Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM DAN AJARAN


ISLAM DAN NILAI KARAKTER DALAM AL-QUR’AN

Kelompok : Bayu Endra Setiawan, Rindi Tri Rahman,


Ahmad Khairullah
Kelas : Administrasi Bisnis (siang)

STIA TABALONG
2021
Materi 9
Hadis sebagai sumber hukum dan ajaran Islam.
a. Fungsi hadis.
1. Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-
Qur’an yang dikenal dengan istilah fungsi ta’kid dan taqrir.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an
dalam hal:
a) Menjelaskan arti yang masih samar atau ijmal seperti kata shalat
karena dapat saja shalat itu berarti doa sebagaimana dipakai secara
umum pada waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian
perbuatan yang terdiri dari ucapan dan perbuatan dalam rangka
menjelaskan apa yang dimaksud shalat pada ayat tersebut.
b) Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis
besar misalnya menentukan waktu-waktu salat yang disebutkan
dalam Al-Qur’an.
c) Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara
umum, misalnya hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan.
d) Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
misalnya Allah melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita
yang bersaudara, diperluas Nabi bahwa bukan saja saudara ayah
tapi juga saudara ibunya.
b. Posisi sunnah terhadap Al-Qur’an berdasarkan konsep Al-Syafi’I, kemudian Al-
Zuhayli merinci keempat posisi sunah dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, antara
lain:
1. Konfirmator hukum Al-Qur’an, jika sunnah mengonfirmasikan suatu hukum
yang terkandung dalam Al-Qur’an, berarti hukum tersebut mempunyai dua
dasar hukum, Al-Qur’an dan sunnah. Ini seperti perintah mendirikan salat,
membayar zakat, berpuasas di bulan Ramadan, menunaikan ibadah haji
bagi yang mampu, dan perintah-perintah lainnya yang termaktub dalam Al-
Qur’an dan dikonfirmasikan oleh sunah Rasulullah.
2. Interpretator hukum Al-Qur’an, jika sunnah menginterpretasi suatu hukum
yang terkandung dalam Al-Qur’an, maka dapat diperinci lagi menjadi 3
fungsi, yaitu:
1. Sunnah sebagai interpretator keglobalan hukum Al-Qur’an, seperti
hadis-hadis Rasulullah yang merinci tata cara mendirikan salat,
membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadan, menunaikan ibadah
haji, yang kesemuanya itu juga termasuk dalam Al-Qur’an secara
global.
2. Sunnah sebagai mukhassis (yang mengkhususkan) keumuman
hukum Al-Qur’an, seperti hadis Rasulullah yang berbunyi, “Seorang
wanita tidak boleh dinikahkan dengan [suami] bibi dari ayahnya,
[suami] bibi dari ibunya, [suami] kemenakan perempuan dari
saudaranya dan [suami] kemenakan perempuan dari saudarinya.
3. Sunnah sebagai muqayyid (yang membatasi) kemutlakan hukum Al-
Qur’an, seperti hadis Rasulullah yang menjelaskan bahwa hukum
potong tangan itu sebatas pergelangan tangan saja, yang
merupakan muqayyid potongan ayat “laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”.
3. Argumentator eksistensi naskh, yang merupakah mazhab Al-Syafi’i pribadi,
dan bersebrangan dengan para sarjana, bahkan para sarjana Syafi’iyah
sendiri. Menurut Al-Syafi’i, Al-Qur’an hanya dapat di naskh oleh Al-Qur’an,
dan sunnah tidak dapat menaskh Al-Qur’anm melainkan hanya sebagai
dasar argumentasi terjadinya naskh Al-Qur’an. Ayat “diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa (kutiba’alaikum idha hadara ahadakum al-mawt in tarakakhayran
al-wasiyyah li-al-walidayn wa al-aqrabin bi alma’ruf, haqqan’ala al-
muttaqin),” misalnya, itu mansukh (dihapus) oleh ayat-ayat mawaritsh
(warisan-warisan). Hanya saja, argumentasi terjadinya naskh Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an semacam ini didasarkan kepada sunnah.
4. Produsen hukum secara mandiri, sebab Al-Qur’an tidak menyinggungnya.
Ini seperti hadis-hadis Rasulullah tentang hukum rajam bagi pezina muhsan
(yang telah menikah), larangan mengenakan emas dan perak bagi laki-laki,
dan zakat fitrah. Namun demikian, Al-Syafi’i tetap berpandangan bahwa
hukum-hukum yang diproduksi sunnah secara mandiri itu termasuk dalam
prinsip-prinsip umum Al-Qur’an.
Materi 10
1. Konsep etika, moral, dan akhlak
Menelusuri asal usul etika tak lepas dari asal kata ethos dalam bahasa Yunani
yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter. Dalam makna yang lebih tegas yaitu
kutipan dalam buku Kuliah Etika mendefinisikan etika: The systematic study of the nature
of value concept, good bad, ought, right, wrong, etc, and of the general principles which
justify us in applying them to anything; also called moral philosophy. Ini berarti etika
merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah,
dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan untuk mengaplikasikannya atas apa saja.
Disini etika dapat dimaknai sebagai dasar moralitas seseorang dan di saat bersamaan
juga sebagai filsufnya dalam berperilaku.
Etika bagi seseorang terwujud dalam kesadaran moral yang memuat keyakinan
benar atau tidak sesuatu. Perasaan yang muncul bahwa ia akan salah bila melakukan
sesuatu yang diyakininya tidak benar berangkat dari norma-norma moral dan perasaan
self-respect (menghargai diri) bila ia meninggalkannya. Tindakan yang diambil olehnya
harus ia pertanggungjawabkan pada diri sendiri. Begitu juga dengan sikapnya terhadap
orang lain bila pekerjaan tersebut mengganggu atau sebaliknya mendapatkan pujian.
Sedangkan moral berasal dari kata Latin ‘mos’ (bentuk jamaknya yaitu mores)
yang berarti adat dan cara hidup. Mores dalam bahasa inggris adalah morality yang
berarti general name for moral judgments, standards, and rules of conduct. Dalam makna
lain morality berarti a doctrine or system of moral conduct/particular moral principles or
rules of conduct. Ini artinya bahwa moralitas merupakan sebutan umum bagi keputusan
moral, standar moral dan aturan-aturan berperilaku yang berangkat dari nilai-nilai etika.
Hal itu tidak saja dalam format keputusan standar, dan aturan-aturan aktual yang ada
dalam masyarakat, tetapi juga meliputi keputusan-keputusan ideal yang dibenarkan
dengan alas an yang rasional.
Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering
disebut sebagai filsafat nilai, yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan
dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika dan
moral bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat dan tradisi, ideologi bahkan agama.
Dalam konteks etikapendidikan agama Islam, maka sumber etika dan nilainilai yang
paling sahih adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. yang kemudian
dikembangkan oleh hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat
istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan situasional. Sebab keduanya adalah
produk budaya manusia yang bersifat realtif, kadang-kadang bersifat lokal dan
situasional. Sedangkan nilai-nilai Qurani yaitu nilai yang bersumber kepada Al-Qur’an
adalah kuat karena ajaran Al-Qur’an bersifat mutlak dan universal. Sedangkan kata
akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata khuluqun yang menurut bahasa berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Perumusan pengertian akhlak timbul
sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan
makhluk.
Jadi akhlak itu sendiri bukanlah perbuatan, melainkan gambaran bagi jiwa yang
tersembunyi. Oleh karenanya dapatlah disebutkan bahwa akhlak itu adalah nafsiah
(bersifat kejiwaan) atau maknawiyah (sesuatu yang abstrak), dan bentuknya yang
kelihatan dinamakan muamalah (tindakan) atau suluk (perilaku) maka akhlak adalah
sumber dan perilaku adalah bentuknya. Perlu dijelaskan pula bahwa memang sering
perbuatan itu dilakukan secara kebetulan tanpa adanya kemauan atau tanpa dikehendaki
atau juga sesuatu perbuatan yang dilakukan sekali atau beberapa kali saja, begitu pula
suatu perbuatan yang dilakukan tanpa adanya ikhtiar dan kebebasan, dalam arti
dilakukannya perbuatan tersebut dengan terpaksa, maka perbuatan-perbuatan seperti
tersebut di atas tidaklah dapat dikategorikan ke dalam akhlak.
Dapatlah dicontohkan disini, seseorang tidaklah dikatakan berakhlak dermawan,
apabila dalam memberikan harta/ uangnya (dalam bersedekah) itu dilakukan hanya
sekali atau dua kali saja atau mungkin dalam pemberian itu karena terpaksa (karena
gengsi). Jadi pemberian tersebut mestinya tidak dikehendaki atau mungkin dalam
pemberian itu masih memerlukan perhitungan dan pemikiran (masih merasa berat).
Padahal faktor kehendak atau kemauan ini memegang peranan yang penting, karena
dengan akhlak tersebut menunjukkan adanya unsur ikhtiar dan kebebasan yang
karenanya dapatlah disebut dengan akhlak.

2. Aktualisasi nilai-nilai karakter dalam kehidupan


Di antara fungsi al-Qur’an adalah sebagai petunjuk (huda), penerang jalan hidup
(bayyinat), pembeda antara yangbenar dan yang salah (furqan), penyembuh penyakit
hati (syifa’), nasihat atau petuah (mau’izah) dan sumber informasi (bayan). Sebagai
sumber informasi al-Qur’an mengajarkan banyak hal kepada manusia; dari persoalan
keyakinan, moral, prinsip prinsip ibadah dan muamalah sampai kepada asas-asas ilmu
pengetahuan. Mengenai ilmu pengetahuan, al-Qur’an memberikan wawasan dan
motivasi kepada manusia untuk memperhatikan dan meneliti alam sebagai manifestasi
kekuasaan Allah. Dari hasil pengkajian dan penelitian fenomena alam kemudan
melahirkan ilmu pengetahuan. Berdasarkan pemahaman ini, al-Qur’an berperan sebagai
motivator dan insipirator bagi para pembaca, pengkaji dan pengamalnya.
Secara normatif tujuan yang ingin dicapai dalam aktualisasi nilai-nilai karakter
dalam kehidupan meliputi tiga dimensi atau aspek kehidupan yang harus dibina dan
dikembangkan oleh pendidikan. Pertama, dimensi spiritual yaitu iman, takwa dan akhlak
mulia (yang tercermin dalam ibadah dan mu’amalah). Dimensi spiritual ini tersimpul
dalam satu kata yaitu akhlak. Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi
individu dan masyarakat. Tanpa akhlak, manusia akan berada pada kumpulan hewan
dan binatang yang tidak memiliki tata nilai dalam kehidupannya. Rasulullah saw.
merupakan sumber akhlak yang hendaknya diteladani oleh orang mukmin seperti
sabdanya: sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia.
Akhlak berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, watak atau sering
disebut dengan kesusilaan, sopan santun, atau moral. Akhlak adalah segala perbuatan
yang dilakukan dengan tanpa sengaja. Dengan kata lain secara spontan tidak mengada-
ngada atau tidak dengan paksaan. Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam
Islam. Ia diibaratkan sebagai buah pohon Islam yang berakarkan akidah, bercabang dan
berdaun syariah. Ruang lingkup ajaran akhlak adalah sama dengan ruang lingkup ajaran
Islam itu sendiri, khususnya berkaitan dengan pola hubungan dengan Tuhan dan sesama
manusia. Akhlak dalam ajaran Islam mencakup berbagai aspek, dimulai akhlak terhadap
Allah hingga terhadap sesama makhluk.
Secara garis besar, akhlak dalam islam dibagi menjadi dua bagian.
1. Akhlak yang terpuji (Al-Akhlak Al-Karimah/Al-Mahmudah), yaitu akhlak yang
senantiasa berada dalam kontrol ilahiyyah yang dapat membawa nilai-nilai yang
positif bagi kemaslahatan diri sendiri dan umat. Beberapa sifat yang termasuk
akhlak karimah diantaranya, sifat sabar, jujur, tawadhu, ikhlas, syukur, rendah hati,
tolong-menolong dan sebagainya.
2. Akhlak yang tercela (al-Akhlak al-Madzmumah), yaitu akhlak yang berada diluar
kontrol Ilahiyyah, atau asalnya datang dari hawa nafsu yang berada dalam lingkup
syaitan. Dan sifat-sifat tercela ini hanya akan membawa dampak negatif, bukan
hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi umat manusia. Beberapa sifat tercela
tergambar dalam sifat sombong, tamak, kuffur, berprasangka buruk, malas,
menyakiti sesama dan sebagainya.

Menurut al-Ghazali, berakhlak mulia atau terpuji artinya menghilangkan semua


adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam dan menjauhkan
diri dari perbuatan tercela tersebut, dan membiasakan adat kebiasaan yang baik,
melakukannya dan mencintainya. Selanjutnya dilihat dari sasaran/objeknya, akhlak Islam
dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terhadap Khaliq (Allah) dan akhlak kepada
makhluk. Akhlak terhadap makhluk masih dirinci lagi menjadi beberapa macam, akhlak
terhadap sesame manusia, dan akhlak terhadap lingkungan (tumbuhan dan binatang),
dan akhlak terhadap benda-benda mati.
1. Akhlak kepada Allah
Titik tolak akhlak kepada Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada
Tuhan selain Allah.
2. Akhlak terhadap sesama manusia
Akhlak terhadap manusia harus dimulai dari akhlak terhadap Rasulullah, sebab
beliau adalah manusia yang paling sempurna akhlaknya. Diantara bentuk akhlak kepada
beliau adalah dengan cara mencintai Rasulullah SAW. dan memuliakannya. Pada sisi
lain Allah menekankan bahwa hendaknya manusia didudukkan secara wajar, dan Nabi
Muhammad SAW. adalah manusia, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul
yang mendapatka wahyu dari Allah. Maka atas dasar itulah beliau berhak memperoleh
penghormatan melebihi manusia lain. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Hujurat: 2.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi,
dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya
suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu,
sedangkan kamu tidak menyadari.”
Sementara itu, Aminuddin secara lebih detail merinci akhlak terhadap sesama
manusia sebagai berikut:
a. Akhlak kepada Rasulullah. Dilakukan dengan cara mencintai beliau dan mengikuti
semua sunnahnya.
b. Akhlak pada kedua orang tua. Adalah dengan cara berbuat baik pada mereka
dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan
mencintai mereka sebagai rasa terima kasih, berlaku lemah lembut, dan merawat
mereka saat mereka tua.
c. Akhlak kepada diri sendiri. Tercermin dalam sikap sabar yang merupakan hasil
dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa saja yang menimpanya.
Syukur, sebagai bentuk terima kasih atas nikmatnikmat Allah. Rendah hati,
sebagai kesadaran akan hakikat dirinya yang lemah dan serba terbatas.
d. Akhlak terhadap keluarga, kerabat. Seperti saling membina rasa kasih sayang
dalam kehidupan keluarga, berbakti kepada orang tua, mendidik anak dan
membina hubungan silaturahmi.
e. Akhlak kepada tetangga. Dengan cara saling berkunjung, membantu dikala waktu
senggang, saling menghindari pertengkaran/permusuhan.
f. Akhlak kepada masyarakat. Dapat dilakukan dengan cara memuliakan tamu,
menghormati nilai dan norma yang berlaku.

3. Akhlak lingkungan hidup


Islam sungguh agama yang sempurna, begitu pula dengan ajarannya. Islam tidak
hanya berbicara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, tapi juga
bagaimana seharusnya manusia berhubungan dengan lingkungan. Lingkungan yang
dimaksud adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia. Menurut Quraish
Shihab, akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi
manusia sebagai khalifah. Dan hal ini menuntut adanya interaksi antara manusia dengan
sesamanya dan manusia dengan lingkungan. Kekhalifahan mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan dan bimbingan agar setiap mahkluk hidup mencapai tujuan
penciptaannya. Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil
buah yang belum matang atau memetik bunga yang belum mekar, karena hal ini berarti
tidak memberikan kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.

Anda mungkin juga menyukai