KORUPSI
Nim :
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang maha Esa, karena atas
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah “, Korupsi “, dalam Mata Kuliah
Sosiologi Agama. Makalah ini di buat sesuai dengan tujuan yang akan di capai pada setiap
perkuliahan yang di laksanakan. Penulis merasa makalah ini perlu dan sangat bermanfaat
bagi kalangan umum, terkhusus bagi kalangan mahasiswa sebagai bahan gambaran dalam
bersosialisasi.
Dengan menyelesaikan Makalah ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan.
Namun kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya. Dengan selesainya
makalah ini, Semoga dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran, dari semua pihak yang membaca. Kritik dan saran yang akan
anda berikan akan berguna bagi penulis untuk membuat makalah menjadi lebih baik . terima
Kasih
Penulis,
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup kaya dilihat dari keanekaragaman
kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, Negara tercinta ini dibandingkan dengan
negara lain di kawasan ASEAN bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan
termasuk negara yang miskin. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya
kualitas sumber daya manusianya(SDM). Kualitas tersebut bukan hanya dari segi
pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.
Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara
menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi
social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan karupsi sedah menjadi kebiasaan dari aparat-
aparat tertentu. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat
besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan
keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan
dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lainsebagainya di luar batas kewajaran. Dan
bukan hanya itu saja korupsi juga terjadi pada aparat-aparat lain bahkan korupsi terjadi pada
kalangan rendahan, misalnya kepala desa bahkan sampai kepada ketua Rt dan masih banyak
yang lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah
perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat,
dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Menurut Dr. Kartini Kartono (1983), korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri
Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik
pemaknaan. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan
Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.
Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga
bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas
mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk
menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan
dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).
Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan
umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-pelanggaran norma-
norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan,
penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan
pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi
menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang
memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor
(domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau
kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan
tindak korupsi.
Mengutip Robert Redfield (1963), korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya
dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little
culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan
subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat
budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada
budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun
tetap ada bocoran budaya.
2.2. Sebab-sebab Korupsi
Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan
tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri.
Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara
lain yaitu :
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne (1993) atau sering disebut GONE
Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi,
yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang
melakukan korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan
Exposures berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi,
masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
Sedangkan Cressey (1953) melalui penelitiannya
menyatakan bahwa seseorang melakukan kecurangan disebabkan oleh:
(1) Tekanan (pressure) untuk melakukan kecurangan lebih banyak tergantung pada
kondisi individu, seperti sedang menghadapi masalah keuangan, kebiasaan buruk
seseorang seperti berjudi danpeminum; tamak atau mempunyai harapan/tujuan yang
tidak realistic
(2) Kesempatan (opportunity), menurut penelitian yang dilakukan oleh IIA Research
Foundation tahun 1984 dengan urutan paling sering terjadi adalah:
a. Terlalu mempercayai bawahan;
b. Kelemahan prosedur otorisasi dan persetujuan manajemen;
c. Kurangnya penjelasan dalam informasi keuangan pribadi (kecurangan perbankan);
d. Tidak ada pemisahan antara pemberian wewenang transaksi dan penjagaan aset;
e. Tidak ada pengecekan independen terhadap kinerja;
f. Kurangnya perhatian terhadap uraian secara rinci (detail);
g. Tidak ada pemisahan antara pemegang aset dan fungsi pencatatan;
h. Tidak ada pemisahan tugas akuntansi;
i. Kurang jelasnya pemberian wewenang;
j. Departemen/bagian jarang diperiksa;
k. Pernyataan tidak ada benturan kepentingan tidak disyaratkan;
l. Dokumen dan pencatatan kurang memadai.
(3) Pembenaran (Rationalization) terjadi dalam hal seseorang atau sekelompok orang
membangun pembenaran atas kecurangan
yang dilakukan. Pelaku fraud biasanya mencari alasan pembenaran bahwa yang dilakukannya
bukan pencurian atau kecurangan, seperti:
a. Saya benar‐benar perlu uang, akan dikembalikan setelah menerima gaji
b. Saya tidak merugikan siapa‐siapa, perusahaan tidak bangkrut karenanya;
c. Saya mau manyumbangkannya untuk orang tidak mampu;
d. Semua orang juga melakukannya.
Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi
antara lain sebagai berikut :
Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.
Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan
hukum.
Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan
yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum.
Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.
Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam
masyarakat.
1. Lesunya Perekonomian
2. Meningkatnya Kemiskinan
Meningkatnya Kemiskinan Efek penghancuran yang hebat terhadap orang miskin: Dampak
langsung yang dirasakan oleh orang miskin Dampak tidak langsung terhadap orang miskin
Dua kategori penduduk miskin di Indonesia: Kemiskinan kronis (chronic poverty)
Kemiskinan sementara (transient poverty) Empat risiko tinggi korupsi: Ongkos finansial
(financial costs) Modal manusia (human capital) Kehancuran moral(moral decay) Hancurnya
modal sosial (loss of capital social)
Tingginya angka kriminalitas Korupsi menyuburkan berbagai jenis kejahatan yang lain dalam
masyarakat. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan. Menurut
Transparency International, terdapat pertalian erat antara jumlah korupsi dan jumlah
kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka angka kejahatan yang terjadi
juga meningkat. Sebaliknya, ketika agka korusi berhasil dikurangi, maka kepercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement juga meningkat. Dengan
mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan yang lain.
3. Demoralisasi
Demoralisasi Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah dalam penglihatan
masyarakat umum akan menurunkan kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Jika pemerintah
justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula unsur hormat dan trust (kepercayaan)
masyarakat kepada pemerintah. Praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di
kalangan warga masyarakat. Menurut Bank Dunia, korupsi merupakan ancaman dan duri
bagi pembangunan. Korupsi mengabaikan aturan hukum dan juga menghancurkan
pertumbuhan ekonomi. Lembaga internasional menolak mebantu negara-negara korup. Sun
Yan Said: korupsi menimbulkan demoralisasi, keresahan sosial, dan keterasingan politik.
4. Kehancuran birokrasi
Terganggunya Sistem Politik dan Fungsi Pemerintahan Dampak negatif terhadap suatu sistem
politik : Korupsi Mengganggu kinerja sistem politik yang berlaku. Publik cenderung
meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga yang diduga terkait dengan tindakan korupsi.
Contohnya : lembaga tinggi DPR yang sudah mulai kehilangan kepercayaan dari Masyarakat
Lembaga Politik diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai kepentingan pribadi dan
kelompok.
Buyarnya Masa Depan Demokrasi Faktor Penopang Korupsi ditengah Negara Demokrasi
Tersebarnya kekuasaan ditangan banyak orang telah meretas peluang bagi merajalelanya
penyuapan. Reformasi neoliberal telah melibatkan pembukaan sejumlah lokus ekonomi bagi
penyuapan, khususnya yang melibatkan para broker perusaaan publik. Pertambahan sejumlah
pemimpin neopopulis yang memenangkan pemilu berdasar pada kharisma personal malalui
media, terutama televisi, yang banyak mempraktekan korupsi dalam menggalang dana.
korupsi di indonesia sudah tidak terkendali lagi. bahkan dalam berbagai macam survei
indonesia masuk dalam salah satu daftar negara terkorup di dunia. berbagai macam kasus
korupsi mulai dari yang besar, sedang hingga kasus korupsi kecil terjadi tahun demi tahun
secara terus menerus tanpa bisa dihentikan. hukuman yang ringan menjadi penyebab utama
para koruptor tetap saja menjalankan aksi korupsi. hukum yang diandalkan juga belum
mampu bekerja maksimal, malahan kini hukum sangat mudah untuk dibeli. hal ini bisa dilihat
dari banyaknya aparat hukum yang terlibat kasus suap.
Negara pun menanggung kerugian mulai dari ratusan juta, milyaran hingga trilyunan
rupiah. berbagai macam kasus korupsi kebanyakan tidak menghasilkan hukuman yang
membuat jerah para pelaku/tersangka korupsi. hal ini dikarenakan dikarenakan pelaku
kebanyakan didominasi oleh pejabat negara dan orang orang berduit. kasus korupsi membelit
berbagai macam instansi mulai dari DPR, kepolisian, TNI, Pemerintah dan Menteri,
Kejaksaan, Partai Politik dan masih banyak lagi.
Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang
pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini
disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H.
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan
Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat
tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan
para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa
dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan
politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan
tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk
lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan
Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih
dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret
pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta
lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur
Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada
surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir,
meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi
ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti
menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan
Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu olehSoebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini,
pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan
macet.
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16
Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu
memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu
seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai
dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite
Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof
Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama
membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina,
dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi
di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite
ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat
sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga
memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi
yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung
semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan
makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan
mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan
baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau
Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas
korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK
akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib
serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan
menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
Tumpak Hatorangan
3 2009 2010
Panggabean
Kontroversi Antasari Azhar saat menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan (2000-2007)yang gagal mengeksekusi Tommy Soeharto tidak menghalangi
pengangkatannya menjadi Ketua KPK setelah berhasil mengungguli calon lainnya
yaitu Chandra M. Hamzah dengan memperoleh 41 suara dalam pemungutan suara yang
dilangsungkan Komisi III DPR. Kiprahnya sebagai Ketua KPK antara lain menangkap
Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kaitan penyuapan kasus BLBI Syamsul
Nursalim. Kemudian juga penangkapan Al Amin Nur Nasutiondalam kasus persetujuan
pelepasan kawasan Hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan. Antasari
juga berjasa menyeret Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aulia Tantowi Pohan yang juga
merupakan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke penjara atas kasus korupsi aliran
dana BI. Statusnya sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin
Zulkarnaen membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Mei 2009
memberhentikan dari jabatannya sebagai ketua KPK.
KPK di bawah Tumpak Hatorangan Panggabean (Pelaksana Tugas) (2009-2010)
Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu sulit kalau kita secara
sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas
kepentingan pribadi atau golongan. Ini perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya
peraturan, kalau ada niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin
korup, korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental itulah yang sangat menentukan.
Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga)
pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang
menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya
preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat
upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan
banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya
korupsi.
Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila
suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti
dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga
sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan
sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai
disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk
memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang
terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari
tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk
dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat
dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus dilakukan secara
terintregasi.
Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang
hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para pemerhati / pengamat masalah
korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran dan opini strategi pemberantasan korupsi
secara preventif maupun secara represif antara lain :
1. Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana yang
keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot adalah
pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup dengan
standar sesuai pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya,
sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”.
Sedangkan Stick adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani
korupsi, maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan
sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
2. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat
ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan
rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang
lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan
dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini
pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari
dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan
rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan
moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
3. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta
memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa
memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat
dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan
prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi
yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya
masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
4. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah
kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia.
Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang
sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima,
mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat
dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan
masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun
peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
5. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam
pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang
yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai
yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang
telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah
kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti
melanggar harkat dan martabat kehidupan.
6. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa
a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial
terkait dengan kepentingan publik.
b. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa
hingga ke tingkat pusat/nasional.
d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-
rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam
setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
7. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
a. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-
awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi me-lalui
usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW la-hir di
Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki
pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
b. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan
memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba se-
karang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang
demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global.
Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004
menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya,
Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, In-donesia berada di
posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan
Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik
dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti &
Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.
(Sumber : http://ross-srb.blogspot.hk/2013/01/korupsi.html#!)
2.9. Hukuman Bagi Koruptor Berdasarkan Undang-Undang.
Menimbang :
a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan
yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;
b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3209);
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);
4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai
berikut:
1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka
1 Undang-undang ini.
2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-
undang Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;
atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai
akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas
umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang,
seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak
pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11
dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(1) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26 A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
5. Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2) dengan penyempurnaan pada ayat (2) frasa yang berbunyi "keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya" diubah menjadi "pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti", sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
b. Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan penyempurnaan kata "dapat" pada ayat (4) dihapus dan
penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus, serta ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) masing-masing berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah sebagai berikut:
Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya,
maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
6. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 38 A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 38 B
(1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana
korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi,
harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut
dirampas untuk negara.
(4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat
membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38 C
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut
diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka
negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
7. Di antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan Peralihan yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang
diletakkan di antara Pasal 43 dan Pasal 44 sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
BAB VI A
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43 A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan,
diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan
maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10
Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang ini diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) Undang-undang ini.
8. Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43 B
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal
420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
(Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun
1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun
1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal II
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Nopember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Nopember 2001
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 134
ttd
Edy Sudibyo
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yangsecara langsung
merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsurdalam perbuatan korupsi meliputi
dua aspek. Aspek yang memperkaya diridengan menggunakan kedudukannya dan aspek
penggunaan uang negarauntuk kepentingannya.Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan
dan kelemahan pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan
rendahnyapendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaanlingkungan
yang subur untuk perilaku korupsi, rendahnya sumber dayamanusia, serta struktur
ekonomi.Korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk, sifat,dan
tujuan.Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai bidang diantaranya, bidangdemokrasi,
ekonomi, dan kesejahteraan negara.
B. Saran
Korupsi merupakan faktor utama penyebab masalah sosial, korupsi harus kita cegah
dan harus kita hindari, pencegahan korupsi berawaldari lingkungan keluarga, keluarga harus
berperan aktif untuk mendidik dan mengajarkan tentang pentingnya sebuah kejujuran, dan
tentunya harus dimulai dari diri pribadi kita masing masing.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2002) Ekonomi Moral, Rasional dan Politik Dalam Industri
Kecil Di Jawa, Esai-esai Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Kepel Press
Aditjandra, George Junus. 2002. “Bukan Persoalan Telur dan Ayam: Membangun Keranka
yang Lebih Holistik bagi Gerakan Anti Korupsi di Indonesia”, Jurnal Wacana, Edisi
14. Tahun III 2002.
Alatas, S.H. 1986. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES
Alatas, Syed Husein, 1999. Corruption and the Destiny of Asia, Kuala Lumpur: Prentie Hall.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi)
(http://infotercepatku.blogspot.com/2013/09/daftar-kasus-kasus-korupsi-di-
indonesia.html#ixzz2vh2bYrmz)
(http://ross-srb.blogspot.hk/2013/01/korupsi.html#!)