STIA TABALONG
2021
Materi 9
Hadis sebagai sumber hukum dan ajaran Islam.
a. Fungsi hadis.
1. Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-
Qur’an yang dikenal dengan istilah fungsi ta’kid dan taqrir.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an
dalam hal:
a) Menjelaskan arti yang masih samar atau ijmal seperti kata shalat
karena dapat saja shalat itu berarti doa sebagaimana dipakai secara
umum pada waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian
perbuatan yang terdiri dari ucapan dan perbuatan dalam rangka
menjelaskan apa yang dimaksud shalat pada ayat tersebut.
b) Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis
besar misalnya menentukan waktu-waktu salat yang disebutkan
dalam Al-Qur’an.
c) Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara
umum, misalnya hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan.
d) Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
misalnya Allah melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita
yang bersaudara, diperluas Nabi bahwa bukan saja saudara ayah
tapi juga saudara ibunya.
b. Posisi sunnah terhadap Al-Qur’an berdasarkan konsep Al-Syafi’I, kemudian Al-
Zuhayli merinci keempat posisi sunah dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, antara
lain:
1. Konfirmator hukum Al-Qur’an, jika sunnah mengonfirmasikan suatu hukum
yang terkandung dalam Al-Qur’an, berarti hukum tersebut mempunyai dua
dasar hukum, Al-Qur’an dan sunnah. Ini seperti perintah mendirikan salat,
membayar zakat, berpuasas di bulan Ramadan, menunaikan ibadah haji
bagi yang mampu, dan perintah-perintah lainnya yang termaktub dalam Al-
Qur’an dan dikonfirmasikan oleh sunah Rasulullah.
2. Interpretator hukum Al-Qur’an, jika sunnah menginterpretasi suatu hukum
yang terkandung dalam Al-Qur’an, maka dapat diperinci lagi menjadi 3
fungsi, yaitu:
1. Sunnah sebagai interpretator keglobalan hukum Al-Qur’an, seperti
hadis-hadis Rasulullah yang merinci tata cara mendirikan salat,
membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadan, menunaikan ibadah
haji, yang kesemuanya itu juga termasuk dalam Al-Qur’an secara
global.
2. Sunnah sebagai mukhassis (yang mengkhususkan) keumuman
hukum Al-Qur’an, seperti hadis Rasulullah yang berbunyi, “Seorang
wanita tidak boleh dinikahkan dengan [suami] bibi dari ayahnya,
[suami] bibi dari ibunya, [suami] kemenakan perempuan dari
saudaranya dan [suami] kemenakan perempuan dari saudarinya.
3. Sunnah sebagai muqayyid (yang membatasi) kemutlakan hukum Al-
Qur’an, seperti hadis Rasulullah yang menjelaskan bahwa hukum
potong tangan itu sebatas pergelangan tangan saja, yang
merupakan muqayyid potongan ayat “laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”.
3. Argumentator eksistensi naskh, yang merupakah mazhab Al-Syafi’i pribadi,
dan bersebrangan dengan para sarjana, bahkan para sarjana Syafi’iyah
sendiri. Menurut Al-Syafi’i, Al-Qur’an hanya dapat di naskh oleh Al-Qur’an,
dan sunnah tidak dapat menaskh Al-Qur’anm melainkan hanya sebagai
dasar argumentasi terjadinya naskh Al-Qur’an. Ayat “diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa (kutiba’alaikum idha hadara ahadakum al-mawt in tarakakhayran
al-wasiyyah li-al-walidayn wa al-aqrabin bi alma’ruf, haqqan’ala al-
muttaqin),” misalnya, itu mansukh (dihapus) oleh ayat-ayat mawaritsh
(warisan-warisan). Hanya saja, argumentasi terjadinya naskh Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an semacam ini didasarkan kepada sunnah.
4. Produsen hukum secara mandiri, sebab Al-Qur’an tidak menyinggungnya.
Ini seperti hadis-hadis Rasulullah tentang hukum rajam bagi pezina muhsan
(yang telah menikah), larangan mengenakan emas dan perak bagi laki-laki,
dan zakat fitrah. Namun demikian, Al-Syafi’i tetap berpandangan bahwa
hukum-hukum yang diproduksi sunnah secara mandiri itu termasuk dalam
prinsip-prinsip umum Al-Qur’an.
Materi 10
1. Konsep etika, moral, dan akhlak
Menelusuri asal usul etika tak lepas dari asal kata ethos dalam bahasa Yunani
yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter. Dalam makna yang lebih tegas yaitu
kutipan dalam buku Kuliah Etika mendefinisikan etika: The systematic study of the nature
of value concept, good bad, ought, right, wrong, etc, and of the general principles which
justify us in applying them to anything; also called moral philosophy. Ini berarti etika
merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah,
dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan untuk mengaplikasikannya atas apa saja.
Disini etika dapat dimaknai sebagai dasar moralitas seseorang dan di saat bersamaan
juga sebagai filsufnya dalam berperilaku.
Etika bagi seseorang terwujud dalam kesadaran moral yang memuat keyakinan
benar atau tidak sesuatu. Perasaan yang muncul bahwa ia akan salah bila melakukan
sesuatu yang diyakininya tidak benar berangkat dari norma-norma moral dan perasaan
self-respect (menghargai diri) bila ia meninggalkannya. Tindakan yang diambil olehnya
harus ia pertanggungjawabkan pada diri sendiri. Begitu juga dengan sikapnya terhadap
orang lain bila pekerjaan tersebut mengganggu atau sebaliknya mendapatkan pujian.
Sedangkan moral berasal dari kata Latin ‘mos’ (bentuk jamaknya yaitu mores)
yang berarti adat dan cara hidup. Mores dalam bahasa inggris adalah morality yang
berarti general name for moral judgments, standards, and rules of conduct. Dalam makna
lain morality berarti a doctrine or system of moral conduct/particular moral principles or
rules of conduct. Ini artinya bahwa moralitas merupakan sebutan umum bagi keputusan
moral, standar moral dan aturan-aturan berperilaku yang berangkat dari nilai-nilai etika.
Hal itu tidak saja dalam format keputusan standar, dan aturan-aturan aktual yang ada
dalam masyarakat, tetapi juga meliputi keputusan-keputusan ideal yang dibenarkan
dengan alas an yang rasional.
Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering
disebut sebagai filsafat nilai, yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan
dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika dan
moral bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat dan tradisi, ideologi bahkan agama.
Dalam konteks etikapendidikan agama Islam, maka sumber etika dan nilainilai yang
paling sahih adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. yang kemudian
dikembangkan oleh hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat
istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan situasional. Sebab keduanya adalah
produk budaya manusia yang bersifat realtif, kadang-kadang bersifat lokal dan
situasional. Sedangkan nilai-nilai Qurani yaitu nilai yang bersumber kepada Al-Qur’an
adalah kuat karena ajaran Al-Qur’an bersifat mutlak dan universal. Sedangkan kata
akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata khuluqun yang menurut bahasa berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Perumusan pengertian akhlak timbul
sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan
makhluk.
Jadi akhlak itu sendiri bukanlah perbuatan, melainkan gambaran bagi jiwa yang
tersembunyi. Oleh karenanya dapatlah disebutkan bahwa akhlak itu adalah nafsiah
(bersifat kejiwaan) atau maknawiyah (sesuatu yang abstrak), dan bentuknya yang
kelihatan dinamakan muamalah (tindakan) atau suluk (perilaku) maka akhlak adalah
sumber dan perilaku adalah bentuknya. Perlu dijelaskan pula bahwa memang sering
perbuatan itu dilakukan secara kebetulan tanpa adanya kemauan atau tanpa dikehendaki
atau juga sesuatu perbuatan yang dilakukan sekali atau beberapa kali saja, begitu pula
suatu perbuatan yang dilakukan tanpa adanya ikhtiar dan kebebasan, dalam arti
dilakukannya perbuatan tersebut dengan terpaksa, maka perbuatan-perbuatan seperti
tersebut di atas tidaklah dapat dikategorikan ke dalam akhlak.
Dapatlah dicontohkan disini, seseorang tidaklah dikatakan berakhlak dermawan,
apabila dalam memberikan harta/ uangnya (dalam bersedekah) itu dilakukan hanya
sekali atau dua kali saja atau mungkin dalam pemberian itu karena terpaksa (karena
gengsi). Jadi pemberian tersebut mestinya tidak dikehendaki atau mungkin dalam
pemberian itu masih memerlukan perhitungan dan pemikiran (masih merasa berat).
Padahal faktor kehendak atau kemauan ini memegang peranan yang penting, karena
dengan akhlak tersebut menunjukkan adanya unsur ikhtiar dan kebebasan yang
karenanya dapatlah disebut dengan akhlak.