Anda di halaman 1dari 5

Gerakan Non-Blok Masihkah Relevan Saat Ini?

Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA - Berbicara tentang Gerakan Non-Blok (GNB) mungkin


mengingatkan kita tentang masa perang dingin antara dua pihak yang bertikai, Barat dan
Timur, di awal tahun 1940-an hingga akhir 1980-an.

GNB, adalah persatuan negara-negara berkembang yang baru merdeka pada 1961 pada KTT
pertama GNB di Beograd, Yugoslavia dengan jumlah anggota hanya 25 negara dari kawasan
Asia dan Afrika yang ditujukan untuk menggalang solidaritas, menumbuhkan rasa percaya
diri serta untuk menyatukan visi.

Tujuan GNB semula adalah untuk meredakan perang dingin dan ketegangan dunia sebagai
akibat pertentangan antara Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet).
Namun kemudian berkembang meliputi kerja sama antarbangsa pada bidang-bidang lainnya.

Proses kelahiran GNB tidak dapat dilepaskan dari situasi atau kostelasi politik internasional
pada saat itu yang sangat kental dengan nuansa pertentangan antara timur dan barat, antara
dunia kapitalis dan dunia sosialis, atau lazim dikenal sebagai Perang Dingin.

Negara-negara yang baru merdeka pada saat itu, termasuk Indonesia, dihadapkan pada
ancaman perang besar yaitu perang nuklir. Selain itu, juga terdapat persoalan-persoalan sosial
dan ekonomi, seperti keterbelakangan dan kemiskinan karena penjajahan.

Dalam perkembangannya, GNB merupakan bentuk emansipasi politik negara-negara tersebut


untuk menciptakan dunia yang aman, bebas dari perang, kemiskinan, keterbelakangan, dan
lepas dari belenggu penjajahan. Hingga pada akhirnya peristiwa runtuhnya tembok Berlin
yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur pada tahun 1989 menandai akhir dari
Perang Dingin.

Tidak ada lagi pertentangan antara Blok Barat dan Blok Timur. Bahkan memasuki abad ke-
21, peta kekuatan dunia telah mengalami revolusi yang sangat dramatis sejak runtuhnya
Tembok Berlin.

Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kemeterian Luar Negeri, Andri Hadi
menjelaskan GNB hanya sebuah gerakan, bukan organisasi karena tidak memiliki sekretariat
dan sifatnya juga tidak mengikat diantara negara anggotanya. Andri Hadi menjelaskan hal itu
di sela-sela rangkaian pertemuan Konferensi Tingkat Menteri GNB ke-16 di Nusa Dua, Bali.

Kelahiran GNB 50 tahun yang lalu tidak lepas dari Dasa Sila Bandung serta prinsip-prinsip
yang kemudian disetujui sebagai prinsip-prinsip perjuangan dari GNB yang diarahkan untuk
mewujudkan perdamaian dunia dan pembangunan kesejahteraan bagi negara-negara
anggotanya.

"Kita tidak akan pernah bisa membangun apabila tidak ada perdamaian dunia. Artinya
pembangunan harus dan hanya bisa dilakukan apabila terdapat dunia yang aman, yang
tenteram, dan damai, demikian pula sebaliknya," ujar Andri.
Masihkah GNB Relevan Saat Ini?
Namun, yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah masihkan GNB relevan dimasa
sekarang ini ketika Blok Barat dan Blok Timur sudah tidak ada lagi? Sebagai salah satu
pendiri GNB, maka Indonesia terdorong untuk membuktikan bahwa GNB masih sangat
relevan pada abad ke-21 tetapi pada saat yang sama juga merasa bahwa GNB harus berubah.

Sesuai dengan namanya Non-Aligned Movement (NAM), sebagai sebuah gerakan, GNB
harus terus bergerak ditengah-tengah dinamika dunia internasional saat ini. Apa yang telah
menjadi tema perjuangan GNB sejak 1961 sampai tahun 1990 masih tetap relevan karena
keterbelakangan serta kesenjangan ekonomi dan pembangunan masih tetap menjadi
permasalahan saat ini.

Selain itu, Andri menambahkan bahwa interstate dan intra-state war justru muncul dimana-
mana seperti cendawan di musim hujan. Peperangan tersebut terjadi bukan karena persaingan
ideologi tetapi justru dipicu oleh persoalan-persoalan menyangkut sistem politik, kehidupan
ekonomi, kesenjangan ekonomi dan sebagainya.

"Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dicita-citakan GNB yaitu dunia yang aman, tenteram
dan sejahtera masih menjadi tantangan bagi berbagai negara. Karena itulah keberadaan GNB
masih relevan untuk mencapai apa yang tadi saya katakan world peace and development,"
tambahnya.

Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Luar Negeri Teuku Faizasyah
menyatakan Gerakan Non Blok masih tetap relevan dalam situasi dunia saat ini. "Sebagai
sebuah gerakan, forum ini masih sangat relevan," katanya ketika ditemui saat mendampingi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungan kerja di Nusa Dua, Bali, Selasa
malam.

Faizasyah menegaskan, tanda bahwa Gerakan Non Blok (GNB) masih relevan adalah jumlah
negara anggota yang terus bertambah yaitu Fiji dan Azerbaijan. "Jumlah keanggotaan
gerakan ini meningkat meski perang dingin sudah berakhir," katanya.

Selain itu, relevansi GNB juga bisa dilihat dari semangat para pejabat negara anggota dalam
menghadiri Konferensi Tingkat Menteri (KTM) di Bali. Menurut Faizasyah, 120 negara
anggota (termasuk kedua anggota baru) GNB menyatakan dukungan terhadap pelaksanaan
KTM di Bali.

Sebanyak 75 menteri dari negara anggota tersebut menyatakan akan hadir. Faizasyah
menjelaskan, GNB sebagai gerakan moral juga sangat dibutuhkan karena dapat juga menjadi
poros yang mempunyai kekuatan dalam PBB untuk memperjuangkan kepentingan negara
berkembang.

Sampai saat ini 60 persen anggota PBB adalah anggota GNB, dengan adanya tantangan
global, seperti krisis energi, keuangan, keamanan pangan atau food security , maka hal
diperlukan partisipasi aktif dalam mencari solusi global. Perwakilan Tetap RI di PBB, Duta
Besar Hasan Kleib juga menyatakan bahwa dirinya masih sepakat akan relevansi GNB
dewasa ini.

Menurut Hasan , keberadaan GNB masih relevan, sebagai persatuan yang memiliki sifat
penekan terbesar dalam PBB untuk menekan negara adikuasa seperti Amerika Serikat. Selain
itu dengan adanya keanggotaan baru juga menunjukkan relevansi GNB dan 27 negara yang
meminta Indonesia sebagai penyelenggara bersama Mesir sebagai ketua GNB saat ini,
diantaranya Jerman, Rusia, AS dan Belgia.

TANTANGAN YG DIHADAPI GNB SEKARANG

Munculnya tantangan-tantangan global baru sejak akhir abad ke-20 telah memaksa GNB
untuk terus mengembangkan Kapasitas dan arah kebijakannya agar sepenuhnya mampu
menjadikan keberadaannya tetap relevan, tidak hanya bagi anggotanya tetapi juga lebih
terkait dengan sumbangannya dalam menghadapi tantangan tersebut.

Tantangan yang dimaksud dewasa ini antara lain adalah isu menonjol yang terkait dengan
masalah terorisme, merebaknya konflik intra dan antar negara, pelucutan senjata, serta
dampak globalisasi di bidang ekonomi dan informasi teknologi. Isu-isu tersebut telah
menjadikan GNB perlu menyesuaikan kebijakan dan perjuangannya yang dalam konteks ini
GNB memandang perannya tidak hanya sebagai obyek, tetapi sebagai mitra seimbang dan
bagian dari solusi masalah dunia.
Gerakan Non Blok abad ke-21

Gerakan Non Blok atau Non-Aligned Movement (NAM) adalah suatu organisasi
internasional yang terdiri dari lebih dari 100 negara-negara yang tidak menganggap dirinya
beraliansi dengan atau terhadap blok kekuatan besar apapun. Organisasi ini muncul di tengah
persaingan dua kekuatan besar dunia, yaitu Blok Barat dan Blok Timur yang terjadi pada
masa Perang Dingin, agar negara-negara berkembang tidak terkena pengaruh Blok Barat
maupun Blok Timur. Tujuan dari organisasi ini, seperti yang tercantum dalam Deklarasi
Havana tahun 1979, adalah untuk menjamin “kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial,
dan keamanan dari negara-negara nonblok” dalam perjuangan mereka menentang
imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, rasisme dan segala
bentuk agresi militer, pendudukan, dominasi, interferensi atau hegemoni dan menentang
segala bentuk blok politik. Mereka merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan hampir
2/3 keangotaan PBB.

Gerakan Non-Blok sendiri bermula dari sebuah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika
(1955). Di sana, negara-negara yang tidak berpihak pada blok tertentu mendeklarasikan
keinginan mereka untuk tidak terlibat dalam konfrontasi ideologi Barat-Timur. Pendiri dari
gerakan ini adalah lima pemimpin dunia: Josip Broz Tito presiden Yugoslavia, Soekarno
presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser presiden Mesir, Pandit Jawaharlal Nehru perdana
menteri India, dan Kwame Nkrumah dari Ghana.

Sudah 61 tahun silam GNB ini dilaksanakan, namun negara-negara anggota GNB tetap rutin
melakukan pertemuan hingga saat ini melalui KTT GNB yang normalnya diselenggarakan
tiga tahun sekali. KTT GNB terakhir yang diselenggarakan yaitu KTT ke-17 yang
berlangsung pada 2015 di Venezuela.

Bagaimana eksistensi GNB sekarang, mengingat zamannya sudah berbeda


dibandingkan ketika GNB pertama kali dideklarasikan.

Tujuan awal didirikannya GNB yaitu supaya negara-negara berkembang tidak terkena
pengaruh Blok Barat maupun Blok Timur pada masa perang dingin. Ketika perang dingin
sudah selesai, GNB tetap rutin melakukan pertemuan antar negara dalam KTT. Seiring
dengan perkembangan zaman, tantangan utama yang dihadapi GNB bukan lagi perang
dingin, namun ketidakmerataan dan kesenjangan pembangunan antaregara GNB, serta
konflik internal antar anggota GNB. GNB dipilih menjadi wadah untuk menyelesaikan
masalah ini, mengingat salah satu tujuan didirikannya GNB adalah sebagai wadah perjuangan
negara-negara yang sedang berkembang, dengan melihat fakta bahwa sejak terbentuknya
GNB, perdamaian, kedaulatan, dan solidaritas antar anggota belum tercapai.

Munculnya tantangan-tantangan global baru sejak akhir abad ke-20 telah memaksa GNB
untuk mengembangkan kapasitas dan arah kebijakannya agar sepenuhnya mampu
menjadikan keberadaannya tetap relevan, tidak hanya bagi anggotanya tetapi juga lebih
terkait dengan sumbangannya dalam menghadapi tantangan tersebut.

Tantangan yang dimaksud antara lain adalah isu yang terkait dengan masalah terorisme,
merebaknya konflik intra dan antar negara, pelucutan senjata, serta dampak globalisasi di
bidang ekonomi dan informasi teknologi. Isu-isu tersebut telah menjadikan GNB perlu
menyesuaikan kebijakan dan perjuangannya yang dalam konteks ini GNB memandang
perannya tidak hanya sebagai obyek, tetapi sebagai mitra seimbang dan bagian dari solusi
masalah dunia.

Sebagai contoh, di tengah kesulitan ekonomi yang mengimpit masyarakatnya, Presiden


Venezuela, Nicolas Maduro, sukses menggelar KTT GNB ke-17 di Pulau Margarita,
Venezuela. Venezuela sedang mengalami krisis ekonomi hingga membuat masyarakat harus
menahan lapar karena kurangnya pasokan sembako dan inflasi yang melonjak. Dalam KTT
ini, tercapai kesepakatan untuk menguatkan harga minyak mentah dunia dengan
menggandeng negara-negara produsen minyak. Kesepakatan ini akan dibahas lebih lanjut
pada pertemuan International Energy Forum dan OPEC.

Menurut Jusuf Kalla, kebutuhan lain yang lebih mendesak bagi GNB, yakni reformasi
internal. Hal ini ditujukan agar GNB siap dalam menghadapi tantangan di abad ke-21.
Menurutnya, GNB perlu memperkuat semangat multilateralisme di mana seluruh negara
memiliki suara yang sama. GNB juga harus memberikan kontribusi terhadap upaya
penanganan tantangan ekonomi global melalui kemitraan global yang melibatkan seluruh
pihak, termasuk kerjasama antarnegara maju dan berkembang, serta perlu adanya
pembenahan internal terkait cara kerja GNB agar tidak terjebak menjadi talk shop
organization.

Selain mendorong reformasi internal, Indonesia juga meminta negara-negara GNB untuk
terus memberikan dukungan terhadap perjuangan Palestina untuk menjadi negara yang
berdaulat dan merdeka dengan ibukota di Yerusalem Timur.

Selain itu, eksistensi GNB di masa kini dapat dilihat dengan jumlah negara anggota yang
terus bertambah,  salah satunya Fiji dan Azerbaijan, meskipun perang dingin sudah berakhir.

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa GNB yang sejatinya sudah lama dibentuk yakni sejak
1961, masih memiliki eksistensi seiring dengan perkembangan zaman. Usaha yang dilakukan
dengan menyesuaikan tujuan dan arah kebijakan sesuai dengan tantangan pada zamannya.

Anda mungkin juga menyukai