Anda di halaman 1dari 41

Tugas Sosiologi Agama

KORUPSI

Nama : Pris Valentino Barus

Nim :

SEKOLAH TINGGI Theologia greja


methodis Bandar baru

KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang maha Esa, karena atas
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah “, Korupsi “, dalam Mata Kuliah
Sosiologi Agama. Makalah ini di buat sesuai dengan tujuan yang akan di capai pada setiap
perkuliahan yang di laksanakan. Penulis merasa makalah ini perlu dan sangat bermanfaat
bagi kalangan umum, terkhusus bagi kalangan mahasiswa sebagai bahan gambaran dalam
bersosialisasi.
      Dengan menyelesaikan Makalah ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan.
Namun kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya.  Dengan selesainya
makalah ini, Semoga dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.
       Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran, dari semua pihak yang membaca. Kritik dan saran yang akan
anda berikan akan berguna bagi penulis untuk membuat makalah menjadi lebih baik . terima
Kasih

                                                                        Bandar Baru, 12 Maret 2014

                                                                                Penulis,

DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya


dalam melaksanakan pembangunan oleh bangsanya. Pembangunan sebagai suatu proses
perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan
keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia
(SDM), yakni ( kualitas orang-orang yang terlibat sejak dari perencanaan samapai pada
pelaksanaan) dan pembiayaan (keuanganya). Diantara dua faktor tersebut yang paling
dominan adalah faktor manusianya.

Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup kaya dilihat dari keanekaragaman
kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, Negara tercinta ini dibandingkan dengan
negara lain di kawasan ASEAN bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan
termasuk negara yang miskin. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya
kualitas sumber daya manusianya(SDM). Kualitas tersebut bukan hanya dari segi
pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.
Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara
menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi
social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan karupsi sedah menjadi kebiasaan dari aparat-
aparat tertentu. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat
besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan
keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan
dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lainsebagainya di luar batas kewajaran. Dan
bukan hanya itu saja korupsi juga terjadi pada aparat-aparat lain bahkan korupsi terjadi pada
kalangan rendahan, misalnya kepala desa bahkan sampai kepada ketua Rt dan masih banyak
yang lainnya.

Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di


seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas, rasa malu,serta
kurangnya pendidikan pancasila sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan
keserakahan sehingga tidak memikirkan masyarakat yang mesih banyak mengalami
kemiskinan.
Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain jika bangsa
kita ingin maju, jawabanya adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil
memberantas korupsi, atau paling tidak dapat mengurangi kasus-kasus korupsi sampai pada
titik yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar
ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena
korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawanegara ke jurang
kehancuran Negara Indonesia.

1.2. Identifikasi Masalah

1) Apakah pengertian dari korupsi?


2) Apa yang melatar belakangi terjadinya korupsi?

3) Apakah macam-macam dari korupsi?

4) Apakah dampak dari korupsi?

5) Apa yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi?

6) Bagaimana upaya-upaya yang di lakukan dalam meyikapi korupsi?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah
perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat,
dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Menurut Dr. Kartini Kartono (1983), korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri
Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik
pemaknaan. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan
Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.

Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga
bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas
mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk
menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan
dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).

Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan
umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-pelanggaran norma-
norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan,
penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.

Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan
pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi
menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang
memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor
(domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau
kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan
tindak korupsi.

Mengutip Robert Redfield (1963), korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya
dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little
culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan
subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat
budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada
budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun
tetap ada bocoran budaya.
2.2. Sebab-sebab Korupsi

Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan
tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri.
Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara
lain yaitu :

 Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu


memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
 Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
 Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan
yang diperlukan untuk membendung korupsi.
 Kurangnya pendidikan.
 Adanya banyak kemiskinan.
 Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
 Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
 Struktur pemerintahan.
 Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi
muncul sebagai penyakit transisional.
 Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne (1993) atau sering disebut GONE
Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :

 Greeds(keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara


potensial ada di dalam diri setiap orang.
 Opportunities(kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan.
 Needs(kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-
individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
 Exposures(pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang
dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.

Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi,
yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang
melakukan korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan
Exposures berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi,
masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
Sedangkan  Cressey  (1953)  melalui  penelitiannya 
menyatakan bahwa seseorang melakukan kecurangan disebabkan oleh: 
(1) Tekanan  (pressure)  untuk  melakukan  kecurangan  lebih  banyak tergantung  pada 
kondisi  individu,  seperti  sedang  menghadapi masalah  keuangan,  kebiasaan  buruk 
seseorang  seperti  berjudi  danpeminum;  tamak  atau  mempunyai  harapan/tujuan  yang 
tidak  realistic
(2) Kesempatan  (opportunity), menurut penelitian yang dilakukan oleh  IIA  Research 
Foundation  tahun  1984  dengan  urutan  paling  sering terjadi adalah: 
a. Terlalu mempercayai bawahan;  
b. Kelemahan prosedur otorisasi dan persetujuan manajemen;  
c. Kurangnya  penjelasan  dalam  informasi  keuangan  pribadi (kecurangan perbankan); 
d. Tidak ada pemisahan antara pemberian wewenang transaksi dan penjagaan aset; 
e. Tidak ada pengecekan independen terhadap kinerja; 
f. Kurangnya perhatian terhadap uraian secara rinci (detail); 
g. Tidak  ada  pemisahan  antara  pemegang  aset  dan  fungsi pencatatan; 
h. Tidak ada pemisahan tugas akuntansi; 
i. Kurang jelasnya pemberian wewenang; 
j. Departemen/bagian jarang diperiksa; 
k. Pernyataan tidak ada benturan kepentingan tidak disyaratkan; 
l. Dokumen dan pencatatan kurang memadai. 
(3) Pembenaran  (Rationalization)  terjadi  dalam  hal  seseorang  atau sekelompok  orang 
membangun  pembenaran  atas  kecurangan 
yang dilakukan. Pelaku fraud biasanya mencari alasan pembenaran bahwa yang dilakukannya 
bukan pencurian atau kecurangan, seperti: 
a. Saya  benar‐benar  perlu  uang,  akan  dikembalikan  setelah menerima gaji
b. Saya  tidak  merugikan  siapa‐siapa,  perusahaan  tidak  bangkrut karenanya; 
c. Saya mau manyumbangkannya untuk orang tidak mampu; 
d. Semua orang juga melakukannya. 

Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono (2009), faktor penyebab seseorang melakukan


tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak,
dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman,
kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya).
Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya
korupsi di Indonesia, yaitu :

1. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.


2. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.
3. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.

Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi
antara lain sebagai berikut :
 Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
 Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
 Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.
 Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan
hukum.
 Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan
yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
 Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum.
 Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
 Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.
 Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam
masyarakat.

2.3. Jenis-Jenis Korupsi


Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun
2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat 33 jenis tindakan yang
dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7
kelompok yakni :

1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara


2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi
Menurut Aditjandra dari definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan menjadi
dihasilkan tiga macam model korupsi (2002: 22-23) yaitu :

 Model korupsi lapis pertama


Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari pengusaha
atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau
pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana
prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya.

 Model korupsi lapis kedua


Jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan
perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada korupsi dalam
bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring
korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional.

 Model korupsi lapis ketiga


Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan
aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga
internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara
yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jaring-jaring korupsi
internasional korupsi tersebut.

2.4. Dampak Korupsi

1. Lesunya Perekonomian

Lesunya Perekonomian Korupsi memperlemah investasi dan pertumbuhan ekonomi Korupsi


merintangi akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas Korupsi
memperlemah aktivitas ekonomi, memunculkan inefisiensi, dan nepotisme Korupsi
menyebabkan lumpuhnya keuangan atau ekonomi suatu negara Meluasnya praktek korupsi di
suatu negara mengakibatkan berkurangnya dukungan negara donor, karena korupsi
menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing

2. Meningkatnya Kemiskinan

Meningkatnya Kemiskinan Efek penghancuran yang hebat terhadap orang miskin: Dampak
langsung yang dirasakan oleh orang miskin Dampak tidak langsung terhadap orang miskin
Dua kategori penduduk miskin di Indonesia: Kemiskinan kronis (chronic poverty)
Kemiskinan sementara (transient poverty) Empat risiko tinggi korupsi: Ongkos finansial
(financial costs) Modal manusia (human capital) Kehancuran moral(moral decay) Hancurnya
modal sosial (loss of capital social)

3. Tingginya angka kriminalitas

Tingginya angka kriminalitas Korupsi menyuburkan berbagai jenis kejahatan yang lain dalam
masyarakat. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan. Menurut
Transparency International, terdapat pertalian erat antara jumlah korupsi dan jumlah
kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka angka kejahatan yang terjadi
juga meningkat. Sebaliknya, ketika agka korusi berhasil dikurangi, maka kepercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement juga meningkat. Dengan
mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan yang lain.

3. Demoralisasi
Demoralisasi Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah dalam penglihatan
masyarakat umum akan menurunkan kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Jika pemerintah
justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula unsur hormat dan trust (kepercayaan)
masyarakat kepada pemerintah. Praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di
kalangan warga masyarakat. Menurut Bank Dunia, korupsi merupakan ancaman dan duri
bagi pembangunan. Korupsi mengabaikan aturan hukum dan juga menghancurkan
pertumbuhan ekonomi. Lembaga internasional menolak mebantu negara-negara korup. Sun
Yan Said: korupsi menimbulkan demoralisasi, keresahan sosial, dan keterasingan politik.

4. Kehancuran birokrasi

Kehancuranbirokrasi Birokrasi pemerintah merupakan garda depan yang behubungan dengan


pelayanan umum kepada masyarakat. Korupsi melemahkan birokrasi sebagai tulang
punggung negara. Korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang menyeluruh de dalam
birokrasi. Korupsi dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam dua kecenderungan umum:
yang menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri. Transparency
International membagi kegiatan korupsi di sektor publik ke dalam dua jenis, yaitu korupsi
administratif dan korupsi politik.

5. Terganggunya Sistem Politik dan Fungsi Pemerintahan

Terganggunya Sistem Politik dan Fungsi Pemerintahan Dampak negatif terhadap suatu sistem
politik : Korupsi Mengganggu kinerja sistem politik yang berlaku. Publik cenderung
meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga yang diduga terkait dengan tindakan korupsi.
Contohnya : lembaga tinggi DPR yang sudah mulai kehilangan kepercayaan dari Masyarakat
Lembaga Politik diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai kepentingan pribadi dan
kelompok.

6. Buyarnya Masa Depan Demokrasi

Buyarnya Masa Depan Demokrasi Faktor Penopang Korupsi ditengah Negara Demokrasi
Tersebarnya kekuasaan ditangan banyak orang telah meretas peluang bagi merajalelanya
penyuapan. Reformasi neoliberal telah melibatkan pembukaan sejumlah lokus ekonomi bagi
penyuapan, khususnya yang melibatkan para broker perusaaan publik. Pertambahan sejumlah
pemimpin neopopulis yang memenangkan pemilu berdasar pada kharisma personal malalui
media, terutama televisi, yang banyak mempraktekan korupsi dalam menggalang dana.

2.6. Kasus Korupsi Terbesar Indonesia Sepanjang Sejarah.

korupsi di indonesia sudah tidak terkendali lagi. bahkan dalam berbagai macam survei
indonesia masuk dalam salah satu daftar negara terkorup di dunia. berbagai macam kasus
korupsi mulai dari yang besar, sedang hingga kasus korupsi kecil terjadi tahun demi tahun
secara terus menerus tanpa bisa dihentikan. hukuman yang ringan menjadi penyebab utama
para koruptor tetap saja menjalankan aksi korupsi. hukum yang diandalkan juga belum
mampu bekerja maksimal, malahan kini hukum sangat mudah untuk dibeli. hal ini bisa dilihat
dari banyaknya aparat hukum yang terlibat kasus suap.
Negara pun menanggung kerugian mulai dari ratusan juta, milyaran hingga trilyunan
rupiah. berbagai macam kasus korupsi kebanyakan tidak menghasilkan hukuman yang
membuat jerah para pelaku/tersangka korupsi. hal ini dikarenakan dikarenakan pelaku
kebanyakan didominasi oleh pejabat negara dan orang orang berduit. kasus korupsi membelit
berbagai macam instansi mulai dari DPR, kepolisian, TNI, Pemerintah dan Menteri,
Kejaksaan, Partai Politik dan masih banyak lagi.

Kasus Korupsi Bank Century 


Dalam laporan BPK ketika itu menunjukkan beberapa pelanggaran yang dilakukan
Bank Century sebelum diambil alih. BPK mengungkap sembilan temuan pelanggaran yang
terjadi. Bank Indonesia (BI) saat itu dipimpin oleh Boediono–sekarang wapres–dianggap
tidak tegas pada pelanggaran Bank Century yang terjadi dalam kurun waktu 2005-2008.
BI, diduga mengubah persyaratan CAR. Dengan maksud, Bank Century bisa
mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kemudian, soal keputusan Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK)–saat itu diketuai Menkeu Sri Mulyani–dalam
menangani Bank Century, tidak didasari data yang lengkap. Pada saat penyerahan Bank
Century, 21 November 2008, belum dibentuk berdasar UU.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga diduga melakukan rekayasa peraturan agar
Bank Century mendapat tambahan dana. Beberapa hal kemudian terungkap pula, saat Bank
Century dalam pengawasan khusus, ada penarikan dana sebesar Rp 938 miliar yang tentu
saja, menurut BPK, melanggar peraturan BI. Pendek kata, terungkap beberapa praktik
perbankan yang tidak sehat.

Kasus Korupsi BLBI


Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan
mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya
penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5
triliun. 
Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang
diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad
Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan
pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru
Soepraptomo? telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun
penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik
banding. Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI,
hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank
Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa),
Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).
Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses
penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam
kasus Abdullah Puteh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi
tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan
kerugian Rp 30 miliar.
Kasus Korupsi PLTU PAITON I Probolinggo
Kasus pidana Paiton I sudah tersedia bukti permulaan yang kuat yakni hasil audit
investigasi BPKP . Kasus dugaan korupsi pengadaan listrik swasta Paiton I di Probolinggo
bermula dari Lmarkup terhadap capital cost sebesar 48 persen dari seluruh nilai proyek yang
sebesar Rp 7,015 triliun. Sebenarnya, Paiton I telah diaudit BPKP dan due diligence SNC-
Lavalin. Kedua lembaga tersebut jelas-jelas menyatakan ada mark up dan rekayasa besar-
besaran pada sisi proses penyiapan listrik swasta dan proses investasinya. Dalam Laporannya,
BPKP membedah secara gamblang proses Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang terjadi,
mulai dari perencanaan, proses mendapatkan Surat Ijin Prinsip, pembiayaan, pelaksanaan,
produksi, distribusi, konsumsi, pembayaran dan berbagai previlege yang didapat dengan
merugikan keuangan negara sekitar Trilyunan rupiah.
Kasus ini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam kasus tersebut bekas
Direktur Utama PLN Zuhal dan bekas Dirut PLN Djiteng Marsudi sudah diperiksa. Menurut
hasil penyelidikan Kejagung, proyek Paiton I dinilai melanggar keputusan presiden mengenai
prosedur pengadaan listrik di lingkungan departemen yang harus melalui prosedur lelang.
Indikasi kolusi terlihat dalam proses negosiasi melalui bukti Surat Menteri Pertambangan dan
Energi tertanggal 13 Februari 1993.Dalam surat itu dinyatakan persetujuan, kesepakatan, dan
nilai prematur yang tak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Penyelidikan kasus Paiton I dihentikan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 2001. Pada
akhir 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan Kejakgung melanjutkan proses
penyidikan kasus PLTU Paiton I dalam sidang praperadilan yang diajukan oleh kelompok
masyarakat. Namun, Kejagung tidak bertindak. Pada akhir 2004, sebuah organisasi non-
pemerintah juga telah melaporkan kasus Paiton I ke KPK, namun anehnya hingga sekarang
lembaga pemberantas korupsi itu tidak melakukan tindakan apapun. 

Kasus Korupsi Soeharto dan keluarganya


Banyak pendapat dari masyarakat mengenai keluarga suharto baik selama menjabat
maupun sesudah lengser tahun 1998. terlepas dari itu suharto dituduh melakukan korupsi dan
menimbulkan kerugian negara trilyunan rupiah. bahkan menurut majalah Time sebesar US$
15 milyar atau Rp. 150 Triliun.

Kasus Korupsi HPH Dan Dana Reboisasi


Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi
mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15 triliun (versi
Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob
Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy
Soeharto. Bob Hasan telah divonis enam tahun penjaradi LP Nusakambangan, Jawa
Tengah. Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek
hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331
miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto,
membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus ini tak jelas kelanjutannya.

Kasus Korupsi Edi Tansil / PT. Golden Key


Eddy Tansil (lahir tahun 1954) adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan
Tionghoa yang keberadaanya kini tidak diketahui. Ia melarikan diri dari penjara Cipinang,
Jakarta, pada tanggal 4 Mei 1996 saat tengah menjalani hukuman 20 tahun penjara karena
terbukti menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar Amerika (sekitar 1,5 triliun rupiah dengan
kurs saat itu) yang didapatnya melalui kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden
Key Group.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara, denda Rp
30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar, dan membayar kerugian negara Rp 1,3
triliun. Sekitar 20-an petugas penjara Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa mereka
membantu Eddy Tansil untuk melarikan diri.

Beberapa Contoh Kasus Korupsi Lainnya :


-Korupsi PSO USO dana PNBP Telco di BP3TI Kominfo, rugikan negara 3 Triliun.
-Korupsi Sektor Pangan pada impor beras BULOG dan korupsi BLBU rugikan negara 3
Triliun, pelaku Jusuf Wangkar staf khusus SBY Bidang Pangan.
-Korupsi Mafia Anggaran DPR yang dilakukan oleh Nazarudin cs di 60-an proyek APBN
sebesar 6.1 Triliun, rugikan negara sekitar 2.5 Triliun.
-Korupsi konversi hutan/tanah negara jadi Perkebunan oleh Torganda Grup di Riau seluas 93
ribu ha. Negara rugi 2.5 T. Pelaku DL Sitorus.
-Korupsi Wesel Ekspor Berjangka (WEB) Unibank tahun 2006. Kerugian US$ 230 juta atau
Rp. 2.3 Triliun. Pelaku Sukanto Tanoto cs.
-Korupsi investasi Kilang Minyak Pertamina di Libya US$ 1.5 Milyar, gagal. Investasi awal
US$ 200 juta lenyap. Negara rugi 2 Triliun.
-Korupsi PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Sudjiono Timan Kerugian Negara ditaksir
US$120 Juta atau Rp. 1.2 Triliun.
-Korupsi Subsidi BBM pada periode presiden SBY yang bocor 30% atau sekitar US$ 5 - 7
milyar (50-70 triliun) per tahun.

Daftar Kasus Korupsi Yang Belum Terselesaikan atau terkatung katung :


1. Kasus PT Jamsostek (2002). Kerugian mencapai Rp 45 miliar. Mantan Dirut PT Jamsostek
Akmal Husein dan mantan Dirut Keuangan Horas Simatupang telah ditetapkan sebagai
tersangka. Proses hukum selanjutnya tidak jelas.
2. Proyek fiktif dan manipulasi data di PT Darma Niaga (2003). Kerugian mencapai Rp 70
miliar. Polisi telah telah tetapkan sebagai tersangka Winarto (direktur utama), Wahyu Sarjono
(direktur keuangan), dan Sudadi Martodirekso (direktur agrobisnis). Proses hukum
selanjutnya tidak jelas.
3. Penyalahgunaan rekening 502 (2003). Kerugian mencapai Rp 20,98 miliar. Mantan Deputi
Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom, pernah menjalani pemeriksaan di Mabes Polri.
Telah ditetapkan sebagai tersangka mantan Gubernur Bank Indonesia
Syahril Sabirin, mantan Ketua BPPN Putu Gede Ary Suta, mantan Ketua BPPN Cacuk
Sudaryanto dan Kepala Divisi Bill of Lading (B/L) Totok Budiarso. Proses hukum
selanjutnya tidak jelas.
4. Karaha Bodas Company (2004). Kerugian mencapai Rp 50 miliar. Jumlah tersangka ada
20 orang dari pejabat Panas Bumi Pertamina dan pihak swasta. Beberapa dintaranya Robert
D. Mac Chunchen, Suprianto Kepala (Divisi Geotermal Pertamina), Syafei Sulaeman (staf
Divisi Geotermal Pertamina). Hanya 2 yang telah dilimpahkan ke pengadilan. Selebihnya
proses hukum selanjutnya tidak jelas
5. Kepemilikan rumah mantan Jaksa Agung, MA Rachman (2004). Rumah senilai 800 juta
belum dilaporkan ke KPKPN . Beberapa orang dipanggil sebagai saksi. Proses hukum
selanjutnya tidak jelas.
6. Pengadaaan genset di NAD (2004). Kerugian mencapai Rp 40 miliar. Mabes Polri telah
menetapkan Wiliam Taylor dan Abdullah Puteh sebagai tersangka. Hanya Wiliam yang
dilimpahkan ke pengadilan. Sedangkan Abdullah Puteh, proses hukum selanjutnyatidak jelas.
Puteh hanya dijerat dalam kasus korupsi pengadaan Heli dan divonis 10 tahun penjara oleh
pengadilan tipikor.
7. Penyewaan crane atau alat bongkar muat kontainer di PT Jakarta International Container
Terminal (JICT) tahun 2005. Kerugian mencapai Rp 83,7 miliar. Direktur PT Jakarta
International Container Terminal Wibowo S Wirjawan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Proses hukum selanjutnya tidak jelas.
8. Proyek peningkatan akademik di Departemen Pendidikan Nasional (2005). Kerugian
mencapai Rp 6 miliar. Ditetapkan tiga tersangka utama adalah Dedi Abdul Halim, Pimpinan
Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akademis di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Depdiknas, dan dua stafnya, yakni Elan Suherlan dan Helmin Untung Rintinton. Proses
hukum selanjutnya tidak jelas.
9. Proyek pengadaan jaringan radio komunikasi (jarkom) dan alat komunikasi (alkom) Mabes
Polri (2005). Kerugian ditaksir mencapai Rp 240 miliar. Mabes telah memeriksa mantan
Kepala Divisi Telematika Mabes Polri Irjen Pol Saleh Saaf. Mabes juga telah ditetapkan
Henri Siahaan sebagai tersangka dan sempat ditahan. Proses hukum selanjutnya tidak jelas.
10. Penyaluran dana fiktif di Perusahaan Umum Percetakkan Uang Republik Indonesia
(Peruri) tahun 2005. Kerugian ditaksir mencapai Rp 2,3 miliar. Tiga orang Direksi Peruri
telah ditetapkan sebagai tersangka (M. Koesnan Martono yang menjabat sebagai Direktur
Utama, Direktur Logistik Marlan Arif, dan Direktur Pemasaran Suparman). Proses hukum
selanjutnya tidak jelas.
11. Dana vaksinasi dan asuransi perjalanan jamaah haji periode 2002-2005 (2005). Kerugian
ditaksir mencapai Rp 12 miliar. Penyidik telah memeriksa 15 orang saksi. Namun proses
hukum selanjutnya tidak jelas.
12. Proyek renovasi Hotel Patra Jasa di Bali (2006). Kerugian ditaksir mencapai Rp 69
miliar. Polda Metro Jaya menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi Patra Jasa.
Selain menetapkan mantan Direktur Utama, Sri Meitono Purbowo atau Tony Purbowo, enam
direksi lainnya ditetapkan sebagai tersangka. Namun Proses hukum selanjutnya tidak jelas.
13. Wesel Ekspor Berjangka (WEB) Unibank yahun 2006. Kerugian ditaksir mencapai US$
230 juta. Diduga melibatkan Komisaris PT Raja Garuda Mas, ST, Proses dilakukan oleh tim
gabungan Mabes Polri dengan Kejaksaan Agung (Kejagung). Proses hukum selanjutnya tidak
jelas.
14. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Tawar, Bekasi, Jawa
Barat senilai Rp 590 miliar pada tahun 2006. Mantan Direktur Utama PT PLN Eddie
Widiono telah ditetapkan sebagai tersangka. Proses hukum selanjutnya tidak jelas. Eddi
Widiono juga dijerat dalam kasus korupsi proyek PLTU Borang, namun kasusnya dihentikan
oleh Kejaksaan.
15. BPR Tripanca Setiadana Lampung pada tahun 2008. Mabes telah tetapkan sebagai
tersangka pemilik BPR. Sugiarto Wiharjo alias Alay, Laila Fang (sekretaris pribadi Alay),
Yanto Yunus (Kabag Perkreditan BPR Tripanca), Pudijono (Direktur Utama BPR), Indra
Prasetya dan Fredi Chandra (staf analisis kredit BPR), Nini Maria (Kasi Administrasi BPR),
dan Tri hartono (Bagian Legal BPR). Proses hukum selanjutnya tidak jelas.
16. Dana Tak Tersangka (DTT) di Provinsi Maluku Utara (2008) senilai Rp 6,9 miliar.
Diduga melibatkan sejumlah pejabat dan mantan gubernur di lingkup pemerintah provinsi
Maluku Utara (Malut). Sebelumnya ditangani Polda Malut dan telah menetapkan dua
tersangka yakni bendahara di Pemprov Malut bernisial RZ dan Karo Keuangan Pemprov
Malut berinisial JN. Proses hukum selanjutnya tidak jelas.
17. Pengadaan jasa konsultan di BPIH Migas (2009). Dugaan korupsi pengadaan jasa
konsultan di BPIH Migas dengan anggaran sebesar Rp 126 miliar untuk tahun anggaran 2008
dan Rp 82 milyar untuk tahun anggaran 2009, yang diduga dilakukan oleh pejabat
dilingkungan BPH Migas.
18. Pengelolaan dana PNBP sebesar Rp 2,4 triliun. Dugaan korupsi di BPH Dirjen Postel
Kementerian Kominfo atas pengelolaan dana PNBP sebesar Rp 2,4 triliun yang
didepositokan pada bank BRI dan Bank Bukopin yang seharusnya digunakan untuk proyek
infrastruktur (Uso) namun justru didepositokan 
sedangkan proyek diserahkan kepada pihak ketiga (Telkomsel) dengan membayar sewa
layanan multimedia.
19. Makelar sejumlah proyek di PT Telkom dan anak perusahaan Telkom (PT telkomsel)
(2009). Dugaan korupsi makelar sejumlah proyek di PT Telkom dan anak perusahaan
Telkom yaitu PT Telkomsel (sedikitnya 30 proyek) yang bernilai triliunan rupiah sejak tahun
2006-2009 yang mana pekerjaan tersebut banyak tidak diselesaikan tetapi tetap dibayar
lunas  oleh direksi PT Telkom maupun Telkomsel karena sarat dengan KKN.
20. Pembelian saham perusahaan PT Elnusa di PT infomedia tahun 2009 senilai Rp 300
miliar. Dugaan korupsi atas pembelian saham perusahaan PT Elnusa di PT infomedia yang
dimark-up dan diduga dilakukan oleh pejabat di lingkungan PT Telkom sebesar Rp 590
miliar.
(Sumber: http://infotercepatku.blogspot.com/2013/09/daftar-kasus-kasus-korupsi-di-
indonesia.html#ixzz2vh2bYrmz)

2.6. Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang
pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini
disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H.
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan
Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat
tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan
para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa
dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan
politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan
tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk
lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan
Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih
dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret
pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta
lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur
Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada
surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir,
meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi
ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti
menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan
Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu olehSoebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini,
pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan
macet.
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16
Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu
memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu
seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai
dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite
Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof
Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama
membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina,
dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi
di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite
ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat
sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga
memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi
yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung
semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan
makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan
mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan
baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau
Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas
korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK
akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib
serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan
menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

Fungsi dan Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi, mempunyai tugas

1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana


korupsi;
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;


2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Daftar Ketua KPK

No Nama Mulai Jabatan Akhir Jabatan

1 Taufiequrachman Ruki 2003 2007

2 Antasari Azhar 2007 2009

Tumpak Hatorangan
3 2009 2010
Panggabean

4 Busyro Muqoddas 2010 2011

5 Abraham Samad 2011 2015

KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)

Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi


Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan
Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi
aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance"
(pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan
Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten
mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi
harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai
teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan
organisasi bisnis.
Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar sebagai Ketua KPK.
Sekarang sejak Desember 2011, KPK diketuai oleh Abraham Samad
KPK di bawah Antasari Azhar (2007-2009)

Kontroversi Antasari Azhar saat menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan (2000-2007)yang gagal mengeksekusi Tommy Soeharto tidak menghalangi
pengangkatannya menjadi Ketua KPK setelah berhasil mengungguli calon lainnya
yaitu Chandra M. Hamzah dengan memperoleh 41 suara dalam pemungutan suara yang
dilangsungkan Komisi III DPR. Kiprahnya sebagai Ketua KPK antara lain menangkap
Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kaitan penyuapan kasus BLBI Syamsul
Nursalim. Kemudian juga penangkapan Al Amin Nur Nasutiondalam kasus persetujuan
pelepasan kawasan Hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan. Antasari
juga berjasa menyeret Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aulia Tantowi Pohan yang juga
merupakan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke penjara atas kasus korupsi aliran
dana BI. Statusnya sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin
Zulkarnaen membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Mei 2009
memberhentikan dari jabatannya sebagai ketua KPK.
KPK di bawah Tumpak Hatorangan Panggabean (Pelaksana Tugas) (2009-2010)

Mantan Komisaris PT Pos Indonesia, Tumpak Hatorangan Panggabean terpilih


menjadi pelaksana tugas sementara Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)dan dilantik
pada 6 Oktober 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Serta ditetapkan
berdasarkan Perppu nomor 4 tahun 2009 yang diterbitkan pada 21 September
2009.Pengangkatannya dilakukan untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK setelah ketua
KPK Antasari Azhar dinonaktifkan dan diberhentikan akibat tersangkut kasus pembunuhan
Nasrudin Zulkarnaen.Dibawah masanya memang KPK berhasil menetapkan bekas Menteri
Sosial (Mensos) Bachtiar Chamsyah sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penga-
daan mesin jahit dan impor sapi. Selain itu, KPK juga berhasil menetapkan Gubernur Kepu-
lauan Riau (Kepri), Ismet Abdullah sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan mobil
kebakaran. Tapi beberapa kasus masih mandek penanganannya, misalnya saja, kasus Bank
Century, membuat penilaian bahwa lembaga itu mulai melempem.Pada tanggal 15 Maret
2010 beliau diberhentikan dengan Keppres No. 33/P/2010 karena perpu ditolak oleh DPR.
KPK di bawah Busyro Muqoddas (2010-2011)

M. Busyro Muqoddas, S.H, M.Hum dilantik dan diambil sumpah oleh Presiden RI


pada 20 Desember 2010 sebagai ketua KPK menggantikan Antasari Azhar. Sebelumnya,
Busyro merupakan ketua merangkap anggota Komisi Yudisial RI periode 2005-2010. Pada
saat sebagai ketua sangat sering mengkritik DPR , yang terakhir terkait hedonisme para
anggota DPR. Pada pemilihan pimpinan KPK tanggal 2 Desember 2011 beliau "turun
pangkat" menjadi waki ketua KPK. Busyro hanya memperoleh 5 suara dibandingan Abraham
Samad yang memperoleh 43 suara. Serah terima jabatan dan pelantikan dilaksanakan pada 17
Desember 2011.
KPK di bawah Abraham Samad (2011-2015)

DR. Abraham Samad SH. MH menggantikan Busyro Muqoddas sebagai ketua KPK


selanjutnya. Pada tanggal 3 Desember 2011 melalui voting pemilihan Ketua KPK oleh 56
orang dari unsur pimpinan dan anggota Komisi III asal sembilan fraksi DPR, Abraham
mengalahkan Bambang Widjojanto dan Adnan Pandu Praja. Abraham memperoleh 43 suara,
Busyro Muqoddas 5 suara, Bambang Widjojanto 4 suara, Zulkarnain 4 suara, sedangkan
Adnan 1 suara. Ia dan jajaran pimpinan KPK yang baru saja terpilih, resmi dilantik di Istana
Negara oleh Presiden SBY pada tanggal 16 Desember 2011. Lima pimpinan KPK periode
2011-2015 adalah Abraham Samad, Bambang Widjodjanto, Zulkarnaen, Adnan Pandu
Pradja, dan Busyro Muqoddas. Beberapa kasus yang mencuat saat Abraham samad
memimpin adalah Kasus Korupsi Wisma Atlet, Kasus Korupsi Hambalang, Kasus Gratifikasi
Impor Daging Sapi, Kasus Gratifikasi SKK Migas, Kasus Pengaturan Pilkada Kabupaten
Lebak. Beberapa orang yang ditangkap/ditahan/dituntut KPK diantaranya adalah: Andi
Malarangeng, Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Akil
Mochtar, Ratu Atut Chosiyah, Ahmad Fathanah, Luthfi Hasan Ishaq, Rudi Rubiandini, dan
lainnya.
(Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi)

2.7. Cara Pencegahan Dan Strategi Pemberantasan Korupsi

Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu sulit kalau kita secara
sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas
kepentingan pribadi atau golongan. Ini perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya
peraturan, kalau ada niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin
korup, korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental itulah yang sangat menentukan.

Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga)
pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :

 Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,


 Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
 Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan
memberantas korupsi yang tepat yaitu :

 Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang
menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya
preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat
upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan
banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya
korupsi.

 Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila
suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti
dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga
sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan
sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai
disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.

 Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk
memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang
terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari
tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk
dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat
dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus dilakukan secara
terintregasi.
Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang
hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para pemerhati / pengamat masalah
korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran dan opini strategi pemberantasan korupsi
secara preventif maupun secara represif antara lain :

1. Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana yang
keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot adalah
pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup dengan
standar sesuai pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya,
sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”.
Sedangkan Stick adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani
korupsi, maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan
sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
2. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat
ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan
rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang
lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan
dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini
pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari
dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan
rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan
moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
3. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta
memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa
memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat
dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan
prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi
yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya
masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
4. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah
kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia.
Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang
sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima,
mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat
dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan
masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun
peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
5. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam
pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang
yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai
yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang
telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah
kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti
melanggar harkat dan martabat kehidupan.
6. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa
a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial
terkait dengan kepentingan publik.
b. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa
hingga ke tingkat pusat/nasional.
d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-
rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam
setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
7. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
a. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-
awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi me-lalui
usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW la-hir di
Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki
pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
b. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan
memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba se-
karang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang
demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global.
Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004
menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya,
Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, In-donesia berada di
posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan
Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik
dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti &
Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.

2.8. Pandangan Agama Kristen mengenai Korupsi.

A. Makna Korupsi Menurut Alkitab


Yesus dan keteladanannya adalah contoh nyata perang terhadap korupsi dan Allah Bapa
menjamin umatnya untuk hidup berkecukupan dengan syarat mengikuti jalannya. Di dalam
agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan korupsi sangat dilarang karena:
1.   Korupsi Identik Dengan Mencuri.
Dalam 10 Perintah Tuhan, larangan kedelapan adalah larangan untuk mencuri. 10
Perintah Tuhan adalah salah satu norma yang dituangkan di Alkitab Perjanjian Lama dan
merupakan inti dari etika Alkitab Perjanjian Lama. Dalam Keluaran 20:15, Allah berfirman:
Jangan mencuri. Demikian jelasnya larangan Tuhan untuk tidak mencuri. Sementara itu
korupsi adalah mencuri dengan cara diam-diam, dengan cara halus mengurangi hak negara
atau orang lain demi kepentingan pribadi. Larangan mencuri juga dikemukakan Yesus dalam
bentuk yang berbeda, yaitu hukum mengasihi sesame manusia seperti diri sendiri ( Matius
22:39; Markus 12:31; Lukas 10:27 ). Hukum ini sama dengan hukum `pertama, yaitu hukum
untuk mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati dan dengan segenap akal budi.
2.   Korupsi Adalah Perbuatan Melanggar Hukum.
Firman Allah yang tertulis lengkap dalam Alkitab juga menyebutkan bahwa orang
Kristen pun selain wajib taat perintah-Nya, juga berlaku sama terhadap hukum yang berlaku.
Ini jelas tertulis dalam Roma13:3 , yang menyatakan ketika seorang berbuat baik, ia tidak
usah takut kepada pemerintah (hukum), hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup
tanpa takut terhadap pemerintah (hukum)? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh
pujian dari padanya.
3.  Korupsi Adalah Pengingkaran Kepada Tuhan Yang Maha Memelihara Umatnya
Dari sisi iman Kristen, Allah telah tegas menyebutkan bahwa burung di udara saja
dipeliharanya, apalagimanusia. Demikian umat tak perlu ragu akan usaha yang dijalankannya
selama berada di jalan Tuhan.Karena itu, korupsi jelas merupakan pengingkaran terhadap
keberadaan Tuhan dan jaminannya.Jaminan-jaminan Tuhan dituliskan di Alkitab di ayat-ayat
berikut ini :
a.  Paulus menyatakan menasehati Timotius dalam Timotius 6:6 : “Adalah benar bahwa melayani
Allah membuat orang menjadi sangat kaya jika mereka telah merasa puas dengan yang
dimilikinya”.
b.  Di Matius 6:25-26 disebutkan “Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan
hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan
tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada
makanan dan tubuh itu lebih pentingdari pada pakaian? Pandanglah burung-burung di
langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam
lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi
burung-burung itu?”
4.  Korupsi Adalah Tanda Ketamakan Manusia
Tuhan sangat mengutuk manusia yang tamak. Dalam cerita-cerita di Alkitab, orang-
orang tamak akan diberikan hukuman karena ketamakannya itu. Seperti pada cerita Gehazi,
pelayan Nabi Elisa yang mengambil pemberian Panglima Kerajaan Aram, yakni Naaman,
atas kesembuhannya dari penyakit kusta. Alih-alih ingin mendapatkan hadiah yang ditolak
Nabi Elisa, Gehazi malah mendapat tulah berupa kusta yang sebelumnya diderita Naaman
(II Raja-raja 5:1-27).

B. Jenis-Jenis Korupsi di Dalam Alkitab


Dalam Perjanjian lama maupun Baru, disebutkan jenis-jenis korupsi menurut stratanya:
1.   Korupsi Karena Kebutuhan (By Need)
Merupakan jenis korupsi yang paling ringan. Karena dilakukan dalam keadaan
terpaksa atau karena kebutuhan yang mendesak. Contoh pada saat ini misalnya pembantu
yang mengambil kembalian uang belanja untuk memberi uang saku kepada anaknya.
Meskipun demikian, korupsi tidak boleh dilakukan meskipun untuk mencukupi kebutuhan.
Karena Allah menjamin akan penghidupan umat yang mau percaya kepadanya. Korupsi
karena kebutuhan akan gaya hidup mewah tidak termasuk dalam kriteria korupsi by need.
2.  Karena Kesempatan (By Chance)
Merupakan jenis korupsi yang tercipta karena ada kesempatan, lemahnya sistem atau
kurangnya pengawasan. Pada dasarnya kesempatan bisa ada atau diada-adakan. Jadi bisa jadi
manusia karena kebutuhan atau ketamakannya menciptakan kesempatan untuk terjadinya
korupsi. Sebesar apapun kesempatan yang terbuka, korupsi tetap tergolong pencurian dan
dilarang oleh agama Kristen.
3.    Karena Ketamakan (By Greed)
Merupakan jenis korupsi yang terberat. Pelaku korupsi biasanya sudah kaya, namun
tetap melakukan korupsi untuk mempertahankan gaya hidupnya yang foya-foya. Seperti yang
disebutkan tadi bahwa Tuhan akan mengutuk orang-orang yang tamak dan akan memberikan
hukuman kepada mereka. Terutama apabila yang dikorupsi adalah harta orang-orang miskin
yang jauh lebih membutuhkan daripada mereka. Maka hukuman yang terberat akan diberikan
kepadanya.

C. Contoh-Contoh Korupsi Dalam Alkitab


Banyak contoh-contoh korupsi dalam Alkitab baik dalam perjanjian lama dan
perjanjian baru, diantaranya adalah:
1.   Peristiwa disuapnya Yudas Iskariot, salah satu murid Yesus untuk mengkhianatinya yang
diceritakan oleh Alkitab dalam Matius 26:14-16: “Kemudian pergilah seorang dari kedua belas
murid itu, yang bernama Yudas Iskariot, kepada imam-imam kepala. Ia berkata: "Apa yang
hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?" Mereka
membayar tiga puluh uang perak kepadanya. Dan mulai saat itu ia mencari kesempatan
yang baik untuk menyerahkan Yesus”. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa penyuapan dan
pengkhianatan termahsyur dan terkeji yang terjadi dalam sejarah umat Kristen.
2.  Umat Israel yang keluar dari Mesir dan mengindahkan perintah Tuhan yang memelihara
mereka dengan datangnya burung puyuh pada waktu senja dan roti dari surga (manna). Umat
Israel bukannya mengambil sesuai perintah Tuhan, yakni segomer seorang, melainkan
mengambil berlebihan. Upahnya, makanan yang mereka simpan malah menjadi busuk dan
berulat ( Keluaran 16:11-21 ).
3. Kasus korupsi lainnya terdapat dalam Kisah Para Rasul 5:1-11 yang menceritakan kisah
Ananias dan Safira. “Demikianlah Firman Tuhan “Ada seorang lain yang bernama Ananias.
Ia beserta istrinya Safira menjual sebidang tanah. Dengan setahu istrinya ia menahan
sebagian dari hasil penjualan itu dan sebagian lagi dibawa dan diletakkannya di depan kaki
rasul-rasul. Tetapi Petrus berkata :”Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga
engkau mendustai Roh Kudus dan menahan sebagian dari hasil penjualan tanah itu?
4Selama tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual,
bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu? Mengapa engkau merencanakan perbuatan itu
dalam hatimu? Engkau bukan mendustai manusia tetapi mendustai Allah.” Ketika
mendengar perkataan itu rebahlah Ananias dan putuslah nyawanya. Maka sangatlah
ketakutan semua orang yang mendengar hal itu. Lalu datanglah beberapa orang muda;
mereka mengapani mayat itu, mengusungnya keluar dan pergi menguburnya. Kira- kira tiga
jam kemudian masuklah isteri Ananias, tetapi ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Kata
Petrus kepadanya: “Katakanlah kepadaku, dengan harga sekiankah tanah itu kamu jual?”
Jawab perempuan itu: “ Betul sekian.” Kata Petrus: “Mengapa kamu berdua bersepakat
untuk mencobai Roh Tuhan? Lihatlah, orang-orang yang baru mengubur suamimu berdiri di
depan pintu dan mereka akan mengusung engkau juga keluar.” Lalu rebahlah perempuan itu
seketika itu juga di depan kaki Petrus dan putuslah nyawanya. Ketika orang-orang muda itu
masuk, mereka mendapati dia sudah mati, lalu mereka mengusungnya ke luar dan
menguburnya di samping suaminya. Maka sangat ketakutanlah seluruh jemaat dan semua
orang yang mendengar hal itu”. Kisah tersebut dengan jelas menceritakan bahwa Ananias
dan Safira berbuat tidak jujur karena ingin mengambil keuntungan yang bukan haknya dan
melebihi porsi yang seharusnya. Dengan kata lain berbuat kecurangan berupa korupsi. Dalam
ayat tersebut dijelaskan bahwa perbuatan Ananias dan Safira bukan mendustai manusia tetapi
mendustai Allah dan akhirnya menghasilkan maut bagi Ananias dan Safira seperti yang
tertulis dalam Roma 6:23 yaitu “Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah
hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita”.
Selain itu, dalam Firman Tuhan juga mengatakan bahwa “Jika ya, hendaklah kamu katakan:
ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak, Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si
jahat” (Matius 5:37). Ayat ini berhubungan dengan dusta dan biasanya korupsi selalu disertai
dengan dusta karena pasti ada hal yang disembunyikan yang disebabkan mengambil sesuatu
atau lebih yang bukan porsi hak kepemilikannya.

D. Gratifikasi Menurut Pandangan Umat Kristen


Dalam 2 Raja-Raja 5:1-27 diceritakan tentang Panglima Kerajaan Aram, Naaman dan
Nabi Elisa beserta pelayannya, Gehazi. Diceritakan bahwa seorang panglima Kerajaan Aram
yang bernama Naaman adalah seorang yang berpenyakit kusta. Lalu dia datang kepada Nabi
Elisa. Nabi Elisa memerintahkannya untuk mandi sebanyak tujuh kali di sungai Yordan untuk
menghilangkan kustanya. Dan benarlah sembuh kustanya. Naaman yang bergembira datang
menghadap Nabi Elisa lagi untuk berterima kasih karena telah menyembuhkannya. Naaman
menghadiahinya dengan bermacam-macam hadiah. Namun Nabi Elisa menolaknya dan
berkata "Demi TUHAN yang hidup, yang di hadapan-Nya aku menjadi
pelayan,sesungguhnya aku tidak akan menerima apa-apa."
Cerita di atas menjelaskan bahwa Nabi Elisa tidak mau menerima gratifikasi atau
hadiah dari Naaman karena menyembuhkan kustanya. Karena pada dasarnya Nabi Elisa
adalah pelayan Tuhan yang tujuannya adalah melayani umatNya, bukannya dilayani oleh
umatNya. Adapun bila Naaman ingin berterimakasih, maka dia dapat menyedekahkan
hartanya (melalui perpuluhan atau kolekte ke gereja).
Demikian jelaslah bahwa agama Kristen melarang adanya pemberian/gratifikasi kepada
pelayan masyarakat. Lalu dalam cerita yang sama, Gehazi, pelayan daripada Nabi Elisa
berbuat curang dengan menyusul Naaman yang sudah pergi dan mengatakan bahwa Nabi
Elisa menginginkan hadiah-hadiah yang Naaman ingin berikan tersebut padahal Gehazi ingin
menyimpannya untuk dirinya sendiri. Ini adalah contoh penyelewengan jabatan. Gehazi,
sebagai pelayan Nabi Elisa memakai nama Nabi Elisa untuk memperkaya dirinya sendiri.
Lalu kemudian apa yang terjadi pada Gehazi? Dia kemudian menderita penyakit yang dulu
diderita Naaman, yaitu kusta.

E. Mengapa Korupsi Sering Dilakukan Umat Beragama?


Ada permasalahan teologis terletak di sini, yaitu orang-orang secara keseluruhan belum
memahami dan menyadari arti Salib yang sesungguhnya. Pengertian Salib ialah Yesus yang
menderita untuk keselamatan ciptaan-Nya. Orang yang bersedia menderita dengan tidak
mengikut cara duniawi untuk memperoleh kehidupan “layak, mewah, serba wah” itulah
hidup dalam Salib. Salib berarti menderita. Untuk mencapai kepuasan di dunia, kita tidak
mengikuti arus duniawi. Korupsi, jelas merupakan “penanggalan” atas penghayatan kita
tentang Salib sebab kebahagiaan/kepuasan tidak dapat terpenuhi hanya dari segi materi saja.
Tuhan Yesus sudah memberi teladan bagi kita bagaimana hidup yang berarti bagi orang
lain yaitu melalui jalan salib. Sekarang, kita pun diundang mengikuti-Nya. Yesus Kristus
dalam pengajaran-Nya, menyatakan “Berbahagialah orang yang menderita oleh sebab
kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Matius 5:10).“Janganlah
kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena
Allah telah berfirman:”Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali
tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibrani 13:5)
Sumbangan agama Kristen yang paling berharga bagi moral anti-suap adalah
memproyeksikan Tuhan sebagai contoh hakim yang adil. Tuhan tak akan korupsi atau
terpengaruh oleh hadiah atau kedudukan seorang terdakwa. Seorang hakim yang adil dan tak
berpihak, tidak akan memperoleh berkat (materi) dari si pemberi suap di dunia fana,
melainkan dari Tuhan.

(Sumber : http://ross-srb.blogspot.hk/2013/01/korupsi.html#!)
2.9. Hukuman Bagi Koruptor Berdasarkan Undang-Undang.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : 

a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan
yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;

b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Mengingat : 

1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3209);
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);

4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874);

Dengan persetujuan bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : 

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI.

Pasal I

Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai
berikut:

1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka
1 Undang-undang ini.

2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-
undang Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2)  Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 6

(1)  Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

(2)  Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 7

(1)  Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

(2)  Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 8

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut.

Pasal 9

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi.

Pasal 10

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;
atau

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai
akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas
umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang,
seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak
pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12 A

(1)  Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11
dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

(2)  Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2)  Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling  sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 C

(1)  Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2)  Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3)  Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(1)  Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26 A

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :

a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
itu; dan

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

5. Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2) dengan penyempurnaan pada ayat (2) frasa yang berbunyi "keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya" diubah menjadi "pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti", sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai berikut:

Pasal 37

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

b. Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan penyempurnaan kata "dapat" pada ayat (4) dihapus dan
penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus, serta ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) masing-masing berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah sebagai berikut:

Pasal 37 A

(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya,
maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

6. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :

Pasal 38 A

Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 38 B

(1)  Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana
korupsi.

(2)  Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi,
harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut
dirampas untuk negara.

(3)  Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam 


ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.

(4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat
membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.

(5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).

(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.

Pasal 38 C

Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut
diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka
negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.

7. Di antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan Peralihan yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang
diletakkan di antara Pasal 43 dan Pasal 44 sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

BAB VI A
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43 A
(1)  Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan,
diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan
maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10
Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2)  Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(3)  Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang ini diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) Undang-undang ini.

8. Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43 B

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal
420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
(Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun
1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun
1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal II

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Nopember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

 
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Nopember 2001
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO

 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 134

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,

ttd

Edy Sudibyo
BAB III

PENUTUP
A.  Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yangsecara langsung
merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsurdalam perbuatan korupsi meliputi
dua aspek. Aspek yang memperkaya diridengan menggunakan kedudukannya dan aspek
penggunaan uang negarauntuk kepentingannya.Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan
dan kelemahan pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan
rendahnyapendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaanlingkungan
yang subur untuk perilaku korupsi, rendahnya sumber dayamanusia, serta struktur
ekonomi.Korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk, sifat,dan
tujuan.Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai bidang diantaranya, bidangdemokrasi,
ekonomi, dan kesejahteraan negara.
B.  Saran
Korupsi merupakan faktor utama penyebab masalah sosial, korupsi harus kita cegah
dan harus kita hindari, pencegahan korupsi berawaldari lingkungan keluarga, keluarga harus
berperan aktif untuk mendidik dan mengajarkan tentang pentingnya sebuah kejujuran, dan
tentunya harus dimulai dari diri pribadi kita masing masing.
Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2002) Ekonomi Moral, Rasional dan Politik Dalam Industri
Kecil Di Jawa, Esai-esai Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Kepel Press
Aditjandra, George Junus. 2002. “Bukan Persoalan Telur dan Ayam: Membangun Keranka
yang Lebih Holistik bagi Gerakan Anti Korupsi di Indonesia”, Jurnal Wacana, Edisi
14. Tahun III 2002.
Alatas, S.H. 1986. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES
Alatas, Syed Husein, 1999. Corruption and the Destiny of Asia, Kuala Lumpur: Prentie Hall.

Bologna,  Jack.  1993,  Handbook  of  Corporate  Fraud.Boston;  Butterworth‐Heinemann.


Cressey Donald R.1953, Others people money, A study in the social psychology of Embezzle
ment. Montclair: Patterson Smith.  
Huntington, Samuel P. Political Order In Changing Societies. New Heaven, CT: Yale
University Press, 1968.
Katono, Kartini. 1983. Pathologi Sosial. CV. Rajawali Press
Redfield, Robert. 1963. The Little Community and Peasant Society and Culture. Chicago &
London: The University Of Chicago Press.
Sarwono, Sarlito W., dan Meinarno,Eko A., Psikologi Sosial, Salemba Humanika, Jakarta,
2009.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi)
(http://infotercepatku.blogspot.com/2013/09/daftar-kasus-kasus-korupsi-di-
indonesia.html#ixzz2vh2bYrmz)
(http://ross-srb.blogspot.hk/2013/01/korupsi.html#!)

Anda mungkin juga menyukai