi
dengan aktivitas missi yang hebat ini justru membangkitkan lawan-lawannya
untuk beraksi dan memicu masuknya pangeran-pangeran Indonesia untuk
memeluk agama Islam (Aqib Suminto. 1985: 16-17).
Dalam skala yang lebih kecil, muncul pengancam Barat lainnya yaitu
VOC yang seabad kemudian membawakan akibat yang hampir serupa. Tetapi
dalam hal ini orang Belanda tidak terlalu memperdulikan penakhlukan yang
bersifat agama dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan di bidang
perdagangan. Akan tetapi dalam batas-batas tujuan-tujuan komersial
mengharuskan keterlibatan orang-orang Belanda di dalam masalah-masalah
politik Indonesia, maka perlawanan terhadap campur tangan Belanda tidak jarang
cenderung untuk memperkuat sentimen agama Islam. P ersaingan dan perang-
perang perebutan tahta antara penguasa-penguasa yang telah menjadi Islam tidak
jarang memberikan kesempatan kepada orang Portugis dan Belanda untuk
menciptakan alasan mencampuri urusan politik Indonesia. Namun, kebanyakan
perlawanan yang dijumpai Portugis dan Belanda menggumpal sekitar agama
Islam dan di beberapa daerah di Indonesia terutama di Aceh, Islam tetap
melanjutkan peranannya selama berabad-abad sebagai pusat perlawanan terhadap
campur tangan Barat dan kelak terhadap pemerintahan kolonial Belanda (H. J.

52
53

Benda. 1980: 29). Meskipun Islam telah memperkuat dirinya dalam tempo yang
cukup singkat dan secara keseluruhan dengan damai di sebagian besar kepulauan
ini, tidaklah berarti bahwa hal ini dilakukan seragam atau dalam tingkat intensitas
yang sama. Hanya di daerah-daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan
Hindu di abad-abad yang lalu, seperti Aceh dan Minangkabau di Sumatra Utara
serta Banten di Jawa Barat agama Islam sejak awal secara mendalam
mempengaruhi kesadaran agama, sosial dan politik para penganutnya. Dengan
demikian di daerah-daerah tersebutlah agama yang baru ini telah menunjukkan
diri dalam bentuk yang lebih murni, kurang toleran dan bahkan kadang-kadang
menjadi agresif. Dengan adanya sinkretisme antara Islam dengan tradisi Hindu-
Budha di daerah setempat, Islam di Jawa untuk jangka waktu yang cukup panjang
lebih penting dalam arti politik daripada religius. Walaupun Islam memberikan
rasa kesatuan dan rasa identitas, sekurang-kurangnya pada mulanya Islam tidak
menimbulkan perubahan yang radikal dalam kehidupan agama dan sosial di pulau
Jawa (H. J. Benda. 1980: 30).
Islam bukan hanya datang untuk menetap dan menyebarkan
pengaruhnya, karena sudah sejak masa-masa yang sangat awal Islam telah
memainkan peranan politik dan ideologis yang luar biasa pentingnya. Selama
empat abad lamanya, perlawanan terhadap pemerintahan Belanda, baik yang
dipimpin oleh mereka yang fanatik agamanya atau tidak terlalu sering akan tetapi
lebih ditakuti yaitu perlawanan yang dipimpin oleh pangeran-pangeran Indonesia
yang mengibarkan panji-panji bulan sabit, hampir dengan sendirinya ada
hubungannya dengan agama Islam. Ketaatan kepada agama Islam di tingkat
pedesaan yang menyebabkan orang-orang merasa tidak mungkin menerima
pemerintahan kolonial sebagai bentuk pemerintahan yang sah dan langgeng di
dalam pikirannya, termasuk penduduk desa yang paling tidak terdidik sekalipun.
Pentingnya arti politik Islam Indonesia, termasuk Islam Jawa, sebagian besar
berakar pada kenyataan bahwa di dalam Islam batas antara agama dan politik
sangatlah tipis. Islam adalah suatu way of life dan agama, walaupun proses
pengislaman di Indonesia dari dulu senantiasa merupakan suatu proses setahap
54

demi setahap, kandungan politik yang ada di dalamnya sudah terasa sejak awal
perkembangannya (H. J. Benda. 1980: 32).
Pemerintah Hindia-Belanda yang berkuasa di Indonesia dihadapkan pada
kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajahnya adalah beragama
Islam. Timbulnya aneka perlawanan seperti perang P aderi (1821-1827), perang
Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lainnya, tidak terlepas
dari kaitannya dengan agama Islam. Namun karena kurangnya pengetahuan yang
tepat mengenai Islam, pada mulanya pemerintah Hindia-Belanda tidak berani
mencampuri agama Islam secara langsung (Darmansyah, dkk. 2006: 1). Sikap
Belanda dalam masalah ini dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut
dan harapan yang berlebihan. Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan
timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Sementara di pihak lain
Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera
menyelesaikan persoalaan (Aqib Suminto. 1985: 9). Semua ini membuat
pemerintah Hindia-Belanda kalang kabut dan terpaksa mengambil sikap lebih
hati-hati dalam kebijaksanaannya terhadap Islam. Kurangnya informasi tentang
Islam membuat posisi mereka semakin sulit (Jan S. Aritonang. 2005: 134).
Politik pemerintah Belanda terhadap Islam memang didasarkan pada
perasaan takut dan sikap tidak mau mencampuri, sebelum Snouck Hurgonje
berkuasa di Hindia-Belanda. Hasrat untuk menjauhkan diri dari campur tangan
terhadap Islam, misalnya menyangkut masalah pembangunan masjid-masjid.
Untuk pembangunan masjid-masjid tidak atau jarang sekali diberikan bantuan
keuangan oleh pihak pemerintah. P emerintah menyatakan, ”Negara, dengan
sendirinya, tidak semestinya campur tangan dengan pembangunan atau dengan
perbaikan bangunan-bangunan suci agama Islam” (G. F. P ijper. 1987: 239).
Tetapi kebijakan untuk tidak mencampuri Islam nampaknya tidak konsisten
karena tidak adanya garis yang tegas. Dalam masalah haji, P emerintah Hindia-
Belanda ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut campur tangan. P ara
haji sering dicurigai, dianggap fanatik dan tukang memberontak. Bahkan pada
tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dibenarkan mencampuri masalah
agama bahkan bila perlu demi kepentingan negara, para ulama harus diawasi
55

(Aqib Suminto. 1985: 10). Tindakan ini kemudian diteruskan dengan membuka
konsulat di Jeddah pada tahun 1972 untuk mengawasi ribuam kaum Muslim yang
berasal dari Indonesia di Arab, baik jemaah haji maupun pemukim (Jan S.
Aritonang. 2005: 135).
Pemerintah kolonial berusaha untuk memberikan batasan-batasan kepada
orang-orang Islam di Indonesia, terutama dalam hal naik haji ke Mekkah. Snouck
Hurgronje meyakinkan para pejabat bahwa mereka tidak perlu mengkhawatirkan
pengaruh para haji. Satu-satunya cara yang paling tepat adalah menghambatnya
secara halus dan tidak langsung, yakni dengan cara mengalirkan semangat
pribumi ke arah lain. Snouck Hurgronje beranggapan bahwa setiap langkah
pribumi yang menuju ke arah kebudayaan Belanda (Barat) berarti menjauhkannya
dari keinginan naik haji (Jan S. Aritonang. 2005: 140). Namun hasil tindakan-
tindakan pembatasan ini sama sekali negatif. Meskipun di Jawa pemberontakan
besar-besaran di bawah panji Islam telah berhenti setelah perang Diponegoro,
frekuensi pemberontakan petani-petani di bawah pimpinan Islam setempat
meningkat. Di Sumatra, Belanda terlibat dalam perang berkepanjangan melawan
orang-orang Aceh yang fanatik. Arah politik baru tentang masalah Islam dengan
demikian menjadi keharusan bagi masa depan pemerintahan Belanda di Indonesia
(H. J. Benda. 1980: 39-40).
Politik Islam pemerintah Hindia-Belanda berubah setelah kedatangan
Snouck Hurgronje pada tahun 1889, politik terhadap Islam atas nasehatnya mulai
didasarkan pada fakta-fakta dan tidak atas rasa takut saja. Snouck Hurgronje
memperingatkan agar Islam sebagai kekuatan politik dan religius jangan
dipandang rendah. Apabila ideologi Islam disebarkan sebagai doktrin politik yang
digunakan untuk membuat perlawanan terhadap pemerintahan asing sebagai
pemerintahan kaum kafir sehingga orang meragukan atau mengingkari legalitas
pemerintah Belanda, maka di sini ada bahaya bahwa fanatisme agama akan
menggerakkan rakyat untuk menghapus orde kolonial (Sartono Kartodirdjo,
Mawarti Djoened P oesponegoro, Nugrohonotosusanto. 1975: 75).
Pemahaman Snouck Hurgronje tentang hakekat Islam di Indonesia,
sangat besar nilainya untuk mengarahkan politik Belanda terhadap Islam menuju
56

suatu arah yang berhasil, sekurang-kurangnya pada permulaan, meskipun masih


terdapat masalah yang tetap terbuka tak berjawab pada masa dirumuskannya.
Prestasi utamanya adalah peranan yang dimainkannya dalam reorientasi politik,
yang bersama dengan taktik-taktik militer yang telah disempurnakan, pada
akhirnya mengakhiri perang Aceh. Kemasyuran Snouck berasal dari perbaikan
hubungan yang lebih umum antara pemerintahan kolonial dengan kebanyakan
pemimpin-pemimpin Islam di Indonesia. Sehingga Snouck mampu membuka
jaman baru hubungan antara Belanda-Indonesia. Di dalam hal ini, analisa-analisa
Snouck Hurgronje yang luar biasa tetap menjadi petunjuk yang tidak dapat
dilewatkan untuk memahami kondisi Islam di Indonesia (H. J. Benda. 1980: 40-
41).
Pemerintah Belanda sebagai kolonialis memerlukan inlandsch po litiek ,
yakni kebijaksanaan mengenai pribumi, untuk memahami dan menguasai pribumi.
Dengan politik Islamnya, Snouck Hurgronje berhasil menemukan seni memahami
dan menguasai penduduk yang sebagian besar Muslim itu. Snouck dikenal
sebagai arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris, yang telah
melengkapi pengetahuan Belanda tentang Islam, terutama dalam bidang sosial dan
politik (Aqib Suminto. 1985: 11).
Snouck Hurgronje menegaskan bahwa pada hakekatnya orang Islam di
Indonesia itu penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik
fanatisme Islam. Bagi Snouck Hurgronje, musuh Pemerintah Hindia-Belanda
bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik (H. J.
Benda. 1980: 22-23). Islam sering menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan
Belanda. Walaupun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan animisme dan
Hindu, namun orang Islam di Indonesia pada waktu itu memandang bahwa
agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dengan orang
lain. Dalam kenyataannya Islam memang berfungsi sebagai titik pusat identitas
yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing (Aqib
Suminto. 1985: 11-12). Selain itu, agama Islam terbukti dapat berfungsi sebagai
lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi politik sehingga menimbulkan
kekuatan politik luar biasa (Sartono Kartodirdjo. 1999: 94-95).
57

Hubungan antara pemerintah kolonial dengan agama tidaklah bisa


dilepaskan dari hubungan antar sesama umat beragama, yakni antara umat Islam-
Kristen yang melatarbelakangi hubungan Indonesia-Belanda dan pada hubungan
para penguasa Belanda yang pada umumnya beragama Kristen dengan pribumi
yang umumnya beragama Islam. Dalam hal ini keinginan untuk tetap menjajah,
betapapun mengakibatkan pemerintah kolonial tidak akan mampu memperlakukan
agama pribumi sama dengan agamanya sendiri. Juga tidak akan mampu
memperlakukan pribumi yang beragama lain sama dengan pribumi yang seagama
dengannya. Latar belakang ini bisa menjelaskan mengapa sering terjadi
diskriminasi dalam kebijaksanaan yang berhubungan dengan agama, meskipun
dinyatakan bahwa pemerintah kolonial bersikap netral terhadap agama.
Diskriminasi tersebut berupa penganut Kristen pada umumnya menikmati
berbagai keuntungan dari pemerintah Belanda, baik dalam memasuki sekolah
pemerintah, mencari lapangan kerja maupun memperoleh kenaikan pangkat.
Dalam hal ini diskriminasi akan nampak lebih jelas pada alokasi anggaran,
sehingga pada suatu saat agama Islam hanya memperoleh sepersekian persen dari
anggaran agama Kristen (Aqib Suminto. 1985: 15). Misalnya dalam hal
pembiayaan gereja Protestan di Indonesia, termasuk belanja personilnya dan
memberi banyak subsidi bagi usaha zending dan missi di berbagai bidang,
sedangkan bagi keperluan umat Islam jumlahnya sangat sedikit (Jan S. Aritonang.
2005: 134).
Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian yaitu ibadah,
sosial kemasyarakatan dan politik. Masing-masing bidang menuntut alternatif
pemecahan yang berbeda. Konsep pembagian itulah yang kemudian dikenal
sebagai kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam menangani masalah Islam.
Pemerintah memberikan kebebasan dalam masalah ibadah dan sosial
kemasyarakatan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda
tetapi tidak dalam hal politik. P emerintah mencegah setiap usaha yang akan
membawa rakyat pada fanatisme dan P an Islam. Kebijakan P emerintah Hindia-
Belanda dalam menghadapi tiga masalah ini dikenal dengan nama Politik Islam
Hindia -Belan da (Darmansyah, dkk. 2006: 2).
58

Prinsip politik Islam Snouck Hurgronje di bidang kemasyarakatan


adalah menggalakkan pribumi agar menyesuaikan diri dengan kebudayaan
Belanda. Prinsip ini sebenarnya tidak terlepas dari kaitannya dalam upaya untuk
merebut kemenangan dalam persaingannya dengan Islam demi kelestarian
penjajahannya (Aqib Suminto. 1985: 38). Pemerintah juga harus memanfaatkan
adat kebiasaan yang berlaku dengan mendorong rakyat dan para pemimpin adat
untuk bekerjasama dengan pemerintah Hindia-Belanda. Dalam bidang agama
murni atau ibadah, pemerintah harus memberikan kemerdekaan kepada umat
Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu
kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Sedangkan dalam bidang politik, seperti
yang sudah disinggung di atas, pemerintah harus mencegah dan menumpas secara
keras setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan
Islamisme seperti yang muncul di Turki. Sejalan dengan hal itu daerah-daerah
yang Islamnya kuat dan masih terus berjuang mempertahankan kemerdekaan
mereka, misalnya Aceh dan Jambi, harus ditindas secara sistematis (Jan S.
Aritonang. 2005: 140).
Keadaan pada masa itu memang memungkinkan Snouck Hurgronje
melaksanakan gagasan politik Islamnya, karena pada tahun 1889 dia ditugaskan
sebagai penasehat urusan P ribumi dan Arab. Pengalamannya dalam penelitian
lapangan di negeri Arab (1885), Jawa (1889-1890), dan Aceh (sejak tahun 1891),
serta pengalamannya selama menjabat penasehat urusan Bahasa-bahasa Timur
dan Hukum Islam sejak tahun 1981 itu juga, cukup membekali dirinya dalam
usaha menemukan seni memahami dan menguasai penduduk Muslim tersebut.
Meskipun tidak seluruhnya, namun garis politik Snouck Hurgronje itu mampu
juga bertahan sampai akhir masa penjajahan Belanda di Indonesia (Aqib Suminto.
1985: 13). Snouck Hugronje pun berperan dalam mencobakan sebuah eksperimen
untuk memberikan pendidikan Barat kepada kaum pribumi, termasuk
menempatkan inlanders sebagai tenaga konsulat Belanda di beberapa negara.
Tahun 1905, Hugronje merekomendasikan Agus Salim untuk menempati posisi
konsultat Belanda di Jeddah, Arab Saudi (http://www.radityaiswara.co.cc diakses
tanggal 7 Agustus 2009).
59

Masalah kristenisasi Hindia-Belanda erat kaitannya dengan masalah


menghadapi Islam di Indonesia. P ada abad ke-19, banyak orang Belanda, baik di
negerinya sendiri maupun di Hindia-Belanda, sangat berharap untuk
menghilangkan pengaruh Islam dengan kristenisasi secara cepat pada sebagian
besar orang Indonesia. Di parlemen Belanda, agama Islam sering mendapat
perlawanan sengit dari anggota-anggota Kristen partai agama. Van Bylandt
misalnya, hampir setiap tahun selalu memperingatkan berbahayanya pengaruh
Islam dan menghendaki digalakkannya propaganda Kristen, sementara Visser juga
setuju untuk membendung pengaruh Islam (Aqib Suminto. 1985: 22). Harapan ini
sebagian berdasarkan kepercayaan yang tersebar luas dikalangan orang Barat
tentang superioritas agama Kristen terhadap Islam dan sebagian berdasarkan
anggapan keliru bahwa sifat sinkretik agama Islam Indonesia di tingkat desa
mengakibatkan bahwa masyarakat pribumi Indonesia tersebut akan lebih mudah
dikristenkan daripada di negara-negara Muslim lainnya (H. J. Benda. 1980: 39).
Masalah sinkretisme agama Islam di Indonesia terutama di kalangan
suku Jawa, memang cukup banyak disoroti orang. Pada awal abad ini Snouck
Hurgronje menyatakan bahwa orang Islam di kawasan ini sebenarnya hanya
nampaknya saja memeluk Islam dan hanya dipermukaan kehidupan mereka
ditutupi agama ini, ibarat berselimutkan kain yang penuh lubang besar-besar
sehingga nampak keaslian di dalamnya. Pada akhir abad ini pula di negeri
Belanda masih ditulis orang bahwa mayoritas penduduk Jawa adalah abangan
yang hidupnya tidak persis sesuai dengan tuntunan formal agama. Namun satu hal
yang harus diingat adalah bahwa betapapun sinkretis dan abangannya orang Jawa,
namun mereka tetap Muslim bahkan agama Islam merupakan kekuatan dinamik di
kalangan para petani Jawa (Aqib Suminto. 1985: 19).
Di dalam masyarakat Islam lainnya, guru-guru agama dan ahli kitab suci
Islam, seperti para kyai dan ulama, sejak awal juga merupakan unsur sosial yang
penting dalam masyarakat Indonesia. Antara tradisi abangan dalam kalangan
petani Jawa yang berakar di dalam mistisisme pra-Hindu yang telah berabad-abad
umurnya ditambah dengan unsur-unsur religius pada masa-masa terakhir termasuk
Islam dan peradaban priyayi dalam kalangan yang memerintah lebih kuat berakar
60

di dalam kebudayaan Hindu-Jawanisme yang aristokratik, maka kaum ulama


merupakan inti dari cara hidup yang ketiga, yaitu dari golongan santri. Akar
tradisional golongan santri berada di dalam pusat agama Islam. Di luar Jawa,
dikotomi yang serupa terdapat antara santri dan kepala-kepala adat. Di pihak lain,
hakim-hakim Islam yang berhubungan dengan mahkamah-mahkamah penguasa-
penguasa Indonesia turut memainkan peranan yang semakin penting, kadang-
kadang jauh melampaui peranannya yang hanya sebagai penasihat pengadilan
semata. Sewaktu penetrasi Belanda secara terus-menerus menghabiskan
kekuasaan politik para sultan, hakim-hakim Islam ini berhasil melancarkan
pengaruhnya yang semakin besar lagi. Dan semakin penting lagi di Indonesia,
sebagaimana di dunia Islam lainnya, penganjur-penganjur Islam yang ortodoks
cenderung untuk berbenturan dengan para penguasa sekuler. Hal ini muncul
karena adanya ketakutan akan tantangan kaum fanatik Islam sehingga
menyebabkan aristokrasi Jawa, seperti juga kepala-kepala adat di pulau-pulau
lain, paling banter menjadi Islam pas-pasan dan Islam di atas kertas (H. J. Benda.
1980: 32-34).
Para priyayi tetap melangsungkan kebudayaan aristokrasinya sendiri
meskipun telah memeluk agama Islam, yang pada umumnya bertentangan dengan
kebudayaan santri dan para ulama yang sedang tumbuh. Dalam kenyataannya
Islam di Indonesia segera berkembang menjadi dua cabang yang kurang lebih
berbeda antara yang satu dengan lainnya. Cabang pertama merupakan cabang
resmi dan administratif yang dapat dikatakan sebagai pembantu pemerintah
sekuler, berpusat di sekitar masjid atau rumah sembahyang dan pengadilan agama.
Sedangkan cabang kedua berpusat di sekitar kyai dan ulama independen yang
memperoleh kesuciannya bukanlah berdasarkan restu pemerintahan sekuler akan
tetapi karena pengetahuannya tentang agama Islam dan Bahasa Suci,
kepergiannya naik haji ke Mekkah dan cara hidupnya yang khas Islam, sering kali
ke-Arab-araban. Cabang yang pertama menjadi bagian dari kebudayaan priyayi,
sedangkan cabang yang kedua menjadi inti dari kebudayaan santri yang baru.
Kedua kelompok itu bukan saja dipisahkan oleh permusuhan dan saling curiga,
akan tetapi mereka juga bersaing untuk memperebutkan kesetiaan mayoritas
61

abangan dalam kalangan petani Indonesia. Di dalam persaingan ini, para penghulu
hampir selalu menjadi pihak yang kalah, sebagian karena hubungannya seringkali
memang berupa hubungan darah dengan elite priyayi dan sebagian karena dia
akhirnya turut terseret oleh proses kemunduran kekuasaan para pangeran yang
menjadi tuannya. Kemerosotan ini pada gilirannya merupakan akibat yang tidak
dapat dihindarkan dari kekuasaan Belanda di Indonesia, yang di dalam perjalanan
waktu dalam kenyataannya menyebabkan semua raja-raja Indonesia mau tidak
mau menjadi alat kekuasaan kaum Kristen (H. J. Benda. 1980: 34-35).
Sejak pertengahan abad ke-19 dan seterusnya, agama Islam Indonesia
secara bertahap mulai menanggalkan sifat-sifatnya yang sinkretik. Terjadi
perubahan bukan hanya di dalam lingkungan agama Islam Indonesia, akan tetapi
juga di dalam semakin meluasnya kebudayaan santri dalam arti yang sebenarnya
dalam masyarakat Indonesia. Ortodoksi Islam perlahan-lahan mengambil alih
pengaruh mistisisme Islam baik di Jawa maupun di Sumatra. Sekolah-sekolah
dusun tradisional sebagian besar memperhatikan orientasi sinkretiknya, maka kyai
ortodoks yang mendapat latihan di Mekkah membangun pesantren yang semakin
menarik siswa-siswanya dalam jumlah besar. Pusat-pusat kebudayaan santri
Indonesia ini yang semakin berkembang dalam arti sebenarnya (H. J. Benda.
1980: 37).
Dalam menghadapi Islam, penguasa kolonial menurut tradisi dapat
mengharapkan dukungan dari kaum adat meskipun golongan ini tidak dapat
menahan pengaruh, baik dari perkembangan Islam maupun dari perubahan-
perubahan kearah modernisasi, maka dari itu tidak mungkin politik ini dijalankan
untuk mencapai tujuan pemerintahan kolonial dalam jangka panjang (Sartono
Kartodirdjo, Mawarti Djoened P oesponegoro, Nugrohonotosusanto. 1975: 75).
Menurut pengertian orang Belanda tentang Islam, Islam dibayangkan
sebagai sebuah agama yang diorganisir secara ketat, di dalam banyak hal yang
diatur oleh hukum Islam serta persekutuannya dengan para sultan Islam di luar
negeri dan pengaruhnya terhadap kehidupan penduduk asli. Dengan demikian
Islam dianggap sebagai musuh yang ditakuti. Ketakutan ini kemudian mendorong
bangsa Belanda untuk merumuskan sebuah politik aliansi dengan elemen-elemen
62

di dalam masyarakat Indonesia, terutama para pangeran dan priyayi di Jawa dan
sultan-sultan, raja-raja serta kepala-kepala adat di luar Jawa yang karena alasan-
alasan politiknya sendiri terkenal sebagai Islam yang tidak terlalu fanatik atau
bahkan musuh terang-terangan Islam fanatik (H. J. Benda. 1980: 38-39).
Kebijaksanaan politik pemerintah Hindia-Belanda selalu mendapat
masukkan dari para penasehatnya seperti Snouck Hurgronje, antara lain agar
pemerintah harus bertindak netral terhadap Islam sebagai agama, tetapi tegas
terhadap politiknya, pemerintah supaya membantu menghidupkan golongan
pemangku adat agar senantiasa timbul pertentangan-pertentangan di dalam
masyarakat, pemerintah harus menyempitkan ruang gerak dan pengaruh Islam
dengan jalan menjalin kerjasama dalam rangka kebudayaan Indonesia dan
Belanda. Artinya, dengan jalan mendidik golongan priyayi dengan pendidikan
Barat. Usaha-usaha tersebut ternyata menunjukkan hasilnya. Banyak orang dari
kalangan pemuda pelajar Islam sempat menjadi sinis dan acuh tak acuh terhadap
ajaran agama Islam. Bahkan sampai-sampai muncul anggapan bahwa agama
Islam adalah agama yang kolot, menghambat kemajuan bangsa. Ada pula
sebagian yang menanggalkan agamanya dan mengambil pola kehidupan yang
berdasar kebudayaan Barat dan lainnya (Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun
Haji Agus Salim. 1984: 66-67). Dalam hal ini peradaban Belanda haruslah
menggantikan peradaban tradisional priyayi dan di atas semuanya, peradaban
santri. Snouck Hurgronje memusatkan perhatiannya kepada para bangsawan Jawa
dan kepada para elite priyayi pada umumnya, sebagai suatu kelas sosial yang
pertama dan yang paling jelas untuk ditarik ke arah Westernisasi. Tingkat
kebudayaan aristokrasi yang lebih tinggi, dekatnya dengan pengaruh-pengaruh
Barat berkat kontaknya dengan pemerintah Eropa dan akhirnya keterpisahannya
dari Islam, secara logis menjadi skema asimilasionis Snouck. Kaum bangsawan
Indonesia yang telah kehilangan ikatan kultural dan politik sebagai akibat
penakhlukan Belanda, menurut Snouck, menuntut partisipasi di dalam
kebudayaan Belanda (H. J. Benda. 1980: 47).
Di bawah pengaruh kekuasaan Barat dan pendidikan Barat, rakyat
Hindia-Belanda terutama golongan intelektual tercekam di bawah sugesti
63

superioritas Barat, juga dalam gerakan perlawanannya dan usaha melepaskan diri
dari dominasi Barat, golongan intelektual tersebut bergerak menurut garis yang
diberikan orang Barat dan di bawah pimpinan langsung atau tidak langsung orang
Barat, seolah-olah orang Barat yang memegang pimpinan (Panitia Buku
Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim. 1984: 188). Dalam hal ini maka
pendidikan Barat haruslah diberikan kepada orang-orang Indonesia yang
jumlahnya semakin besar. P endidikan Barat adalah alat yang paling pasti untuk
mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia (H. J. Benda.
1980: 48). Pendidikan umum yang tidak diisi dengan pelajaran agama sebagai
cara untuk memajukan masyarakat dan sekaligus mengikis fanatisme Islam
tersebut (Jan S. Aritonang. 2005: 136).
Sejalan dengan kebijakan itu, maka pendidikan yang diselenggarakan
pemerintah dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan
pelajaran agama Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. Rezim ini
mengupayakan sekularisasi di dunia pendidikan dengan menyingkirkan pelajaran
keagamaan dari dunia sekolah. Akibat sistem pendidikan ini maka pelajar Islam
yang tidak mempunyai kesempatan belajar sendiri di luar sekolah menjadi kurang
pemahamannya dari agama Islam. Seorang Agus Salim bahkan sampai berkata
bahwa ia hampir kehilangan iman selepas dari Ho og ere Burgere schoo l
(HBS/Sekolah Tinggi Warga Masyarakat) (Darmansyah, dkk. 2006: 2). HBS
merupakan sekolah lanjutan Europesche Legere Scho ol (ELS/Sekolah Rendah
Eropa) yang diperuntukkan bagi golongan Eropa, bangsawan pribumi atau tokoh
terkemuka (Darmansyah, dkk. 2006: 87). Dengan demikian pendidikan Barat
mulai meraih kemenangan dalam perlombaan melawan saingannya yang Islam.
Pandangan-pandangan Snouck Hurgronje dalam kenyataannya merupakan
cerminan dari suatu era baru di dalam kebijaksanaan kolonial Belanda yang
disebut Politik Etis yang secara resmi bermula pada tahun 1901 (H. J. Benda.
1980: 49).
Penguasa kolonial tidak dapat mengabaikan Islam sebagai faktor politik
atau kekuatan sosial. Selaras dengan fakta itu organisasi yang netral lebih disukai
daripada organisasi yang pergerakannya berasaskan agama. Dalam hal ini politik
64

kolonial masih mengikuti kebijaksanaan yang digariskan oleh Snouck Hurgronje.


Pendidikan Barat menjadi alat utama untuk melaksanakan politik itu. Dipandang
dari sudut religius, penetrasi pengaruh Barat dengan sistem pendidikannya
mengakibatkan proses sekularisasi. Hal ini terwujud dengan timbulnya golongan-
golongan terpelajar dan priyayi yang lebih cenderung menggabungkan diri pada
organisasi-organisasi yang berasaskan tujuan nonkeagamaan (Sartono
Kartodirdjo. 1999: 118).
Hasil penyelidikan Snouck Hurgronje membuahkan kebijaksanaan
pemerintah Belanda untuk tidak perlu menggalakkan kristenisasi (gerakan missie
dan zending). Dan sebaliknya membiarkan dalam batas tertentu kehidupan Islam.
Yang dibiarkan adalah kehidupan ibadat, sepanjang tidak mengganggu kehadiran
pihak Belanda (Deliar Noer. 1979: 6). Sehingga pada tahun-tahun tersebut
semakin banyak orang Islam, terutama di kalangan pemudanya mengalami
keasingan dalam agamanya sendiri sebagai hasil dari pendidikan Belanda. Mereka
asing dari kalangan rakyat yang masih banyak menganut kebiasaan lama dalam
iman dan kepercayaan, mereka tidak lagi memilih organisasi yang bersifat
keagamaan sebagai tempat mereka berkecimpung dalam pergerakan dan lebih
tertarik kepada dasar lain dalam pergerakan (Deliar Noer. 1990: 268).
Tujuan diselenggarakannya pendidikan Belanda tersebut sekurang-
kurangnya menjurus hakekatnya pada pengasingan mereka dari ajaran Islam.
Minimal inilah yang diharapkan Snouck Hurgronje dan pihak Belanda pada
umumnya. Usaha-usaha seperti ini terletak di bidang pendidikan yang dijaman
Belanda dibedakan menjadi pendidikan yang menekankan segi intelek dalam
pengertian kebudayaan Barat di satu pihak dan pendidikan yang menekankan segi
rohani di pihak lain. Di samping itu dijumpai juga lembaga-lembaga pendidikan
yang berusaha menumbuhkan kedua segi itu, intelek dan rohani sekaligus dan
kemudian menghasilkan golongan intelektual di satu pihak dan di pihak lain
golongan ulama/kyai/santri. Golongan ini bertujuan untuk membina kalangan
pemuda yang berpendidikan Barat agar merasa tidak asing dari agamanya (Deliar
Noer. 1979: 6).
65

Bangkitnya kesadaran agama Islam tanpa dapat dibantah disebabkan,


sebagian besar oleh tersedianya kebudayaan Barat yang semakin meningkat.
Dasar-dasar kebijaksanaan pemerintah, pemeliharaan kebebasan beragama dan
menjauhkan diri dari campur tangan urusan agama, telah menyebabkan perluasan
dan pengukuhan agama Islam. Rasa puas yang semakin besar dapat dicapai, jika
pemerintah dapat memutuskan untuk meniadakan sama sekali peraturan-peraturan
yang oleh kaum Muslim dirasakan sebagai penghambat mengenai kebebasan
pelaksanaan beribadah (G. F. P ijper. 1987: 252-253). Selain itu, kebangkitan
agama Islam sebagian besar adalah karena hasil dari usaha-usaha missie dan
zending yang dilaksanakan oleh pihak Belanda. Kaum Muslim harus menyusun
barisan perjuangan yang lebih rapi untuk menumbuhkan semangat dan
memperteguh benteng keislaman dalam menghadapi usaha-usaha sekularisasi
umat Islam yang dilakukan oleh pihak Belanda (Moh. Natsir. 1980).
Sebenarnya sejak tahun 1936 ada ketegangan yang memuncak dengan
golongan Islam. Golongan Islam mengambil sikap yang tajam terhadap segala
macam penghinaan dari pihak bukan Islam, terutama dari pihak Belanda atau
Kristen. Nada yang tajam dari Islam ini disebabkan karena memang adanya
politik anti-Islam atau karena golongan Barat dalam arogansi mereka memberikan
sebab-sebab akan hal ini. Selain itu tentu juga disebabkan karena hidupnya
kembali nasionalisme dan diperkuatnya kesadaran akan diri sendiri di kalangan
Islam (Onghokham. 1987: 124).

2. Munculnya Kaum Intelektual Islam


Saat Belanda masuk ke Indonesia, pendidikan yang ada diawasi secara
ketat oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda mengetahui bahwa dengan
adanya pendidikan, maka gerakan-gerakan perlawanan terhadap keberadaan
Belanda di Indonesia pada saat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda. Usaha
Belanda untuk membatasi pendidikan terhadap kalangan pribumi terus berlanjut,
hingga saat muncul kritik dari para kaum humanis Belanda yang telah memaksa
Belanda untuk memberlakukan politik etis atau juga dikenal sebagai politik balas
budi pada sekitar tahun 1901. Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada
66

masa itu adalah irigasi, migrasi, dan edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah
Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya Barat untuk kalangan pribumi. Akan
tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah sarana
pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda hanya
sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis. Setelah lulus
dari sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah untuk
kantor-kantor Belanda di Indonesia. Dengan demikian pendidikan pada masa
kolonial tersebut bertujuan untuk mengisi kekosongan pegawai rendahan di
kantor-kantor Belanda (http://pik ok ola.files.wo rdpress.com diakses tanggal 1
Maret 2010). Sehingga pemerintah Belanda mendapatkan tenaga keraja terdidik
untuk birokrasinya dengan gaji yang murah, karena apabila mendatangkan pekerja
dari kalangan orang Eropa tentunya akan sangat mahal biayanya (http://www.roll-
kon g.blogspo t.com diakses tanggal 1 Maret 2010).
Penerapan P olitik Etis oleh pemerintah kolonial Belanda telah memberi
peluang kepada anak-anak bumiputra untuk memasuki lembaga-lembaga
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial. Kesempatan untuk
mengenyam pendidikan tersebut tidak terbuka luas, hanya mereka yang berasal
dari prangreh-praja atau mereka yang berdarah biru (kaum bangsawan) yang
dapat mengenyam pendidikan (Ridwan Saidi. 1990: 9). Hal tersebut disebabkan
karena adanya berbagai faktor yang menyangkut masalah kebijakan, fasilitas dan
sarana sehingga sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah Belanda sangat
terbatas, tidak seimbang dengan populasi penduduk Indonesia dan tingkat
penghasilan ekonomi masyarakat Indonesia yang masih rendah. Sebagai
alternatifnya yaitu mulai muncul pendidikan yang lebih merakyat, pendidikan di
pesantren menjadi pilihan bagi masyarakat Indonesia sehingga masyarakat
Muslim pada waktu itu banyak yang memasukkan anak-anak mereka ke lembaga
pendidikan tersebut (H. Haidar Putra Daulay. 2007: 30-31).
Tak banyak pembagian sosial yang mutlak antara priyayi baru dan
priyayi lama, yaitu antara kaum cendekiawan dan pejabat-pejabat pribumi.
Banyak orang dari keturunan rendah yang berkat kedudukan teknis atau
profesinya menjadi priyayi baru. Mereka tidak menginginkan lebih daripada
67

penerimaan sosial oleh elite yang telah mapan tersebut dan untuk itu mereka
berusaha menyesuaikan tingkah-lakunya. Karena keturunan merupakan masalah
penting untuk memperoleh pendidikan, maka banyak di antara kaum cendekiawan
yang berasal dari keluarga-keluarga pangreh-praja atau anak-anak pegawai
pemerintah mempunyai hubungan dengan priyayi. Lebih daripada itu, kaum
cendekiawan baru tersebut bukanlah marmer putih polos tempat menuliskan
gagasan-gagasan Barat. Sebaliknya, mereka merupakan produk dari tradisi politik
Jawa yang maju dan tinggi tingkatannya. Mereka berusaha mendapatkan dasar
ideologi mereka dengan mengkombinasikan nilai-nilai pribumi dan nilai-nilai
Eropa (Heather Sutherland. 1983: 115-116). Dengan demikian politik etis telah
menghasilkan sejumlah elite baru di kalangan pribumi, baik yang menjadi birokrat
maupun intelektual dan di antara elite baru tersebut banyak yang tampil menjadi
tokoh pergerakan anti penjajahan, termasuk dari kalangan Islam (Robert van Niel.
1984: 12). P olitik etis itulah yang kemudian menguak dimensi baru bagi
pergerakan nasional bangsa Indonesia.
Pada masa ini pendidikan-pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah-
sekolah rakyat seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan
berkembang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa tersebut terdapat tiga
tipe jalur pendidikan yang berbeda. Jalur pertama, sistem pendidikan dari masa
Islam yang diwakili dengan berkembangnya pondok pesantren; jalur kedua,
pendidikan bergaya Barat yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda
dan jalur ketiga, pendidikan swasta pro-pribumi seperti Taman Siswa,
Muhammadiyah dan lainnya (http://pik ok ola.files.wordpress.com diakses tanggal
1 Maret 2010).
Pengajaran asli di Indonesia pada mulanya terdiri dari pendidikan yang
diadakan di langgar, surau dan pesantren. Di tempat tersebut dilatih mengaji Al-
Qur’an, mempelajari kepercayaan dan syariat agama Islam. Sampai pada akhirnya
kebutuhan akan pengajaran dibutuhkan oleh pemerintah, pembaharuan datang dari
luar sebagai usaha balas budi dan mengurangi jumlah penduduk buta huruf.
Perluasan bidang pemerintahan dan administrasinya mendorong timbulnya
kebutuhan akan tenaga kerja. Untuk memenuhi itu pemerintah kolonial mulai
68

mendirikan sekolah-sekolah. Tujuan pendidikan yang dikembangkan Belanda ini


adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga buruh untuk kepentingan kaum modal
kolonial, pribumi dididik untuk tenaga yang fungsinya masih berada di bawah
kontrol Belanda sehingga gaji yang diberikan otomatis lebih rendah.
Menurut Snouck Hurgronje, pendidikan Barat merupakan jalan terbaik
untuk memajukan peradaban dan tingkat sosial-ekonomi masyarakat. Berdasarkan
pengalamannya, kalangan elite bangsa atau kaum bangsawan adalah golongan
yang paling mudah untuk didekati, karena itu Snouck Hurgronje yang didukung
oleh Direktur Departemen P endidikan dan Peribadahan, J. H. Abendanon (1900-
1905), menyelenggarakan pendidikan berbahasa Belanda dan mengikuti model
Barat yang bersifat elitis, yakni bagi anak-anak bangsawan. Bahkan sebagian
murid ditampung di rumahnya ataupun di rumah keluarga Belanda lainnya.
Setelah tamat, mereka diberi jabatan dalam sistem pemerintahan Hindia-Belanda
dengan harapan nantinya dapat melahirkan para elite yang tahu berterimakasih
dan bersedia bekerjasama, termasuk dalam hal mengendalikan fanatisme terhadap
Islam dan akhirnya menciptakan suatu keteladanan yang akan menjiwai
masyarakat Indonesia golongan bawah (M. C. Ricklefs. 1991: 236).
Berbeda dari Snouck Hurgronje dan Abendanon yang lebih
memprioritaskan pendidikan yang bersifat elitis, Gubernur Jendral Van Heutsz
(1904-1909) dan penerusnya A. W. F. Idenburg, lebih memberi prioritas pada
pendidikan dasar dan kejuruan-praktis, yang disediakan bagi sebanyak mungkin
rakyat golongan bawah dan yang menggunakan bahasa daerah, walaupun
pendidikan elitis tadi tetap dilanjutkan. Menurut Van Heutsz dan Idenburg,
pendekatan yang lebih merakyat ini akan memberi sumbangan secara langsung
bagi peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi. Dalam rangka perluasan
pendidikan dasar dan kejuruan inilah pemrintah Hindia-Belanda memberi subsidi
yang cukup besar kepada badan-badan zending dan missi, karena mereka inilah
yang dinilai memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan pemerintah dan
karena dengan cara itu biaya penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih murah
jika dibandingkan dengan ditangani sendiri oleh pemerintah. Sementara itu
lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah Islam tradisional (pesantren
69

dan lainnya) dinilai kurang memenuhi persyaratan yang disusun berdasarkan


standar pendidikan Barat. Hal tersebut sangat menyinggung perasaan banyak
pemimpin Islam. Tetapi sebagian dari tokoh-tokoh Islam menanggapi kebijakan
pemerintah ini sebagai tantangan positif (Jan S. Aritonang. 2005: 149).
Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Hindia-Belanda telah
menyebabkan para pemimpin masyarakat Indonesia sangat berorientasi ke Barat.
Snouck Hurgronje dan lainnya telah merancang ide-ide asimilasi yaitu bahwa
masyarakat Indonesia atau paling sedikit golongan elitnya harus diasimilir oleh
kebudayaan Barat. Untuk itu didirikan Ho lland sch Inlan dsche Schoo l
(HIS/Sekolah Bumi P utera-Belanda), beberapa anak Indonsia diperbolehkan
masuk Euro pesche Legere School (ELS/Sekolah Rendah Eropa), yang membuka
pintu ke Ho og ere Burgere School (HBS/Sekolah Tinggi Warga Masyarakat) atau
Algemeene Middelbare School (AMS/Sekolah Menengah Atas) dan kemudian ke
perguruan-perguruan tinggi, baik di Indonesia maupun di Belanda. Di samping
pendidikan yang menggunakan konsep bangsa Barat (Westerse Sfeer) ini terdapat
juga bagi rakyat berbagai macam sekolah rakyat, desa dan lain-lain atau Scha kel
Scholen sebagai jembatan antara kedua macam sistem pendidikan. P ada sistem
pendidikan untuk rakyat ini dipertahankan seratus persen pendidikan yang
menggunakan konsep bangsa Timur (Oo sterse Sfeer), seperti halnya tidak ada
pelajaran-pelajara n bahasa Barat dan lain-lain (Onghokham. 1987: 107).
Adanya kondisi tersebut telah menyebabkan munculnya jurang pemisah
yang dalam antara rakyat dan pemimpin-pemimpin atau golongan elite yang
berpendidikan Barat. Semakin lanjut orang Indonesia meningkat dalam bidang
pendidikan untuk kemudian lulus pada salah satu perguruan tinggi maka semakin
jauh pula mereka dari rakyatnya dalam jalan pikiran dan pandangan dunia. Namun
pendidikan dengan konsep Barat ini adalah satu-satunya jalan untuk naik ke
tangga sosial sehingga masyarakat Indonesia yang elite tersebut berkorban segala
macam untuk mengirimkan anak-anaknya ke HIS. Hal ini membuktikan bahwa
masyarakat Indonesia membutuhkan pendidikan Belanda, dengan pertimbangan-
pertimbangan lain yaitu dengan mengirimkan anaknya ke HIS selain anaknya
memperoleh pengetahuan Barat atau dididik secara Belanda juga karena HIS
70

memberikan kepada seluruh keluarga semacam kedudukan dalam suatu tingkatan


sosial dalam masyarakat Hindia-Belanda yaitu termasuk elite. P engetahuan dan
cara-cara hidup Barat menjadi ciri elite tersebut (Onghokham. 1987: 108-109).
Dalam keadaan yang demikian, HIS sudah sewajarnya menjadi populer,
dapat dimengerti. Sekolah ini membuka pintu gerbang yang memberikan jalan
masuk menuju jabatan-jabatan gubernurmen dengan gaji tinggi, yang memang
menurut ukuran orang pribumi demikian halnya, sesuatu yang didambakan. Selain
itu sekolah tersebut juga memberikan kepuasan psikologis yang kuat, karena
pengetahuan tentang bahasa Belanda memberikan perasaan bahwa diri mereka
dapat disamaan dengan orang-orang Belanda, yang orang merasa hormat
kepadanya (I. J. Brugmans. 1987: 185).
Melihat sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah sulit
membayangkan akan lahir generasi intelektual Muslim. Akan tetapi, di
penghujung abad ke-19 generasi pertama intelektual muslim Indonesia telah lahir.
Mereka umumnya pernah mengenyam pendidikan Barat dan sekaligus mendalami
agama Islam secara khusus. Seperti halnya Agus Salim, selain lulusan HBS juga
pernah bermukim di Mekkah untuk mendalami agama Islam. Sedangkan yang
termasuk dalam kelompok generasi pertama intelektual Muslim adalah R. M
Tirtoadisurjo, H. O. S Tjokroaminoto, Agus Salim, Achmad Dachlan, Achmad
Soerkati dan lain-lain. Sumbangsih generasi pertama intelektual Muslim tersebut
terlihat dengan dibentuknya berbagai organisasi kemasyarakatan yang berasaskan
Islam (Darmansyah, dkk. 2006: 3). Tanpa menyerah diri pada tantangan-tantangan
yang ada, mereka berusaha mendirikan sekolah-sekolah dengan sistem dan cara
yang ditiru dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh pihak pemerintah Belanda,
tetapi dengan berusaha mempertahankan semangat serta isi ajaran Islam.
Tujuannya adalah untuk menggalang umat dan mendidik mereka sejalan dengan
tuntutan masa dengan memasukkan berbagai mata pelajaran bukan agama ke
dalam kurikulum. Mereka berusaha menghapuskan segala macam tambahan yang
melekat pada ajaran Islam yang menurut mereka tidak sesuai dengan ajaran yang
mereka dasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Mereka mengimbau agar
kembali kepada ajaran-ajaran pokok dari Islam (Deliar Noer. 1987: 10).
71

Pada awal abad ke-20 Indonesia telah dimasuki ide-ide pembaharuan


pemikiran Islam, sekaligus ide-ide tersebut juga memasuki dunia pendidikan
Islam. Dampak dari munculnya ide-ide pembaharuan dalam bidang pendidikan
yaitu lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak lagi berorientasi pilah antara ilmu
agama dan ilmu umum, walaupun belum seimbang setidaknya telah memunculkan
pemikiran untuk menganggap penting kedua ilmu tersebut. Misalnya, di kalangan
sekolah-sekolah agama yang diwakili oleh madrasah terutama madrasah yang
muncul di Sumatera Barat telah memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam
kurikulumnya. Selanjutnya di kalangan sekolah-sekolah umum yang diasuh oleh
organisasi Islam seperti HIS, MULO dan AMS telah memasukkan mata pelajaran
agama. Hal itulah yang kemudian menjadi dasar bagi pengembangan penyatuan
kedua ilmu itu untuk seterusnya (H. Haidar Putra Daulay. 2007: 35-36).
Para sarjana Islam menilai bahwa kelemahan utama pandangan Snouck
Hurgronje dan politik Islam pemerintah Hindia-Belanda adalah karena hal
tersebut di dasarkan pada asumsi bahwa Islam dapat dipilah-pilah dan dimensi
politik dapat dilucuti dari keyakinan maupun paktek Islam. P adahal tiap-tiap
suruhan Islam yang bersangkut-paut dengan ibadah, bersangkut-paut dan berjalin
pula dengan urusan keduniaannya, inilah bedanya antara Islam denga agama
lainnya (Moh. Natsir. 1980: 126). Dengan demikian kebijakan-kebijakan yang
diambil oleh pemerintah Hindia-Belanda menyangkut masalah pendidikan telah
menyebabkan tokoh-tokoh pribumi Islam yang menikmati pendidikan Barat justru
semakin sadar akan kebangsaannya sekaligus keislamannya dan semakin
bersemangat pula untuk menentang penjajahan (Jan S. Aritonang. 2005: 143). Hal
tersebut menunjukkan bahwa secara umum politik Islam yang dirancang Snouck
Hurgronje mengalami kegagalan. Di mata kalangan Islam Indonesia sendiri,
Snouck Hurgronje lebih banyak dipandang dan dinilai sebagai penghambat
ketimbang pendukung kemajuan Islam. Walaupun Snouck Hurgronje berhasil dan
terkenal dengan upayanya memperbaiki hubungan antara pejabat pemerintah
kolonial dengan kebanyakan pemimpin Islam di Indonesia, terutama di Jawa (H.
J. Benda. 1980: 40). Sebenarnya Snouck Hurgronje lebih dilihat sebagai bagian
72

dari sistem kolonialisme yang hendak tetap mempertahankan kekuasaannya di


Indonesia.
Keyakinan terhadap keberadaan dan kekuatan Islam semakin tumbuh
dan berkembang sebagai refleksi dari posisi dan fungsi agama di dalam kehidupan
orang Indonesia. Bagi orang Indonesia Islam adalah lebih dari agama, Islam
adalah tuntunan hidup. Dengan demikian, Islam lama-kelamaan sama dengan
segala sesuatu yang asli sebagai lawan dari yang asing. Islam menjadi suatu faktor
pemersatu dalam kesadaran akan diri sendiri dalam kalangan orang Indonesia dan
dalam waktu yang bersamaan menjadi ukuran untuk solidaritas nasional, dari kulit
berwarna terhadap kulit putih (Robert van Niel. 1984: 115). Sejalan dengan
kondisi tersebut maka dalam menghadapi kehidupan yang tertekan, masyarakat
Jawa tradisional menggunakan agama terutama agama Islam sebagai alat untuk
menghadapi tekanan yang begitu keras. Islam sebagai pertahanan terhadap
tekanan sosial. Sedangkan pemerintah kolonial menggunakan agama Kristen
sebagai tandingan dalam menghadapi gerakan pribumi.
Di kalangan umat Islam Indonesia timbul pula kesadaran untuk
berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan umat Islam mulai terpupuk hingga
melahirkan suatu pergerakan yang sangat penting artinya bagi nasionalisme
Indonesia. Di jaman VOC ulama sangat keras melawan Belanda dan pemerintah
Belanda juga bertindak keras karena pengaruh Islam pada waktu itu dirasa sangat
mengkhawatirkan pemerintah jajahan. Tetapi sebaliknya bagi bangsa Indonesia,
pengaruh agama Islam yang besar itu telah menciptakan nasionalisme di kalangan
rakyat Indonesia (C. S. T. Kansil dan Julianto. 1983: 24-25).
Islam dirasakan sebagai gagasan yang belum banyak dialami dan
diketahui aspek keseluruhannya. Tetapi paham modernisme Islam telah masuk ke
Indonesia dan mempengaruhi aliran pergerakan pendidikan dan sosial Islam (M.
Dawam Rahardjo. 1993: 47). Hal tersebut muncul sebagai akibat dari adanya
perubahan Islam di Indonesia. Cukup banyak orang dan organisasi Islam yang
merasa tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Al-Qur’an dan
studi agama sehingga pribadi-pribadi dan organisasi-organisasi Islam pada
permulaan abad ke-20 berusaha untuk memperbaiki pendidikan Islam, baik dari
73

segi metode maupun isinya. Mereka juga mengusahakan kemungkinan


memberikan pendidikan umum kepada orang Islam (H. Haidar P utra Daulay.
2007: 57). Hal tersebut kemudian memunculkan gerakan politik Islam yang
didasari oleh kesadaran bahwa Islam hadir tidak sekedar sebagai ikatan biasa,
melainkan sebagai semacam simbol pemersatu untuk melawan pengganggu asing
dan penindas suatu agama yang berbeda (George McTurman Kahin. 1995: 50).
Salah satu tokoh intelektual muslim yang sangat berpengaruh dalam
pergerakan Islam di Indonesia adalah Agus Salim, satu dari sedikit tokoh muslim
pemikir modernis. Agus Salim menyadari bahwa hubungan antara Islam dan
internasional tak lagi bisa terelakkan. Baik itu hubungannya dengan dunia Arab
maupun Barat. Kedua dunia yang berbeda itu didekati Agus Salim degan
pandangan dan pendekatan integral, bahwa dunia Arab dan Barat adalah suatu
sumber daya yang harus dimanfaatkan. Sebagai Intelektual, Agus Salim berhasil
membangun kelompok studi yang beranggotakan mahasiswa Islam sekolah
Belanda, seperti Stovia, Rechtshoogeschool dan Geneskundigehoogeschool.
Mereka kebanyakan sekuler dan abangan. Dengan kapasitas dan kemampuannya,
anggota kelompok studi itu jadi tertarik pada Islam. Tokoh seperti R. Kasman
Singodimedjo (nantinya menjabat sebagai ketua umum Jong Islamieten Bond
periode 1929-1935) dan Prawoto Mangkusasmito yang berpendidikan Belanda
dan bukan dari keluarga santri dapat tertarik untuk menjadi aktivis Islam. Agus
Salim mempunyai hubungan yang sangat luas dengan kalangan pelajar. Rumah
Agus Salim merupakan tempat berkumpulnya kalangan pelajar yang sekolah di
Batavia. Di antara para pengunjung rumah Agus Salim untuk berdiskusi adalah
Moh. Hatta, Moh. Amir Bahder Djohan. Haji Agus Salim menjadi tempat untuk
bertanya atau bertukar pikiran di kalangan para pelajar Muslim (Darmansyah,
dkk. 2006: 4-6).
Salim tidak hanya dikerumuni oleh pemuda-pemuda Jong Islamieten
Bon d (JIB). Berbagai kalangan inteletual sering datang menanyakan masalah
besar yang dihadapi bersama sebagai bangsa terjajah. Salim mengkritik tajam
terhadap gaya hidup intelektual Indonesia yang kebarat-baratan akibat dari adanya
pendidikan Barat yang telah mereka alami, tetapi sikap rasional Barat tidak pernah
74

dimiliki dan gerakan pemuda yang hidup terkurung dalam ide kedaerahan,
kepulauan masing-masing (St. Sularto. 2004: 125-126). Agus Salim mempunyai
banyak murid dan pengikut yang belajar di sekolah-sekolah Belanda, termasuk di
dalamnya anggota dan pemimpin Jong Islamieten Bond. Banyak di antara
pemimpin JIB ini yang menjadi pewaris kepemimpinan umat Islam dalam bidang
politik sesudah Indonesia merdeka (Deliar Noer. 1987: 13). Dalam berorganisasi,
Agus Salim menyatakan bagaimana seharusnya sebuah organisasi yang kuat itu
berdiri, diantaranya yaitu:
1) Adanya kepercayaan serta prinsip-prinsip yang diakui sebagai milik bersama,
2) Adanya toleransi yang berarti menghargai pendapat dan keyakinan orang lain,
3) Adanya permusyawaratan dalam mengambil keputusan-keputusan yang
berhubungan dengan rakyat bersama yang dimaksud adalah menguatkan
persatuan hati, kehendak dan mendidk serta pengertian keterikatan dalam
persatuan (http://ahmadfathulbari.multiply.com/jou rnal/item/10 diakses
tanggal 7 Agustus 2009).
Pada waktu ide pembentukan cendekiawan Islam dalam tahap
pengembangan, Sjam sebagai ketua Jong Java mengutarakan gagasan agar Jong
Java menyelenggarakan kursus-kursus agama Islam bagi para anggotanya. Sjam
mencetuskan gagasan itu didorong karena adanya kesadaran ideologi dalam
kerangka kesatuan organis Jong Java, kesadaran tersebut bangkit karena adanya
fakta bahwa pelajar-pelajar Islam sebagai calon-calon cendekiawan yang tengah
menuntut ilmu pada sekolah-sekolah umum dihimpit pada posisi keharusan
pelestarian nilai-nilai Islam bagi kehidupan para pelajar, karena kelestarian Islam
sebagai ajaran terancam dengan adanya kurikulum dan sistem pengajaran yang
berlaku pada dunia pendidikan resmi pada waktu itu. Sementara kompetisi
intelektual dengan pelajar yang beragama lain berlangsung secara kurang fair
dalam pengertian bahwa untuk pelajar yang secara ideologis dan kultural berasal
dari lingkungan bukan Islam dirangsang oleh lembaga swasta untuk
meningkatkan kemampuan intelektualnya melalui pembinaan tertentu, misalnya
pemberian beasiswa (Ridwan Saidi. 1990: 18-19). Tetapi ide Sjam untuk
melaksanakan kursus-kursus agama Islam ditentang oleh anggota-anggota Jong
75

Java dengan berbagai alasannya. Beruntung kemudian muncul sebuah formulasi


baru yaitu Sjam bersama kawan-kawannya tetap menjadi anggota Jong Java dan
Jong Islamieten Bond sebagai wadah cendekiawan Islam. Dalam pergerakan JIB,
R. Sjamsoeridjal, Wiwoho dan H. Agus Salim dikenal sebagai peletak dasar
pembentukan cendekiawan Islam melalui organisasi JIB.
Para pemimpin umat Islam menyadari bahwa reaksi terhadap peristiwa
dan perlakuan tidak adil dari penjajah tidak cukup dilawan dengan kritik-kritik
saja. Ancaman terhadap eksistensi Islam secara mendasar memerlukan reorientasi
organisasi. Tujuannya agar kepentingan umat Islam dapat dijaga lebih tepat dari
masa-masa yang lalu (H. J. Benda. 1980: 119). Dengan berdirinya JIB di Jakarta
pada 1 Januari 1925 telah menjadi suatu organisasi yang secara politik sangat
penting dalam serangan balasan kaum reformis terhadap aliansi di kalangan
mahasiswa yang terdidik secara Belanda. JIB tumbuh menjadi pusat latihan bagi
kepemimpinan Islam yang berbeda dari intelektual Indonesia sekuler yang
berorientasi ke Barat (H. J. Benda. 1980: 73).
Anggota JIB, seperti halnya dengan anggota organisasi Islam lainnya,
tidak menarik diri dari gelanggang politik. JIB menjadi fokus pelatihan
kepemimpinan untuk cendekiawan muda Islam yang memiliki pandangan jernih
tentang syarat-syarat bagi suatu negara merdeka, yang hendaknya Islam. Gerakan
modernis di dalam Islam mempunyai tujuan pokok untuk kembali ke sumber
murni Islam; Qur’an, sunah atau kata-kata dan perbuatan Nabi Muhammad yang
dirawikan (C. Van Dijk. 1995: 14-15). Gerakan tersebut menghendaki
perombakan cara hidup umat Islam disesuaikan dengan perkembangan zaman (L.
Stoddard. 1966: 318-319).
Pada masa-masa inilah JIB telah memunculkan tokoh-tokoh Muslim
intelek, seperti Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo,
Prawoto Mangkusasmito, Jusuf Wibisono dan masih banyak lagi. Mereka sehari-
harinya sangat dekat dengan Agus Salim dan keluarganya, Agus Salim tak henti-
hentinya menanamkan kejujuran intelektualisme berdasarkan Islam, percaya diri,
kesetiaan terhadap perjuangan, kesederhanaan dan tanggungjawab terhadap nasib
bangsa, terutama nasib rakyat kecil (Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji
76

Agus Salim. 1984: 67). Dengan berdiriya JIB tersebut maka telah memberikan
kesempatan bagi Mohammad Roem untuk ikut dalam organisasi yang berasaskan
Islam tersebut. Mohammad Roem masuk menjadi anggota JIB pada tahun 1925,
keanggotaanya dalam Jong Java tidak dilepasnya. Tetapi jika dibandingkan denga
Jong Java, Mohammad Roem lebih aktif di dalam JIB, suatu organisasi yang
dikhususkan bagi pemuda atau pelajar Islam yang keanggotaannya bersifat
terbuka bagi pemuda atau pelajar dari berbagai daerah (Iin Nur Insaniwati. 2002:
17).
Pandangan keindonesiaan dikembangkan Sjam dan kawan-kawan
melalui wadah Islam, JIB. Islam dan kebangsaan Indonesia tidak pernah
diletakkan sebagai komponen yang terpisah apalagi berhadap-hadapan,
sebagaimana yang yang banyak dituduhkan. Organisasi kepanduan NATIPIJ
dengan tokoh-tokohnya Kasman Singodimejo dan Mohammad Roem
mengembangkan pelajaran-pelajaran kewiraan, yang kelak pelajaran tersebut
mempunyai manfaat yang besar bagi pertahanan tanah air. Kasman mendapat
kepercayaan untuk menjadi Daida nco (Komandan Batalion) Pembela Tana h Air
(P ETA) Jakarta berkat pengalamannya dalam NATIPIJ (Ridwan Saidi. 1990: 21).

3. P eranan Raden Sjamsoeridjal Dalam Kelahiran Jong Islamieten Bond


Di antara anggota Lingkaran Studi Haji Agus Salim terdapat R.
Sjamsoeridjal atau lebih dikenal dengan nama Sjam. Sjam berasal dari kalangan
Islam yang taat. Ayahnya seorang penghulu di Karanganyar, Karesidenan
Surakarta. Pada kongres Jong Java ke-6 tahun 1923, Sjam terpilih sebagai ketua
Pedoman Besar (hoo fdbestuur) Jong Java, organisasi pemuda pelajar terbesar di
Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 6).
Usaha-usaha untuk menjadikan Islam sebagai unsur pemersatu digalang
oleh Sjamsoeridjal dengan kawan-kawannya. Dan untuk menyebarkan gagasan
tersebut diusahakan agar pendidikan Islam diajarkan pada anggota-anggota Jong
Java karena dalam kenyataannya telah diadakan kursus-kursus pendalaman untuk
anggota beragama Kristen dan Katholik. Puncak perjuangan sebagian anggota
Jong Java yang menginginkan agar Islam dapat diajarkan pada anggota Jong Java
77

mendapat tempat dan harapan besar dengan terpilihnya R. Sjamsoeridjal sebagai


ketua Jong Java pada kongres ke-6. Semasa kepengurusan Sjam inilah disiapkan
dengan sungguh-sungguh materi kongres di mana pendidikan Islam diusahakan
diajarkan pada anggota-anggota Jong Java yang berminat. Desakan tersebut
beralasan karena murid-murid MULO dan AMS yang beragama Islam pada waktu
itu menghadapi persoalan yang cukup serius, menyangkut pendidikan agama
mereka. Sebagai murid MULO dan AMS mereka tidak cukup mempunyai waktu
belajar di Madrasah, sementara itu di MULO dan AMS tidak diajarkan agama
Islam. Ahli-ahli dan guru-guru kolonial di muka kelas kadang kala gemar
melontarkan kata-kata sinis terhadap Islam dan ajarannya. Sjam sebagai ketua
Jong Java menyadari persoalan ini (Ridwan Saidi. 1990: 11-12).
Haji Agus Salim sebagai pembimbing dalam lingkaran studi yang
anggotanya berasal dari beberapa anggota Jong Java, sering hadir dalam kongres-
kongres organisasi pemuda tersebut. P ada salah satu kongres Jong Java, Agus
Salim menyampaikan pidato Islam dan Jong Java, yang berisi bahwa dasar Jong
Java yang semata-mata nasionalisme menjauhkan pemuda terpelajar dari agama
Islam. Antara Agus Salim dan Sjam terdapat kesamaan pandangan tentang Islam
sebagai landasan perjuangan. Agus Salim menyampaikan gagasan tentang Islam
kepada para pemuda termasuk kepada anggota Jong Java yang sekuler
(Darmansyah, dkk. 2006: 6-7).
Pada saat Sjam memimpin Jong Java, Sjam terilhami oleh pidato H.
Agus Salim sehingga mencoba melakukan pembaharuan dalam Jong Java. Dalam
pertemuan tahunan Jong Java, kongres Jong Java ke-7 di Yogyakarta pada tanggal
27-31 Desember 1924 (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 34),
Sjam mengajukan usul sebagai berikut:
a. Anggota yang berumur di bawah 18 tahun, tidak boleh terlibat dalam kegiatan
politik.
b. Anggota yang berumur 18 tahun ke atas, secara sendiri-sendiri boleh ikut
dalam kegiatan politik. Dalam hal ini mereka akan dibantu dan dipimpin oleh
anggota luar biasa, yang akan merupakan golongan ketiga dalam Jong Java.
78

Aturan ini akan menambah fungsi Jong Java sebagai tempat latihan mental
nasional (A. K. Pringgodigdo. 1994: 114-115).
c. Diadakan kursus agama Islam bagi anggota Jong Java mengingat agama Islam
adalah agama yang dipeluk oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Selain itu,
banyak kaum terpelajar yang tidak paham dengan agamanya (Tim Yayasan
Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 221).
Hal ini sebagai respon terhadap kuliah-kuliah tentang agama Kristen di Jong
Java, para pelajar Muslim yang lebih ortodoks juga meminta agar diadakan
pula kuliah-kuliah mengenai agama Islam (Yudi Latif. 2005: 306).
Usulan Sjam ini mendapat dukungan dari Raden Kasman Singodimedjo,
Supinah (kemudian menjadi Nyonya Kasman Singodimedjo), Moeso Al-
Machfoeld (Gus Muso, bukan Muso tokoh P KI), Soehodo (Sekpri Sri Paku Alam
VIII). Mereka berpendapat bahwa agama Islam yang akan membantu
mempersatukan para pemuda. Selama ini dalam pergaulan antar suku kaku sekali
laksana minyak dengan air. Islam adalah agama rakyat umum di Nusantara. P ara
anggota Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Bataks, Jong Sumatranen, sama dan
serupa dengan anggota Jong Java, Sekar Rukun, dan lain-lain, semua itu putra-
putri rakyat Nusantara. Maka Islam adalah agama yang telah mempersatukan
mereka. Jong Java harus berani memelopori memakai Islam sebagai dasar untuk
selanjutnya disampaikan kepada sesama anggota organisasi pemuda (Tim
Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 221). Tetapi ada pula kalangan yang
menentangnya dengan alasan karena Jong Java bukanlah perkumpulan agama atau
karena pertimbangan untuk menghindari perpecahan, sedangkan yang
didambakan adalah persatuan. Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa usul
itu tidak diperlukan karena agama tidak perlu. Bukankah ketika itu zaman
kemajuan, sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan agama menunjukkan
pada keterbelakangan, kekolotan dan sebagainya (Ridwan Saidi. 1990: 12).
Gagasan Sjam tersebut tidak didukung oleh suara mayoritas. Alasan
penolakan terhadap gagasan Sjam adalah Sjam bermain politik. Serekat Islam juga
dituduh sedang menyusup ke dalam tubuh Jong Java (Tim Yayasan Gedung-
Gedung Bersejarah. 1974: 34). Setelah diadakan pemungutan suara sebanyak dua
79

kali, hasilnya tetap seimbang. Sjam, sebagai ketua sidang, menurut aturan yang
berlaku, berhak menentukan apakah usulan diterima atau ditolak. Sjam
memutuskan usulan ditolak dan tidak mau memutuskan agar peserta kongres
menerima usulannya karena khawatir dituduh tidak demokratis dan pada akhirnya
akan menimbulkan perpecahan di dalam Jong Java (Sidi Mawardi. 2000: 50-51).
Demi menjaga persatuan dalam perhimpunan Jong Java, Sjam
menyatakan mundur dari Jong Java dan akan mendirikan perhimpunan baru untuk
memperjuangkan aspirasi keislamannya. Sjam mendapat dukungan dari Agus
Salim, H. O. S. Tjokroaminoto, A. M. Sangaji (Sarekat Islam) dan K. H. Achmad
Dahlan (Muhammadiyah). Tokoh pemuda yang mendukung gagasan Sjam adalah
Mohammad Roem, Mohammad Natsir, P rawoto, Jusuf. Mereka menyatakan siap
membantu merealisasikan gagasan Sjam dan siap bekerjasama (Moh. Roem.
1977: 247).
Agus Salim yang mengikuti rapat itu dan telah lama menyadari akan
pentingnya membentuk kader-kader inteligensia Islam juga menyarankan agar
mereka mendirikan sebuah organisasi pelajar yang baru, yang kemudian bernama
Jong Islamieten Bond . Karena pengalaman traumatisnya, pendirian JIB
diorientasikan untuk mengislamkan kaum terpelajar. Kepedulian utama dari
organisasi ini adalah bagaimana menjadikan orang-orang Indonesia yang
berpendidikan Barat menjadi lebih dekat dengan umat Islam atau paling tidak
membujuk mereka untuk tidak sepenuhnya menjadi anggota fanatik dari
organisasi-organisasi sekuler. Cara pandang terhadap Islam sekarang (dalam JIB)
berbeda dengan yang sebelumnya dibayangkan di Jong Java. Sementara ide untuk
memberikan pengajaran Islam dalam konteks Jong Java didasarkan pada alasan-
alasan pragmatis, yaitu demi persatuan dan kepemimpinan nasional, ide yang
sama sekarang diletakkan dalam idealisasi pembentukan sebuah identitas kolektif
tertentu dan sebagai sebuah ideologi tersendiri. Solidaritas Islam sekarang
dianggap sebagai satu-satunya solusi bagi masalah-masalah sosial (Yudi Latif.
2005: 307).
Rapat-rapat pendahuluan dilaksanakan di sebuah sekolah
Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta. Rapat tersebut menyepakati nama
80

organisasi adalah Jong Islamieten Bond (JIB, Sarekat P emuda Islam). Hal itu
terjadi pada akhir 1924. Walaupun secara de facto JIB berdiri di Yogyakarta, pada
31 Desember 1924, tetapi secara de jure JIB dinyatakan berdiri di Jakarta pada 1
Januari 1925 (Darmansyah, dkk. 2006: 9). P ada waktu itu H. O. S. Tjokroaminoto
juga ikut menghadiri pendirian JIB di Yogyakarta yang berlangsung dalam sebuah
ruangan deterangi cahaya lampu teplok. P endirian JIB ini mendapat restu dari H.
Agus Salim, K. H. Achmad Dahlan (Moh. Roem. 1977: 71). Keanggotaan JIB
tidak membatasi diri pada kedaerahan. Kesempatan mempelajari agama Islam
dibuka dalam organisasi ini karena menurut Sjam agama Islam adalah agama
mayoritas yang dianut oleh rakyat Indonesia pada masa itu (Mohamad Roem dan
Kustiniyati Mochtar. 1989: 98 dan 128).
Tokoh-tokoh Islam lain yang peranannya juga besar dalam mendorong
berdirinya JIB adalah Achmad Soerkati yang merupakan sahabat K. H. Achmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Sejumlah tokoh pemuda pergerakan nasional
seperti Agus Salim dan Kasman Singodimedjo juga kerap berdialog dengan
Achmad Soerkati mengenai berbagai masalah. Syekh Achmad juga menjadi guru
spiritual JIB, dimana para aktivisnya seperti Mohammad Natsir (mantan perdana
menteri), Mohammad Roem, dan lainnya sering belajar kepada beliau. Achmad
Soerkati sangat membenci penjajahan dan tidak mau umat Islam Indonesia
diperbudak oleh orang-orang Belanda serta berupaya mengubah kondisi itu
dengan menanamkan kesadaran pada segenap umat akan bahayanya penjajahan.
Sikap anti penjajahan diperlihatkan dengan memperjuangkan persamaan derajat
sesama manusia. P emerintah kolonial Belanda membedakan manusia berdasarkan
ras dan golongan. Menurut Achmad Soerkati, ”Mencapai kebebasan dari
penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah”. Ditegaskan bahwa setiap
manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan merdeka. Belanda bukan hanya
menjajah fisik namun juga menindas harkat dan jiwa bangsa Indonesia. Melalui
perhimpunan Al-Irsyad Achmad Soerkati memberikan kesempatan kepada
pemuda-pemuda pergerakan nasional untuk menggunakan fasilitas pendidikannya.
Mereka secara berkala mengikuti ceramah dan kursus agama yang diadakan di
gedung Al-Irsyad. Selain itu, Achmad Soerkati juga sering kali mengisi ceramah-
81

ceramah yang diselenggarakan oleh JIB. Atas permintaan Tjokrohadikoesoemo,


Bestuur Jong Islamieten Bond Afdeling Batavia, pada bulan November 1929 Al-
Irsyad resmi menunjuk Ali Harharah guna memberi pelajaran agama Islam dan
bahasa Arab untuk para anaggota JIB setiap Ahad (Darmansyah, dkk. 2006: 10-
11).

B. Perke mbangan Jo ng Islamieten B ond

1. Masa Awal Pergerakan Jong Islamieten Bond


JIB didirikan pada tanggal 1 Januari 1925 atas prakarsa Sjamsoeridjal.
Pendirian JIB berawal dari keprihatinan kaum intelektual Muslim dan kemudian
didukung H. Agus Salim tentang kurangnya perhatian kaum muda Muslim,
terutama yang menikmati pendidikan gaya Barat terhadap agama mereka dan juga
kurangnya perhatian Jong Java terhadap pembinaan kerohanian bagi anggota-
anggota yang beragama Islam. JIB merupakan salah satu organisasi Islam yang
sangat percaya diri dan sangat gigih mengecam kalangan Kristen serta
memperlihatkan sikap anti-Kristen, melalui Volkstraad dan juga melalui berbagai
publikasi, misalnya majalah Het Licht. Di kemudian hari JIB menjelma menjadi
suatu wadah untuk mendidik kaum muda Islam hingga menjadi kader-kader yang
mempunyai dasar keislaman yang kokoh. JIB tidak bergerak dalam urusan politik,
namun memperbolehkan anggota-anggotanya untuk ikut terlibat dalam berbagai
gerakan politik yang marak pada saat itu (Jan S. Aritonang. 2005: 181). Jong
Islamieten Bond (JIB/Liga Pemuda Islam) menjadi suatu organisasi yang secara
politik sangat penting dalam serangan balasan kaum reformis terhadap aliansi di
kalangan mahasiswa yang terdidik secara Belanda (Al-Chaidar. 1999: 9).
Terbentuknya JIB dianggap sebagian kalangan sebagai perpecahan
persatuan pemuda. Padahal saat itu orang sedang mengusahakan persatuan.
Anggota JIB menolak tuduhan itu dan membela diri menghadapi argumen
keindonesiaan. P ara anggota JIB merasa memperjuangkan persatuan nasional
walaupun dengan dasar Islam, karena itu orientasinya Indonesia. Selain itu, para
aktivis JIB tidak menganggap sebagai pesaing perhimpunan-perhimpunan pemuda
82

lain dan berusaha memperjuangkan hubungan persahabatan bahkan persaudaraan


dan juga kerjasama sebanyak mungkin di kalangan umat Islam (Darmansyah, dkk.
2006: 15).
Perhimpunan ini terbuka untuk semua orang Islam Indonesia yang
berumur tidak lebih dari tiga puluh tahun baik pelajar maupun orang yang sudah
tamat belajar (A. K P ringgodigdo. t. t: 506). JIB kemudian mengadakan suatu
propaganda perluasan anggota dengan cara menghubungi murid-murid MULO
dan AMS yang bersimpati. Di Jakarta, sejumlah formulir keanggotaan diedarkan,
di luar dugaan 200 pemuda Islam, baik pelajar MULO maupun AMS ataupun
tamatan sekolah-sekolah tersebut yang sudah bekerja, menyatakan bersedia
menjadi anggota JIB (Ridwan Saidi. 1990: 13). Dalam waktu yang relatif singkat,
jumlah anggota sudah meluas sehingga pada tanggal 8 Februari 1925 diadakan
pertemuan pertama di Jakarta (semacam rapat terbuka). Efek dari pertemuan
tersebut sedemikian besar dan luasnya, sehingga menimbulkan kekhawatiran dari
sementara organisasi-organisasi kedaerahan, dan pers Belanda yang tergabung
dalam Inheemse pers. Tuduhan yang dilontarkan pers Belanda pada JIB adalah
JIB sebagai organisasi politik yang mau memperjuangkan kemerdekaan nasional.
Dari tuduhan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kata kemerdekaan nasional
masih dihindari, karena pemerintah kolonial Belanda sangat ketat dalam
mengawasi organisasi pemuda yang mempunyai arah dan tujuan kemerdekaan
nasional (Ridwan Saidi. 1990: 24).
Anggota JIB yang berasal dari Jong Java ternyata banyak yang tidak
melepaskan keanggotaan Jong Java-nya. Hal tersebut menampik adanya anggapan
dari sebagian kalangan bahwa dengan kemunculan JIB tersebut sebagai
perpecahan persatuan pemuda. Sementara itu, orang Belanda tidak hanya
menyesalkan bahkan menilai sangat negatif atas kehadiran JIB. Hal ini segaris
dengan prasangka yang biasa menandai sikap Barat terhadap Timur. Bagi orang
Barat, Islam dianggap sebagai masalah yang berbahaya sehingga dipandang
dengan penuh curiga dan prasangka. Bahkan Snouck Hurgronje yang di kalangan
non-Islam Barat merupakan pakar Islam dan bisa bercerita banyak tentang
kebaikan Islam, mendukung politik yang secara sadar ditujukan untuk
83

menyelewengkan perhatian kaum muda dari agamanya sendiri, terutama kaum


muda yang mengenyam pendidikan Barat (Darmansyah, dkk. 2006: 14).
JIB mulai melakukan perekrutan anggota dan kampanye-kampanye
setelah resmi terbentuk. Kampanye pertama dilaksanakan pada 8 Februari 1925 di
Batavia. Kampanye itu berhasil menarik anggota sebanyak 250 orang. Kampanye
dan perluasan tersebut berlangsung sampai dengan bulan Juni 1925. Kampanye
dilanjutkan di Yogyakarta, Surakarta dan Madiun. Dengan usaha keras itu, akhir
tahun 1925 JIB memiliki sekitar 1000 orang anggota ditujuh cabang, yaitu di
Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Bandung, Magelang dan Surabaya.
Cabang Batavia dan Bandung sudah mempunyai bagian untuk kaum wanita.
Cabang Bandung diketuai oleh Wiwoho Purbohadidjojo, ketua Bond Inlan dsche
Stud eerend en (BIS) (Darmansyah, dkk. 2006: 15-16). Sedangkan cabang
Surabaya dan Magelang berdiri pada bulan November pada tahun itu juga atas
inisiatif pelajar-pelajar setempat yang selama ini melakukan kegiatan yang sejalan
dengan tujuan JIB (Ridwan Saidi. 1990: 26).
Hanya seminggu setelah pertemuan di Jakarta, maka pada tanggal 15
Februari 1925 di Yogyakarta diadakan rapat terbuka dan pada saat bersamaan juga
berdiri cabang Solo dan Madiun. Sampai dengan saat tersebut JIB telah
mempunyai empat cabang dan dipandang perlu untuk mendirikan pengurus pusat
dengan maksud untuk lebih mengefektifkan perkembangan organisasi yang
berkedudukan sementara di Jakarta. Melalui perundingan keempat cabang tersebut
maka dibentuk pengurus pusat dengan susunan sebagai berikut:
Ketua : R. Sjamsoeridjal
Wakil Ketua : Wiwoho P urbohadidjojo
Sekretaris I : Syahbuddin Latief
Sekretaris II : Hoesin
Bendahara I : Soetijono
Bendahara II : So’eb
Komisaris : 1. Moegni
2. Thoib
3. Soewardi
84

4. Sjamsoeddin
5. Soetan Pelindih
6. Kasman Singodimedjo
7. Mohammad Kusban
8. Soegeng
9. H. Hasim (Ridwan Saidi. 1990: 25).
Kampanye-kampanye perluasan organisasi kembali diadakan setelah
kepengurusan pusat terbentuk dengan jalan menugaskan beberapa pengurus untuk
memperluas pengaruh dan memberikan ceramah pada cabang-cabang yang baru
berdiri. Untusan-utusan tersebut terdiri dari Sjahboeddin Latief ke Yogyakarta dan
Madiun, Mohammad Koesban ke Solo, Kasman Singodimedjo ke P oerworedjo
dan Kutoredjo. Sementara itu Sjam bersama penasehat JIB, H. Agus Salim ke
Bandung untuk membentuk JIB di kota tersebut. Kampanye dan perluasan
tersebut berlangsung sampai dengan bulan Juni 1925. Sedangkan cabang
Surabaya dan Magelang berdiri pada bulan November 1925 atas inisiatif pelajar-
pelajar setempat yang selama ini melakukan kegiatan yang sejalan dengan tujuan
JIB (Ridwan Saidi. 1990: 25-26).
Pada tanggal 15 November 1925 di Gedung Lux Orientis dilangsungkan
pertemuan tokoh-tokoh organisasi pemuda untuk membentuk pengurus Kongres
Pemuda Pertama, pada saat itu JIB sedang melakukan konsolidasi dan belum
mempunyai pengurus yang difinitif. Yang menjadi penggagas pertemuan tersebut
adalah Mohammmad Tabrani, anggota Jong Java cabang Jakarta yang bekerja
sebagai wartawan Hindia Baro e pimpinan H. Agus Salim, penasehat JIB.
Pertemuan itu dihadiri oleh Mohammad Tabrani, Soemarto dan Soewarso (Jong
Java). Jong Sumatranen Bond diwakili oleh Bahder Djohan, Djamaluddin dan
Sanoesi Pane. JIB sangat antusias untuk mengikuti kegiatan tersebut, sayangnya
saat itu JIB belum mempunyai pengurus yang definitif pilihan kongres sehingga
tidak dapat mengirimkan wakilnya. Pertemuan di Gedung Lux Orientis tersebut
menghasilkan keputusan tentang waktu, tempat dan ketua kongres. Sebagai ketua
kongres pemuda pertama adalah Mohammad Tabrani. Untuk mensukseskan
kegiatan kongres, Tabrani mendatangi semua organisasi pemuda termasuk JI.
85

Tabrani menemui Wiwoho P urbohadidjojo, wakil ketua JIB dan mengundang JIB
untuk turut serta dalam pertemuan antar organisasi pemuda tersebut. Dimana
dalam pertemuan tersebut diharapkan dapat dibentuk wadah baru sebagai tempat
perkumpulan seluruh pemuda Indonesia. Bagi JIB ajakan tersebut tidak
memberatkan sama sekali (Darmansyah, dkk. 2006: 16).
Perkembangan JIB pada periode ini juga semakin pesat. Hal tersebut
dapat dilihat dari penyelenggaraan kongres dari tahun ke tahun secara teratur yang
diselenggarakan oleh JIB. Salah satu usaha konsolidasi organisasi adalah
penyempurnaan Anggaran Dasar/Anggaran dan Rumah Tangga (AD/ART)
melalui kongres yang diadakan berturut-turut di Yogyakarta (1925), Solo (1926),
Yogyakarta (1927), dan Bandung (1928). Keputusan kongres di Bandung
mengenai AD/ART dipertahankan sampai bubarnya JIB ketika tentara Jepang
masuk. Aktivitas JIB sendiri dari tahun ke tahun dapat diikuti melalui laporan
kongres yang telah dilaksanakan (Ridwan Saidi. 1990: 22).
Sebulan setelah pertemuan di Gedung Lux Orientis, JIB
menyelenggarakan kongres pertama. Berdasarkan keputusan rapat, kongres
dilaksanakan pada tanggal 25-27 Desember 1925 bertempat di Jayengprakosan,
Yogyakarta. Kongres dihadiri undangan yang mencapai 47 macam organisasi
pergerakan di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 17). Pada kongres pertama
tersebut JIB telah mempunyai anggota 1000 orang yang dibagi atas 7 cabang.
Cabang Jakarta dan Bandung mempunyai bagian gadis (A. K. Pringgodigdo.
1994: 121). Kongres juga dihadiri oleh H. O. S. Tjokroaminoto, Agus Salim dan
Surjopranoto dari Sarekat Islam turut menghadirinya. Selain itu juga hadir
Dwidjosewojo dari Budi Utomo dan Suwardi Suryaningrat, pendiri Taman Siswa.
Sementara itu, organisasi Muhammadiyah diwakili oleh H. Fachrudin (Cahyo
Budi Utomo. 1995: 125).
Pengurus pusat kemudian dipindahkan ke Yogyakarta setelah cabang
Bandung dibentuk pada bulan Juni 1925. Akibatnya banyak anggota pengurus
pusat yang tidak bisa ikut pindah, sehingga pengurus pusat mengalami perubahan
sebagai berikut:
86

Ketua : R. Sjamsoeridjal
Wakil Ketua : Wiwoho P urbohadidjojo
Sekretaris : dirangkap oleh tim ketua
Bendahara : P. Hadisuwignjo
Seksi Usaha : Muhammad Koesban
Anggota : 1. Sjahboeddin Latief
2. R. Kasman Singodimedjo
3. Soegeng
4. H. Hasjim
5. Puspo Soekardjo
6. Mohammad Sapari
Dengan berdirinya pengurus pusat di Yogyakarta, maka cabang Jakarta berdiri
dengan ketua Soetiono, mantan bendahara pengurus pusat sebelum pindah ke
Yogyakarta. Sampai saat itu cabang Jakarta adalah cabang terbesar dari segi
jumlah anggota, cabang ini senantiasa mendapat bimbingan dari H. Agus Salim
(Ridwan Saidi. 1990: 26).
Dalam kongres pertama tersebut juga disepakati tujuan dari organisasi
JIB sebagai berikut:
a. Mempelajari dan mendorong hidupnya kembali agama Islam;
b. Memupuk dan menumbuhkan simpati terhadap pemeluk agama Islam dan
pengikutnya di samping toleransi terhadap golongan lain;
c. Menyelenggarakan kursus-kursus agama Islam, darmawisata, olah raga dan
seni dengan menggunakan agama Islam sebagai alatnya;
d. Meningkatkan kemajuan jasmani dan rohani anggotanya dengan jalan
menahan diri dan sabar (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 35).
Sebagai organisasi yang memiliki tujuan-tujuan seperti di atas maka melalui
kongresnya yang pertama tersebut JIB lebih menekankan kegiatan-kegiatannya
pada studi Islam sebagai langkah utama untuk menaati peraturan-peraturan dan
ajaran-ajaran Islam (Iin Nur Insaniwati. 2002: 18).
87

JIB dalam pergerakannya merupakan organisasi yang tidak melakukan


kegiatan politik. Hal tersebut tampak pada tujuan organisasi JIB dalam kongres
pertamanya dan pidato Sjamsoeridjal mengenai sikap JIB terhadap politik:
...Pada kursus-kursus, cerama-ceramah dan debat-debat yang kami
selenggarakan, akan diusahakan sejauh mungkin meningkatkan
pengertian tentang politik, terutama dari sudut Islam. Tetapi JIB tidak
akan ikut aksi politik. Anggota-anggota kami pun tidak akan terjun
dalam dalam bidang politik atas nama organisasi. Tetapi JIB tidak
melarang para anggotanya yang secara sah dapat ikut dalam gelanggang
politik... (Ridwan Saidi. 1990: 17).

Setelah diadakan kongres pertama tersebut JIB mengaharuskan para anggotanya


untuk mempelajari dan mengkaji ajaran-ajaran Islam. Islam sekarang dianggap
lebih dari sekedar bahasa solidaritas sosial, dianggap menjadi landasan kerja bagi
aksi sosial-politik. Dengan pengalamannya menyaksikan perbenturan wacana
antara para intelektual Muslim dan sekuler dari generasi yang lebih tua, para
pelajar ini menemukan suatu model bagi perumusan ideologi mereka (Yudi Latif.
2005: 308). Namun perlu diingat bahwa gagasan tentang solidaritas Islam bagi
para anggota JIB tidak bertentangan dengan ide mengenai solidaritas nasional dan
tidak mengurangi keterikatan mereka pada tujuan pembentukan kelompok
nasional. Jadi, solidaritas Islam dalam konteks ini disuarakan sebagai sebuah cara
untuk mendukung ide mengenai identitas kolektif di tengah-tengah persaingan
ideologi politik di antara beragam aliran intelektual. Menurut Mohammad Roem,
dalam menjadi seorang Muslim, seseorang harus mencintai tanah airnya karena
hal ini merupakan bagian hakiki dari keyakinan Islam (Mohamad Roem dan
Kustiniyati Mochtar. 1989: 131).
JIB membangun dua prasarana yang kelak mempunyai nilai strategis
dalam pembinaan generasi, yaitu dengan menerbitkan majalah Al-Nur atau Het
Licht sebagai majalah cendekiawan Islam pertama di Indonesia pada bulan Maret
1925 dan mendirikan National Indonesische Padvinderij (NATIPIJ) sebagai
organisasi pandu nasional Indonesia (Ridwan Saidi. 1990: 19). Selain itu, JIB juga
mempunyai bagian wanita yaitu Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIBDA)
(A. K P ringgodigdo. t. t: 506). Kursus-kursus agama Islam segera menjadi salah
88

satu ciri aktivitas cabang-cabang JIB. Cabang Jakarta mendirikan gerakan


kepanduan dan pengurus JIB bagian putri (Ridwan Saidi. 1990: 27).
Het Licht mulai diterbitkan sejak bulan Maret 1925, dua bulan setelah
JIB didirikan. Majalah ini menjadi media komunikasi yang sangat efektif, bukan
hanya untuk kalangan anggota JIB saja tetapi juga di luar JIB. Het Licht terbit
secara teratur sampai tahun 1931 dan masih bertahan terus sampai dibubarkannya
JIB oleh tentara penduduk Jepang pada tahun 1942. Ide kelahiran Het Licht
sebenarnya dimulai pada tangal 21-22 Februari 1925, pada suatu malam di bawah
sinar lampu minyak yang remang-remang di sebuah gedung sekolah Adhi Darmo
Yogyakarta oleh Soeryopranoto, Tjokro Aminoto, Mohammad Koesban, H.
Hasim dan Soegeng. Tujuan diterbitkannya majalah JIB tersebut adalah untuk
menyebar luaskan ide dan gagasan JIB, tidak saja dikalangan angota tetapi juga
untuk kaum intelek Indonesia lain yang masih menuntut ilmu di sekolah. Fokus
utama dari majalah ini adalah kaum pelajar. Majalah JIB ini dicetak pada
percetakan Muhammadiyah Yogyakarta dan dibagikan secara cuma-cuma untuk
para anggota dan penasehat JIB. Sebagian lagi dijual kepada umum (Ridwan
Saidi. 1990: 27).
Haji Agus Salim dalam kongres pertama JIB tersebut menyatakan bahwa
Sebenarnya JIB merupakan terlaksananya idaman hati Haji Agus Salim. Bantuan
dan dukungannya kepada JIB semata-mata sebagai kewajiban orang Islam yang
sanggup membantu kaumnya. Di samping itu Haji Agus Salim juga sangat
bersyukur dengan lahirnya JIB karena sudah menjadi bukti kemajuan kebebasan
dari para anggotanya. Dipujinya JIB karena berorientasi kepada kepribadian dan
jiwa bangsa sendiri yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang
dianggap oleh Haji Agus Salim sebagai keluar biasaan dari JIB (Mukayat. 1985:
49).
Dua kongres berikutnya (Desember 1926 dan 1927) membicarakan hal-
hal yang bertalian dengan agama Islam antara lain Islam dan pandangan dunia,
perkembangan Islam di luar negeri, Islam dan pikiran merdeka, ethik perang
dalam Islam, Islam dan cita-cita persatuan, kebangsaan dan sosialisme,
perempuan dalam Islam dan lainnya. Mengenai poligami yang ditentang oleh
89

kaum nasionalis diterangkan bahwa bukan peraturannya yang jelek, tetapi


pelaksanaannya yang kurang baik (A. K. Pringgodigdo. t. t: 506).
Kongres ke-2 diadakan di Surakarta pada tanggal 24-26 Desember 1926.
Dalam kongres itu terlihat sekali sekali arah JIB yang ingin mendorong anggota-
anggotanya agar mempelajari agama Islam sesuai dengan asas dan tujuan
organisasi. Sementara itu pada kongresnya yang ke-3, yang diadakan di
Yogyakarta pada tanggal 23-27 Desember 1927, tema yang menonjol dalam
ceramah-ceramahnya adalah mengenai permasalahan umum yang dihadapi umat
Islam. Termasuk di dalam hal ini cita-cita persatuan dan nasionalisme. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa JIB, sekalipun merupakan organisasi yang
berdasarkan pada suatu agama, tetapi dapat berasimilasi secara ideologis dengan
organisasi pergerakan yang ada pada saat itu (Cahyo Budi Utomo. 1995: 125).
Dalam penutupan kongres ketiga tersebut ketua Wiwoho menerangkan bahwa JIB
tidak dapat ikut dalam fusi yang diusulkan P PP I, yaitu Indonesia Muda, karena
JIB hendak tetap berdasarkan agama Islam. Ini tidak berarti bahwa JIB tidak
mendukung cita-cita Indonesia Raya. Pidato-pidato dalam kongres ke-4
(Desember 1936) juga menyatakan hal itu (cinta tanah air dan bangsa dalam
Islam, Islam dan kemajuan, agama dan politik) (A. K Pringgodigdo. t. t: 506).
Pada kongres ke-4 JIB di Bandung, 22-25 Desember 1928, dibahas
secara khusus tentang nasionalisme (Darmansyah, dkk. 2006: 52). Salah seorang
aktivis JIB Bandung Mohammad Natsir dikemudian hari menjadi perdana menteri
RI (Darmansyah, dkk. 2006: 16). Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh
JIB yang paling vokal. Di samping mengasah pemikiran tentang hal-hal politik
dan ideologi, termasuk nasionalisme menurut Islam melalui kegiatan diskusi dan
debat. Di lingkungan JIB, Natsir juga memberi ceramah dan pelajaran agama
Islam dan itu disampaikan dalam bahasa Belanda agar mendapat perhatian dari
para pemuda-pemudi yang merasa dirinya kaum intelektual dan kaum terpelajar
(Jan S. Aritonang. 2005: 182). Mohammad Natsir mulai aktif dalam JIB sejak
menjadi siswa MULO di Padang dan kemudian diteruskannya di AMS Bandung.
Aktivitas dalam JIB menjadi sangat penting karena dua hal, yaitu pertama, JIB
telah menjadi suatu perkumpulan yang mempunyai ikatan tersendiri bagi pemuda-
90

pemuda yang mempunyai latar belakang Islam yang menempuh pendidikan Barat.
Kedua, JIB juga menjadi sebuah tempat yang mengajarkan nilai-nilai demokrasi
(Lukman Hakiem. 2008: 124).
Tujuan JIB didirikan adalah untuk memajukan pengetahuan tentang
Islam, hidup secara Islam dan persaudaraan secara Islam (Jan S. Aritonang. 2005:
181). Selain itu, pendirian JIB juga bertujuan untuk memperkuat persatuan di
kalangan pemuda muslimin. Keanggotaannya terbuka bagi para pemuda Islam
yang berumur antara 14-30 tahun. Walaupun ada pembatasan umur, organisasi
yang dibentuk itu tidak hanya terbatas bagi para pelajar saja, tetapi juga bagi
mereka yang sudah menyelesaikan sekolah. Secara formal organisasi ini tidak
bergerak dalam bidang politik, tetapi anggotanya yang telah berumur 18 tahun ke
atas diperbolehkan mengikuti kegiatan-kegiatan politik (Cahyo Budi Utomo.
1995: 124). Sedangkan tujuan JIB yang menyangkut masalah wanita yaitu JIB
harus memperhatikan pembinaan remaja putri dan kaum wanita umumnya di
lingkungan kaum intelek. JIB sangat menaruh perhatian pada persamaan hak dan
kewajiban di antara kaum laki-laki dengan wanita, sesuai dengan ajaran Islam.
Pandangan tentang wanita sangat ditekankan mengingat kondisi kaum wanita
pada saat itu (tahun duapuluhan) sangat direndahkan. Dikemudian hari aktivitas
JIB bagian putri dititik beratkan pada yang terakhir ini, melalui usaha-usaha
penyadaran dengan jalan kursus dan tablig. Sasaran utama mereka adalah
pencegahan pernikahan di bawah usia 14 tahun. Dikemukakan oleh Sjam bahwa
JIB akan mengebangkan organisasi putri sejalan dengan aktivitas anggota pria
(Ridwan Saidi. 1990: 22-23).
Disela-sela aktivitas JIB yang demikian pesatnya, di luar sedang
bergelora semangat kebangsaan dan suasana pergerakan politik ketika itu
mengarah pada persatuan bangsa. Sumbangan JIB dalam mendorong organisasi
pemuda agar bersatu, tidaklah sedikit. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya
bahwa lahirnya JIB telah menimbulkan kegelisahan di kalangan organisasi
pemuda kedaerahan, karena JIB mampu mempersatukan berbagai pemuda dari
semua lapisan dan asal kesukuan serta cabang-cabangnya telah dibuka di luar
Jawa, seperti Sumatra, Sulawesi dan kepulauan lainnya (Ridwan Saidi. 1990: 28).
91

Dalam perkembangan pergerakan JIB selanjutnya, komitmen JIB untuk


menjalin persatuan dengan organisasi pemuda lain ditunjukkan dengan
keikutsertaan JIB dalam Kongres P emuda P ertama yang dilaksanakan pada
tanggal 30 April-2 Mei 1926. Pada Kongres P emuda Pertama tersebut JIB
diwakili oleh Emma Poeradiredja, ketua JIB Dames Afdelling cabang Bandung
(Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 321). Pada kesempatan tersebut
JIB berupaya untuk menunjukkan gagasan persatuan pergerakan pemuda. Hal ini
sesuai dengan tujuan Kongres Pemuda Pertama untuk menggugah semangat
kerjasama di antara berbagai macam organisasi pemuda pelajar di Indonesia
supaya dapat diwujudkan pokok-pokok untuk lahirnya persatuan Indonesia di
tengah bangsa-bangsa di dunia (Darmansyah, dkk. 2006: 20). Kongres ini tidak
diakui oleh organisasi pemuda yang ada dengan berbagai alasan. Salah satu alasan
penolakan tersebut adalah kepanitiaannya dilakukan individu-individu yang latar
belakang organisasinya tidak begitu kuat dan jelas. Sementara itu bahasa yang
digunakan sebagai pengantar selama rapat-rapat adalah bahasa Belanda
(Koentjara Purbopranoto. 1987: 314).
Perdebatan tentang fusi dan federasi terus berlangsung setelah Kongres
Pemuda P ertama. Masing-masing pihak mempertahankan pendapat dan
keinginannya. Atas inisiatif Jong Java maka pada tanggal 15 Agustus 1926
diadakan National Conferentie di Jakarta yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Jong
Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Roekoen, Jong Bataks Bond, Jong Minahasa,
Vereeniging voor Ambonsche Studeerenden, Jong Islamieten Bond cabang Jakarta
dan Komite Kongres P emuda Pertama. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan
untuk membentuk sebuah organisasi tetap, Jong Indon esia (P emuda Indonesia),
yang akan mendampingi organisasi pemuda yang ada dengan tujuan ”Memajukan
dan membuktikan Indon esische eenheidagedachte, menguatkan ikatan persatuan
antara perkumpulan-perkumpulan pemuda” (Sek ar Roek oen. No. 4. April 1929
dalam Darmansyah, dkk. 2006: 21).
Adanya ketidaksepakatan di kalangan pemuda menghalangi lahirnya
Jong Indonesia. Dalam rapat tanggal 20 Februari 1927 yang dihadiri oleh Jong
Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Roekoen, Jong Bataks Bond, Jong Minahasa,
92

Jong Ambo n, Jong Islamieten Bond dan PPP I mengemukakan beberapa pendapat.
Fusi ternyata lebih dikehendaki daripada badan kotak seperti yang diputuskan
dalam rapat 15 Agustus 1926. Badan kontak hanya akan mendekatkan para
pemimpin perkumpulan pemuda dan tidak organisasi secara keseluruhan
(Darmansyah, dkk. 2006: 21). Dengan diputuskannya cita-cita persatuan
Indonesia sebagai cita-cita bersama dan kemerdekaan Indonesia maka banyak
perkumpulan yang menentang JIB ikut serta dalam badan kontak karena JIB
dalam pergerakannya hanya dianggap berdasarkan agama.
Untuk memasyarakatkan gagasan persatuan di kalangan JIB maka pada
Kongres ke-3 JIB yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 23-27
Desember 1927, gagasan persatuan dibahas secara khusus. Dalam kongres JIB
menyatakan sikap akan tetap konsisten dalam perjuangan bangsa, tetapi JIB tetap
tidak akan fusi dengan organisasi pemuda lain yang tidak seasas (Islam) (Tim
Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 231).
JIB merupakan pendukung cita-cita persatuan Indonesia sehingga tidak
mengherankan jika JIB ikut mengirim utusan ke dalam panitia Kongres Pemuda II
di Jakarta pada Agustus 1928 (Ridwan Saidi. 1990: 5). Karena disadari betapa
pentingnya pelaksanaan Kongres Pemuda II, peserta pertemuan sepakat bahwa
pelaksanaan kongres akan diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928
(Darmansyah, dkk. 2006: 24). Johan Mohammad Tjaja sebagai wakil dari JIB
ikut menandatangani naskah Sumpah Pemuda yang dirumuskan pada tanggal 28
Oktober 1928. Di sinilah kelebihan JIB, karena JIB mampu memadukan
pemikiran Islam dan nasionalisme dalam satu bentuk yang sangat dinamis. Selain
melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan yang diadakan oleh
kelompok nasionalis, JIB juga aktif dalam berbagai wadah keislaman (Ridwan
Saidi. 1990: 5). Dalam kesempatan Kongres P emuda II tersebut Ma’mun Ar-
Rasjid dari JIB menyampaikan pidato pembukaan yang menyatakan akan
berusaha mempersatukan dan menumbuhkan cinta tanah air. Wakil JIB lainnya,
Emma P uradiredja menyatakan simpatinya terhadap kongres dan menganjurkan
kepada kaum wanita untuk turut aktif dalam pergerakan, tidak hanya bicara, tetapi
harus dengan perbuatan (Darmansyah, dkk. 2006: 28-29).
93

Salah satu keistemewaan dari Kongres P emuda II adalah bahwa pada


setiap ceramah akan digunakan bahasa pengantar dari bahasa sendiri. Jadi tidak
menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda sebagaimana yang dilakukan
pada kongres yang pertama dulu. Peristiwa itu menjadi istimewa karena pada
waktu itu bahasa Belanda masih digunakan sebagai bahasa pengantar. Oleh karena
itu, dengan digunakannya bahasa sendiri (bahasa Melayu) selain menunjukkan
adanya keberanian dari para pemuda pada waktu itu untuk tidak menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, juga menunjukkan keinginan untuk
mengangkat bahasa sendiri sebagai bahasa pengantar dalam aktivitas kehidupan
bangsa Indonesia pada waktu itu (Cahyo Budi Utomo. 1995: 142).
Masalah yang menjadi pembicaraan setelah Kongres Pemuda II adalah
masalah fusi dan federasi di antara organisasi-organisasi pemuda pergerakan.
Sebagian organisasi menghendaki fusi sedangkan sebagian lagi menghendaki
federasi. Kelompok yang mempelopori fusi dimotori oleh mahasiswa
Rechtshoogeschool yang tergabung dalam Perhimpu na n Pelajar-pelajar
Indo nesia (P PPI). Sedangkan kelompok yang menginginkan federasi dimotori
oleh JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 32). P asca Kongres Pemuda Kedua setidaknya
terdapat 3 organisasi pemuda yang menyetujui diadakannya fusi, yaitu Jong Java,
Jong Sumatranen Bond dan P emuda Indonesia yang kemudian ketiga organisasi
tersebut tergabung dalam suatu fusi, yaitu Indonesia Muda (IM). Menanggapi
masalah fusi tersebut JIB tetap berpegang pada hasil Kongres ke-3 JIB di
Yogyakarta, “Fusi dan pandangan Indonesia tidak lagi menjadi persoalan,
kesatuan Indonesia sebaiknya dicapai dengan cara Islam“ (Darmansyah, dkk.
2006: 33).
JIB adalah organisasi pertama kali yang mencetuskan pandangan
kesatuan Indonesia. Hal ini terbukti dari cabang-cabang di luar Jawa, kerjasama
persaudaraan antara orang Jawa, Minangkabau, Palembang dan lainnya dalam
organisasi JIB. Baik memiliki hak dan kewajiban yang sama, semuanya demi
kemajuan seluruh umat Islam Indonesia. Dalam gerakan pemuda, pertentangan
semakin mengarah pada konflik antara organisasi-oganisasi pemuda nasionalis di
satu sisi dan JIB di sisi lain. Kelompok P emuda Indonesia terdiri dari
94

Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda dan organisasi pelajar yang lebih kuat,
PPP I di Hindia-Belanda. Para tokoh organisasi-oganisasi pemuda nasionalis
antara lain tokoh P NI, Mr. Sartono dan Sunario. Tokoh-tokoh organisasi tersebut
hanya berpandangan nasionalis Indonesia dan secara resmi netral terhadap Islam
atau bahkan memusuhi seperti para tokoh nasionalis P NI. Pemuda Indonesia pada
saat itu masih didominasi oleh orang Jawa dalam kepemimpinannya. Ideologi
yang menjadi landasan aksinya sangat khas Jawa (Darmansyah, dkk. 2006: 38).
Pergerakan JIB didasarkan atas unsur Muslim dan nasionalis Indonesia
namun atas dasar Islam. Dasar pandangan agama telah memberi kepastian prinsip
seperti P emuda Indonesia dengan ideologi nasionalisnya yang kuat. Karenanya
mereka sangat bertentangan dengan semboyan pada masa itu. Kenyataan bahwa
organisasi ini telah mempunyai pengurus untuk 5 tahun yang sama juga sangat
berguna bagi kepastian prinsip mereka. Meskipun kepemimpinan arah dikuasai
oleh orang Jawa (Wiwoho sebagai ketua, Sugeng sebagai sekretaris, Sjamsoeridjal
sebagai bendahara), suku lain (Minangkabau, Bengkulu) juga memainkan peranan
yang jauh lebih besar dalam organisasi JIB daripada yang terjadi dengan Pemuda
Indonesia. Adanya ikatan agama dalam JIB mengakibatkan ikatan persaudaraan
yang jauh lebih luas daripada perjuangan kesatuan nasional. Mungkin hal ini juga
pengaruh dari tokoh Minangkabau, Agus Salim, yang tampil sebagai penasihat
ikut membantu dalam hal ini (Darmansyah, dkk. 2006: 39).
Sikap JIB terhadap Indonesia Muda disesuaikan dengan pasal 2
Anggaran Dasar JIB pasal 2 b tentang maksud JIB,
Berdaya upaya, menerbitkan, mendidik dan memajukan perasaan
keislaman di antara anggota-anggotanya dan mengadakan dan
mengekalkan perasaan persaudaraan dengan pemeluknya, sambil
bersikap sabar, menurut faham Islam terhadap orang-orang yang
berkeyakinan lain (Het Licht. No. 1. Maret 1930: 3 dalam Darmansyah,
dkk. 2006: 39).

JIB hanya mendukung fusi atas dasar Islam, jiwa yang lunak dan setia
pada kongres serikat ini yang berhasil nampak di sini adalah pernyataan suka
dibandingkan sikap benci dari kaum nasionalis ekstrim. P enolakan dari kubu
nasionalis P NI dan setiap usaha JIB digunakan sebagai pembiakan bibit bagi
95

organisasi nasionalis atau untuk menyerahkan kepada politik. Kasman


menyatakan atas nama JIB dalam kongres P SII di Batavia bahwa orang tidak
perlu ragu-ragu untuk mengikuti penasehat kehormatan Agus Salim, apabila Agus
Salim mengusulkan untuk berjuang dalam bidang politik. Akhirnya keseimbangan
yang dibentuk oleh JIB terhadap aksi pemuda yang dijiwai oleh semangat P NI,
memberikan alasan untuk menunjukkan sikap yang lebih lunak terhadap JIB
daripada yang sering muncul sampai saat itu (Darmansyah, dkk. 2006: 40-41).
Perkembangan JIB pada tahun 1928 cukup pesat. Pada tahun 1928
berdiri cabang Semarang, Tegal, Pekalongan, Banjarmasin, Makasar dan
Palembang. Cabang Medan yang telah dibubarkan kembali dibentuk. Jumlah
keseluruhan cabang mencapai 20 cabang dengan jumlah anggota sekitar 2.000
orang. Jumlah itu setara dengan jumlah Jong Java, perkumpulan pemuda tertua
dan terbesar. Berkat kegiatan JIB dalam Islam Studie Club maka banyak
cendekiawan Muslim muda yang tercegah meluncur jauh dari ajaran-ajaran Islam,
sementara mereka tetap tekun menuntut ilmu pegetahuan (Darmansyah, dkk.
2006: 23).

2. Masa Perkembangan Pergerakan Jong Islamieten Bond


JIB sebagai sebuah organisasi pemuda pelajar Islam berusaha
menghimpun seluruh pemuda pelajar Islam dalam organisasinya. Dalam usahanya
tersebut JIB mengalami proses dari organisasi pelajar yang kecil menjadi
organisasi pelajar yang besar. Pada masa kepemimpinan Kasman Singodimedjo
(1929-1935), JIB mengalami dua hal penting dalam catatan sejarah suatu
organisasi yaitu masa kejayaan dan mulai menapaki masa surutnya.
Pada awal masa kepengurusan Kasman hasil dari kongres ke-5 JIB pada
tahun 1929, kondisi organisasi JIB sudah mapan, baik intern maupun ekstern.
Oleh karena itu, tugas yang paling penting menurut Kasman adalah bagaimana
organisasi ini semakin berkembang. Atas usaha Kasman pada kongres ke-6 bulan
Desember 1930 di Batavia (Jakarta) dilaporkan bahwa cabang JIB bertambah
menjadi 34 cabang yang tersebar di lima pulau yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan,
96

Sulawesi dan Bali. Kasman juga berhasil menetapkan status JIB Dames Afdeling
(JIBDA) yaitu JIB bagian wanita (Darmansyah, dkk. 2006: 68).
Tahun tiga puluhan JIB tetap menjauhkan diri dari panggung politik.
Berbeda dengan Indonesia Muda yang membiarkan dirinya terilhami politik
seperti PNI Baru dan Partindo (Darmansyah, dkk. 2006: 41). Meskipun demikian
JIB tetap bercita-cita untuk mencapai Indonesia merdeka dan memiliki jiwa
kebangsaan, terbukti dalam pidato yang diberikan dalam kongres ke-6 pada
tanggal 24-28 Desember 1930 di Jakarta yang berisikan tentang cinta tanah air
dan bangsa dalam Islam. Ceramah-ceramah lain dalam kongres tersebut adalah
tentang Islam dan kemajuan agama oleh H. Agus Salim. Usaha yang dipentingkan
adalah agar kaum intelek tetap memeluk agama Islam. Di dalam gerakan pemuda
Islam JIB sering menjadi organisasi penggerak (Tim Museum Sumpah Pemuda.
2006: 97).
Melihat kinerja Kasman yang berhasil meluaskan keanggotaan JIB,
maka pada kongres ke-7 di Madiun bulan Desember 1931, Kasman terpilih
kembali sebagai ketua JIB. Selama satu tahun kepengurusannya berbagai kegiatan
telah dilaksanakan sesuai dengan keputusan kongres, salah satunya adalah
pendirian sekolah-sekolah HIS di cabang-cabang JIB (Darmansyah, dkk. 2006:
69). Pada bulan Oktober 1931 JIB membangun sekolah HIS yang bertempat di
Tegal dan di bulan November tahun itu juga dibuka lagi sekolah HIS di Tanah
Tinggi, Batavia. JIB bahkan merencanakan membangun percetakan (Ridwan
Saidi. 1990: 31). Namun pada kongres tersebut Central Bestuu r (CB) NATIPIJ
berkeinginan untuk melepaskan diri dari JIB. NATIPIJ yang pada waktu itu
dipimpin oleh Mohammad Roem dan Azran sebagai sekretaris, mulai menyadari
bahwa JIB tidak lagi menaruh perhatian pada kegiatan pelajar, sehingga para
tokoh NATIP IJ tersebut berpendapat bahwa organisasi kepanduan sebaiknya
berdiri sendiri, lepas kaitannya dengan organisasi apapun (Ridwan Saidi. 1990:
33).
Pada tahun 1932 JIB memasuki masa keemasannya dengan jumlah
anggota mencapai 4.000 orang yang tersebar di 55 cabang. Hampir di seluruh
kepulauan yang tersebar di Indonesia bendera JIB berkibar, mulai dari Aceh
97

sampai Ambon. Dari segi jumlah anggota dan cabang JIB berhasil mengalahkan
Indo nesia Muda (IM). Indonesia Muda adalah organisasi yang dibentuk apada
tahun 1930, hasil dari peleburan organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Java,
Pemuda Sumatra, Pemuda Indonesia, Jong Celebes dan Sekar Rukun. Pada tahun
1932 Indonesia Muda mempunyai 25 cabang dan 17 cabang keputrian serta
jumlah anggota sebanyak 2.393 orang. Hal tersebut menunjukkan bahwa betapa
besar dan kuatnya pengaruh Jong Islamieten Bond di kalangan pemuda pelajar
Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 69-70).
Di balik kemajuan pesat yang dialami JIB, ternyata di dalam tubuh JIB
itu menyimpan bara api konflik. Tedapat pemikiran baru bagi sebagian kalangan
di JIB yang menganggap bahwa agama tidak dapat dijadikan sebagai sandaran
dalam mencapai cita-cita (politik, kemerdekaan). Selain itu juga munculnya rasa
ketidakpuasan karena JIB dianggap tidak tegas dan tidak menjalankan AD dan
ART. Hal yang semakin memperuncing permasalahan adalah hilangnya rasa
kebersamaan karena adanya persaingan yang tajam antara pengurus JIB dan
pengurus bawahannya untuk memperebutkan kedudukan dalam organisasi
(Darmansyah, dkk. 2006: 70).
Bibit-bibit perseteruan pun juga mulai muncul antara NATIPIJ dan JIB.
Dalam NATIPIJ, Mohammad Roem berperan sebagai salah satu pemimpinnya.
Kendati hubungan antara NATIP IJ dan JIB sangat erat, tetapi seiring dengan
berjalannya waktu, di antara keduanya terjadi perbedaan pendapat. JIB
menghendaki agar NATIP IJ tunduk terhadap JIB sebab NATIPIJ adalah bagian
dari JIB. Sementara itu, pada kongres ke-7 JIB di Malang, NATIPIJ berkeinginan
memisahkkan diri dari JIB. Mohammad Roem (ketua NATIP IJ) dan Azran
(Sekretaris NATIPIJ) memandang JIB sudah tidak mampu lagi membina
NATIP IJ, karena kepemimpinannya sudah mulai lemah (Iin Nur Insaniwati. 2002:
18-19). Mereka mulai menyadari bahwa JIB tidak lagi menaruh perhatian pada
kegiatan pelajar sehingga mereka berpendapat bahwa organisasi kepanduan
seyogyanya independent, terlepas kaitannya dari organisasi apapun (Ridwan
Saidi. 1990: 33). JIB mengemukakan alasannya dengan bersumber pada Anggaran
Dasar Jong Islamieten Bond (AD JIB) yang mengatakan bahwa NATIPIJ adalah
98

organisasi di bawah koordinasi dari JIB sehingga NATIPIJ harus tunduk kepada
segala aturan dari JIB. P ersoalan tuntutan NATIPIJ itu diselesaikan di dalam
kongres ke-7 JIB di Madiun (Darmansyah, dkk. 2006: 72).
Kongres ke-7 JIB menghasilkan keputusan NATIP IJ tidak boleh lepas
dari JIB. P eserta kongres menyatakan, ”Langkah-langkah yang ditempuh
pengurus NATIPIJ dalam menggalang dukungan dari cabang-cabangnya agar
NATIP IJ melepaskan diri dari JIB adalah tindakan tidak baik dan dapat memecah
belah organisasi”. Sebagian dari anggota kongres menuntut agar pengurus
NATIP IJ dipecat dari jabatannya. Namun, berdasarkan pertimbangan kebaikan
organisasi dan pengurus NATIPIJ adalah kader-kader JIB juga, maka kongres
akhirnya memutuskan untuk mema’afkan pengurus NATIP IJ dengan catatan tidak
akan mengadakan lagi kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi cabang-cabang
NATIP IJ agar lepas dari JIB. Namun di Jakarta, Mohammad Roem masih
mengadakan aksi mempengaruhi cabang-cabang NATIP IJ. Ternyata kegiatan
serupa dilakukan juga oleh pengurus NATIP IJ lainnya pada cabang-cabang yang
berada di bawah pengaruh masing-masing tokoh NATIP IJ tersebut (Darmansyah,
dkk. 2006: 72-73). P emikiran tersebut tidak dapat diterima oleh pemimpin JIB
yang pada waktu itu dipegang oleh Kasman Singodimedjo dan karena pimpinan
NATIP IJ bepegang keras pada pendirianya, maka pada tahun 1932 pimpinan JIB
memecat pengurus NATIP IJ, salah satunya Mohammad Roem (Iin Nur
Insaniwati. 2002: 19).
Konflik dalam tubuh JIB mengakibatkan pada kongres ke-8 bulan Juni
1933, Kasman secara formal menyangkal tuduhan terhadap Pengurus Besar JIB
yang dianggap tidak menjalankan AD dan ART organisasi. Sebagai wujud nyata
dari pembelaan itu, maka pada kongres terebut diputuskan untuk menghidupkan
Badan Studi Organisasi. Di dalam kongres itu pula para peserta dengan tegas
mendukung kebijaksanaan Kasman. Kepercayaan para peserta kongres itu
menempatkan Kasman kembali memimpin organisasi JIB untuk periode satu
tahun berikutnya (Darmansyah, dkk. 2006: 71). Setelah masalah NATIPIJ
dianggap selesai, bukan berarti konflik dalam tubuh JIB mereda. Kenyataannya,
Pengurus Besar JIB tetap kewalahan menangkal terpaan isu dan tuduhan serta
99

kritik apalagi setelah kongres ke-8 di Tegal, timbul rasa ketidakpuasan dari pihak-
pihak yang kalah dalam persaingan di kongres (Darmansyah. 2006: 73).
Keputusan untuk membentuk Badan Studi Organisasi bukan berarti
segala rongrongan dan tindakan oposisi terhadap kepemimpinan Kasman berakhir.
Namun figur seorang Kasman tetap dipercaya dan diterima di dalam organisasi.
Sehingga pada kongres ke-9 di Semarang bulan Oktober 1934, Kasman kembali
terpilih menjadi ketua umum JIB dan baru tergantikan pada kongres JIB ke-10
yang diselenggarakan di Malang, tahun 1935. Figur ketua umum JIB pengganti
Kasman adalah Nur Arifaini (Darmansyah, dkk. 2006: 71). Kasman Singodimedjo
yang terpilih pada Kongres ke-5 JIB pada tahun 1929 menggantikan Wiwoho
purbohadidjojo, menduduki jabatan ketua sampai kongres JIB ke-10 di Malang
pada tahun 1935 (Ridwan Saidi. 1990: 32).
Di tengah konflik dalam tubuh JIB yang masih membara muncul
tantangan dari luar organisasi dengan munculnya organisasi-organisasi saingan
JIB, seperti Studenten Islam Studieclub (SIS) yang berdiri pada bulan Desember
1934. SIS dipelopori oleh Jusuf Wibisono dan Mohammad Roem mantan tokoh
JIB yang dipecat. Adanya serangan yang bertubi-tubi membuat JIB tidak bisa
mencegah proses kemundurannya secara pelan-pelan. Apalagi setelah kedudukan
Pengurus Besar JIB dipindahkan ke Semarang, kota yang jauh dari pusat aktivitas
kalangan pergerakan pemuda pelajar. Dengan demikian, sejak tahun 1935 itulah
secara drastis organisasi JIB mulai menapaki masa surutnya (Darmansyah, dkk.
2006: 74).

3. Masa Akhir P ergerakan Jong Islamieten Bond


Terdorong oleh perkembangan keadaan di luar dirinya, kegiatan JIB
telah berkembang sedemikian lebar dan luas sehingga menimbulkan akibat
sulitnya melakukan koordinasi. JIB tidak hanya mengkhususkan diri pada
pembinaan pelajar dan mahasiswa, tetapi juga bergerak menjadi semacam
organisasi sosial, sampai-sampai JIB mendirikan sekolah, badan usaha dan
percetakan. Hal ini dapat dimaklumi karena para pemimpin JIB semakin tua,
bukan hanya dalam pengertian usia saja, tetapi juga dalam pemikiran dan bahkan
100

secara fisik banyak di antara para anggota JIB yang sudah tidak dapat lagi
dikatakan sebagai pemuda dalam arti yang sebenarnya. Seperti diketahui bahwa
JIB adalah oganisasi pemuda yang beranggotakan pelajar sekolah menengah dan
mahasiswa. Klasifikasi keanggotaan yang demikian, menyulitkan pembatasan
umur secara kongrit. Di samping itu jumlah anggota JIB yang berasal dari
mahasiswa semakin surut dan JIB tidak lagi mengarahkan perhatiannya pada
kegiatan membina intelektual. JIB lebih terpengaruh pada semangat kebangsaan
yang sedang berkobar ditahun 30-an (Ridwan Saidi. 1990: 30-31). Selain itu
adanya kepemimpinan yang dipimpin oleh orang yang sama selama beberapa
periode kepemimpinan, lamanya pimpinan dalam satu tangan tidak saja
melemahkan sistem pengkaderan organisasi, tetapi juga menyebabkan pemikiran
pimpinan semakin mandeg. P ada tahun-tahun berikutnya perkembangan JIB
mengalami kemunduran yang ditandai dengan munculnya berbagai konflik intern
dengan NATIPIJ dari JIB, kemudian menyusul lahirya Studenten Islam Stu dieclub
(SIS).
Menyangkut masalah keanggotaan JIB, tidaklah mengherankan jika JIB
mendapat kritik dari berbagai kalangan yang menaruh perhatian pada pembinaan
pelajar dan mahasiswa. Kritik yang keras datang dari pencetus JIB itu sendiri
yakni Sjam dan kawan-kawannya, melalui majalah MUSTIKA yang terbit pada
tahun 1931. Sjam menulis artikel yang mengecam keras kepengurusan Kasman
Singodimedjo yang menurut pengamatannya menjadi sebab kemunduran JIB.
Kasman Singodimedjo yang terpilih pada Kongres ke-5 JIB pada tahun 1929
menggantikan Wiwoho purbohadidjojo, menduduki jabatan ketua sampai kongres
JIB ke-10 di Malang pada tahun 1935. Kasman yang lahir pada tanggal 25
Februari 1904, ketika meninggalkan kursi ketua pengurus pusat JIB telah berusia
31 tahun. Suatu usia yang cukup tua untuk memimpin organisasi pemuda pada
waktu itu, karena tokoh-tokoh organisasi pemuda pada saat itu rata-rata berumur
di bawah 30 tahun. Sebenarnya usia tersebut belum terlalu tua untuk ukuran
organisasi seperti HMI maupun PMII (Ridwan Saidi. 1990: 32). Kritik lainnya
datang dari pengurus NATIP IJ yang menganggap kebijakan Kasman dalam
pendirian sekolah HIS telah keluar dari rel organisasi. Atas nama pengurus
101

NATIP IJ, M. Azran dan Mohammad Roem berpendapat bahwa NATIPIJ sebagai
wadah bagi pelajar-pelajar yang belum dewasa merasa tidak cocok dengan sikap
JIB tersebut sehingga akan melepaskan diri dari organisasi JIB (Darmansyah, dkk.
2006 72).
Keterpurukan kondisi organisasi JIB yang telah terjadi pada masa
kepemimpinan Kasman Singodimedjo mendorong JIB harus segera mengadakan
pembenahan di segala bidangnya. Setelah tahun 1935, JIB berusaha bangkit
kembali. Pada saat kongres JIB ke-11 di Yogyakarta tahun 1938, Soenardjo
Mangoenpoespito ketua JIB pada saat itu melaporkan adanya penambahan jumlah
cabang, yang pada tahun 1935 tinggal 12 buah. P ada tahun 1941 menjadi tahun
terakhir keberadaan JIB, jumlah cabang JIB meningkat menjadi 20 cabang, 14
cabang National Islamitische Pad vind erij (NATIP IJ/Pandu Islam Nasional) dan 2
cabang Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (JIBDA/JIB bagian Keputrian).
Walaupun belum menyamai banyaknya cabang seperti pada masa keemasannya,
yaitu mencapai 55 cabang (Darmansyah, dkk. 2006: 74).
Untuk melakukan koreksi ke dalam, P engurus Besar JIB mengingatkan
kepada pengurus dan anggota JIB semua untuk melaksanakan keputusan kongres
ke-12 di P ekalongan pada bulan Oktober 1939. Keputusan kongres menurut
Pengurus Besar JIB, ”Ucapan kita sendiri yang harus dilakukan dengan baik”.
Berbagai usaha untuk mengembangkan kembali organisasi JIB dilakukan oleh
pengurus JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 76).
Figur kepemimpinan Kasman digantikan oleh M. Arifaini dan dalam
periode Arif, tempat kedudukan pengurus pusat yang pada periode Kasman
berkedudukan di Jakarta, dipindahkan ke Semarang dan terus di sana sampai
dengan masuknya tentara pendudukan Jepang di tahun 1942. P emindahan tempat
kedudukan pengurus pusat JIB dari Jakarta ke Semarang semakin memperlemah
posisi JIB (Ridwan Saidi. 1990: 32).
Di dalam sebuah konferensi tahunan yang diselenggarakan di Kediri
pada tahun 1940, ketua JIB Soenarjo Mangoenpoespito menggambarkan JIB
sedang giat kembali untuk memperbaiki dirinya dari kerusakan. Soenarjo
Mangoenpoespito menyatakan bahwa tahun depan merupakan tahun harapan bagi
102

Jong Islamieten Bond untuk meningkatkan kinerja organisasi yang lebih baik lagi
sehingga pada kongres JIB ke-13 yang rencananya akan diselenggarakan di
Bandung pada akhir tahun 1941 merupakan saat yang dinantikan terutama untuk
mengukur keberadaan organisasi Jong Islamieten Bond. Akan tetapi, di luar
dugaan pada akhir tahun 1941 di Hindia-Belanda memasuki masa perang
melawan Jepang. Tidak banyak keterangan yang dapat diperoleh tentang kegiatan
JIB pada masa perang itu. Majalah Het Licht hanya beredar sampai edisi bulan
Mei 1941 dan kongres ke-13 batal dilaksanakan, karena kondisi Hindia-Belanda
pada saat itu sangat gawat (Deliar Noer. 1990: 262).
Pada saat Belanda jatuh ke tangan Jerman, P emerintah Hindia-Belanda
pun terus bersikeras untuk tidak memberikan konsesi politik kepada tokoh-tokoh
nasionalis Indonesia. Hal itu berdampak ketika Jepang menyerbu Indonesia dalam
rangka usahanya untuk membangun imperium di Asia Timur dan Tenggara, pihak
nasionalis tidak bergerak untuk membantu pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Akibatnya pemerintah Hindia-Belanda berjuang untuk mempertahankan
pemerintahannya tanpa bantuan dari rakyat Indonesia. Dalam hitungan tiga bulan,
dimulai dari awal tahun 1942 hingga Maret 1942, seluruh wilayah Hindia-Belanda
secara resmi jatuh ke tangan Jepang. Tepatnya pada tanggal 8 Maret 1942
ditandatangani penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jenderal H. Ter Poorten,
Panglima Angkatan P erang Hindia-Belanda atas nama Angkatan P erang Serikat di
Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal
Hitoshi Immamura, maka berakhirlah pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia
(Darmansyah, dkk. 2006: 82).
Pendudukan Jepang yang dimulai pada bulan Januari 1942 merupakan
momen penempaan bagi penguatan nasionalisme Indonesia. Kemenangan mudah
Jepang terhadap Belanda menciptakan kesan yang luar biasa bagi orang-orang
Indonesia. Belanda telah kehilangan prestisenya dimata banyak orang Indonesia.
Jepang sendiri datang ke Indonesia dengan mencitrakan diri sebagai saudara tua
Asia dan pada awalnya, Jepang membangkitkan perasaan umum bahwa mereka
datang sebagai pembebas. Karena itulah, kedatangan mereka disambut secara
antusias. Kesan demikian diperkuat ketika Jepang dengan segera memperbolehkan
103

pengibaran bendera Merah-P utih dan dinyanyikannya lagu Indonesia Raya, yang
sebelumnya dilarang Belanda. Pihak Jepang juga menaikkan status bahasa
Indonesia untuk menggantikan bahasa Belanda dalam semua fungsinya (Yudi
Latif. 2005: 319).
Pihak Jepang dengan segera memenjarakan semua orang Belanda serta
banyak orang Indo maupun orang-orang Indonesia yang beragama Kristen yang
dianggap bersimpati pro-Belanda. Sementara untuk mengisi posisi-posisi
administratif dan teknisi level menengah dan atas yang telah ditinggalkan oleh
orang-orang Belanda dan Indo, pihak Jepang sangat bergantung pada intelegensia
fungsional Indonesia. Dengan tiba-tiba, hampir semua personel Indonesia
diberikan promosi dengan dinaikkan pangkatnya setidaknya satu bahkan dua atau
tiga tingkat dalam hierarki di tempat mereka bekerja. Sebagai hasilnya, para elite
fungsional Indonesia tersebut mengalami kenaikkan yang tinggi dalam status
sosial-ekonominya (Yudi Latif. 2005: 319-320).
Banyak pemimpin Islam di masa-masa setelah runtuhnya Hindia-
Belanda, terutama tokoh-tokoh Masyumi, merupakan hasil pembinaan JIB dan
mereka memberi sumbangan yang penting di dalam perjuangan bangsa dan
negerinya, seperti Muhammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem,
Burhanuddin Harahap dan lain-lain (Jan S. Aritonang. 2005: 182).
Bermaksud hendak menarik semua kekuatan utama anti-Belanda ke
pihak mereka, Jepang merasa bahwa usaha untuk memastikan dukungan dari
kalangan Muslim jauh lebih mendesak ketimbang harus memuaskan tuntutan-
tuntutan elite nasionalis. Di mata pemerintah pendudukan Jepang, baik golongan
priyayi maupun elite fungsional lainnya, tidak mudah terbebas dari stigma pernah
loyal kepada pemerintah kolonial sebelumnya. Lagi pula, berbeda dengan para
pemimpin nasionalis, yang pengaruh politiknya masih terbatas pada beberapa
pusat kota besar, keunggulan politik dari para pemimpin Muslim dari sudut
pandang Jepang sangatlah besar karena yang terakhir ini memiliki ratusan ribu,
bahkan jutaan pengikut. Selain itu, pihak Jepang mungkin telah memilih para
pemimpin Muslim sebagai elemen Timur yang barangkali paling bisa diandalkan
dari komunitas politik Indones ia (H. J. Benda. 1980: 108-110).
104

Pada awalnya, pihak pemerintah Jepang berusaha untuk menciptakan


kesan baik kepada komunitas politik Indonesia dengan jalan membebaskan para
tahanan politik yang dipenjarakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun
setelah itu, semua aktivitas politik Indonesia dilarang oleh dekrit yang dikeluarkan
oleh Panglima Tentara Jepang pertama di Jawa, Letnan Jendral Immamura, yang
melarang setiap diskusi dan organisasi yang berhubungan dengan administrasi
politik di negeri jajahannya. Hal ini memang tidak secara otomatis mematikan
partai-partai politik, tetapi mendorong terciptanya kondisi yang menghalangi
keberlangsungan partai-partai tersebut karena setiap aktivitas politik dalam ruang
publik dikontrol secara ketat oleh polisi militer Jepang (H. J. Benda. 1980: 111).

C. Pe ranan Jong Islamieten Bond se bagai B agian dari Organisasi Pemuda


Islam Di Kancah Perge rakan Nasional Indonesia Tahun 192 5-19 42

1. Menggagas Nasionalisme Indonesia


Sikap JIB terhadap nasionalisme atau kebangsaan adalah bahwa pemuda
intelek Islam berpandangan lebih luas terhadap kebangsaan dan mengemban tugas
bukan hanya berjuang untuk tanah air saja (dimana Islam menjadi agama
mayoritas pendduduk) tetapi juga untuk semua umat Islam di seluruh dunia. Hal
itulah yang menjadi jiwa dari organisasi JIB, antara Islam dan kebangsaan atau
cinta tanah air harus berjalan bersama dan tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya. Yang menjadi harapan JIB adalah JIB dapat menjadi organisasi
yang mampu menjadi wadah persatuan pemuda Nusantara, karena dasarnya
memberikan kemungkinan yang lebih luas dibandingkan dengan dasar organisasi
kedaerahan lainnya (Ridwan Saidi. 1990: 23).
Konsep nasionalisme pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kohn,
nasionalisme merupakan kesetiaan tertinggi yang diberikan kepada tanah air dan
bangsa. Hal tersebut sangat bertentangan dengan agama Islam. Dalam agama
Islam, kesetiaan tertinggi hanya diberikan kepada Tuhan. Salah satu yang menjadi
pembicaraan hangat pada tahun 1920-an adalah nasionalisme atau cinta tanah air.
105

JIB yang berdasarkan Islam dianggap tidak mempunyai nasionalisme


(Darmansyah, dkk. 2006: 49).
JIB mencoba mencari hubungan di antara keduanya dengan merumuskan
nasionalisme sebagai mencintai tanah air dan bangsa, tetapi di sampingnya juga
mencintai orang-orang seagama Islam di luar negeri dan mencintai semua
manusia (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 36). Seorang Muslim
mengakui bahwa membela tanah tumpah darahnya, menolong bangsanya adalah
suatu amal yang harus dijalankan. Seorang Muslim mempunyai tugas berat harus
mencari daya upaya dengan kekuatan budi, badan dan harta serta jiwanya untuk
melepaskan bangsanya dari segala macam belenggu dengan tidak mengharapkan
upah dan mencari nama besar (Darmansyah, dkk. 2006: 49). JIB menolak konsep
nasionalisme yang hanya mengagungkan cinta tanah air dan menawarkan
alternatif pengganti nasionalisme sekuler dengan nasionalisme Islam. Hanya
melalui Islam kontak yang hilang antara kaum cendekiawan dan rakyat dapat
dipulihkan. Jawanisme Jong Java dalam hal ini dianggap tidak cocok.
Nasionalisme tanpa dasar agama mempunyai kemungkinan membahayakan,
seperti nasionalisme yang dikembangkan oleh Hittler telah mengobarkan P erang
Dunia (Darmansyah, dkk. 2006: 50-51).
Pada kongres ke-4 JIB di Bandung, 22-25 Desember 1928, dibahas
secara khusus tentang nasionalisme. JIB selalu diserang, yang biasanya bernuansa
organisasi Indonesia dengan watak keagamaan. Bukan hanya oleh orang asing,
serangan juga dilontarkan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Dalam hal ini,
Wiwoho (ketua JIB), membedakan tiga arah yang tumbuh di antara orang-orang
Muslim yang sudah tumbuh dewasa, yaitu mereka yang hanya mengabdi kepada
Tuhan, mereka yang mencurahkan diri pada karya sosial dan mereka yang
menggunakan Islam dalam arti politik (Darmansyah, dkk. 2006: 52). Wiwoho
juga berkata dengan tegas, “Nyala nasionalisme merupak an ancaman bagi kita”.
Dengan mengutip sebuah ayat A l-Qur’an, pembicara berkata,
Islam memuji nasionalisme namun dengan internasionalisme sebagai
latar belakangnya. Nasionalisme ini tidak akan bangkit menjadi
kebencian atau perjuangan, melainkan mengarah pada kasih dan
pengertian. Bukan nasionalisme yang akan mengarah pada perpecahan
106

atau permusuhan atau hubungan kolonial, yang selalu bertentangan


dengan kata-kata dalam Al-Qur’an: ”Kami menyatukan kalian dalam
suku dan bangsa agar kalian bisa saling mengakui dan mengenali”
(Darmansyah, dkk. 2006: 52-53).

Usaha nasional ini betujuan untuk menciptakan persamaan dan juga


kemandirian dari semua bangsa dengan tujuan keharmonisan internasional.
Kewajiban setiap Muslim adalah mencoba untuk mengarahkan nasionalisme ke
jalan yang benar. Sebagai pemimpin dari bangsa yang mayoritas memeluk Islam,
dengan tugas berat bagi kewajibannya untuk menyediakan tempat dalam
keharmonisan bangsa-bangsa, kita harus mengenal jiwa dan semangat rakyat.
Kewajibannya adalah percaya sepenuhnya pada kekuatan sendiri untuk
melancarkan perjuangan nasional. Tidak ada nasehat dari luar, tidak ada campur
tangan asing. Setelah menyebutkan kesulitan besar, terutama masalah keuangan
sepanjang tahun ini, Wiwoho, ketua JIB menutup dengan keterangan bahwa ada
empat cabang yang berkumpul dan kini menampung 2.500 orang anggota
(Darmansyah, dkk. 2006: 53).
Menyangkut masalah yang berkaitan dengan kelompok nasionalis
Indonesia, JIB tidak akan tertarik sedikitpun. Menanggapi masalah nasionalisme
tersebut di kalangan anggota JIB muncul pernyataan,
Orang Indonesia yang mengaku nasionalisme itu sebetulnya kurang
mengetahui kepentingannya bersatu di bawah Islam. P rof. Snouck
Hurgronje sendiri menyatakan bahwa bahaya yang mengancam
Pemerintahan Belanda adalah jika rakyat Indonesia bersatu dalam Islam.
Nasionalisme tanpa Islam di Indonesia tidak akan membahayakan
kerajaan Belanda, sebab hal itu hanya akan menyentuh kaum buruh di
kota-kota besar, itu pun tidak semua. P etani, nelayan dan penduduk luar
kota tentu tidak akan tertarik dengan nasionalisme sekuler. Pergerakan
nasional yang netral terhadap agama adalah suatu hal yang mustahil bagi
Indonesia. Hal ini ibarat kapal perang yang punya perwira tapi tanpa
tentara, kalau tidak ibarat kapal tanpa kompas (Het Licht. No. 2-3. April-
Mei 1931 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 53-54).

Sebuah pergerakan harus mempunyai dasar ketahanan hati, ikhlas untuk


mengorbankan kesenangan dan keduniaan. Orang yang mempunyai ketetapan hati
didasari oleh satu faktor, yaitu kepercayaan terhadap agama. Untuk Indonesia
dasarnya adalah Islam. Kemenangan hanya bisa terwujud dari persatuan nasional
107

bangsa Indonesia untuk menghadapi kaum penjajah. Pada masa sekarang jangan
berharap akan mendapatkan bantuan dari negara-negara besar, Barat dan Timur,
karena mereka juga sama haus akan jajahan sendiri. Untuk Indonesia dasarnya
adalah Islam yang bisa dikumpulkan menjadi satu kekuatan besar. Setiap negeri
yang mempunyai koloni, seperti Inggris, Prancis, Spanyol, sangat takut terhadap
persatuan di bawah Al-Qur’an (Darmansyah, dkk. 2006: 54).
Pemikiran Salim tentang perjuangan untuk mencapai pemerintahan
sendiri atau memperoleh kemerdekaan. Menurutnya, kemerdekaan itu tergantung
kepada usaha rakyat Bumi P utra. Salim menolak pendapat yang statis yaitu
menunggu saja kemerdekaan yang akan diberikan oleh bangsa kolonial Belanda.
Bangsa yang hendak mencapai kemerdekaannya yang hendak menurut
kekuatan dan kecakapan akan berdiri sendiri, tak harus senantiasa
menadahkan tangan menantikan pemberian orang saja, melainkan harus
menggerakkan segala tenaganya dan berusaha dengan sekuat-kuatnya.
Sebelum kita membuktikan bahwa kita kuat dan pandai mengichtiarkan
segala keperluan kita sendiri, tidaklah layak kita beroleh kemerdekaan
akan berdiri sebagai bangsa sendiri (http://ahmadfath ulba ri.multiply.com
diakses tanggal 7 Agustus 2009).

2. Nationale Indonesisc he P advinderij (NATIPIJ)


Pada masa kepemimpinan Wiwoho di JIB dibentuk kepanduan JIB yang
bernama Nationale Indo nesische Pad vind erij (NATIPIJ). Selain organisasi
pemuda, pilar penting dalam pergerakan pemuda adalah kepanduan. Mereka aktif
dalam setiap aktivitas yang berkaitan dengan pergerakan pemuda. Organisasi
kepanduan tertua adalah Javaansche Padvinders Org anisatie (JPO) yang
didirikan di Surakarta pada tahun 1916 oleh S. P . Mangkunegoro VII yang
digunakan sebagai temapat bibit dan latihan tentara dan pegawai Mangkunegaran.
Dalam rangka menumbuhkan kesadaran keislaman pada usia anak-anak,
perlu dibentuk wadah tersendiri. Adanya dorongan untuk mewujudkan gagasan
seperti itu, Kasman seorang pengurus JIB cabang Batavia mendirikan organisasi
pandu dalam JIB dengan nama Batavia Nationale In donesische Pad vind erij
(NATIPIJ). Menurut Kasman pendidikan bagi anak-anak pada usia kurang dari 14
tahun tidak boleh dilupakan. Pendidikan bagi anak-anak itu sudah tentu tidak
termasuk dalam Anggaran Dasar (AD) JIB sebab keanggotaan JIB lebih
108

diutamakan bagi pelajar-pelajar Islam yang lebih dewasa. Bagi Kasman organisasi
kepanduan itu diharapkan dapat menimbulkan perasaan persatuan di dalam diri
bangsa yang bersama-sama memeluk agama Islam dan sekaligus membangun
cinta kepada Allah dan agama-Nya (Darmansyah, dkk. 2006: 55).
Pada saat JIB membentuk kepanduan (NATIPIJ) yang menjadi ketua
umum pertamanya adalah Mohammad Roem. Rapat umum perdana NATIPIJ
diadakan pada tanggal 24 Desember 1929. Tuan Sjuaib, guru agama pada HIS di
Batavia memulai dengan membacakan Al-Qur’an dan membahas NATIPIJ.
Harapannya terhadap keberadaan NATIPIJ adalah:
a. Mendidik anggota sebagai Muslim yang taat sehingga bisa membawa
warganya menuju kesejahteraan yang lebih tinggi;
b. Memperbaiki kondisi sosial dan kesatuan antar-klas. Perkembangan bisa
berlangsung semakin jauh dari rakyat dan kita tidak bisa melangkah lebih jauh
tanpa kerjasama antara kelompok cendekiawan dengan rakyat. Ketakutan dari
kaum cendekiawan bahwa Islam akan berarti penolakan terhadap pendidikan,
dianggap tidak berdasar oleh pembicara. Sebaliknya, Islam mengajarkan
kemandirian;
c. Cintailah Islam dengan penuh penghormatan kepada agama lain seperti yang
dituntut oleh Islam. Pembaca berkata tidak bisa dibantahkan bahwa kita
apabila diserang harus menolak serangan itu juga harus membalasnya;
d. Lakukan sembahyang, puasa, dan lainnya juga oleh kalangan intelektual kita;
e. Perbaiki hubungan dengan kelompok lain di Indonesia atas dasar Islam
(Darmansyah, dkk. 2006: 56).
Berdasarkan pergerakan NATIPIJ di atas dapat disimpulkan bahwa
pergerakan NATIP IJ bukan hanya menggunakan Anggaran Dasar dan Rumah
Tangga (AD/ART) namun juga menggunakan Al-Qur’an sebagai pedomannya.
Dalam kesempatan kongres ini pula Mohammad Roem, ketua NATIPIJ
mengisahkan tentang tujuannya menuju kebaikan, mengajukan laporan tentang
NATIP IJ dan juga mengisahkan tentang banyaknya kebaikan dan kesulitan
keuangan yang besar dialami oleh NATPIJ. Sedangkan Tjaja berbicara tentang
Komisi Informasi Belajar. Bagi orangtua yang tidak terdidik secara Barat, sangat
109

sulit untuk menilai tentang pendidikan Barat bagi anak-anaknya yang telah
banyak menjauh. Namun ada kemungkinan untuk mendidik rakyat tanpa
membedakan orangtua. Komisi ini memberikan informasi tentang:
a. Pendidikan Barat di Hindia
b. Pendidikan Barat di Belanda
c. Pendidikan Timur di Hindia
d. Pendidikan agama, yakni berupa sekolah calon guru Muhammadiyah
e. Pendidikan Timur di luar Hindia
f. Biaya dan tempat tinggal (Darmansyah, dkk. 2006: 56).
Dalam perjalanannya, terbukti bahwa komisi ini belum banyak
melakukan tugasnya. Surowijono mengatakan bahwa hanya iman yang mampu
memberikan kekuatan batin. Kepanduan harus memberikan kesibukkan kepada
anak-anak yang sering nampak berkeliaran di jalanan kota”. Sedangkan Kasman
menyatakan, ”P enggunaan bahasa Belanda dalam JIB bertujuan untuk
menjangkau dan menarik kaum intelektual agar dekat dengan Islam, cara terbaik
menuju kesatuan Indonesia”. Organisasi kepanduan ini menjadi sarana penting
untuk mendidik para pemuda agar menjadi manusia yang mandiri dan bersifat
nasionalis dengan perasaan bagi persaudaraan internasional serta tidak bisa
bersifat nasionalis dengan kebencian namun harus dengan menghargai bangsa
lain. (Darmansyah, dkk. 2006: 58).
Dalam rapat tanggal 25 Desember 1928, pengurus pusat menyampaikan
bahwa NATIPIJ harus dirombak: harus ada kantor pedagogi, kantor tehnik,
redaksi dan tempat latihan. Komisi bagi urusan wanita akan membuka cabangnya
(Darmansyah, dkk. 2006: 59).
Hasrat bersatu bagi seluruh organisasi kepanduan Indonesia waktu itu
tampak mulai dengan terbentuknya Persauda raan Antara Pandu Indo nesia
(P API) yang merupakan federasi dari P andu Kebangsaan, INP O, SIAP, NATIPIJ,
dan PPS pada tanggal 23 Mei 1928. Namun federasi ini tidak bertahan lama,
karena pada tahun 1930 berdiri Kepan duan Bang sa Indon esia (KBI) yang dirintis
oleh para tokoh dari Jong Java Padvinders/Pandu Kebangsa an (JJP/PK), INPO
dan PP S (Jong Java Pavinderij/JJP); Pan du Kebangsaan (P K). Sementara itu
110

PAP I kemudian berkembang menjadi Bad an Pusat Persaudaraan Kepan duan


Indo nesia (BPP KI) pada bulan April 1938. Antara tahun 1928-1935 bermuncullah
gerakan kepanduan Indonesia baik yang bernafas utama kebangsaan maupun
bernafas agama. Kepanduan yang bernafas kebangsaan dapat dicatat Pandu
Indo nesia (PI), Padvinders Organisatie Pasundan (P OP), Pan du Kesultan an
(P K), Sinar Pand u Kita (SPK) dan Kepandua n Rak yat Indo nesia (KRI).
Sedangkan yang bernafas agama Pandu Ansor, Al Wathoni, Hizbul Wathon,
Kepan duan Islam Indonesia (KII), Islamitische Padvinders Organisatie (IPO), Tri
Darma (Kristen), Kepandua n Azas Katholik Indonesia (KAKI), Kepanduan
Masehi Indonesia (KMI). Sebagai upaya untuk menggalang kesatuan dan
persatuan, Bad an Pusat Persauda raan Kepanduan Indo nesia (BP PKI) tersebut
merencanakan All Indonesian Jamboree. Rencana ini mengalami beberapa
perubahan baik dalam waktu pelaksanaan maupun nama kegiatan yang kemudian
disepakati diganti dengan Perk emaha n Kepanduan Indo nesia Umum
(P ERKINDO) dan dilaksanakan pada tanggal 19-23 Juli 1941 di Yogyakarta
(http://id.wikipedia.org diakses tanggal 2 Januari 2010).

3. Meningkatkan Derajat Pendidikan


Dalam usahanya meningkatkan derajat pendidikan, JIB
menyelenggarakan kursus-kursus pada tiap cabangnya. JIB menyelenggarakan
pemberantasan buta huruf. Ada cabang yang menyelenggarakan kursus setiap hari
bagi anggota. Anggota memilih bidang kursus yang sesuai dengan minatnya.
Dalam hal bahasa, misalnya, diselenggarakan kursus bahasa Inggris, Belanda dan
Arab (Darmansyah, dkk. 2006: 63). Selain itu, JIB juga melakukan penggalangan
dana untuk beasiswa para pelajar. Dana yang digalang oleh JIB dikelola untuk
dibagikan menjadi beasiswa oleh organisasi di bawah JIB yang bernama
Algemeene Steunfond s (Darmansyah, dkk. 2006: 65).
Tanpa menyerah diri pada tantangan-tantangan yang ada, mereka
berusaha mendirikan sekolah-sekolah dengan sistem dan cara yang ditiru dari
sekolah-sekolah yang didirikan oleh pihak pemerintah Belanda, tetapi dengan
berusaha mempertahankan semangat serta isi ajaran Islam. Tujuannya adalah
111

untuk menggalang umat dan mendidik mereka sejalan dengan tuntutan masa
dengan memasukkan berbagai mata pelajaran bukan agama ke dalam kurikulum.
Mereka berusaha menghapuskan segala macam tambahan yang melekat pada
ajaran Islam yang menurut mereka tidak sesuai dengan ajaran itu yang mereka
dasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Mereka mengimbau agar kembali kepada
ajaran-ajaran pokok dari Islam (Deliar Noer. 1987: 10).
Melihat kinerja Kasman yang berhasil meluaskan keanggotaan JIB,
maka pada kongres ke-7 di Madiun bulan Desember 1931, Kasman terpilih
kembali sebagai ketua JIB. Selama satu tahun kepengurusannya berbagai kegiatan
telah dilaksanakan sesuai dengan keputusan kongres, salah satunya adalah
pendirian sekolah-sekolah HIS di cabang-cabang JIB (Darmansyah, dkk. 2006:
69). Pada bulan Oktober 1931 JIB membangun sekolah HIS yang bertempat di
Tegal dan di bulan November tahun itu juga dibuka lagi sekolah HIS di Tanah
Tinggi, Batavia. JIB bahkan merencanakan membangun percetakan (Ridwan
Saidi. 1990: 31).
JIB juga mempunyai bagian penerangan pendidikan yang bernama
Centraal Commissie Studie Informatie Commissie (CCSIC) pada setiap
cabangnya. CCSIC ini bertugas memberikan penerangan tentang bidang
pendidikan dan pemondokan; memberikan bimbingan kepada orangtua dalam hal
memilih sekolah, menaksir biaya pendidikan, dan memberikan semacam
bimbingan karir. Selain terdapat ditiap-tiap cabang, CCSIC mempunyai
sekretariat pusat di Jalan Sabangan I No. 33, Weltevreden. Ketua CCSIC dijabat
oleh Johan Mohammad Tjaya (Darmansyah, dkk. 2006: 64).
BAB V
PENUTUP

A. Ke simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Mayoritas penduduk Hindia-Belanda beragama Islam. Karena kurangnya
pengetahuan yang tepat mengenai Islam, pemerintah Hindia-Belanda pada
mulanya tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung. Tetapi
kebijakan untuk tidak mencampuri Islam tidak konsisten karena tidak adanya
garis yang tegas. Tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dibenarkan
mencampuri masalah agama bahkan bila perlu demi kepentingan negara, para
ulama harus diawasi. Politik Islam pemerintah Hindia-Belanda berubah
setelah kedatangan Snouck Hurgronje tahun 1889. Pemerintah memberi
kebebasan dalam ibadah dan sosial kemasyarakatan selama tidak mengganggu
kekuasaan pemerintah Belanda. Tetapi dalam politik, pemerintah mencegah
setiap usaha yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan Pan Islam.
Pendidikan Barat digunakan untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan
pengaruh Islam di Indonesia, mengupayakan sekularisasi pendidikan dengan
menyingkirkan pelajaran agama di sekolah. Namun dipenghujung abad ke-19
generasi intelektual Muslim Indonesia lahir. Generasi intelektual Muslim
Indonesia tersebut umumnya pernah mengenyam pendidikan Barat sekaligus
mendalami agama Islam secara khusus dan kemudian mendirikan sekolah-
sekolah dengan meniru sistem dan cara dari sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah Belanda, tetapi semangat dan isi ajaran Islam tetap dipertahankan.
Dengan demikian kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda
menyangkut pendidikan menyebabkan tokoh-tokoh pribumi Islam
berpendidikan Barat semakin sadar akan kebangsaan dan keislamannya serta
bersemangat menentang penjajahan. Hal tersebutlah yang mendorong
didirikannya Jong Islamieten Bo nd (JIB).

112
113

2. Perkembangan Jong Islamieten Bond (JIB) sangat pesat. Pergerakan JIB


didasarkan atas nasionalis Indonesia namun atas dasar Islam. Dasar pandangan
agama telah memberi kepastian prinsip seperti halnya dengan organisasi-
organisasi nasionalis lainnya dengan ideologi nasionalisnya yang kuat. Tujuan
JIB didirikan adalah untuk memajukan pengetahuan tentang Islam, hidup
secara Islam dan persaudaraan secara Islam serta untuk memperkuat persatuan
di kalangan pemuda muslimin. Sedangkan tujuan JIB yang menyangkut
masalah wanita yaitu JIB harus memperhatikan pembinaan remaja putri dan
kaum wanita umumnya di lingkungan kaum intelek. JIB menjadi suatu wadah
untuk mendidik kaum muda Islam hingga menjadi kader-kader yang
mempunyai dasar keislaman yang kokoh dan JIB pun kemudian membangun
prasarana-prasarana yang kelak mempunyai nilai strategis dalam pembinaan
generasi, yaitu dengan menerbitkan majalah Al-Nur atau Het Licht sebagai
majalah cendekiawan Islam pertama di Indonesia pada bulan Maret 1925 dan
mendirikan National In donesische Pad vinderij (NATIP IJ) sebagai organisasi
pandu nasional Indonesia serta bagian wanita yaitu Jong Islam ieten Bond Dames
Afdeeling (JIBDA).

3. Peranan Jong Islamieten Bond (JIB) sebagai bagian dari organisasi pemuda
Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942 antara lain:
a. Menggagas nasionalisme Indonesia. Islam dan kebangsaan atau cinta tanah
air harus berjalan bersama dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Yang menjadi harapan JIB adalah JIB dapat menjadi organisasi
yang mampu menjadi wadah persatuan pemuda Nusantara karena dasarnya
memberikan kemungkinan yang lebih luas dibandingkan dengan dasar
organisasi kedaerahan lainnya.
b. Nationale Indon esische Pad vind erij (NATIP IJ). Selain organisasi pemuda,
pilar penting dalam pergerakan pemuda adalah kepanduan. Para anggota
NATIP IJ aktif dalam setiap aktivitas yang berkaitan dengan pergerakan
pemuda. Dengan pendirian organisasi kepanduan tersebut diharapkan
dapat menimbulkan perasaan persatuan di dalam diri bangsa yang
bersama-sama memeluk agama Islam dan sekaligus membangun cinta
114

kepada Allah dan Agama-Nya. Pergerakan NATIPIJ bukan hanya


menggunakan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) namun juga
menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman pergerakannya.
c. Meningkatkan derajat pendidikan. Dalam usahanya meningkatkan derajat
pendidikan, JIB menyelenggarakan kursus-kursus pada tiap cabangnya dan
menyelenggarakan pemberantasan buta huruf. JIB juga mempunyai bagian
penerangan pendidikan yang bernama Centraal Commissie Studie
Informatie Commissie (CCSIC) pada setiap cabangnya. CCSIC ini
bertugas memberikan penerangan tentang bidang pendidikan dan
pemondokan; memberikan bimbingan kepada orangtua dalam hal memilih
sekolah, menaksir biaya pendidikan dan memberikan semacam bimbingan
karir.

B. Implikasi

1. Teoritis
Adanya penerapan politik kolonial Belanda di Indonesia telah
menyebabkan rakyat Indonesia mengalami berbagai kemunduran dan
kesengsaraan di segala aspek kehidupan sehingga menggugah rakyat untuk
melakukan perlawanan agar dapat melepaskan diri dan merdeka dari belenggu
penjajahan bangsa Belanda. Karena mayoritas penduduk Hindia-Belanda pada
masa itu adalah beragama Islam maka bangsa kolonial mulai menerapkan
politiknya terhadap daerah jajahannya tersebut dengan berbagai kebijakan yang
dikenal dengan Politik Islam Hindia-Belanda yang dicetuskan oleh Snouck
Hurgronje pada tahun 1889. Hurgonje menilai bahwa musuh pemerintah Hindia-
Belanda bukanlah Islam sebagai agama tetapi Islam sebagai doktrin politik yang
berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan Belanda di Indonesia. Sehubungan
dengan politik tersebut, Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian,
yaitu ibadah, sosial dan kemasyarakatan dan politik. Dengan demikian pendidikan
Barat haruslah diberikan kepada orang-orang Indonesia yang jumlahnya semakin
besar. Pendidikan Barat adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan
115

akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Dalam kenyataannya


pandangan Snouck Hurgronje adalah cermin dari suatu era baru di dalam
kebijakan kolonial Belanda yang disebut sebagai Politik Etis, yang secara resmi
bermula pada tahun 1901 meliputi irigas i, emigrasi dan edukasi.
Munculnya politik etis dalam bidang pendidikan di Indonesia berakibat
pada semakin banyaknya pendirian sekolah-sekolah formal oleh pemerintah
Belanda. Dengan adanya pembukaan sekolah-sekolah tersebut maka pendidikan
bagi rakyat Indonesia mulai sedikit berkembang sehingga pada akhirnya
memunculkan golongan terpelajar atau elit modern sebagai golongan baru dalam
stratifikasi masyarakat Indonesia pada masa penjajahan bangsa kolonial.
Golongan terpelajar menyadari keadaan yang terbelakang dari masyarakatnya
akibat praktek kolonialisme yang kemudian bercita-cita melenyapkan segala
bentuk diskriminasi ras, perbedaan sosial, ekonomi dan politik. Inilah benih-benih
penggerak perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka. Dari tahun ke tahun
kaum elit modern tersebut semakin bertambah banyak, sehingga menimbulkan
pergerakan nasional yang lebih mantap.
Di kalangan umat Islam Indonesia kemudian timbul pula kesadaran
untuk berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan umat Islam mulai terpupuk
hingga melahirkan suatu pergerakan yang sangat penting artinya bagi
nasionalisme Indonesia. Generasi intelektual Muslim Indonesia pada umumnya
pernah mengenyam pendidikan Barat dan sekaligus mendalami Islam secara
khusus seperti halnya para pendiri Jong Islamieten Bond (JIB/Liga Pemuda
Islam). Ajaran agama Islam oleh JIB dijadikan sebagai sumber pengikat persatuan
di kalangan pemuda-pemuda di Indonesia. Wujud dari usaha para elit modern
dalam usaha penanaman pengaruhnya kepada para pemuda untuk mempunyai
jiwa nasionalis tersebut tampak dalam pergerakan-pergerakan kaum intelektual
dengan jalan pembentukan organisasi modern sebagai alat perjuanganya, antara
lain dengan dibentuknya JIB sebagai wadah bagi pergerakan pemuda Muslim di
Indonesia pada tahun 1925-1942. Kemunculannya di tengah kancah pergerakan
nasional sebagai wujud keprihatinannya terhadap kondisi para pemuda yang
116

masih bersifat kedaerahan serta kurangnya pemahaman pemuda pelajar Islam


terhadap agamanya sendiri akibat dari adanya Politik Islam Hindia-Belanda.

2. Praktis
Penanaman semangat dan jiwa nasionalisme yang mengutamakan nilai-
nilai religius (dalam hal ini ajaran Islam) berusaha untuk mewujudkan persatuan
dan kesatuan serta menyebarkan sikap toleransi beragama untuk mewujudkan
kerukunan bersama di kalangan umat beragama. Hal tersebut seharusnya menjadi
usaha pada masa sekarang untuk mengembalikan dan menjaga kelestarian
kebangkitan nasional yang telah tumbuh dan semakin berkembang sejak
dicanangkannya politik etis oleh pemerintah Hindia-Belanda hingga terwujudnya
kemerdekaan Indonesia. Setelah masa pencapaian kemerdekaannya hingga
sekarang, Indonesia mengalami berbagai konflik diberbagai bidang kehidupan.
Adanya sikap primordialisme yang kemudian memunculkan keinginan untuk
melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia menandakan bahwa jiwa
dan semangat nasionalisme telah mengalami degradasi. Untuk merubahnya perlu
diambil langkah menghidupkan dan memperkokoh kembali kesepakatan bersama
dengan membangun kepekaan terhadap realitas sejarah dan merefleksikannya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai pertanggungjawaban pada
masa sekarang.
Implikasi secara praktis dari hasil penelitian ini dalam dunia pendidikan
adalah dapat membantu siswa untuk memahami tentang kehidupan pergerakan
para pemuda Indonesia di kancah pergerakan nasional bangsa Indonesia, pada
umumnya dan keikutsertaannya Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan
nasional pemuda Muslim Indonesia pada tahun 1925-1942 pada khususnya.
Dengan demikian siswa dapat memahami tentang keberadaan dan peranan para
pemuda Muslim, terutama yang tergabung dalam JIB yang sekarang
keberadaannya hanya tinggal simbol-simbolnya saja meskipun pergerakannya
sudah dimunculkan kembali lewat karangan-karangan historis yang dibukukan
oleh beberapa penulis yang berkompeten di dalamnya, baik para penulis yang
berasal dari bangsa Indonesia sendiri maupun dari luar negeri. Hal tersebut
117

dilakukan untuk mengingatkan kembali kepada genenasi intelektual muda bahwa


bangsa Indonesia pernah memiliki kaum intelektual Muslim yang tanpa menyerah
menghadapi tantangan-tantangan yang ada dengan jalan kaum intelektual Muslim
tersebut berusaha tetap mempertahankan semangat serta isi ajaran agama Islam.
Usaha tersebut dapat dilihat dari pergerakan JIB dalam bidang pendidikan yang
bertujuan untuk menggalang umat Islam dan mendidik sejalan dengan tuntutan
masa dengan memasukkan berbagai mata pelajaran bukan agama ke dalam
kurikulum pengajaran namun tetap tidak mengesampingkan nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran agama Islam sendiri. Selain itu, kaum intelektual Muslim
juga berusaha menghapuskan segala macam tambahan yang melekat pada ajaran
agama Islam yang menurutnya tidak sesuai dengan ajaran agama tersebut yang
didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Kaum intelektual Muslim menghimbau
agar kembali kepada ajaran-ajaran pokok dari agama Islam.
Keberadaan JIB pada masa pergerakan nasional telah membuktikan
bahwa jangan menganggap remeh peranan dan kedudukan dari kaum Muslim.
Kaum Muslim jangan hanya dianggap sebagai sumber masalah dan mudah
dipecah-belah keberadaannya, justru seharusnya digalang persatuan di kalangan
umat Islam dan diberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada kaum Muslim
untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan dan untuk menggalang
persatuan dan kesatuan di kalangan bangsa Indonesia, khususnya kaum Muslim
dengan tetap memegang tinggi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kehidupan
masyarakat Indonesia terutama dalam menjalin hubungan antar agama.

C. Saran
Berdasarkan pembahasan dalam hasil penelitian di atas, maka saran yang
dapat diberikan oleh peneliti sebagai berikut:
1. Bagi Para Pembaca
Bagi para pembaca, terutama pendidik dan pelajar, penelitian ini
diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai keberadaan Jong Islamieten
Bon d (JIB) dalam pergerakan nasional pemuda Muslim Indonesia pada tahun
1925-1942. Selain itu, dalam perkembangan pendidikan sejarah, belum banyak
118

materi yang membahas tentang keberadaan JIB secara khusus sehingga dari
penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif materi pelajaran yang
disampaikan kepada siswa.
2. Bagi Para Peneliti
Bagi para peneliti, diharapkan ada yang tertarik untuk meneliti lebih jauh
mengenai keberadaan Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional
pemuda Muslim Indonesia pada tahun 1925-1942 dari berbagai sudut pandang
yang berbeda. Mengingat bahwa penelitian yang membahas mengenai pergerakan
JIB ini masih sedikit. Pada umumnya yang sering dibahas tentang keberadaan
organisasi-organisasi pergerakan nasional yang bukan berasaskan agama terutama
Islam sebagai dasar pergerakannya dan bidang-bidang pergerakan nasional
lainnya. Maka kepada para peneliti diharapkan untuk mengadakan penelitian
lanjutan agar ditemukan hal-hal yang lebih mendalam atau mendasar mengenai
keberadaan pergerakan JIB melalui suatu pendekatan yang sesuai dengan ilmu
pengetahuan yang ditekuni atau dikuasai oleh masing-masing peneliti, seperti
penelitian yang menyangkut JIB bagian wanita yaitu Jong Islamieten Bond Dames
Afdeeling (JIBDA), peranan JIB dalam menggagas kesetaraan antara wanita dan
pria, kiprah para tokoh-tokoh JIB setelah bubarnya JIB dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Sumbe r Buku:
Al-Chaidar. 1999. Pemikiran Politik Prok lamator Negara Islam Indonesia S. M.
Kartosoewirjo : Fakta dan Da ta Sejarah Darul Islam. Jakarta: Darul
Falah.

Aqib Suminto. 1986. Politik Islam Hindia-Belan da. Jakarta: LP 3ES.

Aritonang, Jan S. 2005. Sejarah Perju mpaan Kristen da n Islam Di Indonesia.


Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Benda, H. J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Islam Di In don esia Masa
Pendud uk an Jepang. Bandung: Pustaka Jaya.

Brugmans, I. J. 1987. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan: Politik Pengajaran.


Jakarta: Yayasan Obor Indones ia.

Cahyo Budi Utomo. 1995. Dina mika Pergerakan Keban gsaa n Indo nesia dari
Kebangk itan hing ga Indonesia Merdek a. Semarang: IKIP Semarang
Press.

Darmansyah, dkk. 2006. Jong Islamieten Bon d. Perg erak an Pemuda Islam 1925 -
19 42 . Jakarta: Museum Sumpah Pemuda.

Darsiti Suratman. 1970. Politik Pendidikan Belanda da n Masyarakat Di Jawa


Pada Akhir Abad 1 9. Yogyakarta: IKIP Negeri Yogyakarta.

Deliar Noer. 1987. Partai Islam Di Pentas Nasion al. Jakarta: P T. P ustaka Utama
Grafiti.

. 1990. Gerakan M odern Islam Di Indonesia 19 00-1942. Jakarta:


LP3ES.

Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana


Ilmu.

Frederick, William H. 1989. Pemahaman Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES.

119
120

Gobee, E. dan Adriaanse. 1990. Nasehat-Nasehat C. Snou ck Hurgronje Semasa


Kepegawaiannya Kepad a Pemerintah Hind ia-Beland a 1889-19 36 .
Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).

Gottschalk, Louis. 1975. M engerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Hadari Nawawi. 1991. Metod e Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM


Press.

Haidar Putra Daulay. 2007. Sejarah Pertumbuha n da n Pemba ruan Pendidik an


Islam Di Indon esia. Jakarta: Kencana.

Helius Syamsudin. 1994. Metode Sejarah . Jakarta: Departemen P & K.

Ibrahim Alfian. 1987. Da ri Babat Ke Hikayat Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gajah


Mada P ress.

Iin Nur Insaniwati. 2002. Moh ammad Roem: Karier Politik d an Perjuan gannya
(1924-1968). Magelang: Indonesia Tera.

Ingleson, John. 1988. Jalan Ke Pengasingan. Jakarta: LP3ES.

Kahin, George McTurman. 1995. Nasion alisme dan Kolonialisme. Jakarta:


Gramedia.

. 1995. Nasionalisme da n Revolusi Di Indonesia.


Surakarta: UNS P ress.

Kansil, C. S. T dan Julianto. 1983. Sejarah Perjuangan Pergerakan Keba ng saan


Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Koentjaraningrat. 1977. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.


Gramedia.

Koentjara P urbapranoto. 1987. Bunga Rampai Sumpah Pemuda . Jakarta: Balai


Pustaka.

Kuntowijoyo. 2001. Penga ntar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.


121

Legge, J. D. 1993. Kaum Intelek tual dan Perjua nga n Kemerdek aa n. Jakarta:
Graffiti.

Lukman Hakiem. 2008. M . Natsir Di Panggu ng Sejarah Republik. Jakarta:


P enerbit Republika.

Moedjanto, G. 1988. Indo nesia Abad Ke-20 dari Keban gk itan Nasion al sampa i
Linggajati Jilid 1 . Yogyakarta: Kanisius.

Mohammad Natsir. 1980. Islam dan Kristen Di Indo nesia. Jakarta: Media
Dakwah.

Mohammad Nazir. 1988. Metode Penelitian . Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mohammad Roem. 1977. Bunga Rampai dari Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.

Mohammad Roem dan Kustiniyati Mochtar. 1989. Diplomasi Ujung Tombak


Perjuangan RI. Jakarta: PT. Gramedia.

Mukayat. 1985. Ha ji Agu s Salim The Grand Old Man of Indon esia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Nico Thamiend R dan M. P. B Manus. 2004. Sejarah Edisi Kedua. Jakarta:


Yudhistira.

Nugroho Notosusanto & Yusmar Basri. 1987. Sejarah Nasional Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka.

Onghokham. 1987. Run tuh nya Hind ia-Belanda. Jakarta: P T. Gramedia.

Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim. 1984. Seratus Tahun
Ha ji Agus Salim. Jakarta: Sinar Harapan.

Pijper, G. F. 1987. Politik Etis dan Revolusi Kemerdek aa n: Politik Islam


Pemerintah Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Poerwodharminto, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa In don esia. Jakarta: Balai


Pustaka.
122

Pringgodigdo, A. K. 1991. Sejarah Pergerakan Rak yat Indonesia. Jakarta: PT.


Dian Rakyat.

. t. t . Ensik lop edi Umum. Yogyakarta: Kanisius.

Rahardjo, M. Dawam. 1993. Intelek tua l, In teligensia da n Perilak u Politik


Bang sa: Risalah Cendek iawan M uslim. Bandung: Mizan Media Utama.

Ricklefs, M. C. 1991. Sejarah Indo nesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada


University P ress.

Ridwan Saidi. 1990. Cendek iawa n Islam Zaman Beland a: Studi Pergerak an
Intelek tua l JIB dan SIS (1925-1942). Jakarta: Yayasan P iranti Ilmu.

Roeslan Abdulgani. 1957. Nasion alisme Asia. Jakarta: Prapanca.

Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemik ira n dan Perk emban gan Historiografi
Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

. 1992. Pendekatan Ilmu Sejarah deng an Ilmu-Ilmu Sosial.


Jakarta: P T. Gramedia.

. 1999. Penga ntar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah


Pergerak an Nasional d ari Kolonialisme sampa i Nasionalisme Jilid 2.
Jakarta: P T. Gramedia Pustaka Utama.

Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, Suhardjo Hatmosuprobo. 1993. Perk emba ngan


Peradaba n Priya yi. Yogyakarta: Gadjah Mada University P ress.

Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto.


1975. Sejara h Nasion al Indo nesia V. Jakarta: Depdikbud.

Selo Sumardjan. 1981. Perubaha n Sosial Di Yogyakarta. Yogyakarta: Gajah


Mada University Press.

Sidi Gazalba. 1966. Pengantar Seja rah sebag ai IImu. Jakarta: Bhatara.

Sidi Mawardi. 2000. Bibit Perseteruan Nasionalis Islam vs Nasion alis Sekuler:
Pengalaman Jong Islamieten Bond 1 925-194 2. Yogyakarta: Sandi Kota.
123

Sills, David L. 1972. Internation al Encyclop edia of The Social Sciences Vo lume:
3. New York: The Macmillan Company And The Free Press.

Slamet Mulyono. 1968. Nasionalisme sebag ai Modal Perjua ng an Bangsa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Suhartoyo Hardjosatoto. 1985. Sejarah Pergerak an Nasiona l Indo nesia. Su atu


Analisa Ilmiah . Yogyakarta: Liberty.

Sularto, St. 2004. Haji Agu s Salim (188 4-19 54): Perang, Jihad dan Pluralisme.
Jakarta: Gramedia P ustaka Utama.

Sumadi Suryabrata. 1997. M etod ologi Penelitian . Jakarta: P T. Raja Grafindo


Persada.

Susanto Tirtoprodjo. 1970. Sejarah Pergerak an Nasion al In don esia. Jakarta:


Pembangunan.

Sutarto. 2005. Sejarah. Surakarta: CV. Widya Duta.

Stoddard, L. 1966. Du nia Ba ru Islam. Jakarta: Panitia Menkokesra.

Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebua h Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar


Harapan.

Tim Direktorat Akademik. 2008. Pedoman Umum Kompetisi Karya Tulis


Mahasiswa (KKTM) Bida ng IPA, IPS d an Ilmu Pendidikan . Jakarta:
Departemen P endidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
dan Direktorat Akademik.

Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006. 45 Tah un Su mpa h Pemud a. Jakarta:


Museum Sumpah Pemuda.

Tim Skripsi. 2009. Pedoman Penulisan S kipsi. Surakarta: FKIP UNS.

Tim Yayasan Gedung-gedung Bersejarah. 1974. 45 Tahun Sumpah Pemuda .


Jakarta: Yayasan Gedung-gedung Bersejarah.

Van Dijk, C. 1995. Da rul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta: P ustaka Utama
Grafiti.
124

Van Niel, Robert . 1984. Munculnya Elit Modern Indo nesia. Jakarta: Pustaka
Jaya.

Winarno Surakhmad. 1985. Penga ntar Penelitian Ilmiah: Da sar, Metode dan
Teknik . Bandung: Tarsito.

Yudi Latif. 2005. Inteligensia M uslim dan Kuasa: Genealogi Iteligensia Muslim
Indonesia Aba d Ke-20. Bandung: Mizan Media Utama.

Sumbe r Jurnal:
Ahmad Fathul Bari. 2007. ”Agus Salim”.
http://ahmadfathulbari.multiply.com/journa l/item/10 diakses tanggal 7
Agustus 2009.

Kong. t. t. ”Dinamik an isasi Pendidikan dan Perk embangan Sekola h”


http://www.roll-k on g.blog spot.com/Dina mikanisasi-Pendidikan-da n-
Perk embangan-Sek olah diakses tanggal 1 Maret 2010.

Sumbe r Artikel:
http://id.wik ipedia.org/wiki/Sejarah _Gerakan_ Pramuka_Ind on esia diakses
tanggal 2 Januari 2010.

http://lomboktimur.go.id/cetak2.php?id=6 diakses tanggal 7 Agustus 2009.

http://pik ok ola.files.wo rdpress.com/20 08/11/pendidikan -masa-k olon ial-dan-


sek arang.pdf diakses tanggal 1 Maret 2010.

http://pmiity08.wordpress.com/2008/05/20/gerakan-mahasiswa diakses tanggal 4


Agustus 2009.

http://smansagaranten.sch.id/index.php?option=com_content&view=a rticle&id=
16 2&catid=93&Itemid=1 41 diakses tanggal 4 Agustus 2009.

http://www.radityaiswara.co.cc/2007/09/agus-salim-begawan-multi-talenta.html
diakses tanggal 7 Agustus 2009.

http://tarbiyahislam.wordpress.com/20 07/08/10/islam-meretas-k eban gk itan


diakses tanggal 4 Agustus 2009.
125

Sumbe r Majalah:
Deliar Noer. 1979. Agustus. ”Islam dan Politik Di Indo nesia”. Prisma No. 8
Tahun VIII. 3-7.
127

Lampiran 1:
128
129

Sumber: Het Licth. No. 9. November 1931: 287-291 dalam Darmansyah, dkk.
2006: 89-91.
130

Lampiran 2:
131
132
133
134

Sumber: Het Licth. No. 9. November 1931: 287-291 dalam Darmansyah, dkk.
2006: 92-96.
135

Lampiran 3:
Pidato Propaganda Pe rtama Sjamsoeridjal
te ntang ” Sikap, Keyakinan dan cita-cita JIB ” Di Weltevreden (Ja karta)
136
137
138
139
140
141

Sumber: Het Licht. No.1. Maret 1925 dalam Ridwan Saidi. 1990: 77-83
142

Lampiran 4:
143
144
145
146

Sumber: Tim Yayasan Gedung-gedung Bersejarah. 1974: 354-357 dan Het Licht.
Februari 1926 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 100-105.
147

Lampiran 5:
Su sunan Pengurus Be sa r JIB Tahun 193 1

Ketua : Raden Kasman Singodimedjo


Pemuka Muda : Mohammad Roem
Juru Surat I : Soepadi
Juru Surat II : Sofjan
Juru Uang I : M. A. Noengtjik
Juru Uang II : Jatim
Anggota : M. A. Machfoeld
J. M. Tjaja
Taib
F. Alkahiri
Mevr. Soenarjo
Penasehat : H. Agus Salim

Susunan Pengurus Besar JIBDA Tahun 1931


Ketua : Mevr. Soenarjo
Juru Surat : Mej. Soepinah
Juru Uang : Mej. Kastinah
Mevr. S. Z. Goenawan
Mevr. Soeparto
Mej. Noerzam

Sumber: Het Licht. No. 1. Maret 1931: 32 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 113.
148

Lapiran 6:
Da ftar Ketua Umum Jong Isla miete n Bond

1. Raden Sjamsoeridjal periode kepemimpinan 1925-1926


2. Wiwoho P urbohadidjojo periode kepemimpinan 1927-1928
3. Raden Kasman Singodimedjo periode kepemimpinan 1929-1935
4. Nur Arifaini periode kepemimpinan 1936-1938
5. Soenarjo Mangoenpoes pito periode kepemimpinan 1939-1942

Sumber: Darmansyah, dkk. 2006: 114


149

Lampiran 7:
Ga mbar/Foto Tokoh-to koh Jong Isla mieten Bond

H. Ag us Salim, Penasehat JIB R. Sjamso eridjal, Ketua Umum JIB


Sumber: (1925-1926)
http://www.google.co.id/imglanding?q Sumber:
=agu s-salim diakses tanggal 31 Maret http://www.google.co.id/images?q=ra
2010 den+sjamsuridjal&hl=id& gbv=2&tbs
=isch:1&sa=N&start=40 &ndsp=20
diakses tanggal 31 Maret 2010

Kasman Sin godimedjo, Ketua Umum Moh. Roe m, Ketua Umum NA TIPIJ
JIB (1929-1935) Sumber:
Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?q
http://www.google.co.id/imglanding?q =Moh _roem2 diakses tanggal 31 Mei
=Mr-KASMAN-SINGODIMEDJO 2010
diakses tanggal 31 Mei 2010
150

Lampiran 8:
Gamba r/Foto Pe rgeraka n Jo ng Islamieten Bond

Sumber: Sumber:
Ridwan Saidi. 1990: 4. Darmansyah, dkk. 2006: 60.

Sumber: Sumber:
Darmansyah, dkk. 2006: 19. Darmansyah, dkk. 2006: 25.

Sumber: Sumber:
Darmansyah, dkk. 2006: 22. Darmansyah, dkk. 2006: 44.
151

Lampiran 9:
Conto h Ma jalah Het Licht/Al-Nur Jo ng Islamieten Bond

Sumber: Ridwan Saidi. 1990: 51.


152

Lampiran 10: Jurnal


Dinamik anisasi Pendidikan dan Perke mbangan Sek olah

Abstrak : politik etis sebagai suatu kebijakan baru yang diperjuangakan oleh
golongan liberal dan sosiol demokrat yang menginginkan adanya suatau keadilan
yang di peruntukan bagi Hindia-Belanda yang telah begitu banyak membantu dan
meningkatkan defisa dan kemakmuran bagi pemerintahan Belanda. Awal politik
etis di mulai ketika Ratu Wilhemina I diangkat sebagai ratu baru di Negeri
Belanda pada tahun 1898, di mana dalam pernyataannya ia mengungkapkan
bahwa pemerintahan Belanda berhutang moril kepada Hindia-Belanda dan akan
segera dilakukan policy mengenai kesejahteraan di Hindia-Belanda, yang
kemudian di buat tim penelitian untuk keadaan di Hindia-Belanda. Pernyataan
itulah yang kemudian di kenal dengan istilah politik etis.<!--[if
!supportFootnote s]-->[1]<!--[endif]-->meskipun makna dan sejarah istilah
tersebut tidak hanya sebatas atas kejadian tersebut, dan diantara tokoh-tokoh
pencetus politik etis adalah van Devebter, van Kol, dan yang paling terkenal
adalah Abendanon sebagai representasi dari politik etis.

Kata k unci : Politik etis, Indonesia, pendidikan

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->PENDA HULUAN

Politik etis sebagai sebuah polltik balas budi atau politik kehormanatan<!--[if
!supportFootnote s]-->[2]<!--[endif]-->, namun juga tak lepas dari intirk-intrik
politik dan tujuan di dalamnya, hal yang awalnya balas budi atau politik
kehormatan ternyata tidak sejalan dengan apa yang di buat pada tujuan awal
politik tersebut. Terbukti dengan masih adanya suatu keinginan dan kepentingan
implisit dalam realisasinya, sebagai contoh adalah emigrasi (transmigrasi) yang di
buat sebagai pemerataan penduduk Jawa dan Madura untuk di pindahkan ke
daerah Sumatra Utara dan Selatan ternyata masih ada keinginan untuk mencari
keuntungan besar dari kebijakan tersebut seperti di bukanya perkebunan-
perkebunan baru yang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengelolanya
dan pengurangan jumlah kemiskinan di Jawa dan Madura, ini adalah sebagai
contoh dari realisasi politk etis tersebut.

Namun meskipun ada hal sifatnya keuntungan nemun tetap saja poltik etis
tersebut adalah fajar budi atau dalam bahasa Jerman adalah Aufklarung
(penceraahan) bagi bangsa Indonesia dimana fajar budi itu muncul terlihat sinar-
sinarnya dengan di buatnya sekolah-sekolah untuk penduduk pribumi, meskipun
sebagian besar adalah untuk kelas bangsawan saja namun untuk penduduk kelas
bawah pun terdapat pendidik meskipun sistem dan fasilitasnya kelas II. Namun
bukan masalah yang begitu pelik dalam hal ini karena dampak yang di timbulkan
do kemudian hari adalah politik boomerang bagi pemerintahan Belanda, karena
membuka pendidikan adalah mempersenjatai para penduduk pribumi yang lebih
berbahaya dan lebih mematika dari pistol ataupun meriam. Munculnya golongan
terdidik dan terpelajar di kemudian hari menjadi ancaman bagi pemerintahan
153

Belanda, lahirnya Budi Utomo, Sarikat Islam hingga penbentukan Volk sk raad
adalah respon dari stimulus yang diberikan oleh poltik etis ini dengan memajukan
pendidikan (Edukasi). Selain juga dua ranah lain yang di perbaharui yaitu
pengairan dan infrastruktur (Irigasi) dan transmigras i (Emigrasi).

Hal yang begitu menarik ketika membahas masalah politik etis ini mengingat
dampak yang timbulkanya dikemudian hari bagi bangsa Indonesia, terutama
dalam bidang kesejahteraan dan pendidikan dimana pembahasan mengenai
perkembangan masalah pendidikan akan dibahas dalam bab tersendiri dalam
makalah ini. Namun titik tolaknya tetap di mulai dari era politik konservatif
(1800-1848), kemudian berlanjut ke pada era culturstelsel (1830-1870), kemudian
ke era politik liberal (1850-1870) dan masuk pada era transisi dari politik liberal
masuk ke politik etis (1870-1900) dan terakhir adalah masa dimana politik etis itu
berlangsung kurang lebih 1900.<!--[if !supportFootnotes]-->[3 ]<!--[e ndif]-->

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->LATAR BELAKA NG SEJARAH

Sebelumnya telah di jelaskan bahwa sebelum masuk pada pembahasan mengenai


politik etis terlebih dahulu perlu di bahas era sebelum politik etis tersebut di
realisasikan, dimana akan ada keterkaitan yang sifatnya lebih historis kronologis.
Maka kalau di buat suatu batasan waktu untuk masuk dalam politk etis akan
terlihat lebih jelas:

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Era politik konservatif (180 0-18 48 ) :


era dimana sistem kumpeni dan merkantilisme di gunakan secara total, dimana
eksploitasi negeri jajahan adalah usaha utama pemerintahan Belanda. Eksploitasi
SDA alam merupkan hal yang harus dilakukan untuk kemakmuran Negara induk
tidak perduli apakah penduduk Negeri jajahan makan atau tidak yang terpenting
adalah keuntungan bagi Negeri Belanda terutama untuk pembayaran hutang.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Era culturstelsel (183 0-18 70 ) : era


dimana penjajahan dilakukan dengan mengikuti tradisi lokal yang ada, hanya
terjadi perubahan dimana di lakukan penyerahan pajak tanah dengan uang namun
di ganti dengan pemberian hasil perkebunan yang dapat di ekspor dan laku di
pasaran internasional. Dilakukan dengan cara penanaman secara paksa produk
yang laku di pasaran internasional seperti kopi, teh dan tebu.<!--[if
!supportFootnote s]-->[4]<!--[endif]--> Keuntungan yang berlipat-lipat adalah
hal yang tak bisa terelakan lagi, bahkan tahun 1831 dan 1877 pemerintahan
Belanda menerima keuntungan sebesar 825 gulden.<!--[if !supportFootnote s]--
>[5]<!--[endif]--> Van Den Bosch adalah orang yang berada di balik politik
tanam paksa ini yang melakukan eksploitasi cara baru untuk keuntungan negeri
Belanda.<!--[if !supportFoo tnote s]-->[6]<!--[e ndif]-->

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Era politik liberal (1 850-187 0) : era


dimana paham mengenai leberalisme mulai tumbuh di Eropa dan mempengaruhi
Belanda berawal dari Revolusi di Amerika dan Revolusi Perancis semakin
154

memantapkan paham tersebut. Dimana kapitalisme mulai berkembang dan


meruntuhkan politik merkantilisme yang selama ini berkembang di Eropa, pasar
bebas, pendirian pabrik-pabrik, jalan-jala raya dan kereta api, bank-bank dan
kebun-kebun di Indonesia adalah implikasi nyata dari politik liberal ini.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Era transisi dari politik liberal masuk


ke politik etis (1870 -190 0) : era dimana Belanda sebagai Negara yang awalnya
penganut paham perekonomian merkantilisme beralih dan mengkristal menjadi
politik liberal dan kapitalisme modern dengan penggunaan teknologi-teknologi
yang gaungi oleh revolusi industri di Inggris dan membolehkan padagang dan
saham swasta masuk ke Indonesia dan di berlakukanya politik pintu terbuka, hal
ini terlihat semakin kuat dengan di bukanya Terusan Suez (1870) sebagai awal
imperialisme modern masuk ke kawasan Asia dengan perekonomian
kapitalismenya disertai oleh penggunaan teknoilogi mesin kapa uap yang sebagai
hasil dari revolusi Industri di Inggris.<!--[if !supportFoo tnotes]-->[7 ]<!--[e ndif]-
->

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Era politik etis itu berlangsung


kurang lebih 190 0 : dimana gagasan mengenai hutang balas budi mulai seudah
berkembang dimana tiga bidang utama yang di perioritaskan di realisasikan
(Irigasi, Ed uk asi dan Emigrasi) untuk kesejahteraan Indonesia.

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Latar Belakang Sosial, Politik dan


Ekonomi

Pada awal sebelum dilakukannya politik etis keadaan sosial dan ekonomi di
Indonesia begitu buruk dan jauh dari kata sejahtera terutama untuk penduduk
pribumi yang buka dari kalangan bangsawan. P ergantian penguasaan dan
kebijakan bukan menjadikan bangsa Indonesia semakin membaik justru
sebaliknya setelah keluatnya VOC dari Indonesia 1799 dengan politik
ekspliotasinya hal itu berganti ke tangan Inggris di bawah Raffles yang semakin
tidak memperhatikan kesejahteraan bangsa Indonesia, ke beralih ke Deandles
dengan poltik kerja paksanya semakin membuat penduduk menderita, jumlah
penduduk yang melek huruf hanya 1% dari seluruh jumlah penduduk yang ada.
Pendidikan bukan menjadi semakin baik justru sebaliknya. Karena kesejahretaan
dapat di laksakan apabila jumlah orang yang melek hurif semakin banyak. Dari
bidang ekonomi tanah-tanah yang luas masih dikuasi oleh para tuan tanah yang
dimana rakyat biasa hanya sebagai penyewa dan pekerja saja. Karena politik yang
digunakan pada saat itu adalah politik konservatif dimana merkantilisme dan
eksploitasi merupakan hal yang begitu di pentingkan oleh pemerintah kolonial,
timbah pembayaran pajak dan sewa yang begitu besar yang semakin memberatkan
kehidupan masyarakat Indonesia. Namun setelah di berlakukanya politik liberal
1870 pola kesejahteraan berubah terutama untuk pemerintah Belanda di pasar
bebas dan politik pintu terbuka dilaksanakan yang berakibat pada surplus produksi
perkebunan seperti gula 2 kali lipat, seperti tahun 1870 produksi mencapai
152.595 ton dan pada tahun 1885 di Jawa saja produksi gula mencapai 380.346
155

ton, selain gula produksi tembakau dan teh pun mancapai surplus, namun hal ini
hanya untuk keuntungan pemerintah kolonial.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->HAKIKAT POLITIK ETIS

Suatu istilah dan konsep yang dipakai untuk mensejahterakan Bangsa jajahan
adalah politik etis, istilah ini awalnya hanya sebuah kritikan-kritikan dari para
kalangan liberal dan Sosial Demokrat terhadap politik kolonial yang di rasa tidak
adil dan menghilangkan unsur-unsur humanistik, golongan Sosial Demokrat yang
saat di wakili oleh van Kol, van Deventer dan Brooshooft adalah orang-orang
yang ingin memberadabkan bangsa Indonesia. Yang menjadi stimulus dari politik
etis adalah kritikan yang di buat oleh van Deventer dalam majalah De Gies yang
intinya mengkritik pemerintahan kolonial dan menyarankan agar dilakukan politik
kehormatan (hutang kekayaan) atas segala kekayaan yang telah diberikan oleh
bangsa Indonesia terhadap negera Belanda yang keuntungan menjadi 5 kali lipat
dari hutang yang mereka anggap di buat oleh bangsa Indonesia. Yang kemudian di
respon oleh Ratu Wilhemina dalam pengangkatanya sebagai Ratu baru Belanda
pada tahun 1898 dan mengeluarkan pernyataan bhawa Bangsa Belanda
mempunyai hutang moril dan perlu diberikan kesejahteraan bagi bangsa
Indoensia. <!--[if !supportFoo tnotes]-->[8]<!--[e ndif]--> selain dua faktor ini
juga terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan politik etis semakin genjar
dilakukan yaitu perubahan politik di Belanda yaitu dengan berkuasanya kalangan
liberal yang menginginkan dilakukanya sistem ekonomi bebas dan kapitalisme
dan mengusahakan agar pendidikan mulai di tingkatkan di Indonesia. Adanya
doktrin dari dua golongan yang berbeda semakin membuat kebijakan politik etis
ini agar segera dilaksnakan yiatu :

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Golongan Misionaris : 3 partai kristen


yang mulai mengadakan pembagunan dalam bidang pendidikan yaitu patrai
Katolik, Partai Anti-Revolusioner dan P artai Kristen yang programnya adalah
kewajiban bagi Belanda untuk mengangkat derajat pribumi yang didasarkan oleh
agama.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Golongan Konservatif : menjadi


kewajiban kita sebagai bangsa yang lebih tinggi derajatnya untuk memberdabkan
orang-orang yang terbelakang.

Itulah dua doktrin yang berkembang pada saat itu karena bagi mereka tujuan
terakhir politik kolonial seharusnya ialah meningkatkan kesejahteraan dan
perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi bukan eksploitasi
kolonial melainkan pertanggujawaban moral.<!--[if !supportFoo tnotes]-->[9]<!--
[e ndif]-->

Politik etis itu sendiri memiliki arti politik balas jasa, politik balas budi, politik
kehormatan ataupun hutang kekayaan mungkin intinya sama secara harfiah,
setelah tadi dijelaskan bahwa politik etis ini di kumandangkan oleh golongan
156

Sosial Demokrat yang didalangi oleh van Deventer yang menginginkan adanya
balas budi untuk bangsa Indonesia. Politik etis bertendensi pada desentralisasi
politik, kesejahteraan rakyat dan efisiensi. <!--[if !supportFootnote s]-->[10]<!--
[e ndif]-->Karena pada saat diberlakukanya politik etis tahun 1900 keadaan
politik, sosial dan ekonomi kacau balau, bidang ekonomi di guncang oleh
berjangkitnya hama pada tanaman terutama tebu, penyakit yang berkembang
kolera dan pes maka tak mengherankan Bangsa Eropa enggan datang ke Jawa
karena berkembangnya penyakit menular itu, sanitasi yang begitu buruk. Dalam
bidang sosial adalah jumlah masyarakat yang melek huruf hanya 1 % dari 99 %
penduduk yang ada di Indonesia dan adalah masalah, karena kekurangan tenaga
kerja yang perofesional dalam berbagai bidang dan birokrasi karena para pegawai
yang didatangkan dari Belanda enggan datang karena isu penyakit menular yang
ada di jawa, selain itu juga masalah kepadatan penduduk yang yang menjadi
masalah di Jawa dan Madura, dan ini perlu dilakukan penyelesaianya secara
segera. Bidang politik masalah yang berkembang saat itu adalah sentralisasi
politik yang kuat sehingga tidak ada pemisahan kekuasaan dan keungan antara
pemerintahan kolonial dan Bangsa Indonesia yang berdampak pada
ketidaksejahteraan pribumi.

Maka tak mengherankan jargon dan program yang dikumandangkan dalam politik
etis adalah dalam tiga bidang yaitu Irigate (pengairan dan infrastruktur) , Educate
(pendidikan) ,Emigrate (Transmigrasi) yang kesemuanya adalah program utama
mereka, namun dalam makalah ini yang akan lebih banyak di bahas adalah
menegai pendidikan karena hal tersebut merupakan suatu msalah yang menarik
karena akan menjadi politik boomerang dan era pencerahan bagi bangsa
Indonesia. Dan secara real memang bidang pendidikanlah yang begitu besar
perhatianya terbukti dengan munculnya tokoh, Snock Hurgronje, Abendanon, van
Heutz.

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]--> Iriga te (pe ngairan dan


infrastruktur) :

Merupakan program pembangunan dan penyempurnaan sarana dan prasarana


untuk kesejahteraan rakyat, terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan hal
ini dilakukan dengan membuat waduk-waduk besar penampung air hujan untuk
petanian, dan melakukan perbaikan sanitasi untuk mengurangi penyakit kolera
dan pes. Selain juga perbaikan sarana infrastruktur terutama adalah jalan raya dan
kereta apai sebagai media untuk pengangkutan komoditi hasil pertanian dan
perkebunan.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Educate (pe ndidikan) :

Merupakan program peningkatan mutu SDM dan pengurangan jumlah buta huruf
yang implikasi baiknya untuk pemerintah Belanda juga yiatu mendapatkan tenaga
keraja terdidik untuk birikrasinya namun dengan gaji yang murah, karena apabila
mendatangkan pekerja dari Eropa tentunya akan sangat mahal biayanya dengan
157

gaji yang mahal dan pemberian sarana dan prasarana, yang dikemdian akan di
buat sekolah dengan dua tingkatan yaitu sekolah kelas I untuk golongan
bangsawan dan tuan tanah dan sekolah kelas II untuk pribumi kelas menegah dan
biasa dengan mata pelajaran membaca, menulis, ilmu bumi, berhitung, sejarah dan
menggambar.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Emigrate (Transmigrasi) :

Merupakan program pemerataan penduduk Jawa dan Madura yang telah padat
dengan jumlah sekitar 14 juta jiwa tahun 1900, selain padat jumlah perkebunan
pun sudah begitu luas maka kawasan untuk pemukiman semakin sempit, maka hal
itu di buat dengan dibuatnya pemukiman di Sumatra Utara dan Selatan dimana di
buka perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak sekali pengelola
dan pegawainya. Untuk pemukiman Lampung adalah salah satu daerah yang
ditetapkan sebagai pusat transmigrasi dari Jawa dan Madura.<!--[if
!supportFootnote s]-->[11]<!--[e ndif]-->

Itulah program utama yang dilakukan dalam politik etis terlepas dari berhasil atau
tidak dan ada kepentingan lain atau tidak, namun dari ketiga program itu
pendidikan merupakan program prioritas karena kedua program lainya akan
berhasil dan di tunjang oleh pendidikan. Selanjutnya akan di jelaskan mengenai
damapk yang di timbulkan oleh politik etiis dengan 3 program utamanya.

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Implikasi Pelaksaan Politik Etis

Dampak yang di timbulkan oleh politik etis tentunyaa ada yang negatif dan positif
namun yang perlu kita ketahui adalah bahwa hampir semua program dan tujuan
awal dari politik etis banyak yang tak terlaksana dan mendapat hambatan. Namun
satu program yang berdampak positif dengan sifat jangka panjang bagi bangsa
Indonesia adalah bidang pendidikan yang akan mendatangkan golongan terpelajar
dan terdidik yang dikemudian hari akan membuat pemerintahan Belanda menjadi
terancam dengan munculnya Budi Utomu, Sarikat Islam dan berdirinya
Volk sraad. Adapun dampak-dampak yang terlihat nyata adalah dalam tiga bidang
:

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Politik : Desentralisasi kekuasaan atau


otonomi bagi bangsa Indonesia, namun tetap saja terdapat masalah yaitu golongan
penguasa tetap kuat dalam arti intervensi, karena perusahaan-perusahaan Belanda
kalah saing dengan Jepang dan Amerika menjadikan sentralisasi berusaha
diterapkan kembali.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Sosial : lahirya golongan terpelajar,


peningkatan jumlah melek huruf , perkembangan bidang pendidikan adalah
dampak positifnya namun dampak negatifnya adalah kesenjangan antara golongan
bangsawan dan bawah semakin terlihat jelas karena bangsawan kelas atas dapat
158

berseolah dengan baik dan langsung di pekerjakan di perusahaan-perusahaan


Belanda.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Ekonomi : lahirnya sistem Kapitalisme


modern, politkk liberal dan pasar bebas yang menjadikan persaingan dan modal
menjadi indikator utama dalam perdagangan. Sehingga yang lemah akan kalah
dan tersingkirkan. Selain itu juga muculnya dan berkembangnya perusahaan-
perusahaan swasta dan asing di Indonesia seperti Shell.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->KAITAN POLITIK ETIS DAN


PENDIDIKAN

Seperti yang telah di terangkan sebelumnya bahwa politik etis berdampak besar
pada bidang pendidikan, dimana pendidikan yang berkembang pada saat itu hanya
pendidikan yang siaftanya masih lokal dan konservatif (surau, langgra dan
pesantren) dimana mata pelajaran yang ajarkan adalah ilmu-ilmu agama saja dan
tidak mengajarkan pelajaran-pelajaran yang sifatnya umum.<!--[if
!supportFootnote s]-->[12]<!--[e ndif]--> Namun meskipun pendidikan adalah
bidang yang diutamakan namun tetap saja terdapat masalah dalam hal paradigma
pelaksanaanya hal itu terbukti dengan adanya dua sistem yang berbeda pada saat
itu :

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Snouck Hurgronje direktur utama


politik etis pertama (1900-1905) dan J.H. Abendanon yang mendukung
pendidikan dengan pendekatan yang bersifat elitis yaitu pendidikan yang bergaya
Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya, dengan tujuan
menjadikan kalangan elit yang cakap dalam birokrasi dan tahu terima kasih.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Idenburg dan Gubernur Jendral van


Heutz (1904-1909) yang mendukung pendidikan dengan pendekatan yang bersifat
merakyat (grass root) dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya.

Tujuan dari pendidikan yang bergaya elitis adalah menghasilkan pimpinan bagi
zaman pencerahan baru Belanda-Indonesia, sedangkan tujuan pendidikan bergaya
merakyat (grass root) adalah membrikan sumbangan langsung bagi kesejahteraan
rakyat.<!--[if !supportFootnote s]-->[13]<!--[e ndif]--> Namun permasalahan
yang di hadapai oleh kedua sistem ini adalah ketidakcukupan dana yang memdai
dan tidak menghasilkan sesuatu yang diinginkan dari tujuan awalnya.

Dibawah Abendanon-lah pendidikan dengan gaya elitis dapat berjalan dengan


baik, hal itu terbukti dengan berdirinya 2 sekolah resmi yang bertujuan
meningkatkan jumlah melek huruf, yaitu “sekolah para kepala” yang kemudian
dinamakan OSVIA (Opldelingschoo len voor Inlansche Ambtenaren “Sek olah
pelatihan pejabat pribumi) dan sekolah dokter Jawa di Walterreden yang
kemudian namanya menjadi STOVIA (scho ol tot opdeling van Inlan dsche antsen
“sek olah untuk pelatiha n dokter-dokter pribumi) untuk lebih jelasnya mengenai
159

perkembangan pendidikan akan dibahas dalam bagain selanjutnya, namun hal


yang perlu kita ketahui adalah sebagain besaar sekolah ini di peruntukan hanya
bagi kalangan bangsawan dan tuan tanah, meskipun kesempatan untuk kalangan
menengah dan bawah di buka namun tetap saja sulit. Selain masalah tersebut
masalah lain yang dihadapi oleh Abendanon adalah sulitnya menerapkan
kebijakan pendidikan untuk kaum wanita dan tentangan dari kalangan Gubernur
konservatif, yang hal ini di alami oleh seorang wanita Jawa yang terhalang
keinginanya untuk mencari ilmu karena terhalang oleh budaya dan kalangan
konservatif dia adalah R.A. Kartini (1879-1904).

5. Dampak Politik Etis Dalam Bidang Pendidikan.

Seperti yang telah di paparkan sebelumnya politik etis yang dijalankan oleh
pemerintah Belanda yang oleh Van Deventer dikonsepsikan dalam wujud irigasi,
edukasi dan emigrasi ini berdampak pada perubahan pola pikir masyarakat
pribumi. Salah satu yang terpenting adalah pada bidang pendidikan yang didirikan
oleh pemerintah Belanda, dimana dalam bidang ini yang awalnya pemerintah
Belanda bertujuan untuk membentuk masyarakat pribumi sebagai pegawai
pemerintah rendah yang memiliki loyalitas tinggi terhadap pemerintah ternyata
semakin lama malah bisa dibilang menjadi bumerang terhadap pemerintahan
belanda itu sendiri.

Pendidikan yang dibangun oleh pemerintah Belanda di bawah Van Deventer


diawali dengan pembentukan sekolah-sekolah untuk masyarakat pribumi,
tujuannya seperti yang sudah di paparkan sebelumnya, yakni memberikan
pendidikan kepada masyarakat pribumi tentang tradisi yang paling baik dari Barat
yang nantinya diharapkan bagi yang bersekolah di sekolah yang didirikan
pemerintah itu, mereka menjadi tokoh penting yang berpengaruh luas dalam
masyarakat Indonesia<!--[if !supportFootnotes]-->[1 4]<!--[endif]-->. Meskipun
demikian, sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda ternyata
dibatasi. Batasannya adalah pada pemberian kesempatan sekolah kepada
masyarakat elit pribumi.

Sebelum politk etis di bentuk, yakni pada masa VOC memegang kendali atas
pemerintahan di Indonesia ternyata telah dikenal sistem pendidikan. Namun,
ternyata jauh sebelumnya yakni pada masa sebelum politik, di Indonesia telah
mengenal sistem pendidikan. Untuk itu sebelum kita masuk pada pembahasan
mengenai pendidikan masa penjajahan Belanda, kita perlu mengetahui pendidikan
sebelum masuknya penjajahan Belanda, yakni pada masa pemerintahan VOC.

a. Pendidik an dan Pengajaran Sebelum Politik Etis

Periode VOC (1600 – 1800)

Pada tahun 1602 Belanda mendirikan VOC badan usaha ini merupakan
persekutuan dagang Belanda yang merebut penjajahan Portugis di Nusantara
160

Timur dan menetap di tempat itu. Kemudian, di dalam rapat kapal – kapal
perdagangan VOC atau kompeni membawa pendeta – pendeta yang akan
menyebarkan agama Kristen P rotestan. Dengan kegiatan penyebaran agama ini,
selanjutnya berdirilah sekolah – sekolah. Adapun tujuan didirikannya sekolah -
sekolah tersebut yaitu sebagai upaya penyebaran Agama Kristen P rotestan. Materi
yang diajarkan, yaitu membaca alkitab, agama kristen, menyanyi, menulis dan
menghitung.

Sehubungan dengan VOC, Maluku yang merupakan pusat rempah – rempah dan
merupakan persekutuan dagang dengan Belanda maka mereka mendirikan sekolah
– sekolah dan gereja di Maluku dan Ambon. Namun, di Pulau Jawa tidak terdapat
sekolah – sekolah dan gereja dalam jumlah yang sangat banyak seperti yang
terdapat di Maluku. Pada tahun 1617, barulah didirikan sekolah yang pertama di
Jawa tepatnya di Batavia dengan nama De Batraviasche School. Sekolah ini
memiliki tujuan agar dapat menghasilkan tenaga – tenaga yang cakap dan kelak
dapat di pekerjakan pada pemerintahan, administrasi dan gereja<!--[if
!supportFootnote s]-->[15]<!--[e ndif]-->. P ara tenaga pengajarnya pun di
datangkan dari negeri Belanda dan siswanya terdiri dari anak – anak Belanda
Indo. Sekolah ini pun tidak di perbolehkan bagi orang bumi putera dan orang –
orang asing lain seperti orang Cina.

Dengan demikian, banyak sekali permasalahan yang timbul dalam dunia


pendidikan pada periode ini, diantaranya seperti :

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Ada perbedaan dalam penyelenggaraan


pendidikan. Artinya, ada sekolah – sekolah rendah eropa dengan Bahasa
pengantar Belanda dan sekolah rendah pribumi (kristen) dengan bahasa pengantar
melayu dan portugis.
<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Pendirian sekolah tidak merata, hal ini
disebabkan karena di tempat itulah pusat rempah – rempah. Sekolah kejuruan
tidak diselenggarakan sama sekali sebab belum terniatoleh mereka untuk
meningkatkan taraf hidup ekonomi rakyat.
<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Juga ada kesedihan bagi rakyat yang
menganut agama Kristen Katolik. Hal ini disebabkan karena VOC mengusir
paderi – paderi dan gereja – gereja. Oleh karena itu, sekolah – sekolah Katolik
ditutup.

Periode Pe njajahan Be landa (1800 -190 0)

Pada abad 18 menjelang abad 19 VOC mengalami kemunduran sehingga tidak


dapat lagi berfungsi sebagai lembaga yang mengatur pemerintah dan masyarakat
di daerah Hindia Belanda. Pemerintahan diserahkan kepada pemerintah Belanda
yang kemudian dalam pengaturan masyarakat dan pemerintahan akan dilakukan
sendiri oleh pemerintah Belanda langsung. Dengan demikian pemikiran mengenai
pendidikan pun akan berubah dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
161

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->pemerintah berusaha untuk tidak


memihak salah satu agama tertentu.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->tidak di usahakan untuk hidup secara
selaras dengan lingkungannya tetapi lebih ditekankan agar anak didik dikemudian
hari dapat mencari pekerjaan demi kepentingan colonial.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->sistem persekolahan disusun menurut
adanya perbedaan lapisan social yang ada dalam masyarakat Indonesia, khususnya
yang ada di pulau jawa.
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->pada umumnya pendidikan diukur dan
diarahkan untuk membentuk suatu golongan elit social agar dapat dipakaki
sebagai alat bagi kepentingan atau nkeperluan supremasi politik dab ekonomi
Bel;anda di Indonesia<!--[if !supportFoo tnotes]-->[16]<!--[endif]-->.
Sistem persekolahan di dasarkan kepada keturunan atau kelas sosial yang ada.
Dan pengecualian menurut hukum pada tahun 1848, yaitu :
<!--[if !supportLists]-->• <!--[endif]-->Golongan Eropa, yang disamakan dengan
eropa dan golongan bumiputera.
<!--[if !supportLists]-->• <!--[endif]-->Golongan Bumiputera; dalam golongan ini
penduduk di bagi lagi menurut status sosialnya, yaitu :
<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]--> Golongan bangsawan / aristokrat,
<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Golongan pimpinan adat,
<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]--> Golongan pimpinan agama, dan
<!--[if !supportLists]-->d. <!--[endif]-->Golongan Rakyat biasa.
Disamping itu, pelaksanaan pendidikan tidak berdasarkan dan tidak memihak
salah satu agama. Adapun jenis jenis sekolah yang ada pada masa itu, antara lain :
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Sekolah Rendah Eropa (europesche lager
school / ELS) yang didirikan pada tahun 1818.
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Sekolah Gadis pertama yang mempunyai
asrama, didirikan pada tahun 1827.
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Sekolah Dokter Jawa dengan ama belajar
dua tahun setelah tamat SD lima tahun, didirikan pada tahun 1854.
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Sekolah Guru Negeri di Surakarta,
didirikan pada tahun1854 dengan lama belajar tiga tahun.
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Sekolah Warga Negara Tinggi (Hoogere
Burger School / HBS), didirikan pada tahun 1867, dengan lama belajar lima tahun
dan
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Sekolah Tondano, sekolah dasar khusus
yang disebut sekolah raja yang didirikan pada tahun 1865 dan 1872.
Masalah pendidikan yang muncul pada periode ini, adalah :
<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Tujuan pendidikan yang tidak dinyatakan
dengan tegas.
<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Bangsa Indonesia tidak mendapatkan hak
yang sama denga orang Belanda.
<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Tujuan sekolah bukanlah untuk mendidik
rakyat, bukan pula untuk mempertinggi taraf penghidupan rakyat, melainkan
hanya untuk kepentingan kaum penjajah.
162

b. Pendidik an dan Pengajaran Pada Saat Politik Etis


Diseluruh dunia terdapat perkembangan dan pembaruan di bidang politk,
ekonomi, dan ide–ide. Hal ini mendorong pemerintah Belanda untuk memberikan
lebih banyak lagi kesempatan anak bumi putera untuk menerima pendidikan. Atas
dasar itulah, timbul suatu aliran di kalangan bangsa Belanda yang terkenal sebagai
politik etis (etiche politiek). Aliran ini dicetuskan oleh Van Deventer dengan
semboyan “Hutang Kehormatan”. Akhirnya, aliran ini terkenal dengan slogan
edukasi, irigasi, dan emigrsi.
Selain Van Deventer, ada pula Snouck Hourgroje, tokoh Belanda yang
mendukung pemberian pendidikan kepada aristrokat Bumiputera. Menurut balai
pustaka jenis sekolah yang ada, antara lain :
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Pendidikan Rendah (lager Onderwijs)
Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkat sekolah dasar menggunakan dua
sistem pokok, yaitu :
<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar
bahasa Belanda.
<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar
bahasa daerah.
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Pendidikan lanjutan / Pendidikan
menengah (Midleboar Onderwijs)
Sebenarnya terdapat satu jenis sekolah lanjutan menurut sistem persekolahan
Belanda di golongan sekolah dasar, yaitu sekoilah dasar yang lebih luas (Meer
Vitgebreld lagere Onderwijs) atu MULO yang berbahasa pengantar bahasa
Belanda, denag lama sekolah antara tiga sampai empat tahun.
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Sekolah menengah Umum (Algemeene
Middlebares School atau AMS) merupakan kelanjutan dari MULO yang
berbahasa Belanda dan diperuntukkan untuk golongan Bumiputera dan Timur
Asing dengan lama belajar tiga tahun. AMS terdiri dari 2 jurusan yaitu :
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Bagian A, P engetahuan Kebudayaan.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Bagian B, P engetahuan Alam.
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Sekolah Warga Negara Tinggi (Hooger
Burger School atau HBS). Sekolah ini disediakan untuk golongan Eropa,
bangsawan Bumiputera, atau tokoh – tokoh terkemuka.bahasa pengantar yabg
dipakai yaitu bahasa Belanda dan berorientasi ke Eropa barat, khususnya Belanda.
Lama sekolah antara tiga dan lima tahun.
Selain sekolah lanjutan Belanda juga mendirikan sekolah kejuruan sebagai bagian
dari pelaksanaan politik etis. Adapun jenis – jenis sekolah kejuruan yang ada
sebagai berikut :
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Sek olah Pe rtukangan ( Ambachts
Lee rgang)
Sekolah ini berasal dari sekolah Pekerjaan Tangan (Hondwerk School) dan
Sekolah Kerajinan Tangan (Njverheid School) yang pertama didirikan pada tahun
1881. sekolah ini berbahasa pengantar Belanda, sedangkan lama sekolah tiga
tahun dan bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor (werkbaas).
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Se kolah Te knik (Technish Onderwijs)
163

Sekolah ini merupakan kelanjutan dari Ambachts School, berbahasa pengantar


Belanda dan lama sekolah tiga tahun. Yang mula – mula didirikan adalah
Koningin Wihelmina School pada tahun 1906 di Jakarta.
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Pe ndidikan Dagang (Handels
Onderwijs)
Tujuan dari pendirian Sekolah Dagang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
perusahaan – perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat.
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Pe ndidikan Pertanian (Landbauw
Ode rwijs)
Tahun 1911 mulai didirikan Sekolah Pertanian (Cultuur School yang tediri dari
dua jurusan yaitu pertanian dan kehutanan. Sekolah ini menerima lulusan Sekolah
Dasar yang berbahasa pengantar Belanda. Lama belajar adalah tiga sampai empat
tahun dan bertujuan untuk menghasilkan pengawas – pengawas pertanian &
kehutanan.
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Pe ndidikan ke juruan Ke wanitaan
(Me isjes Vok onderwijs)
Pendidikan ini dipengaruhi oleh gagasan – gagasan R.A. Kartini maka pemerintah
mulai memberikan perhatian kepada bidang ini. Pada tahun 1918 didirikan
Sekolah Kepandaian P utri (Lagere Nijverheidschool voor Meisjes). Sekolah
sejenis yang didirikan oleh swasta dinamakan Huishoudschool (Sekolah Rumah
Tangga) lama belajar tiga tahun. Disamping itu, ada sekolah Van Deventer yang
memberiokan pendidikan keputrian yang berorientasi Eropa (Belanda). Sekolah
Van Deventer memberikan juga pendidikan untuk menjadi guru Sekolah Taman
Kanak – Kanak (Frobel Onderwijs).
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Pendidikan Ke guruan
(Kweek school).
Lembaga keguruan ini merupakan lembaga tertua dan sudah ada sejak permulaan
abad kesembilan belas. Sekolah Guru Negeri yang pertama didirikan pad tahun
1851 di Surakarta. Sebelum itu, pemerintah telah menyelenggarakan kursus –
kursus guru yang diberi nama Normal Cursus yang dipersiapkan untuk
menghasilkan guru – guru Sekolah Desa.
Pada abad ke dua puluh para kalangan penganjur politik etis mengemukakan
gagasan mereka untuk segera membentuk Pendidikan Tinggi(Hooger Onderwijs).
Dan pada trahun 1910 didirikan Perkumpulan Universitas Indonesia (Indische
Universiteits Veriniging) yang bertujuan untuk mendirikan pendidikan tinggi,
baik melalui pemerintah maupun swasta.Adapun pendidikan tinggi ini meliputi
tiga bidang keahlian sebagai berikut.
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Pe ndidikan Tinggi Kedokteran
Lembaga pendidikan ini di Indonesia dimulai dari Sekolah Dokter Djawa yang
didirikan pada tahun 1851. lama belajar dua tahun, setelah tamat dari sekolah
dasar lima tahun. Bahasa pengantar bahasa melayu dan pada tahun 1913 Sekolah
Dokter Djawa diubah namanya menjadi STOVIA. Pada tahun 1913 disamping
STOVIA di Jakarta didirikan pula Nederlandsch Indische Artsenschool (NIAS) di
Surabaya yang syarat dan lama belajarnya sama
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Pendidikan Tinggi Hukum.
164

Pendidikan Tinggi Hukum dimuli dari Sekolah Hukum (Rechtsschool) yang


didirikan pada tahun 1909. sekolah ini menerima lulusan ELS dan lama
pendidikan tiga tahun serta berbahasa pengantar bahasa Belanda.
<!--[if !supportLists]-->o <!--[endif]-->Pe ndidikan Tinggi Tek nik
Pada tahun 1920 pemerintah benarr – benar mendirikan pendidikan tinggi pertama
yang betul – betul memenuhi syarat sebagai perguruan tinggi . tetapi pada periode
ini masih terdapat masalah pendidikan , antara laihn :
<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Masalah semua rakyat Indonesia belum
memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki pendidikan.
<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Mata pelajaran yang diperuntukkan untuk
Pribadi di sekoilah rendah Bumiputera bertendensi untuk menjadikan bangsa
Indonesia mempunyai rasa harga diri kurang dan tida mendidik supaya menjadi
anak yang cerdas.
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Ke simpulan
Politik etis sebagai politik balas budi atau hutang kehormatan yang di buat oleh
pmerintah kolonial Belanda ternyata menimbulkan suatu kemajuan dan abad
pencerahan bagi Bangsa Indonesia yang mendapat pendidikan, selain itu pula
sebagai suatu politik boomerang bagi Bangsa Belanda karena tealh menelurkan
para golongan terpejar yang kemudian menjadi suatu bola salju yang menghantam
pemerintahan Belanda. Hal itu bisa kita lihat dalam dinamika dan perkembangan
sekolah yang semakin tahun semakin banyak bidang dan kuantitas jumlahnya bagi
penduduk pribumi.
Perkembangan pendidikan pun menjadikan banyak masyarakat pribumi yang
tidak lagi buta huruf dan mendapat pendidikan untuk mengetahui ilmu
pengetahuan tidak hanya ilmu pengetahuan tentang agama saja namun juga ilmu
pengetahuan umum, yang sebelumnya hanya ada lembaga pendidikan pesantran
saja kemudian timbul sekolah-sekokah umum, baik yang berupa buatan Belanda
maupun Indonesia seperti Tanam Siswa dll.

DAFTAR PUSTAKA

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->M. C. Ricklefs. Seja rah Indo nesia


Mod ern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Robert van Niel. Mun culnya Elit


Mod ern Indonesia. Jakarta: P ustaka Jaya, 1984.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Sartono Kartodirdjo. Pengan tar


Seja rah Indonesia: Sejarah Pergerakan Nasion al. Jakarta: Granmedia Pustaka
Utama, 1993.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Bernard H.M. Vleke. Nusantara


Seja rah Indonesia. Jakarta: KP G, 2008.
165

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Marwati Djoened Poesponegero,


Nugroho Nototsusanto. Sejarah Nasiona l Indoneisa V. Jakarta: Balai Pustaka,
1994.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Redaksi Kompas. Menjad i Indonesia.


Jakarta: Kompas, 1987.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->H. Baudet, I.J. Brugmans (ed). Politik


Etis da n Revolusi Kemerdek aan. Jakarta: Yayasan Obor, 1987.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Sumarsono Mestoko, Pendidikan di


Indo nesia dari Jaman k e Jaman. Jakarta : Balai Pustaka,1986.

<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]--


>http://nurdayat.wordpress.com/2008/02/12/politik-etis-dan-kondisi-umum-
indonesia-pada-awal-abad-ke-20/ (hal.2)

<!--[if !supportFootnotes]-->

<!--[endif]-->

<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]--> Redaksi Kompas.


menjadi Indonesia, (Jakarta: Obor, 1987), hl. 180.

<!--[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]--> Istilah politik


kehormatan adalah istilah yang di buat oleh Abendanon dalam tulisanya di
majalah De Gies yang intinya mengkritik kebijakan yang di buat oleh pemerintah
Belanda.

<!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]--> Sartono Kartodirdjo,


Penga ntar Sejarah Indonesia baru : Sejarah Perg erak an Nasional, (Jakarta:
Granmedia. 1993), hl. 3.

<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]--> Ibid., hl. 13.

<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]--> Ibid., hl. 15.

<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> Nugroho Notosusanto,


Seja rah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Balai Pustaka. 1994), hl. 5.

<!--[if !supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]--> B.H.M. Vleke,


Nusantara Sejarah Nusantara, (Jakarta: KP G. 2008), hl. 348.

<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]--> Van Niel, Munculn ya


Elit Mod ern Indonesia, (Jakarta: P ustka Jaya. 1984), hl. 53.
166

<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]--> Sartono Kartodirdjo.


Op.Cit., hl. 31.

<!--[if !supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]--> Nugroho


Notosusanto. Op .Cit., hl. 35.

<!--[if !supportFootnotes]-->[11]<!--[endif]--> Ibid., hl. 42-43.

<!--[if !supportFootnotes]-->[12]<!--[endif]--> H. Baudet, I.J.


Brugmans (ed), Politik Etis dan Revolusi Kemerd ek aan , (Jakarta : Obor. 1987), hl.
176.

<!--[if !supportFootnotes]-->[13]<!--[endif]--> M.c.Ricklefs,


Op.Cit., hl. 329-330.

<!--[if !supportFootnotes]-->[14]<!--[endif]-->
http://nurdayat.wordpress.com/2008/02/12/politik-etis-dan-kondisi-umum-
indonesia-pada-awal-abad-ke-20/ (hal.2)

<!--[if !supportFootnotes]-->[15]<!--[endif]--> Sumarsono Mestoko,


Pendid ik an d i Indonesia dari Jaman ke Jaman (Jakarta : Balai Pustaka), 1986. hal
77

<!--[if !supportFootnotes]-->[16]<!--[endif]--> Ibid. hal 86

Sumber: Kong. t. t. ”Dinamikanisasi P endidikan dan P erkembangan Sekolah”


http://www.roll-k on g.blog spot.com/Dina mikanisasi-Pendidikan-da n-
Perk embangan-Sek olah diakses tanggal 1 Maret 2010.
167

AGUS SALIM
A. Latar Belakang

Haji Agus salim dilahirkan di kota Gadang Bukit Tinggi


(Minangkabau), pada 8 Oktober 1884 putra seorang pejabat pemerintah
sekaligus dari alangan bangsawan yang beragama. P ada tahu 1891, memasuki
sekolah dasar Belanda, Yaitu ELS di Bukittinggi. Pada tahun 1898, agus salim
menuju jakarta untuk masuk HBS. Selanjutnya pada usia 21 tahun Agus Salim
ditawarkan untuk menjadi konsul Belanda di jeddah untuk mengurus jemaah
haji Indonesia di Arab. Pada tahun 1906 agus Salim berangkat ke Jeddah
sebagai konsul Belanda. Disana Agus Salim banyak bertukar pikiran dengan
ulama yang pada kelanjutannya banyak memberikan perkembangan bagi
pemikiran Agus Salim tentang Islam, diantara para ulama tersebut yaitu :
Syekh Ahmad Khatib yang dikenal sebagai seorang pelopor ulama pembaharu
di Minangkabau. Sekembalinya dari Arab Agus Salim banyak mengalami
perubahan, terutama pemahamannya terhadap Islam menjadi lebih dalam lagi.
Sejak tahun 1915 – 1936 beliau aktif dalam organisai SI. Di tahun 1925, di kota
Yogakarta, salim turut mendirikan JIB (Jong Islamic Bond), akan tetapi pada
tahun 1936 ia bersama dengan Mr Mohammad Roem mendirikan gerakan
penyadar. P ada tahun 1931, haji Agus Salim berangkat ke Swiss dan Belanda
sebagai wartawan surat kabar Fadjar Asia.
Hingga tahun 1936 beliau lebih banyak bekerja sebagai pengasuh surat
kabar . Menjelang P roklamasi kemerdekaan Indonesia, haji Agus Salim aktif
dalam Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) bersama bung Karno dan Bung Hatta.
Selanjutnya beliau menjadi anggota BP UPKI dan duduk di dalam PP KI[1].

B. Pe mikiran Islam Agus Salim


Pemikiran H. Agus Salim mengenai agama Islam bersifat progres if dan
liberal. Agus Salim mengenal Islam dari pamannya yaitu Syekh Ahmad Khatib
yang merupakan seorang imam dan guru mazhab Syafi’i di Mesjid Haram,
Salim mempelajarinya saat dia bertugas menjadi penerjemah pada konsulat
Belanda di Jeddah. Pemikiran dan pemahamannya tentang Islam ini dapat kita
lihat dari ceramahnya di Universitas Cornell pada 1953 yang merupakan sebuah
perguruan tinggi papan atas di Amerika Serikat yang terletak di Ithica dan
pernah menjadi pusat kajian terbaik tentang Indonesia. Karena ceramahnya itu,
Agus Salim disebutkan sebagai perintis pemikiran neomodernisme di
Indonesia. [2] Dalam ceramahnya itu dia memperlihatkan pola pemikirannya
tentang Islam yang bersifat progresif dan liberal itu.
P ola pemikiran Salim yang terlihat dalam ceramahnya pada Universitas
Cornell itu dapat kita lihat dari caranya memberi pemahaman dan mengenalkan
Islam kepada masyarakat yang ada di tempat itu yang kebanyakkan tidak
mengenal Islam secara mendalam. Menurut Salim kita seharusnya mengenalkan
Islam dengan cara meneikkan Islam itu sendiri tanpa menjatuhkan agama lain
dan juga membanding- bandingkannya.
Mengenai Al-Quran, Agus Salim berpendapat bahwa isi dari Al-Quran itu
harus kita pahami secara kontekstual yaitu sesuai dengan tempat dan waktunya,
168

dan dia juga menyatakan bahwa Al-Quran harus dibaca berulang-ulang untuk
dapat mengerti isinya. Agus Salim mengungkapkan suatu pemahaman Islam
yang salah yang terjadi di Indonedia pada 1953 yang pada waktu itu sebagian
besar penduduknya hidup dalam sektor pertanian, saat itu sektor agama sangat
dikuasai oleh guru pengajar Islam di pondok-pondok pesantren dan surau yang
terpaku pada fikih, yang tidak mengalami perubahan berarti dan karena itu
tidak menampung perkembangan dinamika dunia. Menurut Salim dari situlah
muncul kecenderungan konservatif yang sulit menerima inovasi untuk
dipertautkan dengan pikiran keagamaan, yang akibatnya untuk dapat
membedakan apa yang dapat diterima atau tidak adalah dengan menolak semua
hal yang dibawa oleh pemikiran asing dan nir-islami.[3]
Agus Salim juga mengungkapkan pemikirannya mengenai ibadat, menurutnya
ibadat itu harus dilaksanakan dengan dorongan niat dan pelaksanaan yang
ikhlas, inilah yang terutama dipegang dalam melaksanakan ajaran Islam.
Pemikirannya yang menunjukkan perspektif yang progresif terlihat dari
perkataannya bahwa teks dari Al-Quran harus dimaknai secara kontekstual, dan
kita dapat melihat contohnya pada pemikiran Salim mengenai masalah jilbab
atau kerudung yang terdapat pada surat Al-Ahzab ayat (59), di sini Agus Salim
mengisyaratkan pemahaman yang lebih kontekstual dengan memperhitungkan
sebab turunnya (Azbabul-nuzul) ayat tersebut. Menurutnya anjuran pemakaian
jilbab bagi perempuan Muslim tersebut dalam konteks waktu itu dimaksudkan
untuk menugaskan identitas kulturalnya. Pandangan Islamnya juga muncul
dalam pidatonya yang keras tentang harem dan cadar, dia mengatakan saat itu
bahwa salah satu kecondongan adalah memisahkan laki-laki dan perempuan
dalam setiap rapat JIB. Kaum perempuan disembunyikan di belakang sebuah
tabir, yang menurutnya kebiasaan ini adalah kebiasaan bangsa Arab dan tidak
berasal dari perintah Islam. Karena itu juga Agus Salim menolak asosiasi tabir
dengan syahwat seperti yang diklaim oleh kalangan konservatif dan
fundamentalis. Salim berpendapat bahwa persoalan tabir itu mencerminkan
kepatutan sosial ketika berhubungan dengan para istri yang dipandang sebagai
ibu dari kaum Muslim. Inilah yang menyebabkan Salim berani membongkar
tabir dalam suatu rapat JIB.[4]
P andangan Agus Salim mengenai hubungan Islam dan negara belum dapat
ditemukan jawabannya dengan tuntas, namun tentang surat yang dikirimkan
kepada M. Roem tertanggal 13 Februari 1982, terdapat hipotesis tentang Salim
yang dituliskan oleh Syafi’i Maarif, yaitu :
1. Pertama, Salim dengan ketajaman intelektualnya telah mampu melihat
bahwa penciptaan suatu negara Islam di tengah-tengah rakyat yang lebih dari
90 persen mesih buta huruf tidak bakal berjalan baik. pondasi yang kukuh,
religio-intelektual, mutlak diperlukan untuk bangunan sebuah negara Islam
modern.
2. Kedua, barangkali Salim juga dalam satu segi dapat mengikuti jalan
pikiran pihak nasionalis bahwa sebuah deklarasi negara Islam pada saat-saat
kritis masa itu dapat memperlambat pencapaian kemerdekaan dan sebagian
kelompok minoritas yang dominan di bagian-bagian yang cukup strategis di
Tanah Air akan menarik diri dari negara yang bakal lahir.
169

3. Ketiga, imbangan kekuatan dalam BP UPKIyang hanya berjumlah 20


persen saja dari 68 anggota yang mendukung ide negara Islam; bila distem,
tidak dimungkinkan pihak Islam menang secara demokratis.[5]
Dari hal di atas kita dapat melihat bagaimana pemikiran Salim mengenai
pembangunan negara Islam saat itu.

C. Pemikiran Politik Agus Salim


Dalam langkah awalagus Salim di sarekat Islam (SI), setelah beliau
terpilih sebagai pengurus besar SI, karir politik and percikan idenya sangat
diperhitungkan oleh kawan maupun lawannya. Dimulai denga gagasannya
untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang bertujuan untuk menyebarluaskan
tujuan dan cita-cita perjuangan SI gar rakyat mengetahuinya.
Dalam pemikiran ideology Agus Salim menolak konsep-konsep
kapitalisme, komunisme (sosialisme marxis) dan nasionalisme sekuler
(duniawi). Menurut beliau semua itu pada dasrnya bersumber dari paham
materialisme yang dikembangkn oleh dunia Barat dalam rangka mengganti
kesetiaan tertinggi bukan pada ajaran agama, melainkan pada bangsa. Sebagai
alternative ia menyodorkan paham Sosialisme Islam yang mengajarkan bahwa
semua pihak akan menikmati kebahagiannya, yaitu bagi yang bermodal besar
harus membantu yang lemah atau tidak mampu. Beliau mengatakan “tujuan
Islam yaitu persamaan manusia, keadilan, yang sempurna dan ikhtiar serta
usaha bersama, kebajikan orang bersama”.
Dalam berorganisasi menyatakan bagaimana seharusnya sebuah
organisasi yang kuat berdiri, diantaranya yaitu:
1. Adanya kepercayaan serta prinsip-prinsip yang diakui sebagai
milik bersama.
2. Adanya toleransi yang berarti menghargai pendapat dan keyakinan
orang lain.
3. Adanya permusyawaratan dalam mengambil keputusan-keputusan
yang berhubungan dengan rakyat bersama yang dimaksud adalah
menguatkan persatuan hati, kehendak, dan mendidk serta
pengertian keterikatan dalam persatuan.
Mengikuti beberapa pemikiran Hadji Agus Salim tentu saja tidak dapat
dipisahkan dengan organisasi Sarekat Islam dan Jong Islamieten Bond. SI
memang cenderung bergerak di bidang politik tetapi tujuan jangka panjangnya
bukanlah kemerdekaan sepenuhnya. Dapat dilihat bagaimana pemikiran Salim
tentang perjuangan untuk mencapai pemerintahan sendiri atau memperoleh
kemerdekaan. Menurutnya, kemerdekaan itu tergantung kepada usaha rakyat
bumiputra. Salim menolak pendapat yang statis yaitu menunggu saja
kemerdekaan yang akan diberikan oleh bangsa kolonial Belanda.
“Bangsa yang hendak mencapai kemerdekaannya yang hendak menurut kekuatan dan
kecakapan akan berdiri sendiri, tak harus senantiasa menadahkan tangan menantikan pemberian
orang saja, melainkan harus menggerakkan segala tenaganya dan berusaha dengan sekuat-
kuatnya. Sebelum kita membuktikan bahwa kita kuat dan pandai mengichtiarkan segala
keperluan kita sendiri, tidaklah layak kita beroleh kemerdekaan akan berdiri sebagai bangsa
sendiri”.[6]
170

Terhadap sikap Belanda yang mengatakan bahwa kemajuan kita harus


berangsur-angsur karena bangsa kita belum matang memperoleh kemerdekaan,
perlu terlebih dahulu belajar Ilmu Pengetahuan. Dalam masalah ini Agus Salim
berpendapat bahwa kemajuan dan kemerdekaan suatu bangsa tidak tergantung
kepada kecerdasannya dalam Ilmu Pengetahuan melainkan kepada kekuatannya
akan memaksa bangsa-bangsa lain akan mengakui kemerdekaanny dan
ketinggiannya derajat itu.[7]Hal ini bukan berarti Salim menapikan Ilmu
Pengetahuan. Menurutnya, Ilmu P engetahuan memang perlu tetapi bukan
menjadi syarat bagi kemerdekaan suatu bangsa melainkan sebagai hasil dari
kemerdekaan.

D. Pe ranan dan Kiprah Politik Agus Salim

1. Sarekat Islam

P eranan Agus Salim berkaitan dengan pemikirannya dalam Sarekat Islam


diantaranya adalah mengenai keberhasilan usahannya dalam memebersihkan
tubuh Sarekat Islam dari unsur komunis. Selain itu pula ia juga lah yang
berpengaruh dalam menggariskan kebijakan dan strategis perjuangan Sarekat
Islam terutama menganai warna keislaman pada tubuh Sarekat Islam yang
diwujudkan dalam Keterangan Asas (Beginsel Verk laring).

Membersihkan tubuh Sarekat Islam dari unsur Komunis


Permasalahan ini sudah dimulai sejak tahun 1917 dimana telah
terjadi perselisihan antara golongan komunis dengan golongan Islam.
Diantaranya masalah perdebatan mengenai permasalahan Indie Weerbaar,
selain itu pula masalah keikutsertaan Sarekat Islam terhadap lembaga
Volk sraad, dimana golongan Komunis sangat menentangnya.
Golongan komunis sebagian besar dari Sarekat Islam Semarang,
diantara tokoh-tokohnya adalah Darsono dan Samaun. Yang mana keduanya
sangat bertentangan dengan Agus Salim terutama mengenai arah perjuangan
dari Sarekat Islam.
Puncak-puncak ketegangan mulai nampak ketika pada kongres CSI
tahun 1919 (centraal Sarekat Islam) mulai diperbincangkan masalah disiplin
partai oleh kongres pada waktu itu. Yang mana secara tidak langsung dengan
diberlakukannya disiplin partai (Partij Discipline) maka usaha Agus Salim
dalam menyingkirkan golongan komunis dapat terlaksana. Namun tentunya
usaha Agus salim tidak berjalan mulus. Diantaranya perbedaan pendapat
dengan Tjokroaminoto. Dimana Tjokroaminoto lebih berpandangan bahwa ia
lebih menghutamakan persatuan dikalangan Sarekat Islam sehingga pun
menagguhkannya. Ia lebih mengutamakan persatuan di tubuh SI ketimbang
perbedaan yang menurutnya bukanlah sesuatu yang prinsip. Berbeda dengan
Salim. Ia berpendapat, masalah P KI sangatlah prinsip, karena menyangkut
akidah
Sehingga baru pada tahun 1921 ide disiplin partai dimunculkan kembali
dalam kongres yang dipimpin oleh Agus Salim, yang kebetulan pada waktu itu
171

Tjokroaminoto tidak hadir karena sedang ditahan oleh pemerintah Hindia


Belanda.P eranan Salim di SI sangat menonjol terutama dalam merumuskan
kebijakan dan strategi perjuangan organisasi. Hal itu tampak saat ia berusaha
membersihkan orang-orang P KI yang mulai menyusup ke tubuh SI. Usaha
pembersihan itu terkenal dengan istilah "Disiplin Partai".
Soal asas Salim menyatakan, "Tidak perlu mencari isme-isme lain
yang akan mengobati penyakit gerakan. Obatnya ada di dalam asasnya sendiri,
asas yang lama dan kekal, yang tidak dapat dimubahkan orang, sungguhpun
sedunia telah memusuhi dengan permusuhan lain. Asas itu adalah Islam."
Dalam hal P KI, Salim meminta agar Kongres mengeluarkannya dari
SI. Sambil mengutip ayat al-Qur'an Salim menegaskan, "Di dalam al-Qur'an
terkandung perintah yang melarang kita bersaudara, yakni berikatan lahir batin
dengan orang yang tidak sama keyakinan dengan kita. Karena mereka selalu
hendak menjerumuskan kita dan mereka suka bila kita menderita bencana."
Menanggapi Salim, Semaun menjawab bahwa SI perlu taktik yang lebih luas.
Selama ini, katanya, SI hanya mampu mengumpulkan orang Islam saja buat
bekerja bersama-sama membela hak rakyat. Padahal, selain Islam masih ada
orang lain yang jumlahnya tidak sedikit. "PKI sudah nyata bisa membawa
orang-orang Ambon, Manado, dan lain-lain rakyat Hindia yang tidak beragama
Islam. Bilangan mereka tidak sedikit, pengaruhnya harus pula dihargakan. Di
sini PKI sudah membuktikan taktiknya, bekerja dengan orang Islam Kristen.
Kongres akhirnya mensahkan keputusan disiplin partai dan Islam sebagai asas
SI. Akibatnya, PKI harus keluar dari SI. Tak lama kemudian, Semaun dan
Darsono membentuk SI sendiri yang terkenal dengan sebutan "SI Merah".

Memberi nuansa Islam yang k ental terhadap organisasi Sare kat Islam
Usahanya dimulai dengan merumuskan keterangan asas yang
merupakan arah dan tujuan dari organisasi SI pada kongres tahun 1919 yang
kemidian disyahkan pada kongres tahun 1921. Hal yang dilakukan salim
merupakan penegasan kembali terhadap keterangan asas yang telah lebih
dahula ada yang dibuat tahun 1917.
Menurutnya penegasan kembali terhadap keterangan asa pada organisasi SI
perlu sebab islam merupaakan alternative utama bagi masyarakat Hindia
Belanda untuk melakukan perubahan.
Sebab keterangan asas sebelumnya kurang menjelaskan posisi islam
yang lebih luas. Sebab pada keterangan asas terdahulu mengisyarata kan bahwa
sebaiknya pemerintahan atau Negara tidak dicampuri oleh masalah agama.

2. Jong Islamie te n Bond (JIB)


Jong Islamieten Bond atau Persatuan Pemuda Islam dilahirkan dalam
lingkungan kelompok terpelajar yang mendapat pendidikan Barat.
Kelahirannya merupakan reaksi sekelompok pelajar terhadap kalangan pelajar
muslim lainnya yang bersikap acuh tak acuh terhadap agama Islam. Atas dasar
keinginan untuk mengembalikan Islam sebagai ajarannya, sebagian pelajar
172

muslim yang tidak ingin terhanyut dalam pola kehidupan Barat akhirnya
mendirikan JIB.
Peran Agus Salim dalam Jong Islamieten Bond adalah dengan
memeberikan gagasan-gagasan tentang modernisasi Islam dan politik. Pengaruh
Salim sebagai seorang modernis dapat terlihat dalam beberapa tulisannya di
majalah Het Licht/An-nur (cahaya) yang diterbitkan oleh JIB. Kemudian JIB
muncul sebagai “pabrik” dengan intelek-intelek mudanya seperti: Mohammad
Roem, Mohammad Natsir, Kasman Singadimedjo dan AR Baswedan.
Agus Salim yang seorang nasionalis sejati, menyatakan pendapatnya
tentang organisasi ini dalam majalah Het Licht: didirikannya JIB merupakan
titik balik terhadap segala kehidupan itu, kita di sini dihadapkan dengan tekad
untuk berorientasi kepada sesuatu yang asli dari bangsa kita, dengan hasrat
mengagunggkan sesuatuyang asli dalam pandangan kita sendiri; tidak
mengagungkan segala apa yang berasal dari asing.
Pemikiran dan tindakan Hadji Agus Salim yang tegas dalam Jong
Islamieten Bond terlihat pada kongres JIB di Solo pada 1927. salim dengan
tegas “tidak ragu-ragu bertindak secara demonstratif dan menonjol,
membongkar hijab atau tabir yang memisahkan para hadirin wanita dari para
hadirin pria”. Menurutnya, pemisahan dengan menggunakan tabir adalah
pengucialn terhadap kaum wanita.

3. Perge rakan Pe nyadar


Setelah kongres PSII selesai, Agus Salim mengatakan akan tetap bekerja
menyumbangkan tenaga dan fikirannya untuk kepentingan umat Islam
Indonesia. Karena terjadi konflik diantara pemimpin PSII, ia melakukan
langkah politik baru yaitu membentuk badan oposisi bernama Barisan Penyadar
PSII (BP.P SII). Barisan P enyadar ini dimaksudkan untuk mengajak supaya
setiap anggota partai sadar akan hak-haknya dalam organisasi yang selama ini
dilanggar oleh Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah.[8]
Salim dan Barisan Penyadar giat mengadakan pertemuan-pertemuan
mempropagandakan politik kooperasidan mendesak agar partai mengubah
haluannya. Aksi oposisi Salim melalui Barisan ini menggoyahkan kedudukan
Abikoesno. Oleh karena itu, setelah mengadakan rapat, pada tanggal 13
Februari 1937 diberlakukan pemecatan terhadap Salim, Sangadji, Sabirin dan
Roem serta 24 orang tokoh Barisan P enyadar lainnya.
Dengan dikeluarkannya tokoh-tokoh Barisan Penyadar semakin
membulatkan tekad mereka untuk membentuk partai sendiri. Kemudian
diadakan konferensi yang menghasilkan keputusan yaitu membentuk partai “
Pergerakan P enyadar” . salim menyatakan bahwa partai ini merupakan
pergerakan merdeka dan berdiri sendiri, mempunyai bentuk organisasi sendiri,
asas, haluan politik serta program-program sendiri. Konferensi juga
menetapkan H. Agus Salim sebagai pemimpin Umum dan AM. Sangadji
sebagai wakilnya. Sedangkan Moh. Roem dipilih untuk menduduki jabatan
Presiden Partai.
173

Daftar Pustaka
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam
dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:LP3ES, 1985
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, (cetakan ke 8)
1996, Jakarta;LP3ES
Drs. Suradi, HA Salim dan Konflik politik dalam Sarekat Islam, 1997, Jakarta:
Sinar Harapan
Taufik Abdullah, aswab mahasin, Daniel Dhakidae, manusia dalam Kemelut
Sejarah, jakarta:LP3ES, 1978
Solihin Salam, HA Salim, Hidup dan P erjuangannya, Jakarta, 1976
Depdikbud, Tokoh-Tokoh Pemik ir Pah am Kebangsaan : haji Agus Salim dan
Muhammad Husni Thamrin, Jakarta, 1995
Pnitia Buku P eringatan, Seratus tahun Haji Agus Salim, Jakarta: Sinar Harapan,
1996.
[1] DEPD IKBUD, Tokoh-tokoh pemikir paham k ebangsaan: Ha ji Agus Salim d an
Muh ammad Husni Tha mrin, Jakarta. 1995, hal 18
[2] Kompas.
[3] ibid
[4] ibid
[5] Islam dan masalah kenegaraan
[6] M r Mohammad Roem., 1954, Djedjak Langkah Hadji Agus Salim: Pikiran Karangan, Utjapan
dan Pendapat Beliau dari Dulu sampai Sekarang, Jakarta: Tinta Mas, hlm 18
[7] Ibid, hlm 35
[8] Suradi., 1997, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, hlm 68

Sumber: Ahmad Fathul Bari. 2007. ”Agus Salim”.


http://ahmadfathulbari.multiply.com/journa l/item/10 diakses tanggal 7
Agustus 2009.
174
175
176
177
178
179

Journal article by Anton Ploeg; Journal of Southeast Asian


Studies, Vol. 33, 2002

Be tween Orientalism and Science . The Royal Institute of Linguistics and


Anthropology in its Historic Context 1851-2001

by Anton Ploeg
Tussen Orientalisme en Wetenschap. Het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-
en Volkenkunde in Historisch Verband 1851-2001 [Between Orientalism and
Science. The Royal Institute of Linguistics and Anthropology in its Historic
Context 1851-2001]
By MAARTEN KUITENBROUWER
Leiden: KITLV P ress, 2001. P p. xi, 362. P hotos, Notes, Appendices, Index.
The Koninklijk Instituut or KITLV was founded in 1851 on the initiative of J. C.
Baud, then a former minister for colonies. Baud was a 'conservative' who wanted
colonial rule to directly benefit the state rather than private entrepreneurs. He
conceived of the KITLV as a way to promote scholarly inquiry about the
colonies with the aim of a 'just, enlightened, and benevolent government' (p. 31).
Accordingly, the KITLV was to become not an independent research institute,
but an integral part of the colonial establishment.
From the start the KITLV published a journal, Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde [Contributions to the Linguistics , Geography and Ethnology (of
the colonies)] -- BKI for short -- and occasional publications entitled Werken
[Works]. The BKI commemorated its 150th volume in 1994 -- volumes have not
always coincided with calendar years -- and the Werken have proliferated into a
number of series and, recently, occasional publications once again, such as the
one under review. Of the three disciplines mentioned in the Dutch name of the
institute, geography has received the least attention, due to the establishment of
the Royal Dutch Geographical Society in 1873. An impressive amount of work
was done in linguistics by both taalambtenare n, linguists employed by the
colonial administration, and missionaries. In addition, the KITLV has furthered
the study of disciplines such as archaeology, history and law.
An institute as influential for our understanding of Indonesia as the KITLV
deserves an analytical history, and this has been provided in this book marking
the 150th anniversary of the institution. Marteen Kuitenbrouwer, whose previous
work has focused on Dutch imperialism and the expansion of Dutch colonial
rule in the late nineteenth and early twentieth centuries, and with what he has
called 'The Discovery of the Third World' in the second half of the twentieth
century, is knowledgeable about the context in which the KITLV operated.
According to Kuitenbrouwer's account, the KITLV remained part of the colonial
establishment until 1942. From at least 1870 to 1966 it was housed in The
Hague, the centre of government. Its collections -- books, documents and
photographs -- grew in size and importance, thus facilitating research while also
providing an outlet for publication. Among the board members were prominent
politicians, colonial and metropolitan administrators and businessmen. For
180

example, J. W.Ijzerman, a railway builder in Java and Sumatra, raised a


substantial amount of capital from among his business relations to see the
KITLV through financial setbacks. That capital, which has since multiplied
many times over, is still among the KITLV's assets. Academics, particularly
those from Leiden, have also been prominent in running the KITLV during the
course of the twentieth century. These academics were usually progressive in
colonial matters, advocating ethical policies and accommodation with the
Indonesian nationalist movement. Hence the institute and its board members
included people with widely divergent views.
In the post-colonial era, Kuitenbrouwer argues, the KITLV was revitalised on
the initiative of E. M. Uhlenback, in close cooperation with A. J. Piekaar and A.
Teeuw. Uhlenback was a professor of Javanese and of theoretical linguistics at
Leiden University, and also a leading administrator of that university. Piekaar
was a former colonial administrator who continued to work for the government
after his return to the Netherlands following World War Two. From 1956 he was
in charge of Higher Education and Sciences, where he secured the government
subsidy that became the KITLV's main source of income. Piekaar also managed
to retain Indonesian Studies at Leiden University, although student numbers had
dropped severely, while Teeuw was a professor of Indonesian language and
literature in Leiden beginning in 1957. The three held prominent positions
within the institute, and they rotated the chairmanship among them from 1962 to
1983, except for one year. From the 1950s onward, Uhlenback and Teeuw were
editors of the B KI and/or the expanding series of monographs.
Uhlenback, Teeuw and P iekaar pushed for internationalisation, for turning
KITLV into a research institute, and for a shift to Leiden, where the university
offered accommodation in one of its buildings. This transition took place in 1966
(p. 226n). Around that time the ...

Sumber: http://www.questia.com/googleScholar.qst?docId=5001785520 diakses


tanggal 14 April 2010.
181

Title : Overview of Indonesian Islamic Education: A Social,


Historical and Political Perspective
Authors: Zakaria, Rusydy
Abstract: The aim of this study is to examine how the historical
genealogy of Islamic educational tradition, particularly the
tradition of teaching and learning, has contributed to the
development of Islamic education in Indonesia. By drawing
together in an analytic way a historically based description of
the social and political circumstances surrounding Indonesian
Islamic education, the study discusses some significant
issues concerning the religious base, knowledge base,
structural form, and the pedagogical approach of Indonesian
Islamic education, all of which are important to the
development of a modern form of Islamic education. The
argument of the thesis is that the existing values of the
Islamic tradition in education, particularly evident in
Madrasah schools, provide a valuable basis for further
developing and reconstructing an effective Islamic education
system in Indonesia. However, there is also a s trong need to
construct an Islamic education curriculum in Indonesia that
can meet the challenge posed by the c ircumstances
generally understood as 'modernity'. The quality of teaching
and learning in the Madrasah are very much influenced by
the quality of the wider Islamic education programme. Any
change in the curriculum of Islamic education will thus have
significant effects on the quality of the Madrasah schools in
Indonesia. This thesis will thus conclude by suggesting some
implications for further development of Islamic education that
arise from the study. This is a qualitative study using an
historical genealogical approach to discover, understand and
analyze the challenges currently facing Islamic education In
Indonesia. The techniques for collecting data involved,
primarily, a critical reading of historical and contemporary
policy documents. Primary and secondary sources were also
collected, studied and subjected to a critical reading in the
production of this account of Indonesian Islamic education.
Keywords: Islamic education in Indonesia
Islamic education curriculum

Sumber: https://dr.ntu.edu.sg/handle/10220/5932 diakses tanggal 14 April 2010.


182

Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 9, No. 1


(Mar., 1978), pp. 99-114

Sumber: http://www.jstor.o rg/stable/20070247 diakses tanggal 14 April 2010.


183
184

Anda mungkin juga menyukai